Kajian Hukum Pidana Terhadap Tindakan Salah Tembak yang Dilakukan Oleh Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Terhadap Masyarakat

(1)

KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAKAN SALAH

TEMBAK YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TERHADAP MASYARAKAT

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

M. SUBAKIR

NIM : 080200408

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAKAN SALAH

TEMBAK YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TERHADAP MASYARAKAT

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

M. SUBAKIR

NIM : 080200408 Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH, MH NIP. 195703261986011001 Pembimbing I

Liza Erwina, SH, M.Hum NIP. 196110241989032002

Pembimbing II

M. Nuh, SH, M.Hum NIP. 194808011980031003

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Kajian Hukum Pidana Terhadap Tindakan Salah Tembak Yang Dilakukan Oleh Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Terhadap Masyarakat”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, MH, sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis. 4. Bapak M. Nuh, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.

5. Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya Universitas Sumatera Utara.


(4)

7. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita jalani ini tetap menyertai kita selamanya.

8. Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2012 Penulis

M. Subakir


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 4

E. Tinjauan Kepustakaan ... 5

F. Metode Penulisan ... 8

G. Sistematika Penulisan. ... 10

BAB II. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA SALAH TEMBAK OLEH ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (POLRI) ... 12

A. Tugas dan Wewenang Kepolisian Dalam Penegakan Hukum ... 12

B. Kewenangan Polisi Dalam Penegakan Hukum ... 14

C. Faktor Penyebab Terjadinya Salah Tembak Oleh Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). ... 19 BAB III. SANKSI SECARA HUKUM PIDANA TERHADAP


(6)

PERBUATAN SALAH TEMBAK ANGGOTA POLRI. ... 37

A. Peraturan Disiplin Kepolisian ... 37

B. Polisi Sebagai Penyidik ... 43

C. Sanksi Secara Hukum Pidana Terhadap Perbuatan Salah Tembak Anggota Polri. ... 47

BAB IV. UPAYA PIMPINAN POLRI DALAM MENANGGULANGI TERJADINYA SALAH TEMBAK OLEH ANGGOTA POLRI. ... 62

A. Kewenangan Polri Dalam Memakai Senjata Api ... 62

B. Upaya Pimpinan Polri Dalam Menanggulangi Terjadinya Salah Tembak Oleh Anggota Polri ... 67

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

A. Kesimpulan ... 76

B. Saran... 76 DAFTAR PUSTAKA


(7)

ABSTRAK

KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAKAN SALAH TEMBAK YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

INDONESIA TERHADAP MASYARAKAT

Sebagai suatu perbuatan yang merugikan masyarakat, maka tindakan salah tembak yang dilakukan oleh kepolisian tentunya diancam dengan sanksi pidana karena merupakan kejahatan terhadap jiwa. Selain diancam sanksi pidana pelaku salah tembak juga diancam dengan sanksi hukum disiplin yang berlaku di lingkungan kepolisian.

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Apakah faktor penyebab terjadinya salah tembak oleh anggota kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), bagaimana sanksi secara hukum pidana terhadap perbuatan salah tembak anggota Polri, dan apa upaya pimpinan Polri dalam menanggulangi terjadinya salah tembak oleh anggota Polri.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan Faktor penyebab terjadinya salah tembak oleh anggota kepolisian adalah karena kekurang hati-hatian anggota kepolisian sewaktu menjalankan tugasnya khususnya tatkala melakukan penembakan terhadap seorang tersangka. Selain kekurang hati-hati tersebut faktor lainnya adalah kurang dipahaminya prosedur penindakan penggunaan senjata api oleh anggota kepolisian, baik itu dari aspek profesionalisme maupun dari aspek pengetahuan. Sanksi secara hukum kepidanaan terhadap perbuatan salah tembak anggita kepolisian adalah dapat dikenakannya pelaku sanksi pidana berupa pidana penjara. Hanya saja dalam kapasitas ini tindak pidana tersebut digolongkan sebagai perbuatan kealpaan yang menyebabkan orang lain mati. Hak-hak dan perlindungan hukum terhadap anggota masyarakat korban salah tembak anggota kepolisian adalah hak keadilan berupa upaya penindakan tehadap anggota kepolisian. Sedangkan perihal pemberian santunan terhadap korban bukan digolongkan sebagai hak tetapi merupakan kesadaran dari instansi kepolisian tersebut.


(8)

ABSTRAK

KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAKAN SALAH TEMBAK YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

INDONESIA TERHADAP MASYARAKAT

Sebagai suatu perbuatan yang merugikan masyarakat, maka tindakan salah tembak yang dilakukan oleh kepolisian tentunya diancam dengan sanksi pidana karena merupakan kejahatan terhadap jiwa. Selain diancam sanksi pidana pelaku salah tembak juga diancam dengan sanksi hukum disiplin yang berlaku di lingkungan kepolisian.

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Apakah faktor penyebab terjadinya salah tembak oleh anggota kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), bagaimana sanksi secara hukum pidana terhadap perbuatan salah tembak anggota Polri, dan apa upaya pimpinan Polri dalam menanggulangi terjadinya salah tembak oleh anggota Polri.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan Faktor penyebab terjadinya salah tembak oleh anggota kepolisian adalah karena kekurang hati-hatian anggota kepolisian sewaktu menjalankan tugasnya khususnya tatkala melakukan penembakan terhadap seorang tersangka. Selain kekurang hati-hati tersebut faktor lainnya adalah kurang dipahaminya prosedur penindakan penggunaan senjata api oleh anggota kepolisian, baik itu dari aspek profesionalisme maupun dari aspek pengetahuan. Sanksi secara hukum kepidanaan terhadap perbuatan salah tembak anggita kepolisian adalah dapat dikenakannya pelaku sanksi pidana berupa pidana penjara. Hanya saja dalam kapasitas ini tindak pidana tersebut digolongkan sebagai perbuatan kealpaan yang menyebabkan orang lain mati. Hak-hak dan perlindungan hukum terhadap anggota masyarakat korban salah tembak anggota kepolisian adalah hak keadilan berupa upaya penindakan tehadap anggota kepolisian. Sedangkan perihal pemberian santunan terhadap korban bukan digolongkan sebagai hak tetapi merupakan kesadaran dari instansi kepolisian tersebut.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai suatu negara hukum bangsa Indonesia mempunyai sistem peradilan dan catur penegak hukum. Namun dalam komponen peradilan yang cukup urgen adalah Kepolisian. Hal ini disebabkan kepolisian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan antar satu dengan lainnya, karena merupakan bagian satu sistem yang terintegrasi. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana memerlukan keterikatan dan keterkaitan dengan komponen-komponen lainnya.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP telah mengatur secara lebih rinci tentang kedudukan, peranan dan tugas kepolisian negara Republik Indonesia dalam kaitannya dengan proses pidana sebagai penyelidik dan penyidik serta melaksanakan koordinasi dan pengawasan terhadap penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Pasal 1 butir 1 KUHAP disebutkan pengertian penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Pada dasarnya Kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 4 bertujuan untuk menjamin tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat guna mewujudkan keamanan


(10)

dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri, terselenggaranya fungsi pertahanan keamanan negara, dan tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia.

Fungsi kepolisian adalah satu fungsi pemerintahan negara di bidang penegakan hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat serta pembimbingan masyarakat dalam rangka terjaminnya ketertiban dan tegaknya hukum.1

Sebagai suatu perbuatan yang merugikan masyarakat, maka tindakan salah tembak yang dilakukan oleh kepolisian tentunya diancam dengan sanksi pidana karena merupakan kejahatan terhadap jiwa. Selain diancam sanksi pidana pelaku Fungsi kepolisian sebagaimana disebutkan sangat memungkinkan terjadinya kesalahan dalam menjalankan tugasnya. Terlebih-lebih polisi dalam menjalankan tugasnya dibekali dengan senjata api. Sehingga dari hubungan antara kepolisian dengan senjata api maka dapat terjadi salah tembak yang merugikan masyarakat luas.

Salah tembak dapat dimungkinkan oleh suatu keadaan sewaktu kepolisian menjalankan tugasnya. Dimisalkan identifikasi pelaku kejahatan yang kurang jelas sehingga seseorang yang disangkakan telah melakukan tindak pidana ternyata tidak tepat. Salahnya identifikasi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya salah tembak apabila dalam penangkapan yang dilakukan polisi bertindak refresif dan kurangnya kerjasama yang diberikan oleh pelaku yang disangkakan melakukan tindak pidana. Salah tembak dapat juga terjadi tatkala kepolisian bersikap kurang profesional dalam menjalankan tugasnya. Seperti melepaskan tembakan di khalayak ramai.

1

Warsito Hadi Utomo, 2005, Hukum Kepolisian di Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, halaman 55


(11)

salah tembak juga diancam dengan sanksi hukum disiplin yang berlaku di lingkungan kepolisian.

Untuk melengkapi pembahasan atas judul penelitian ini maka akan diketengahkan putusan Pengadilan Negeri Binjai No. 239/Pid.B/2007/PN.Bj. tanggal 27 Agustus 2007. Diketengahkan kasus salah tembak tersebut adalah sebagai bahan perbandingan terhadap pembahasan yang akan dilakukan, baik itu untuk melihat faktor yang menyebabkan terjadinya salah tembak dan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku.

