Manajemen Peradilan Islam Di Era Abbasiya (Studi Komparatif Manajemen Peradilan Islam Masa Islam Klasik)

MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH
(Studi Komparatif Manajemen Peradilan Islam Masa Islam Klasik)

Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk
Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

SITI NURAVIVA
NIM : 1111043200027
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436H/2015M

i

ii


iii

iv

ABSTRAK

Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA
ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi
Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M.
Skripsi ini bertujuan untuk membandingkan peradilan masa Rasulullah,
khulafa al-Rasyidin,bani umayah, dan dengan bani Abbasiyah. Untuk
mendeskripsikan praktik peradilan di masa Abbasiyah. Untuk menganalisis
manajemen hakim di masa Abbasiyah.
Dalam penyusunan penelitian, penulis melakukan pendekatan terhadap
permasalahan dengan “metode normatif”, yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka. Tentu referensi yang digunakan memiliki
keterkaitan dengan topik pembahasan yang akan penulis teliti, dengan menggunakan
sumber-sumber yang berkaitan dengan hukum Islam.
Kesimpulan penelitian ini adalah manajemen sistem peradilan Islam di masa

Abbasiyah ternyata jauh sudah lebih modern. Apabila diidentikan dengan Indonesia,
pada masa Abbasiyah sudah ada Mahkamah Agung Jaksa Agung serta peradilanperadilan ditingkat provinsidan kota/kabupaten. Artinya setiap wilayah sudah
memiliki peradilan.
Kata kunci

: Manajemen; Peradilan Islam; Abbasiyah; Islam Klasik

Pembimbing 1

: Drs.H.A.Basiq Djalil, SH, MA

Pembimbing 2

: Dr. Supriyadi Ahmad, MA

Daftar Pustaka

: Tahun 1984 s.d tahun 2015.

v


KATA PENGANTAR

‫بسم اه الرحمن الرحيم‬
Puji Syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan, kesehatan
serta telah melimpahkan Taufik serta Hidayah-Nya sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Peradilan Islam di Era Abbasiyah” sebagai
syarat guna memperoleh gelar sarjana Syari‟ah (S.Sy) pada Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) jurusan Perbandingan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan Salam, semoga senantiasa
terlimpahkan kepada manusia pilihan yaitu baginda Rosulullah SAW.
Dalam proses pembuatan skripsi ini, berbagai hambatan, pengorbanan, dan
kesulitan penulis hadapi. Namun tidak terlepas dari petunjuk dan pertolongan Allah
SWT. Serta berkat berbagai dorongan serta bimbingan dari semua pihak, sehingga
akhirnya penulisan ini skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh sebab itu, penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA. Yang
telah banyak membantu penulis dalam menjalankan perkuliahan. Semoga
dapat menjadi pemimpin yang memberikan teladan dan integritas yang lebih
baik.

2. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Hukum Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan pengarahan serta waktu kepada penulis di
sela-sela waktu kesibukan beliau.
3. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc., MA sekertaris Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak
membantu kepada penulis, baik dari sisi intelektual dan spiritual di dalam
segala kesibukan beliau.

vi

4. Drs.H.A.Basiq Djalil, SH, MA, dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini.
5. Dr. Supriyadi Ahmad, MA, dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan arahan, meluangkan waktu serta dukungan sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan.
6. Dosen Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Jakarta, yang telah mengamalkan
ilmunya kepada penulis selama studi.
7. Staf dan Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas syari‟ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga memberikan bantuan

berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam penulisan skripsi ini.
8. Papa dan Mama tercinta bapak H. Yan Chandra dan ibu Hj. Elvira yang selalu
penulis hormati dan sayangi, dan yang selalu memberikan kasih sayangnya
kepada penulis, memberikan nasehat dan doa demi kesuksesan penulis.
9. Abang-abangku serta semua keluarga yang penulis cintai, atas dorongan yang
diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
10. Sahabat-sahabat sekelas penulis PH dan PMF angkatan 2011 yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan bantuan kepada penulis
dalam studi yang tak terlupakan.
11. Sahabat dan adik-adik Moot Court Community yang selalu menghibur dan
memberikan semangat dalam proses penyusunan skripsi ini
Akhirnya atas segala jasa dan bantuan dari semua pihak, penuliskan ucapkan
banyak terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah SWT membalasnya dengan
imbalan pahala yang berlipat ganda.
Jakarta, 22 September 2015 M
09 Dhul-hijjah 1436 H

Penulis

vii


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................

i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................. ...............................

ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ........................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iv
ABSTRAK ........................................................................................................

v

KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
BAB I


PENDAHULUAN ......................................................................

1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................

1

B. Identifikasi Masalah ............................................................

8

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................

8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................

9


E. Review Studi Terdahulu ....................................................... 10
F. Kerangka Teori ..................................................................... 12
G. Metode Penelitian ................................................................. 14
H. Sistematika Penulisan .......................................................... 17
BAB II

MANAJEMEN PERADILAN ISLAM .................................... 19
A. Pengertian Manajemen ......................................................... 19
B. Pengertian Peradilan ............................................................. 20
C. Sejarah Singkat Peradilan Islam ........................................... 23
D. Sejarah Singkat Munculnya Bani Abbasiyah ....................... 24

viii

E. Perioderisasi Peradilan Islam ............................................... 28
BAB III

PRAKTEK PERADILAN MASA ABBASIYAH .................. 39
A. Peradilan pada Masa Abbasiyah Pertama ............................ 39

B. Peradilan pada Masa Abbasiyah Kedua ............................... 42
C. Kebijakan-Kebijakan Peradilan Masa Khalifa Abbasiyah . . 43
D. Kasus Hukum Masa Abbasiyah ........................................... 57
E. Pembuatan Undang-undang ............................................... .. 59

BAB IV

MANAJEMEN HAKIM DI MASA ABBASIYAH ............... 60
A. Pengangkatan Pengaturan Gaji Hakim ................................. 60
B. Sumber Hukum Hakim ................................................................. 65
C. Kewenangan Hakim ............................................................. 66
D. Pemecatan dan Penggantian Hakim ..................................... 70
E. Kemajuan dan Kemunduran Peradilan Era Abbasiyah.... 72

BAB V

PENUTUP ................................................................................. 76
A. Kesimpulan .......................................................................... 76
B. Saran-saran ........................................................................... 77


DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 78
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 78
Lampiran I Tentang Silsilah Khalifah Abbasiyah ............................................. 81
Lampiran II Tentang Peta Kekuasaan Abbasiyah Masa Harus al-Rasyid ... .... 82
Lampiran III Tentang Peta Kekuasaan Dinasti Abbasiyah ................................ 83
Lampiran IV Tentang Surat-surat Umar Bin Khattab ........................................ 84

ix

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peradaban hukum dan peradilan sejatinya sudah mulai dipraktikan sejak
ribuan tahun silam, seiring dengan peradaban kehidupan manusia, meskipun
masih dalam konteks yang sangat sederhana. secara praktis proses peradilan
pertama kali dipraktikan dalam sejarah umat manusia adalah proses peradilan
terhadap pertikaian antara Qabil dan Habil, di mana pada saat itu Nabi Adam as
sendiri yang menjadi hakim untuk memutuskan dan menyelesaikan pertikaian
diantara keduan putranya. Apa yang dilakukan Nabi Adam as terhadap kedua
putranya sejatinya sudah mencerminkan praktik peradilan dalam konteks yang

sangat sederhana. Sedangkan istilah „hakim‟ sendiri pertama kali disematkan
dalam sejarah manusia adalah kepada Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as. Kisah
tersebut terekam dalam Q.S. Shad ayat 17-26 dan Al-Anbiya ayat 78-79.1
Dalam sistem ketatanegaraan Islam, dikenal beberapa badan kekuasaan
negara, yaitu sulthah tanfiziyah (kekuasaan eksekutif), sulthah tasyri‟iyyah
(kekuasaan legislatif) dan sulthah qadhaiyyah. Namun demikian, ketiganya belum
dipisahkan satu sama lainnya seperti halnya lembaga yang mandiri, dan bahkan
dalam praktiknya cenderung dipegang oleh satu tangan, yakni penguasa atau
pemerintah. Sulthah qadhaiyah sering disejajarkan dengan istilah kekuasaan
kehakiman dalam tradisi Islam. Istilah ini diartikan sebagai kekuasaan untuk
mengawasi

dan

menjamin

jalannya

1

proses

perundang-undangan

sejak

Samir Aliyah, alih bahasa Asmuni Solihan Zamakhsyari, Sistem Pemerintahan,
Peradilan dan Adat dalam Islam,(Jakarta : Khalifa, 2004), hlm. 285.

1

2

penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik
yang menyangkut perkara perdata maupun pidana Sementara Tahir Azhari
menyebutnya dengan istilah nomokrasi Islam, yakni suatu sistem pemerintahan
yang didasarkan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Islam dan merupakan
rule of Islamic law.2
Kehadiran lembaga yudikatif dalam sistem ketatanegaraan Islam
merupakan sebuah keniscayaan dan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi.
Hal tersebut mengingat bahwa pemerintahan Islam yang dibangun Nabi
Muhammad merupakan bentuk negara hukum, maka tegaknya keadilan
merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan dalam kehidupan bernegara.
Melihat urgensi lembaga tersebut Muhammad Salam Madkur berpandangan
bahwa keberadaan lembaga yudikatif dipandang sebagai lembaga yang suci,
mengingat bahwa upaya menegakan peradilan juga dapat diartikan sebagai upaya
memerintahkan kebaikan dan mencegah bahaya kedzaliman, menyampaikan hak
kepada yang punya, mengusahakan islah diantara manusia, dan menyelamatkan
manusia dari kesewenang-wenangan.3
Melihat begitu pentingnya sulthah qadhaiyyah (lembaga yudikatif), maka
tidak heran jika sejak awal kehadiran negara dalam khazanah sejarah Islam,
lembaga ini telah ada dan berfungsi, meskipun dalam tataran praktisnya masih
tergolong sangat sederhana, di mana kapasitas Nabi pada saat itu disamping
menjalankan tugas-tugas kenabian, ia juga sekaligus memegang tiga poros badan
2

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia ,(Jakarta
: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 146-148.
3

Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam, terj. Imron AM, (Surabaya : PT.
Bina Ilmu, 1993), hlm. 31

3

kekuasaan sebagaimana disebutkan. Nabi Muhammad bertugas menyelesaikan
perselisihan yang timbul di kalangan masyarakat Madinah dan menetapkan
hukuman terhadap pelanggar perjanjian, seperti Beliau pernah melakukannya
ketika Kaum Yahudi melakukan pelanggaran sebanyak tiga kali terhadap isi
Piagam Madinah, dua kali beliau bertindak sebagai hakam-nya, dan sekali beliau
wakilkan kepada sahabatnya.4
Pada awal Pemerintahan Madinah hanya Rasulullah SAW sendiri yang
menjadi Hakim. Ketika Islam sudah menyebar ke luar Kota Madinah (luar Jazirah
Saudi Arabia), barulah Rasulullah mendelegasikan tugas-tugas Peradilan kepada
beberapa sahabat beliau. Pendelegasian tugas yudikatif dilaksanakan dalam tiga
bentuk: pertama, Rasulullah SAW mengutus sahabatnya menjadi penguasa di
daerah tertentu sekaligus memberi wewenang untuk bertindak sebagai Hakim
untuk mengadili sengketa di antara warga masyarakat. Kedua, Rasulullah
menugaskan sahabat untuk bertindak sebagai Hakim guna menyelesaikan masalah
tertentu, biasanya penugasan ini hanya atas perkara tertentu saja. Ketiga
Rasulullah SAW terkadang menugaskan seorang sahabat dengan didampingi
sahabat lain untuk menyelesaikan kasus tertentu dalam suatu daerah. Kriterianya
Hakim yang diutus merupakan otoritas Rasulullah setelah diuji kelayakannya.
Seperti pada saat Rasul mengutus Mu‟adz bin Jabal untuk menjadi qadhi di
Yaman, dan lain-lain.5

Ibn Hisyam, Sirat an Nabawiyat, (Beirut: Mathba‟at Muhammad Abi Shabih, t.th),
Jilid XX, hlm 170.
4

5

Al Bukhairy al Ja‟fiy, Matan Bukhary, (Semarang: Thaha Putra,) Juz VII, hlm 107-109.

4

Begitu pula pada masa kekhalifahan Abu bakar Ash Shidiq, kekuasaan
yudikatif masih dipegang oleh penguasa atau eksekutif dan belum ada pemisahan
yang tegas, kecuali perubahan ketika Abu Bakar mengangkat Umar bin Khattab
sebagai Hakim Agung untuk melaksanakan yudikatif.6
Hal tersebut ditunjukan dengan kenyataan bahwa, pada masa Abu Bakar,
wilayah kekuasaan Negara Madinah dibagi menjadi beberapa provinsi, dan setiap
provinsi ia menugaskan seorang amir atau wali (semacam gubernur). Para Amir
tersebut juga bertugas sebagai pemimpin Agama (seperti imam dalam shalat),
menetapkan hukum, dan melaksanakan undang-undang. Artinya seorang Amir di
samping sebagai pemimpin Agama dan sebagai Hakim, juga pelaksana
kepolisian.7
Pada masa Umar bin Khattab, kekuasaan yudikatif mulai dipisahkan dari
kekuasaan eksekutif. Dan mulai diatur tata laksana Peradilan, antara lain dengan
mengadakan penjara dan pengangkatan sejumlah Hakim untuk menyelesaikan
sengketa antara anggota masyarakat, bersendikan al-Qur‟an, Sunnah, Ijtihad dan
Qiyas.8

