Praktik Penegakan Hukum Terhadap Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana Umum

ABSTRACT

THE PRACTICE OF LAW ENFORCEMENT TO MILITARY MEMBERS
ENGAGED IN PUBLIC CRIME

By:
Rismubeda

Criminal law is public law binding for anyone. The enforcement of public criminal law showed
its authority applies to any person who violates the provisions that are in the book of uiminal
law. Criminal law applies in general, is different from criminal law in particular but the
provisions stipulated specifically deviates from the Criminal Code (KUHP) but should not be
contrary to the Criminal Code (KUHP). The problems in this thesis are how the law enforcement
against military members who commit the public criminal acts and the prospective of law
enforcement against military members who commit the public crime.

The approach used in this writing is the normative and empirical juridical approach. Data
collecting technique was conducted with the literature study and interviews with the Chief of
Dilmil II-08 Jakarta and experts associated both with academics and legal observers. Data
collection was done with the literature study and interviews with Chief Dilmil II-08 Jakarta and
experts associated both with academics and legal observers. Furthermore, the data obtained were

analyzed qualitatively to get the conclusion according to the subject matter covered.

The research results and discussion indicated that the military criminal law enforcement in
Indonesia is stilt not reached the level of perfection, or in other words the military criminal law
has not been enforced in practice as a whole, which is one of the reasons was because the society
were still not concerned with the military law itself. But the next, lot of changes that must be
done, among others: a. Legislative Process; b. jurisdiction; c. Organization and Structure of
Military Justice; d. Transition, and e. Technical Military Justice.
In the end, recommended that the implementation of the military criminal law in the Indonesian
itself should get special attention, as well as it's needed for revision to the Code of Military
Criminal law, which was inherited from the Dutch East Indies and is still valid today in
Indonesia.

Keyvords: Practice, Law Enforcement, Military Members, Public Crime.

ABSTRAK
PRAKTIK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER
YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA UMUM
Oleh
Rismubeda


Hukum pidana merupakan hukum publik yang mengikat bagi siapa saja,
pemberlakuan hukum pidana yang bersifat publik tersebut menunjukan
kewenangannya berlaku bagi setiap orang yang melanggar ketentuan yang ada di
dalam kitab undang-undang hukum pidana. Hukum pidana ini berlaku secara
umum, berbeda dengan hukum pidana yang berlaku secara khusus namun ketentuan
yang diatur secara khusus tersebut memang menyimpang dari KUHP tetapi tidak
boleh bertentangan dengan KUHP. Permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah
bagaimanakah penegakan hukum terhadap anggota militer yang melakukan tindak
pidana umum dan prospektif penegakan hukum terhadap anggota militer yang
melakukan tindak pidana umum.
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis
normative dan pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan
studi pustaka dan wawancara dengan Kepala Dilmil II-08 Jakarta dan pakar terkait
baik dengan akademisi maupun pengamat hukum. Data yang diperoleh selanjutnya
dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan kesimpulan sesuai dengan
permasalahan yang dibahas.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penegakan hukum pidana
militer di Indonesia sampai saat sekarang ini masih belum mencapai tingkat
kesempurnaannya atau dengan kata lain hukum pidana militer dalam

pelaksanaannya belum ditegakkan secara keseluruhan, yang salah satu
penyebabnya adalah karena masyarakat yang masih kurang menaruh perhatian pada
hukum militer itu sendiri. Namun ke depan banyak perubahan yang harus di
lakukan, antara lain dengan: (a) Proses Legislasi; (b) Yurisdiksi; (c) Organisasi dan
Struktur Peradilan Militer; (d) Masa Transisi, dan (e) Teknis Peradilan Militer.
Pada akhirnya disarankan agar pelaksanaan hukum pidana militer itu sendiri di
Indonesia harus mendapatkan perhatian yang khusus, serta perlunya dilakukan
revisi ulang terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer yang
merupakan warisan hukum Hindia Belanda dan masih berlaku sampai sekarang di
Indonesia.
Kata Kunci: Praktik, Penegakan Hukum, Anggota Militer, Tindak Pidana Umum.

ii

PRAKTIK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA
MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA UMUM

Oleh
RISMUBEDA
NPM 1222011074


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
MAGISTER HUKUM
Pada
Program Pascasarjana Magister Hukum
Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

PRAKTIK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA
MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA UMUM
(TESIS)

Oleh
RISMUBEDA
NPM 1222011074


PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................
ABSTRAK ..........................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN ...............................................................................
MOTO .................................................................................................................
PERSEMBAHAN ................................................................................................
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................
KATA PENGANTAR .........................................................................................
I.

i

ii
iv
v
vi
vii
viii

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .....................................................................

1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup..........................................................

8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................

9


D. Kerangka Pemikiran dan Konseptual...................................................... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Peradilan Militer ........................................................................ 14
B. Pengertian Penegakan Hukum ................................................................ 20
C. Hukum Acara Khusus Bagi Tentara ....................................................... 25
D. Kedudukan dan Peranan Peradilan Militer ............................................. 27
E. Rancangan Undang-Undang Peradilan Militer sebagai Wujud
Kepastian Hukum.................................................................................... 29
F. Undang-Undang Peradilan Militer yang Berlaku Saat ini ..................... 31
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah................................................................................ 36
B. Jenis dan Sumber Data ............................................................................ 36

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ........................................ 38
D. Analisis Data ........................................................................................... 38
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penegakan Hukum terhadap Anggota Militer yang Melakukan Tindak
Pidana Umum ........................................................................................ 40
B. Prospektif Penegakan Hukum terhadap Anggota Militer yang
Melakukan Tindak Pidana Umum ......................................................... 81

V. PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................................ 95
B. Saran ...................................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGAI\TAR
Alhamdulillah, segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT., atas segala

"Praktik Penegakan Hukum
Terhadap Anggota Militer yang Melakukan Tindak Pidana lJmum" ini dapat

karunia dan ridho-NYA, sehingga tesis dengan judul

diselesaikan.

