ARTIKEL TENTANG KETENAGAKERJAAN KETENAGAKERJAAN KETENAGAKERJAAN

ARTIKEL TENTANG KETENAGAKERJAAN
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis yang
terjadi pada pertengahan tahun 1997 hingga 1998 diakui telah menunjukkan tanda-tanda
perbaikan yang cukup signifikan. Selama tahun 2000-2007, perekonomian Indonesia telah
tumbuh dengan kisaran antara 4 – 5 persen pertahun, yang terutama disebabkan menguatnya
peran investasi dan ekspor. Indikator-indikator ekonomi lainnya juga menunjukkan perbaikan
yang signifikan. Inflasi rata-rata tahunan mengalami penurunan dari 9,35 persen pada tahun
2000 menjadi 6,59 persen pada tahun 2007. Suku bunga SBI (1 bulan) mengalami penurunan
dari 14,5 persen pada tahun 2000 menjadi 8,00 persen pada tahun 2007. Demikian juga jika
diamati dari nilai tukar rata-rata tahunan mata uang rupiah terhadap dollar, dimana pada
periode krisis (1998) sebesar 10.210 telah menjadi 9.140 pada tahun 2007 (Laporan Tahunan
Bank Indonesia, berbagai tahun).
Namun demikian, dalam konteks ketenagakerjaan, berbagai perbaikan pada indikator
makroekonomi tersebut ternyata belum memberikan dampak yang menggembirakan terhadap
penciptaan kesempatan kerja. Hal ini terlihat dari kenyataan meningkatnya angka
pengangguran baik secara absolut maupun relatif. Pada tahun 2000 tingkat pengangguran
terbuka sebesar 6,08 persen menjadi 9,67 persen pada tahun 2003 dan 9,75 persen pada tahun
2007. Secara absolut, pengangguran terbuka bertambah sebanyak 4,74 juta dari 5,81 juta pada
tahun 2000 menjadi 9,53 juta pada tahun 2003 dan 10,55 juta pada tahun 2007. (Statistik
Indonesia berbagai tahun, Badan Pusat Statistika).
Pasar kerja di Indonesia – sebagaimana karakteristik umumnya negara sedang

berkembang – bersifat dualistik. Lapangan kerja sektor modern (formal) dengan jumlah
tenaga kerja yang relatif sedikit dan sektor tradisional (informal) dengan jumlah tenaga kerja
yang besar, berjalan secara bersamaan dalam perekonomian. Sektor modern memiliki upah
yang lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik dibandingkan sektor tradisional. Selain
itu, pekerja sektor modern memiliki kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan akses
terhadap pelatihan sehingga memiliki peluang yang lebih besar untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan mereka. Sebaliknya, pekerja di sektor tradisional melakukan
kegiatan yang rendah tingkat produktivitasnya dengan upah rendah. Kesenjangan
produktivitas-upah antara sektor modern dan sektor tradisional juga mencerminkan
perbedaan tingkat pendidikan. Pekerja sektor modern berpendidikan lebih tinggi
dibandingkan pekerja sektor tradisional.
Oleh karenanya, persoalan ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya terkait dengan
upaya perluasan kesempatan kerja, tetapi juga mencakup upaya memfasilitasi perpindahan
’surplus tenaga kerja’ keluar dari sektor informal ke sektor modern yang lebih produktif dan
memberikan upah yang lebih tinggi. Perpindahan surplus tenaga kerja dari sektor informal ini
selain bertujuan meningkatkan hak-hak tenaga kerja juga menjadi tujuan utama dari siklus
pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuantujuan tersebut secara selaras, maka dalam konteks kebijakan tenaga kerja di Indonesia, perlu
dijalin keseimbangan yang tepat antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan
kerja.
Tulisan ini menganalisis kebijakan tenaga kerja di Indonesia dalam kaitannya dengan

perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Diawali dengan pembahasan
mengenai trade-off antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja.
Dilanjutkan dengan analisis mengenai kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia khususnya UU
No. 13 Tahun 2003. Selanjutnya, pada bagian akhir adalah rekomendasi dalam penerapan

kebijakan ketenagakerjaan yang berorientasi pada keseimbangan perlindungan tenaga kerja
dan perluasan kesempatan kerja.