6

Wahhab al Najjar, al Khulafa al Rasyidun (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah,
1990), hlm 98.
7

Beberapa orang yang pernah diangkat menjadi amir oleh Khalifah Abu Bakar adalah :
1) Itab bin Asid, amir untuk Mekah; 2) Ustman bin Abi al Ash, amir untuk Thaif; 3) Al Muhajir
bin Abi Umayah, ami runtuk Sana‟a; 4) Ziad bin Labid, amir untuk Hadramaut; 5) Ya‟la bin
Umayah, ami runtuk Khaulan; 6) Abu Musa al Asy‟ari, amir untuk Zubaid; dan Rima; 7) Muaz bin
Jabal, amir untuk al Janad; 8) JArir bin Abdullah, amir untuk Najran; 9) Abdullah bin Tsur, amir
untuk Jarsyi; 10) Al Ula bin al Hadrami, amir untuk Bahrain. Lihat Abdul Wahhab al Najjar, al
Khulafa al Rasyidun, Wahhab al Najjar, al Khulafa al Rasyidin (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah,
1990), hlm 67.
8

Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI
Press, 1993), hlm 38.

5

Namun demikian untuk beberapa provinsi, khalifah Umar telah
memisahkan jabatan Peradilan dengan jabatan eksekutif. Hakim diberi wewenang
sepenuhnya untuk melaksanakan Pengadilan yang bebas dari pengaruh dan
pengawasan gubernur, bahkan khalifah sekalipun. Tidak hanya itu, pada masa
Umar, dibentuk juga lembaga yang menangani urusan kriminal dan pidana selain
zina yang langsung di tangani oleh Hakim. Lembaga tersebut adalah ahdath,
dengan Qadamah bin Mazan dan Abu Hurairah sebagai pemimpinnya.9
Pada masa Utsman bin Affan dilakukan beberapa pembenahan terhadap
pelaksanaan kekuasaan kehakiman, dengan membangun sarana gedung yang
khusus, menyempurnakan administrasi Peradilan dengan mengangkat pejabatpejabat yang mengurusi administrasi Peradilan, memberi gaji kepada Hakim dan
stafnya, dan mengangkat naib kadi, atau semacam panitera.10
Pada masa Ali bin Abi Thalib tidak ada perubahan yang signifikan, hanya
pada pengangkatan Hakim yang semula merupakan kewenangan khalifah
dilimpahkan menjadi kewenangan gubernur. Pada masa khulafa al rasyidin, sudah
teradapat Mahkamah Agung sebagai lembaga Peradilan tertinggi yang bertempat
di ibu kota dengan Ketua Mahkamah Agung (qadhi al qudhat), dimana Zaid bin
Tsabit merupakan orang pertama yang menjabatnya pada masa khalifah Umar.11

9

Mahmud Saedon A-Othman, Kadi, Pelantikan, Perlucutan, dan
Kuasa (Malaysia Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Kementrian Pendidikan, 1990), hlm. 93.

Bidang

10

Abdul Karim Zaidan, Nizhamul Qadha fi al-Syar‟iyyatil Islamiyah, (Baghdad;
Mathba‟ah al Any, t.th), hlm 61.
11

Abdul Qadir Djaelani, Sekitar Pemikiran Politik Islam, (Jakarta; Media Dakwah,
t.th), hlm 141.

6

Pada masa dinasti Umayyah, kekuasaan yudikatif semakin disempurnakan,
hanya saja tidak ada perubahan yang cukup signifikan terhadap pembaharuan
peradilan, sehingga tidak banyak informasi tentang peradilan yang didapatkan
pada masa itu. Pemerintahan Bani Umayyah lebih banyak disibukan dalam urusan
politik kenegaraan, sehingga hampir segenap kekuasaan difokuskan pada upaya
pembasmian terhadap para-para pemberontak dan penentang pemerintahan. Hasbi
Asshiddiqie mencatat bahwa salah satu perkembangan yang dicapai Bani
Umayyah dalam peradilan adalah sudah mulai dibukukannya putusan-putusan
hakim. Demikian juga sidang-sidang sudah dilaksanakan di gedung yang memang
diperuntukan untuk proses peradilan.12
Pengangkatan hakim pada masa ini juga dilakukan secara terpisah dengan
pengangkatan gubernur. Khalifah hanya mengangkat para hakim yang akan
diposisikan di ibu kota pemerintahan, sedangkan hakim-hakim yang ditugaskan di
daerah-daerah diserahkan pengangkatannya kepada kepala daerah.13
Pada masa Dinasti Abbasiyah umat Islam mengalami perkembangan
dalam berbagai bidang. Dinasti ini mengalami masa kejayaan intelektual, seperti
halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, tidak lama setelah dinasti itu berdiri.
Kekhalifahan Baghdad mencapai masa kejayaannya antara khalifah ketiga, alMahdi (775-785 M), dan kesembilan, al-Wathiq (842-847 M), lebih khusus lagi
pada masa Harun al-Rasyid (786-809 M) dan al-Makmun (813-833 M), anaknya
12

T.M. Hasbi Asshiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang : Pustaka
Rizki Putra, 1997), hlm. 24.
13

hlm. 47

Asadullah al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009),

7

terutama, karena dua khalifah yang hebat itulah Dinasti Abbasiyah memiliki
kesan dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti hebat dalam sejarah Islam dan
diidentikkan dengan istilah “the golden age of Islam”.14
Kemajuan lain yang tak kala penting adalah dalam bidang peradilan di
mana pada masa Abbasiyah sistem administrasi peradilan pada masa ini sudah
tersusun dengan rapi. Diferensiasi kemajuan institusi hukum dan sistem peradilan
itu terletak pada pemisahan kekuasaan, lembaga peradilan yang dikepalai qadha
al qadhi yang berkedudukan di ibukota, dengan kewenangan mengawasi para
qadhi yang berkedudukan di daerah kekuasaan Islam.
Pada era ini perkembangan di berbagai bidang sangatlah maju, dan banyak
permasalahan hukum yang sangat komplek sehingga penulis tertarik membahas
bagaimana sistem peradilan Islam pada masa ini yang sangat berkembang pesat
sekali. Pada masa Rasulullah adanya lembaga pengawasan terhadap peradilan.
Rasulullah melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap para sahabat yang
ditunjuknya untuk menjalankan peradila. Jika putusan sahabat salah Nabi akan
mengoreksinya. Namun pada masa Abbasiyah awalnya khalifah berusaha
mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh peradilan untuk maksudmaksud tertentu.
Munculnya kejumudan berfikir karena hilangnya semangat ijtihad. Ulama
mengalami frigiditas (dingin, tidak sensitif) akibat kelesuhan berfikir sehingga

14

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 52.