Peristiwa salah tembak tersebut terjadi di Jalan Sudirman Kota Binjai, tatkala petugas Polri yang sedang bertugas waktu itu berupaya untuk menghentikan sebuah kendaraan yang disangkakan terkait dengan suatu tindak pidana. Setelah dilakukan prosedur penembakan maka pelaku salah tembak mengarahkan tembakannya pada mobil yang akan dihentikan tetapi ternyata arah tembakan meleset dan mengenai masyarakat.

Perumusan Masalah

Setiap pelaksanaan penelitian penting diuraikan permasalahan karena dengan hal yang demikian dapat diketahui pembatasan dari pelaksanaan penelitian dan juga pembahasan yang akan dilakukan.

a. Apakah faktor penyebab terjadinya salah tembak oleh anggota kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)?

b. Bagaimana sanksi secara hukum pidana terhadap perbuatan salah tembak anggota Polri?


(12)

c. Apa upaya pimpinan Polri dalam menanggulangi terjadinya salah tembak oleh anggota Polri?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk:

Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya salah tembak oleh anggota kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri

Untuk mengetahui sanksi secara hukum pidana terhadap perbuatan salah tembak anggota Polri.

Untuk mengetahui upaya pimpinan Polri dalam menanggulangi terjadinya salah tembak oleh anggota Polri.

Sedangkan yang menjadi faedah penelitian dalam hal ini adalah:

a. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum itu sendiri khususnya dalam bidang hukum pidana khususnya masalah terjadinya salah tembak yang dilakukan oleh kepolisian.

b. Secara praktis ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil manfaatnya terutama dalam hal mengetahui tentang hal-hal yang dapat dilakukan masyarakat apabila terjadi salah tembak anggota kepolisian.

Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Kajian Hukum Pidana Terhadap Tindakan Salah Tembak Yang Dilakukan Oleh Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Terhadap Masyarakat”, dan penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih


(13)

asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

Tinjauan Kepustakaan

Pengertian Polri

Secara teoritis pengertian mengenai polisi tidak ditemukan, tetapi penarikan pengertian polisi dapat dilakukan dari pengertian kepolisian sebagamana diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi :

“Kepolisian adalah segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan “.

Dari kutipan atas bunyi pasal tersebut maka kita ketahui polisi adalah sebuah lembaga yang memiliki fungsi dan pelaksanaan tugas sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan.

Di dalam perundang-undangan yang lama yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 ditegaskan bahwa kepolisian negara ialah alat negara penegak hukum. Tugas inipun kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 30 (4) a Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 yaitu Undang-Undang Pertahanan Keamanan Negara, disingkat Undang-Undang Hankam.

Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 yang mencabut Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 maka Kepolisian ini tergabung di dalam sebutan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dimana di dalamnya Kepolisian merupakan bagian dari Angkatan Laut, Angkatan Darat, serta Angkatan Udara. Sesuai dengan perkembangan zaman dan bergulirnya era reformasi maka istilah


(14)

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia kembali kepada asal mulanya yaitu Tentara Nasional Indonesia dan keberadaan Kepolisian berdiri secara terpisah dengan angkatan bersenjata lainnya.

Pengertian dan Jenis-Jenis Senjata Api

Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan bahwa senjata api adalah senjata yang menggunakan mesiu (senapan, pistol dan sebagainya).2

1. Mempergunakan alat yang dinamakan senjata.

Sedangkan dalam Buku Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Non Organik TNI/Polri diterangkan bahwa senjata api adalah senjata yang mampu melepaskan keluar satu atau sejumlah proyektil dengan bantuan bahan peledak.

Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa senjata api tersebut adalah senjata yang dapat mengeluarkan proyektil (peluru) dimana keluarnya proyektil tersebut dengan bantuan bahan peledak.

Berdasarkan pengertian tersebut maka terdapat beberapa unsur yang dikatakan senjata api yaitu meliputi :

2. Terdapatnya proyektil yang juga disebut dengan istilah peluru. 3. Digunakannya bahan peledak.

4. Terdapatnya proyektil yang juga disebut dengan istilah peluru. 5. Digunakannya bahan peledak.

Ada berbagai jenis senjata api yang dipergunakan oleh instansi yang

2

Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN. Balai Pustaka, halaman 1038.


(15)

berwenang maupun orang perorangan yang memiliki izin yaitu : a. Senjata api bahu caliber 22, dan penabur caliber 12 GA. Senjata api genggam jenis pistol/revolver caliber 32, 25 dan 22. Senjata peluru karet.

Senjata gas air mata dan senjata kejutan listrik. 1) Stick (pentungan gas)

2) Lampu senter multi guna dengan menggunakan gas 3) Gantungan kunci yang dilengkapi dengan gas air mata 4) Spray (semprotan) gas

5) Gas genggam (pistol/revolver gas) 6) Dan sebagainya.

Senjata dengan kejutan listrik : 1) Air taser

2) Stick (pentungan) listrik 3) Personel protector

4) Petrollite (senter serba guna) dengan menggunakan kegiatan listrik 5) Dan sebagainya.

Alat pemancang baku beton. Senjata signal (senjata isyarat).

Fire extinguishing (alat pemadam api ringan). Senjata rakitan.

Senjata replica (senjata tiruan).


(16)

Pengertian Penyalahgunaan

Kamus Hukum karangan Sudarsono, pengertian ”salah” adalah kesalahan; kekeliruan, kealpaan. Pasal 360 KUH Pidana pengertian ”salah” mencakup :

1. Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, di ancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

2. Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.3

Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa arti dari ”menggunakan” adalah memakai; mengambil manfaatnya, melakukan sesuatu.4

3

Daryanto, 1998, Kamus Lengakp Bahasa Indonesia, Surabaya: Apollo, halaman 441.

4

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, halaman 577.

Jadi pengertian daripada ” penyalah-gunaan” adalah kesalahan atau kekeliruan atau kealpaan seseorang dalam memakai atau memanfaatkan suatu benda atau jabatannya diluar prosedur yang sudah ditentukan sehingga akibat kesalahan penggunaan tersebut menimbulkan pelanggaran hukum yang berlaku.


(17)

Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Sifat/materi penelitian

Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitiasn yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. 5

2. Sumber data

Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni undang-undang yang di dalamnya mengandung pengaturan tentang kepolisian dan salah tembak, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan lain-lain peraturan terkait.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:


(18)

terhadap hukum primer dan sekunder.

2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian

5

Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press. halaman 32


(19)

pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Faktor Penyebab Terjadinya Salah Tembak Oleh Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Tugas dan Wewenang Kepolisian Dalam Penegakan Hukum, Kewenangan Polisi Dalam Penegakan Hukum serta Faktor Penyebab Terjadinya Salah Tembak Oleh Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Bab III. Sanksi Secara Hukum Pidana Terhadap Perbuatan Salah Tembak

Anggota Polri.

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Peraturan Disiplin Kepolisian, Polisi Sebagai Penyidik serta Sanksi Secara Hukum Pidana Terhadap Perbuatan Salah Tembak Anggota Polri. Bab IV. Upaya Pimpinan Polri Dalam Menanggulangi Terjadinya Salah

Tembak Oleh Anggota Polri.

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Kewenangan Polri Dalam Memakai Senjata Api dan Upaya Pimpinan Polri Dalam Menanggulangi Terjadinya Salah Tembak Oleh Anggota Polri.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.


(20)

BAB II

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA SALAH TEMBAK OLEH ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (POLRI)

Tugas dan Wewenang Kepolisian Dalam Penegakan Hukum

Telah dikenal oleh masyarakat luas, terlebih di kalangan Kepolisian bahwa tugas yuridis kepolisian tertuang di dalam Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan di dalam Undang-Undang Pertahanan dan Keamanan. Untuk kepentingan pembahasan, ada baiknya diungkapkan kembali pokok-pokok tugas yuridis Polisi yang terdapat di dalam kedua undang-undang tersebut sebagai berikut :

1. Dalam Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia ( UU No. 2 Tahun 2002).

Pasal 13

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah : a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat b. Menegakkan hukum dan,

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Selanjutnya dalam Pasal 14 dikatakan :

(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Republik Indonesia bertugas :

a. Melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan,


(21)

c. Membina masyarakat unuk meningkatkan partisipasi masyarakat kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.

d. Turut serta dalam pembinaan hukumk nasional,

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum

f. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa,

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan,

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik, dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian,

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia,

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentinganya dalam lingkup tugas kepolisian, serta


(22)

perundang-undangan.

(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Kewenangan Polisi Dalam Penegakan Hukum

Pasal 15 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 menyebutkan :

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang : a. Menerima laporan dan/atau pengaduan,

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum,

c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat,

d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa

e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian,

f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan.

g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian,

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang, i. Mencari keterangan dan barang bukti,

j. Menyelenggrakan Pusat informasi kriminal nasional,


(23)

rangka pelayanan masyarakat,

l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat,

m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang

a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya berwenang :

b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor,

d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik,

e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam,

f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan,

g. Memberikan petunjuk, mendidik dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian,

h. Melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional,

i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait,

j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional,


(24)

k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 14 :

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana. Kepolisian Negara republik Indonesia berwenang untuk :

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan.

c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.

d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperika sebagai tersangka atau saksi. g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara.

h. Mengadakan penghentian penyidikan.

i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

j. Merngajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang


(25)

disangka melakukan tindak pidana.

k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum.

l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Tugas pokok tersebut dirinci lebih luas sebagai berikut :

1. Aspek ketertiban dan keamanan umum

2. Aspek perlindungan terhadap perorangan dan masyarakat (dari gangguan/perbuatan melanggar hukum/kejahatan dari penyakit-penyakit masyarakat dan aliran-aliran kepercayaan yang membahayakan termasuk aspek pelayanan masyarakat dengan memberikan perlindungan dan pertolongan. 3. Aspek pendidikan sosial di bidang ketaatan / kepatuhan hukum warga

masyarakat.