Tesis

ini

disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar


Magister Hukum (M.H.) pada proglam studi Magister Hukum Universitas
Lampung. Oleh karena ifu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat
dan ucapan terima kasih yang sebesar besarnya, kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir.

Sugeng P. Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas

Lampung.

2. Bapak Dr. Heryandi, s.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum unila.
3. Bapak Dr. Khaidir Anwar, s.H., M.Hum. selaku Ketua Progtam dan Bapak
Dr. Eddy Rifai, s.H., M.H., selaku Sekretaris Program pada Program
Pascasarjana Program Magister Hukum Universitas Lampung'

4.

Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H. selaku Pembimbing Utama dan Ibu Dr. Erna


Dewi, s.H., M.H. selaku Pembimbing Pendamping penulis yang sangat banyak
membantu.

5.

Ibu Dr. Nikmah Rosidah, s.H., M.H. dan Bapak Dr. Eddy Rifai, s.H., M.H.
selaku Penguji.

6. Ayah dan Amak atas

semua

do'4

usaha dan pengorbanannya untuk

keberhasilanku.

7.


Isteriku tercinta Ikhramah, s.Pd., dan anak-anakku Alzena ophelia Ismubeda
danlzzaqzizalsmubeda yang selalu setia mendampingi dalam kondisi apapun
dan selalu memberikan semangat, do'a dan dukungan kepada penulis dalam
meniti karier.

8.

Bapak, Ibu Dosen dan Staf Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas
Hukum Universitas LamPung.

vfit

9.

Semua teman-temanku angkatan 2012/2013 Program Pascasarjana Program
Studi Magister Hukum Universitas Lampung yang saya cintai dan semua pihak
yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dan
dorongannya dalam penyelesaian tesis ini'

Dengan keterbatasan pengalamarq pengetahuan maupun pustaka yang ditinjar.r,

penulis menyadari bahwa tesis

ini

masih banyak kekurangan dan perlu

pengembangan lebih lanjut agar benar benar bermanfaat. Oleh sebab itu, penulis
sangat mengharapkan

kritik dan saran agar tesis ini lebih sempurna serta sebagai

masukan bagi penulis untuk penelitian dan penulisan karya ilmiah

di masa yang

akan datang.

Akhir kat4 penulis berharap tesis ini memberikan manfaat bagi kita semua.

Bandar

Lampung,

Juni 2014

MENGESAHKAN
1. Tim Penguji

I
:

I)r. Maroni, S.H., M.H.

Pembimbingtr

:

I)r. Erna l)ewi, S.H., M.H,

Penguji

: Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H

Penguji

: Dr. Eddy Rifai, S.H.,It{.H.

Penguji

: Dr. Eeni Siswantoo S.H., M.E.

Pembimbingl
:

K':li^

.:)
andi, S.H.r_M.S.

4. Tanggal Lulus Ujian Tesis : 14 Agustus 2014

E"g

_^'\Ota.-

PRAKTIK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP
ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN
TINDAK PIDANA UMUM

Judul Tesis

Nama

Mahasiswa

NomorPokok Mahasiswa

:

:

Studi
Fakultas

12220t1074
Hukum Pidana

Program Kekhususan
Program

Rismubeda

:

Program Pascasarj ana Magister Hukum

:

Magister Hukum

MEIYYETUJUI
Dosen Pembimbing

Pembimbing Utamd,'

Pembimbing Pendamping,

,\tr-

Dr. Erna Dewi, S.H., M.H,

NrP 19600310 198703 1003

NrP 1961071s 198503 20043

/Dr.

Maroni, S.H., ilI.H.

MENGETAHUI
Ketua Program Pascasarjana
Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum
ampung

dw'u

ffi"ffi
r,

S. ., M.Hum.
198603 1 001

LEMBAR PERIIYATAAI\

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1.

Tesis dengan judul "Prattik Penegakan Hukum Terhadap Anggota Militer
yang Melakukan Tindak Pidana lJmum" adalah karya saya sendiri dan saya
tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan
cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam
masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme'

2.

Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada
Universitas LamPung.

Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidak
kepada say4
benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan
berlaku.
saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang

Bandar Lampung, Juni 2014
Pembuat PemYataan,

122201t074

I'l

MOTO
Keadilan dan kebenaran adalah impian setiap insan. Justru itu setiap
tindakan anda dalam menegakkan panji keadilan dan kebenaran hendaklah
timbul dari jiwa dan rasa adil, benar serta kejujuran demi cita-cita dan
cinta akan kemanusiaan karena tanpa keadilan dan kebenaran dari rasa dan
jiwa anda sendiri, niscaya keadilan dan kebenaran tidak dapat anda
tegakkan.
(Rismubeda)

v

PERSEMBAHAN

Tesis ini saya persembahkan untuk:

Ayah dan Amak tercinta yang telah membesarkan, mendidik, membimbing
dengan penuh kasih sayang hingga penulis dewasa serta selalu berdo’a
memberikan dukungan dan ridhonya dalam setiap langkah demi keberhasilan
penulis dalam menggapai cita-cita.

Isteriku tercinta Ikhramah, S.Pd., dan anak-anakku Alzena Ophelia Ismubeda
dan Izza Eziza Ismubeda yang selalu setia mendampingi dalam kondisi
apapun dan selalu memberikan semangat, do’a dan dukungan kepada penulis
dalam meniti karier.
Almamater tercinta Universitas Lampung.