8

tidak mampu menghadapi perkembangan zaman dengan menggunakan akal
fikiran yang sehat dan merdeka sera bertanggung jawab.
Pada skripsi ini penulis membandingkan peradilan Islam dari masa
Rasulullah, khulafa al-Rasyidin, Umayyah, hingga Abbasiyah. Mendeskripsikan
praktik peradilan era Abbasiyah, serta menganalisis manajemen hakim era
Abbasiyah.
Berangkat dari permasalahan diatas maka penulis ingin melakukan
penelitian dengan judul “ MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA
ABBASIYAH (Studi Komparatif Manajemen Peradila Islam Masa Islam
Klasik)”.
B. Indentifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah penulis menguraikan dengan masalah
yang sedang penulis teliti yaitu Manajemen Peradilan Islam di Era Abbasiyah..
1. Bagaimana sejarah perioderisasi peradilan Islam?
2. Bagaimana pengangkatan hakim pada era Abbasiyah?
3. Bagaimana pengaturan gaji hakim?
4. Bagaimana kewenangan hakim di era Abbasiyah?
5. Bagaimana penggantian dan pemecatan hakim di era Abbasiyah?
6. Apa sumber hukum yang digunakan hakim dalam memutus perkara?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah, karena pembahasan
pengelolaan peradilan Islam pada era Abbasiyah ini sangatlah luas maka penulis

9

perlu membatasi pengelolaan sistem peradilan Islam di era Abbasiyah difokuskan
pada manajemen hakim di masa Abbasiyah pada periode pertama (132 H/750 M –
232 H/ 847 M), disebut Periode pengaruh Arab dan Persia Pertama.

2. Perumusan Masalah
Menurut Al-mawardi hakim harus mencapai derajat memiliki pandangan
dan dapat mentarjih (berbagai pendapat ulama) dan ia harus memiliki kemampuan
berijtihad, namun di masa Abbasiyah hakim tidak lagi mengambil hukum dari
sumber utama, yakni al-Qur‟an dan hadits, melainkan beralih ke pendapat imam
mazhab.
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat di munculkan
pertanyaan penelitian sebagai berikut diantaranya:
a. Bagaimana perbandingan manajemen peradilan di masa Rasulullah,
khulafa al-Rasyidin, bani Umayah, dan bani Abbasiyah?
b. Bagaimana praktik peradilan di masa Abbasiyah?
c. Bagaimana manajemen hakim di masa Abbasiyah
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas maka penulisan skripsi ini bertujuan:
a. Untuk membandingkan peradilan masa Rasulullah, khulafa alRasyidin, bani Umayah, dan dengan bani Abbasiyah.
b. Untuk mendeskripsikan praktik peradilan di masa Abbasiyah
c. Untuk menganalisis manajemen hakim di masa Abbasiyah.

10

2. Manfaat Penelitian
Setiap permasalahan membutuhkan kajian secara tuntas dan mendasar agar
dapat di peroleh manfaat dari penelitian tersebut, yaitu:
a. Secara Akademik
Penulisan ini diharapkan dapat menciptakan suasana yang menguntungkan
bagi pengembangan ilmu hukum Islam khususnya dalam bidang peradilan Islam
dan perkembangan hukum Islam.
Secara teoritis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
dibidang hukum terkait perkembangan pengelolaan peradilan Islam di masa
Rasulullah sampai masa Abbasiyah, dan dapat mengetahui bagaimana manajemen
peradilan Islam pada masa tersebut.
b. Secara Praktis
Untuk

menyumbangkan

hasil

pemikiran

tentang

sejarah

dan

perkembangan hukum Islam terutama dalam hal yang berkaitan dengan
pengelolaan peradilan Islam di era Abbasiyah.
E. Riview Terdahulu
Dari skripsi yang ditulis oleh A.Irfan Habibi Program Studi Jinayah
Siyasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010 dengan judul “ Kedudukan Jaksa
Agung dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia dan Islam ”. Memuat
persoalan tentang fungsi kedudukan jaksa agung dalam konsep ketatanegaraan
Indonesia dan Islam. Bahwa secara historis sebenarnya kedudukan dan fungsi
lembaga kejaksaan agung

memiliki basis legitimasinya

yang kuat

baik

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia maupun dalam ketatanegaraan Islam.

11

Meski pun dalam arti yang spesifik dalam sistem ketatanegaraan Islam tidak
eksplisit ditegaskan keberadaan institusi kejagung. Namun tugas dan fungsinya,
sebenarnya melekat sebagaimana dalam konsep Wilayatul Mazhalim maupun
Wilayatul Hisbah.
Asep Ridwan dalam tulisannya di website Pengadilan Agama Kalianda
Lampung Selatan yang berjudul “Hakim dalam Khazanah Islam Klasik”
menjelaskan tentang kekuasaan kehakiman pada masa Islam Klasik dalam
tulisannya menjelaskan sejarah perioderisasi kekuasaan kehakiman dari zaman
Rasulullah, khulafa al-rasyidin, bani Umayah sampai terakhir di zaman bani
Abbasiyah.15
Dari Jurnal Al-Ulum yang ditulis oleh Lomba Sultan UIN Alauddin
Makassar 2013 yang berjudul “ Kekuasaan Kehakiman dalam Islam dan
aplikasinya di Indonesia “ menjelaskan tentang kekuasaan kehakiman dalam
Islam yang dapat diteradpkan pada kekuasaan kehakiman di Indonesia. Untuk
dapat memberikan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat tanpa ada tebang
pilih, maka perlu ada pemikiran untuk menambah atau menyempurnakan badan
pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia dengan memasukkan badan
pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Islam, yakni wilayah al-hisbah dan
wilayah al-mazhalim. Kedua wilayah ini bila dapat diterapkan di Indonesia
harus

di

tangani

langsung

oleh

mengendalikannya, sebagaimana yang

15

Di

unggah

pada

kepala

Negara

dilakukan oleh

hari

kamis

(presiden)
Khalifah

22

untuk

Umar bin

Januari

http://www.pakalianda.go.id/gallery/artikel/195-hakim-dalam-khazanah-islam-klasik.html.