4. Aspek penegakan hukum di bidang peradilan, khususnya di bidang penyelidikan dan penyidikan.

Mengamati tugas yuridis Kepolisian yang demikian luas, tetapi luhur dan mulia itu, jelas merupakan beban yang sangat berat. Terlebih ditegaskan bahwa di dalam menjalankan tugasnya itu harus selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum Negara, khususnya dalam melaksanakan kewenangannya di bidang penyidikan, ditegaskan pula agar senantiasa mengindahkan norma-norma keagamaan, perikemanusiaan, kesopanan dan kesusilaan. Beban tugas yang demikian berat dan ideal itu tentunya harus didukung pula oleh aparat pelaksana


(26)

yang berkualitas dan berdedikasi tinggi. 6

Memperhatikan perincian tugas dan wewenang Kepolisian seperti telah dikemukakan di atas, terlihat bahwa pada intinya ada dua tugas Kepolisian di bidang penegakan hukum, yaitu penegakan hukum di bidang peradilan pidana (dengan sarana penal), dan penegakan hukum dengan sarana non penal. Tugas penegakan hukum di bidang peradilan (dengan sarana penal) sebenarnya hanya merupakan salah satu atau bagian kecil saja dari tugas Kepolisian. Sebagian besar tugas Kepolisian justru terletak di luar penegakan hukum pidana (non penal).7

Tugas Kepolisian di bidang peradilan pidana hanya terbatas di bidang penyelidikan dan penyidikan. Tugas lainnya tidak secara langsung berkaitan dengan penegakan hukum pidana, walaupun memang ada beberapa aspek hukum pidananya. Misalnya tugas memelihara ketertiban dan keamanan umum, mencegah penyakit-penyakit masyarakat, memelihara keselamatan, perlindungan dan pertolongan kepada masyarakat, mengusahakan ketaatan hukum warga masyarakat tentunya merupakan tugas yang lebih luas dari yang sekadar dinyatakan sebagai tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) menurut ketentuan hukum pidana positif yang berlaku.

Dengan uraian di atas ingin diungkapkan bahwa tugas dan wewenang kepolisian yang lebih berorientasi pada aspek sosial atau aspek kemasyarakatan (yang bersifat pelayanan dan pengabdian) sebenarnya lebih banyak daripada tugas yuridisnya sebagai penegak hukum di bidang peradilan pidana. Dengan demikian

6

Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, halaman 4.

7

Amir Syamsuddin, 2008, Integritas Penegakan Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara, Kompas, Jakarta, halaman 52.


(27)

dalam menjalankan tugas dan wewenangnya Kepolisian sebenarnya berperan ganda baik sebagai penegak hukum maupun sebagai pekerja sosial untuk menggambarkan kedua tugas / peran ganda ini, Kongres PBB ke-5 (mengenai Prevention of Crime and The Treatment of Offenders) pernah menggunakan istilah “ Service oriented task “ dan Law enforcement duties “.8

Perihal Kepolisian dengan tugas dan wewenangnya ada diatur di dalam Undang-Undang Nol. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-undang tersebut dikatakan bahwa kepolisian adalah segala hal-ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan perundang-undangan.

Dari keterangan pasal tersebut maka dapat dipahami suatu kenyataan bahwa tugas-tugas yang diemban oleh polisi sangat komplek dan rumit sekali terutama di dalam bertindak sebagai penyidik suatu bentuk kejahatan.

Faktor Penyebab Terjadinya Salah Tembak Oleh Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)

Pada Putusan No. 239/Pid.B/2007/PN.BJ, dapat dilihat peristiwa terjadinya salah tembak yang dilakukan oleh anggota kepolisian adalah:

- Bahwa pada tempat sebagaimana diuraikan di atas diawali dari terdakwa memperoleh informasi dari Kasat Reskrim Polresta AKP Kosim S, yang memberitahukan adanya satu unit mobil Avanza BK 1296 GV yang dicurigai


(28)

akan melakukan perampokan di Kota Binjai, maka terdakwa bersama saksi Taing Saragih berangkat ke Kota Binjai dengan mengendarai sepeda motor yang dikemudikan oleh saksi Taing Saragih, untuk menindak lanjuti informasi tersebut.

- Bahwa setelah tiba di persimpangan jalan Irian dengan jalan Sudirman Binjai, dalam jarak 50 (lima puluh) meter terdakwa telah melihat satu unit mobil Avanza BK 1296 GV yang melaju di tengah keramaian lalu lintas kendaraan dan orang-orang dari arah kota Binjai menuju arah tugu Binjai, maka terdakwa langsung turun dari sepeda motor dan berjalan ke tengah jalan Jenderal Sudirman dengan maksud hendak menghentikan mobil Avanza tersebut.

- Bahwa saat mobil Avanza berjalan ke arah terdakwa yang berdiri di tengah jalan dengan tangan memberi kode berhenti (Stop), tampak mobil Avanza tersebut berjalan pelan hendak berhenti, namun setelah melewati terdakwa maka mobil Avanza tersebut langsung tancap gas menambah kecepatan meninggalkan terdakwa.

- Bahwa oleh karena melihat mobil Avanza tersebut tidak mau berhenti dan terus melaju, maka terdakwa kemudian berlari mengejar mobil Avanza tersebut, dan dalam jarak dekat antar Terdakwa dengan Mobil Avanza sekira 10 (Sepuluh) meter, maka terdakwa langsung cabut pistol di pinggangnya dan sambil terus berlari terdakwa melepaskan tembakan peringatan ke udara sebanyak 3 (tiga) kali.

- Bahwa oleh karena melihat mobil Avanza tersebut tidak juga berhenti, maka terdakwa yang perhatiannya tertuju kepada Mobil Avanza tersebut, tanpa


(29)

memperhatikan keadaan di sekitarnya yang ramai oleh lalu lalang kendaraan dan orang, terdakwa langsung mengarahkan pistolnya ke arah mobil Avanza dan melepaskan tembakan ke arah mobil Avanza sebanyak 2 (dua) kali tembakan, dimana saat itu jarak antara terdakwa dengan mobil Avanza sekitar 15 (lima belas) meter.

- Bahwa pada saat terdakwa melepaskan tembakan tersebut, pada saat bersamaan ada korban Jasian yang sedang melintas dengan mengendarai sepeda motor Yupiter BK 2757 UZ berlawanan arah dengan terdakwa dalam posisi sejajar dengan mobil Avanza yang menjadi sasaran tembakan terdakwa tersebut. - Bahwa dari 2 (dua) kali tembakan yang dilepaskan oleh terdakwa, ternyata satu

peluru tidak dapat mengenai sasaran mobil Avanza tersebut, melainkan menyamping ke kanan dan akibatnya peluru tersebut mengenai kepala korban Jasian sehingga korban Jasian langsung tersungkur jatuh dari sepeda motor yang dikendarainya tersebut.

- Bahwa akibat dari peluru yang ditembakkan terdakwa mengenai korban Jasian, maka perbuatan terdakwa tersebut korban Jasian meninggal dunia sesuai Visum Et Repertum No. 69/III/IKK/VER/2007 tanggal 22 Maret 2007 dari Instalasi P.I/Kedokteran Kehakiman Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan yang ditandatangani oleh pemeriksa Prod. Dr. H. Amar Singh, SpF (K), DFM, yang menerangkan hasil pemeriksaannya.9

Berdasarkan atas kutipan putusan No. 239/Pid.B/2007/PN.Bj, tersebut maka dapat dilihat bahwa faktor utama penyebab polisi salah tembak adalah karena


(30)

kurangnya faktor kehati-hatian.

Apabila ditelaah dari prosedur penggunaan senjata dalam melakukan tindakan sehubungan dengan tugas kepolisian maka dapat dilihat selain faktor kekurang hati-hatian pihak Polri maka dalam kajian faktor lainnya yang ditemukan adalah kurang tepatnya prosedur penggunaan senjata api oleh pihak kepolisian.

Berikut akan diuraikan dua faktor tersebut, yaitu: Kurang hati-hati.

Kurang hati-hati dapat dikatakan tidak seksama, atau sembrono. Seorang Polri yang sedang bertugas dan dilengkapi dengan senjata api tentunya memiliki sikap yang penuh dengan kewaspadaan dalam menggunakan senjata apinya dalam bertugas. Selain berfungsi untuk melindungi dirinya dari ancaman pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, senjata api tersebut dipergunakan sebagai sarana melumpuhkan target. Suatu peristiwa yang memberikan akibat bagi seorang Polri untuk mempergunakan senjata api, maka Polri tersebut harus melakukan identifikasi terhadap lingkungan sekitarnya dan juga target ancaman bagi dirinya dan juga target yang akan dilumpuhkan. Polemik ini akan memberikan kesadaran bagi Polri untuk bersikap hati-hati. Tetapi sebaliknya apabila Polri tidak berhati-hati maka penggunaan senjata apinya tersebut akan dapat mengenai objek yang lain seperti masyarakat umum. Oleh sebab itu maka kurang hati-hati pada dasarnya merupakan suatu sikap Polri yang tidak dapat menempatkan pemakaian senjata api pada suatu kondisi tertentu sehubungan dengan pekerjaannya menggunakan senjata api.