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Muara Putus Tiku V Jorang, Kecamatan Tanjung
Mutiara Agam Sumatera Barat pada tanggal 12 September 1970 yang merupakan
anak ke-5 dari 10 bersaudara buah hati pasangan Hi. Abdul Muis Datuk Bandaro
dan Hj. Zahara.
Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar Negeri Muara Putus Tiku V Jorang
Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam lulus tahun 1984. Sekolah Lanjut
Tingkat Pertama di MTSN Tiku KEcamatan Mutiara lulus 1987. Sekolah
Menengah Atas di Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Padang, lulus tahun 1990.
Pada tahun 1996 penulis mendapat gelar Sarjana Hukum di Universitas Bung Hatta
Padang. Selanjutnya penulis diterima sebagai siswa PK ABRI dan lulus pada bulan
Juli 1997. Pada tahun 2012 melanjutkan Pendidikan Tinggi pada Program
Pascasarjana Magister Hukum Universitas Lampung.

vii

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini proses penegakan hukum di dalam masyarakat kembali menjadi
topik yang sangat hangat untuk dibicarakan, keberadaan hukum yang seharusnya
menjadi penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat dipertanyakan. Bagaimana
kekuatan hukum itu mampu mengikat dan berlaku bagi para subjek dari hukum
tersebut, apakah hukum yang dibentuk tersebut mampu diletakkan pada tempat
dimana hukum itu seharusnya berada dan bekerja tanpa adanya keterbatasan dan
hambatan dari hal-hal yang dapat menggangu kinerja hukum.

Penegakan hukum di segala bidang hukum harus dilakukan secara menyeluruh
baik dari hukum materiil itu sendiri maupun dari sisi hukum formilnya. Dari ini
sampel yang akan diambil adalah proses penegakan hukum dari sisi hukum
pidana, sisi penegakan hukum melalui proses penyelesaian suatu perkara tindak
pidana itu akan dibahas.

Hukum pidana merupakan suatu bagian dari tatanan hukum yang berlaku di suatu
negara yang berisikan perbuatan yang dilarang atau tindak pidana, dalam hal apa
dan dengan bagaimana seseorang itu dinyatakan melakukan tindak pidana
(pertanggung jawaban pidana) dan pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang
dilakukan tersebut.

2

Perbuatan yang dilarang atau tindak pidana yang dimasksudkan tersebut terbagi
menjadi beberapa ruang lingkup, yakni lingkup tindak pidana umum dan tindak
pidana khusus. Tindak pidana umum merupakan perbuatan pidana yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya di singkat dengan
KUHP). Tindak pidana militer merupakan salah satu tindak pidana yang diluar
KUHP, merupakan tindak pidana khusus dikarenakan militer itu memegang
senjata dan dapat mempergunakannya serta mempunyai tugas untuk pembelaan
dan pertahanan negara. Proses penyelesaian tindak pidana umum menggunakan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHAP) sebagai hukum formil dari
penerapan hukum materiil tindak pidana umum yakni KUHP. Hukum acara
peradilan militer diatur dalam tempat pengaturan yang sama dengan ketentuan
materiil dari pidana militer itu sendiri yakni di dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman mengatur:
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk
lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam
keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu
harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer.
Selanjutnya pada Pasal 25 ayat (4) diatur:
Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

3

Berdasarkan ketentuan pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 di atas,
bahwa untuk tindak pidana umum dan militer yang dilakukan oleh militer,
peradilan militer mempunyai wewenang untuk mengadili perkara tersebut.

Hukum pidana militer merupakan bagian dari hukum militer, yakni suatu
peraturan-peraturan khusus yang hanya berlaku bagi anggota militer. Hukum
pidana militer merupakan bagian dari hukum militer dengan konteks militer
sebagai objek dari perundang-undangan tersebut. Pasal 9 angka1 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 memberi batasan kepada pihak-pihak yang diperiksa dan
diadili di peradilan militer. Pihak-pihak tersebut adalah:
1.

Prajurit, yakni militer murni dan masih aktif dalam organisasi TNI;

2.

Orang-orang yang disamakan dengan prajurit menurut undang-undang;

3.

Anggota dari badan atau organisasi atau jawatan yang dipersamakan dengan
prajurit menurut undang-undang.

Berarti militer itu mempunyai cakupan yang luas, namun dalam perundangundangan mempunyai batasan kepada pihak-pihak mana yang dapat diadili dalam
peradilan militer. Hukum pidana merupakan hukum publik yang mengikat bagi
siapa saja, pemberlakuan hukum pidana yang bersifat publik tersebut menunjukan
kewenangannya berlaku bagi setiap orang yang melanggar ketentuan yang ada di
dalam kitab undang-undang hukum pidana. Hukum pidana ini berlaku secara
umum, berbeda dengan hukum pidana yang berlaku secara khusus namun
ketentuan yang diatur secara khusus tersebut memang menyimpang dari KUHP
tetapi tidak boleh bertentangan dengan KUHP. Pengaturan khusus untuk TNI
tersebut dikarenakan TNI dibebani kewajiban inti dalam pembelaan dan
pertahanan negara sehingga memerlukan suatu pemeliharaan ketertiban yang lebih

4

berdisiplin dalam organisasinya, sehingga seolah-olah TNI merupakan kelompok
tersendiri untuk melaksanakan tujuan tugas pokok, untuk itu diperlukan suatu
hukum atau peraturan yang khusus dan peradilan yang tersendiri yang terpisah
dari peradilan umum.

