Q-FACTOR GEMPA VULANIK GUNUNG LOKON TAHUN 2012

(1)

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

Fakultas Teknik Universita Oleh NANI SETIANI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNIK

Pada

Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Teknik Universitas Lampung

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

Q-FACTORGEMPA VULANIK GUNUNG LOKON

TAHUN 2012

Oleh Nani Setiani

Telah dilakukan penelitian gempa vulkanik pada Gunung Lokon tahun 2012, dimana terjadi beberapa gempa letusan di Gunung Lokon pada bulan April dan Mei. Aktivitas tersebut menyebabkan adanya perbedaan karakteristik gelombang gempa vulkanik pra letusan sampai dengan pasca letusan. Oleh karena itu, dilakukan analisis faktor kualitas (Q-factor) gelombang gempa vulkanik dalam (VA) dan gempa vulkanik dangkal (VB) pada setiap stasiun seismik menjelang letusan hingga pasca letusan berdasarkan nilai koefisien atenuasinya dengan menggunakan metode fitting. Penelitian ini menggunakan data rekaman seismik di lima stasiun pengamatan yaitu Empung (EMP), SEA, Kinilau (KIN), Tatawiran (TTW), dan Wailan (WLN). Hasil penelitian menunjukan range nilai koefisien atenuasi pra letusan antara -2.7×10-1 s/d -4×10-2dB/λ, fase letusan antara -5.9×10-1 s/d -2×10-2dB/λ, dan pasca letusan antara -5.8×10-1 s/d -4×10-2dB/λ. Nilai tersebut menunjukkan Q-factor pada pra letusan lebih kecil dibanding pasca letusan dan fase letusan sehingga karakteristik kurva atenuasi pra letusan lebih landai, sedangkan fase letusan lebih curam dan pasca letusan tidak terlalu landai tetapi tidak curam. Hal ini disebabkan oleh densitas, cepat rambat sinyal seismik batuan, jarak sumber gempa ke stasiun, temperatur dan tekanan. Berdasarkan densitasnya, batuan pada Gunung Lokon memiliki densitas tinggi dengan nilai Q-factorantara 75 –300 λ/dB.


(3)

Nama Mahasiswa

Nomor Pokok Mahasiswa

Jurusan

Fakultas

Nani

Setiani

081s051023 T€knik Geofisika Teknik

Pembimbing

I

MEIYYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

MENGETAIIUI

M.T.

lt

199703 1 402

Rustadi, Bagus SaptoTlulyatno, M.T.

NIP 19700120 200003

1 001

afuo,

NrP 19700120 200003 1

001


(4)

1.

MENGESAHKAF{

Tim Penguji

Ketua Penguji

:

Rustadi, S.Si.' M.T.

Anggota

:

Bagus Sapto Mulyatno, M.T.

Penguji

Bukan Pembimbing

:

Dr. Ahmad Zaenudin, M.T.

Fakultas Teknik Universitas Lampung

Dr. Suharno, B.Sc.o M.S., M.Sc., Ph.D.

P

re6207r7

re8703r0oT


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pemah dilalrukan oleh orang lain, dan sepanjang sepengetahuan saya

juga

tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbtkan oleh oraog lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini sebagaimana disebutkan dalam daftar pustaka. Selain

itu

saya mepyatakan

pula bahwa skripsi

ini

dibuat

oleh

saya

sendiri.

Apabila pemyataan saya

ini tidak benar maka

saya bersedia dikenai sangsi sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, November 2013

Napi

$ejiapi

NPM 081s0s1023


(6)

xii DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT... i

ABSTRAK... ii

HALAMAN JUDUL... iii

PERSETUJUAN... iv

PENGESAHAN... v

PERNYATAAN... vi

RIWAYAT HIDUP... vii

MOTO... viii

PERSEMBAHAN... ix

KATA PENGANTAR... x

SANWACANA... xi

DAFTAR ISI………... xiii

DAFTAR GAMBAR………... xv

DAFTAR TABEL………... xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang……… 1

1.2. Tujuan Penelitian……… 5

1.3. Batasan Masalah……….…… 6

1.4. Manfaat Penelitian………. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daerah Penelitian……… 7


(7)

xiii

2.5. Stratigrafi……… 14

BAB III TEORI DASAR 3.1. Gelombang Seismik……… 18

3.1.1. Gelombang badan (body wave)………... 18

3.1.2. Gelombang permukaan (Surface Wave)……….. 19

3.2. Gempa Vulkanik……….... 21

3.1.1. Definisi gempa vulkanik……….. 21

3.1.2. Klasifikasi gempa vulkanik………. 21

3.1.3. Parameter fisis gelombang gempabumi……… 24

3.3. Penentuan Hiposenter dan Episenter Gempa Vulkanik……….. 25

3.1.1. Menghitung Episenter dengan Metode Lingkaran……… 25

3.1.2. Menghitung Hiposenter dengan Metode Geiger………... 28

3.4. Atenuasi Gelombang dan Q-factor……….. 29

3.5. Hubungan Aktivitas Vulkanik dengan Letusan Gunungapi... 36

3.6. Sistem Penerima Seismograf……… 39

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian...………... 41

4.2. Alat dan Bahan…….……… 41

4.3. Prosedur Penelitian………... 42

4.3.1. Menentukan waktu tiba gelombang primer (P) dan gelombang sekunder (S)……….. 42

4.3.2. Menentukan hiposenter gempa………... 43

4.3.3. Plottinghiposenter……….. 44

4.3.4. Koefisien atenuasi………... 44


(8)

xiv BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hiposenter Gempa Vulkanik Gunung Lokon... 52 5.2. Q-factordan Nilai Koefisien Atenuasi Gempa Vulkanik Gunung

Lokon... 61 5.3. Karakteristik Atenuasi Amplitudo Gelombang Gempa Vulkanik

Gunung Lokon... 64 5.4. Hubungan Kondisi Geologi Gunung Lokon dengan Q-factor... 68

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan... 70 6.2. Saran... 71

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

1.1. Latar Belakang

Berdasarkan peta jalur lempeng lempeng yaitu Lempeng Lempeng Pasifik (Gambar dengan ring of fire atau akibat pertumbukan lempen

Gambar 1. Peta jal

lempeng dunia, wilayah Indonesia terletak pada pertemuan Lempeng Eurasia, Hindia-australia dan Lempeng Filipina

(Gambar 1). Hal ini menyebabkan wilayah Indonesia atau cicin api karena banyaknya gunungapi yang umbukan lempeng-lempeng tersebut (Gambar 2).

Gambar 1. Peta jalur lempeng dunia (wikipedia.org)

pada pertemuan ilipina dan Indonesia disebut gunungapi yang tumbuh


(10)

2

Gambar 2. Peta jalur gunungapi di Indonesia (USGS/CVO, 2001)

Salah satu gunungapi yang sedang aktif saat dan sering mengalami peningkatan aktivitas vulkanik pada tahun 2012 adalah Gunungapi Lokon yang terletak di Sulawesi Utara. Gunungapi ini memiliki kelurusan dengan beberapa gunungapi diwilayah tersebut seperti Gunung Ambang, Gunung Soputan, Gunung Mahawu, Gunung Tangkoko, Gunung Ruang, Gunung Karangetang, dan Gunung Awu karena adanya pertumbukan antara lempeng Filipina dan lempeng Eurasia.

Gunung Lokon terletak di komplek pegunungan Lokon-Empung dan termasuk gunungapi dengan frekuensi kejadian erupsi tinggi (Gunawan, 2010). Dalam sejarahnya tercatat pertama kali meletus pada tahun 1829, dan sampai saat ini telah tercatat lebih dari 33 kejadian erupsi. Masa istirahat terpanjang gunungapi ini adalah 64 tahun sedangkan masa istirahat terpendeknya 1 tahun (Kristianto dan Solihin, 2008).


(11)

Berdasarkan sejarah letusannya, titik letusan semula di Puncak Empung yang berlangsung dalam tahun 1350 dan 1400. Sejak tahun 1829 titik kegiatannya pindah ke pelana antara dua puncak yang dikenal dengan Kawah Tompaluan (Neuman van Padang, 1951 dalam Haerani dkk, 2009).

Karakter letusan Gunung Lokon umumnya letusan abu disertai lontaran batu pijar, kadang – kadang mengeluarkan lava pijar dan awan panas. Letusan berlangsung beberapa hari. Gejala menjelang letusan umunya berupa menebalnya asap kawah yang tingginya berfluktuasi berkisar antara 400 hingga 500 m di atas bibir kawah (Kristianto dan Solihin, 2008).

Beberapa karakteristik Gunung Lokon yang telah diteliti menunjukan bahwa gelombang gempa vulkanik Gunung Lokon memiliki keunikan yang berbeda dengan gunungapi lain di Indonesia, hal ini menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian tentang karakteristik atenuasi amplitudo gempa vulkanik Gunung Lokon.

Pemantauan kegempaan Gunung Lokon dilakukan menggunakan 5 stasiun seismik di sekitar Gunung Lokon. Kelima stasiun seismik tersebut, yaitu St. EMP, St. SEA, St. TTW, St. KIN, dan St. WLN.


(12)

4

Gambar 3. Peta lokasi seismometer yang memonitor kegempaan di Gunungapi Lokon (Haerani dkk, 2010)

Tabel 1. Posisi geografi setiap lokasi seismometer yang memonitor kegempaan di Gunungapi Lokon.

No Nama Stasiun

Koordinat Ketinggian

(m) Lintang Utara Bujur Timur

1 EMP 1o22’ 5,28” 124o48’ 0,90” 1172 2 TTW 1o21’ 39,9” 124o47’ 37,5” 1336 3 SEA 1o22’ 12,5” 124o47’ 59,2” 1190 4 WLN 1o20’ 58,3” 124o48’ 07,5” 1072 5 KIN 1° 22' 0.6" 124° 48' 59.4" 914

Data kegempaan dikirim melalui radio pancar dari tiap stasiun ke Pos Pengamatan Gunung Lokon yang berjarak sekitar 5 km dari Kawah Tompaluan. Data dari kelima stasiun seismik tersebut direkam ke dalam suatu alat perekam digital Datamark LS-7000 dan juga ditampilkan secara realtime menggunakan program aplikasi Eartworm dan Gloworm. Sedangkan untuk perekaman secara analog menggunakan seismograf kinemetriks jenis PS-2 (Kristianto dan Solihin, 2008).

12448’59.4” BT

12447’37.5” BT

122’12.5” LU

120’58.3” LU Kawah Tompaluan

Puncak Lokon

Puncak Empung

U


(13)

Pada penelitian ini dilakukan pemantauan seismik dengan analisis faktor kualitas (Q-factor) gelombang gempa vulkanik dalam (tipe A/ VA) dan gempa vulkanik dangkal (tipe B/ VB) pada setiap stasiun seismik menjelang letusan berdasarkan nilai koefisien atenuasinya. Metode yang digunakan adalah metode fitting peluruhan amplitudo gelombang.

Q-factor adalah perbandingan antara energi yang masuk dengan energi yang terdisipasi pada suatu medium yang dilalui. Q-factor menggambarkan atenuasi atau pelemahan sinyal seismik di dalam tubuh gunungapi. Pelemahan sinyal seismik terjadi karena gelombang seismik yang merambat dari sumber ke stasiun penerima mengalami peredaman. Sehingga Q-factor dapat diartikan sebagai kemampuan medium dalam meloloskan gelombang yang melaluinya.

Adapun penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Suparman dkk (2009) adalah Comparison of Focal Mechanisms and Source Parameters of Volcano-tectonic Earthquakes between Active and Normal Periods at Lokon Volcano, Nort Sulawesi, Indonesia. Namun dalam penilitian tersebut data yang digunakan adalah data gelombang gempa vulkanik-tektonik (VT). Sedangkan, dalam penelitian ini menggunakan data gelombang gempa vulkanik dalam (tipe A/ VA) dan vulkanik dangkal (tipe B/ VB).

1.2. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan penelitian ini adalah:

1. Menentukan nilai koefisien atenuasi dan korelasinya dengan Q-factordari rekaman gempa vulkanik Gunung Lokon.


(14)

6

2. Mengetahui penyebab terjadinya atenuasi amplitudo gelombang gempa vulkanik A dan vulkanik B pada setiap stasiun seismik.

