Tela’ah tafsir al-tahrîr wa al- tanwîr karya ibnu ‘asyûr

TELA’AH TAFSIR AL-TAHRÎR WA AL- TANWÎR
KARYA IBNU ‘ASYÛR
Faizah Ali Syibromalisi
Email. faizahalis@gmail.com
Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak: Tafsir Al-Tahwîr wa Al- Tanwîr karya Ibnu „Asyûr adalah tafsir yang
masyhur di Tunis, sebagaimana tafril Al-Manâr karya Muhammad Abduh dan rasyid
Ridha yang masyhur di Mesir. Tafsir al-Tahrîr wa Al- Tanwîr banyak memuat analisa
kebahasaan. Karenanya tafsir ini nampak bukan hanya sebagai al-Qur`an, tetapi juga
kitab kebahasaan. Kitab tafsir ini menjadi rujukan para ulama tafsir, khususnya dalam
hal analisa bahasa dari ayat-ayat al-Qur`an. Tulisan berikut ingin menyajikan analisa
terhadap Tafsir Ibnu „Asyûr. Analisa ini meliputi analisa terhadap metodologi dan
karakteristik penafsiran, dan juga analisa terhadap sosok Ibnu „Asyur sebagai penulis
tafsir, baik kelebihan maupun kekuranganya.
Kata kunci: Tafsir, Ibnu „Asyûr, karakteristik , metode penafsiran

Pendahuluan
Ibnu ‘Asyûr adalah penulis tafsir yang masyhur pada abad ke-14 H/20 M. Jika
tafsir Al-Manâr adalah tafsir terkemuka di Mesir, maka tafsir al-tahrîr wa Al- tanwîr
karya Ibnu ‘Asyûr adalah tafsir terkemuka di Tunis. Tafsir Ibnu ‘Asyûr tergolong tafsir

yang moderat. Penulisanya memposisikanya terhadap tafsir penengah dari tafsir-tafsir
lainya. Dengan ini penulis ingin meluruskan pemahaman terhadap al-Qur`an, baik
makna kosakatanya maupun isi kandunganya. Dalam menafsirkan al-Qur`an, Ibnu
‘Asyûr lebih condong menggunakan rasio daripada tafsir Nabi dengan alasan ayat-ayat
yang belum ditafsirkan Nabi jauh lebih banyak dari yang sudah ditafsirkan, sehingga
diperlukan ijtihad untuk memahaminya.
Tafsir al-Tahrîr wa Al-Tanwîr banyak memuat kebahasaan. Karenanya tafsir ini
nampak bukan hanya sebagai tafsir al-Qur`an, tetapi juga kitab kebahasaan. Kitab tafsir
ini menjadi rujukan para ulama tafsir, khususnya dalam hal analisa bahasa dari ayat-ayat
al-Qur`an. Tulisan berikut ingin menyajikan analisa terhadap tafsir Ibnu ‘Asyûr. Analisa
ini meliputi analisa terhadap metodologi dan karakteristik penafsiran, dan juga analisa
terhadap sososk Ibnu ‘Asyûr sebagai penulis tafsir, baik kelebihan maupun
kekuranganya.

1

Biografi Ibnu ‘Asyûr
1. Riwayat Hidup Ibnu ‘Asyur
Ibnu ‘Asyûr memiliki nama lengkap Muhammad al-Thâhir Ibn Muhammad alThâhir Ibnu ‘Asyûr.1 Keturunan keluarga ‘Asyûr adalah keluarga yang terkenal di
Tunis, karena memiliki posisi ilmiah dan jabatan di di pemerintahan. Ibnu ‘Asyûr

dilahirkan pada tahun 1296 H/1879 M di kota Mousha, yang terletak di sebalah
utaraTunisia. Ibnu ‘Asyûr tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang
mencintai ilmu pengetahuan. Pendididkanya diperhatikan penuh oleh ayah, ibu dan
kakeknya. Mereka semua menginginkan cucunya menjadi orang yang terhormat
sebagaimana nenek moyang mereka.
Ibnu ‘Asyûr mulai belajar al-Qur’an sejak usia 6 tahun. Setelah itu, ia menghafal
Matan al-Jurûmiyyah dan mempelajari bahasa Perancis. Baru pada usia 14 tahun, Ibnu
‘Asyûr tercatat sebagai murid pada Universitas Az-Zaitunah ( 1310 H/ 1893 M).2
Disana ia belajar ilmu syariah (fiqh, dan ushûl fiqh), bahasa Arab, hadits, sejarah, dan
lain-lain. Setelah belajar selama tujuh tahun di Universitas Az-Zaitunah, Ibnu ‘Asyûr
berhasil menempuh gelar sarjana tahun 1317 H/ 1899 M.3
Belajar di Universitas Az-zaitunah nampaknya belum memenuhi dahaganya
dalam menuntut ilmu. Di waktu luangnya, Ibnu ‘Asyur membaca buku-buku tafsir,
buku al-Milâl wa al- Nihâl, menghafal hadits-hadits, syair-syair Arab dari masa pra
Islam hingga sesudahnya, membaca buku-buku sejarah dan lain-lain.
Ilmu yang diperolehnya dari Azzaitunah dan aktivitas keilmuwanya membentuk
kepribadian dan iktelektualitasnya yang tinggi. Di samping itu perhatian ayah dan
akkeknya yang menambahkan akhlak mulia kepada Ibnu ‘Asyûr, memberi pengaruh
besar pada pribadinya sebagai ulama yang bersahaja di Tunis. Ibnu ‘Asyur wafat pada
1393 H/ 1973 M.

