Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No. 3344/pid.B/2006/PN Mdn)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Achadiat, Chrisdiono M, 1996, Melindungi Pasien dan Dokter, Jakarta:Widya Medika

Amir, Amri, 1997, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika Chazawi, Adami,2001, Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa,Jakarta:Raja Grafindo Persada

Guwandi ,J, 1993, Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk Medik, Jakarta: FK-UI

Guwandi ,J, 1999, Kelalaian Medik, Jakarta: FK-UI

Isfandyarie,Anny,2005, Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, Jakarta: Prestasi Pustaka

Mariyanti, Ninik,1988, Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata, Jakarta: Bina Aksara

Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, 1997, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Kedokteran EGC

Koeswadji, Hermien Hadiati,1998, Hukum Kedokteran (Study Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Bandung: Citra Aditya Bakti

Nasution, Bahder Johan, 2005, Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban Dokter, Jakarta: Rineka Cipta

Ohoiwutun, Triana Y.A, 1997, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Malang:Bayumedia

Satyo, Alfred C, 2004, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan dan Profesi Dokter, Medan: USU Press

Sofyan, Mustika,dkk,2007, Bidan Menyongsong Masa Depan,Jakarta: PP IBI Soeparto, Pitono,dkk, 2008, Etik Dan Hukum Dibidang Kesehatan, Surabaya: Airlangga University


(2)

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.369/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No .900 /MENKES/ SK/ VII/ 2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan


(3)

BAB III

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN DAN UPAYA-UPAYA PENCEGAHANNYA

A. Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan

1. Kelalaian (negligence, culpa)

Kelalaian adalah suatu kesalahan yang dilakukan dengan tidak sengaja, atau kurang hati-hati, atau kurang penduga-duga. Akibat yang terjadi karena kelalaian sebenarnya tidak dikehendaki oleh si pembuat.

Didalam KUHP, tindak pidana yang sebabkan oleh kelalaian diatur dalam pasal 359,360 dan 361 KUHP.

Pasal 359:

Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.

Pasal 360:

1) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun.

2) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara


(4)

selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4500,-

Pasal 361:

Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatujabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam mana waktu kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkansupaya keputusannya itu diumumkan. Mengenai penyebutan kelalaian dengan “karena kesalahannya”, menurut penulis hal ini kurang tepat, karena dalam hukum pidana, kesalahan (schuld) lebih luas pengertiannya yaitu menyangkut kelalaian (culpa) dan kesengajaan (dolus)

Kelalaian (negligence,culpa) adalah salah satu faktor yang sering dijadikan sebagai penyebab terjadinya malpraktek. Bahkan ada juga yang menyebutkan bahwa kelalaian dan malpraktek adalah istilah yang memiliki maksud yang sama. Hal ini dapat dilihat dari pengertian-pengertian malpraktek yang diberikan oleh beberapa sarjana. Misalnya pengertian yang diberikan oleh Jusuf Hanafiah yang menyebutkan bahwa malpraktek medik adalah kelalaian seorang tenaga kesehatan untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.31

Guwandi menyatakan bahwa malpraktek tidak sama dengan kelalaian.32

31

Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, op.cit , hal 87

32

Amir, Amri, op.cit , hal 62

Kelalaian termasuk dalam arti malpraktek, tetapi dalam malpraktek tidak selalu terdapat unsur kelalaian. Artinya malpraktek mempunyai pengertian yang lebih


(5)

luas daripada kelalaian (negligence). Malpraktek, selain mencakup arti kelalaian, ia juga mencakup tindakan- tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus) dan melanggar Undang-Undang.

Didalam hukum kedokteran, terdapat rumusan tentang kelalaian yang sudah berlaku universal yang dapat dipakai sebagai pedoman, yaitu “kelalaian adalah kekurangan ketelitian yang wajar, tidak melakukan apa yang oleh seorang lain dengan ketelitian serta hati-hati akan melakukannya dengan wajar, atau melakukan apa yang seorang lain dengan ketelitian yang wajar justru tidak akan melakukannya.

Secara sederhana kelalaian dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan. Kelalaian itu timbul karena faktor orangnya atau pelakunya.

Kelalaian menurut hukum pidana terbagi menjadi dua macam. Pertama, “kealpaan perbuatan”. Maksudnya ialah apabila hanya melakukan perbuatannya itu sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut. Kedua, “kealpaan akibat. Kealpaan akibat ini baru merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu sendiri sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat atau matinya orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 359,360 dan 361 KUHP. 33

Kealpaan yang disadari terjadi apabila seseorang tidak berbuat sesuatu, padahal dia sadar bahwa akibat perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang dilarang oleh hukum pidana itu pasti timbul. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari ada

33

Nasution, Bahder Johan, Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban Dokter, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hal 56


(6)

kalau pelaku tidak memikirkan kemungkinan akan adanya suatu akibat atau keadaan tertentu, sedangkan ia sepatutnya telah memikirkan hal itu dan kalau ia memang memikirkan hal itu maka ia tidak akan melakukannya.

Dalam pelayanan kesehatan, kelalaian yang timbul dari tindakan seorang bidan adalah “kelalaian akibat”, misalnya tindakan seorang bidan yang menyebabkan cacat atau matinya orang berada dalam perawatannya, sehingga perbuatan tersebut dapat dicelakan padanya.

Sedangkan menurut ukurannya, kelalaian (culpa) dapat dibagi menjadi:34 1. culpa lata (gross fault/neglect), yang berarti kesalahan besar atau sangat

tidak hati-hati.

2. culpa levis(ordinary fault/neglect), yakni kesalahan biasa.

3. culpa levissima (slight fault/neglect), yang berarti kesalahan sangat ringan atau kecil.

Ukuran kesalahan dalam pelaksanaan tugas profesi bidan berupa kelalaian dalam hukum pidana adalah kelalaian besar (culpa lata), bukan kelalaian kecil (culpa levis).

Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan,jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “De minimis noncurat lex”, yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.35

34

Achadiat, Chrisdiono M, Melindungi Pasien dan Dokter, Jakarta; Widya Medika,1996, hal 28

35


(7)

Jika kelalaian sampai menimbulkan kerugian materi, mencelakakan dan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka kelalaian ini merupakan kelalaian serius dan dapat dikatakan sudah mengarah ke tindak pidana.36

Menurut Yusuf Hanafiah tolak ukur “culpa lata” adalah:37 1. bertentangan dengan hukum

2. akibatnya dapat dibayangkan 3. akibatnya dapat dihindarkan 4. perbuatannya dapat dipersalahkan.

Sedangkan menurut Jonkers kelalaian memiliki tiga unsur, yaitu:38

1. peristiwa itu sebenarnya dapat dibayangkan kemungkinan terjadinya (foreseeabilit, voorzienbaarheid).

2. terjadinya peristiwa itu sebenarnya bisa dicegah (vermijdbaarheid). 3. maka sipelaku dapat dipersalahkan karenanya (verwijtbaarheid).

Salah satu contoh perbuatan malpraktek bidan yang dilakukan karena kelalaian,misalnya pada saat seorang bidan akan memotong tali pusat bayi ternyata perut pasien atau bayinya ikut terluka.

2. Kurangnya Pengetahuan dan Pengalaman

Pasien yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang bidan tentu saja mengharapkan dengan kemampuan dan pengetahuannya di bidang kesehatan , bidan tersebut dapat membantunya untuk memperbaiki kesehatannya. Bagi ibu atau wanita hamil yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang bidan

36

Isfandyarie,Anny, op.cit., hal 110

37

Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, op.cit , hal 88

38

Guwandi,J, Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk Medik,Jakarta; FK-UI, 1993, hal 22


(8)

tentu saja mengharapkan agar bidan tersebut dapat membantunya melahirkan tanpa ada suatu hal yang tidak diharapkan untuk terjadi yang dapat membahayakan kesehatan dari sang ibu atau bayinya.

Akan tetapi sering terjadi, bahwa dalam perawatan yang diberikan oleh bidan kepada pasiennya, terjadi kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bidan yang membahayakan kesehatan pasien atau mungkin mengakibatkan sang pasien menjadi cacat atau bahkan meninggal dunia.

Hal tersebut kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan dari bidan tersebut. Kesalahan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan bidan tersebut dapat terjadi ketika melakukan diagnosa ataupun mengenai perawatan yang harus diberikan kepada pasien.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesatnya semakin memberikan kemudahan bagi tenaga kesehatan termasuk bidan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Oleh karena itu seorang bidan diharapkan mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.

Didalam Kode Etik Bidan, juga dicantumkan bahwa salah satu kewajiban bidan adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kurangnya pengalaman juga dapat menjadi penyebab terjadinya malpraktek atau praktek yang dibawah standar. Karena dari pengalaman inilah seorang bidan semakin belajar mengenai hal-hal yang berkaitan dengan prfesinya


(9)

sebagai bidan. Melalui pengalaman inilah seorang bidan harus dapat menggunakan ilmu yang didapatnya ketika menjalani pendidikan.

3. Faktor Ekonomi

Perkembangan yang terjadi didalam masyarakat yang sangat cepat sangat berpengaruh terhadap pandangan masyarakat mengenai pelbagai segi kehidupan. Segi positif dari perkembangan ini misalnya masyarakat semakin menyadari hak-haknya dan cara berpikir pun menjadi semakin kritis terhadap pelbagai segi kehidupan.

Sedangkan segi negatifnya adalah masyarakat menjadi semakin materialistik, hedonistik dan konsumtif, dimana materi menjadi tolok ukur utama dalam menilai suatu masalah dan hidup menjadi seolah-olah “perlombaan” mencari materi.39

39

Achadiat, Chrisdiono M, op.cit., hal 17

Seorang bidan selain dalam profesinya adalah juga merupakan manusia biasa. Didalam kehidupannya, seorang bidan tentu saja mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Terlebih lagi disaat ini ketika kehidupan ekonomi di Indonesia sedang mengalami masa sulit.

Dengan kondisi seperti itu tidak menutup kemungkinan, bahwa keinginan untuk memenuhi kebutuhan dengan mencari materi, telah menutupi peran yang mulia dari profesi bidan. Yang menjadi fokus dalam pelaksanaan praktek bidan hanyalah imbalan yang akan didapat dari sang pasien. Sehingga pelayanan yang diberikan kepada pasien menjadi tidak maksimal.