3. Menentukan karakteristik atenuasi amplitudo gelombang gempa vulkanik dalam (tipe A/ VA) dan gempa vulkanik dangkal (tipe B/ VB) pada setiap stasiun seismik Gunung Lokon pra letusan, fase letusan, dan pasca letusan.

1.3. Batasan Masalah

Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah rekaman gempa vulkanik tipe A dan tipe B Gunung Lokon bulan April dan Mei tahun 2012 yang terekam di 5 stasiun, yaitu stasiun Empung (EMP), Tatawiran (TTW), SEA, Wailan (WLN), Kinilau (KIN) dengan analisis atenuasi amplitudo gelombang gempa pada fase tenang (pra letusan), fase krisis (letusan), dan pasca letusan, sehingga diperoleh karakteristik atenuasi gelombang vulkaniknya.

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, maka dapat diketahui beberapa karakteristik Gunung Lokon seperti nilai koefisien atenuasi amplitudo gelombang gempa vulkanik menjelang letusan, sehingga dapat dijadikan referensi penelitian Gunung Lokon selanjutnya. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat bermanfaat dalam hal bahan informasi kepada khalayak umum dan dapat juga dijadikan referensi untuk mitigasi bencana gungungapi khususnya di Gunung Lokon dan gunungapi di Indonesia secara umum.


(15)

2.1. Daerah Penelitian

Secara administratif Gunung Lokon terletak di Kota Tomohon, Minahasa, Sulawesi Utara (Gambar 4), lebih kurang 25 Km sebelah Selatan Manado. Secara geografis Gunung Lokon berada pada posisi 1º 21,5’ Lintang Utara dan 124º 4,5’ Bujur Timur dengan ketinggian 1597,5 meter di atas permukaan laut (Kusumadinata, 1979 dalam Kristianto dan Solihin, 2008).

Pusat kegiatan vulkanik Gunung Lokon saat ini berada di Kawah Tompaluan yang terletak pada pelana antara puncak Gunung Lokon dan Gunung Empung. Untuk mencapai kawah tersebut dapat ditempuh dari Kakaskasen atau Kinilow (di Tomohon) dengan lama perjalanan kaki 1.5 jam menyusuri lembah (sungai kering) Pasahapen (Kristianto dan Solihin, 2008).

Gunungapi Lokon merupakan salah satu gunungapi aktif di antara lima gunungapi aktif yang ada di Minahasa. Dalam klasifikasi gunungapi aktif di Indonesia umumnya disebut Gunungapi Lokon – Empung, hal ini disebabkan oleh adanya dua puncak gunung yang menonjol pada jarak 2,5 km, yaitu antara puncak Gunungapi Lokon dan Gunungapi Empung (Gambar 5) (Gunawan, 2010).


(16)

8

Gambar 4. Posisi daerah penelitian (Kristianto dkk, 2012)

Gambar 5. Kawah Tompaluan diantara Gunung Empung dan Gunung Lokon (Haerani dkk, 2010)

U

MANADO

G. Lokon G. Empung


(17)

2.2. Struktur Geologi

Gunungapi Lokon merupakan bagian dari sistem Busur Kepulauan Sangihe terkait dengan Zona Tumbukan Laut Molluca. Zona Tumbukan Laut Molluca terletak pada persimpangan lempeng Eurasia, Australia, Pasific dan Filipina. Antara Busur Sangihe, sebelah barat zona tumbukan, dan Busur Halmahera di sebelah timur merupakan tumbukan aktif dan cembung menuju Laut Molluca. Tumbukan ini membentuk struktur yang rumit di Busur Sulawesi Utara. Aktifitas seismik pada Zona Tumbukan Molluca telah menghasilkan sistem subduksi asimetris menukik-ganda. Kegempaan di sepanjang zona Benioff meluas sampai kedalaman 300 km bawah Busur Halmahera. Di bawah Busur Sangihe, Zona Beniof pada Lempeng Laut Molluca meluas sampai lebih dari 600 km, menunjukkan sistem subduksi yang berumur panjang (Silver dan Moore, 1978 dalam Suparman dkk, 2012).

Gambar 6. Struktur tektonik zona Laut Molluca. (a) Peta tektonik area Laut Molluca. Kontur garis menunjukkan kedalaman penurunan lempeng. Gambar bintang menunjukkan episenter gempa dengan magnitude 7,5 pada Januari 2007. (b) Skema penampang melalui Laut Maluku. Lokasi ini diperkirakan terletak pada subduksi kerak samudra yang diduga dari hiposenter gempa bumi. Segitiga menunjukkan posisi dari busur vulkanik aktif, diadaptasi dari Silver dan Moore (1978) dalam Suparman dkk (2012).

HALMAHERA PLATE SANGIHE PLATE MOLLUCA SEA PLATE S AN GIH ET RE NC H HA LM AH ER A MOLLUCA SEA LOKON M 7.5 TR EN CH a b


(18)

10

Zona subduksi di Sulawesi Utara cenderung berarah ke barat-baratlaut sesuai dengan pergerakan lempeng samudra yang berasal dari timur. Magma yang naik secara vertikal cenderung mengikuti orientasi bidang yang lemah. Sebagai konsekuensi pada subduksi ini, banyak gunung berapi yang mengikuti garis barat daya-timur laut (Suparman dkk, 2012).

Jika diperhatikan sebaran gunungapi aktif di daerah Minahasa, nampak ada kaitan erat antara tempat pemunculan kerucut gunungapi dan struktur lokal maupun regional. Kecuali Gunung Klabat dan Gunung Ambang, gunungapi lainnya muncul berkelompok dalam kelurusan (lineasi) tertentu, searah dengan struktur regional (Baratdaya – Timurlaut) atau kelurusan yang memotong struktur regional. Dapat dikatakan bahwa pemunculan gunungapi di sini dikendalikan oleh struktur (mungkin struktur regional), tetapi dapat pula terjadi bahwa struktur lokal di sini disebabkan oleh kegiatan gunungapi atau kegiatan magma.

Berdasarkan penafsiran potret udara dan hasil pengamatan di lapangan, struktur geologi yang berkembang di daerah kompleks Gunung Lokon – Empung dipisahkan menjadi Struktur Sesar dan Struktur Kawah.

Ada dua struktur sesar yang dapat dijumpai, yaitu Sesar Tatawiran dan Sesar Kinilow. Sesar tersebut kedua-duanya merupakan sesar normal yang arahnya relatif Utara-Selatan dan mengapit komplek Gunungapi Lokon-Empung. Pada sesar Tatawiran blok bagian Barat merupakan bagian yang relatif naik dibandingkan dengan blok bagian Timur. Kedua sesar tersebut membentuk suatu struktur graben. Ciri-ciri adanya sesar yang dapat dijumpai di lapangan adalah adanya kelurusan-kelurusan pada tebing sepanjang lembah yang dilalui oleh sesar,


(19)

kemudian adanya kelurusan sungai serta terdapatnya mataair liar dan mataair panas.

Magma yang fluid dan kental serta lebih ringan daripada batuan di sekitarnya cenderung terdorong keatas dan merupakan kisah awal terbentuknya gunungapi. Tumbukan dan tukikan di Sulawesi Utara miring ke arah Barat – Baratlaut sesuai arah gerakan lempeng samudera yang datang dari Timur. Oleh karena itu, magma yang naik secara tegak akhirnya cenderung mengikuti bidang lemah tersebut. Itu salah satu sebab di tanah Minahasa banyak dijumpai kerucut gunungapi yang berjejer Barat – Baratdaya.

Pada skala yang lebih sempit dengan melihat strukturnya secara lokal, kompleks Lokon – Empung berbatasan dengan Gunung Tatawiran di sebelah Barat dan Gunung Mahawu di sebelah Timur. Di sisi Timur Tatawiran dan sisi Barat Mahawu terbentuk sesar yang menyebabkan depresi dan terbentuk struktur graben. Pada jalur sesar tersebut merupakan bidang lemah yang arahnya Utara ke Selatan dan membelah Lokon-Empung sekaligus merupakan cikal bakal Gunung Lokon – Empung saat ini (Hidayat dkk, 2007).

Peta geologi untuk kompleks Gunungapi Lokon – Empung dapat dilihat pada Gambar 7.

2.3 Sejarah Letusan

Interval waktu antara letusan yang sangat panjang ( 400 tahun ) sebelum 1800, tetapi frekuensi letusan mendadak meningkat setelah 1829. Interval kegiatan letusan yang biasanya 1-4 tahun dengan periode dorman agak panjang 8–64 tahun.


(20)

12

Letusan besar terakhir terjadi pada tahun 1991, sedangkan letusan relatif kecil dalam 9 tahun terakhir.

Kegiatan letusan terakhir yang berulang dari 2001 sampai 2003. Letusan dimulai pada 19:20 waktu setempat pada tanggal 28 Januari 2001. Sebuah ledakan menghasilkan bahan pijar dan bom vulkanik jatuh di sekitar kawah Tompaluan. Sebuah letusan melemparkan abu gelap menggumpal setinggi 1.500 m di atas bibir kawah pukul 14.40 pada tanggal 26 Maret, dan awan abu melayang ke arah timur dan utara. Abu mulai turun di desa Kinilow dan Kakaskasen ( masing-masing 3,5 dan 4 km dari kawah) setelah 25 menit. Kegiatan perlahan menurun sampai 15:10, ketika emisi gas putih tebal naik tinggi di atas kawah setinggi 400 m. Abu yang jatuh setebal 0,3-0,5 cm di Kinilow, 0,1-0,3 cm di Kakaskasen, dan 1-2 cm di sekitar Sungai Pasahapen ~ 1 km dari kawah. Setelah ledakan awal, tremor vulkanik tercatat selama 15 menit pada pukul 14:42, memiliki amplitudo maksimum 2-16 mm pada drum perekam. Pada tanggal 20 Mei, bahan bercahaya naik setinggi 400 m pada 20:14 dan kemudian jatuh di sekitar kawah. Ledakan itu menghasilkan gumpalan awan abu-abu hitam yang naik mencapai 900 m dan melayang ke utara. Ledakan itu menghasilkan bahan pijar mencapai jarak 400 m dan terasa di sekitar kawah.

Pada tahun 2002, beberapa letusan terjadi menyemburkan abu ke ketinggian 1.500 m di atas bibir kawah dan mengendapkan abu dengan ketebalan 0,5-2 cm daerah sekitar dengan radius 4 km dari kawah pada bulan Februari, April dan Desember. Pada tahun 2003, beberapa ledakan terjadi pada tanggal 8, 10 dan 12 Februari, 27 Maret dan 1 April, menyemburkan abu pada ketinggian 1.400 m di atas kawah.


(21)

Suara boom dan ledakan terdengar di Pos Pengamatan Gunungapi Lokon. Abu melayang ke arah selatan dan diikuti oleh bahan bercahaya. Abu jatuh di sekitar taratara, Waloan, dan desa Kayawu dengan ketebalan 0,5 cm - 2,4 cm (Suparman dkk, 2012).

2.4. Geomorfologi

Geomorfologi kompleks Lokon Empung dibagi menjadi empat satuan, yaitu satuan geomorfologi kerucut, kawah, punggungan rendah dan bergelombang serta geomorfologi daratan.

Satuan geomorfologi kerucut menempati daerah sekitar tubuh Gunung Lokon dan Gunung Empung. Gunung Lokon mempunyai puncak yang datar tanpa kawah dengan kemiringan antara 30° - 70°. Sedangkan Gunung Empung mempunyai dua buah kerucut terpancung, yaitu Empung Muda di bagian barat dan Empung Tua di bagian timur, yang masing-masing mempunyai kawah di puncaknya. Pola aliran sungainya adalah radierdengan lembah berbentuk “V”, dengan tebing yang relatif curam. Vegetasi penutupnya berupa alang-alang yang cukup tebal.

Satuan geomorfologi kawah terdapat di Kawah Tompaluan dan Kawah Empung. Kawah Tompaluan merupakan kawah paling aktif saat ini yang terbentuk sekitar tahun 1828, sedangkan Kawah Empung tidak aktif lagi.

Satuan geomorfologi perbukitan rendah & bergelombang menempati sebagian besar lereng kompleks Lokon – Empung, merupakan morfologi yang membentuk punggungan yang landai serta bergelombang, sudut lerengnya < 30°. Batuan


(22)

14

pembentuknya berupa piroklastik dan lava. Sebagian besar daerah ini dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.