2. Karir Intelektual Ibnu ‘Asyûr
Menelusuri jejak kehidupan intelektual seseorang dalam wilayah akademik
merupakan aspek penting dalam kajian tokoh. Ini dilakukan melihat karya-karya
akademik yang dihasilkanya, baik dalam bentuk buku, makalah ilmiah dan lainya.
Setelah sekian tahun menimba ilmu di Universitas Azzaitunah, Ibnu ‘Asyûr diangkat
sebagai guru pada tahun 1320 H/ 1903 m di Azzaitunah. Karirnya terus meningkat
dalam bidang pengajaran sehingga ia terpilih menjadi tenaga pengampu di sekola

Dari garis keturunan Ibnu Asy’ûr ini lahir para intelektual, qâdhi, dan mufassir, serta orangorang yang memangku jabatan penting lainya dari abad 11 sampai 14 H/ 17-20 M. Diantara keturunan
Ibnu ‘asyûr yang tercatat dalam sejarah adalah Muhammad Thâhir Ibnu ‘Abdul Qadîr Ibnu ‘Asyûr
seorang sastrawan, qadhi, dan mufti yang menjadi objek pembahasan makalah ini. Nama lainya adalah
seorang mufassir dan putranya, Muhammad Fadhil Ibnu ‘Asyûr (w. 1390 H/ 1970 M) seorang ilmuwan,
politikus dan kolumnis yang terkenal di Tunis. Kata „Asyûr merupakan isim kunyah (nama marga) dari
sebuah keluarga besar dari keturunan Al-Idrisyi Al-Husyaimiyah, nenek moyang para pemuka
masyarakat di Maroko. Salah satu anggota keluarga ini yaitu Ibnu ‘Ayûr hijrah dan menetap di Tunis.
2
Syeikh Muhammad al-Thâhir Ibnu ‘Asyûr dan metodologinya dalam tafsir Ibnu ‘Asyûr, alTahrîr wa al-Tanwîr jilid.1, h. 25-26
3
Jam’ al Jami’ al ‘Azham, h. 56-57
1


2

Ashidiqiah pada tahun 1321 H/ 1904 M. Berikutnya ia diangkat sebagai anggota Bidang
Akademis pada sekolah yang sama pada tahun1326 H/1909 M.
Sebagai penghargaan atas kepakaranya dalam bidang ilmu-ilmu keislaman dan
bahasa Arab tahun 1940, Ibnu Asy’ûr diangkat sebagai salah seorang anggota lembaga
bahasa Arab di Cairo dan anggota koresponden lembaga ilmiah di Damaskus pada
tahun 1955. 4
3. Karya-karya Ibnu’Asyûr
Dengan latar belakang keluarga dan lingkungan yang mencintai ilmu, dengan
berbekal kejeniusan, ketekunan, keikhlasan, dan komitmen pada pendidikan serta
kewara‟anya menjadikan Ibnu ‘Asy’ûr sebagai pribadi yang mengabdikan diri pada
ilmu, dengan menjadi guru dan tokoh agama. Sebagian besar waktunya dihabiskan
untuk mengajar dan menulis buku. Dua bukunya yang fenomenal, tafsir al-Tahrîr wa
Al-Tanwîr dan Maqashîd al-Syarî‟ah al-islâmiyah menjadi rujukan utama bagi para
mufassir.
Berikut ini karya-karya ilmiah yang ditulis Ibnu ‘Asyûr:
a. Al- Tahrîr wa Al-Tanwîr
b. Al- Nadzar al-fasîh „Inda madhâyiq al-Andzâr fi al-Jâmi‟ al-Shahîh