(10)

Contoh malpraktek bidan yang disebabkan oleh faktor ekonomi, misalnya bidan dengan diberikan imbalan uang tertentu membuka rahasia dari pasiennya kepada orang lain yang tidak berhak untuk mengetahui rahasia tersebut. Padahal seorang bidan dilarang untuk membuka rahasia dari pasiennya kepada orang lain, kecuali jika diminta pengadilan untuk keperluan kesaksian. Hal ini diatur dalam Kode Etik Bidan maupun dalam hukum pidana. Di dalam kode etik bidan hal ini diatur dalam Bab I tentang kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat, yaitu pada butir (1) yang berbunyi: “setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya”. Dalam sumpah jabatannya bidan tersebut telah bersumpah bahwa seorang bidan hanya boleh membuka rahasia pasiennya/kliennya apabila diminta untuk keperluan kesaksian pengadilan. Sedangkan didalam KUHP ketentuan ini diatur dalam pasal 322 KUHP.

Pasal 322 KUHP:

1) Barangsiapa dengan sengaja membuka suatu rahasia,yang menurut jabatannya atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu iadiwajibkan menyimpannya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.9000,-.

2) Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seorang yang ditentukan, maka perbuatan itu hanya dituntut atas pengaduan orang itu.

Contoh lain perbuatan malpraktek bidan yang dilakukan karena faktor ekonomi adalah bidan yang dengan diberikan uang atau imbalan tertentu melakukan pengguguran kandungan (abortus provocatus criminalis) yang tidak


(11)

berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan dilakukan pengguguran kandungan. Perbuatan ini diatur dan diancam pidana dalam pasal 349 KUHP yang berbunyi: “jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan itu dilakukan”. Selain diatur dalam pasal 349 KUHP, tindakan pengguguran kandungan tanpa indikasi medis ini juga diatur dan diancam pidana berdasarkan pasal 80 UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berbunyi:”barangsiapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,-“.

4. Faktor Rutinitas

Seorang bidan yang sehari-harinya selalu menangani klien atau pasien dapat juga terjebak dalam keadaan dimana pekerjaan atau profesinya tersebut menjadi sebuah rutinitas belaka. Hal ini dapat dapat juga menjadi faktor penyebab terjadinya malpraktek atau pelayanan yang dibawah standar. Karena dengan menjadikan praktek pelayanannya menjadi sebuah rutinitas, kemungkinan kehati-hatian atau ketelitian dalam melaksanakan tugasnya menjadi berkurang. Sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan dalam melakukan perawatan menjadi semakin besar.


(12)

5. Perubahan Pola Hubungan Bidan-Pasien

Hubungan tenaga kesehatan (bidan)- pasien, pada masa kini telah beralih dari hubungan paternalistik ke hubungan otonom. Pasien semakin menyadari hak-hak dan kewajibannya dalam bidang pelayanan kesehatan.40

40

Amir, Amri, op.cit, hal 52

Dahulu masyarakat dapat dikatakan selalu patuh kepada tenaga kesehatan tanpa dapat bertanya apapun karena ketidaktahuan atas hak-haknya. Tetapi pada masa kini pandangan tersebut mulai ditinggalkan. Pandangan bahwa tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan selalu benar, kini telah ditinggalkan dan diganti dengan pandangan-pandangan yang kritis.

Dahulu dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan kepada masyarakat posisi tenaga kesehatan berada diatas pasien. Dengan kata lain antara tenaga kesehatan dengan pasien mamiliki hubungan yang bersifat vertikal paternal. Sedangkan sekarang seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-hak kesehatannya maka hubungan tersebut berubah menjadi hubungan yang bersifat horizontal otonom. Yaitu posisi antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah seimbang. Sehingga apabila ada tindakan tenaga kesehatan yang merugikan pasien maka tenaga kesehatan tersebut dapat dituntut oleh pasien yang merasa dirugikan.


(13)

B. Upaya-Upaya Pencegahan Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan

Mengenai upaya-upaya pencegahan tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan ini, penulis membagi menjadi dua bagian. Yaitu upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh bidan itu sendiri dan upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dengan pelayanan kebidanan. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh bidan itu sendiri:

1. Tidak Menjanjikan Atau Memberi Garansi Akan Keberhasilan Upayanya Pasien yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang bidan tentu saja mengharapkan dengan kemampuan dan pengetahuannya di bidang kesehatan , bidan tersebut dapat membantunya untuk memperbaiki kesehatannya. Bagi ibu atau wanita hamil yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang bidan tentu saja mengharapkan agar bidan tersebut dapat membantunya melahirkan tanpa ada suatu hal yang tidak diharapkan untuk terjadi yang dapat membahayakan kesehatan dari sang ibu atau bayinya.

Dalam hal ini, bidan sebaiknya tidak menjanjikan atau memberi garansi bahwa upaya yang akan dilakukannya akan seratus persen berhasil. Hal ini karena upaya yang dilakukan bidan dalam perawatan pasiennya termasuk dalam perjanjian upaya (inspanningsverbintenis) dan bukan perjanjian yang bersifat resultaatverbintenis.


(14)

Yang dimaksud dengan inspanningsverbintenis atau perjanjian upaya adalah kedua belah pihak yang berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan.41

Sedangkan yang dimaksud dengan Resultaatverbintenis adalah suatu perjanjian bahwa pihak yang berjanji kan memberikan suatu Resultaat,yaitu suatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

42

Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) adalah persetujuan sepenuhnya yang diberikan oleh klien/pasien atau walinya (bagi bayi,anak dibawah umur dan kloien/pasien yang tidak sadar) kepada bidan untuk melakukan tindakan sesuai dengan kebutuhan.

Seorang bidan hanya berkewajiban untuk melakukan pelayanan kesehatan dengan penuh kesungguhan, dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan perhatiannya sesuai dengan Standar Profesi Bidan.

2. Sebelum Melakukan Tindakan Medis Agar Selalu Dilakukan Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent).

43

Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) adalah suatu dialog antara bidan dengan pasien atau walinya yang didasari akal dan pikiran yang sehat dengan suatu acara birokratisasi yakni penandatanganan suatu formulir atau

Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) adalah suatu proses bukan suatu formulir atau selembar kertas.

41

Ohoiwutun, Triana Y.A, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Malang:Bayumedia 1997, hal 13

42

ibid,

43


(15)

selembar kertas yang merupakan jaminan atau bukti bahwa persetujuan dari pihak pasien atau walinya telah terjadi.

Hal-hal yang perlu disampaikan dalam informed consent adalah:44 a. maksud dan tujuan tindakan medik tersebut

b. risiko yang melekat pada tindakan medik tersebut c. kemungkinan timbulnya efek samping

d. alternatif lain tindakan medik tersebut

e. kemungkinan-kemungkinan (sebagai konsekuensi) yang terjadi bila tindakan medik itu tidak dilakukan.

Leenen menyatakan bahwa Standar Profesi Medis dan informed consent merupakan dua hal pokok yang harus dipenuhi, untuk menhilangkan sifat bertentangan dengan hukum terhadap suatu tindakan atau perbuatan medik.45

Pengaturan mengenai persetujuan tindakan medik (informed consent) ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.585/MENKES/Per/IX/1989.

Akan tetapi, bukan berarti dengan adanya informed consent, seorang bidan dapat memperlakukan pasien dengan seenaknya. Walaupun sudah ada informed consent dari pasien atau walinya, apabila terjadi kesalahan yang mengakibatkan efek negatif kepada pasien, misalnya pasien menjadi cacat atau bahkan meninggal, sang bidan tetap dapat dituntut secara pidana. Yaitu apabila dalam pelaksanaan tindakan medik tersebut dilaksanakan tidak sesuai dengan Standar Profesi Bidan.

44

Achadiat, Chrisdiono M, op.cit , hal 24

45


(16)

3. Mencatat Semua Tindakan Yang Dilakukan Dalam Rekam Medis

Pengaturan mengenai Rekam Medis diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.749a/MENKES/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis/Medical Record (selanjutnya disebut Permenkes Rekam Medis).

Pengertian Rekam Medis menurut Pasal 1 huruf a Permenkes Rekam Medis adalah berkas yang berisikan catatan tentang identitas pasien, pemeriksaan,pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain pada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.46

a. identitas pasien

Didalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktek Bidan disebutkan yang dibuat dalam rekam medis sekurang-kurangnya:

b. data kesehatan c. data persalinan

d. data bayi yang dilahirkan (panjang badan dan berat lahir) e. tindakan dan obat yang diberikan.

Petugas pembuat rekam medis ditentukan dalam Pasal 3 Permenkes Rekam Medis adalah dokter dan atau tenaga kesehatan lain yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien.47

46

Ohoiwutun, Triana Y.A, op.cit, hal 20

47

Ibid, hal 25

Rekam medis ini sangat berguna, terutama untuk menentukan apakah tindakan yang dilakukan oleh bidan sesuai dengan Standar Profesi.


(17)

Didalam bidang hukum Rekam Medis dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian perkara hukum.48

Apabila seorang bidan mengalami keraguan dalam menangani pasiennya. Baik pada tahap diagnosis maupun terapi atau perawatan, sebaiknya bidan tersebut mengkonsultasikan hal tersebut kepada senior atau dokter, atau dengan kata lain kepada orang yang menurut bidan tersebut memiliki pengetahuan yang Hal ini ditentukan dalam Pasal 13 huruf b Permenkes Rekam Medis yang menyatakan bahwa Rekam Medis dapat digunakan sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum.

Dalam rangka pembuktian perkara pidana, kopi atau salinan rekam medis yang digunakan sebagai alat bukti (tanpa meminta keterangan dokter atau tenaga kesehatan pembuat rekam medis didepan persidangan) dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat karena rekam medis dibuat sesuai dengan ketentuan kriteria Pasal 187 huruf a KUHAP (dalam UU No.8 Tahun 1981). Ketentuan tersebut menyatakan bahwa berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi (dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannnya) harus memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat,atau dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu. Rekam medis sebagai alat bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian karena memenuhi unsur-unsur yang diisyaratkan oleh Pasal 187 KUHAP, yaitu apa yang ditulis sebagai isi rekam medis berdasarkan apa yang ia alami, dengar dan lihat.

4. Apabila Terjadi Keragu-raguan, Konsultasikan Kepada Senior Atau Dokter

48


(18)

lebih mengenai tindakan yang harus dilakukan oleh bidan dalam menangai pasiennya.

Hal ini perlu dilakukan, agar sang bidan jangan sampai melakukan kesalahan mengenai tindakan apa yang harus dilakukannya dalam menangani pasiennya.

5. Menjalin Komunikasi Yang Baik Dengan Pasien, Keluarga Dan Masyarakat Sekitarnya.

Seorang bidan dalam kesehariannya, hidup didalam lingkungan masyarakat. Biasanya masyarakat inilah yang akan menjadi pasien atau klien dari bidan tersebut.

Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitar bagi seorang bidan adalah sangat penting. Kedudukan bidan dalam sistem pelayanan kesehatan tidak saja sebagai pemberi pelayanan kesehatan, akan tetapi sering pula bidan menjadi semacam tempat tumpahan permasalahan dari klien maupun keluarganya. Seorang wanita dalam keadaan hamil, melahirkan ataupun pada masa nifas, seringkali mendapat gangguan pada emosinya atau pada keadaan kesehatan mentalnya. Dalam keadaan seperti ini seringkali ia ingin mencurahkan segala isi hatinya atau permasalahan dirinya secara pribadi maupun keluarga pada seseorang yang mau mendengarkannya. Biasanya orang tersebut adalah bidan, yang pada waktu-waktu tersebut sangat dekat dengan klien. Oleh karena itu sangat penting untuk menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitar agar ketika mendapat perawatan dari bidan sang klien atau


(19)

pasien merasa nyaman sehingga dapat memberi kepercayaan kepada bidan untuk membantunya.

Amri Amir, mengatakan bahwa hubungan tenaga kesehatan(bidan)-pasien ini adalah pangkal dari timbulnya kasus malpraktek, maka kemungkinan timbulnya kasus malpraktek dapat dikurangi dari semula bila terjalin komunikasi dan informasi yang baik antara tenaga kesehatan (bidan) - pasien.49

IBI sebagai wadah organisasi profesi bagi bidan tentu saja diharapkan agar dapat mengawasi dan membina anggotanya agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang memuaskan kepada masyarakat. Didalam wadah IBI terdapat Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dengan pelayanan kebidanan:

1. Melakukan Pembinaan Kebidanan Yang Lebih Baik

Pada saat ini telah banyak bermunculan lembaga pendidikan kebidanan (biasanya dengan nama Akademi Kebidanan atau disingkat Akbid), baik yang dimiliki pemerintah, daerah, ataupun swasta.

Hal ini mencerminkan besarnya minat masyarakat yang ingin mempelajari ilmu kebidanan dan berkecimpung dalam profesi bidan.Oleh karena, menjadi tanggung jawab bagi lembaga pendidikan kebidanan tersebut untuk membina dan melatih para peserta pendidikan kebidanan agar dapat menghasilkan bidan-bidan yang berkualitas. Para peserta pendidikan kebidanan inilah yang nantinya akan menjadi calon-calon bidan yang akan melayani didalam masyarakat.

2. Memaksimalkan peran IBI

49


(20)

lembaga MPEB dan MPA yang berwenang untuk mengawasi keinerja dari bidan-bidan yang adalah merupakan anggota dari organisasi IBI.

Diharapkan agar IBI melalui MPEB maupun MPA lebih dimaksimalkan fungsinya agar dapat mencegah terjadinya tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan. Karena hal ini juga dapat merusak citra bidan di mata masyarakat.

C. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan

Begitu banyak kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan dengan alasan malpraktek yang dilakukan oleh bidan. Akan tetapi banyak pula dari kasus-kasus tersebut yang kandas dalam proses persidangan di pengadilan. Atau dengan kata lain tidak dapat dibuktikan secara hukum mengenai kesalahan yang dilakukan oleh bidan sehingga para tersangka dapat terbebas dari hukuman.

Hal ini disebabkan karena dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan, khususnya untuk kasus yang berkaitan dengan malpraktek masih terdapat kendala-kendala yang muncul sehingga menyulitkan proses pembuktiannya. Kendala-kendala tersebut antara lain:

1. Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum mengenai hukum kesehatan. Hukum kesehatan adalah merupakan hal yang baru di Indonesia. Sehingga aparat penegak hukum masih sulit untuk dapat menyelesaiakan atau memproses kasus-kasus yang berkaitan dengan malpaktek.

Selain itu malpraktek atau kasus-kasus yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan tidaklah sama dengan tindak pidana pada umumnya. Sebagai bahan


(21)

perbandingan, ,misalnya untuk dapat menentukan kesalahan dari pengemudi yang menyebabkan kecelakaan, sehingga mengakibatkan orang lain terluka atau bahkan meninggal. Aparat penegak hukum dapat dengan mudah menentukan ukuran pengemudi yang memiliki kemampuan rata-rata. Sedangkan pada kasus malpraktek hal ini tidak mudah untuk menentukan kemampuan rata-rata dari setiap tenaga kesehatan.

2. Sulitnya untuk membuktikan kesalahan bidan

Untuk dapat membuktikan kesalahan bidan, terlebih lagi yang disebabkan oleh kelalaian bukanlah hal yang mudah. Karena dalam kesalahan yang dilakukan oleh bidan banyak faktor yeng mempengaruhi dan menjadi latar belakang dari timbulnya kesalahan tersebut. Faktor tersebut dapat berasal dari pihak bidan maupun pihak pasien itu sendiri.

Faktor yang berasal dari pihak bidan: a. Penatalaksanaan tindakan medik b. Cara pemeriksaan

c. Kecermatan dan ketelitian

Faktor yang berasal dari pihak pasien: a. Tingkat keseriusan penyakit b. Daya tahan tubuh pasien c. Usia

d. Kemauan dari pasien untuk sembuh e. Komplikasi dari penyakitnya


(22)

3. Sulit untuk menentukan kemampuan rata-rata seorang bidan

Untuk mengukur atau menentukan kemampuan/kecakapan rata-rata seorang tenaga kesehatan sangatlah sulit, karena banyak faktor yang mempengaruhi penentun itu. Sebagai misalnya seorang tenaga kesehatan yang baru lulus pendidikan tentunya tidak dapat disamakan kemampuannya dengan seorang tenaga kesehatan yang telah menjalankan pekerjan di bidang kesehatan selama dua puluh tahun.

Selain untuk kendala dalam menilai kemampuan rata-rata seorang tenaga kesehatan, adalah tidak meratanya keadaan dari tiap daerah. Seorang tenaga kesehatan yang melaksanakan pekerjaan di Irian Jaya selama sepuluh tahun tentu tidak dapat disamakan kemampuannya dengan seorang tenaga kesehatan yang melaksanakan pekerjaannya selama sepuluh tahun di rumah sakit dengan peralatan super canggih di Jakarta.

Selain itu kemampuan tenaga kesehatan di kota kecil dengan keterbatasan informasi dan peralatan, tidak dapat disamakan dengan kemampuan tenaga kesehatan yang bekerja di kota besar yang tentunya sangat mudah memperoleh informasi dan dikelilingi oleh peralatan canggih.


(23)

BAB IV

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN DALAM PERAWATAN PASIENNYA

A. Kriteria Penilaian Terjadinya Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan

Perbedaan mendasar antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana medis terletak pada fokus tindak pidana tersebut. Fokus tindak pidana biasa terletak pada akibat dari tindak pidana, sedangkan pada tindak pidana medis fokusnya pada sebab/kausa dari tindak pidana.50

Masyarakat lebih menekankan pada akibat yang ditimbulkan, seberapa jauh pasien dirugikan. Makin berat akibatnya, semakin besar dianggap kesalahan tenaga kesehatan tersebut.

Begitu banyak kasus malpraktek yang diajukan ke pengadilan, akan tetapi banyak juga kasus-kasus tersebut yang kandas atau tidak dijatuhi hukuman ataupun pidana oleh pengadilan. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya pandangan yang salah terhadap timbulnya tuntutan malpraktek dari masyarakat.

51

Secara hukum apakah seseorang melakukan malpraktek atau tidak, harus dibuktikan di depan pengadilan. Seperti dikemukakan diatas, fokus dari tindak pidana medis adalah pada sebab atau kausa dari tindak pidana tersebut. Dengan Setiap ada tindakan tenaga kesehatan atau bidan yang tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan pasien, maka tindakan bidan atau tenaga kesehatan itu dikatakan sebagai malpraktek. Hal inilah yang menyebabkan tuntutan malpraktek semakin meningkat.

50

Ohoiwutun, Triana Y.A, op. cit, hal 59

51


(24)

kata lain, walaupun akibat yang ditimbulkan sangat besar, misalnya pasien menjadi cacat atau bahkan meninggal, akan tetapi apabila tidak ditemukan kesalahan baik berupa kesengajaan ataupun kelalaian maka tenaga kesehatan tersebut tidak dapat dijatuhi pidana.

Guwandi menyimpulkan bahwa terdapat malpraktek apabila:52 1. Ada tindakan atau sikap tenaga kesehatan yang:

- bertentangan dengan etik atau moral - bertentangan dengan hukum

- bertentangan dengan Standar Profesi Medik

- kurang pengetahuan atau ketinggalan ilmu pada bidangnya yang berlaku umum

2. Adanya kelalaian, kurang hati-hati atau kesalahan.

Y.A. Triana Ohoiwutun memberikan penilaian tentang ada atau tidaknya malpraktek medis antara lain didasarkan pada beberapa pertanyaan yaitu:53

52

Achadiat, Chrisdiono M, op.cit , hal 19

53

Ohoiwutun, Triana Y.A, op. cit, hal 53

1. Adakah tindakan yang merupakan kelalaian yang telah dilakukan oleh tenaga kesehatan?

2. Apakah praktek tindakan medis yang dilakukan tenaga kesehatan telah sesuai dengan standar profesi?

3. Apakah pasien berakibat mendeita fisik/psikis secara serius akibat tindakan medis?


(25)

Dalam kepustakaan Anglo Saxon dikatakan bahwa seorang tenaga kesehatan dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum, apabila telah memenuhi syarat:54

1. Duty (kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan:

a. adanya indikasi medis

b. bertindak secara hati-hati dan teliti c. bekerja sesuai dengan standar profesi d. sudah ada informed consent

2. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Jika seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.

3. Damage (kerugian)

Adanya kerugian yang dirasakan atau dialami oleh pasien. 4. Direct Causation (penyebab langsung)

Bidan untuk dapat dipersalahkan harus ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela di antaranya.

54


(26)

Selanjutnya menurut C. Berkhouwer S. dan D. Vortman seorang tenaga kesehatan (bidan) dapat dikatakan melakukan kesalahan profesional, apabila dia tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau tidak meninggalkan hal-hal yang akan diperiksa, dinilai, diperbuat atau ditinggalkan oleh tenaga kesehatan (bidan) pada umumnya didalam situasi yang sama. 55

1. Pasal 44 (sakit jiwa)

Selain kriteria penentuan terjadinya malpraktek yang telah dikemukakan oleh beberapa sarjana diatas, juga harus diperhatikan mengenai hal-hal yang meniadakan hukuman bagi bidan.