Satuan geomorfologi dataran menempati sepanjang pantai bagian utara, sekitar daerah Malalyang dan dataran tinggi Kakaskasen pada elevasi lebih kurang 800 m, umumnya digunakan sebagai daerah persawahan dan perkebunan kelapa (Hidayat dkk, 2007).

2.5. Stratigrafi

Batuan tertua yang mendasari seluruh satuan batuan di Kompeks Lokon – Empung adalah Vulkanik Tondano (To.V), tersingkap di selatan Gunung Lokon, berupa klastika gunungapi kasar, terutama bersifat andesitik, yang dicirikan oleh banyaknya batuapung, tufa, tufa lapili dan braksi ignimbrit sangat padat. Satuan ini diperkirakan sebagai hasil letusan hebat yang terjadi pada saat pembentukan Kaldera Tondano atau pada saat Orogenesa Plio-Pleistosen.

Sebagai akibat adanya orogenesa tersebut, di daerah Minahasa banyak terbentuk struktur dan zona lemah. Pada awal Kuarter di daerah zona lemah inilah bermunculan sumber-sumber erupsi, diantaranya Gunung Tatawiran dan Gunung Mahawu yang masing-masing menghasilkan satuan batuan Vulkanik Tatawiran (Ta.V), sebagian besar berupa lava dan satuan Vulkanik Mahawu (M.V), juga umumya berupa lava andesitik.

Pada sisi timur Gunung Tatawiran dan sisi barat Gunung Mahawu terjadi sesar normal yang berarah Utara-Selatan. Akibat sesar ini diantara kedua gunung tersebut terjadi penurunan/ depresi yang membentuk struktur graben. Pada zona


(23)

lemah inilah kemudian muncul titik-titik erupsi baru yang membentuk kompleks Lokon-Empung.

Fase pertama adalah erupsi pembentukan Bukit Pineleng, menghasilkan batuan Lava Pineleng (Pi.l) dan dilanjutkan dengan erupsi fase kedua yang membentuk Bukit Punuk, menghasilkan Lava Punuk 1 (P.l1) dan Lava Punuk 2 (P.l2). Lava tersebut umumnya bersifat andesitik dengan piroksen sebagai masa dasar.

Fase ketiga adalah erupsi pembentukan Gunung Empung, yang umumnya menghasilkan lava. Satuan batuan ini sebagian tersebar ke arah Timur-Timurlaut. Satuan batuan tersebut dikelompokkan menjadi satuan Lava Empung Tua 1 (ET.l1), Lava Empung Tua 2 (ET.l2), Lava Empung Tua 3 (ET.l3), Lava Empung Tua 4 (ET.l4), Lava Empung Tua 5 (ET.l5), umumnya bersifat andesitik-andesitik basaltik.

Fase keempat pembentukan Gunung Lokon. Pada fase ini terjadi perselingan antara erupsi efusif yang menghasilkan satuan batuan lava dan erupsi eksplosif yang menghasilkan endapan satuan batuan aliran piroklastik dan jatuhan yang penyebarannya sebagian besar ke arah Timur sampai Selatan. Secara berurutan satuan batuan ini terdiri dari satuan batuan Lava Lokon 1 (L.l1), Lava Lokon 2 (L.l2), Aliran Piroklastik Lokon 1 (L.ap1), Lava Lokon 3 (L.l3), Aliran Piroklastik Lokon 2 (L.ap2), Lava Lokon 4 (L.l4), Aliran Piroklastik Lokon 3 (L.ap3), Lava Lokon 5 (L.l5), Lava Lokon 6 (L.l6) dan Jatuhan Piroklastik Lokon (L.jp). Satuan batuan Lava Lokon umumnya bersifat andesitik basaltik.

Fase kelima pusat kegiatan kembali lagi ke Gunung Empung, secara berurutan menghasilkan satuan batuan Lava Empung 1 (E.l1), Lava Empung 2 (E.l2), Lava


(24)

16

Empung 3 (E.l3), Lava Empung 4 (E.l4), Lava Empung 5 (E.l5), Lava Empung 6 (E.l6) dan diakhiri dengan erupsi yang menghasilkan endapan Jatuhan Piroklastik Empung (E.jp), penyebarannya hanya disekitar puncak.

Fase keenam terjadi pada tahun 1829 berupa letusan samping (flank eruption) Gunung Lokon dan mengambil tempat pada sadel diantara Gunung Lokon dan Gunung Empung. Pusat erupsi tersebut kini dikenal sebagai Kawah Tompaluan. Fase ini merupakan fase terakhir dan masih berlangsung hingga sekarang. Satuan batuan yang dihasilkan terdiri dari satuan Aliran Piroklastik Tompaluan (T.ap) dan Jatuhan Piroklastik (T.jp). Letusan besar terakhir terjadi pada tahun 1991, menghasilkan endapan aliran piroklastik (awan panas) yang mengalir ke arah Lembah Pasahapen dan jatuhan piroklastik berupa bom, lapili dan abu (Hidayat dkk, 2007).


(25)

(26)

BAB III TEORI DASAR

3. 1. Gelombang Seismik

Gelombang seismik merupakan gelombang yang menjalar di dalam bumi disebabkan adanya deformasi struktur, tekanan ataupun tarikan karena sifat keelastisan kerak bumi. Gelombang ini membawa energi kemudian menjalarkan ke segala arah di seluruh bagian bumi dan mampu dicatat oleh seismograf (Siswowidjoyo, 1996).

3.1.1. Gelombang badan (body wave) 1. Gelombang primer (P)

Gelombang Primer atau gelombang kompresi merupakan gelombang badan (body wave) yang memiliki kecepatan paling tinggi dari gelombang S. Gelombang ini merupakan gelombang longitudinal partikel yang merambat bolak balik dengan arah rambatnya. Gelombang ini terjadi karena adanya tekanan. Karena memiliki kecepatan tinggi gelombang ini memiliki waktu tiba terlebih dahulu dari pada gelombang S. Kecepatan gelombang P (VP) adalah ±5 – 7 km/s di kerak bumi, > 8 km/s di dalam mantel dan inti bumi, ±1,5 km/s di dalam air, dan ± 0,3 km/s di udara.


(27)

Gambar 8. Ilustrasi gerak gelombang primer (Hidayati, 2010) 2. Gelombang sekunder (S)

Gelombang S atau gelombang transversal (Shear wave) adalah salah satu gelombang badan (body wave) yang memiliki gerak partikel tegak lurus terhadap arah rambatnya serta waktu tibanya setelah gelombang P. Gelombang ini tidak dapat merambat pada fluida, sehingga pada inti bumi bagian luar tidak dapat terdeteksi sedangkan pada inti bumi bagian dalam mampu dilewati. Kecepatan gelombang S (VS) adalah ± 3 – 4 km/s di kerak bumi, > 4,5 km/s di dalam mantel bumi, dan 2,5 – 3,0 km/s di dalam inti bumi (Hidayati, 2010).

Gambar 9. Ilustrasi gerak gelombang sekunder (Hidayati, 2010) 3.1.2. Gelombang permukaan (surface wave)

1. Gelombang Love

Gelombang ini merupakan gelombang yang arah rambat partikelnya bergetar melintang terhadap arah penjalarannya. Gelombang Love


(28)

20 merupakan gelombang transversal, kecepatan gelombang ini di permukaan bumi (VL) adalah ± 2,0 – 4,4 km/s (Hidayati, 2010).

Gambar 10. Ilustrasi gerak gelombang Love (Hidayati, 2010) 2. Gelombang Rayleigh

Gelombang Rayleigh merupakan jenis gelombang permukaan yang memiliki kecepatan (VR) adalah ± 2,0 – 4,2 km/s di dalam bumi. Arah rambatnya bergerak tegak lurus terhadap arah rambat dan searah bidang datar (Hidayati, 2010).


(29)

3.2. Gempa Vulkanik

3.2.1. Definisi gempa vulkanik

Gempa vulkanik (gunungapi), yaitu gempa yang terjadi karena adanya aktivitas gunungapi, baik berupa gerakan magma yang menuju ke permukaan maupun letusan atau hembusan gas yang dikeluarkan dari tubuh gunungapi (Hidayati, 2010).

3.2.2. Klasifikasi gempa vulkanik

Klasifikasi gempa vulkanik dikelompokkan oleh T. Minakami berdasarkan bentuk rekaman gempa, perkiraan hiposenternya dan perkiraan proses yang terjadi di dalam tubuh gunungapi (Suantika, 2007).

1. Gempa vulkanik dalam (tipe A/VA)

Sumber dari tipe gempa ini terletak di bawah gunungapi pada kedalaman 1 sampai 20 km, biasanya muncul pada gunungapi yang aktif. Gempa tipe A dapat disebabkan oleh adanya magma yang naik ke permukaan yang disertai rekahan-rekahan. Ciri utama dari gempa tipe A ini adalah selisih waktu tiba gelombang Primer (P) dan gelombang Sekunder (S) sampai 5 detik dan berdasarkan sifat fisisnya, gempa ini bentuknya mirip dengan gempa tektonik.


(30)

22

Gambar 12. Contoh rekaman seismik gempa tipe A (Hidayati, 2010) 2. Gempa vulkanik dangkal (tipe B/VB)

Sumber gempa vulkanik tipe B diperkirakan kurang dari 1 km dari kawah gunungapi yang aktif. Gerakan awalnya cukup jelas dengan waktu tiba gelombang S yang tidak jelas dan mempunyai nilai magnitudo yang kecil. Selisih waktu tiba gelombang p dan gelombang s kurang dari 1 detik.

Gambar 13. Contoh rekaman seismik gempa tipe B (Hidayati, 2010) Dalam pelaksanaanya, untuk membedakan gempa vulkanik dangkal dan dalam dibedakan dari bisa dibacanya waktu tiba gelombang S. Bila waktu tiba gelombang S tidak dapat dibaca dikategorikan sebagai gempa vulkanik dangkal dan bila dapat dibaca (walau di bawah 1 s) dikategorikan ke dalam gempa vulkanik dalam.


(31)

3. Gempa letusan

Gempa letusan disebabkan oleh terjadinya letusan yang bersifat eksplosif. Berdasarkan hasil pengamatan seismik sampai saat ini dapat dikatakan bahwa gerakan pertama dari gempa letusan adalah push-up atau gerakan ke atas. Dengan kata lain, gempa letusan ditimbulkan oleh mekanisme sebuah sumber tunggal yang positif.

Gambar 14. Contoh rekaman seismik gempa letusan (Hidayati, 2010) 4. Gempa tremor

Gempa tremor merupakan gempa yang menerus terjadi di sekitar gunungapi, jenis gempa ini dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :

a. Tremor Harmonik, getaran yang menerus secara sinusoidal. Kedalaman sumber gempa diperkirakan antara 5 – 15 km dan

b. Tremor Spasmodik, getaran terus menerus tetapi tidak beraturan. Sumber gempabumi diperkirakan mempunyai kedalaman antara 45 -60 km.

Salah satu contoh dari tremor adalah letusan tipe Hawaii yang selalu berulang tiap beberapa detik dan akan berakhir dalam waktu yang cukup lama. Tremor yang ditimbulkan oleh letusan-letusan tersebut selalu


(32)

24 berulang-ulang, sehingga dalam seismogram terlihat sebagai getaran yang menerus saling bertumpukan.

Gambar 15. Contoh rekaman seismik gempa tremor harmonik (Hidayati, 2010)

Gambar 16. Contoh rekaman seismik gempa tremor spasmodik (Hidayati, 2010) 3.2.3. Parameter fisis gelombang gempabumi

Adapun parameter fisis gelombang gempabumi, yaitu sebagai berikut:

1. (S-P), yaitu selisih waktu antara gelombang primer dan gelombang sekunder pada seismograf yang dinyatakan dalam detik.

2. Durasi gempa, yaitu waktu yang diperlukan oleh suatu gelombang gempa dari saat waktu tiba gelombang Primer sampai gelombang gempa berhenti sama sekali yang dinyatakan dalam detik.

3. Waktu terjadinya gempa (t0) adalah waktu tiba gelombang P pada seismograf dikurangi hasil perhitungan waktu yang diperlukan oleh getaran untuk mencapai seismograf dari sumber.