c. Kasyfu al-Mughthiy min al-Ma‟âni wal al-Fadhi wa al-Waqî‟ah fi alMuwatha‟
d. Al-Tadhîh wa al-Tashîh
e. Maqâshid al-Syarî‟ah al-Islâmiyah
f. Wajîz al-Balâghah
g. Ushûl al-Insya wa al-Khithâbah
h. Syarah al-Muqaddimah al-Adabiyah li syarh al-Imâm al-Marzûqi Ali
Diwân al-Hamashah li Abi Tamâm
i. Naqd al-Ilmi li kîtab al-Islâm wa Ushûl al-Hikâm
j. Ushûl an-Nadzhâm al-Ijtimâ‟iy fi al-Islam
k. Alaîsa al-Subhu bi Qarîb
l. Qisbah al-Maûlid
Analisa Terhadap Tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr
1. Latar belakang penulisan tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr
Ibnu ‘Asyûr mulai menulis tafsir pada 1431 H/ 1923 M, setelah beliau naik
jabatan dari qâdhi menjadi mufti. Tafsir 30 juz, ditulisnya dalam 15 jilid kitab, dalam
waktu 39 tahun. Meskipun diselingi dengan penulisan karya-karya lain, buku maupun
makalah, beliau tetap bersungguh-sungguh menyelesaikan penulisan tafsirnya. Ini
berkat keikhlasan, tekad kuat untuk menulis tafsir yang menyatukan antara
kemaslahatan dunia dan akhirat.5
Selama penulisan tafsir, kondisi sosial politik Tunis mengalami dinamika

sedemikian rupa. Berbagai peristiwa, perubahan dan peralihan besar terjadi pada
4
5

Ibnu ‘Asyûr,Nazadzariyah al- Maqâsid Indaal-Thâhir ibn „Asyûr, h. 89.
Ibnu ‘Asyûr, Tahrîr al-Tanwîr, pada lembaran pertama tauhid

3

masyarakat Tunis saat itu. Masyarakat Tunis saat itu sedang berusaha merebut
kemerdekaanya dari penjajah. Sementara gerakan reformasi dan pembaharuan yang
dipelopori Muhammad Abduh di Mesir (1849/ 1905), setelah merebak ke berbagai
belahan negara Islam, tidak terkecuali Tunis. Ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh
mulai mempengaruhi intelektual Tunis, tidak terkecuali Ibnu ‘Asyûr.6
Saat itu Muhammad Abduh di Mesir, menghimbau agar umat Islam melakukan
pembaharuan dalam bidang pendidikan. Himbauan ini nampaknya juga bergema di
Tunis. Ibnu ‘Asyûr merespon himbauan tersebut dan bergerak mereformasi pendidikan
dan menyampaikannya di berbagai seminar.
Tidak hanya itu, Ibnu ‘Asyûr pun ikut terjun dalam gerakan reformasi yang
terjadi. Hasilnya adalah dibangunya cabang-cabang Azzaitunah di berbagai kota di

Tunis. Kualitas pendidikanpun ditingkatkan dengan menambahkan ilmu-ilmu selain
ilmu syari’ah, seperti matematik, kimia, filsafat, sejarah dan bahasa Inggris.
Menelaah bagian pembukaan tafsir Ibnu ‘Asyûr membuktikan bahwa Ibnu
‘Asyûr memiliki cara tersendiri dalam menafsirkan Al-Qur`an. Dari sini bisa ditelusuri
jejak-jejak keterlibatan Ibnu ‘Asyûr dalam gerakan reformasi di Tunis.
Sejak awal penulisan tafsirnya, Ibnu ‘Asyûr selalu menjaga komitmen untuk
menjadikan penafsiranya sebagai sebuah kritik bukan taqlîd. Sisi pembaharuan Ibnu
‘Asyûr dapat dicermati dan obsesinya menafsirkan Al-Qur`an dengan memunculkan
hal-hal baru yang belum pernah ditulis dalam tafsir-tafsir sebelumnya. Ini dengan tujuan
untuk menjadikan tafsirnya sebagai penengah dari tafsir-tafsir lainya. Menurut Ibnu
‘Asyûr, membatasi penafsiran pada tafsir bi al-ma‟tsur akan menelantarkan isi
kandungan Al-Qur’an yang memang tidak akan pernah habis untuk dibahas.7 Menurut
Ibnu ‘Asyûr diantara sebab terbelakangnya ilmu tafsir, adalah kecenderungan yang
berlebihan terhadap tafsir bil ma‟tsûr. Juga karena besarnya kecenderungan para ulama
menulis hanya dengan penukilan, dengan alasan takut keliru dalam menafsirkan.
Akibatnya orang menjadikan tafsir bi al-ma‟tsûr sebagai satu-satunya metode
penafsiran. Bahkan karena terlalu berpegang pada metode tafsir bi al-ma‟tsûr, maka
tafsir dengan riwayat lemah sekalipun tetap digunakan, padahal ada penafsiran dengan
nalar yang lebih tepat.
Pada akhirnya, tafsir yang hanya sekedar penukilan dari tafsir-tafsir sebelumnya,

dapat membatasi pemahaman terhadap Al-Qur`an dan mempersempit maknanya.
Contoh nyata dari pembaharuan Ibnu ‘Asyûr bisa dilihat pada nama tafsirnya yang
semula berjudul Tahrîr al Ma’nâ al Sadîd wa Tanwîr al ‘Aql al jadîd (Memilih Makna
yang Tepat dan Mencerahkan Akal yang Baru dari AL-Qur`an). Akan tetapi kemudian
judul tafsirnya disingkat menjadi al Tahrîr wa al-Tanwîr.