Suatu kekhususan dalam penyelesaian suatu perkara yang dilakukan oleh seorang
anggota TNI ialah bahwa peranan komandan yang bersangkutan tidak boleh
diabaikan, bahkan ada kalanya lebih didahulukan daripada peranan petugas
penegak keadilan (Polisi Militer, Oditur Militer, Hakim Militer).

Salah satu bagian yang dipelajari dalam hukum acara pidana ialah mengenai
yurisdiksi (kewenangan untuk memeriksa dan mengadili) dan justisiabel (orang
yang tunduk dan ditundukan pada kekuasaan badan peradilan tertentu). Yurisdiksi
badan peradilan militer tidak sama dengan yurisdiksi badan peradilan umum.
Pembedaan yurisdiksi badan-badan peradilan militer juga sebagai konsekuensi
dari penitikberatan pada asas personalitas mengenai berlakunya ketentuan pidana
militer. Untuk penyelesaian tindak pidana dalam lingkungan TNI diperlukan
peraturan guna mencapai keterpaduan cara bertindak antar pejabat yang diberi
kewenangan dalam penyelesaian perkara pidana dilingkungan TNI. Oleh karena
itu dikeluarkan Surat Keputusan Panglima ABRI No.SKEP/711/x/1989 mengenai
petunjuk penyelesaian perkara pidana di lingkungan ABRI sebagai pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1/Drt/1985 jo Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950
yang mengatur tentang hukum acara pidana pada pengadilan ketentaraan untuk
selanjutnya mengenai tata cara peradilan militer diatur pada Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

5

Salah satu agenda penting tersebut adalah pembenahan peraturan dan penerapan
dari sistem peradilan militer bagi anggota TNI dan warga sipil yang tersangkut
dalam kejahatan atau tindak pidana umum. Reformasi sistem peradilan militer
menjadi salah satu agenda penting dalam reformasi sistem hukum dan peradilan
yang lebih luas di tingkat nasional. Ini merupakan produk dari reformasi politik
serta hukum dan keamanan yang lebih luas. Runtuhnya Orde Baru di bawah rezim
kekuasaan Suharto yang identik dengan praktik KKN, militerisme dan
pelanggaran HAM, melahirkan berbagai prakarsa untuk mereformasi sistem
keamanan dan sistem kebijakan negara yang lebih akomodatif terhadap norma
HAM. Ini kemudian telah menjadi agenda mendesak yang tak terhindarkan.
Reformasi sistem peradilan militer sendiri merupakan salah satu agenda utama
yang hingga kini belum berhasil diraih. Secara khusus agenda reformasi sistem
peradilan militer di Indonesia tertera pada Pasal 3 ayat (4) a TAP MPR VII Tahun
2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara
Republik Indonesia:
”Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan
militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan
peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.”
Apabila dikaitkan dengan penjelasan dari Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 yang menjelaskan bahwa:
Yang dimaksud dengan ”dalam keadaan tertentu” adalah dilihat dari titik
berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Jika titik berat
kerugian terletak pada kepentingan militer, perkara tersebut diadili oleh
pengadilan di lingkungan peradilan militer, namun jika titik berat kerugian
tersebut terletak pada kepentingan umum, maka perkara tersebut diadili oleh
pengadilan di lingkungan peradilan umum.

6

Kedua ketentuan di atas bertentangan, namun apabila dikaitkan dengan ketentuan
Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur
pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang
diterapkan.

Berdasarkan ketentuan dalam KUHP tersebut di atas maka Prajurit Tentara
Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal
pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam
hal pelanggaran hukum pidana umum.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Pasal 49 menyatakan:
“Ketentuan mengenai kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan
Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal
123 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat menurut undang-undang ini.”
Selama belum ada perubahan atau undang-undang baru yang mengatur tentang
peradilan militer, maka yang berlaku tetap sistem peradilan militer yang lama,
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Perubahan atas
peradilan militer ini menjadi agenda mendesak, mengingat kompleksitas
permasalahan yang muncul dari pemberlakuan aturan ini dan menjadi salah satu
sumber masalah impunitas utama.

7

Perubahan terkait reformasi sistem peradilan militer di Indonesia, sulit untuk
menjustifikasi bahwa reformasi sistem peradilan militer telah menghasilkan
kemajuan yang berarti dalam konteks pemenuhan prinsip fair trial, independensi,
dan imparsialitas sistem peradilan yang lebih luas, serta menghadirkan rasa
keadilan bagi para korban terkait langgengnya rantai impunitas di Indonesia,
khususnya atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh personel militer.

Proses penegakan hukum pidana militer sebagai suatu wacana dalam masyarakat
menjadi topik yang sangat hangat dibicarakan. Berbagai komentar dan pendapat
baik yang berbentuk pandangan ataupun penilaian dari berbagai kalangan
masyarakat selalu menghiasi media massa yang ada di negeri ini. Beberapa hal
yang selalu menjadi topik utama sehubungan dengan proses penegakan hukum
tersebut adalah masalah tidak memuaskan atau bahkan bisa dikatakan buruknya
kinerja sistem dan pelayanan peradilan militer yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum,1 (Formal: Polisi militer, Oditur militer, Hakim militer, advokad,
dan “Papera”) yang disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan dan
kemampuan, atau bahkan kurangnya ketulusan dari mereka yang terlibat dalam
system peradilan. Semua hal tersebut akhirnya melahirkan pesimisme prajurit
untuk tetap menyelesaikan sengketa melalui lembaga peradilan, sehingga yang
terjadi adalah main hakim sendiri. Sebagai suatu system, kinerja peradilan militer
berada pada titik yang buruk. Berbagai keluhan dari masyarakat dan para prajurit
yang sedang mencari keadilan seolah-olah tidak dapat lagi menjadi media kontrol
bagi lembaga tersebut untuk selanjutnya melakukan berbagai perbaikan yang
signifikan bagi terciptanya suatu sistem peradilan yang mempunyai asas
1

Suara Pembaharuan, 31 Maret 2002

8

sederhana, cepat dan biaya ringan, terlihat sudah sangat sulit untuk ditemukan dan
diterapkan oleh lembaga dan aparat peradilan militer. Keadaan tersebut diperparah
oleh berlikunya manajemen perkara yang harus mendapat persetujuan Ankum dan
atau ”Papera” untuk dilanjutkan atau tidak dilanjutkannya suatu perkara ke
peradilan militer.