(33)

Gambar 17. Parameter fisis gelombang gempabumi (Hidayati, 2010) 3.3. Penentuan Hiposenter dan Episenter Gempa Vulkanik

Titik dalam perut bumi yang merupakan sumber gempa dinamakan hiposenter atau focus. Sedangkan, episenter merupakan lokasi dipermukaan yang merupakan proyeksi vertikal dari titik hiposenter. Gempa dangkal menimbulkan efek goncangan yang lebih dahsyat dibanding gempa dalam. Ini karena letak fokus lebih dekat ke permukaan, dimana batu-batuan bersifat lebih keras, sehingga melepaskan lebih besar regangan (strain).

3.3.1. Menghitung hiposenter dan episenter dengan metode Lingkaran

Metode lingkaran merupakan salah satu metoda konvensional dalam penentuan episenter dan hiposenter. Teknik ini dapat digunakan baik untuk kasus dua stasiun maupun tiga stasiun serta diturunkan dari anggapan bahwa gelombang seismik merambat dalam medium homogen isotropis, sehingga kecepatan kecepatan gelombang tetap dalam penjalarannya (Suantika, 2007).

Pada penentuan episenter dan hiposenter dibutuhkan hasil rekaman gempa, yaitu waktu tiba gelombang P, waktu tiba gelombang S pada tiap stasiun. Juga selisih waktu tiba kedua gelombang (S-P) akan terus bertambah sebanding dengan


(34)

26 bertambahnya jarak tempuh (D) kedua gelombang tersebut. Hubungan yang lebih jelas dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 18. Penjalaran gelombang P dan S

Untuk itu diperlukan terlebih dahulu jari-jari lingkaran (D) yang dihitung sebagai berikut :

D = K (ts – tp) (1)

=

(2)

Dimana k adalah konstanta Omori , Vp dan Vs adalah cepat rambat gelombang primer (P) dan gelombang sekunder (S) dalam km/s. Serta nilai Vp > Vs. tp dan ts adalah waktu tiba gelombang P dan S dalam detik, serta tp < ts. Sedangkan Vp/Vs merupakan perbandingan antara cepat rambat gelombang P dan gelombang S. to adalah waktu terjadinya gempa bumi.

Jarak tempuh gelombang P dan S dari pusat gempa (S) ke stasiun (R) adalah: D = Vp (tp – to) ; D = Vs (ts – to) (3) Untuk menentukan waktu terjadinya gempa, dibutuhkan posisi koordinat stasiun pengamatan, kecepatan gelombang primer dan sekunder (Vp dan Vs), dan waktu tiba geombang primer dan sekunder (tp dan ts).


(35)

Dari persamaan (3.3), maka persamaan untuk menentukan waktu terjadinya gempa dapat ditentukan sebagai berikut:

(4)

Untuk kasus tiga stasiun maka jari-jari lingkaran dihitung untuk setiap stasiun, lalu dibuat lingkaran dengan pusat pada masing-masing stasiun dengan jari-jari lingkaran yang telah dihitung. Pada daerah yang dibatasi oleh perpotongan ketiga lingkaran maka ditarik ketiga garis dari titik-titik perpotongannya sehingga diperoleh suatu segitiga. Perpotongan garis bagi ketiga sisi-sisi segitiga tersebut adalah episenter.

Gambar 19. Episenter tiga lingkaran (Hidayati, 2010)

rA = K (ts – tp) (6)

rB = K (ts – tp) (7)

rC = K (ts – tp) (8)

dengan, E = Episenter

H = Hiposenter EH= kedalaman


(36)

28 3.3.2. Menghitung hiposenter menggunakan metode Geiger

Metode Geiger menggunakan data waktu tiba gelombang P dan atau gelombang S. Anggapan yang digunakan adalah bahwa bumi terdiri dari lapisan datar yang homogen isotropik, sehingga waktu tiba gelombang gempa yang karena pemantulan dan pembiasan untuk setiap lapisan dapat dihitung. Cara yang digunakan dengan memberikan harga awal hiposenter, kemudian menghitung waktu rambat gelombang untuk setiap stasiun yang digunakan. Dari perhitungan ini didapatkan residu, yaitu perbedaan antara waktu rambat gelombang yang diamati dengan waktu rambat gelombang yang dihitung untuk setiap stasiun. Berikut ini kode dari metode Geiger, yang terdiri dari kode utama RelocationGeigerMethod.m , dan kode-kode pendukung seperti ray tracing, event gather, dan matrix jacobi.

ri

=

+

+

+

(9)

dimana ri adalah residual atau deviation time antara calculation time dan observation time. Di ruas kanan merupakan perkalian turunan waktu tempuh terhadap posisi hiposenter (x,y,z) serta origin time. Persamaan ini dapat diubah dalam persamaan matrix dan diselesaikan secara iteratif. Adapun kode-kode yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran I (Syahputra, 2012).

Perkembangan perhitungan numerik dan teknik komputasi dewasa ini mengisyaratkan bahwa metode ini adalah yang paling cocok digunakan. Berdasarkan metode ini ditulis program-program lokalisasi sumber gempa seperti yang dikembangkan oleh beberapa peneliti dengan menjaga stabilitas


(37)

komputasinya. Meskipun demikian, metode Geiger ini masih mempunyai kesalahan perhitungan, terutama apabila data yang digunakan berasal dari stasiun dengan jarak yang relatif jauh. Variasi kecepatan gelombang seismik pada jarak tersebut ternyata tidak dapat dihitung dengan tepat. Variasi kecepatan gelombang sebesar lebih kurang 0,2 km/detik ternyata memberikan kesalahan penentuan posisi hiposenter sampai beberapa puluh kilometer. Oleh karena itu, metode ini hanya dapat digunakan dengan tepat untuk menentukan posisi hiposenter dan waktu asal dari suatu gempa yang bersifat lokal (Salomo, 2012).

3.4. Atenuasi Gelombang Seismik dan Q-factor

Pada penyebaran gelombang di Bumi kita ketahui bahwa idealnya bumi memiliki sifat murni elastis, sehingga gelombang seismik mengalami refleksi, refraksi dan transmisi energi pada batas kontrol amplitudo dari pulsa seismik. Bumi sebenarnya tidak elastis sempurna, dan propagasi gelombang mengalami pelemahan seiring dengan berjalannya waktu karena berbagai mekanisme pelepasan energi (Lay dan Wallace, 1995).

Pengaruh atenuasi terhadap sinyal seismik dapat dilihat pada penurunan amplitudo dan melebarnya sinyal (panjang gelombang). Hal ini menunjukan bahwa atenuasi merupakan gabungan antara pengurangan energi dan penyerapan frekuensi secara simultan, karena medium yang dilewati gelombang seismik memiliki tingkat redaman yang berbeda-beda maka penyerapan frekuensi oleh medium tersebut tidak sama.

Dalam media nyata, amplitudo suatu sistem osilasi meluruh dengan waktu nol. Sistem tersebut digambarkan sebagai sistem teredam. Hal ini biasanya hasil dari


(38)

30 konversi energi kinetik menjadi panas, yang terjadi karena gesekan, gaya redaman. Gelombang gempa yang merambat di dalam bumi akan kehilangan amplitudo dan dilemahkan. Kedua mekanisme yang berkontribusi pada kejadian ini adalah atenuasi intrinsik/ anelastik dan atenuasi semu.

Hasil dari atenuasi intrinsik/ anelastik adalah hilangnya mekanisme aktual seperti resonansi teredam, relaksasi dan kekentalan. Kesemuanya terkait dengan gesekan internal medium.

Atenuasi semu mungkin dihasilkan dari efek geometri, seperti refraksi, refleksi, dan hamburan (scattering). Hamburan energi gelombang dipercaya karena perbandingan inhomogenitas dalam skala ke panjang gelombang pada gelombang elastis. Atenuasi ini linier dan bergantung pada frekuensi (Joan dkk, 1996)

Perpindahan energi potensial (posisi partikel) ke energi kinetik (kecepatan partikel) berturut-turut sebagai sebuah propagasi gelombang tidak sepenuhnya dapat kembali seperti perpindahan mineral selama dislokasi atau penyebaran panas pada batas butir yang menghasilkan energi gelombang. Kesamaan proses ini biasa dideskripsikan sebagai gesekan internal (internal friction), dan efek dari gesekan internal dapat dimodelkan dengan penggambaran gejala logis karena proses mikrosopik yang komplek.

Penggambaran sederhana dari atenuasi dapat dibentuk dari gerak bolak-balik atau osilasi massa pada sebuah pegas (Gambar 19).


(39)

Gambar 20. Model gejala logis untuk atenuasi seismik (Lay dan Wallace, 1995) Ilustrasi pegas di atas merepresentasikan proses elastisitas dalam Bumi. Gaya f merepresentasikan gesekan yang berlawanan dengan gerak massa. Pada gambar diatas massa m ditambahkan pada sebuah pegas dengan konstanta k (k adalah ukuran kekakuan pegas) terdorong-dorong sepanjang permukaan penampang. Persamaan gerak untuk gabungan sistem gaya pemulihan pegas ke gaya inersia diberikan oleh perpindahan massa:

m ̈ +kx = 0 (10)

solusi umum untuk persamaan ini adalah osilasi harmonik:

x = + (11)

ω0 = ⁄

Saat massa ditarik maka akan terjadi gerakan yang belanjut terus menerus, sehingga terjadi osilasi pada frekuensi alami pada sistem ω0. Atenuasi dapat dikenali dengan penambahan gaya redaman, seperti gesek antara perpindahan massa dan permukaan penampang. Pada kasus ini ada penambahan gaya, sesuai kecepatan massa:


(40)

32

m ̈+ ̇ + kx = 0 (12)

atau

̈ + ̇ + = 0 (13)

dimana, = ( ⁄ ), dan = (k/m)1/2. dan disebut koefisien gesekan. Penyelesaian dari persamaan (13) adalah

x(t) = sin √1 − , (14)

dimana = A(ε). Persamaan ini adalah osilasi selaras yang meluruh secara eksponensial terhadap waktu. Jika ε = 0 (tidak teratenuasi), Pers (14) kembali pada Pers (11). ε dapat dinyatakan dalam formula faktor kualitas (quality factor), Q-factor:

ε = (15)

Dengan menggunakan Pers (15), amplitudo sebagai fungsi waktu dapat dituliskan menjadi

A(t) = / (16)

dimana Q-factor merupakan fraksi dari energi gelombang yang hilang per siklus saat gelombang merambat. Dengan kata lain

=

∆ (17)

Q =


(41)

dimana, E = energi tegangan (strain) maksimum dalam volum

-∆E = energi yang hilang disetiap siklus karena ketidaksempurnaan elastisitas material (medium)

Hal ini lebih mudah dipahami dalam istilah logaritma pengurangan, δ, yang mana merupakan logaritma dari rasio amplitudo siklus osilasi berurutan

δ = ln(A1/A2) (19)

Karena energi sebanding dengan kuadrat amplitudo, sehingga

2 ln A = ln E (20)

Dengan menggabungkan Pers (16) dengan (19), dimana amplitudo satu periode (T0 = 2π/ω0) akan memberikan

Q = π/ δ (21)

Sehingga persamaan untuk amplitudo sebagai fungsi jarak waktu tempuh adalah:

A(x) = (22)

dimana, A0 = Amplitudo awal

f = frekuensi gelombang seismik (Hz)

v = cepat rambat gelombang seismik primer dalam medium (km/s) Q = Q-factor

Dari persamaan (14) diketahui bahwa peluruhan terjadi secara eksponensial sehingga persamaan garis yang dipilih adalah persamaan garis eksponensial.


(42)

34 Penentuan nilai Q-factor akan didasarkan pada analisis grafik hubungan antara puncak-puncak suatu event gempa dengan waktu kejadiannya (t).

Persamaan (22) menunjukan bahwa nilai konstanta Q-factor gelombang high-frekuensi akan teratenuasi lebih cepat daripada gelombang low-frekuensi. Ini dikarenakan untuk jarak tertentu gelombang high-frekuensi lebih cepat terosilasi daripada gelombang low-frekuensi. Waktu tempuh gelombang bergantung pada darimana sumber berasal. Sehingga pulsa melebar pada jarak yang berurutan. Pulsa komponen high-frekuensi kemudian menghilang selama atenuasi.

