KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TENTANG UPAH

KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TENTANG UPAH
Ikomatussuniah, SH., MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta Km. 04 Pakupatan-Serang
ikomatussuniah@yahoo.co.id
ikomatussuniah-design.blogspot.com

PENDAHULUAN
Indonesia, Negara Kesatuan yang kaya akan sumber daya alam dan faktorfaktor produksi, salah satu kekayaan sekaligus salah satu faktor produksi dalam
pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan penduduk Indonesia yang signifikan.
Berdasarkan pemaparan BPS pada Konsolidasi Dewan Pengupahan Se-Indonesia
Tahun 2014, dipaparkan bahwa ledakan pertumbuhan penduduk yang diakibatkan
oleh baby boom mengakibatkan perumbuhan angkatan kerja meningkat.
Permasalahan tejadi ketika angkatan kerja meningkat akan tetapi tidak diimbangi
dengan peningkatan lapangan pekerjaan. Maka, yang terjadi adalah banyaknya
pengangguran. Penduduk dikatakan penganggur apabila tidak bekerja, tetapi
mencari pekerjaan, atau mempersiapkan usaha, atau mereka yang merasa tidak
mungkin mendapat pekerjaan atau mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi
belum memulai bekerja (BPS, 2010). Pengangguran akan terdegradasi apabila
pertumbuhan ekonomi secara makro dan mikro berkembang dengan baik.
Peningkatan Pertumbuhan ekonomi akan pula meningkatkan kesempatan kerja.

Skill dan produktivitas pekerja yang baik akan pula meningkatkan kesempatan
kerja. Produktivitas pekerja dapat diukur melalui rasio nilai PDB/PDRB dengan
jumlah penduduk yang bekerja. Kondisi dimana full employment terjadi, terkait
dengan pengupahan, maka terjadi peningkatan upah minimum sehingga

mengakibatkan penurunan jumlah pekerja. Hal ini disebabkan oleh berbagai
faktor, misalanya karena pengusaha tidak ataupun kurang mendapat order
produksi sehingga efeknya berimbas kepada pemotongan biaya produksi yang
berupa biaya upah tenaga kerja. Terkait dengan upah, pemerintah mengeluarkan
paket kebijakan ekonomi terkait ketenagakerjaan yang mengusung ruh keadilan
dan kesejahteraan untuk semua pihak.

KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TENTANG UPAH
Paket kebijakan ekonomi tahap empat terfokus kepada ketenagakerjaan.
Terkait ketenagakerjaan memang merupakan ranah kajian dalam keilmuan hukum
privat dan hukum publik. Berdasarkan hukum privat, ketenagakerjaan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pada pasal 1 ayat (1) menyatakan
bahwa ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Dalam ranah privat, tenaga
kerja dan pengusaha atau pemberi kerja mempunyai hubungan khusus dalam

melaksanakan kesepakatan kerja yang termaktub dalam perjanjian kerja sehingga
menimbulkan suatu hubungan kerja. Perjanjian kerja ini diatur secara umum
dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terkait syarat sahnya
suatu perjanjian, yaitu (Subekti, 1996:134):
1. Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membeuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan;
4. Suatu sebab (“oorzaak) yang halal, artinya tidak terlarang .
Ranah hukum publik ketenagakerjaan tercermin dari peran pemerintah dalam
mengatur regulasi ketenagakerjaan demi terciptanya keseimbangan kesejahteraan
dan keadilan yang diamanatkan oleh Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar RI 1945 khususnya tentang konsep Negara kesejahteraan. Salah bentuk
peran pemerintah adalah dengan dibentuknya Lembaga Kerjasama Tripartit yang
merupakan forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah
ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat
pekerja/serikat buruh dan pemerintah. Terdapat pula suaut lembaga non struktural

yang bersifat tripartit yaitu Organisasi Dewan Pengupahan yang bertugas
memberikan saran, dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka
perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan, yang

diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2004
Tentang Dewan Pengupahan.
Kebijakan ekonomi yang dikeluarkan dalam bentuk Paket Kebijakan IV,
fokus pada Ketenagakerjaan, antara lain tentang formula upah minimum, baik
Upah Minimum Provinisi (UMP), Upah minimum Kabupaten/Kota (UMK)
maupun Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Formula Kenaikan
upah minimum dipengaruhi dua faktor, yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Formulasi upah ini tidak lagi berdasarkan perhitungan nilai Kebutuhan Hidup
Layak yang selama ini telah dilakukan, Kebutuhan Hidup Layak akan ditinjau
ulang per periode 5 (lima) tahun sekali. Formulasi kenaikan upah ini dapat
berefek positif , yaitu (Koran Jakarta, 15/10/2015):
1.

Dipastikan bahwa kenaikan Upah Minimum bagi para pekerja akan terjadi
setiap tahun.

2. Formula upah tidak hanya menguntungkan pengusaha, tetapi juga pekerja.
3. Formula tersebut membuat kenaikan upah setiap tahun lebih terprediksi
dan terukur.
4. Upah yang terformulasi dan terukur mengakibatkan dunia usaha dapat

lebih bergerak dan berkembang, sehingga lapangan pekerjaan akan
semakin luas.
5. Kenaikan Upah akan realisitis dan para pedagang/pengusaha dapat dengan
mudah menyesuaikan harga sehingga berpengaruh terhadap inflasi.
Kebijakan ini telah diluncurkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
Republik Indoneisa Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Gejolak
penolakan terhadap Peraturan Pemerintah ini, khususnya dari Serikat Pekerja
massif terjadi. Akan tetapi diharapakan, lewat kebijakan ini kepastian hukum dan
kepastian ekonomi sehingga regulasi yang ada dapat meningkatkan rasa keadilan
serta kesejahteraan dapat terwujud dengan baik, tentunya dengan dukungan semua

pihak, dalam hal ini pemerintah itu sendiri, pengusaha, pekerja, akademisi dan
masyarakat pada umumnya. Wallahu ‘alam Bisshawaab.