TRADE-OFF ANTARA PERLINDUNGAN TENAGA KERJA DAN
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
Perlunya kebijakan perlindungan tenaga kerja didasarkan pada kenyataan bahwa
setiap pekerja menghadapi berbagai risiko, baik di dalam maupun di luar pekerjaan. Risikorisiko tersebut berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Beberapa risiko pasar kerja (labor market risks) yang utama adalah:
Risiko kehilangan pekerjaan (unemployment risks): Kehilangan pekerjaan dapat
terjadi baik karena faktor kinerja individu, kinerja perusahaan maupun karena faktor ekonomi
makro. Kehilangan pekerjaan akan berdampak secara langsung pada penurunan kesejahteraan
pekerja dan keluarganya.
Risiko kesehatan (health risks): Risiko kesehatan yang berdampak pada
penurunan/kehilangan sumber pendapatan dari seorang pekerja dapat terjadi baik pada saat
sedang bekerja maupun di luar pekerjaan.

Risiko penurunan upah riil (declining wage risks): Penurunan upah riil adalah
penurunan daya beli, sehingga secara langsung menurunkan tingkat kesej ahteraan pekerja
dan keluarganya. Penurunan upah riil dapat terjadi karena pemotongan tingkat upah atau
karena laju inflasi yang lebih tinggi dari kenaikan upah nominal.
Risiko usia lanjut (old-age risks): Dampak menjadi tua bagi seorang pekerja adalah
menurunnya tingkat produktivitas, dan kehilangan pekerjaan ketika kondisi fisik sebagai
akibat faktor usia tidak memungkinkan lagi bagi pekerja tersebut untuk bekerja. Ini berarti
bahwa semakin tua seorang pekerja akan menyebabkan risiko menurunnya/kehilangan
pendapatan mereka.
Risiko-risiko tersebut dapat bersifat individual pekerja ataupun melibatkan banyak
pekerja. Munculnya risiko-risiko tersebut dapat berkaitan dengan kondisi individu, kondisi
mikro perusahaan ataupun kondisi perekonomian secara makro yang tidak menguntungkan.
Oleh karenanya, tujuan dari kebijakan perlindungan tenaga kerja adalah untuk meminimalkan
dampak negatif dari berbagai risiko pasar kerja terhadap kesejahteraan pekerja dan
keluarganya.
Secara garis besar, kebijakan perlindungan pekerja dapat dikelompokkan ke dalam
pengaturan hubungan pekerjaan (employment relations) dan penyediaan jaminan sosial
(social security).Kebijakan hubungan pekerjaan atau hubungan industrial umumnya
mencakup pengaturan dan syarat- syarat hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja,
mulai dari rekrutmen, interaksi selama masa kerja, sampai dengan pemutusan hubungan kerja

(PHK). Bentuk-bentuk jaminan sosial umumnya terdiri dari tabungan wajib hari tua
(provident fund), asuransi kesehatan (health insurance), asuransi kematian (life insurance),
kompensasi atau asuransi kecelakaan kerja (work accident insurance), pesangon untuk
pemutusan hubungan kerja atau asuransi pengangguran (unemployment insurance), dan lainlain.
Biaya-biaya yang timbul sebagai akibat kebijakan perlindungan tenaga kerja baik dari
sisi pengaturan hubungan kerja maupun penyediaan jaminan sosial, ditanggung sepenuhnya

atau sebagian besar oleh pemberi kerja. Oleh karenanya, dilihat dari sudut pandang pemberi
kerja penerapan kebijakan ini menambah terhadap total biaya tenaga kerja (labor costs).

Sebagai akibat dari hal ini, apabila kebijakan pelindungan pekerja terlalu berlebihan
maka dapat timbul dampak negatif yang tidak diinginkan. Dari sudut pandang pemberi kerja,
meningkatnya total biaya tenaga kerja yang terlalu besar dapat menjadi hambatan
(disincentive) terhadap penciptaan kesempatan kerja. Sebaliknya bagi pekerja, kebijakan
pelindungan pekerja yang terlalu berlebihan dapat menjadi hambatan untuk bekerja. Bagi
perekonomian secara makro, hal ini dapat menciptakan kekakuan (inflexibility) dalam pasar
kerja.
Berbagai fakta di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan perlindungan tenaga
kerja yang berlebihan dapat berdampak negatif terhadap kesempatan kerja (Suharyadi,2003).
Di negara-negara Eropa Barat, penerapan kebijakan pemberian tunjangan pengangguran yang