2015

12

Abdul

Azis

pada masa

Bani

Umayyah. Tampaknya,

pada masa

inilah

penegakan kebenaran dan keadilan betul-betul dapat dirasakan oleh masyarakat
tanpa ada tebang pilih antara satu dengan lainnya. Hal itu juga tercipta, karena
sebelum menerapkan hukum kepada orang lain, maka terlebih dahulu
membersihkan

hartanya

dari

sumber

keraguan

(syubhat)

yang

kemungkinan perolehannya samar-samar, dan dia memilih gaya hidup seperti
orang yang sufi.16
Dari ketiga tinjauan kajian terdahulu sangatlah berbeda dengan skripsi
yang penulis tulis. Pembahasan yang penulis teliti adalah pengelolaan peradilan
Islam pada era Abbasiyah. Jika pada review pertama tentang kedudukan “Jaksa
Agung pada Sistem Ketatanegaraan Islam”, maka skripsi penulis tentang
kedudukan kekuasaan kehakiman di masa Abbasiyah. Jika pada review kedua
tentang “Hakim dalam Khazanah Islam Klasik”, maka skripsi penulis tentang
manajemen hakim di masa Abbasiyah. Dan jika pada review ketiga tentang “
Kekuasaan Kehakiman dalam Islam dan Aplikasinya di Indonesia“, maka skripsi
penulis tentang manajemen kekuasaan kehakiman khususnya di masa Abbasiyah.
Tidak hanya itu penulis juga meneliti bagaimana perbandingan peradilan Islam
dari masa Rasulullah hingga masa Abbasiyah, mendeskripsikan praktik peradilan
masa Abbasiyah, serta menganalisis manajemen hakim masa Abbasiyah.
F. Kerangka Teori dan Konseptual
Pada masa daulah „Abbasiyyah pertama, peradilan atau mahkamah makin
berkembang pesat. Kemajuan dan perkembangan ini di landasi oleh 5 hal yaitu:
Lomba Sultan, “ Kekuasaan Kehakiman dalam Islam dan Aplikasinya di Indonesia”,
Jurnal Al-Umm, 2 Desember 2013, hlm, 435-452.
16

13

a) Jiwa

ijtihad

dalam berbagai

hukum

jatuh

merosot,

disebabkan

menonjolnya madzhab yang empat. Hakim menjatuhkan keputusan sesuai
dengan pendapat salah satu mazhab. Hakim di wilayah Irak menegakkan
hukum sesuai dengan mazhab Abu Hanifah. Hakim di Syam (Syiria) dan
Maghribi (Tunisia) menegakkan hukum sesuai dengan pendapat mazhab
Imam Maliki, hakim Mesir berpedoman kepada mazhab Syafi‟i.
b) Peradilan atau Mahkamah dipengaruhi oleh perkembangan politik karena
khalifah-khalifah Daulah Abbasiyah ingin melantik hakim-hakim yang
dapat menjalankan hukum syari‟at, sesuai dengan keinginan mereka.
Akhirnya banyak ahli hukum fiqih menolak dilantik menjadi hakim, sebab
mereka

khawatir

nanti

khalifah

akan

menekan

mereka

supaya

menjatuhkan hukuman bertentangan dengan hukum Islam.
c) Tokoh-tokoh „Abbasiyah membentuk lembaga Qadhi al Qudhah, yang
berfungsi sama dengan Kementerian Kehakiman. Badan ini yang melantik
dan

memberhentikan

hakim-hakim

baik

yang

berada

di

Pusat

Pemerintahan maupun di daerah-daerah.
d) Wewenang kekuasaan hakim makin luas, terutama sesudah data
menunjukkan jumlah persoalan yang masuk cukup banyak, dan meliputi
jinayah sosial. Hakim menyelesaikan sengketa, perkara wakaf dan wasiat.
Oleh sebab itu persoalan terlalu banyak, kadang-kadang diberi wewenang
kepadanya tugas yang menjadi tugas kepolisian, melaksanakan hukum
qisas, mengurus jabatan cukai dan Bait al-Mal (perbendaharaan Negara).

14

e) Di tiap-tiap daerah terdapat seorang hakim. Semasa wilayah kekuasaan
Daulah „Abbasiyah bertambah luas, maka di setiap wilayah dilantik
beberapa orang hakim yang mencerminkan empat mazhab. Setiap hakim
mengadili orang yang bersengketa sesuai degan mazhab yang dianutnya. 17
Maka jadilah Menteri Kehakiman atau Mahkamah Agung di era
Abbasiyah lebih luas wewenangnya dalam bidang hukum dari pada masa-masa
kini.
G. Metodologi Penelitian
Pada sub bab ini, diuraikan pendekatan penelitian, jenis penelitian, data
penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan metode analisis
data.
a. Pendekatan Penelitian
Pendekatan normatif adalah penelitian hukum kepustakaan, dimana dalam
penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam
penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut memiliki
ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku
harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
Pemerintah.18 Pendekatan yang penulis gunakan adalah:
a) Pendekatan historis, yaitu menelusuri praktik penegak hukum dan
pengelolaan peradilan Islam di era Abbasiyah dalam sejarah peradilan
Islam dari masa Rasulullah hingga masa Abbasiyah.

17

H.A Fuad Said, Ketatanegaraan menurut syari;at Islam, (Selangor Malaysia: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 2002), hlm. 256.
18

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian Hukum Normatif (Suatu tinjauan
singkat). Cet. IV, (Jakarta: Pt. Grafindo Persada, 1995), hlm. 23.

15

b) Pendekatan syar‟i, yaitu melakukan pengkajian dengan melihat sumbersumber hukum Islam dalam penegakkan hukum dan peradilan Islam.
b. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah studi kepustakaan (library
Search) yaitu bahan primer sebagai bahan pokok dari penelitian, bahan sekunder
dan bahan tertier yang akan mendukung penulisan skripsi ini, yang kemudian
dibahas, dianalisis, dan dituangkan dalam bentuk karya ilmiah. Oleh karena itu,
penelitian ini penulis lakukan melalui pendekatan normatif.
c. Sumber Data Penelitian
Dalam pengumpulan data kualitatif, ada data yang berupa bahan hukum
yang terdiri atas:
a. Bahan hukum primer, adalah bahan-bahan hukum yang mengikat. Adapun
bahan hukum primer yang penulis gunakan yaitu: Al-qur‟an, hadits.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan tentang
bahan hukum primer seperti: hasil-hasil penelitian, hasil karya dari
kalangan hukum, buku-buku. Bahan hukum yang sekunder yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bahan hukum yang dapat
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu berupa
literatur-literatur.
c. Bahan hukum tersier, adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.19
Bahan hukum tersier adalah: artikel, jurnal, ensiklopedia dan internet.
19

Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, hlm. 13.