6
7

Ibnu Asyûr Jam al Jâmi‟ al- A‟dhzim, h.50
Ibnu ‘Asyûr, Tahrîr al-Tanwîr, jilid 1, hal. 7

4

2. Karakteristik tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr r
Untuk melihat karakteristik sebuah tafsir, bisa dilihat dari berbagai aspek.
Seperti tujuan menfsirkan, sumber penafsiran, gaya bahasa, corak penafsiran,
sistematika penulisan, aliran madzhab yang diikuti, dan lain sebagainya.
Mengingat keterbatasan yang dimiliki sebuah makalah, maka penulis membatasi
analisanya pada karakteristik tafsir Ibnu ‘Asyûr hanya pada aspek-aspek berikut:

sumber penafsiran, tujuan penafsiran, gaya bahasa, dan corak penafsiran serta metode
penulisanya.
3. Sumber Penafsiran tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr
Mengetahui sumber penafsiran sebuah karya tafsir sangat penting artinya. Ini
diantaranya berguna untuk mengetahui kapasitas bi al-ra‟yî dan bi al-naqli sebuah kitab
tafsir. Dan juga untuk mengetahui apakah sebuah tafsir merupakan hasil kolaborasi dari
tafsir bi al-ma‟tsûr dan tafsiir bi al-ra‟yî.
a. Tafsir bi al-ma‟tsûr menurut Ibnu „Asyûr
Menurut Ibnu ‘Asyûr, tafsir bi al-ma‟tsûr adalah tafsir yang datang dari AlQur`an atau sunnah atau perkataan sahabat sebagai penjelasan dari maksud Allah SWT
menurunkan kitab sucinya. Begitu juga dengan tafsir tabi‟in, meskipun beberapa ulama
berbeda berselisih paham mengenai posisi tafsir tabi‟in, apakah termasuk bi al-ma‟tsûr
atau bi al-ra‟yi. Dalam hal ini al-Thabari yang membatasi tafsirnya sebagai tafsir bi alma‟tsûr memasukan tafsir tabi‟in sebagai bi al-ma‟tsûr.
Untuk tafsir yang berdasarkan Al-Qur`an, atau bisa disebut menafsirkan AlQur`an dengan atas dasar Al-Qur`an itu sendiri, maka tingkat kebenaranya tidak
diragukan lagi. Ini karena tafsir Al-Qur`an dengan Al-Qur`an dianggap berasal dari
Allah, yang paling mengetahui maksud kandungan Al-Qur`an. Sedangkan tafsir AlQur’an dengan hadits Nabi merupakan bentuk penjelasan Nabi saw terhadap Al-Qur`an.
Karena memang beliau diperintahkan untuk menjelaskanya, sebagaimana firman Allah
berikut:
‫إلي م لعل م يتف ر ن‬

‫ما ن‬


‫أن لنا إليك الذكر لتبين للنا‬

“Dan kami turunkan kepadamu al-dzikir (Al-Qur`an) agar engkau menerangka
(nya) kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan upaya mereka
memikirkan.” (QS. Al-Nahl:44)
Sementara itu tafsir Al-Qur`an yang besumber pada pendapat-pendapat para
sahabat hukumnya marfu‟, jika terkait dengan asâb nuzûl. Ini sebagaimana dikatakan
oleh al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak. Mengenai tafsir sahabat, imam al-Syathibi
berpendapat bahwa tafsir sahabat memiliki dua kelebihan: Pertama, bahasa Arab
mereka fasih. Mereka juga dianggap paling mengetahui dan memahami Al-Qur`an dan
Sunnah. Jika ada penjelasan atau perbuatan sahabat yang menempati posisi sebagai
penjelas Al-Qurr’an, menurut al-Syathibi, maka tafsir sahabat termasuk dalam tafsir bi
al-ma‟tsûr.