Dasar peniadaan hukuman dapat merupakan dasar peniadaan hukuman yang tercantum dalam Pasal-Pasal di KUHP maupun yang berasal dari luar KUHP.

Dasar peniadaan hukuman bagi bidan yang tercantum dalam KUHP, yaitu:

2. Pasal 48 (adanya unsur daya paksa/overmacht) 3. Pasal 49 (pembelaan diri terpaksa)

4. Pasal 50 (melaksanakan ketentuan UU)

5. Pasal 51 (melaksanakan perintah jabatan yang sah)

Sedangkan mengenai dasar peniadaan hukuman di luar KUHP, Guwandi berusaha menyusun sistematika untuk beberapa dasar peniadaan hukuman atau kesalahan khususnya di bidang medik, yaitu:56

1. Resiko pengobatan atau resiko medik (risk of treatment) 2. Kecelakaan medik (medical accident)

55

Nasution, Bahder Johan, op.cit., hal 76

56


(27)

3. Kekeliruan penilaian klinis (Non-negligent error of judgement)

4. Kesediaan menanggung resiko (volenti non fit iniura/assumption of risk) 5. Contributory negligence

Selain itu ada juga dasar peniadaan hukuman yang diberikan oleh Undang-Undang, misalnya dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan yang menyebutkan: “Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu”.

Hal-hal tersebut diatas adalah hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan suatu penilaian atas suatu kasus. Apakah kasus tersebut termasuk dalam malpraktek atau bukan. Selain itu untuk menentukan apakah pelaku dapat diminta pertanggung jawaban secara pidana atau tidak. Mengenai penentuan tersebut tentu saja kembali kepada keputusan hakim yang menangani suatu kasus yang berkaitan dengan malpraktek untuk menentukan apakah kasus yang ditanganinya adalah merupakan malpraktek atau bukan. Atau apakah si pelaku dapat diminta pertanggung jawaban secara pidana atau tidak.

Mengenai proses penyelesaian malpraktek yang dilakukan oleh bidan, terlebih dahulu harus memperhatikan apakah perbuatan bidan tersebut termasuk dalam kategori malpraktek etik, administrasi, perdata atau pidana.

Harus diingat bahwa melakukan malpraktek yuridis (melanggar hukum) berarti juga melakukan malpraktek etik (melanggar kode etik). Sedangkan malpraktek etik belum tentu merupakan malpraktek yuridis.

Apabila bidan tersebut hanya melakukan perbuatan yang termasuk kedalam malpraktek etik, misalnya dalam prakteknya bidan membeda-bedakan


(28)

setiap pasien berdasarkan pangkat, kedudukan,golongan, bangsa atau agama. Hal ini melanggar salah satu kode etik bidan pada Bab I tentang kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat, yaitu pada butir (1) yang berbunyi: “setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya”. Sedangkan dalam sumpah jabatannya bidan tersebut telah bersumpah bahwa dalam melaksanakan tugas atas dasar kemanusiaan tidak akan membedakan pangkat, kedudukan, keturunan, golongan, bangsa dan agama. Maka penyelesaian atas hal tersebut dilakukan oleh wadah profesi bidan yaitu IBI. Dan pemberian sanksi dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku didalam organisasi IBI tersebut.

Sedangkan apabila perbuatan bidan tersebut termasuk ke dalam malpraktek yuridis, baik perdata, administrasi maupun pidana, maka penyelesaiannya bukan lagi menjadi wewenang dari IBI sebagai wadah profesi dan pengawas dari orang-orang yang berprofesi sebagai bidan. Akan tetapi, menjadi wewenang dari lembaga judikatif atau lembaga peradilan.

Apabila perbuatan tersebut termasuk kedalam malpraktek perdata, maka penyelesaian kasus tersebut harus berdasarkan kepada hukum atau aturan yang ada di dalam hukum perdata. Dalam hal ini penyelesaian kasus malpraktek yang termasuk dalam kategori malpraktek perdata dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (diluar proses peradilan).

Apabila dipilih cara litigasi atau melalui proses peradilan, maka pasien atau penggugat dapat mengajukan gugatannya dipengadilan negeri di wilayah


(29)

kejadian, dapat dengan menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak. Hal-hal yang sering dijadikan dasar dalam menggugat bidan secara perdata adalah:

a. wanprestasi (Pasal 1371 KUHPerdata)

b. perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata)

c. kelalaian sehingga menimbulkan kerugian (Pasal 1366 KUHPerdata) Dalam proses peradilan perdata umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah dan kemudian putusan tentang jumlah uang ganti rugi yang layak dibayar oleh tergugat kepada penggugat apabila gugatan yang diajukan dapat dibuktikan.

Apabila dipilih cara non litigasi atau diluar proses peradilan, maka kedua belah pihak, yaitu pasien dan bidan berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa. Dalam proses ini diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak. Hakim pengadilan perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan.

Menurut pendapat Wila, sebagian kasus malpraktek diselesaikan secara damai yang dilakukan diluar jalur litigasi.57

Sedangkan apabila, perbuatan bidan tersebut termasuk dalam kategori malpraktek pidana, maka kasus tersebut harus diselesaikan melalui jalur litigasi.

Hal ini disebabkan karena tenaga kesehatan tidak menghendaki reputasinya rusak bila dipublikasikan secara negatif, walaupun ada kemungkinan tenaga kesehatan yang bersangkutan tidak bersalah.

57


(30)

Karena berbeda dengan hukum perdata yang bertujuan untuk mencari perdamaian antara kedua pihak yang bersengketa atau dalam hal ini adalah tenaga kesehatan dengan pasiennya, hukum pidana adalah hukum yang menyangkut kepentingan umum bersama. Berbicara hukum pidana berarti berbicara tentang hukum publik. Oleh karena itu apabila telah terbukti tenaga kesehatan telah melakukan malpraktek, maka hukum harus tetap diberlakukan padanya, karena kalau tidak, berarti kita tidak mendidik kepada masyarakat pada umumnya untuk sadar terhadap hukum yang berlaku, sehingga selanjutnya akan sangat sulit untuk menegakkan hukum itu sendiri.

Untuk mengajukan tuntutan melalu proses hukum pidana, pasien atau korban cukup melaporkan kepada penyidik dengan menunjukan bukti-bukti permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan saksi dan terdakwa, serta mengumpulkan bukti-bukti. Berkas hasil penyidikan penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya. Setelah itu tergantung kepada putusan hakim untuk memutuskan kasus tersebut, apakah terdakwa diputuskan bersalah dan dijatuhi sanksi pidana atau tidak. Dan apakah terdakwa tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana atau tidak.

Menurut Y.A.Triana Ohoiwutun, penjatuhan sanksi pidana dapat dilakukan apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu:58

a. Perbuatan dilakukan oleh subyek hukum (manusia dan badan hukum).

58


(31)

b. Ada kesalahan.

c. Perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum. d. Pembuat atau pelaku mampu bertanggung jawab. e. Tidak ada alasan yang menghapuskan pidana.

Dalam proses penyidikan kasus malpraktek pidana, diperlukan saksi ahli dalam bidang yang berkaitan dengan kasus tersebut. Hal ini diperlukan karena kasus malpraktek adalah kasus yang menyangkut dua bidang yang berlainan, yaitu bidang hukum dan bidang kesehatan. Oleh karena itu diperlukan pendapat dari orang yang memiliki pengetahuan di bidang kesehatan yang sesuai dengan kasus malpraktek yang terjadi. Dalam kasus malpraktek yang dilakukan oleh bidan, maka saksi ahli yang diajukan adalah saksi ahli yang memiliki keahlian dalam ilmu kebidanan, misalnya dokter spesialis kandungan.

Keterangan ahli dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam satu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan tersebut. Apabila hal tersebut tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan disidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat didalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan sidang mengenai kebenaran keterangannya sebagai saksi ahli. Sumpah atau janji yang diucapkan dimuka sidang mengenai kebenaran keterangannya yang diberikan sebagai saksi ahli ini harus dibedakan dengan sumpah atau janji yang diucapkan pada waktu menerima jabatan atau pekerjaan (sumpah jabatan)


(32)

Adanya keharusan bagi saksi ahli untuk mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya itu dapat berlaku bagi dokter ahli kedokteran kehakiman, atau dokter atau ahli lainnya, merupakan hal yang wajib demi keadilan diatur dalam Pasal 179 ayat (1) dan (2) KUHAP.

Bahkan bila hakim belum yakin, karena keterangan ahli mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas, hakim bebas menilai dan tidak ada keharusan untuk menerima kebenaran keterangan ahli yang diberikan oleh saksi ahli tersebut.59

Apabila seorang bidan melakukan malpraktek yuridis (baik perdata, administrasi maupun pidana) dan dihadapkan ke muka pengadilan. Maka IBI melalui MPA dan MPEB wajib melakukan penilaian apakah bidan tersebut telah benar-benar melakukan kesalahan. Karena salah satu tujuan pembentukan MPA dan MPEB adalah untuk memberikan penilaian apakah seorang bidan dalam melaksanakan tugasnya telah sesuai dengan kode etik bidan atau tidak. Salah satu alasan dibentuknya MPA dan MPEB adalah karena bidan dalam melaksanakan tugas profesinya kadang kala diprotes oleh keluarga pasien bahwa si bidan telah membuat kesalahan atau kelalaian yang mendatangkan kerugian bagi pasien yang Oleh karena itu bila hakim kurang atau belum yakin, dapat meminta keterangan ahli lain, dan bahkan dimungkinkan untuk mengadakan penelitian ulang dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunya wewenang untuk itu. Hal ini dapat ditemukan dasar hukumnya dalam Pasal 180 ayat (1) sampai dengan ayat (4) KUHAP.

59

Koeswadji, Hermien Hadiati, Hukum Kedokteran (Study Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hal 158


(33)

ditolongnya. Sedangkan kemungkinan dapat terjadi kesalahan atau kelalaian dari keluarga pasien itu sendiri seperti pertolongan keluarga sebelum pergi ke bidan. Apabila menurut penilaian MPA dan MPEB kesalahan atau kelalaian tersebut terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian bidan, dan bidan tersebut telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi, maka IBI melalui MPA wajib memberikan bantuan hukum kepada bidan tersebut dalam menghadapi tuntutan atau gugatan di pengadilan.

Didalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, sebenarnya sudah ditentukan lembaga yang berwenang untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam menjalankan praktek profesinya. Didalam Pasal 54 ayat (2) disebutkan bahwa yang berhak menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya adalah Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK).

Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No.56 Tahun 1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non struktural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi di bidang kesehatan, ahli agama, ahli psikologi dan ahli sosiologi.

Namun sampai saat ini peran MDTK dalam penanganan kasus malpraktek atau kasus yang berkaitan dengan tenaga kesehatan masih kurang optimal. Hal ini


(34)

terlihat dari masih banyaknya kasus-kasus yang diduga sebagai malpraktek ataupun kasus-kasus yang melibatkan tenaga kesehatan yang diajukan ke depan muka pengadilan.

B. Kasus dan Analisis Kasus

1. Kasus

Kemudian pada pukul 17.00 WIB jalan lahirnya sudah lengkap 10 cm dan disitulah saksi korban Henny Vivi Yulianty melahirkan dengan kondisinya ketika

Kronologis Perkara

Terdakwa Afrina Br. Sembiring telah didatangi saksi korban Henny Vivi Yulianty bersama adik saksi korban di Klinik Bersalin Sari Buana milik terdakwa di Jl. Setia Budi Medan pada pukul 09.00 WIB dengan mengatakan bahwa saksi korban sudah ada tanda-tanda akan melahirkan. Kemudian terdakwa memeriksa kesehatan pasien dan bayinya yang pada waktu itu kondisi kesehatan saksi korban Henny Vivi Yulianty dan bayinya dalam keadaan sehat, kemudian terdakwa ketahui bahwa bukaan jalan lahir bayi saksi korban sebesar 3 cm dan diperkirakan masih lama lagi. Lalu terdakwa menyarankan saksi korban untuk jalan-jalan disekitar klinik kurang lebih lima menit. Kemudian sekitar pukul 13.00 terdakwa memberi infus Deatrose 5 % sebanyak 500 cc untuk menambah tenaga,pemasangan infus tersebut telah disetujui oleh saksi korban Henny Vivi Yulianty dan menurut pengakuan saksi korban, saksi Hastaricka alias Adek, saksi Yusrah Nasution, dan saksi Denny Armaya alias Deni, 10 menit kemudian saksi korban di SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) melalui jarum infus yang dilakukan oleh terdakwa.


(35)

itu agak lemah dan saksi korban Henny Vivi Yulianty melahirkan dalam keadaan normal tanpa menggunakan ekstraksi Vakum dan juga tidak dengan dioperasi lalu 10 menit kemudian keluar urinya.

Pada pukul 18.00 WIB terdakwa melihat darah masih keluar sedikit-sedikit dari vagina saksi korban Henny Vivi Yulianty dan pada pukul 20.00 terdakwa melihat saksi korban agak gelisah dan lemah dan perutnya agak kembung dan ketika terdakwa mengukur tekanan darah menunjukan 70/50 MMHg. Kemudian ibu saksi korban memberitahukan kepada terdakwa bahwa telah terjadi pendarahan banyak dari vagina saksi korban, namun terdakwa mengatakan “Jangan Cemas” dan membiarkannya begitu saja, lalu keluarga saksi korban bersikeras agar saksi korban dibawa ke Rumah Sakit untuk ditangani lebih intensif, lalu terdakwa menyarankan untuk dirujuk ke Rumah Sakit Vina Estetica. Waktu itu pihak keluarga saksi korban yaitu bapak saksi korban meminta ke Rumah Sakit Tentara, namun terdakwa menyarankan kepada mereka, saksi agar dirujuk ke Rumah Sakit Vina Estetica karena Dr.Jhon Robert Simanjuntak, SpOG sebagai Dokter Konsul terdakwa bisa menangani pasien di Rumah Sakit Vina Estetica dan kemudian terdakwa menghubungi Dr. Jhon Robert Simanjuntak, SpOG melalui Hp nya bahwa terdakwa membawa saksi korban ke Rumah Sakit Vina Estetica.

Kemudian pada malam itu juga sekitar pukul 20.00 WIB terdakwa bersama keluarga saksi korban membawa saksi korban ke Rumah Sakit Vina Estetica di Jl. Iskandar Muda Medan.


(36)

Setibanya di Rumah Sakit Vina Estetica adalah sekitar pukul 20.30 WIB dan selanjutnya saksi lorban ditangani oleh pihak Rumah Sakit Vina Estetica sampai dirinya ditangani oleh Dr. Jhon Robert Simanjutak, SpOG.

Sesuai dengan Resume Medik Rumah Sakit Vina Estetica tanggal 5 Agustus 2004 yang ditandatangani oleh Dr. Jhon Robert Simanjuntak, SpOG selaku dokter yang merawat saksi korban dan R. Sinaga, Bsc,SE selaku Direktur Umum, bahwa pada tanggal 1 Juli 2004 telah dilakukan operasi buka perut (laparatomi) yang dijumpai robekan rahim dan robekan dinding kemaluan bagian atas dan dijumpai jaringan nekrotik, diputuskan untuk penggangkatan rahim.

Dakwaan:

Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang mendakwa terdakwa sebagai berikut:

Pertama:

Bahwa dia terdakwa Afrina Br. Sembiring pada hari Kamis tanggal 01 Juli 2004 sekira pukul 16.00 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan April tahun 2006, bertempat di Klinik Bersalin Sari Buana Jl. Setia Budi No.106 Tanjung Sari Medan atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk daerah Hukum Pengadilan Negeri Medan, dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2).

Perbuatan ia terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 80 ayat (1) UURI No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.


(37)

Atau kedua:

Bahwa terdakwa Afrina Br Sembiring pada waktu dan tempat seperti tersebut diatas dalam dakwaan Pertama, karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, yang dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian.

Perbuatan ia terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 361 KUHP.

Atau ketiga:

Bahwa dia terdakwa Afrina Br. Sembiring pada waktu dan tempat seperti tersebut diatas dalam dakwaan Pertama, karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang luka berat.

Perbuatan ia terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 360 KUHP. Tuntutan Hukum:

Tuntutan Hukum Jaksa Penuntut Umum yang pada pokoknya menuntut agar terdakwa dijatuhi Pidana sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa Afrina Br. Sembiring telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan tindakan medis terhadap ibu hamil yang tidak sesuai dengan ketentuan” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 80 ayat (1) UU No.23 Tahun 1992 tentang UU Kesehatan.

2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Afrina Br. Sembiring dengan pidana selama 3 (tiga) bulan penjara dikurangi sepenuhnya selama terdakwa menjalani tahanan sementara dan denda Rp.1.000.000,- subsidair 2 bulan kurungan.


(38)

3. Menyatakan barang bukti berupa: nihil

4. Menetapkan agar terdakwa Afrina Br. Sembiring supaya dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp.500,- (lima ratus rupiah).

Fakta-Fakta Hukum:

Fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan dalam persidangan secara berturut-turut dikemukakan berupa keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, dan dikuatkan dengan barang bukti.

Keterangan saksi-saksi:

Saksi Henni Vivi Yulianty alias Heni, setelah bersumpah menurut agama islam di depan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

- Bahwa saksi menerangkan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani ketika dimintai keterangan sehubungan dengan pengaduannya tentang adanya dugaan Malpraktek yang dilakukan oleh Bidan Afrina Br. Sembiring selaku bidan di Klinik Bersalin Sari Buana Jl. Setia Budi No. 106 Medan ketika dirinya melahirkan anaknya yang ketiga.

- Bahwa saksi menerangkan ketika mengetahui sudah ada tanda-tanda dirinya akan melahirkan selanjutnya saksi bersama-sama dengan adiknya bernama HASTARICKA alias ADEK pergi ke Klinik Bersalin Sari Buana di Jl. Setia Budi No. 106 Medan dengan berboncengan menggunakan sepeda motor pada hari kamis, tanggal 01 Juli 2004 sekitar pukul 09.00 WIB, dan setiba di Klinik tersebut, saksi diperiksa langsung oleh Bidan Afrina Br.Sembiring


(39)

dan selesai itu lebih kurang 10 menit kemudian saksi di SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) oleh Bidan Afrina Br. Sembiring . - Bahwa saksi menerangkan kondisi kesehatan saksi dan kandungannya dalam

keadaan sehat bahkan sebelumnya sejak usia kandungan saksi berumur 7 bulan, saksi selalu memeriksakan kandungannya ke Klinik Bersalin Sari Buana, dan hasil pemeriksaan sehat, bahkan saksi korban dengan ditemani oleh Bidan Afrina Br. Sembiring pergi bersama memeriksakan kandungan saksi di tempat praktek dr. JHON ROBERT S. Sp.OG.untuk USG pada bulan Juni 2004 atau sekitar dua minggu sebelum saksi melahirkan dengan hasil bayi yang dikandung dalam keadaan sehat.

- Bahwa saksi menerangkan ketika dirinya akan melahirkan anaknya yang ketiga pada hari kamis, tanggal 01 Juli 2004 sekitar pukul 09.00, yang ditangani oleh Bidan Afrina Br. Sembiring ada memberikan suntikan perangsang untuk bayi lahir dengan cara di SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan)melalui jarum infus dan sejak diberi SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) tersebut saksi merasa perutnya mulas seperti ingin melahirkan saja dan kemudian barulah sekitar pukul 14.30 WIB, saksi melahirkan anaknya yang ketiga dengan berat badan bayi 3,9 Kg, namun lebih kurang 5 menit setelah melahirkan saksi mengalami pendarahan yang hebat yang akhirnya saksi dirujuk ke RSU Vina Estetica Medan dan kemudian ditolong oleh dr. Jhon Robert S. Sp.OG. dan ketika dilakukan operasi barulah kelihatan bahwa rahim saksi telah robek akibat melahirkan yang ditangani oleh Bidan Afrina Br. Sembiring di Klinik Sari


(40)

Buana Jl. Setia Budi Medan dan akhirnya saksi ditolong dengan cara pengangkatan rahim untuk keselamatan jiwa saksi.

Saksi Hastaricka alias Adek, setelah bersumpah menurut agama Islam didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

- Bahwa saksi menerangkan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani ketika dimintai keterangan sehubungan dengan pengaduan kakak saksi bernama Henni Vivi Yulianty tentang adanya dugaan Malpraktek yang dilakukan oleh Bidan Afrina Br. Sembiring selaku Bidan di Klinik Bersalin Sari Buana Jl. Setia Budi No. 106 Medan ketika kakak saksi Henni Vivi Yulianty melahirkan anaknya yang ketiga.