16

d. Teknik Pengumpulan Data
Dalam hal ini penulis menggunakan teknik studi pustaka atau bahan
tertulis dengan mengadakan kajian, menelaah dan menyelusuri literatur yang
berkenaan dengan masalah yaitu Al-quran, hadits, buku, artikel, dan lain-lain.
e. Teknik Pengolahan Data
Adapun langkah-langkah mengumpulkan data melalui teknik studi pustaka
tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, menelaah bahan-bahan pustaka, baik
yang primer, sekunder, tersier yang berkaitan dengan judul penelitian. Kedua,
menyusun intisari dari makna dan informasi-informasi dalam bahan pustaka
tersebut. Ketiga, merekontruksi intisari makna tersebut dalam format tulisan yang
sesuai dengan kerangka pembahasan.
f. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Analisis isi kualitatif, yaitu menguraikan data melalui kategorisasikategorisasi serta pencarian sebab akibat dengan menggunakan teknik
analisis induktif (usaha penemuan jawaban dengan menganalisa berbagai
data untuk diambil sebuah kesimpulan).
b. Comparative Analysis, yaitu perbandingan dalam dua hal yang berbicara
pada substansi yang sama. Dalam penelitian ini terkait manajemen hakim
di masa Abbasiyah yang berpedoman pada buku-buku mazhab, bagaimana
perkembangan berbagai mazhab di masa Abbasiyah, serta perbandingan
peradilan Islam di masa Rasulullah hingga masa Abbasiyah.

17

H. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan ini penelitian ini terdiri dari lima bab. Untuk lebih
mudahnya penulis menggunakan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama tentang pendahuluan, pada bab ini berisikan latar belakang
masalah, batasan rumusan masalah, tujuan dan manfaat, kerangka konseptual
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua penulis akan menguraikan pengertian manajemen, pengertian
peradilan, sejarah singkat peradilan Islam, sejarah singkat munculnya bani
Abbasiyah, dan terakhir perioderisasi peradilan Islam.
Bab ketiga ini penulis mendeskripsikan praktik peradilan masa Abbasiyah
pertama dan kedua, kebijakan-kebijakan peradilan masa khalifah Abbasiyah,
kasus hukum yang terjadi pada waktu itu, dan pembuatan undang-undang masa
Abbasiyah.
Bab keempat penulis menganalisis manajemen hakim di masa Abbasiyah.
Pada bab ini berisikan pengangkatan hakim, pengaturan gaji hakim, sumber
hukum hakim, kewenangan hakim, pemecatan dan penggantian hakim, serta
kemajuan dan kemunduran peradilan masa Abbasiyah.
Bab Kelima Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran. Bab ini
merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik
beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis menengahkan
beberapa saran yang dianggap perlu.

18

Demikian sistematika dan garis besar pembahasan yang akan penulis tulis
dalam penulisan skripsi dan memberikan kemudahan pemahaman terhadap
keseluruhan isi skripsi ini.

BAB II
MANAJEMEN PERADILAN ISLAM
A. Pengertian Manajemen
Dalam beberapa literatur, dikemukakan bahwa istilah manajemen
mengandung makna yang sangat luas; yaitu manajemen sebagai suatu sistem
(management as a system), manajemen sebagai proses (management as a
process), manajemen sebagai fungsi (management as a function), manajemen
sebagai ilmu pengetahuan (management as a science), manajemen sebagai
kumpulan orang (management as a people), manajemen sebagai kegiatan yang
terpisah (management as a separate activity) dan manajemen sebagai suatu
profesi (management as a proffession).1
Dalam bukunya G.R Terry menyatakan bahwa manajemen merupakan
sebuah kegiatan; pelaksana disebut manajer dan proses pelaksanaannya disebut
manajemen. Manajemen mencakup kegiatan untuk mencapai tujuan, dilakukan
oleh individu-individu yang menyumbang upayanya yang terbaik melalui
tindakan-tindakan yang telah dilakukan sebelumnya. Hal tersebut meliputi
pengetahuan tentang apa yang harus mereka lakukan, menetapkan cara bagaimana
melakukannya, memahami bagaimana mereka harus melakukannya, memahami
bagaimana dan mengatur efektifitas dari usaha-usaha mereka.2
Dari beberapa definisi dan pendapat yang diberikan oleh pakar manajemen
di atas maka dapat diambil kesimpulan tentang manajemen sebagai berikut:
1

George R. Terry dan Leslie. Rue, Dasar-dasar Manajemen, (Jakarta: Bumi Aksara,
2008), lihat Hasanuddin, Manajemen Dakwah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), hlm. 1.
2

George R. Terry dan Leslie. Rue, Dasar-dasar Manajemen, hlm. 3.

19

20

a. Manajemen merupakan proses bekerja melalui orang lain untuk mencapai
tujuan organisasi.
b. Manajemen adalah aktivitas kelompok manusia yang bekerjasama serta
mempunyai tujuan dengan mempergunakan segala potensi yang ada.
c. Manajemen adalah alat untuk mencapai tujuan dengan efektif dan efisien.3
Menurut penulis uraian di atas menunjukkan bahwa manajemen mencakup
kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi dengan memperkuat segala potensi
yang ada untuk mencapai tujuan dengan efektif dan efisien.
B. Pengertian Peradilan
Kata peradilan berasal dari kata adil, dengan awal per dan akhiran an.
Kata peradilan sebagai terjemahan dari Qadha yang artinya memutuskan,
melaksanakan, menyelesaikan.4
Dalam bahasa Arab, peradilan disebut al-qadha yang secara etimologi
memiliki beberapa arti. Menurut Muhammad Salam Madkur arti qadha menurut
bahasa mempunyai beberapa arti:
1. al-qadha yang sepadan dengan kata al-faraaqh yang berarti putus atau
selesai seperti yang disebut dalam surat al-Ahzab ayat 37:

‫في أ ْ ا‬

‫ا ّْ ْم ين ح‬

‫ي نع‬

(Qs. ‫ ااح ا‬37) .

ْ‫ي‬

‫ط ا َجْ ك‬

ْ ‫ْي م‬

‫ف َّ قض‬

‫ن ط ا ك ن أمْ ا َ مفْع‬
َ ْ ‫أدْعي ئ ْم ا قض ْا م‬

Artinya: “Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraiannya), kami nikahkan dia (Zainab) kepada engkau agar tidak
3

4

Hasanuddin, Manajemen Dakwah, hlm. 3

Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir (Kamuas Arab Indonesia), (Jakarta: t. Pn, 1996),
Cet. Pertama, hlm. 1215.

21

ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluan terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi ”.
2. Al-adaa‟ yang bermakna menunaikan atau membayar, seperti Muhammad
telah membayar utangnya (qadha Muhammadun dainuhu) seperti frman
Allah QS. Al-Jumuah (62) ayat 10.