(31)

Polri dalam memakai senjata api tentunya dibekali dengan prosedur. Seperti apabila ingin menangkap target seorang penjahat yang melarikan diri, seorang Polri tentunya harus terlebih dahulu memberikan peringatan berupa perintah dan tembakan ke atas. Terkadang prosedur tersebut dilanggar sehingga seorang anggota Polri sedemikian saja melakukan penembakan. Pada kondisi ramai seorang Polri tentunya dilarang mempergunakan senjata api dalam menangkap targetnya. Tetapi disebabkan tidak tepat menerapkan prosedur maka prosedur tersebut dilanggar, sehingga mengakibatkan tertembaknya masyarakat umum.

Dalam menjalankan setiap tugas ada etika yang harus dijaga dan dijunjung oleh anggota kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Ketika aparat kepolisian mendapat gaji, tunjangan dan fasilitas dari negara, tentunya itu semua didapatkan karena mereka memiliki tugas menjaga keamanan negara. Tempaan fisik dan pendidikan militer termasuk amanat memegang senjata dimaksudkan untuk mendukung tugas mulia yang mereka emban.

Prinsip-prinsip penggunaan kekerasan dan senjata api oleh polisi pada dasarnya termasuk dalam prinsip-prinsip dasar PBB tentang penggunaan kekerasan dan senjata api oleh petugas penegak hukum yang diadopsi dari kongres PBB ke-8 tentang Perlindungan Kejahatan dan Perlakuan terhadap pelanggar hukum di Havana Kuba, dari tanggal 27 Agustus sampai 7 September 1990. 43 Tata tertib bagi Petugas Penegak Hukum PBB (diadopsi oleh Resolusi Dewan Umum 34/168, tanggal 17 Desember 1979) juga menekankan prinsip-prinsip ini. Dan sebagai salah satu negara anggota PBB, Indonesia khususnya Polri mempunyai kewajiban untuk mengadopsi saran-saran PBB ini. Prinsip-prinsip Dasar PBB tentang


(32)

Penggunaan Kekerasan Dan Senjata Api oleh Penegak Hukum adalah: 1. Cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu. Kekerasan hanya dipakai bila sangat perlu.

Kekerasan dipakai hanya untuk tujuan penegakan hukum yang sah.

Tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum.

Penggunaan kekerasan harus selalu proporsional dengan tujuannya (yang sesuai dengan hukum).

Harus ada pembatasan dalam penggunaan kekerasan. Kerusakan dan luka-luka harus dikurangi

.Harus tersedia berbagai jenis alat yang dipakai dalam penggunaan kekerasan yang beragam.

Semua petugas harus dilatih dalam menggunakan berbagai peralatan yang dipakai dalam berbagai penggunaan kekerasan yang beragam.

Semua petugas harus dilatih tentang menggunakan cara-cara tanpa kekerasan.10

Prinsip-prinsip dasar PBB tentang penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh petugas penegak hukum ini, walaupun bukan merupakan sebuah perjanjian internsional, tetapi merupakan sebuah perangkat yang bertujuan memberikan panduan bagi negara-negara anggota dalam pelaksanaan tugas mereka untuk menjamin dan memajukan peran petugas penegak hukum secara benar. Dengan demikian, ada pemahaman mendasar bahwa prinsip-prinsip ini harus diperhatikan dan dihormati oleh pemerintah dalam kerangka perundang-undangan dan praktek nasional, dan harus menjadi perhatian petugas penegak hukum dan orang lain, seperti hakim, jaksa, pengacara, orang-orang yang duduk dalam pemerintahan dan legislatif serta masyarakat umum.

Pembukaan undang-undang ini menekankan pentingnya bagi pemerintahan nasional untuk memperhatikan prinsip-prinsip yang termuat di dalam perangkat tersebut, dengan cara menyesuaikan dengan perundang-undangan dan praktek

10


(33)

nasional. Untuk memperoleh informasi tentang penggunaan dan penerapan peraturan ini, negara-negara anggota menyediakan informasi tentang uji dan pelatihan khusus bagi petugas penegak hukum sebelum mereka diizinkan untuk menggunakan kekerasan atau senjata api, selain informasi tentang peraturan-peraturan secara rinci mengenai penggunaan kekerasan dan senjata api oleh petugas penegak hukum secara umum terhadap orang yang sedang ditahan atau pada saat melakukan tugas kepolisian terhadap kegiatan berkumpul secara melanggar hukum.

Ketentuan tentang pelatihan dan ujian khusus penggunaan kekerasan dan senjata api dalam prinsip-prinsip dasar penggunaan kekerasan dan senjata api menyatakan bahwa pemerintah dan pihak yang berwenang harus memastikan dan menjamin bahwa Polri harus dilengkapi dengan keahlian dan kemampuan yang memadai tentang penggunaan kekerasan dan senjata api.

Selain harus memperhatikan dan mematuhi prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan kekerasan dan senjata api, aparat penegak hukum juga harus memperhatikan dan mematuhi prinsip-prinsip dasar dalam penegakan hukum, yaitu:

Legalitas

Prinsip ini berarti bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh anggota Polri, harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Prinsip legalitas dalam Hak Asasi Manusia tidak hanya diatur dalam perundang-undangan nasional, tetapi juga secara internasional.

Oleh karena itu, semua anggota Polri, baik Polri pria maupun Polri wanita, harus mengetahui perundang-undangan nasional dan internasional yang terkait dengan tugas penegakan hukum. Misalnya, dalam hal penahanan seorang tersangka, anggota Polri yang menangkap harus memiliki mandat menurut hukum untuk membatasi kebebasan tersangka. Dalam berbagai keadaan,


(34)

anggota Polri tidak dapat bertindak di luar hukum yang sah (tidak bertindak sewenang-wenang).

Nesesitas

Nesesitas berarti sebuah keadaan yang mengharuskan anggota polisi untuk melakukan suatu tindakan, atau menghadapi kejadian yang tidak dapat dihindarkan atau dielakkan sehingga terpaksa melakukan tindakan yang membatasi kebebasan seseorang.

Pada penggunaan kekerasan dan senjata api, prinsip ini diterapkan pada saat keadaan tidak dapat dihindarkan atau tidak dapat dielakkan, sehingga

penggunaan kekerasan dan senjata api merupakan satu-satunya tindakan yang harus dilakukan.

Artinya bahwa tidak ada cara lain untuk memecahkan masalah tersebut dalam mencapai sasaran yang diharapkan. Dalam semua keadaan, penggunaan senjata api yang mematikan hanya dapat digunakan secara tegas guna melindungi kehidupan (prinsip-prinsip dasar penggunaan kekerasan dan senjata api, prinsip Nomor 9). Maksud kehidupan disini adalah nyawa warga masyarakat yang tidak bersalah, anggota Polri dan tersangka.

Proporsionalitas

Prinsip proporsionalitas dalam penegakan hukum, tidak bisa disamakan dengan arti kata yang sama dalam tindakan anggota Angkatan Bersenjata (armed forces), dalam perpolisian, prinsip proporsionalitas tidak berarti menggunakan alat/peralatan yang sama dengan yang digunakan oleh tersangka, misalnya dalam keadaan tersangka menggunakan senjata api, tidak secara langsung Polri juga menggunakan senjata api.

Selain itu, apabila tujuan penggunaan kekerasan dan senjata api sudah terpenuhi, maka penggunaan kekerasan harus dihentikan. Proporsionalitas adalah penggunaan kekerasan dan senjata api yang sesuai, berdasarkan tujuan yang dicapai dan tidak melebihi batas. Anggota Polri harus menerapkan prinsip proporsionalitas dalam setiap tindakan, terutama pada saat penggunaan kekerasan dan senjata api (hanya pada saat sangat dibutuhkan). Prinsip proporsionalitas dalam penggunaan kekerasan dan senjata api harus diterapkan pada saat


(35)

berhadapan dengan keadaan sebagai berikut:

Tindakan tersangka dan penggunaan sarana/peralatan (senjata api, pisau dan lain-lain).

Keadaan yang mendadak menimbulkan risiko kematian (warga masyarakat, petugas kepolisian dan tersangka).

Kondisi atau keadaan yang penuh bahaya, ancaman terhadap jiwa, keadaan ketika bahaya atau ancaman sudah sangat dekat untuk terlaksana.

Risiko dengan kemungkinan penggunaan senjata api dan kekerasan akan terjadi, petugas harus mampu menentukan tingkatan penggunaan kekerasan yang akan digunakan.

Tata tertib bagi Petugas Penegak Hukum pasal 3 menjelaskan bahwa petugas penegak hukum hanya boleh menggunakan kekerasan bila sangat diperlukan dan hanya sebatas yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Anggota Polri tidak boleh menggunakan senjata api untuk melawan orang yang dihadapi, kecuali dalam rangka membela diri atau membela orang lain ketika menghadapi ancaman nyawa atau luka yang parah, dan untuk mencegah kejahatan lain yang mengancam nyawa. Yang termasuk kasus-kasus pengecualian adalah penahanan seseorang yang membahayakan, yang melakukan perlawanan atau berkemungkinan melarikan diri dari anggota polisi, juga baik tindakan-tindakan yang lebih lunak tidak efektif lagi.

Dalam situasi apapun penggunaan kekerasan dan senjata api secara sengaja dan mematikan hanya diizinkan jika sangat diperlukan untuk melindungi nyawa manusia. Keadaan-keadaan yang diizinkan untuk menggunakan senjata api adalah


(36)

sebagai berikut:

1. Senjata api hanya boleh dipakai dalam keadaan-keadaan luar biasa. 2. Senjata api hanya boleh dipakai untuk membela diri atau membela orang

lain terhadap ancaman kematian atau luka-luka.