Kriteria buruknya pelayanan peradilan militer dapat dilihat dan diukur dari
lambatnya proses penyidikan yang dilakukan oleh Oditur Militer, banyaknya
administrasi yang harus ditempuh, untuk dapat seseorang diajukan penuntutan
harus mendapat persetujuan dari Ankum dan atau Papera. Dengan kata lain oditur
militer sebagai bagian dari struktur peradilan militer tidak memiliki kekuasaan
peradilan, sebagaimana mestinya. Sehingga proses perkara pengadilan

yang

dilalui dari pendaftaran sampai keluar putusan pengadilan militer terlalu berbelitbelit, tidak efisien. Hal tersebut menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan
pencari keadilan terhadap lembaga peradilan militer semakin menipis. Muladi
menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk resosialisasi dan
rehabilitasi pelaku tindak pidana, pemberantasan kejahatan, dan untuk mencapai
kesejahteraan sosial.2

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1.

Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, yang menjadi masalah dalam
penelitian ini adalah:
2

Muladi, Peranan Administrasi Peradilan Dalam Sistem Peradilan pidana Terpadu (Suatu
Kerangka Diskusi) The Habibie centre, hlm. 3

9

a.

Bagaimanakah penegakan hukum terhadap anggota militer yang melakukan
tindak pidana umum?

b.

Bagaimanakah prospektif penegakan hukum terhadap anggota militer yang
melakukan tindak pidana umum?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian yang berkenaan dengan Hukum
Pidana terutama mengenai kajian-kajian yang berhubungan dengan penegakan
hukum terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum, dan
prospektifnya di masa mendatang. Lokasi penelitian dibatasi hanya pada wilayah
hukum Oditur Militer II-08 Jakarta pada kurun waktu 2011 sampai dengan 2012.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk:
a.

Menganalisis pelaksanaan penegakan hukum terhadap anggota militer yang
melakukan tindak pidana umum.

b.

Menganalisis prospektif penegakan hukum terhadap anggota militer yang
melakukan tindak pidana umum.

2. Kegunaan Penelitian

a.

Secara teoretis, hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan
ilmu pengetahuan hukum pidana khususnya dalam memberikan argumentasi

10

dan memahami mengenai penegakan hukum terhadap anggota militer yang
melakukan tindak pidana umum.
b.

Secara praktis diharapkan dapat bermanfaat bagi instansi terkait, khususnya
penegakan hukum terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana
umum.

D. Kerangka Pemikiran dan Konseptual

1.

Kerangka Pemikiran

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan ada
beberapa, yaitu:
a.

Teori Penegakan Hukum Pidana

Teori Penegakan Hukum Pidana oleh Joseph Goldstein. Upaya penegakan hukum
pidana menurut Joseph Goldstein dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:3
1) Total Enforcement (penegakan hukum sepenuhnya)
Yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana substantif (substantive law of
crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan,
sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana
yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan. Di samping itu
mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasanbatasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat
penuntutan pada delik aduan. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut Area of
no Enforcement (area di mana penegakan hukum pidana tidak dapat
dilakukan sepenuhnya). Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang
bersifat total tersebut dikurangi Area of no Enforcement, muncul bentuk
penegakan hukum pidana yang kedua, yakni Full Enforcement.
2) Full Enforcement (penegakan hukum secara penuh)
Penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, akan tetapi
oleh Joseph Goldstein harapan itu dianggap tidak mungkin dilaksanakan
secara penuh, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu,
3

Dalam Muladi. Menjamin Kepastian Ketertiban Penegakan dan Pelindungan Hukum
dalam era Globalisasi . (Jurnal Keadilan, 2001), hlm. 28.

11

personil, alat-alat investigasi, dana, yang kesemuanya mengakibatkan
keharusan dilakukan diskresi.
3) Actual Enforcement
Merupakan area yang dapat ditegakkan oleh hukum pidana, melihat pada
kenyataannya bahwa peristiwa tersebut melibatkan banyak orang dalam hal
ini para pengusaha maupun masyarakat.

b.

Teori Keberlakuan Hukum

Hukum mampu menjalankan fungsinya secara normal untuk melakukan
pembatasan kekuasaan berhubungan dengan konsekuensi dan efektivitas
keberlakuan hukum (rechtsgelding).4 Menurut Bruggink ada 3 (tiga) macam
keberlakuan hukum, yaitu:5
1) Keberlakuan normatif atau keberlakuan formal kaidah hukum, yaitu jika
suatu kaidah merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu
yang di dalamnya terdapat kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk.
Sistem kaidah hukum terdiri atas keseluruhan hirarki kaidah hukum
khusus yang bertumpu kepada kaidah hukum umum, kaidah khusus yang
lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum umum yang lebih tinggi;
2) Keberlakuan faktual atau keberlakuan empiris kaidah hukum, yaitu
keberlakuan secara faktual atau efektif, jika para warga masyarakat, untuk
setiap kaidah hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut.
Keadaan itu dapat dinilai dari penelitian empiris; dan
3) Keberlakuan evaluatif kaidah hukum, yaitu jika kaidah hukum itu
berdasarkan isinya dipandang bernilai. Dalam menentukan keadaan
keberlakuan evaluatif, dapat didekati secara empiris dan cara keinsafan.