5

Kedua, sahabat adalah orang-orang yang terlibat langsung dalam berbagai
peristiwa yang mengiringi turunya wahyu dan menyaksikan sendiri turunya wahyu.
Sehingga para sahabat lebih memahami makna-makna ayat dari pada generasi-generasi

sesudahnya. Karena itu jika ada di antara sahabat yang membatasi makna ayat yang
mutlak, mengkhususkan yang umum, maka bisa diamalkan dengan syarat antara
mereka, maka tafsir sahabat dianggap sebagai hasil ijtihad.
Untuk tafsir yang bersumber dari pandangan tabi‟in Imam Suyuti
mempertanyakan, sejauh mana tafsir tabi‟in bisa menjadi hujjah yang dibenarkan dalam
tafsir Al-Qur’an. Hal ini dijawab, jika riwayat-riwayat itu bersumber dari riwayatriwayat yang shahîh, maka hukumnya maqbûl (bisa diterima). Jika hanya penafsiran
dari sisi kebahasaan saja yang dijadikan parameter dari penafsiran, maka menurut alsuyuthi, hal ini juga bisa dianggap maqbûl (bisa diterima).
Untuk tafsir Al-Qur`an yang menggunakan ijma‟ (kesepakatan) Ibnu ‘Asyûr
berpendapat bahwa ijma‟ umat dalam prnafsirsan Al-Qur`an, bisa dianggap sebagai alatsar, jika memiliki dalil yang shahîh. Seperti adanya kesepakatan bahwa yang
dimaksud dengan
‫اأخ‬
dalam ayat „al-kalâlah‟ adalah saudara perempuan dari
8
pihak ibu.
Menurut Ibnu ‘Asyûr, tafsir tabi‟in ditolak bila datang dari para pendusta,9
seperti riwayat isrâiliyât. Menyikapi tafsir yang demikian, menutut Ibnu ‘Asyûr, kita
tidak perlu meyakininya secara mutlak dan tidak menolaknya secara mutlak pula.
Dalam hal ini Nabi saw bersabda:
‫ال‬

‫ع ي عدا ف ي أ قعد‬

‫ك‬

‫خ ا ع ب ى إس ئيل ا ح ج‬

‫ب غ ا ع ى أي‬

“sampaikan dariku walaupun itu satu ayat. Dan ambilah dari Bani Israil dan
janganlah engkau ragu. Barangsiapa berbohong atas namaku secara sengaja,
maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka.”10
b. Ibnu „Asyûr dan tafsir bi al-ra‟yi
Yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra‟yi adalah menafsirkan Al-Qur`an dengan
cara berijtihad. Ini dilakukan oleh mufasir yang memiliki pengetahuan tentang ilmuilmu bahasa Arab dan mengetahui lafadz-lafadz Al-Qur`an, juga mengetahui syair-syair
Arab jahiliyah. Mereka juga harus mengetahui asbâb nuzûl, mengetahui nasakh
mansûkh dan perangkap „Ulûm Al-Qur`an lainya.11
Ibnu „Asyûr dalam muqaddumah kitab tafsirnya, di bawah tema sahnya tafsir
Tanpa bi al-Ma‟tsûr dan makna Tafsir bil al-Ra‟yi, mengajak pembaca untuk berdialog
secara bersahaja seraya meyakinkan mereka bahwa berijtihad untuk menafsirkan ayat
dibolehkan, karena banyak tafsir Al-Qur`an yang sanadnya tidak sampai kepada Rasul
saw.
Ibnu ‘Asyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, jilid 1, h. 25
Al-Zarqani, Manahil al-Irfan, jilid 2, h. 22.
10
HR. Riwayat al-Bukhari, Shahîh al-Bukhari, Kitâb al-Anbiyâ, jilid 4, h. 320.
11
Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufasirrûn, jilid 1, h. 129.
8