َ ‫ا ْك ا ا‬

َ ‫ف نْ ش ا في ا ْأ ْض ابْ غ ا منْ فضْ ا‬

َّ ‫ف ا قضيت ا‬

(Qs. ‫ ا جّ ع‬10) .‫ك ي ا عَ مْ تفْ ح ن‬
Artinya: “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di
bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu
beruntung.”
3. Al-hukmu yang mempunyai arti mencegah atau menghalang-halangi. Dari
kata inilah maka qadhi-qadhi disebut sebagai hakim, karena mencegah
terjadinya kezaliman orang yang mau berbuat zalim.
4. Arti lain dari kata qadha adalah memutuskan hukum atau membuat suatu
ketetapan.5
Kemudian secara terminologi, peradilan atau qadha memiliki beberapa
makna, antara lain:
1. Kekuasaan yang dikenal (kekuasaan yang mengadili dan memutuskan
perkara).

5

Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha fil Islam, Terjemahan: Imron AM dengan judul
Peradilan dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), hlm. 19-20.

22

2. Menyelesaikan perkara pertengkaran untuk melenyapkan gugat menggugat
dan untuk memotong pertengkaran dengan hukum-hukum syara‟ yang
dipetik dari Al-qur‟an dan sunnah.6
Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tugas peradilan
adalah menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan suatu
hukum karena hukum Islam (Syari‟at) telah ada sebelum manusia ada. Dalam hal
ini hakim hanya menetapkan hukum yang sudah ada dalam kehidupan, bukan
menetapkan sesuatu yang belum ada. Di Samping itu, seperti yang diungkapkan
oleh Ibnu Abidin, ada pula ulama yang berpendapat bahwa peradilan berarti
menyelesaikan suatu sengketa dengan hukum Allah. 7
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa peradilan adalah
lembaga yang mempunyai kekuasaan umum untuk mengadili dan memutuskan
perkara antara dua orang atau lebih untuk menegakkan hukum dan keadilan
dengan berlandaskan Al-qur‟an dan Hadits. Dalam peradilan selalu terkait unsurunsur seperti pertama, hukum syara‟ yang digunakan sebagai dasar dalam
memutuskan perkara. Kedua, orang yang bertugas menjatuhkan hukum yakni
hakim. Ketiga, kompetensi dan yuridiksi lembaga peradilan yang menjadi
wewenang dalam menyelesaikan perkara. Keempat, ada pihak penggugat dan
tergugat. Kelima, ada kasus yang diperselisihkan. Keenam, putusan hakim itu
mengikat para pihak. Ketujuh, penegakkan hukum dan keadilan bagi umat
manusia.

6

Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) hlm. 10.

7

Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, hlm. 30.

23

C. Sejarah Singkat Peradilan Islam
Peradilan sudah dikenal jauh sebelum Islam datang. Hal ini di dorong oleh
kebutuhan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, peradilan sudah dikenal sejak
masa-masa awal manusia berkumpul dan memperluas bentuk kesepakatan, lalu
dapat berdiri tanpa menegakkan peradilan karena tidak mungkin satu masyarakat
manusia dapat menghindari dari persengketaan seperti sebelumnya, peradilan di
pandang suci oleh semua bangsa-bangsa di masa lalu dalam tingkatan
kemajuannya. Rasionya adalah penegakkan peradilan berarti memerintahkan
kebaikan dan mencegah bahaya kezaliman.8
Peradilan bagi bangsa Arab pra Islam dapat dikatakan belum memiliki
bentuk maupun sistem peradilan yang mapan. Namun, mereka telah memiliki
qadhi untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Mereka pada umumnya
berpegang pada tradisi (kebiasaan) dan adat istiadat yang berlaku di masig-masing
kabilah (suku) untuk menjadi pedoman utama dan menyelesaikan berbagai
persoalan. Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa‟ri) yang biasa dilakukan
oleh suku-suku Arab pra Islam dan menjadi jalan ke luar dari kasus-kasus pidana,
terutama terkait dengan pidana kematian jiwa, pada kenyataanya justru sering kali
menyebabkan semakin runcingnya sebuah persoalan dan berkepanjangan suatu
kasus.9
Dari uraian diatas penulis simpulkan bahwa peradilan sudah ada sejak
adanya manusia di dunia ini, hanya saja bentuk peradilan pada masa itu belum

8

Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 8

9

Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 29

24

dapat dikatakan peradilan-peradilan seperti sekarang karena belum memiliki
sIstem peradilan yang mapan.
D. Sejarah Singkat Munculnya Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Dinasti Bani Umayyah.
Dinamakan Abbasiyah karena pendiri Dinasti ini adalah keturunan dari alAbbas.10
Sebelum runtuhnya Daulah umawiyah muncul gerakan Ahlul Bait. Ahlul
bait itu gabungan gerakan Ahlu Syi‟ah dengan keturunan-keturunan Nabi. Dan
mereka masih bersekutu karena Bani Umayyah itu bukan dari keturunan Nabi.
Muawiyah dari Bait Umawi sementara Nabi dari Bait Hasyimi. Jadi ada dua
keluarga besar, sebenarnya mereka bersaudara tapi mereka menjadi bersaing
untuk memperebutkan

kekuasaan di Mekkah. Bait Hasyimi keturunan-

keturunannya nasabnya menyambung ke Nabi Muhammad SAW sedangkan Bait
Umawi keturunan-keturunannya nasabnya bersambung ke Abu Sofyan kemudian
Muawiyah. Bait Hasyimi di sebut dengan Ahlul Bait, karena dari keluarga
merekalah muncul kenabian. Timbul pertanyaan mengapa Abu Sofyan tidak mau
masuk Islam padahal sahabat-sahabat yang lain masuk Islam dan mengapa
Muawiyah itu belum masuk Islam kecuali sampai Mekkah di taklukkan, karena
mereka merasa gengsi dan sakit hati karena kenabian munculnya di Bait Hasyimi
bukan dari Bait Umawi. Dan ketika Daulah Muawiyah ini mulai lemah akhirnya
orang-orang Bait Hasyimi keturunan paman-paman Nabi bersekongkol untuk
10

Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu al-Abbas bin Abdul Muthallib bin Hasyim. Para
pemimpinnya disebut khalifah, tetapi derajatnya lebih tinggi dari gelar Khalifah di zaman dinasti
Umayyah. Khalifah-khalifah Abbasiyah mempatkan diri mereka sebagai zhilullah fi al-ardh
(bayang-bayang Allah di bumi). Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2011) hlm. 91.