Soerjono Soekanto mengemukakan konsep pengaruh hukum sebagai sikap tindak
atau perilaku yang dikaitkan dengan suatu kaidah hukum yang isinya, berupa
larangan, suruhan, atau kebolehan. Keberhasilan atau kegagalan hukum diukur
dari keberhasilannya mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai
dengan tujuan tertentu. Sikap tindak atau perilaku yang sesuai dengan tujuan

4

Bambang Poernomo, Hukum Pidana: Kumpulan Karangan Ilmiah, Jakarta: Bina Aksara, 1982,
hlm. 65.
5
Bruggink, Refleksi tentang Hukum (Penerjemah Arif Sidharta), Bandung: Citra Aditya Bakti,
1996, hlm. 149-152.

12

tersebut disebut „positif‟ aatau „efektif‟, sedangkan sikap tindak yang tidak sesuai
dengan tujuan atau perilaku yang menjauhi tujuan dinamakan „negatif‟ atau „tidak
efektif‟.6 Dalam hal ini, Soerjono Soekanto menganggap efektivitas hukum
merupakan salah satu konsekuensi hukum yang dapat dipertentangkan dengan
konsekuensi hukum lain, yaitu kegagalan hukum. Namun, keadaan tidak selalu
dapat digolongkan kepada salah satu diantara keduanya.7 Adakalanya hukum
dipatuhi, tetapi tujuannya tidak sepenuhnya tercapai. Hal itu disebabkan kadangkadang tidak sama antara semangat kaidah hukum dengan tulisan kaidah hukum
itu sendiri.

2. Konseptual

Untuk membatasi istilah yang digunakan dalam penulisan tesis ini dirumuskan
pengertian-pengertian sebagai berikut:
a.

Praktik8 adalah pelaksanaan secara nyata apa yg disebut dalam teori, atau
pelaksanaan pekerjaan.

b.

Penegakan Hukum9 adalah merupakan suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum
yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan
pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan
hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam
peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu
dijalankan.

c.

Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia, Prajurit adalah anggota TNI.

6

Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, Bandung: Remaja Rosdakarya,
1985, hlm. 7.
7
Soerjono Soekanto, Ibid, hlm. 8.
8
http://kamusbahasaindonesia.org
9
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, 1983, hlm. 24.

13

d.

Perkara pidana10 adalah suatu kasus atau permasalahan yang diancam dengan
pidana.

a. Tindak pidana11 adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan disertai ancaman (sanksi) dan menurut wujudnya atau sifatnya
perbuatan-perbuatan atau tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang
melawan hukum, perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam
arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam
pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.

10
11

Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981, hlm. 43.
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm. 56.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Peradilan Militer

Peradilan militer untuk pertama kali, berlaku melalui Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1946 tentang Peraturan Mengadakan Pengadilan Tentara. Pengadilan
tentara ini memiliki wewenang mengadili berdasarkan kompetensi absolut
terhadap prajurit tentara, baik Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan
Udara serta orang-orang sipil yang berhubungan dengan kepentingan ketentaraan.
Sementara susunan pengadilan terdiri dari Mahkamah Tentara dan Mahkamah
Tentara Agung. Dalam sistem peradilan militer, dikenal juga mekanisme
koneksitas yaitu aturan mengadili tindak pidana yang dilakukan secara bersamasama antara terdakwa yang masuk dalam kompetensi peradilan militer dan
terdakwa yang masuk dalam kompetensi peradilan umum. Lebih khusus, UndangUndang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Peraturan Mengadakan Peradilan Tentara,
Pasal 5 mengatur bahwa perkara koneksitas diadili oleh pengadilan biasa (negeri)
kecuali oleh ketetapan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri
Kehakiman diadili di peradilan militer.

Peradilan militer juga tidak terpisah sepenuhnya dari peradilan biasa yang
ditunjukkan dengan pejabat-pejabat yang berwenang di lingkungan peradilan
tentara. Ketua MA dan Jaksa Agung otomatis menjadi Ketua Mahkamah Tentara
Agung dan Jaksa Tentara Agung. Selain itu, hukum acara yang digunakan

15

berdasar pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1946 tentang Hukum Acara
Pidana Guna Peradilan Tentara yang mengatur pengusutan dan penyerahan
perkara ada pada jaksa.

Tahun 1948 terjadi perubahan melalui PP No 37 Tahun 1948 tentang jo. UndangUndang Nomor 30 Tahun 1948 tentang Pemberian Kekuasaan Penuh kepada
Presiden dalam Keadaan Bahaya. PP No 37 Tahun 1948 mengatur perubahan
ketentuan susunan, kedudukan dan daerah hukum yang telah diatur sebelumnya.
Kompetensi absolut peradilan militer ini meluas kepada prajurit TNI, orang yang
ditetapkan sama dengan prajurit TNI melalui Penetapan Presiden, anggota suatu
golongan atau jabatan yang dipersamakan atau dianggap tentara oleh atau undangundang atau orang-orang yang ditetapkan langsung oleh Menteri Pertahanan dan
disetujui oleh Menteri Kehakiman serta terdakwa yang termasuk dalam kejahatan
yang dinyatakan dalam keadaan bahaya berdasarkan Pasal 12 UUD 1945.
Perluasan ini menunjukkan besarnya campur tangan dari kekuasaan eksekutif
namun di sisi lain berkurangnya independensi peradilan.