9

6

Lebih jauh Ibnu „Asyûr menyatakan bahwa jika ijtihad di dalam menafsirkan AlQur`an dilarang, tentu penafsiran menjadi sangat ringkas, hanya dalam beberapa lembar
saja.12 Ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Imam Ghazali dan al-Qurthubi bahwa
tidak semua apa yang dihasilkan sahabat itu bersumber pada apa yang mereka dengar
dari rasul saw. Dalam hal ini, menurut al-Syathibi tergantung pada dua hal berikut:
Pertama, Nabi saw tidak menafsirkan Al-Qur`an. Aisyah berkata,
‫عد دا ع ج يل إي‬
‫ك ه إا أي‬
‫ك س لهص‬
“Rasulullah tidak menafsirkan Alqur`an kecuali beberapa ayat yang
diajarkan oleh jibril kepadanya,”13
Kedua, Para sahabat berselisih pada apa yang mereka tafsirkan, sehingga sulit
disatukan perbedaan antara mereka. Ini menunjukan bahwa mustahil para sahabat itu
mendengar semuaya dari Rasul saw yang nampak pada kita adalah bahwa masingmasing sahabat menafsirkan Al-Qur`an sesuai dngan hasil ijtihad mereka.
Situasi ini memberikan kesempatan kepada siapa saja yang memiliki perangkat
ilmu yang cukup untuk menafsirkan ayat-ayat AL-Qur`an yang belum ditafsirkan oleh
Nabi saw maupoun oleh sahabtnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh al-Dzahabi,
didukung oleh Ibnu ‘Asyûr. Karena ada atsar (hadits) yang menegaskan bahwa
menafsirkan Al-Qur`an semata hanya mengandalkan logika adalah tindakan yang
tercela. Misalnya atsar yang diriwayatkan Ibn ‘Abbas bahwa Rasul bersabda:
‫ال‬
‫ق ل فى الق أ ب أس ب أي بغي ع ف ي أ قعد‬
“Barang siapa yang berbicara mengenai Al-Qur`an dengan logikanya sendiri,
tanpa ilmu pengetahuan, maka bersiap-siaplah untuk tempatnya di neraka.”14
Seorang sahabat bernama Jundub juga mengatakan bahwa Rasul saw bersabda:
‫ق ل فى الق أ ب أي فأص فقد أح أ‬
“Barang siapa yang berbicara mengenai Al-Qur`an dengan logikanya sendiri,
(meskipun) salah benar, maka dia (tetap) bersalah.”15
Menyikapi hadits-hadits semacam di atas, Ibn ‘Asyûr mengemukakan salah satu
dari 54 argumen berikut:
1) Yang dimaksud dengan kata al-ra‟yu adalah perkataan yang terbesit (di hati)
tanpa memperhatikan dalil-dalil, baik dari sisi bahasa, maqâshid atau tujuan
syari’ah, tanpa memperdulikan asbâb nuzûl dan nasikh mansûkh dan lain-lain.
2) Yang dimaksud dengan al-ra‟yu yang dilarang adalah yang tidak melalui
tadabbur (perenungan mendalam) terhadap Al-Qur`an. Yang dilarang adalah,
menafsirkan hanya dengan pandangan sekilas, atau hanya dari sisi kebahasaan
saja tanpa mengetahui penggunaan bahasa tersebut. Seperti menafsirkan kata
‫ ص‬dengan memiliki penglihatan tidak buta padahal makna yang dimaksud
adalah (al-Isra’ {17}: 59)
Ibn ‘Asyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, jilid 1, h. 28
ibid
14
HR. Ahmad dalam Musnad Ahmad, jilid 1, h. 385, (Mesir: Dar Ihya` al-Turâts, TT)
15
Ibnu Jarir al-Thabari, jâmi‟ al bayan fi tafsir Al-Qur`an, jilid 1. (Beirut Lubnan: Dâr al-Fikr,
1984 M),
h. 35
12

13

7

‫أ ي ث د ال ق ص‬
3) Yang dimaksud dengan perumpamaan al-ra‟yu yang dilarang adalah jika
memiliki kecenderungan fanatis terhadap madzhab tertentu dengan penuh
tendensi. Sehingga yang terjadi lalu bukan menafsirkan Al-Qur`an, tetapi
mentakwilkan ulama selama ini kepada makna yang sesuai dengan pendapat
madzhabnya saja. Seperti tafsir
‫ إلى ب‬dengan arti menunggu nikmat
Tuhannya, dengan catatan huruf jar ‫ إلى‬adalah mufrâd (tunggal) dari jama ‫اإ‬
‫ إاء‬Penafsiran ini dianggap keluar dari makna dzâhirnya ayat.
4) Yang dimaksud dengan penggunaan
al-ra‟yu yang dilarang adalah
menafsirkan dengan al-ra‟yu yang mementingkan makna harfiyahnya saja,
dan menganggap hanya itulah penafsiran yang benar. Sementara penafsiran
lainya dianggap salah.
5) Maksud dari perkataan yang terkandung dalam hadits-hadits yang melarang
menafsirkan hanya dengan ijtihad adalah tercela, adalah agar berhati-hati
dalam menafsirkan. Kehati-hatian ini berbeda-beda antara satu mufassir
dengan mufassir lainya sesuai dengan tingkat kerendahan hati (al-wara‟)
mereka terhadap Al-Qur`an, semakin rendah hati semakin hati-hati ia
menafsirkan Al-Qur`an, begitu juga sebaliknya.16
Lima argumen di atas menunjukan bahwa Ibnu ‘Asyûr menjelaskan bahwa
tidak semua al-ra‟yu adalah madzmum (tercela). Jika semua yang didasarkan alra‟yu itu tercela maka tentu banyak perkataan sahabat dan tabi‟in yang tertolak.
Padahal mereka aktif menafsirkan Al-Qur`an, baik berpegang pada Sunnah nabi
maupun melalui ijtihad. Kata a;-Ra‟yu menurut Ibnu ‘Asyûr adalah kata umum
yang membutuhkan rincian atau penjelasan.17
c. Tujuan Menafsirkan
Dalam menafsirkan Al-Qur`an, Ibnu ‘Asyûr menyimpulkan ada delapan tujuan
penafsiran:
1. Memperbaiki keyakinan dan mengajarkan aqîdah yang benar
2. Mendidik akhlak.
3. Bertujuan menafsirkan dan mengungkap hukum-hukum yang terkandung
dalam-ayat-ayat Al-Qur`an, baik yang bersifat khusus maupun umum.
4. Menafsirkan dan mengungkap isi kandungan Al-Qur`an tentang aturan hidup
manusia.
5. Menafsirkan kisah-kisah dan berita-berita umat sebelumnya.
6. Memberikan pendidikan dan pelajaran yang disesuaikan dengan mukhâtab
atau objek ayat dan sesuai dengan kesiapan mereka menerima dan
mendakwahkanya.
7. Menafsirkan Al-Qur`an yang berisi nasihat, peringatan dan kabar gembira
mencakup semua ayat yang berisi janji dan ancaman.