- Bahwa saksi menerangkan ketika kakaknya sudah ada tanda-tanda akan melahirkan selanjutnya, saksi bersama-sama dengan kakaknya bernama Henni Vivi Yulianty pergi ke Klinik Bersalin Sari Buana di Jl. Setia Budi No. 106 Medan dengan berboncengan menggunakan sepeda motor pada hari kamis, tanggal 01 Juli 2004 sekitar pukul 09.00 WIB, dan setiba di Klinik tersebut, kakak saksi diperiksa langsung oleh Bidan Afrina Br. Sembiring dan selesai itu lebih kurang 10 menit kemudian kakak saksi bernama Henni Vivi Yulianty di SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) oleh Bidan Afrina Br. Sembiring.

- Bahwa saksi menerangkan ketuban Henni Vivi Yulianty pecah sekitar pukul 13.00 WIB, dan kemudian pada pukul 14.30 WIB, Henni Vivi Yulianty melahirkan anaknya yang ketiga dengan berat 3,9 Kg, namun selama proses persalinan saksi melihat tangan Bidan Afrina Br. Sembiring dimasukkan


(41)

kedalam lobang kemaluan kakak saksi Henni Vivi Yulianty untuk berusaha mengeluarkan si bayi dan waktu itu Henni Vivi Yulianty mengerang-erang kesakitan.

- Bahwa saksi menerangkan lebih kurang 5 menit selesai dibersihkan dari melahirkan, Henni Vivi Yulianty mengalami pendarahan dan ketika itu tidak ada tindakan Bidan Afrina Br. Sembiring terhadap kakak saksi dan tindakan perawatnya hanya melakukan tensi darah saja.

- Bahwa saksi menerangkan, karena pendarahan pada Henni Vivi Yulianty tidak berhenti, dan kondisi Henni Vivi Yulianty semakin lemah saja, maka pada malam itu juga, Henni Vivi Yulianty dirujuk ke RSU Vina Estetica. - Bahwa saksi menerangkan selanjutnya kakak saksi diberi pertolongan oleh

dr. Jhon Robert S. Sp.OG. dan kemudian pada malam itu juga sekitar pukul 23.30 WIB, kakak saksi Henni Vivi Yulianty di operasi pengangkatan rahim dengan alasan rahim Henni Vivi Yulianty telah robek akibat melahirkan di Klinik Sari Buana Jl. Setia Budi Medan.

Saksi Yusrah Nasution, setelah bersumpah menurut agama Islam didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagaimana dalam BAP.

Saksi Maulana Yahya Hapendi, setelah bersumpah menurut agama Islam didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagaimana dalam BAP. Saksi Denny Armaya alias Deni, setelah bersumpah menurut agama Islam didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagaimana dalam BAP. Saksi Wiwiek Devita alias Wiwik, setelah bersumpah menurut agama Islam didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagaimana dalam BAP.


(42)

Saksi Dr. Jhon Robert simanjuntak Sp.OG., setelah bersumpah menurut agama Kristen didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagaimana berikut:

- Bahwa saksi menerangkan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani ketika dimintai keterangan sehubungan dengan kesaksiannya mengenai adanya saksi melakukan pengobatan atau operasi terhadap perempuan bernama Henni Vivi Yulianty.

- Bahwa saksi menerangkan sebabnya dirinya melakukan operasi pengangkatan rahim (Histertomi) terhadap pasien Henni Vivi Yulianty adalah karena pasien tersebut ketika dirujuk dari Klinik Bersalin Sari Buana yang ditangani oleh Bidan Afrina Br. Sembiring kepada Rumah Sakit Vina pasien tersebut sebelumnya dilakukan pemeriksaan, dan hasil pemeriksaan, pasien tersebut mengalami robekan rahim, dan pendarahan yang hebat dan kemudian dilakukan tindakan operasi dan pada saat operasi ditemukan darah dirongga perut, sumber pendarahan dari robekan rahim yang luas, kemudian saya memutuskan untuk dilakukan pengangkatan rahim.

- Dan perlu saya tambahkan sebelum dilakukan operasi saya sudah memberikan penjelasan kepada keluarga Henni Vivi Yulianty yang bertanggung dan setuju dilakukan operasi dan pada saat operasi, saya memberikan penjelasan bahwa rahim tidak bisa dipertahankan lagi dan harus diangkat dan pada waktu itu keluarga pasien dalam hal ini orangtua kandung Henni Vivi Yulianty setuju untuk pengangkatan rahim.

- Bahwa saksi menerangkan sebelum korban Henni Vivi Yulianty melahirkan anaknya yang ketiga tanggal 01 Juli 2004 yang ditangani oleh Bidan Afrina


(43)

Br. Sembiring, korban Henni Vivi Yulianty pernah memeriksakan kesehatan kehamilannya di tempat praktek saksi di Jl. SM Raja No. 15 B Simpang Garu I medan yaitu pada tanggal 19 Juni 2004 sekitar pukul 19.00 WIB dengan ditemani oleh Bidan Afrina Br. Sembiring dan hasil pemeriksaan USG saksi ketika itu Henni Vivi Yulianty berikut bayinya dalam keadaan sehat dan waktu itu usia kehamilan 38 minggu, detak jantung janin positif, letak kepala, air ketuban cukup, kondisi ibu (Henni Vivi Yulianty) sehat dengan tensi 120/80.

Saksi Ahli Dr. Jenius L.Tobing Sp.OG., setelah bersumpah menurut agama kristen didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

- Bahwa saksi menerangkan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani ketika dimintai keterangan sehubungan dengan kesaksiannya sebagai saksi ahli karena memiliki keahlian FETO MATERNAL (Janin dan Ibu) atau Ilmu Kebidanan yaitu ilmu yang mempelajari tentang kehamilan persalinan dan Nifas sehubungan dengan pengaduan Henni Vivi Yulianty.

- Bahwa saksi menerangkan dirinya tidak ada hubungan famili atau keluarga dengan Henni Vivi Yulianty dan juga Bidan Afrina Br. Sembiring.

- Bahwa saksi setelah membaca Resume Medik An. Henni Vivi Yulianty yang menerangkan Henni Vivi Yulianty dirujuk ke Rumah Sakit Umum Vina Estetica dengan keluhan utama pendarahan dari kemaluan, sebelumnya persalinan luar rumah sakit yang ditolong oleh bidan, pemeriksaan tekanan darah 50/30 mm Hg s/d tidak terukur dengan HB 5,3 g/11. hasil pemeriksaan : pendarahan paska persalinan ditambah pendarahan dalam


(44)

rongga perut, diduga terdapat robekan rahim. Dan kemudian pada saat dilakukan operasi buka perut dijumpai robekan rahim dan robekan dinding kemaluan bagian atas dan dijumpai jaringan nekrotik, diputuskan untuk pengangkatan rahim. Maka saya membuat kesimpulan bahwa tindakan Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG. yang melakukan pengangkatan rahim pasien Henni Vivi Yulianty tersebut sudah sesuai prosedur untuk keselamatan jiwa pasien Henni Vivi Yulianty, namun yang menjadi penyebabnya berarti adalah pada Bidan yang menangani persalinan Henni Vivi Yulianty sehingga terjadi pendarahan dan luka pada rahim Henni Vivi Yulianty.

- Bahwa saksi menerangkan setelah dirinya membaca dan memperhatikan bukti-bukti tersebut, saksi berkesimpulan kemungkinan penyebab terjadinya pendarahan dari luka robekan rahim korban Henni Vivi Yulianty adalah akibat dari pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) yang diberikan oleh Bidan Afrina Br. Sembiring, karena anak yang dilahirkan oleh Henni Vivi Yulianty tersebut terhitung besar (3,9 Kg sesuai dengan surat Kelahiran dari Klinik Bersalin Sari Buana tempat korban melahirkan) sehingga rangsangan yang begitu kuat dari pengaruh SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) tersebut bisa mengakibatkan luka robek pada rahim sehingga terjadinya pendarahan pada pasien Henni Vivi Yulianty.

- Bahwa saksi menerangkan menurut tanggapan saksi selaku saksi ahli setelah memperhatikan, membaca Resume Medis, Berita Acara Pemeriksaan Saksi


(45)

Henni Vivi Yulianty dan juga Surat Keterangan Kelahiran dari Klinik Bersalin Sari Buana, tindakan Bidan Afrina Br. Sembiring tidak sesuai dengan Prosedur Medis yang berlaku di Negara RI karena pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) tersebut dengan tanpa izin dokter.

Keterangan Terdakwa:

Terdakwa Afrina Br. Sembiring, pada pokoknya didepan persidangan menerangkan sebagai berikut:

- Bahwa terdakwa mengaku ketika dimintai keterangan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani ketika memberikan keterangan sehubungan dengan adanya pengaduan Henni Vivi Yulianty.

- Bahwa terdakwa mengaku dan membenarkan dirinya yang menangani proses persalinan pasien Henni Vivi Yulianty ketika melahirkan anak pasien yang ketiga pada hari kamis, tanggal 01 Juli 2004 sekitar pukul 15.30 di Klinik Bersalin Sari Buana Jl. Setia Budi No. 106 Tanjung Sari Medan. - Bahwa terdakwa mengaku dirinya tidak ada hubungan famili atau keluarga

dengan korban Henni Vivi Yulianty.

- Bahwa terdakwa mengaku kondisi kesehatan Henni Vivi Yulianty dan bayi dalam kandungannya ketika dirinya memeriksakan kepada terdakwa dalam keadaan sehat-sehat saja.

- Bahwa terdakwa mengaku ketika hendak menangani persalinan Henni Vivi Yulianty dirinya tidak ada mengkonsulkan kepada Dokter konsul klinik


(46)

terdakwa dan kebetulan Dokter konsul terdakwa di klinik Bersalin Sari Buana adalah Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG.

- Bahwa terdakwa mengaku Henni Vivi Yulianty melahirkan anaknya yang ketiga di Klinik miliknya tersebut dengan keadaan normal dengan berat 3,9 Kg dan tinggi 50 cm, namun setelah melahirkan terdakwa mengaku Henni Vivi Yulianty mengalami pendarahan pervagina.

- Bahwa terdakwa mengaku selanjutnya pasien Henni Vivi Yulianty dirujuk ke Rumah Sakit Vina Estetica pada hari kamis, yanggal 01 Juli 2004 sekitar pukul 17.00 WIB dengan keluhan pendarahan pervagina, dan setelah dioperasi oleh Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG. barulah diketahui penyebab terjadinya pendarahan pervagina tersebut karena robeknya rahim dari Henni Vivi Yulianty dan itu diketahui terdakwa karena terdakwa sendiri langsung melihat jalannya operasi tersebut.

- Bahwa terdakwa mengaku tindakan yang dilakuka oleh Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG guna penyelamatan jiwa Henni Vivi Yulianty adalah dengan cara mengangkat rahim Henni Vivi Yulianty tersebut.