relatif tinggi (generous) telah berdampak pada tingginya tingkat pengangguran. Di
Bangladesh, kebijakan yang melarang pekerja anak di bawah usia 15 tahun, berdampak pada
pemecatan pekerja anak secara besar-besaran yang justru menyebabkan anak-anak ini
terpaksa menjadi anak-anak jalanan dan berubah profesi menjadi pengemis atau pekerja seks
komersial. Demikian juga, larangan bagi pemberi kerja untuk merekrut pekerja yang bukan
anggota serikat pekerja di sektor pelabuhan di Australia menyebabkan pasar kerja di sektor
ini menjadi bersifat monopsonistik sehingga efisiensi sektor secara keseluruhan menjadi
rendah. Studi pada skala makro pada 48 negara juga menunjukkan fakta adanya hubungan
negatif antara banyaknya kebijakan perlindungan tenaga kerja dengan pertumbuhan
kesempatan kerja dan kenaikan upah riil.
Oleh karena itu, pembuatan kebijakan perlindungan pekerja perlu didasarkan pada
kebutuhan riil pekerja terhadap perlindungan, dengan memperhitungkan seberapa besar dan
siapa yang akan menanggung biaya kebijakan yang dibuat, dan memperhatikan kondisi
perekonomian secara keseluruhan. Di samping itu, perlu pula diperhatikan agar kebijakan
perlindungan pekerja yang dibuat tidak memperbesar diskriminasi antara pekerja yang
terlindungi (pekerja sektor formal) dan pekerja yang tidak terlindungi (pekerja sektor
informal) oleh kebijakan tersebut.

ANALISIS KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA (UU
No. 13 Tahun 2003)

Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat empat
kebijakan pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan
kerja yaitu kebijakan upah minimum, ketentuan PHK dan pembayaran uang pesangon,
ketentuan yang berkaitan hubungan kerja dan ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja.
Upah Minimum
Pengaturan mengenai upah minimum dijelaskan pada pasal 88 – 90. Dalam pasalpasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu komponen/kebijakan pengupahan adalah upah
minimum (pasal 88). Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup
layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi (pasal 88). Upah
minimum ditetapkan berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota serta berdasarkan

sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (pasal 89). Pengusaha dilarang membayar
upah lebih rendah dari upah minimum dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar
upah minimum tersebut dapat dilakukan penangguhan (pasal 90).
Jika diterapkan secara proporsional, kebijakan upah minimum bermanfaat dalam
melindungi kelompok kerja marjinal yang tidak terorganisasi di sektor modern. Namun
demikian, kenaikan upah minimum yang tinggi dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang
rendah di Indonesia belakangan ini telah berdampak pada turunnya keunggulan komparatif
industri-industri padat karya, yang pada gilirannya menyebabkan berkurangnya kesempatan
kerja akibat berkurangnya aktivitas produksi.
PHK dan Pembayaran Uang Pesangon

Pengaturan mengenai PHK dan pembayaran uang pesangon dijelaskan pada Bab XII
pada pasal 150 – 172. PHK hanya dapat dilakukan perusahaan atas perundingan dengan
serikat pekerja (pasal 151), dan jika dari perundingan tersebut tidak mendapatkan persetujuan
maka permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang mendasarinya
(pasal 152). Selanjutnya dalam pasal 153-155 dijelaskan alasan-alasan yang
diperbolehkannya PHK dan alasan-alasan tidak diperbolehkannya PHK.
Hubungan Kerja
Dalam pasal 56 dinyatakan perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk
waktu tidak tertentu. Selanjutnya, pada pasal 59 dinyatakan perjanjian kerja untuk waktu
tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali
selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam
waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat
musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Waktu Kerja
Terkait dengan waktu kerja, pada pasal 76 dinyatakan adanya larangan
mempekerjakan pekerja perempuan di bawah 18 tahun dan pekerja perempuan hamil pada

malam hari (Pukul 23.00 7.00). Selanjutnya pada pasal 77 dinyatakan kewajiban perusahaan
untuk melaksanakan ketentuan waktu kerja 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)
jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam
1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1
(satu) minggu.