16
17

Ibnu ‘Asyûr,Al-Tahrîr wa al-tanwîr, jilid 1, h. 30-31
Ibnu ‘Asyûr, Al-tahrîr wa al-tanwîr, jilid 1, h. 32

8

8. Menafsirkan juga bertujuan untuk mengetahui dan mengambil pelajaran dan
argumen-argumen yang terdapat dalam Al-Qur`an, yang ditujukan untuk
mendebat orang yang meragukan kebenaran Al-Qur`an.
4. Sisi bahasa tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr
Tafsir Ibnu ‘Asyûr bukan hanya dianggap sebagai kitab tafsir, tetapi juga bisa
dikatakan sebagai kitab kebahasaan. Karena dalam penjelasanya, banyak sekali
dipaparkan penafsiran dari sisi nahwu, sharaf, dan balâghah. Bahkan sisi balâghah
(keindahan bahasa) adalah sisi yang menjadi fokus tafsir ini. Untuk memahami AlQur`an, Ibnu ‘Asyûr berhasil mengeksplorasi bahasa yang bertumpu pada syair-syair
Arab. Dalam hal ini Ibnu ‘Asyûr sangat memperhatikan penjelasan makna nahwu,
menyebutkan fungsi kata dari sisi makna dan balâghahnya
5. Metodologi Penulisan tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr
Tafsir Ibnu ‘Asyûr merupakan tafsir yang memiliki kecenderungan tafsil bi alra‟yi. muqaddimah tafsirnya terdiri dari pembahasan tema-tema berikut: tafsir dan
ta‟wil, keabsahan tafsir bi al-ra‟yi, Tujuan mufassir, sabab nuzûl, al-Qira‟at, Qassash fi
al-Qur`an, Nama-nama Al-Qur’an ayat, surah dan susunanya, Makna-makna ayat dan
tartîb (urutan) ayat, Makna surah dan sususnanya, Makna-makna yang dikandung AlQur`an dianggap sebagai yang dimaksudkanya dan kemukjizatan Al-Qur`an („Ijaz AlQur`an).
Metode penulisannya dimulai dengan menyebutkan nama-nama surat,
keutamaanya, keutamaan membacanya, susunanya, urutan turunya surat (tartib nuzûl
surah), tujuanya, jumlah ayatnya, baru kemudian menjelaskan isi surat tersebut ayat per
ayat.
Dalam bidang fiqh (hukum islam), Ibnu ‘Asyûr menekankan pentingnya
mengetahui ilmu maqâshid syari‟ah sebagai sarana untuk mentarjih pendapat yang satu
dan pendapat lainya. Seorang ahli hukum Islam, menurut Ibnu ‘Asyûr harus mampu
membedakan berbagai posisi khitâb. Apakah posisinya sebagai targhîb atau tarhîb
tabsyîr (kabar gembira) atau tahzîn (peringatan). Tentu ini dalam rangka mentarjih dan
menentukan maqâshid syari‟ahnya.18
Untuk menunjukan kepakaranya dalam bidang fiqh, Ibnu ‘Asyûr tidak pernah
melewatkan komentar-komentar fiqhnya ketika menafsiran ayat-ayat ahkam (ayat-ayat
hukum). Komentarnya ditulis secara ringkas tanpa bertele-tele, sesuai dengan
pemaparan para fuqâha (ahli fiqh), penjelasan para sahabat dan tabi‟in. Baru di akhir
komentarnya, beliau beristinbath (menentukan hukum). Misalnya tafsir ayat surat AlBaqarah ayat 102 ‫ يع ال س سح ا‬Ibnu ‘Asyûr menjelaskan bahwa Islam telah memberi
peringatan dan mencela sihir. Hal ini bukan berkaitan dengan hakikat sihir tetapi
peringatan terhadap rusaknya akidah dan hilangnya ikatan agama.
Para ulama Islam sendiri berbeda pendapat seputar keberadaan sihir dan
pengingkaranya, yaitu perbedaan yang diakibatkan oleh cara pandang. Setiap kelompok