Energi yang hilang selama proses nonelastis ini biasanya diukur oleh atenuasi intrinsik dan diparameteri oleh Q (Q-factor). Nilai Q-factor yang lebih besar menunjukkan atenuasi yang kecil. Jika Q-factor mendekati nol maka berarti atenuasinya sangan kuat. Q-factor untuk gelombang P (Q ) didalam bumi secara sistematis lebih besar daripada Q-factor untuk gelombang S (Qβ). Sehingga atenuasi intrisik yang terjadi selama penjalaran gelombang dikaitkan dengan perpindahan lateral dari efek kisi dan batas butir (Lay dan Wallace, 1995).

Q-factor dapat didefinisikan sebagai perbandingan antar frekuensi dominan gelombang seismik terhadap koefisien atenuasinya, sehingga Q-factor bergantung terhadap faktor atenuasi medium. Jadi dapat disimpulan bahwa Q-factor merupakan ukuran kemampuan suatu medium untuk meloloskan gelombang yang melaluinya.

Secara umum, Q-factor meningkat seiring dengan membesarnya densitas suatu material (batuan) dan juga kecepatan intrinsi batuan (cepat rambat sinyal seismik


(43)

batuan) tersebut. Tabel 2 menunjukkan nilai Q-factor untuk beberapa jenis batuan oleh Sherrif dan Geldart, 1955 dalam Ernawati 2011.

Tabel 2. Nilai Q untuk beberapa jenis batuan (Sherrif dan Geldart, 1955 dalam Ernawati 2011)

Jenis Batuan Q (λ/dB)

Batuan sedimen 20–200

Batu pasir 70-130

Batu lempung 20-70

Batu gamping 50-200

Batu kapur 135

Dolomite 190

Batuan dan rongga berisi gas

5-50

Batuan metamorf 200-400

Batuan beku 75-300

Didalam kajian ilmu teknik, atenuasi biasanya diukur dalam satuan desibel per satuan panjang medium (kabel, tembaga, udara, air, serat optik, dan sebagainya) maka satuan dari atenuasi sering dituliskan dB/cm atau dB/km. Namun, atenuasi yang diukur dalam penelitian ini adalah atenuasi dari rekaman gelombang seismik yang berupa gelombang sinusoidal, maka satuan dari atenuasi gelombang dapat dituliskan dB/λ. Dimana λ merupakan simbol untuk panjang gelombang dalam SI adalah meter (m). Dengan kata lain, satuan dari atenuasi rekaman gelombang seismik adalah desibel persatuan panjang gelombang. (Ernawati, 2011).


(44)

36 Pengukuran Q-factor sebenarnya bervariasi lateral dengan urutan kekuatan atau magnituda dalam bumi, perbedaannya jauh lebih besar daripada kecepatan seismik yang diamati (10% variasi). Mekanisme atenuasi intrinsik (batas butir dan kerusakan kristal batuan akibat gesekan ) sangat sensitif terhadap tekanan dan kondisi temperatur. Ini berarti bahwa, Q-factor akan bervariasi di dalam bumi sebagai fungsi temperatur yang heterogen. Daerah tektonik aktif biasanya memiliki aliran panas yang relatif tinggi dan atenuasi tinggi dari daerah yang memiliki aliran panas rendah atau daerah yang lebih dingin. Ini merupakan bentuk dari aktivasi termal pada mekanisme atenuasi (Lay dan Wallace, 1995).

Sumber gempa yang lebih dangkal yang terletak pada tubuh gunungapi juga akan menghasilkan atenuasi gempa yang tinggi dan intensitasnya akan menurun lebih cepat (Zobin, 2012).

3.5. Hubungan Aktivitas Vulkanik dengan Letusan Gunungapi

Gempabumi pada gunungapi disebabkan oleh adanya aktivitas vulkanik, baik berupa gerakan magma yang menuju ke permukaan maupun letusan atau hembusan gas yang dikeluarkan dari tubuh gunungapi. Letusan gunungapi disebabkan oleh gaya yang berasal dari dalam bumi akibat terganggunya sistem kesetimbangan magma (kesetimbangan suhu, termodinamika dan hidrosratik) dan sistem kesetimbangan geologi (kesetimbangan gaya tarik bumi, kimia-fisika, dan panas bumi). Dan letusan gunungapi adalah suatu kenampakan gejala vulkanisme ke arah permukaan, atau suatu aspek kimiawi pemindahan tenaga ke arah permukaan, yang bergantung pada kandungan tenaga dalam dapur magma yang


(45)

dipengaruhi oleh keluaran panas pada saat magma mendingin dan tekanan gas selama pembekuannya (Siswowidjoyo, 1996).

Pada Gambar 20 diperlihatkan dengan jelas bagaimana letusan gunungapi terjadi. Magma yang mengandung gas, sedikit demi sedikit naik ke permukaan karena massanya yang lebih ringan dibanding batu-batuan padat di sekelilingnya. Sehingga menyebabkan gempa vulkanik yang menyebabkan rekahan-rekahan pada dinding magma. Rekahan akibat desakan magma ini menyebabkan sumbat magma runtuh dan air yang berada diatas sumbat masuk ke magma dan mendidih dengan cepat. Tekanan uap akibat air yang mendidih inilah yang dapat menimbulkan ledakan sehingga, tekanan magma keatas menjadi lebih mudah karena adanya retakan pada sumbat magma. Seluruh air pada danau pun langsung menyentuh magma langsung berubah menjadi uap yang bertekanan tinggi sehingga tekanan magma mendesak keatas semakin tak terbendung. Akibat letusan ini rekahan-rekahan dapat menimbulkan longsoran baik ke dalam maupun ke luar. Apabila tekanan magma cukup besar maka akan terjadi letusan magmatik yang menyebabkan dinding kawah runtuh. Letusan ini dapat menyebabkan keluarnya lahar, material vulkanik bercampur air, debu dan awan vulkanik.

Gempa vulkanik biasa terjadi sebelum, sesaat maupun sesudah letusan. Tetapi gejala tersebut tidak selalu sama pada tiap-tiap gunungapi. Mungkin saja terjadi, gempa vulkanik sebelum letusan jumlahnya lebih banyak dari pada sesudahnya. Suatu kenyataan bahwa meskipun gunungapi itu mempunyai batuan yang sejenis, bahkan pada gunungapi yang sama sekalipun, gejala kegempaan sehubungan dengan letusan tidak selalu sama. Perbedaan diantaranya disebabkan oleh struktur batuan masing – masing gunungapi. Sedangkan perubahan gejala mungkin karena


(46)

38 perubahan kekentalan magma, proses mineralisasi dalam magma ketika terjadi pendinginan dalam perjalanannya menuju kepermukaan bumi yang dapat merubah mekanisma letusan dan masih banyak kemungkinan – kemungkinan lainnya (Siswowidjojo, 1996).


(47)

3.6.Sistem Penerima Seismograf

Untuk memperoleh data seismik, instrumentasi yang digunakan adalah seismograf, dan untuk saai ini hampir seluruh Pos Gunungapi di Indonesia menggunaan seismograf yang bekerja dengan sistim RTS (Radio Telemetry System) baik digital maupun analog. Data ditransmitkan ke Pos pemngamatan dengan tenik propagasi gelombang radio. Di Pos data diterima Receiver, didemodulasikan oleh diskriminator menjadi tegangan analog kembali, dan direkam ke seismogram dengan galvanometer, ini adalah prinsip RTS analog. Untuk RTS digital prinsipnya hampir sama, hanya pada transmiter, data yang dimodulasikan sudah berupa data-data digital. Tentunya dengan mengubah data analog seismometer menjadi digital menggunakan ADC (Analog to Digital Converter).

Berbeda dengan seismograf analog yang amplitudo rekaman gelombangnya dalam satuan milimeter (mm), amplitudo rekaman gelombang seismik digital tidak memiliki satuan. Namun untuk memperoleh satuan dari amplitudo rekaman seismik digital maka perlu dilakukan konversi terlebih dahulu. Konversi yang dilakukan bergantung spesifikasi alat yang digunakan (Ernawati, 2011).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam konversi amplitudo rekaman seismik digital adalah:

1. Sensitivitas alat

Setiap seismograf memiliki sensitivitas yang berbeda-beda, bergantung pada jenis dan tipenya. Contoh:


(48)

40  LS-1 Ranger memiliki sensitivitas 345 V/(m/s) dan frekuensi alami

alat 1 Hz

 L4-C memiliki sensitivitas 300 V/(m/s) dan frekuensi alami alat 1 Hz  L 22 memiliki sensitivitas 77 V/(m/s) dan frekuensi alami alat 2 Hz 2. Perbesaran alat

3. Nilai digital dari rekaman Datamark LS 7000

Pada Datamark LS 7000, 1 digit = 2.4445 x 10-6 Vm/s. Jadi, harga konversi amplitudo digital adalah:


(49)

BAB IV

METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dimulai Pada bulan November 2012 hingga April 2013 dan bertempat di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Bandung, Jawa Barat dan di Laboratorium Pengolahan dan Pemodelan Data Geofisika, Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknik, Universitas Lampung.

Tabel 3. Jadwal Penelitian

Kegiatan Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4 Bulan 5 Bulan 6

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Studi Literatur

Pengolahan Data Pemodelan dan

Visualisasi Seminar Usul

Analisis dan interpretasi Seminar Hasil

Laporan

4.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Laptop (Operation System Windows)

2. Software Seisan, Swarm2, GAD, Origin 7.0 dan Mathlab 11.


(50)

42 ketinggian Gunung Lokon serta data koordinat kelima stasiun seismik.

4.3. Prosedur Penelitian

4.3.1. Menentukan waktu tiba gelombang primer (P) dan gelombang sekunder (S)

Data rekaman seismik yang diperoleh berupa data rekaman aktivitas vulkanik per 10 menit yang terekam di empat stasiun pemantau gunungapi di Gunung Lokon. Sebelum dilakukan picking watu tiba gelombang P dan S terlebih dahulu dilakukan identifikasi gempa vulkanik A dan vulkanik B lalu dikelompokkan berdasarkan waktu pra letusan, fase letusan, dan pasca letusan. Data seismik yang diperoleh adalah data dengan format seisan maka pembacaan data gelombang seismik digital dilakukan dengan menggunakan software Seisan. Software ini membaca gempa per 10 menit yang berasal dari kelima stasiun di Gunung Lokon. Berikut ini adalah tampilan dari software Seisan:


(51)

Namun karena untuk menentukan waktu tiba gelombang P dan S dengan software

ini agak sulit, maka data yang sudah diidentifikasi sebagai gempa vulkanik A dan vulkanik B di konversi ke dalam format sac file agar dapat dibaca dengan

softwareSwarm2 untuk kemudian dilakukan picking waktu tiba gelombang P dan S nya.

Gambar 23. Tampilan pembacaan serta picking waktu tiba gelombang P dan S Hasil picking berupa data waktu tiba gelombang P dan S kemudian dicatat dalam

notepad.

4.3.2. Menentukan Hiposenter Gempa

Hiposenter gempa ditentukan dengan menggunakan software GAD (Geiger’s method with Adaptive Damping). Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

1. Membuat file stasiun dalam notepad simpan dalam format “.dat” 2. Membuat file kecepatan (Velocity.dat)

3. Membuat file waktu tiba gelombang atau hasil picking (Arrival.dat) 4. Membuat file untuk hasil run GAD (Result.dat)


(52)

44 5. Tempatkan semua file (stasiun, kecepatan, waktu tiba, dan hasil) dalam

satu folder bersama dengan software GAD. Kemudian di run.

6. Hasil run GAD dapat dilihat di result.dat, dari sini diperoleh koordinat x, y dan z hiposenter gempa dan rms nya lalu dicatat.

4.3.3. Plotting Hiposenter

Plotting hiposenter dan episenter dilakukan dengan software Origin 7.0 dan Mathlab11 (script di lampiran). Untuk plotting dengan software Origin 7.0 langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

1. Membuka data kontur, stasiun dan data waktu tiba gelombang P dan S . 2. Membuat data penampang Barat – Timur dan Utara – Selatan gunung

Lokon dari data kontur.