3. Untuk mencegah terjadinya kejahatan berat yang melibatkan ancaman terhadap nyawa.

4. Untuk menahan atau mencegah larinya seseorang yang membawa, mengancam dan yang sedang berupaya melawan usaha untuk menghentikan ancaman tersebut.

5. Dalam setiap kasus, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.

6. Penggunaan kekerasan dan senjata api dengan sengaja, hanya dibolehkan bila benar-benar untuk melindungi nyawa manusia.11

Secara rinci prosedur penggunaan senjata api bagi aparat kepolisian adalah sebagai berikut:

a. Petugas harus menyebutkan dirinya sebagai anggota polisi. b. Petugas harus memberi peringatan secara jelas.

c. Petugas harus memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.

d. Hal ini tidak perlu dilakukan bila pengunduran waktu akan mengakibatkan. kematian atau luka berat terhadap petugas tersebut atau orang lain atau,

e. Bila jelas-jelas tidak dapat ditunda dalam situasi tersebut. f. Tindakan polisi setelah menggunakan senjata api, yaitu:

1. Memberi bantuan medis bagi setiap orang yang terluka (korban dan penyerang yang memerlukan perawatan medis).

2. Memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban akibat penggunaan senjata api.

3. Penyidikan harus diijinkan bila diminta atau diperlukan.

11

Kusumadi Pudjosewojo, 1999, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, halaman 57.


(37)

4. Menjaga tempat kejadian perkara untuk penyelidikan lebih lanjut. 5. Membuat laporan terinci dan lengkap tentang penggunaan senjata api

Hal-hal yang sangat relevan dengan prinsip-prinsip dasar penggunaan kekerasan dan senjata api adalah pemerintah dan lembaga penegak hukum harus mengadopsi dan menerapkan peraturan dan perundang-undangan tentang penggunaan kekerasan dan senjata api terhadap orang lain melalui petugas penegak hukum.

Dalam mengembangkan aturan dan peraturan tersebut, pemerintah dan lembaga penegak hukum harus senantiasa meninjau kembali persoalan-persoalan etika yang berkaitan dengan penggunaan kekerasan dan senjata api. Badan pemerintah dan lembaga penegak hukum harus menetapkan prosedur pelaporan dan peninjauan yang efektif tentang semua kejadian dan harus melengkapi anggota polisi dengan berbagai jenis senjata api dan amunisi yang memungkinkan penggunaan kekerasan dan senjata api yang beragam, termasuk senjata yang tidak mematikan dan peralatan bela diri lainnya.

Sejauh mungkin petugas penegak hukum harus menggunakan tindakan tanpa kekerasan sebelum memutuskan untuk menggunakan kekerasaan atau senjata api. Dalam penggunaan kekerasan dan senjata api, petugas penegak hukum harus mempertimbangkan bahwa tindakannya yang tidak memadai dapat menyebabkan kematian.

Ada saatnya peningkatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia sukar dilakukan, misalnya pada saat terjadi kerusuhan massal atau pada saat aparat kepolisian sedang berhadapan dengan seorang penjahat. Pada saat-saat yang


(38)

demikian itulah biasanya negara melakukan pengurangan kewajibannya terhadap konvensi yang disepakati. 49 Akan tetapi ketika hal ini terjadi, petugas penegak hukum tetap mempunyai tanggung jawab yang sepenuhnya harus dilaksanakan, yaitu:

1. Menghargai dan melindungi hak-hak yang tidak dapat dikurangi pada setiap saat dan dalam keadaan apapun.

2. Mematuhi tindakan-tindakan tersebut, dengan tetap melindungi hak-hak asasi lainnya, menyusul dilakukannya tindakan pengurangan oleh pemerintah.

Anggota polisi mempunyai posisi yang sah secara hukum untuk membatasi hak-hak seseorang dalam masyarakat, terutama mereka yang dicurigai melakukan kejahatan. Kendati demikian, ada faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam hal pembatasan hak-hak seseorang. Untuk itu, penting bagi anggota polisi untuk memahami peran mereka sebagai pelindung dan penegak Hak Asasi Manusia setiap orang dalam masyarakat.

Apabila hal ini tidak diperhatikan oleh pihak kepolisian, maka tindakannya tersebut akan sangat membahayakan citra institusi kepolisian. Pihak kepolisian harus memperhatikan tiga tingkat prioritas keamanan sebelum menggunakan kekerasan dan senjata api yaitu:

a. Keamanan masyarakat atau pihak ketiga (setiap warga Negara) Keamanan Polri

Keamanan pelanggar hukum12

Selain itu, semua petugas penegak hukum harus dilatih dalam

12

Warsito Hadi Utomo, 2005, Hukum Kepolisian di Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka, halaman 21.


(39)

menggunakan berbagai peralatan yang dipakai dalam berbagai penggunaan kekerasan yang beragam dan petugas penegak hukum harus dilatih tentang menggunakan cara-cara tanpa kekerasan. Dan harus ada pembatasan dalam penggunaan kekerasan, kerusakan dan luka-luka harus dikurangi serta harus tersedia berbagai jenis alat yang dipakai dalam penggunaan kekerasan yang beragam. Selain itu dalam memilih kekerasan yang akan digunakan, Polri harus memperhatikan tingkat kerjasama si tersangka dalam situasi tertentu serta mempertimbangkan rangkaian logis dan hukum sebab akibat. Dalam situasi tersebut polisi harus memutuskan cara apa yang akan ditempuh, teknik spesifik dan tingkat kekerasan yang akan digunakan berdasarkan keadaan. Penggunaan kekerasan secara progresif/tingkat kekerasan menyiratkan penilaian terhadap tiga situasi yaitu:

Adanya atau tidak adanya kerjasama dari tersangka (kepatuhan terhadap perintah Polri):

1) Bekerjasama: tersangka mematuhi perintah Polri

2) Perlawanan pasif: tersangka menolak perintah Polri tetapi pada tingkat verbal

3) Perlawanan aktif: tersangka menunjukkan sikap yang berlawanan ketika dia ditangkap, tidak mematuhi polisi bahkan sebaliknya memelototi Polri

4) Agresif tingkat I, tidak mau mematuhi: tersangka secara fisik menolak ketika ditangkap, mengancam Polri dengan menggunakan kekuatan fisik 5) Agresi tingkat II, tersangka menunjukkan ancaman fisik dan kematian bagi


(40)

a. Persepsi atas risiko yang timbul dari penerapan kekerasan

Dalam situasi kritis ketika secara umum nyawanya terancam, Polri harus mengevaluasi situasi tersebut dalam waktu secepat mungkin dengan menilai hal-hal di bawah ini:

1) Tindakan tersangka

2) Kondisi risiko (bagi warga, Polri dan tersangka) dan

3) Risiko yang muncul, agar dapat memutuskan tingkat kekerasan yang akan digunakan.

Dengan demikian, penting bagi petugas penegak hukum untuk mendapatkan pelatihan yang cukup, dilengkapi dengan pengetahuan tentang teknik

penggunaan kekerasan, cara-cara yang sesuai untuk berbagai situasi serta keahlian yang benar yang akan memberikan rasa percaya diri ketika memilih tingkat kekerasan yang sesuai.

c. Tingkat kekerasan

Langkah-langkah Polri dalam berbagai tingkatan kekerasan/tahap penggunaan kekerasan dan senjata api:

1) Kehadiran Polri

Kehadiran polisi yang berseragam dianggap sebagai tindakan pencegahan kejahatan. Polri tidak harus berbadan besar, yang dulu merupakan suatu keharusan di banyak negara. Polri yang dilatih dengan baik, yamg memiliki pengetahuan teknis dan taktis, pengetahuan lengkap tentang tugas kepolisian, dan memiliki etika, adalah sifat-sifat utama yang dapat menjadi penangkal yang efektif terhadap terjadinya kejahatan.

2) Negosiasi

Seorang Polri harus mampu mengkomunikasikan maksudnya secara efektif dan sadar akan pentingnya kemampuan untuk mendengarkan apa yang dikatakan orang yang dilayani. Komunikasi dapat menjadi tingkat kekerasan yang efektif, sehingga bahasa dan nada yang dipakai menjadi penting karena keseriusan campur tangan dan tingkat pendidikan anggota Polri tersebut. Bila Polri menggunakan bahasa yang biasanya dipakai oleh para penjahat, dia akan dianggap negatif oleh masyarakat dan tidak mendapatkan rasa hormat yang seharusnya diberikan kepada petugas penegak hukum. Penggunaan cara non kekerasan meliputi negosiasi, mediasi dan penyelesaian konflik. Semua anggota polisi harus mampu menjadi negosiator. Pengalaman telah membuktikan bahwa penggunaan cara-cara seperti ini lebih efektif dari penggunaan kekerasan.


(41)

Melakukan kontak visual atau pengendalian kontak dengan tersangka, sadar atas apa yang mereka lakukan serta mengantisipasi apa yang akan mereka lakukan, adalah hal-hal yang sangat penting untuk menghindari risiko yang tidak perlu.

3) Penggunaan tangan kosong

Mengharuskan anggota Polri berada dalam kondisi fisik yang bugar sehingga mampu menghentikan tersangka atau melakukan intervensi dalam situasi yang beresiko. Anggota Polri yang tidak bugar akan mengalami kesulitan menangkap dan menahan tersangka terutam ketika tersangka melawan. Karena itu, sangat penting bagi Polri untuk senantiasa berlatih secara fisik, yang

memungkinkannya berada dalam kondisi fisik yang prima, yang membuatnya mampu menggunakan metode atau teknik bela diri bila diperlukan.