25

merebut kekuasaan. Semula yang menjadi calon Khalifah adalah orang „alawi
orang-orang keturunan dari Ali bin Abi Thalib kemudian pindah kekuasaan dan
kepemimpinannya ke keturunan Abbas paman Nabi.11
Daulah Abbasiyah tadinya gerakan bawah tanah kemudian setiap
pemimpinnya yang wafat, ia menunjuk pengganti supaya menjadi penerusnya
merebut kekuasaan dari Daulah Umawiyyah. Sebelumnya yang memimpin adalah
orang-orang „alawi dari keturunannya Ali terus menerus, suatu ketika ia
menunjuk penggantinya itu dari keturunan Abbas bukan keturunan Ali. Pada saat
ia memimpin berkembanglah kekuasaannya. Kemudian Daulah umawi melemah
dan beliau berhasil menguasai pos-pos penting akhirnya menang.12
Kekuasaan Bani Abbasiyah ini berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang dari tahun 132 H/ 750 M sampai 656 H/ 1258 M. Dinasti ini mampu
bertahan lebih dari lima abad hingga datangnya serangan pasukan Mongol pada
tahun 656/1258.13
Abu Musa al-Abbas al-Safah (750-775 M) adalah pendiri Dinasti Bani
Abbas. Akan tetapi karena kekuasaannya sangat singkat, Abu Ja‟far alManshurlah (754-775 M) yang banyak berjasa dalam membangun pemerintahan
dinasti ini. Pada 762 M, Abu Ja‟far al-Manshur memindahkan ibu kota dari
Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian di pindahkan lagi ke Baghdad dekat dengan
Ctesiphon, bekas ibukota Persia. Oleh karena itu ibukota pemerintahan Dinasti
11

Muhammad Al-Khudriy, Daulah Abbasiyah, (Mesir: Darul Ma‟arif beirut, 1999), hlm

12

Muhammad Al-Khudriy, Daulah Abbasiyah, hlm 136.

135.

Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas‟adi. Cet. 2.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm 1.
13

26

Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Abu Ja‟far al-Manshur sebagai
pendiri Dinasti Abbasiyah setelah Abu Abbas al-Saffah, digambarkan sebagai
orang yang kuat dan tegas. Di tangannyalah Abbasiyah mempunyai pengaruh
yang kuat. Pada masa pemerintahannya Baghdad sangatlah disegani oleh
kekuasaan Byzantium.14
Dinasti Abbasiyah menjalankan pemerintahan dengan bantuan keluarga
Barmakiyyah, sebuah keluarga keturunan Persia yang berasal dari Balk. Sebelum
masuk Islam, beberapa generasi keluarga ini adalah orang yang cakap dalam
pemerintahan dengan jabatan wazir dan menteri, dan mereka mengembangkan
peradaban Arab Persia yang mencapai kemajuan pada masa pemerintahan Harun
al-Rasyid dan beberapa waktu sesudahnya. Namun pada masa akhir pemerintahan
Harun al-Rasyid ia menghukum keluarga Barmakiyyah dengan membunuh wazir
pertama yaitu Ja‟far ibn Yahya Barmak. Saudara dan ayahnya dijebloskan ke
penjara hingga meninggal. Sikap Harun yang aneh itu menandai perubahan
sejarah Abbasiyah, tidak lama kemudian kekuasaan Abbasiyah benar-benar
lenyap dari tangan mereka. Dua putra Harun al-Amin dan al-Makmun, secara
berturut-turut menggantikan kedudukan ayahnya untuk wilayah Barat dan Timur,
sedangkan al-Qasim putra Harun yang ketiga, sebagai gubernur untuk wilayah
Selatan. Persaingan antara keduanya menimbulkan peperangan berdarah yang
mengantarkan al-Makmun ke singgasana Abbasiyah. Masa pemerintahan alMakmun membuka masa lembaran baru sejarah Abbasiyah.15

14

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2000), hlm.

15

Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas‟adi. hlm 2.

49-50.

27

Di Daulah Abbasiyah sering sekali timbulnya pemberontakan yang
dilakukan oleh orang keturunannya Ali bin Abi Thalib. Keturunan Ali ini
melakukan protes pada waktu Khalifah al-Ma‟mun bin Harun al-Rasid yang
berkuasa. Khalifah Makmun sebelumnya ia ingin menyerahkan Khilafah kepada
keturunannya Ali. Untuk menarik simpati kalangan Syiah, al-Makmun
mengangkat imam Syiah yang bernama „Ali al-Rida sebagai putra mahkota dan
sang khalifah berkenan menikahkan anak perempuannya kepada sang Imam.
Bendera hitam Abbasiyah digantikan dengan bendera keluarga Ali yang berwarna
hijau. Rakyat Iraq memberontak dan mengangkat Ibrahim sebagai khalifah.
Kemudian Imam „Ali al-Rida terbunuh lantaran terserang racun.16
Sebelum meninggal ia pernah berkata kepada Al-Ma‟mun bahwa dirinya
lebih berhak atas Khilafah karena Ali bin Abi Thalib sebagai menantu Rasul
suami dari anak Nabi yaitu Fatimah, dan Al-Ma‟mun juga mengatakan bahwa
nasabnya lebih dekat ke Rasul, karena kakeknya dari keturunan Abbas, dan Abbas
ini adalah Pamannya Rasul, sedangkan bapaknya Ali bin Abi Thalib paman Rasul
juga yaitu Abu Thalib, tetapi Abu Thalib ini tidak pernah masuk Islam sampai
wafatnya, sedangkan Abbas termasuk orang-orang pertama yang masuk Islam,
jadi Abbas itu lebih berhak menjadi Khalifah karena secara nasab saja dekat
dengan Nabi sama-sama Bait Hasyimi pamannya dan secara keislamannya semua
keturunannya jelas masuk Islam sebelum wafat.17
Bagi para pendukung Ali, khalifah-khalifah Abbasiyah adalah orang yang
merebut kekhalifahan, dan khalifah yang sah adalah para Imam berasal dari
16

Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas‟adi. Hlm 3.

17

Muhammad Al-Khudriy, Daulah Abbasiyah, hlm. 137.

28

keturunan Ali dan fatimah. Para pendukung Ali selalu menjadi ganjalan dalam
perpolitikan Islam dan bersikeras mengklaim bahwa para Imam mereka adalah
pewaris kepemimpinan Nabi.18
Al-Mu‟tashim saudara dan penerus al-Makmun membina prajurit Turki
menjadi militer kerajaan. Merasa tidak aman di Baghdad, ia mendirikan ibu kota
ke Samarra. Ibu kota Samarra‟ ini berlangsung hingga khalifah al-Mu‟tamid
kembali ke Baghdad, ini mengawali kemunduran politik Abbasiyah karena
kalangan militer Turki mulai memegang kendali kekhalifahan semenjak masa
pemrintahan Al-wathiq, dan akhirnya menjadi penguasa yang sesungguhnya.19
Pada akhirnya pasukan Mongol ini dengan mudah menghancurkan
Abbasiyah, di tengah terjadi perselisihan kekhalifahan, kalangan Syi‟ah yang
menentang pemerintahan Abbasiyah membuat pasukan Mongol tidak menemukan
rintangan dalam menghancurkan Abbasiyah.20
E. Perioderisasi Peradilan Islam
1. Peradilan Pasa Masa Rasulullah
Allah telah memerintahkan Nabi-Nya untuk membimbing dan agar
memutuskan hukum dengan apa yang Ia turunkan