3. Membuat peta kontur gunung Lokon.

4. Membuat penampang Barat – Timur dan Utara – Selatan.

5. Plotting episenter pada peta kontur. 6. Plotting hiposenter pada peta penampang.

4.3.4. Koefisien Atenuasi

Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab III, koefisien atenuasi gelombang diperoleh dari persamaan peluruhan gelombang, yaitu:

= A(ε)

Dimana ε merupakan koefisien gesekan atau koefisien atenuasi yang biasa disimbolkan dengan α. Sedangkan persamaan untuk amplitudo sebagai fungsi jarak waktu tempuh adalah (pers 22):


(53)

Sehingga untuk memperoleh nilai koefisien atenuasi gelombang, maka harus ditentukan persamaan eksponensial dari peluruhan gelombang seismik tersebut dengan picking nilai amplitudo puncak gelombang tertinggi seismik terhadap waktu.

Gambar 24. Tampilan cara menentukan nilai amplitudo gelombang

Kemudian nilai dari puncak tersebut diplot dalam bentuk scatter dan ditentukan persamaan eksponensialnya dengan melakukan curvefitting.


(54)

46

Fitting dilakukan dengan menggunakan persamaan Eksponensial 2 Mode 2 dengan rumus

y =

.

Gambar 26. Tampilan kurva persamaan Eksponensial

Selanjutnya grafik scatter ini kemudian dikembalikan datanya dengan data seismik sehingga hasilnya akan seperti gambar berikut.


(55)

Nilai koefisien atenuasinya dapat dilihat langsung pada nilai b di kolom kecil pada grafik di atas. Persamaan eksponensial tersebut kemudian disetarakan dengan persamaan atenuasi amplitudo gelombang (pers 22) untuk memperoleh hubungan antara koefisien atenuasi (b) dengan Q-factor. Selanjutnya dianalisis Q-factor dan karakteristik peluruhan sinyal gelombang gempa nya berdasarkan pra letusan, fase letusan, dan pasca letusan.


(56)

4.4. Diagram Alir

48

Analisis Hasil Selesai

Identifikasi gempa tipe A dan tipe B Rekaman Seismik Gunung Lokon

Pengelompokkan Gempa Pra letusan, Fase letusan, dan Pasca letusan

Picking tp dan ts masing-masing stasiun

Waktu tiba gelombang P (tp) dan S (ts) Menentukan Hiposenter

Plotting Hiposenter dan Episenter

Menentukan koefisien atenuasi (b) Pers. Eksponensial dan Koefisien

Atenuasi Penyetaraan Pers. Atenuasi dan

Pers. Eksponensial

Korelasi b (koef. Atenuasi) dengan Q-factor

Peta Episenter dan Hiposenter gempa vulkanik Gunung Lokon

Mulai

Data Kontur Gunung Lokon


(57)

(58)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan analisis, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Tipe gempa vulkanik di Gunung Lokon yang muncul pada pra letusan adalah gempa vulkanik dalam (VA) dan vulkanik dangkal (VB). Sedangkan pada fase letusan dan pasca letusan didominasi oleh gempa vulkanik dangkal (VB) saja.

2. Gempa-gempa vulkanik yang terjadi pada Gunung Lokon lebih diakibatkan oleh aktivitas vulkanik daripada tektonik.

3. Range nilai b pra letusan antara -2.7×10-1 s/d -4×10-2 dB/λ, fase letusan antara -5.9×10-1 s/d -2×10-2 dB/λ, dan pasca letusan antara -5.8×10-1 s/d -4×10-2dB/λ.

4. Q-factor pra letusan besar karena sumber gempa dalam sehingga waktu tempuh lambat, densitas tinggi, energi yang hilang kecil, atenuasi gelombang kecil dan karakteristik kurva peluruhan landai.

5. Q-factor fase letusan kecil karena sumber gempa dangkal sehingga waktu tempuh cepat, densitas kecil, energi yang hilang besar, gelombang teratenuasi lebih cepat dan karakteristik kurva peluruhan lebih curam.


(59)

6. Q-factor pasca letusan sedikit meningkat namun lebih kecil dibanding pra letusan karena, sumber gempa dangkal sehingga waktu tempuh gelombang cepat, aktifitas vulkanik berkurang, temperatur dan tekanan rendah menyebabkan atenuasi gelombang kecil namun tidak terlalu signifikan sehingga karakteristik kurva atenuasi tidak terlalu landai namun juga tidak terlalu curam.

7. Lapisan batuan pada Gunung Lokon memiliki densitas yang besar dan berdasarkan Tabel 2 nilai Q-factor pada Gunung Lokon antara 75 – 300 λ/dB.

6.2. Saran

Dari hasil pengolahan data disarankan:

1. Penentuan waktu tiba gelombang P dan gelombang S lebih teliti dan hati-hati.

2. Menggunakan metode penentuan hiposenter gempa yang lebih akurat. 3. Menggabungkan data metode geofisika lain guna informasi mitigasi


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2013. Tektonika Lempeng. http://id.wikipedia.org/w/index.

php?title=Berkas:Tectonic plates boundaries_detaileden.svg& filetimestamp=200808312 31447. Tanggal Akses 1 November 2013 pukul 20.00 WIB.

Ernawati, E. 2011. Identifikasi Medium Bawah Permukaan Gunung Sinabung,

berdasarkan Nilai Q-factor. Skripsi jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Fridolin, H. 2013.

http://dearthurjr.blogspot.com/2013/06/morfologi-gunung-kelud.html. Tanggal Akses 3 Juli 2013 pukul 10:42 WIB.

Gunawan, H. 2010. Studi Geofisika Gunungapi Lokon Berdasarkan Pengolahan

Data Deformasi dan Seismik. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung.

Haerani, N., Kristianto, Gunawan, H., Kushendratno, dan Wittiri, S. R. 2010.

Studi Terpadu Seismik Dan Deformasi Di Gunungapi Lokon, Sulawesi Utara.Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 1 No. 3 Desember 2010: 151 – 164.

Hidayat, Y., Suparman, Y., Setiawan, S., Wahidin., Sukanda., Supriadi, Dedi.,

Sulaiman., Safei. 2007. Laporan Penyelidikan Geofisika

Gunungapi Lokon, Sulwesi Utara. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung. Hal 1,3,7-10.

Hidayati, S. 2010. Pengenalan Seismologi Gunungapi. Diklat Pelaksana Pemula

Pengamat Gunungapi Baru. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung.

Joan, L. L., William, B. A., Lloyd, L. L. 1996. Attenuation of Seismic Waves in


(61)

Kristianto, Gunawan, H., Haerani, N., Mulyana, I., Basuki, A., Primulyana, S.,

dan Bina, F. R. 2012. Gejala Awal Letusan Gunung Lokon

Februari 2011 - Maret 2012. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 3 No. 3 Desember 2012: 151 - 168.

Lay, T., dan Wallace, T. C. 1995. Modern Global Seismology. Academic Press.

San Diego.

Mulyadi, D., Hendrasto, M., Suraji., I. 1990. Peta Geologi Gunungapi Komplek

Lokon Sulawesi Utara. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung.

Salomo, D. 2012.

http://dimas-salomo.blogspot.com/2012/02/penentuan-pusat-gempa/.Tanggal Akses 14 Januari 2012 pukul 11:13 WIB.

Siswowidjojo, S. S. 1996. Pengantar Seismologi Gunungapi dan Hubungannya

dengan Kegiatan Gunungapi. Kursus Pengamat Gunungapi TK.II. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung.

Suantika, I. G. 2007. Seismologi Gunungapi. Bahan Ajar Diklat Pejabat

Fungsional Pengamat Gunungapi Pelaksana. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung.

Suparman, Y., Iguchi, M., Hendrasto, M., dan Kristianto. 2009. Comparison of

Focal Mechanisms and Source Parameters of Volcano-tectonic Earthquakes between Active and Normal Periods at Lokon Volcano, Nort Sulawesi, Indonesia.JICA Report.

Syahputra, A. 2012.

http://earthmax.wordpress.com/2012/05/27/a-simple-code-for-hypocenter-relocation-using-geigers-method/. Tanggal Akses 6 April 2013 pukul 12:44 WIB.

Topinka. 2001. Major Volcanoes of Indonesia. USGS/CVO.

Zobin, V. M. 2012. Introduction to Volcanic Seismology, Second Edition. Elsevier


(62)

(63)

dengan GAD dan script program Mathlab. 1. Kode RelocationGeigerMethod.m

clear,clc

%% Simple Geiger Method %% Load DataCatalog

[FileName,PathName] = uigetfile(‘*.txt’,'Select the data catalog’); Data = load([PathName FileName]);

%% Check Event Gather

[EventID EventHypo First Last] = EventGather(Data); %% Velocity Model

[FileName,PathName] = uigetfile(‘*.txt’,'Velocity 1-D Model’); Velocity = load([PathName FileName]);

VelocityLayer = Velocity(:,2); TopOfLayer = Velocity(:,1);

VelocityModel = struct(‘VelocityLayer’,VelocityLayer,’TopOfLayer’,TopOfLayer’); %% Calculate the Time Deviation of Initial Hypocenter

for i=1:size(Data,1) Sumber = Data(i,1:3); Penerima = Data(i,4:6);

[RayPath TravelTime] = RayTracingShootingMethod(Sumber, Penerima, VelocityModel);

DtAwal(i) = TravelTime-Data(i,7); end

NewData = Data;

NewData =[ NewData zeros(size(Data,1),1)]; WB = waitbar(0,’Please wait…’);

for i =1:EventID waitbar(i/EventID)

InitialHypo(i,:) = EventHypo(i,:); nReceiver = Last(i) – First(i) + 1; RelativeRms = 10;

ite = 0;

while RelativeRms > 0.00001 ite = ite+1;

MatrixAllJacobi = []; for n = 1:nReceiver


(64)

if ite ==1

Sumber = InitialHypo(i,:);

ObservationTime(n) = Data((i-1)*nReceiver+n,7); else

Sumber = Update;

ObservationTime(n) = Data((i-1)*nReceiver+n,7)+DeltaModel(4); end

Penerima = Data((i-1)*nReceiver+n,4:6);

%Ray Tracing using shooting method based on Snell’s Law, only %direct wave

[RayPath TravelTime] = RayTracingShootingMethod(Sumber, Penerima, VelocityModel);

NewData((i-1)*nReceiver+n,8) = TravelTime; DelayTime(n,:) = TravelTime-ObservationTime(n);

DelayTimeAll((i-1)*nReceiver+n,:) = TravelTime-ObservationTime(n); %Build Matrix Jacobi

[Jacobi(n,:)] = MatrixJacobi(RayPath,VelocityModel); end

%Add Damping Alpha = 0.00001;

DampedJacobi = [Jacobi; Alpha*eye(size(Jacobi,2),size(Jacobi,2))]; DTzeros = [DelayTime; zeros(size(Jacobi,2),1)];

%Inversion Solver

DeltaModel=lsqr(DampedJacobi,DTzeros); %Update Model (Hypo & Origin Time) Update = Sumber+DeltaModel(1:3)’; ErrorRms(ite) = sqrt(mean(DelayTime.^2)); if ite >1

RelativeRms = ErrorRms(ite)-ErrorRms(ite-1); end

for m=1:nReceiver

NewData((i-1)*nReceiver+m,1:3) = Update;

NewData((i-1)*nReceiver+m,7) = NewData((i-1)*nReceiver+m,7)+DeltaModel(4); end

end

UpdatedHypo(i,:) = Update; end


(65)

plot3(UpdatedHypo(:,1),UpdatedHypo(:,2),UpdatedHypo(:,3),’.k’) hold off set(gca,’Zdir’,'Reverse’) grid on figure(2) subplot(211) hist(DtAwal,-2:0.2:2) subplot(212) hist(DelayTimeAll,-2:0.2:2)

% NewData = [NewData DelayTimeAll];

% [filename, pathname] = uiputfile(‘*.txt’, ‘Save as data catalog’); % save(filename,’NewData’,'-ASCII’)

2. Kode RayTracingShootingMethod.m

function [RayPath TravelTime] = RayTracingShootingMethod (Sumber, Penerima, VelocityModel)

Source = struct(‘X’,Sumber(1),’Y',Sumber(2),’Z',Sumber(3)); Receiver = struct(‘X’,Penerima(1),’Y',Penerima(2),’Z',Penerima(3)); epicenter = sqrt((Source.X-Receiver.X)^2+(Source.Y-Receiver.Y)^2); %% NumberLayer