18

Ibnu ‘Asyûr, Al-Tahrîr wa al-tanwîr, jilid 1. H. 273-274

9

melihat macam-macam sihir. Ali Iyâzi dalam bukunya ahlussunnah wal jamâ‟ah
berpendapat bahwa sihir memang ada.
Kemudian Ibnu ‘Asyûr mengatakan bahwa, tidak ada dalan pembicaraan mereka
penjelasan tentang sihir yang mereka tetapkan keberadaanya. Masalah ini merupakan
maslah furû‟iyah. Pembicaraan mengenai sihhir termasuk dalam masalah hukuman bagi
orang yang murtad, dan tidak masuk dalam masalah pokok agama (ushuluddin).
Ibnu ‘Asyûr sangat memperhatikan sisi kebahasaan dan balâghah. Ia menjelaskan
makna kosakata disertai struktur linguistiknya (i‟rab). Kadang-kadang ia menggunakan
kosa kata dengan syair sebagai penguat. Ini terpengaruh oleh tafsir Al-Kasyaf.19 Ibnu
‘Asyûr juga orang yang sangat memperhatikan munâsabah (persesuaian) antar ayat.
Ketika menafsirkan isi kandungan surat, Ibnu ‘Asyûr tidak terpaku pada tafsir bi
al-ma‟tsûr, tetapi juga tidak terbatas hanya pada tafsir bi al-ra‟yi. Ibnu ‘Asyûr
menafsirkan sebuah ayat, ia menjelaskan ayat tersebut dari semua sisi,terutama dari
tujuan-tujuanya, agar pembaca tafsir tidak terbatas hanya memahami penjelasan kosa
katanya saja. Beliau menjelaskan tujuan dan makna-makna kosa kata yang dibedahnya
lebih teliti dari sebuah kamus.20
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sistematika penafsiran Ibnu
‘Asyûr adalah sebagai berikut: menempuh cara-cara tafsir atau ta‟wil, menjelaskan
makna surah, keutamaanya, jumlah ayatnya dan lain sebagainya, menjelaskan
munasâbah (persesuaian) antara Ayat dan antara surah, meskipun dalam skala kecil,
membahas i‟rab (struktur kalimat) secara detail dan juga sisi balâghah (keindahan)
sebuah ayat, menjadikan syair-syair sebagai syawâhid (bukti-bukti) kebahasaan dalam
menentukan makna sebuah ayat Al-Qur`an. mendahulukan penafsiran ayat dengan ayat
atau ayat dengan surah (bi al-Ma‟tsûr) yang tepat. melakukan ijtihad dan sinkronisasi
antara makna ayat untuk memperoleh makna yang tepat dan merumuskan maqâshid
syarîah dari ayat-ayat ahkâam.
Penutup
Demikian tela’ah singkat atas tafsir Al-Tahrîr wa Al-Tanîr karya Ibnu ‘Asyûr. Tela’ah
ini dilakukan dengan tujuan selain untuk lebih mengenal khazanah tafsir yang ada, juga
untuk menjadi sumbangan bagi pengembangan keilmuwan Islam, khususnya yang
terkait ilmu-ilmu Al-Qur`an dan tafsirnya.

19
20

Ali Iyazi, Al-Mufassirun, Hayâtun wa manhajuhum, h. 244
Ibnu ‘Asyûr, Al-tahrîr wa al-Tanwîr, jilid 1, h.4

10

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad bin hanbal, Musnad ahmad, jilid 1 Mesir: Dâr Ihya` al-Turâts, t.th
Al-Dzahabi, al-tafsir wa al-Mufassirûn, jilid 1
Ibnu ‘Asyûr, al tahrîr wa al-tanwîr, jilid 1, Mesir: Dâr al-Fikr, t.th
Ibnu ‘Asyûr, Nadzariyah al Maqâshid „Inda al-Thâhir Ibn „Asyûr, Mesir, Dâr al-Fikr,
t.th
Imam al-Bukhari, shahih al-Bukhari, kitâb al-Anbiyâ, jil;id 4, Cairo Dâr al-Ihyâ, t.th
Iyazi, Ali Iyâzi, Al Mufassirûn wa Manhâjuhum, TK: Muassasah al-Thabâ’ah wa alnasyr Wuzarah Tsaqâfah wa al-Irsyâd al islâmy, 1992
Al Syathibi, Muuwaffaqât, jilid 3
Al-Thabari, Ibnu Jarir, Jâmi‟ al-Bayâan fi Tafsir Al-Qur`an, jilid 1, Beirut, Dâr al-Fikr,
1405 H/1984
Al-Zarqani, Manahil al-„Irân, jilid 2

11