4) Penggunaan teknik melumpuhkan

Mencakup penggunaan tongkat yang biasa dipakai Polri atau cara-cara lain (tongkat, tameng dan lain-lain) yang paling sesuai dengan keadaan. Alat-alat tersebut hanya boleh dipakai ketika teknik-teknik tanpa kekerasan terbukti tidak efektif dalam situasi tersebut dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip legalitas dan proporsionalitas.

5) Penggunaan zat kimia

Zat kimia (gas air mata, bom asap pemedih, dan sejenisnya) dapat digunakan jika situasi (massa) bertindak anarkis/brutal dan tidak terkendali dengan tetap mempertimbangkan Prinsip-prinsip Dasar Penegakan Hukum.

6) Penggunaan tindakan yang mematikan

Senjata api atau peralatan yang lain dapat digunakan hanya untuk melindungi nyawa manusia. Hal ini meliputi nyawa korban, nyawa warga, atau penonton, polisi serta pelanggar hukum atau penjahat itu sendiri.

Ketika menggunakan senjata api polisi harus: 1. Menyatakan identitas dirinya

2. Menyatakan maksudnya dengan jelas bila berkaitan dengan penggunaan senjata api.


(42)

Dalam rangkaian tugasnya (pelindung dan pelayan) polisi memang diberikan kewenangan untuk menggunakan senjata dan kekerasan, aparat kepolisian diberikan kewenangan untuk menggunakan kekuatan guna memaksa seseorang atau kelompok agar mematuhi aturan sebagi inti dari demokrasi (Law enforcement in democratic society).

Kewenangan ini telah dimuat dengan tegas dalam Resolusi 34/169 majelis umum PBB, yang tertuang dalam code of conduct for law enforcement dengan prinsip dasar mengizinkan aparat penegak hukum menggunakan kekerasan dalam menjalankan tugasnya. Namun harus diingat bahwa resolusi ini juga memuat tiga asas esensial seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu asas legalitas (legality), kepentingan (necessity) dan proporsional (proportionality), artinya sekalipun aparat kepolisian diberikan kewenangan untuk menggunakan senjata dan kekerasan, namun mereka memiliki kewajiban untuk mengendalikan sekaligus mencegah dengan bertindak secara proporsional berdasarkan situasi dan kondisi lapangan sebab jika tidak, tindakan tersebut akan dianggap penggunaan kekerasan berlebihan (excessive use of force) dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) sekaligus pelanggaran harkat dan martabat manusia.


(43)

BAB III

SANKSI SECARA HUKUM PIDANA TERHADAP PERBUATAN SALAH TEMBAK ANGGOTA POLRI

A. Peraturan Disiplin Kepolisian

Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia disiplin mengandung pengertian: latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala perbuatannya selalu mentaati tata tertib.13

Berdisiplin mengandung arti mentaati tertib atau menuruti tata tertib. Atau dengan kata lain diartikan ketaatan pada aturan dan tata tertib. Kalau kita perhatikan dewasa ini, ukuran disiplin dalam konsep hidup manusia modern dan intelektual bukan lagi bertumpu pada disiplin yang kaku, akan tetapi disiplin dalam konsep kerja cerdas yaitu lebih menitik beratkan pada implementasi sikap hidup tertanggung jawab, berorientasi pada sikap target dan kualitas, pemberian sugesti dan semangat pada orang lain serta mampu membuktikan kreativitas. Demikian halnya dengan pegawai negeri sipil termasuk kepolisian, yang di dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai aparatur negara dituntut untuk memenuhi disiplin yang tinggi sehingga tercapai kinerja yang baik.

Disiplin yang baik adalah disiplin yang tumbuh dari dalam diri sendiri tanpa adanya paksan dari pihak luar, sebab suatu disiplin yang tumbuh dari kesadaran sendiri memberikan pengaruh positif atas diri anggota polri tersebut. Namun demikian keteladanan dari pimpinan juga memberikan pengaruh yang besar dalam melaksanakan disiplin. Andaikata pimpinan atau staf pimpinan telah


(44)

berprilaku disiplin terhadap waktu, tanggung jawab, pekerjaan, serta disiplin terhadap bawahan, niscaya langkahnya akan diikuti oleh yang lainnya. Di samping itu, tingkat kesejahteraan dari anggota Polri juga memberikan pengaruh. Dimana apabila kebutuhan dari anggota Polri tersebut kurang maka dengan sendirinya ia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya.

Perihal disiplin anggota Polri diatur secara tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa: Disiplin adalah ketaatan dan kepatuhan yang sungguh-sungguh terhadap peraturan disiplin anggota kepolisian negara Republik Indonesia.

Selanjutnya dalam pasal yang sama ayat (3) disebutkan bahwa peraturan disiplin anggota kepolisian negara Republik Indonesia adalah serangkaian norma untuk membina, menegakkan disiplin dan memelihara tata tertib kehidupan anggota kepolisian negara Republik Indonesia.

Berdasarkan kenyataan tersebut maka pada dasarnya peraturan disiplin di lingkungan kepolisian semata dan tidak berlaku bagi anggota yang bukan anggota kepolisian negara Republik Indonesia dan juga anggota kepolisian yang sedang menjalani pidana. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 PP Nomor 2 Tahun 2003 yang berbunyi:

(1) Peraturan Pemerintah ini berlaku bagi:

a. Anggota kepolisian negara Republik Indonesia dan

b. Mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tunduk pada hukum yang berlaku bagi anggota kepolisian negara Republik Indonesia.


(45)

(2) Peraturan Pemerintah ini tidak berlaku bagi anggota kepolisian negara Republik Indonesia yang sedang menjalani pidana penjara.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 maka jenis-jenis disiplin dalam lingkungan kepolisian tersebut meliputi:

1. Dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota kepolisian negara Republik Indonesia dilarang:

a. Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah, atau kepolisian negara Republik Indonesia,

b. Melakukan kegiatan politik praktis,

c. Mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,

d. Bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara,

e. Bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi kepolisian negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi,

f. Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya,

g. Bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi dan tempat hiburan,

h. Menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang, i. Menjadi perantara/makelar perkara,


(46)

j. Menelantarkan keluarga.

2. Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:

a. Membocorkan rahasia operasi kepolisian,

b. Meninggalkan wilayah tugas tanpa izin pimpinan, c. Menghindarkan tanggung jawab dinas,

d. Menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi,

e. Menguasai barang milik dinas yang bukan diperuntukkan baginya, f. Mengontrakkan/menyewakan rumah dinas,

g. Menguasai rumah dinas lebih dari satu unit,

h. Mengalihkan rumah dinas kepada yang tidak berhak, i. Menggunakan barang bukti untuk kepentingan pribadi, j. Berpihak dalam perkara pidana yang sedang ditangani, k. Memanipulasi perkara,

l. Membuat opini negatif tentang rekan sekerja, pimpinan dan/atau kesatuan, m. Mengurusi, mensponsori dan/atau mempengaruhi petugas dengan pangkat

dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,

n. Mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan pribadi sehingga mengubah arah kebenaran materiil perkara,

o. Melakukan upaya paksa penyidikan yang bukan kewenangannya,

p. Melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan


(47)

kerugian bagi pihak yang dilayani, q. Menyalahgunakan wewenang,

r. Menghambat kelancaran pelaksanaan tugas kedinasan, s. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan,

t. Menyalahgunakan barang, uang atau surat berharga milik dinas,

u. Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, meminjamkan, atau menghilangkan barang, dokumen, atau surat berharga milik dinas secara tidak sah,

v. Memasuki tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, kecuali karena tugasnya,

w. Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain,

x. Memakai perhiasan secara berlebihan pada saat berpakaian dinas kepolisian negara Republik Indonesia.

Perihal jenis-jenis disiplin dalam lingkungan kepolisian ini juga terbit dari kewajibannya sebagaimana diatur di dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 yang berbunyi:

Dalam rangka kehidupan bernegara dan bermasyarakat anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib:

1. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara dan pemerintah,

2. Mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan serta menghindari segala sesuatu yang dapat merugikan kepentingan negara,


(48)

3. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat negara, pemerintah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia,

4. Menyimpan rahasia negara dan/atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya, 5. Menjunjung tinggi hak asasi manusia,

6. Menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang berhubungan dengan tugas kedinasan maupun yang berlaku secara umum,

7. Melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan dan/atau merugikan negara/pemerintah,

8. Bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, 9. Berpakaian rapi dan pantas.

Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib:

1. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat,

2. Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya laporan dan/atau pengaduan masyarakat,

3. Menaati sumpah atau janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta sumpah atau janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

4. Melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab,

5. Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan dan kesatuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.


(49)

6. Menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku,

7. Bertindak dan bersikap tegas serta berlaku adil dan bijaksana terhadap bawahannya,

8. Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugas,

9. Memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahannya, 10.Mendorong semangat bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerja, 11.Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan karier, 12.Menaati perintah kedinasan yang sah dari atasan yang berwenang,

13.Menaati ketentuan jam kerja,

14.Menggunakan dan memelihara barang milik dinas dengan sebaik-baiknya, 15.Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik.