[NumberLayerOfSource] = CheckLayer(Source.Z,VelocityModel.TopOfLayer); [NumberLayerOfReceiver] = CheckLayer(Receiver.Z,VelocityModel.TopOfLayer); %% ShootingMethod

%InitialAngle

ArrivalAngle = [0.000000000001 89.9999999999999 (89.99999-0.00001)/2]; Error = 10;

while Error>0.001

ArrivalAngle(3) = (ArrivalAngle(2)+ArrivalAngle(1))/2; for i = 1:length(ArrivalAngle)

%Start from Lower Layer RayTracingX = Source.X; RayTracingY = Source.Y; RayTracingZ = Source.Z;

if NumberLayerOfSource == NumberLayerOfReceiver RayTracingX = [RayTracingX Receiver.X];


(66)

RayTracingZ = [RayTracingZ Receiver.Z]; DeltaError = zeros(1,3);

else

for nLay = NumberLayerOfSource:-1:NumberLayerOfReceiver if nLay ~= NumberLayerOfReceiver

if nLay == NumberLayerOfSource

deltaZ = Source.Z – VelocityModel.TopOfLayer(nLay); deltaRI = tan(deg2rad(ArrivalAngle(i)))*deltaZ;

TransmissionAngle =

asin(sin(deg2rad(ArrivalAngle(i)))*VelocityModel.VelocityLayer(nLay-1)/VelocityModel.VelocityLayer(nLay));

RayX = Source.X; RayY = Source.Y; else

deltaZ = VelocityModel.TopOfLayer(nLay+1) – VelocityModel.TopOfLayer(nLay); deltaRI = tan(TransmissionAngle)*deltaZ;

TransmissionAngle =

asin(sin(TransmissionAngle)*VelocityModel.VelocityLayer(nLay-1)/VelocityModel.VelocityLayer(nLay));

end

RayZ = VelocityModel.TopOfLayer(nLay); else

deltaZ = VelocityModel.TopOfLayer(NumberLayerOfReceiver+1) – Receiver.Z; deltaRI = tan(TransmissionAngle)*deltaZ;

RayZ = Receiver.Z; end

deltaY = (abs(Source.Y-Receiver.Y)/epicenter)*deltaRI; deltaX = sqrt(deltaRI^2-deltaY^2);

if Source.X<=Receiver.X RayX = RayX + deltaX; else

RayX = RayX – deltaX ; end

if Source.Y<=Receiver.Y RayY = RayY + deltaY; else

RayY = RayY – deltaY; end

RayTracingX = [RayTracingX RayX]; RayTracingY = [RayTracingY RayY]; RayTracingZ = [RayTracingZ RayZ]; end


(67)

Error = abs(DeltaError(i)); end

end

if (DeltaError(1) * DeltaError(3) < 0) ArrivalAngle(2) = ArrivalAngle(3); elseif (DeltaError(1) * DeltaError(3) > 0) ArrivalAngle(1) = ArrivalAngle(3); else

break; end end

%plot3(RayTracingX,RayTracingY,RayTracingZ,’-k’)

RayPath = struct(‘X’,RayTracingX,’Y',RayTracingY,’Z',RayTracingZ); TravelTime = TravelTimeCalculation (RayPath, VelocityModel); function TravelTime = TravelTimeCalculation (RayPath, VelocityModel) TravelTime =0;

for i=1:length(RayPath.X)-1

MidPoint(i) = (RayPath.Z(i)+RayPath.Z(i+1))/2;

[NumberLayer] = CheckLayer(MidPoint(i),VelocityModel.TopOfLayer); LengthSegment(i) = sqrt(((RayPath.X(i+1)-RayPath.X(i))^2)+((RayPath.Y(i+1)-RayPath.Y(i))^2)+((RayPath.Z(i+1)-RayPath.Z(i))^2));

TravelTime = TravelTime +

LengthSegment(i)/VelocityModel.VelocityLayer(NumberLayer); end

function [NumberOfLayer] = CheckLayer(Depth,TopOfLayer) NumberOfLayer = 1;

for j = 1:length(TopOfLayer)-1

if Depth >= TopOfLayer(j) && Depth < TopOfLayer(j+1) NumberOfLayer = j;

end

if Depth == TopOfLayer(j) && j~=1 NumberOfLayer = j – 1 ;

end end

if Depth > TopOfLayer(length(TopOfLayer)) NumberOfLayer = length(TopOfLayer); end


(68)

function [RowOfJacobi] = MatrixJacobi(RayPath,VelocityModel) dtdx=0;

dtdy=0; dtdz=0;

for i =1:length(RayPath.X)-1 NumberLayer =

CheckLayer((RayPath.Z(i+1)+RayPath.Z(i))/2,VelocityModel.TopOfLayer); Divider = VelocityModel.VelocityLayer(NumberLayer)*sqrt((RayPath.X(i+1)- RayPath.X(i))^2+(RayPath.Y(i+1)-RayPath.Y(i))^2+(RayPath.Z(i+1)-RayPath.Z(i))^2);

dtdx = dtdx + ((RayPath.X(i+1)-RayPath.X(i))/Divider); dtdy = dtdy + ((RayPath.Y(i+1)-RayPath.Y(i))/Divider); dtdz = dtdz + ((RayPath.Z(i+1)-RayPath.Z(i))/Divider); end

RowOfJacobi = [dtdx dtdy dtdz 1];

4. Kode EventGather.m

function [EventID EventHypo First Last] = EventGather(Data) First = 1;

Last = []; EventHypo =[]; for i=1:size(Data,1)-1 if Data(i,1)~= Data(i+1,1) First =[ First i+1]; Last =[Last i];

EventHypo = [EventHypo; Data(i,1:3)]; end

end

Last = [Last size(Data,1)];

EventHypo = [EventHypo; Data(size(Data,1),1:3)]; EventID = length(Last);

5. Kecepatan (Velocity.dat)

a. Format penulisan file Velocity.dat, yaitu sebagai berikut:

 Baris 1: jumlah layer

 Baris 2: ketidak seragaman koordinat Z dalam kasus jumlah layer= 1. Baris ini dilewati oleh program.

 Baris 3: nilai kecepatan gelompang P, dituliskan dalam format f8.3 untuk setiap layer.

 Baris 4: nilai kecepatan gelombang S, dituliskan dalam format f8.3 untuk setiap layer.

b. Data file velocity.dat yang digunakan dalam perhitungan hiposenter:

nzLayer : 2 (15x,i4)

zLayer : 0.0 (15x,5f8.3)

VpL(nzLayer+1): 2.8 3.9 (15x,6f8.3)


(69)

 Kolom 11: spasi atau “,”

 Kolom 12-14: kode stasiun (3 karakter)

 Kolom 15: spasi atau “,”

 Kolom 16-21: waktu tiba gelombang P dalam format f6.3. Jika tidak ada data maka dituliskan “99.990”

 Kolom 22: spasi atau “,”

 Kolom 23: polarisasi gelombang P, dituliskan “+” atau “-“ atau spasi.

 Kolom 24: spasi atau “,”

 Kolom 25: jika awalan dari gelombang P jelas, dituliskan “I”, sebaliknya jika tidak jelas dituliskan “E”.

 Kolom 26: spasi atau “,”

 Kolom 27-32: waktu tiba gelombang S, ditulis dalam format f6.3. Jika tidak ada data maka dituliskan “99.990”.

 Kolom 33: spasi atau “,”

 Kolom 34: jika awalan dari gelombang S jelas, dituliskan “I”, sebaliknya jika tidak jelas dituliskan “E”.

b. Contoh data file Arrival.dat yang digunakan dalam perhitungan hiposenter gempa Gunung Lokon, yaitu sebagai berikut: 1204011440 EMP 22.701 + I 24.805 I

1204011440 KIN 22.904 + I 25.611 I 1204011440 WLN 23.367 + E 25.536 I 1204011440 TTW 22.972 + E 25.632 I 7. Stasiun (Station.dat)

a. Format penulisan file Station.dat, yaitu sebagai berikut:

 Baris 1: Jumlah stasiun

 Baris 2: Kode stasiun (3 karakter) dengan koordinat stasiun (X,Y,Z) dalam meter.

b. Data yang digunakan dalam file Station.dat, yaitu sebagai berikut: 5 (i2)

EMP 0.102 0.398 -1.143 (a3,2x,3f10.3) KIN 1.907 0.253 -0.914

WLN 0.306 -1.668 -1.072 SEA 0.049 0.620 -1.162 MHW 6.693 -1.412 -1.410


(70)

8. Hasil (Results.dat)

Contoh tampilan hasil pengolahan GAD gempa vulkanik Gunung Lokon. nst : 5

Station List

EMP .102 .398 -1.143 KIN 1.907 .253 -.914 WLN .306 -1.668 -1.072 SEA .049 .620 -1.162 MHW 6.693 -1.412 -1.410 nZLayer: 2

zLayer : .000 Vp : 2.800 3.900 Vs : 1.556 2.167

Hypocenter

Date 12 5 6 Time 8:56 Focal Element Probable Error X -.372 3.614

Y 5.643 2.564 Z -.003 2.632 T 36.157 .251

Travel time residual rms= .144sec.

ST P S Cal (Obs-Cal) EMP 37.580 37.792 -.212 WLN 38.530 38.306 .224 SEA 37.727 37.739 -.012 EMP 39.013 39.099 -.086 WLN 40.013 40.026 -.013 SEA 39.103 39.004 .099 9. Script program hiposenter Mathlab

Script program hiposenter 3D Mathlab, yaitu sebagai berikut:

close all;clear all;clc; data=load('kontur.txt');

x=data(:,1);y=data(:,2);z=data(:,3); dx=0.1; dy=0.1; xi=-10:dx:10; yi=-10:dy:10; [XI,YI]=meshgrid(xi,yi); ZI=griddata(x,y,z,XI,YI); mesh(XI,YI,ZI)

hold on


(71)

(72)

(73)

No. Waktu kejadian gempa x y z Jenis gempa vulkanik

1. 1204190000 1.66 -0.779 -3.328 VA

2. 1205010816 2.388 -1.352 -0.112 VB

3. 1205020729 1.473 0.661 -0.074 VB

4. 1205020732 1.485 0.35 0.004 VB

5. 1205020737 1.262 0.798 -0.01 VB

6. 1205020743 1.148 2.006 -0.233 VB

7. 1205020748 -0.772 0.85 -0.894 VB

8. 1205020751 1.445 0.251 -0.54 VB

9. 1205020752 1.301 -0.149 0.704 VB

10. 1205020753 -1.066 0.885 -0.014 VB

11. 1205020758 0.583 1.435 -0.141 VB

12. 1205020826 1.257 0.945 -0.058 VB

13. 1205020826 1.094 1.183 -0.123 VB

14. 1205020845 1.21 0.939 0.737 VB

15. 1205020915 1.159 1.598 -0.292 VB

16. 1205020932 1.66 1.034 0.576 VB

17. 1205041343 1.418 1.415 -0.231 VB

18. 1205051158 1.045 0.994 0.797 VB

19. 1205060856 0.971 1.541 0.823 VB

20. 1205061231 1.208 0.793 0.739 VB

21. 1205061256 1.31 1.238 -0.166 VB

22. 1205070923 1.009 1.344 -0.177 VB

23. 1205080753 1.078 1.714 -0.245 VB

24. 1205082203 1.418 1.446 -0.231 VB

25. 1205082359 1.797 1.432 -0.214 VB

26. 1205121011 1.858 2.152 -0.661 VB

27. 1205121725 1.747 1.135 -1.01 VA

28. 1205121953 1.978 0.939 -0.428 VB

29. 1205130555 1.478 1.814 -1.177 VA

30. 1205130845 -1.681 1.942 -0.059 VB

31. 1205150702 3.297 3.249 -2.499 VA

32. 1205161707 -1.48 -0.409 -4.567 VA

33. 1205161709 -1.757 0.057 -0.73 VB

34. 1205162122 -0.058 -0.156 -0.506 VB

35. 1205162354 0.005 -0.413 -2.157 VA

36. 1205170001 -0.158 -1.459 -2.39 VA

37. 1205170005 -0.529 -0.139 -0.801 VB

38. 1205170007 0.251 -0.137 -0.343 VB

39. 1205170047 -1.425 0.702 0.034 VB

40. 1205170101 0.898 0.201 0.073 VB

41. 1205170106 -0.36 0.261 -0.176 VB

42. 1205170111 0.785 0.281 0.341 VB


(74)