REKOMENDASI
Dari kajian mengenai Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
maka tulisan ini merekomendasikan beberapa poin rekomendasi dalam rangka
menyeimbangkan antara tujuan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja,
sebagai berikut:
Substansi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan rekruitmen, PHK,
upah minimum, perlindungan kerja dan waktu kerja, dengan tetap memperhatikan jaminan
keberadaan upah dan perlindungan kerja yang layak, serta struktur pasar kerja di Indonesia,

perlu ditinjau ulang dalam konteks keseimbangan perlindungan tenaga kerja dan perluasan
kesempatan kerja. Terkait dengan struktur pasar kerja di Indonesia, yang harus diperhatikan
adalah karakteristik pasar kerja yang surplus tenaga kerja, lapangan kerja sektor informal
yang sangat besar, banyaknya pekerja berada dalam kondisi setengah menganggur, rendahnya
kualitas tenaga kerja. Data tahun 2005 menunjukkan 70,06 persen tenaga kerja berada pada

sektor informal, 31,22 persen yang bekerja berada dalam kondisi setengah menganggur, 60,0
persen berpendidikan SD. Hal ini menunjukkan besarnya proporsi pekerja kelompok
marjinal, yang berdasarkan pengalaman negara-negara dalam penerapan pasar kerja fleksibel
merupakan kelompok yang paling rentan terkena dampak degradasi pasar kerja fleksibel.
UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang telah
dikeluarkan pemerintah pada dasarnya telah mengacu pada kebijakan perlindungan tenaga
kerja yang lebih komprehensif. Namun demikian, implementasi UU tersebut belum berlaku
efektif dalam menjamin pemerataan jaminan sosial.
PP No. 31 Tahun 2006 Tentang sistem Pelatihan Kerja Nasional perlu segera
diefektifkan dalam kerangka meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui berbagai pelatihanpelatihan kerja. Sebagai dampak era otonomi daerah, Departemen Tenaga Kerja sebagai
instansi yang memiliki kewenangan utama dalam pelatihan tenaga kerja ini telah kehilangan
kendali dalam mengarahkan kebijakan pelatihan-pelatihan tenaga kerja di daerah. Balai
Latihan Kerja (BLK) sebagai salah satu pusat pelatihan, di banyak daerah pada saat ini
berada dalam kondisi “mati suri”.
Perlunya peningkatan peran pemerintah dalam memfasilitasi dialog, komunikasi, dan
negosiasi untuk mendorong hubungan yang baik antara pengusaha dengan pekerja seperti.
Perlunya meningkatkan aksesibilitas pencari kerja pada informasi pasar kerja. PP No.
15 Tahun 2007 telah mengatur tentang tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan
penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja. Namun demikian, dalam PP tersebut
belum terlihat secara tegas upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan aksesibilitas

pencari kerja.
Perlunya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia aparat yang terkait dengan
proses pengawasan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Peningkatan kualitas
sumberdaya manusia aparat dalam pengawasan bertujuan untuk mencegah terjadinya
praktek-praktek penyelewengan peraturan-peraturan yang dapat merugikan buruh. Di sisi
lain, peningkatan kualitas sumberdaya manusia aparat dalam penyelesaian perselisihan
hubungan industrial diperlukan dalam rangka meningkatkan kepastian hubungan industrial
dan dapat menekan biaya tinggi yang selama ini dialami baik oleh pengusaha maupun
pekerja.

Ketenagakerjaan dan Daerah Tertinggal
Penulis
: Aris Ahmad Risadi
Tanggal

: 18/05/2013 0:59:11

Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada
waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Demikian pengertian
Ketenagakerjaan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003. Lantas hubungannya

dengan Daerah Tertinggal apa? Apa kepentingannya kedua isu ini dibicarakan dalam
satu frame?
Kita mulai dari mana ya ? Baik kita jelaskan dulu pengertian Daerah Tertinggal dan
segala hal yang terkait dengan kebijakan pembangunan daerah tertinggal.
Secara resmi pengertian daerah tertinggal mucul di dokumen Strategi Nasional
Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (sesuai Permen PDT No. 07/PER/MPDT/III/2007). Dalam hal ini Daerah Tertinggal diartikan sebagai daerah kabupaten
yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah
lain di Indonesia. Daerah tertinggal ditetapkan berdasarkan 6 (enam) kriteria dasar
yaitu: perekonomian, sumberdaya manusia, infrastruktur, kemampuan keuangan
daerah, aksesibilitas, dan karakteristik daerah.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014) telah menetapkan "daerah tertinggal,
terdepan, terluar, dan pascakonflik" sebagai salah satu prioritas nasional
pembangunan dari sebelas prioritas nasionalyang ada, yaitu (1) reformasi birokrasi
dan tata kelola; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) penanggulangan kemiskinan; (5)
ketahanan pangan; (6) infrastruktur; (7) iklim investasi dan bisnis; (8) energi; (9)
lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; (10) daerah tertinggal, terdepan,
terluar, dan pascakonflik; dan (11) kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi.
Dalam RPJMN disebutkan bahwa substansi inti program aksi untuk daerah tertinggal
yaitu adanya pengentasan daerah tertinggal di sedikitnya 50 kabupaten paling
lambat 2014. Untuk mencapai hal tersebut sasaran-sasaran pokok pembangunan
daerah tertinggal dalam 5 (lima) tahun (2010-2014) adalah:

1. Meningkatnya rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal sebesar
6,6 persen pada tahun 2010 menjadi 7,1 persen pada tahun 2014;
2. Berkurangnya persentase penduduk miskin di daerah tertinggal pada
tahun 2010 sebesar 18,8 persen menjadi 14,2 persen pada tahun 2014; dan
3. Meningkatnya kualitas sumberdaya manusia di daerah tertinggal yang
ditunjukkan oleh peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) pada
tahun 2010 sebesar 67,7 menjadi 72,2 pada tahun 2014.
Berbagai upaya dari kementerian/lembaga (sektor) terkait tentunya telah dilakukan
dibawah koordinasi Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT). Dari
upaya-upaya tersebut tentu sudah ada keberhasilan yang dicapai, namun tentu tidak
menutup kemungkinan masih adanya target-target yang belum tercapai.
Salah satu yang belum banyak disentuh adalah persoalan ketenagakerjaan. Kalau
kita mau jujur, ketiga sasaran pokok pembangunan daerah tertinggal dalam RPJMN
sangatlah terkait (digunakan kata terkait untuk menggantikan kata tergantung)
kepada keberhasilan penanganan ketenagakerjaan. Sehingga menjadi sangat wajar
jika dalam sisa waktu Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II tumbuh kesadaran untuk
menjadikan Ketenagakerjaan sebagai prioritas kegiatan percepatan pembangunan
daerah tertinggal. Penjelasannya sederhana.

Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah (termasuk daerah tertinggal) diantaranya harus
diupayakan melalui perbaikan dalam aspek Pemanfaatan Sumber Daya Alam,
Peningkatan Investasi, Inovasi Teknologi, Kewirausahaan, Manajemen, dan Tenaga
Kerja. Dalam hal ini Tenaga Kerja (Sumber Daya Manusia) menjadi subyek dan
obyek pertumbuhan ekonomi.
Kalau merujuk kepada pengertian Ketenagakerjaan sebagai segala hal
yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan
sesudah masa kerja, maka pembenahan ketenagakerjaan sebuah
keniscayaan atau sebuah prasyarat untuk tercapainya pertumbuhan
ekonomi.
Merujuk pada kata sebelum masa kerja (misalnya), maka pemerintah (daerah)
memiliki kewajiban menangani kesiapan sumber daya manusia (SDM) atau
angkatan kerja di daerah untuk memasuki dunia kerja. Upaya-upaya peningkatan
keterampilan para pencari kerja melalui jalur formal atau non-formal agar siap
bekerja di kegiatan investasi atau usaha lainnya menjadi salah satu kegiatan yang
dapat dipilih. Dengan adanya penyiapan SDM lokal tersebut maka akan dapat
dihindari kecemburuan masyarakat lokal terhadap para pendatang yang dipandang
lebih siap bekerja di sektor yang dikembangkan di daerah.
Adapun untuk selama masa kerja, perlu dibangun suasana harmonis. Diciptakan
suasana hubungan yang saling menguntungkan antara pengusaha dan tenaga kerja.
Pengusaha dapat untung dan karyawan sejahtera. Pemerintah (daerah) diharapkan
dapat menangani secara adil dan bijak terhadap konflik-konflik yang terjadi antara
pengusaha dan tenaga kerja.