Polisi Sebagai Penyidik

Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, salah satu instansi yang diberi kewenangan melakukan penyidikan ialah “pejabat Polisi Negara”. Memang dari segi diferensiasi fungsioanl, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Cuma agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, harus memenuhi “syarat kepangkatan” sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2). Menurut penjelasan Pasal 6 ayat (2), kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntutan umum dan hakim peradilan umum. Dari bunyi penjelasan ini, KUHAP


(50)

sendiri belum mengatur syarat kepangkatan yang dikehendaki Pasal 6. Syarat kepangkatan tersebut akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Untuk itu, penjelasan Pasal 6 telah memberi petunjuk supaya dalam menetapkan kepangkatan pejabat penyidik, disesuaikan dengan kepangkatan penuntut umum dan hakim Pengadilan Negeri.

Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan pejabat penyidik sebagaimana yang dikehendaki ketentuan Pasal 6 sudah ada, dan telah ditetapkan pada tanggal 1 Agustus 1983, berupa PP No. 27 Tahun 1983. Syarat kepangkatan pejabat penyidik diatur dalam Bab II. Memperhatikan ketentuan kepangkatan yang diatur dalam Bab II. Memperhatikan ketentuan dan pengangkatan pejabat penyidik kepolisian dapat dilihat uraian berikut :

a. Pejabat Penyidik Penuh

Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh”, harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan.

• Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi.

• Atau yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua;

• Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI.

Demikian syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat polisi menjadi pejabat penyidik. Dari bunyi ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP No. 27 Tahun 1983, sekalipun pada prinsipnya syarat kepangkatan pejabat penyidik sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua, namun mengingat sekurang-kurangnya tenaga


(51)

personel yang belum memadai terutama di daerah-daerah atau di kantor sektor kepolisian, Peraturan Pemerintah memperkenankan jabatan penyidik dipangku oleh seorang anggota kepolisian yang “berpangkat bintara”. Kepangkatan yang serupa ini memang tidak serasi jika ditinjau dari sudut keseimbangan kepangkatan penuntut umum maupun hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri. Apalagi dari segi kemampuan pengetahuan hukum seorang bintara kurang dapat dipertanggungjawabkan segi kemampuan dan pengalaman. Itu sebabnya sering dijumpai penyidikan yang tidak memadai dan tidak terarah.

b. Penyidik Pembantu

Pejabat Polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu” diatur dalam Pasal 33 PP No. 27 Tahun 1983. Menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik pembantu;

• Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;

• Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a);

• Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.

Khusus pengangkatan pegawai negeri sipil dilingkungan kepolisian menjadi pejabat penyidik pembantu, yang bersangkutan harus mempunyai keahlian atau kekhususan dalam bidang tertentu. Tanpa syarat tersebut, tidak ada alasan atau urgensi untuk mengangkat mereka menjadi pejabat penyidik pembantu. Syarat kepangkatan penyidik pembantu, lebih rendah dari pangkat jabatan penyidik.


(52)

pejabat penyidik, oleh karena itu, kepangkatan mereka harus lebih rendah dari penyidik.

Seperti dikatakan, penyidik pembantu bukan mesti terdiri dari anggota Polri, tetapi bisa diangkat dari kalangan pegawai sipil Polri, sesuai dengan keahlian khusus yang mereka miliki dalam bidang tertentu. Misalnya, ahli kimia atau ahli patologi. Kalau pegawai sipil Polri yang demikian tidak bisa diangkat menjadi penyidik pembantu, mungkin akan menimbulkan hambatan dalam pelaksanaan penyidikan. Sebab dikalangan anggota Polri sendiri, yang memiliki syarat kepangkatan dan keahlian tertentu mungkin masih sangat langka. Itu sebab utama yang menjadi motivasi keperluan penyidik pembantu dapat diangkat dari kalangan pegawai sipil.

Bukankah sudah ada pejabat penyidik ? Apa perlunya ada penyidik pembantu? Bukankah hal ini seolah-olah dualistis dalam tubuh aparat penyidik ? Memang menurut logika, dengan adanya pejabat penyidik, tidak perlu dibentuk suatu eselon yang bernama penyidik pembantu. Sebab secara rasio, dengan adanya jabatan penyidik berdasar syarat kepangkatan tertentu, semua anggota Polri yang berada di bawah jajaran pejabat penyidik adalah pembantu bagi pejabat penyidik. Apalagi jiha dihubungkan dengan ketentuan Pasal 11, pengklasifikasian antara penyidikan denan penyidik pembantu semakin mengherankan. Sebab berdasarkan ketentuan Pasal 11, penyidik pembantu mempunyai wewenang yang sama dengan pejabat penyidik, kecuali sepanjang penahanan, wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Jadi, boleh dikatakan hampir sama wewenang yang sama dengan pejabat penyidik. Apalagi jika dihubungkan dengan


(53)

ketentuan Pasal 11, pengklasifikasian antara penyidikan dengan penyidik pembantu mempunyai wewenang yang sama dengan pejabat penyidik, kecuali sepanjang penahanan, wajib sama wewenangnya sebagaimana diperinci pada Pasal 7 ayat (1).

Untuk mendapatkan penjelasan atas klasifikasi penyidik, mungkin dapat diterima alasan yang dikemukakan pada buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP, yang menjelaskan latar belakang urgensi pengangkatan pejabat penyidik pembantu, yang dapat disimpulkan.

• Disebabkan terbatasnya tenaga Polri yang berpangkat tertentu sebagai pejabat penyidik. Terutama daerah-daerah sektor kepolisian di daerah terpencil, masih banyak yang dipangku pejabat kepolisian yang berpangkat bintara;

• Oleh karena itu, seandainya syarat kepangkatan pejabat penyidik sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polri, sedangkan yang berpangkat demikian belum mencukupi kebutuhan yang diperlukan sesuai dengan banyaknya jumlah Sektor Kepolisian, hal seperti ini akan menimbulkan hambatan bagi pelaksanaan fungsi penyidikan di daerah-daerah, sehingga besar kemungkinan, pelaksanaan fungsi penyidikan tidak berjalan di daerah-daerah.

Sanksi Secara Hukum Pidana Terhadap Perbuatan Salah Tembak Anggota Polri

Pada Putusan Nomor: 239/Pid.B/2007/PN.Bj, perbuatan terdakwa berupa salah tembak dan mengakibatkan hilangnya jiwa orang lain diancam pidana


(54)

Pasal 359 KUHP.14

Pasal 359 KUHP berbunyi: “Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun).

R. Soesilo menjelaskan:

Matinya orang disini tidak dimaksud sama sekali oleh terakwa, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari pada kurang hati-hati atau lalainya terdakwa (delik culpa), misalnya seorang sopir menjalankan kendaraan mobil terlalu kencang, sehingga menubruk orang sampai mati, atau seorang berburu melihat sosok hitam-hitam dalam tumbuh-tumbuhan, dikira babi rusa terus ditembaj mati, tetapi ternyata sosok yang dikira babi itu adalah manusia, atau orang main-main dengan senjata api, karena kurang hati-hati meletus dan mengenai orang lain sehingga mati dan sebagainya. Apabila mati orang itu dimaksud oleh terdakwa, maka ia dikenakan pasal tentang pembunuhan (Pasal 338 atau 340).

Karena salahnya = kurang hati-hati, lalai lupa, amat kurang perhatian.15

Selanjunya dalam Putusan Nomor: 239/Pid.B/2007/PN.Bj hakim yang memeriksa perkara tersebut memutuskan:

Menyatakan terdakwa Dicky S. Lubis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati.

Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan. Menyatakan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya

dari pidana yang dijatuhkan. Menyatakan barang bukti berupa:

1 (satu) pucuk senjata api genggam SSW No. 9024 5 (lima) butir selongsong peluru.

14


(55)

1 (satu) lembar kartu izin pemegang senjata api atas nama Dicky S. Lubis. Dikembalikan kepada Polresta Binjai melalui Kasat reskrim Polresta Binjai. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000

(lima ribu rupiah).16

Berdasarkan putusan pengadilan tersebut maka dapat dilihat bahwa sanksi yang diberikan kepada anggota kepolisian yang salah tembak adalah berupa sanksi pidana pidana penjara.

Asas hukum pidana Indonesia mengatur sebuah ketentuan yang mengatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dihukum selama perbuatan itu belum diatur dalam suatu perundang-undangan atau hukum tertulis. Asas ini dapat dijumpai pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang disebut dengan asas legalitas yaitu asas mengenai berlakunya hukum. Untuk itu dalam menjatuhkan atau menerapkan suatu pemidanaan terhadap seorang pelaku kejahatan harus memperhatikan hukum yang berlaku.

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (I) KUHP, asas legalitas mengandung 3 (tiga) pengertian, yaitu:

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

2. Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan analogi 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Dari pengertian point 1 menyebutkan harus ada aturan undang-undang.

15

R. Soesilo, 1991, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, halaman 248.


(56)

Dengan demikian harus ada aturan hukum yang tertulis terlebih dahulu terhadap suatu perbuatan sehingga dapat dijatuhi pidana terhadap pelaku yang melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian berdasarkan peraturan yang tertulis akan ditentukan perbuatan apa saja yang dilarang untuk dilakukan yang jika dilanggar menimbulkan konsekuensi hukum yaitu menghukum pelaku.

Dalam KUHP tidak ada diatur mengenai tindak pidana penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur, akan tetapi dalam KUHP telah diatur dengan tegas batasan-batasan bagi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan berupa tindakan kekerasan yaitu dalam Pasal 49 ayat (1) yang menyatakan dengan tegas bahwa:

“barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”.