Pergeseran kekuatan ini tidak mengherankan bila melihat konteks saat itu yaitu
adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1948. Di sisi lain, susunan pengadilan
bertambah lengkap yaitu Mahkamah Tentara, Mahkamah Tentara Tinggi dan
Mahkamah Tentara Agung. Sedangkan hukum acara nyaris tidak berubah, yaitu
PP No 38 Tahun 1948 dan PP No 65 Tahun 1948. Di masa Agresi Belanda II
muncul Peraturan Darurat No 46/MBDK/49 tahun 1949 tentang Menghapus
Pengadilan Tentara di seluruh Jawa Madura dan mengganti dengan Pengadilan
Tentara Pemerintah Militer. Kompetensi absolut pengadilan ini meliputi Angkatan

16

Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, anggota pasukan yang telah dimiliterisir
serta pegawai tetap yang bekerja pada angkatan perang. Sementara hukum acara
yang digunakan adalah acara summier sesuai Pasal 337 HIR dan tidak ada
banding. Di sisi lain, susunan pengadilan pun disesuaikan dengan pemerintahan
militer, yaitu Mahkamah Tentara zonder distrik militer, Mahkamah Tentara distrik
militer serta Mahkamah Tentara daerah gubernur militer. Di masa Republik
Indonesia Serikat (RIS), peraturan diganti kembali menjadi Perpu 36 Tahun 1949.
Walau demikian, kompetensi absolut, susunan pengadilan dan hukum acara sama
dengan PP No. 37 Tahun 1948. Pada masa UUDS 1950, peraturan mengenai
peradilan militer diganti kembali menjadi Undang-Undang Darurat No 16 Tahun
1950, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950.

Kompetensi absolute peradilan militer saat ini adalah anggota angkatan perang
RIS atau orang-orang yang ditetapkan sebagai angkatan perang berdasarkan
undang-undang atau peraturan pemerintah serta orang-orang yang tidak termasuk
angkatan perang tapi dapat diadili berdasarkan ketetapan Menhan dan persetujuan
Menkeh. Independensi pengadilan saat ini lebih baik karena apabila ada
perselisihan mengenai kewenangan mengadili antara pengadilan di lingkungan
peradilan tentara dengan pengadilan biasa akan diputuskan oleh Mahkamah
Agung Indonesia. Bandingkan dengan masa 1946 di mana perselisihan serupa
diputus oleh presiden. Walau demikian, independensi tersebut tidak sepenuhnya
karena untuk perselisihan antara Mahkamah Tentara Agung dengan Mahkamah
Agung tetap diputus oleh presiden. Saat ini juga terdapat pengawasan oleh
Mahkamah Tentara Agung yang ketuanya adalah Ketua Mahkamah Agung
terhadap Pengadilan Tentara Tinggi dan Pengadilan Tentara. Pengawasan serupa

17

juga dilakukan oleh Jaksa Tentara Agung yang ketuanya adalah Jaksa Agung
terhadap Kejaksaan Tentara Tinggi dan Kejaksaan Tentara. Hukum acara yang
digunakan adalah Undang-Undang Darurat No 17 Tahun 1950 yang kemudian
ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950. Pada saat inilah,
komandan/atasan memiliki wewenang menyidik menambah pihak yang sudah
tercantum dalam HIR. Walaupun demikian, pengusutan dan penyerahan perkara
tetap merupakan wewenang jaksa melalui kewajiban komandan menuruti
petunjuk Kejaksaan Tentara dan memberikan laporan tertulis tiap bulannya
kepada Kejaksaan Tentara. Sementara susunan pengadilan tetap seperti
sebelumnya.

Pengadilan militer model ini bertahan hingga pemberlakukan Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara. Undang-Undang Nomor 29
Tahun 1954, Pasal 35 menjadi dasar adanya perwira penyerah perkara yang
diikuti dengan Undang-Undang Darurat 1 Tahun 1958 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 yang mengatur atasan yang berhak
menghukum atau komandan dengan sejumlah hak yaitu melakukan pemeriksaan
sendiri, dapat memerintahkan pengusutan, dapat menentukan suatu perkara tindak
pidana atau disiplin, dapat menahan atau membebaskan, memerintah Jaksa
Tentara melakukan pengusutan /pemeriksaan, berhak menyerahkan perkara
kepada Pengadilan Tentara dan penentuan hari persidangan.

Sejak tahun 1964, seluruh sistem pengadilan berada dalam satu atap di bawah
Mahkamah Agung yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Walaupun demikian,

18

pengadilan-pengadilan ini belum sepenuhnya independen dari kekuasaan lain
karena untuk beberapa hal masih berada di bawah kekuasaan eksekutif, seperti di
bawah pimpinan MA, organisatoris, administratif dan finansial ada di bawah
kekuasaan Depkeh, Depag dan departemen-departemen dalam lingkungan
angkatan bersenjata.

Tahun 1965, kontrol militer terhadap peradilan militer semakin besar melalui
PNPS No 22 Tahun 1965 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1950. Melalui peraturan ini pejabat utama pada badan-badan peradilan militer
dijabat oleh kalangan militer sendiri. PNPS ini diikuti oleh SKB Menteri/Jaksa
Agung

dan

Menteri

Kepala

Staf

AD

No

MK/KPTS-189/9/196174

UP/DKT/A/11022/181/Pen, yang menyatakan pengalihan wewenang administratif
termasuk pengangkatan, penghentian jaksa tentara dan penentuan kebijaksanaan
dalam kejaksaan militer kepada Menteri/KSAD.