44. 1205170114 0.006 -0.38 -1.024 VB

45. 1205170303 -0.948 -0.335 0.223 VB

46. 1205170418 -0.591 0.169 -0.916 VB

47. 1205170418 -1.059 -1.44 -1.183 VA

48. 1205170425 0.131 -0.497 -0.123 VB

49. 1205170525 0.082 -0.429 0.3 VB

50. 1205170540 0.584 0.672 0.383 VB

51. 1205170555 -0.593 0.233 -0.492 VB

52. 1205170741 0.979 0.107 0.735 VB

53. 1205170742 -0.526 -0.792 -0.003 VB

54. 1205170749 -1.081 -0.672 0.35 VB

55. 1205170753 0.74 -0.142 0.086 VB

56. 1205170817 0.65 0.23 0.001 VB

57. 1205170827 0.144 -0.592 0.143 VB

58. 1205170841 -0.874 -0.13 0.331 VB

59. 1205170857 -1.355 -0.467 -1.668 VA

60. 1205170931 -1.377 -0.709 -0.56 VB

61. 1205170941 -0.348 0.025 0.169 VB

62. 1205171041 -1.206 -0.3 -0.499 VB

63. 1205171101 -0.219 -0.744 -1.046 VA

64. 1205171103 -0.578 0.621 -0.856 VB

65. 1205171201 0.581 -0.217 -0.071 VB

66. 1205171214 -0.873 0.507 -0.07 VB

67. 1205171219 -0.717 0.608 0.047 VB

68. 1205171322 -0.826 -0.209 -0.552 VB

69. 1205171417 -0.947 -0.325 0.662 VB

70. 1205171418 1.219 -0.029 0.127 VB

71. 1205171423 0.059 -0.075 0.357 VB

72. 1205171434 0.155 -0.054 0.515 VB

73. 1205171538 -0.385 0.688 -0.431 VB

74. 1205171547 -0.353 0.362 0 VB

75. 1205171622 -0.9 0.314 0.071 VB

76. 1205171629 0.319 0.275 -0.339 VB

77. 1205171757 -0.188 0.023 0.039 VB

78. 1205171813 0.014 -0.181 0.29 VB

79. 1205171834 -0.151 -0.511 0.485 VB

80. 1205171846 0.544 -0.306 0.075 VB

81. 1205172038 -0.045 -0.495 0.698 VB

82. 1205172039 -0.935 -0.607 0.271 VB

83. 1205172043 -0.71 0.081 -0.081 VB

84. 1205172048 -0.365 -0.631 0.396 VB

85. 1205172111 0.126 -0.487 0.655 VB

86. 1205172112 1.003 -0.457 -0.47 VB

87. 1205180535 -1.148 -0.539 0.381 VB

88. 1205180922 1.289 1.651 -0.307 VB

89. 1205190722 1.574 1.831 0.602 VB

90. 1205190802 1.269 1.215 0.715 VB


(75)

95. 1205251027 1.775 0.853 -0.007 VB

96. 1205251748 2.102 0.654 -0.012 VB

97. 1205251948 -1.063 0.497 0.15 VB

98. 1205252116 -0.736 0.393 0.32 VB

99. 1205261004 1.916 1.257 -0.154 VB

2. Tabel nilai koefisian atenuasi (α)

No. Waktu kejadian gempa Koefisien atenuasi gelombang gempa (α) (dB/λ)

EMP KIN SEA WLN (UD) WLN(EW) WLN (NS) 1. 1204190000 -6.00E-02 -8.00E-02 -1.10E-01 -1.30E-01

2. 1205010816 -1.90E-01 -2.20E-01 -2.00E-01

3. 1205020729 -1.40E-01 -2.00E-01 -1.90E-01 -3.10E-01

4. 1205020732 -1.30E-01 -8.00E-02 -4.00E-02

5. 1205020737 -9.00E-02 -9.00E-02 -2.40E-01

6. 1205020743 -8.00E-02 -6.00E-02 -7.00E-02 7. 1205020748 -9.00E-02 -1.20E-01 -9.00E-02

8. 1205020751 -5.00E-02 -9.00E-02 -5.00E-02

9. 1205020752 -9.00E-02 -9.00E-02 -8.00E-02

10. 1205020753 -5.00E-02 -4.00E-02 -7.00E-02

11. 1205020758 -1.30E-01 -1.20E-01 -9.00E-02

12. 1205020826 -1.20E-01 -1.50E-01 -1.10E-01

13. 1205020826 -9.00E-02 -1.40E-01 -6.00E-02

14. 1205020845 -2.80E-01 -4.00E-01 -1.70E-01 -5.90E-01 15. 1205020915 -8.00E-02 -1.60E-01 -8.00E-02 -2.20E-01

16. 1205020932 -2.10E-01 -2.80E-01 -6.00E-02 -9.00E-02

17. 1205041343 -2.60E-01 -2.70E-01 -1.10E-01 -1.80E-01

18. 1205051158 -9.00E-02 -3.10E-01 -7.00E-02 -1.00E-01

19. 1205060856 -5.00E-02 -1.30E-01 -4.00E-02

20. 1205061231 -1.20E-01 -1.20E-01 -5.00E-02

21. 1205061256 -1.60E-01 -3.20E-01 -5.00E-02 -9.00E-02 22. 1205070923 -1.20E-01 -1.70E-01 -1.40E-01 -1.40E-01

23. 1205080753 -2.60E-01 -2.40E-01 -1.00E-01 -2.70E-01

24. 1205082203 -1.10E-01 -1.70E-01 -4.00E-02

25. 1205082359 -1.70E-01 -2.40E-01 -5.00E-02

26. 1205121011 -2.40E-01 -1.20E-01 -5.00E-02

27. 1205121725 -1.60E-01 -1.20E-01 -8.00E-02 -7.00E-02

28. 1205121953 -1.50E-01 -1.00E-01 -5.00E-02 -1.20E-01

29. 1205130555 -8.00E-02 -8.00E-02 -7.00E-02 -1.00E-01


(76)

31. 1205150702 -1.00E-01 -1.00E-01 -8.00E-02 32. 1205161707 -4.00E-02 -1.10E-01 -4.00E-02

33. 1205161709 -1.10E-01 -1.10E-01 -1.10E-01

34. 1205162122 -1.10E-01 -2.60E-01 -9.00E-02

35. 1205162354 -2.00E-02 -4.70E-01 -2.00E-02

36. 1205170001 -4.00E-02 -9.00E-02

37. 1205170005 -1.10E-01 -1.60E-01

38. 1205170007 -7.00E-02 -1.30E-01 39. 1205170047 -9.00E-02 -3.50E-01 -1.10E-01

40. 1205170101 -3.00E-02 -4.00E-02

41. 1205170106 -1.50E-01 -3.50E-01 -2.20E-01

42. 1205170111 -3.00E-02 -3.00E-02

43. 1205170113 -8.00E-02 -9.00E-02

44. 1205170114 -4.00E-02 -6.00E-02

45. 1205170303 -8.00E-02 -2.50E-01 -2.90E-01 46. 1205170418 -6.00E-02 -3.20E-01 -1.10E-01 47. 1205170418 -1.20E-01 -2.10E-01 -1.10E-01

48. 1205170425 -3.00E-02 -2.00E-02

49. 1205170525 -5.00E-02 -1.70E-01 -1.40E-01

50. 1205170540 -5.00E-02 -1.00E-01

51. 1205170555 -1.00E-01 -4.40E-01 -1.50E-01

52. 1205170741 -7.00E-02 -5.00E-02

53. 1205170742 -8.00E-02 -5.00E-02 54. 1205170749 -4.00E-02 -5.00E-02

55. 1205170753 -1.00E-01 -1.30E-01

56. 1205170817 -2.00E-02 -5.00E-02

57. 1205170827 -9.00E-02 -5.90E-01 -2.00E-01 58. 1205170841 -5.00E-02 -3.20E-01 -6.00E-02

59. 1205170857 -4.00E-02 -4.00E-02 -2.00E-02

60. 1205170931 -4.00E-02 -7.00E-02

61. 1205170941 -1.00E-01 -3.60E-01 -1.80E-01 -7.00E-02 -1.10E-01

62. 1205171041 -6.00E-02 -1.00E-01

63. 1205171101 -3.00E-02 -4.00E-02

64. 1205171103 -1.20E-01 -7.00E-01 -1.40E-01 -5.00E-02 -6.00E-02 65. 1205171201 -9.00E-02 -1.50E-01 -1.50E-01

66. 1205171214 -2.00E-01 -3.30E-01 -2.00E-01 -1.10E-01 -1.10E-01

67. 1205171219 -1.70E-01 -4.30E-01 -2.30E-01 -1.20E-01 -3.40E-01

68. 1205171322 -9.00E-02 -1.00E-01 -8.00E-02 -1.10E-01

69. 1205171417 -5.00E-02 -1.60E-01 -8.00E-02 -9.00E-02 -1.50E-01

70. 1205171418 -7.00E-02 -9.00E-02 -1.40E-01 -1.30E-01

71. 1205171423 -9.00E-02 -1.30E-01 -9.00E-02 -9.00E-02 -1.10E-01 72. 1205171434 -6.00E-02 -7.00E-02 -7.00E-02 -5.00E-02 -4.00E-02 73. 1205171538 -7.00E-02 -3.00E-01 -1.00E-01 -5.00E-02


(77)

77. 1205171757 -7.00E-02 -5.30E-01 -1.30E-01

78. 1205171813 -1.00E-01 -1.90E-01 -1.50E-01

79. 1205171834 -1.50E-01 -1.70E-01 -1.10E-01

80. 1205171846 -4.00E-02 -9.00E-02

81. 1205172038 -1.10E-01 -1.00E-01 -1.60E-01 82. 1205172039 -4.00E-02 -7.00E-02

83. 1205172043 -7.00E-02 -3.90E-01 -1.00E-01

84. 1205172048 -1.60E-01 -1.10E-01 -1.50E-01

85. 1205172111 -1.50E-01 -2.70E-01 -1.60E-01

86. 1205172112 -5.00E-02 -5.00E-02

87. 1205180535 -1.10E-01 -2.70E-01 -1.30E-01

88. 1205180922 -7.00E-02 -1.40E-01 -1.00E-01 89. 1205190722 -9.00E-02 -6.00E-02 -9.00E-02 90. 1205190802 -4.00E-02 -8.00E-02 -9.00E-02

91. 1205190936 -6.00E-02 -4.00E-02

92. 1205190939 -7.00E-02 -1.30E-01 -6.00E-02

93. 1205250716 -8.00E-02 -6.00E-02 -6.00E-02

94. 1205250716 -9.00E-02 -9.00E-02 -9.00E-02

95. 1205251027 -2.00E-01 -1.70E-01 -1.90E-01 -2.20E-01

96. 1205251748 -1.70E-01 -2.00E-01 -1.00E-01 -1.30E-01

97. 1205251948 -2.10E-01 -3.70E-01 -2.00E-01 -1.80E-01 -2.90E-01

98. 1205252116 -1.80E-01 -2.00E-01 -2.00E-01 -1.40E-01 -1.40E-01


(78)

(79)

 Stasiun SEA


(80)

 Stasiun Wailan (WLN_E)

FASE LETUSAN 1

1. Gempa tanggal 1 Mei 2012 pukul 08:16 WITA

 Stasiun Empung (EMP)


(1)

 Stasiun SEA

10. Gempa tanggal 17 Mei 2012 pukul 20:12 WITA  Stasiun Empung (EMP)


(2)

PASCA LETUSAN 2

1. Gempa tanggal 19 Mei 2012 pukul 07:22 WITA  Stasiun Empung (EMP)


(3)

2. Gempa tanggal 19 Mei 2012 pukul 9:36 WITA  Stasiun Empung (EMP)

 Stasiun SEA

3. Gempa tanggal 19 Mei 2012 pukul 9:39 WITA  Stasiun Empung (EMP)


(4)

 Stasiun SEA

 Stasiun Wailan (WLN)

4. Gempa tanggal 25 Mei 2012 pukul 7:16 WITA  Stasiun Empung (EMP)


(5)

 Stasiun SEA

 Stasiun Wailan (WLN)

5. Gempa tanggal 25 Mei 2012 pukul 7:16 WITA  Stasiun Empung (EMP)


(6)

 Stasiun SEA