- Bahwa terdakwa tidak mengakui dirinya ada memberikan SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada pasien Henni Vivi Yulianty. - Bahwa benar terdakwa meminta uang sebanyak Rp.250.000,- untuk biaya

melahirkan. Barang Bukti: Nihil


(47)

Surat :

1. Resume Medik RSU Vina Estetica Medan yang ditandatangani oleh Dr. Jhon Robert Simanjuntal Sp.OG dan Direktur Umum RSU Vina Estetica R. Sinaga Bsc. SE.

2. Resume Medik Klinik Sari Buana yang ditandatangani oleh Afrina. 3. Surat Keterangan Kelahiran dari Klinik Bersalin Sari Buana.

4. Surat Keterangan Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Medan No.440/4286/IV/2006.

5. Surat Izin Praktik Bidan Afrina Br. Sembiring tanggal 27 Februari 2002 yang berakhir tanggal 27 Februari 2004.

6. Surat Izin Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar Swasta yang diberikan kepada Afrina Br. Sembiring pada tanggal 11 April 2002 yang berlaku sampai tanggal 11 April 2004.

Amar Putusan:

Menyatakan bahwa terdakwa Afrina Br. Sembiring tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tidak pidana: “Melakukan tindakan medik tidak sesuai dengan ketentuan”.

Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan, denda Rp.500.000 (lima ratus ribu rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan.

Menetapkan masa penahan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;


(48)

Memerintahkan agar barang bukti berupa: Nihil

Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,-.

2. Analisis Kasus

Amar putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim dengan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Afrina Br. Sembiring tentu saja di ambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan berdasarkan fakta-fakta hukum yang muncul di persidangan.

Fakta-fakta hukum yang muncul di persidangan yaitu keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti, tidak ada yang dapat mendukung terdakwa. Sebaliknya fakta-fakta yang muncul dipersidangan justru memberatkan terdakwa dalam kasus tersebut.

Selain itu tidak adanya pembelaan dari terdakwa, juga membuktikan bahwa terdakwa mengakui perbuatannya. Dan untuk itu terdakwa telah menagajukan permohonan yang pada pokoknya agar dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya.

Dalam menjatuhkan putusan tersebut, Majelis Hakim juga telah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa, yaitu:


(49)

- perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat. Yang memberatkan:

- Perbuatan terdakwa mengakibatkan saksi korban menjadi cacat Yang meringankan

- terdakwa mengakui perbuatannya dan menyesal :

- terdakwa sopan dipersidangan - terdakwa belum pernah dihukum

Didalam persidangan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2)” yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Adapun unsur-unsur dari Pasal 80 ayat (1) UU Kesehatan tersebut adalah: a. Dengan Sengaja

Dalam lapangan teori hukum pidana ada tiga macam kesengajaan, yaitu: 1). Sengaja sebagai maksud (oogmerz)

2) Sengaja dengan kesadaran akan kepastian (opzet Bijkerheid-Bewustzin)

3) Sengaja dengan kesadaran kemungkinan akan terjadi (voorwardelijk opzet/ dolus eventualis)

Dalam kasus ini, kesengajaan yang dilakukan oleh terdakwa adalah bentuk kesengajaan yang termasuk dalam kategori sengaja dengan kesadaran kemungkinan akan terjadi.


(50)

Dengan pengetahuan dan kemampuannya sebagai seorang bidan, sudah sepatutnya terdakwa menyadari atau mengetahui akibat yang mungkin terjadi dari pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada korban.

Terlebih lagi, ketika usia kandungan korban atau sekitar dua minggu sebelum korban melahirkan, korban dengan ditemani oleh terdakwa pergi untuk melakukan pemeriksaan USG di tempat praktik Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG yang juga merupakan dokter konsul dari terdakwa.

Berdasarkan hal tersebut, seharusnya terdakwa betul-betul mengetahui tentang keadaan korban dan kandungannya. Seharusnya korban mengetahui akibat dari pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada korban, ada kemungkinan terjadi akibat yang negatif terhadap korban. Seperti keterangan yang diberikan oleh saksi ahli Dr. Jenius L. Tobing Sp.OG, bahwa kemungkinan penyebab terjadinya pendarahan dari luka robekan rahim korban adalah akibat pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan)yang diberikan oleh terdakwa. Saksi memberikan keterangan tersebut karena menurut saksi ahli dengan pengetahuan dan keahliannya dalam bidang Feto Maternal (janin dan ibu) atau ilmu kebidanan, setelah membaca Resume Medik korban, bahwa anak yang dilahirkan oleh korban tersebut terhitung besar (3,9 Kg sesuai dengan surat Kelahiran dari Klinik Bersalin Sari Buana tempat korban melahirkan). Oleh karena itu rangsangan yang begitu kuat dari pengaruh SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) tersebut, dapat mengakibatkan luka robek pada rahim sehingga terjadi pendarahan pada korban.


(51)

b. Melakukan Tindakan Medis Tertentu Terhadap Ibu Hamil

Menurut Chrisdiono M. Achadiat, yang dimaksud dengan tindakan medis adalah semua tindakan atau langkah yang dilakukan atas pasien sehingga dalam pengertian ini termasuk tindakan diagnostik maupun terapeutik.60

Dalam kasus ini terdakwa telah melakukan kesalahan, mulai dari tindakan diagnostik yang kemudian dilanjutkan dengan tindakan terapeutik yaitu pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada pasien. Yang menjadi penyebab terjadinya pendarahan pada korban akibat luka robekan rahim sehingga rahim korban terpaksa diangkat untuk keselamatan jiwa korban. Kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa adalah tidak mengkonsultasikan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan kepada pasien kepada dokter konsul terdakwa yang adalah Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG. Padahal mengenai pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) tersebut, seharusnya diberikan dengan izin dokter. Apabila terdakwa terlebih dahulu mengkonsultasikan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan oleh terdakwa kepada dokter konsul terdakwa, mungkin dokter konsul terdakwa dapat

Dalam hal ini yang menjadi obyek dari tindakan medis adalah ibu hamil. Dengan kata lain dalam kasus ini tidak hanya menyangkut keselamatan ibu hamil atau pasien itu saja, tetapi juga menyangkut bayi yang sedang dikandungnya.

Seperti dikemukakan diatas tindakan medis meliputi tindakan diagnostik maupun terapeutik. Karena berdasarkan tindakan diagnostiklah dapat ditentukan tindakan terapeutik apa yang harus diberikan kepada pasien.

60


(52)

memberikan saran yang lebih bailk kepada terdakwa, mengenai tindakan medis yang harus diberikan kepada korban/pasien. Hal ini tidak hanya didasarkan pada kemampuan dan keahlian yang dimiliki oleh dokter konsul terdakwa, akan tetapi juga berdasarkan fakta bahwa korban pernah memeriksakan diri kepada konsul terdakwa dengan ditemani terdakwa. Hal ini berarti bahwa dokter konsul terdakwa juga mengetahui keadaan korban dan kandungannya.

c. Yang Tidak Memenuhi Ketentuan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2)

Pasal 15:

ayat (1):Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.

Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan:

a) Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut.

b) Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.

c) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.

d) Pada sarana kesehatan tertentu.

Banyak yang berpendapat bahwa Pasal 15 ayat (1) UU Kesehatan ini adalah dasar hukum peniadaan hukuman dari tenaga kesehatan yang melakukan


(53)

pengguguran kandungan (abortus provocatus). Hal ini mungkin dikarenakan penjelasan atas Pasal 15 ayat (1) UU Kesehatan ini yang menyebutkan mengenai tindakan medis yang berupa pengguguran kandungan. Padahal maksud dari ketentuan Pasal 15 ayat (1) ini tidak hanya mengenai tindakan medis yang berupa pengguguran kandungan saja. Akan tetapi juga tindakan medis lain yang bertujuan untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya.

Dalam kasus ini, Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan ini berlaku sebagai peniadaan hukuman bagi tindakan medis yang dilakukan oleh Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG yang melakukan operasi pengangkatan rahim korban, sehingga korban tidak dapat melahirkan lagi. Akan tetapi kepada Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG tersebut, tidak dapat dikenakan pidana, karena perbuatan Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan. Tujuan dari tindakan medis yang dilakukan oleh Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG tersebut adalah untuk menyelamatkan jiwa korban/ pasien. Karena apabila tidak dilakukan tindakan medis tersebut, korban/pasien terancam bahaya maut.

Sedangkan terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh terdakwa, yaitu pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada korban. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan tidak dapat berlaku sebagai peniadaan hukuman. Dengan kata lain perbuatan atau tindakan medis yang dilakukan oleh terdakwa kepada korban tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan.


(54)

Perbuatan atau tindakan medis yang dilakukan oleh terdakwa yaitu pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada korban tidak berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut. Selain itu perbuatan atau tindakan medis yang dilakukan oleh terdakwa yaitu pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada korban tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Atau dalam hal ini dilakukan tanpa izin dokter yang berwenang. Dengan kata lain tidak ada pendelegasian wewenang untuk melakukan tindakan medis tersebut.

Terlebih lagi ternyata terdakwa, selain tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan medis tersebut. Bahkan sebenarnya terdakwa tidak memiliki kewenangan sama sekali untuk melakukan tindakan medis apapun. Atau dengan kata lain bahwa terdakwa tidak memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan kewenangan untuk menjalankan profesi tenaga kesehatan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan melalui Surat Izin Praktek Bidan (SIPB) dan Surat Izin Bidan (SIB) telah habis masa berlakunya dan belum diperbaharui.

Seharusnya sebelum SIB dan SIPB diperbaharui, terdakwa tidak boleh menjalankan profesinya sebagai bidan dan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka penulis setuju dengan putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim dengan menjatuhkan hukuman atau pidana kepada terdakwa. Karena terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan


(55)

bersalah melakukan tindak pidana “melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2)” yang diatur dalam Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Selain karena telah terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam Pasal 80 ayat (1) UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, menurut penulis masih ada lagi satu faktor yang menjadi dasar persetujuan penulis terhadap putusan majelis hakim yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Yaitu tidak adanya atau lambatnya penanganan terdakwa terhadap korban ketika terjadi pendarahan setelah korban melahirkan. Yang dilakukan terdakwa hanya berkata “Jangan Cemas” dan hanya melakukan pengukur tekanan darah saja. Setelah pihak keluarga korban memaksa agar korban dibawa ke Rumah Sakit untuk dapat ditangani lebih intensif baru terdakwa merujuk korban ke Rumah Sakit Vina Estetica karena Dr.Jhon Robert Simanjuntak, SpOG sebagai Dokter Konsul terdakwa bisa menangani korban di Rumah Sakit Vina Estetica.