Berdasarkan peraturan ini, maka suatu perbuatan berupa tindakan kekerasan yang dilakukan karena keadaan terpaksa tidak dikenai hukuman akan tetapi tindakan kekerasan yang dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa, sebagimana diatur dalam Pasal 49 ayat (I) dapat dijatuhi hukuman.

Di samping pada Pasal 49 ayat (1) diatas, batasan untuk melakukan suatu perbuatan berupa tindakan kekerasan juga diatur dalam Pasal 50 KUHP, yang dengan tegas menyatakan bahwa: “barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang, tidak boleh dihukum”.


(57)

menjalankan peraturan undang-undang tidak boleh dihukm akan tetapi apabila perbuatan tersebut dilakukan bukan untuk menjalankan peraturan undang-undang, pelakunya dapat dikenai hukuman.

Berdasarkan asas legalitas, telah terbentuk suatu peraturan internasional yang mengatur tentang prosedur penggunaan senjata api bagi setiap Penegak Hukum yang berlaku secara khusus, yaitu Resolusi PBB 34/168 Dewan umum PBB tentang prinsip-prinsip dasar penggunaan kekerasan dan senjata api bagi aparat penegak hukum yang diadopsi dari kongres PBB ke-8 tentang perlindungan kejahatan dan perlakuan terhadap pelanggar hukum di Havana Kuba. Sebagai Negara anggota PBB, Indonesia wajib mematuhi peraturan ini.

Dalam prinsip nomor 9 tentang prinsip-prinsip penggunaan kekerasan dan senjata api dinyatakan dengan tegas bahwa: “Anggota polisi tidak boleh menggunakan senjata api untuk melawan orang yang dihadapi, kecuali dalam rangka membela diri atau membela orang lain ketika menghadapi ancaman nyawa atau luka yang parah, dan untuk mencegah kejahatan lain yang mengancam nyawa”.

Jadi apabila hal-hal di atas tidak diperhatikan dan dipatuhi oleh aparat kepolisian dalam menggunakan senjata api, maka tindakan aparat tidak sesuai lagi dengan peraturan yang berlaku.

Peraturan lain yang berhubungan dengan penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur adalah Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana tindakan aparat kepolisian yang menggunakan senjata api tidak sesuai dengan prosedur merupakan tindakan yang sewenang-wenang atau


(58)

penyalahgunaan wewenang, dan hal ini merupakan tindakan pelanggaran HAM. Penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur telah melanggar Pasal 4 dan 33 ayat (1) Undang-undang HAM. Pasal 4 menyatakan diantaranya “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa…adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Berdasarkan ketentuan ini, maka tindakan aparat kepolisian yang sewenang-wenang berupa penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan tindakan yang mengurangi hak hidup seseorang karena penembakan yang mengakibatkan luka atau tewasnya seseorang jelas merupakan perampasan hak hidup dari seseorang.

Di samping Pasal 4 diatas, juga ditentukan dalam Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”.

Berdasarkan peraturan ini, tindakan aparat kepolisian yang menggunakan senjata api tidak sesuai dengan prosedurnya merupakan tindakan penyiksaan dan tidak manusiawi karena aparat kepolisian dalam tindakannya tidak memperhatikan dan menghormati hak hidup seseorang. Dan tindakan aparat kepolisian yang tidak menghormati hak hidup seseorang ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum sehingga merupakan tindak pidana.

Berdasarkan peraturan-peraturan diatas maka dapat ditentukan unsur-unsur dari tindak pidana penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur. Menurut prinsip Nomor 9 tentang Prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan


(59)

dan Senjata Api dapat ditentukan unsur-unsur dari penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian, dimana telah dikatakan bahwa anggota polisi dilarang menggunakan senjata api untuk melawan orang yang dihadapi kecuali dalam rangka membela diri atau membela orang lain ketika mengghadapi ancaman nyawa atau luka parah, dan untuk mencegah kejahatan lain yang mengancam nyawa. Maka ditentukan unsur-unsur penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur yaitu:

1. Bahwa telah ada suatu tindakan sewenang-wenang dari aparat kepolisian yaitu penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur pada saat berhadapan dengan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana atau pada saat berhadapan dengan masyarakat sipil ketika. Tindakan tersebut dilakukan dengan menggunakan senjata api yang dimiliki oleh aparat untuk mendukung tugasnya.

2. Bahwa tindakan aparat yang menggunakan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur dilakukan pada saat melaksanakan tugas/pada saat aparat sedang bertugas di lapangan.

3. Bahwa tindakan aparat yang menggunakan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur bertentangan dengan ketentuan internasional yang telah ditetapkan oleh dewan umum PBB.

4. Bahwa perbuatan menggunakan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan tindakan penggunaan kekerasan yang berlebihan sehingga bertentangan dengan ketentuan mengenai batasan-batasan menggunakan kekerasan dan senjata api bagi aparat ketika bertugas.


(1)

1. Tindakan harus “benar-benar diperlukan (noodzakelijk, notwendig) atau asas keperluan.

2. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian (zakelijk, sachlich).

3. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran yaitu hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang dikhawatirkan. Dalam hal ini yang dipakai sebagai ukuran yaitu tercapainya tujuan (zweckmassig, doelmatig). 4. Asas keseimbangan (evenredig). Dalam mengambil tindakan, harus senantiasa

dijaga keseimbangan antara sifat (keras lunaknya) tindakan atau sarana yang dipergunakan dengan besar kecilnya suatu gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.

Namun kenyataan di lapangan, masih terdapat beberapa oknum polisi yang masih melakukan tindakan yang sungguh membuat prihatin. Pada saat ribuan petugas polisi bekerja keras melayani kebutuhan masyarakat, para oknum itu justru mencoreng nama baik instansinya di mata rakyat. Pelanggaran terhadap nilai-nilai kode etik oleh petugas kepolisian merupakan hal yang kerap terjadi. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran kode etik oleh Anggota Kepolisian Republik Indonesia diatur dalam Pasal 7 Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Adapun isi dari pasal tersebut adalah :

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa :


(2)

1. Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan.

2. Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas. Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat.

Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan. Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat.

Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan.

Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak dibawah umur.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Faktor penyebab terjadinya salah tembak oleh anggota kepolisian adalah karena kekurang hati-hatian anggota kepolisian sewaktu menjalankan tugasnya khususnya tatkala melakukan penembakan terhadap seorang tersangka. Selain kekurang hati-hati tersebut faktor lainnya adalah kurang dipahaminya prosedur penindakan penggunaan senjata api oleh anggota kepolisian, baik itu dari aspek profesionalisme maupun dari aspek pengetahuan.

Sanksi secara hukum kepidanaan terhadap perbuatan salah tembak anggita kepolisian adalah dapat dikenakannya pelaku sanksi pidana berupa pidana penjara. Hanya saja dalam kapasitas ini tindak pidana tersebut digolongkan sebagai perbuatan kealpaan yang menyebabkan orang lain mati.

Hak-hak dan perlindungan hukum terhadap anggota masyarakat korban salah tembak anggota kepolisian adalah hak keadilan berupa upaya penindakan tehadap anggota kepolisian. Sedangkan perihal pemberian santunan terhadap korban bukan digolongkan sebagai hak tetapi merupakan kesadaran dari instansi kepolisian tersebut.

B. Saran

1. Dibentuknya suatu perundang-undangan nasional yang mengatur tentang prosedur penggunaan kekerasan dan senjata api oleh aparat kepolisian, yang bertujuan agar aparat kepolisian tidak sewenang-wenang dalam menggunakan

76


(4)

wewenang yang diberikan kepadanya sehingga Hak Asasi Manusia dapat ditegakkan dan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara aparat kepolisian dengan masyarakat sipil.

2. Sebaiknya yang melakukan penyidikan terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana bukan lagi pihak kepolisian sendiri. Hal ini bertujuan agar proses penyidikan dapat berjalan sesuai dengan prosedur dan agar tidak terjadi penyimpangan dalam proses penyidikan, sehingga dapat ditemukan kebenaran dari peristiwa pidana tersebut dan hukumpun dapat ditegakkan 3. Berdasarkan tujuan dari pemidanaan, yaitu agar pelaku tidak kembali

melakukan perbuatan yang sama dan agar aparat kepolisian yang lain tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut, maka dalam hal ini seorang hakim harus dengan tegas memberikan hukuman yang maksimal terhadap pelaku, yang dalam hal ini adalah aparat penegak hukum yang menggunakan senjata api tidak sesuai dengan prosedur, karena dengan hukuman yang ringan belum tentu membuat si pelaku menjadi jera dan tidak memiliki keinginan untuk mengulangi perbuatannya lagi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Adami Cahazawi, 2001, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Amir Syamsuddin, 2008, Integritas Penegakan Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara, Kompas, Jakarta.

Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Daryanto, 1998, Kamus Lengakp Bahasa Indonesia, Surabaya: Apollo.

Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN. Balai Pustaka.

JCT Simorangkir, dkk, 2009, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Kusumadi Pudjosewojo, 1999, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

RE. BArimbing, 2001, Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Jakarta, Pakar. R. Soesilo, 1991, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta

Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia.

Rachmat Setiawan, 1982, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: Alumni.

Rusli Muhammad, 2006, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Warsito Hadi Utomo, 2005, Hukum Kepolisian di Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka.

B. Peraturan Perundang-Undangan: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


(6)

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia

Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

C. Internet:

Bambang Hadiyono, “Dilema Simalakama Polisi Bambang Hadiyono Pemerhati

kepolisia”,