Pengurangan Persentase Penduduk Miskin
Untuk Percepatan Penanggulangan Kemiskinan telah dikeluarkan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010. Disadari bahwa kemiskinan merupakan
permasalahan bangsa yang mendesak dan memerlukan langkah-langkah
penanganan dan pendekatan yang sistematik, terpadu dan menyeluruh, dalam
rangka mengurangi beban dan memenuhi hak-hak dasar warga negara secara layak
melalui pembangunan inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan untuk mewujudkan
kehidupan yang bermartabat.
Strategi percepatan penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan : 1) mengurangi
beban pengeluaran masyarakat miskin; 2) meningkatkan kemampuan dan
pendapatan masyarakat miskin; 3) mengembangkan dan menjamin keberlanjutan
Usaha Mikro dan Kecil; 4) mensinergikan kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan.
Adapun program percepatan penanggulangan kemiskinan terdiri dari : 1) Kelompok
program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga, bertujuan untuk melakukan
pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, dan perbaikan kualitas hidup
masyarakat miskin; 2) Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis
pemberdayaan masyarakat, bertujuan untuk mengembangkan potensi dan
memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam
pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat; 3)
Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha
ekonomi mikro dan kecil, bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan
ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil; 4) Program-program lainnya
yang baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat meningkatkan kegiatan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat miskin.
Isu ketenagakerjaan dalam konteks penanggulangan kemiskinan dapat muncul pada
kelompok program nomor 3 (tiga), yaitu kelompok program penanggulangan
kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil. Kelompok
Usaha Mikro dan Kecil bersentuhan dengan isu ketenakerjaan.
Dalam RPJMN 2010-2014 disebutkan potensi UMKM sangat besar termasuk dalam
hal penyerapan tenaga kerja. Jumlah populasi UMKM pada tahun 2007 mencapai
49,8 juta unit usaha atau 99,9 persen dari jumlah unit usaha di Indonesia serta
jumlah tenaga kerjanya mencapai 88,7 juta orang atau 96,9 persen dari seluruh
tenaga kerja Indonesia, yang tersebar di seluruh sektor perekonomian dan wilayah di
Indonesia.
Upaya penanganan ketenagakerjaan pada program penanggulangan
kemiskinan yang berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil
merupakan langkah strategis dalam pengentasan daerah tertinggal.

Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia
Indeks pembangunan manusia (IPM) mengukur capaian pembangunan manusia
berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. IPM dihitung berdasarkan data
yang dapat menggambarkan empat komponen yaitu angka harapan hidup yang
mewakili bidang kesehatan, angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah
mengukur capaian pembangunan di bidang pendidikan, dan kemampuan daya beli
masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya

pengeluaran perkapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian
pembangunan untuk hidup layak.
Isu ketenagakerjaan memiliki keterkaitan dengan pencapaian IPM pada komponen
hidup layak. Kesejahteran tenaga kerja adalah masalah hilir yang diantaranya
mengakar pada persoalan kondisi makro, entepreneurship, investasi, pemanfaataan
sumber daya alam, pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan.
Penjelasan hubungan isu ketenagakerjaan dalam mendukung pencapaiaan 3 (tiga)
sasaran pokok RPJMN (pertumbuhan ekonomi, pengurangan persentase penduduk
miskin, dan IPM) dapat mempertegas pentingnya penanganan ketenagakerjaan
dalam pengentasan daerah tertinggal.

Permasalah dan Potensi Ketenagakerjaan di Daerah Tertinggal
Secara umum masalah-masalah ketenagakerjaan di daerah tertinggal diantaranya
yaitu: sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya
kemampuan SDM tenaga kerja, tingkat gaji yang rendah, serta jaminan sosial yang
nyaris tidak ada.
Sulitnya lapangan kerja di daerah tertinggal telah mendorong para angkatan kerja
pergi ke luar negeri menjadi TKI. Berdasarkan data BNP2TKI terdapat 50
kabupate/kota yang banyak mengirim TKI dimana 9 diantaranya merupakan daerah
tertinggal. Dan dari yang 9 tersebut sebagian besar (atau 44,4%) berasal dari Nusa
Tenggara Barat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara
Barat, diperkirakan remitansi Tenaga Kerja Indonesia dari daerah itu sudah hampir
mendekati angka Rp1 triliun selama periode Januari-September 2012.
Dengan data tersebut tidak dapat dipungkiri betapa besarnya sumbangan TKI bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah tertinggal. Dapat dipastikan,
buruknya penanganan TKI termasuk kebijakan moratorium TKI akan sangat
mempengaruhi daerah tertinggal.
Melalui berbagai penjelasan di atas maka sangatlah jelas hubungan antara Aspek
Ketenagakerjaan dengan Daerah Tertinggal. Bahkan upaya pembangunan daerah
tertinggal dengan penanganan ketenagakerjaan berada dalam satu tarikan nafas.
Upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan persentase penduduk
miskin, dan peningkatan IPM untuk pengentasan daerah tertinggal didalamnya harus
membicarakan masalah ketenagakerjaan