Seandainya terdakwa langsung bertindak cepat menanggapi keadaan korban yang mengalami pendarahan setelah melahirkan, dengan langsung merujuk korban ke Rumah Sakit agar dapat ditangani oleh dokter yang memiliki keahlian yang lebih, mungkin saja akibat yang terjadi terhadap korban dapat dikurangi.

Kesalahan pertama dari terdakwa adalah melakukan praktek kebidanan atau memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat tanpa memiliki izin untuk melakukan praktek kebidanan. Karena izin untuk melakukan praktek kebidanan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan melalui SIB dan SIPB telah habis


(56)

masa berlakunya dan belum diperbaharui. Seharusnya sebelum IB dan SIPB diperbaharui, terdakwa tidak boleh menjalankan praktek kebidanan dan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Hal ini adalah salah satu bukti kurangnya pengawasan dari pemerintah melalui Dinas Kesehatan maupun oleh IBI sebagai wadah organisasi bidan di Indonesia.

Pemerintah melalui Dinas Kesehatan seharuya melakukan pengawasan terhadap setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktek di wilayahnya. Apabila ada tenaga kesehatan yang menjalankan pratek tidak sesuai dengan ketentuan, misalnya menjalankan praktek tanpa izin, maka pemerintah melalui Dinas Kesehatan dapat memberikan sanksi kepada tenaga kesehatan yang bersangkutan.

Begitu juga IBI sebagai wadah organisasi profesi bidan di Indonesia, seharusnya juga melakukan pengawasan terhadap anggotanya. Karena setiap pelayanan kesehatan yang diberikan oleh bidan kepada masyarakat tentu saja mempengaruhi citra IBI di mata masyarakat.

Apabila mutu pelayanan yan diberikan bidan kepada masyarakat baik, hal itu akan meningkatkan citra IBI di mata masyarakat dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Begitu juga sebaliknya, apabila mutu pelayanan yang diberikan bidan kepada masyarakat buruk, hal itu akan menjatuhkan citra IBI di mata masyarakat dan kepercayaan masyarakat terhadap bidan juga akan semakin menurun.


(57)

Apabila kita melihat faktor penyebab terdakwa melakukan praktek kebidanan walaupun tanpa memiliki izin adalah karena faktor ekonomi. Karena tujuan dari terdakwa dengan tetap melakukan praktek kebidanan walaupun tanpa memiliki izin adalah agar terdakwa dapat mendapatkan uang sebagai imbalan atas jasa pelayanan kesehatan atau pelayanan kebidanan yang diberikan oleh terdakwa kepada pasien.

Selain itu yang menjadi kesalahan terdakwa adalah mengenai tindakan medis yang dilakukan oleh terdakwa terhadap korban yaitu pemberian SINTO (obat perangsang kelahiran) kepada korban yang mengakibatkan terjadinya pendarahan pada vagina korban yang disebabkan oleh robekan pada rahim korban sehingga rahim korban terpaksa diangkat dan mengakibatkan korban tidak dapat melahirkan lagi.

Dalam hal ini, terdakwa tidak memiliki wewenang untuk melakukan tindakan medis tersebut. Pertama, oleh karena sebenarnya terdakwa tidak memiliki wewenang untuk melakukan tindakan medis apapun, karena izin yang diberikan oleh Dinas Kesehatan melalui SIB dan SIPB telah habis masa berlakunya dan belum diperbaharui. Kedua, karena pemberian SINTO (obat perangsang kelahiran) harus dengan izin dokter. Sedangkan pada saat memberikan SINTO (obat perangsang kelahiran) kepada korban, terdakwa tidak ada meminta izin ataupun mengkonsultasikan kepada dokter yang berwenang untuk memberikan izin.

Sebenarnya, menurut penulis masalah kewenangan melakukan tindakan medis tanpa memiliki izin dapat dikesampingkan, yaitu pada situasi dan kondisi


(58)

tertentu. Misalnya pada daerah terpencil yang tidak memiliki tenaga kesehatan lain yang dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang membutuhkan. Akan tetapi pada kasus ini, terdakwa melakukan perbuatan tersebut dikota Medan, yang merupakan kota besar dan memiliki banyak tenaga kesehatan lain yang dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada korban.

Dengan kata lain, pada kasus ini sebenarnya terdakwa memiliki pilihan lain yang lebih baik untuk menangani korban. Yaitu dengan sejak awal merujuk korban kepada bidan atau dokter yang memiliki wewenang yang menurut terdakwa dapat membantu korban untuk melahirkan. Misalnya menyarankan atau merujuk korban kepada dokter konsul terdakwa.

Di dalam pasal 15 ayat (2) UU Kesehatan disebutkan bahwa salah satu syarat dilakukannya tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yaitu dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.

Oleh karena itu perbuatan terdakwa yang memberikan SINTO (obat perangsang kelahiran) tanpa izin dokter dan melakukannya tanpa memiliki wewenang dan izin untuk menjalankan praktek kebidanan adalah tidak sesuai dengan ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan. Dan oleh karena itu terdakwa dapat dikenakan dan dijatuhi pidana sesuai dengan pasal 80 UU Kesehatan.


(1)

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN

DALAM PERAWATAN PASIENNYA (Analisis Kasus No. 3344/Pid.B/2006/PN Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

IYAN TRI PANGALOAN NIM : 040200216 Departemen : Hukum Pidana

Disetujui

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Abul Khair .SH.M.Hum) NIP :131 842 854

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

( Dr. Suwarto SH.MH ) (Berlin Nainggolan SH.M.Hum) NIP : 131 842 855 NIP : 131 572 434


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No.3344/Pid.B/2006/PN Mdn)”.

Adapun skripsi ini penulis susun dalam rangka pemenuhan persyaratan akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak hal-hal yang tidak dapat penulis telaah secara mendalam dan terperinci, karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis yang masih jauh dari apa yang diharapkan.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan arahan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Abul Khair SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Nurmalawaty SH.M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

6. Ibu Affila SH.M.Hum selaku Dosen Wali.

7. Para Dosen dan Pegawai Tata Usaha FH-USU yang telah banyak membantu penulis selama masa perkuliahan sekaligus termasuk dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Kedua orang tua penulis D. Ringo dan Ruth Maswiyatun atas curahan kasih sayang dan dorongan semangatnya yang tidak henti-hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2009

Penulis,


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

1. Pengertian Malpraktek ... 7

2. Jenis-Jenis Malpraktek ... 11

3. Teori-Teori Malpraktek ... 15

F. Metode Penelitian ... 21

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II : PENGATURAN MENGENAI MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN ... 24

A. Peraturan Non-Hukum ... 24


(5)

BAB III :FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA MALPRAKTEK OLEH BIDAN DAN

UPAYA PENCEGAHANNYA ... 33

A. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan ... 33

B. Upaya-Upaya Pencegahan Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan ... 43

C. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan ... 50

BAB IV : PENYELESAIAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN DALAM PERAWATAN PASIENNYA ... 53

A. Kriteria Penilaian Terjadinya Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan ... 53

B. Uraian Kasus dan Analisa Kasus ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 91


(6)

ABSTRAKSI

Profesi bidan sebagai salah satu profesi tenaga kesehatan adalah merupakan salah satu profesi yang sangat dibutuhkan masyarakat. Karena ketika ia memberikan pelayanan kesehatan khususnya kepada ibu hamil, tidak hanya satu nyawa yang bergantung padanya. Akan tetapi nyawa ibu dan anak yang dikandungnya. Seringkali dalam menjalankan prakteknya bidan melakukan kesalahan yang mengakibatkan dampak yang negatif kepada pasiennya. Hal ini lah yang menjadi dasar untuk menuntut bidan dengan tuduhan malpraktek.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan. Penelitian ini disebut juga penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis berdasarkan hukum yang tertulis dalam buku.

Malpraktek yang dilakukan oleh bidan dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya kelalaian, kurangnya pengetahuan, faktor ekonomi, rutinitas,dan juga perubahan hubungan antara bidan dengan pasien. Untuk dapat mencegah terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh bidan dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan tidak memberikan jaminan atau garansi akan keberhasilan usahanya, dalam melakukan tindakan harus ada informed consent, mencatat semua tindakan kedalam rekam medik, dan lain-lain.

Untuk menentukan kriteria terjadinya tindakan malpraktek yang dilakukan oleh bidan terdapat pendapat beberapa sarjana yang dapat dijadikan acuan. Sedangkan mengenai penyelesaian tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan yang telah masuk ke pengadilan, semua tergantung kepada pertimbangan hakim yang menangani kasus tersebut untuk menentukan apakah kasus yang ditanganinya termsuk kedalam malpraktek atau tidak. Atau apakah si pelaku dapat dimintai pertanggung jawaban secara pidana atau tidak.

Melakukan malpraktek yuridis (melanggar hukum) berarti juga melakukan malpraktek etik (melanggar kode etik). Sedangkan malpraktek etik belum tentu merupakan malpraktek yuridis. Apabila seorang bidan melakukan malpraktek etik atau melanggar kode etik. Maka penyelesaian atas hal tersebut dilakukan oleh wadah profesi bidan yaitu IBI. Dan pemberian sanksi dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku didalam organisasi IBI tersebut. Sedangkan apabila seorang bidan melakukan malpraktek yuridis dan dihadapkan ke muka pengadilan. Maka IBI melalui MPA dan MPEB wajib melakukan penilaian apakah bidan tersebut telah benar-benar melakukan kesalahan. Apabila menurut penilaian MPA dan MPEB kesalahan atau kelalaian tersebut terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian bidan, dan bidan tersebut telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi, maka IBI melalui MPA wajib memberikan bantuan hukum kepada bidan tersebut dalam menghadapi tuntutan atau gugatan di pengadilan.


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Analisis Putusan Sanksi Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Tulungagung)

18 209 106

Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Korporasi Menurut UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

2 82 117

Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No. 3344/pid.B/2006/PN Mdn)

6 166 101

Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No. 3344/pid.B/2006/PN Mdn)

3 71 101

Diskresi Kepolisian Republik Indonesia Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Poldasu)

2 56 130

Analisis Kasus Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Karyawan PT. Bank mandiri (Studi Kasus No. 2120/ PID. B/ 2006/ PN. Mdn)

5 71 124

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

0 0 35

Penyelesaian Hukum Dalam Tindak Pidana Perikanan Yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing (Studi kasus No. 584/Pid.B/2007/PN.Mdn)

0 7 75