Kompetensi absolut peradilan militer semakin luas dalam PNPS No. 3 Tahun
1965. Undang-undang ini memberlakukan pidana tentara, hukum acara pidana
tentara dan hukum disiplin tentara kepada anggota-anggota angkatan kepolisian
RI. Kepolisian pada saat ini hanya memiliki kewenangan penyidikan, penyerahan
perkara dan pengambilan tindakan disiplin. Pihak yang dapat diadili di peradilan
militer semakin luas lagi dengan disahkannya PNPS No 4 Tahun 1965, yang
memberlakukan hukum pidana tentara, hukum acara pidana tentara dan hukum
disiplin tentara berlaku kepada hansip dan sukarelawan.

Masuknya angkatan kepolisian sebagai subjek di peradilan militer menjadi
permanen melalui Undang-Undang Nomor 23/PNPS/1965. Angkatan kepolisian

19

juga bertambah kewenangannya, yaitu kepolisian berwenang memeriksa dan
mengadili sendiri meski terbatas pada tingkat pertama, tingkat banding diperiksa
dan diadili Pengadilan Tentara Tinggi di lingkungan angkatan lain yang ditunjuk
oleh Menteri Koordinator Kompartimen Pertahanan Keamanan/Ka Staf AB.
Melalui SK No Kep/B/161/1968 badan peradilan di lingkungan angkatan
kepolisian semakin bertambah wewenangnya yaitu dapat mengadili dalam tingkat
banding tamtama, bintara dan perwira angkatan kepolisian

RI.

Pada

perkembangannya, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 menyatukan
pengadilan terakhir seluruh pengadilan yang ada kepada Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung mengadili di tingkat kasasi untuk setiap pengadilan. Campur
tangan kekuasaan eksekutif terhadap Pengadilan Tentara melalui Departemen
Kehakiman kemudian diakhiri melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yang membuat halhal organisatoris, administratif, dan finansial berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung. Walaupun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 masih
membuka kekhususan untuk setiap pengadilan melalui pengaturan bagi
kekhususan lingkungan peradilan masing-masing, seperti pembinaan administrasi
keprajuritan hakim militer disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan ketentuan
yang mengatur mengenai Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran yang
memeriksa dan memutus perkara pidana untuk tingkat pertama dan terakhir yang
diatur dalam Undang-Undang Peradilan Militer. Walaupun demikian, UndangUndang Nomor 35 tahun 1999 selangkah lebih maju dalam persoalan koneksitas,

20

dimana pemutusan sepenuhnya berada pada Mahkamah Agung sehingga
wewenang Menteri Pertahanan dihilangkan.

B. Pengertian Penegakan Hukum

Ketika berbicara penegakan hukum, maka harus dipahami lebih dahulu oleh para
penstudi hukum adalah apa yang dimaksud dengan penegakan hukum dan faktor
yang mempengaruhi untuk menganalisisnya. Dalam konstelasi negara modern,
hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social
engineering). Roscoe Pound12 menekankan arti pentingnya hukum sebagai sarana
rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh badanbadan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi. Konteks sosial teori ini
adalah masyarakat dan badan peradilan di Amerika Serikat.

Pada tataran konteks ke Indonesiaan, fungsi hukum demikian itu, oleh Mochtar
Kusumaatmadja diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat.13
Sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya
terletak pada pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga
legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang
ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan peraturan perundangundangan itu.

Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto
Rahardjo,14 merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan

12

Roscoe Pound, Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara, hlm, 7.
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Hukum Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun,
Jakarta: BPHN-Binacipta, 1978, hlm. 11.
14
Satjipto Rahardjo, Op.Cit. 1983, hlm. 24.

13

21

hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini
yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang
dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat
hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana
penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses
penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak
hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa
keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan
tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan
itu dibuat.15
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto,16 dipengaruhi
oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundangundangan.
Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam
peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah
mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan
hukum. Keempat, faktor masyara-kat, yakni lingkungan sosial di mana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan
hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan,
yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup.

15
16

Satjipto Rahardjo, Op.Cit. 1983, hlm. 25.
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, 1983, hlm. 15.

22

Satjipto Rahardjo,17 membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses
penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang
agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka
Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses
penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga
legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga,
unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial. Pada sisi lain,
Jerome Frank,18 juga berbicara tentang berbagai faktor yang turut terlibat dalam
proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor kaidah-kaidah
hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta simpati dan
antipati pribadi.
Sementara itu, Lawrence M. Friedman19 melihat bahwa keberhasilan penegakan
hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem
hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen
struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance)
dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure)
merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi
hukum

(legal

substance)

aturan-aturan

dan

norma-norma

actual

yang

dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku
yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture)
merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapanharapan

17

Satjipto Rahardjo, Op.Cit. 1983, hlm. 23-24.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hlm. 122.
19
Lawrence M, Friedman, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc,
1977, hlm. 6-7.
18

23

dan

pendapat

tentang

hukum.

Dalam

perkembangannya,

Friedman20

menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak
hukum (legal impact). Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan
adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang menjadi objek kajian peneliti.
Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell,21
konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang
ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini
menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga Negara terhadap hukum
dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi
hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di
luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum.
Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak
tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama
dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.

Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah
diterima sebagai instrumen resmi yang memperoleh aspirasi untuk dikembangkan,
yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial
yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal
dengan konsep hukum law as a tool of social engineering dari Roscoe Pound,22
atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja disebutkan sebagai
hukum yang berfungsi seba-gai sarana untuk membantu perubahan masyarakat.

20

Lawrence M. Friedman, American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, and
how it affects our daily lives, New York: W.W. Norton & Company, 1984, hlm. 16.
21
Roger Cotterrell, The Sociology of Law An Introduc