Sejarah Baru Peradilan Islam Indonesia

INSIGHT

Ayang Utriza, DEA., Ph.D:

Menguak Fakta Baru
Sejarah Peradilan Islam di Indonesia

Sekitar medio Juli 2014, tim
redaksi Majalah Peradilan Agama
bertandang ke kampus Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Jakarta. Maksudnya
untuk mewawancari Dekan FSH yang
pada waktu itu masih dijabat oleh Dr.
J.M. Muslimin. Di area parkiran, tim
redaksi bertemu dengan Prof. Mark
Cammack, guru besar Southwestern
Law School, Los Angeles, California,
Amerika Serikat. Prof. Mark ini dikenal
sebagai pemerhati hukum Islam dan
peradilan agama di Indonesia. Ia

banyak meneliti dokumen-dokumen
putusan pengadilan agama tempo
dulu.
Karena sudah saling mengenal
dan bahkan akrab satu sama lain, tim
redaksi pun kemudian ngobrol
tentang berbagai hal dengan professor
nyentrik yang selalu mengikat rambut
panjangnya ini. Sampai kemudian
percakapan menyentuh tentang kajian
p e ra d i l a n a g a m a b e rd a s a r k a n
98

dokumen masa lalu. Dengan sangat
antusias Prof. Cammack menyinggung
tentang adanya kajian baru atas
manuscript peradilan agama dari
zaman Kesultanan Banten. Yang
mengkaji adalah Doktor lulusan
Perancis asal Indonesia, namanya

Ayang Utriza. Hasil kajiannya bagus
sekali, kata Prof. Cammack waktu itu.
Kemudian sekitar akhir Februari
2016, tim redaksi membaca artikel
tulisan tokoh yang dibicarakan Prof.
Cammack tersebut di Jurnal Studia
Islamika Vol. 22, Number 3, 2015.
Judulnya, “The Register of the Qadi
Court Kiyahi Peqih Najmuddin of the
Sultanate of Banten, 1754-1756 CE.”
Tulisan setebal 35 halaman itu
merupakan intisari hasil riset Dr.
Ayang Utriza di University of Oxford,
Inggris dan Harvard University,
Amerika dalam kurun waktu 20122 0 1 3 . Aya n g U t r i z a s e n d i r i
menyelesaikan S2 dan S3 di Ecole des
Hautes Etudes en Sciences Sociales
(EHESS), Paris, masing-masing pada
tahun 2005 dan 2013.
Hasil penelitian Ayang Utriza atas

Arsip Kadi Kesultanan Banten abad ke18 itu mengungkapkan banyak fakta
dan sejarah yang belum banyak
diketahui tentang qadi yang
merupakan cikal bakal peradilan
agama di Indonesia. Misalnya tentang
jenis perkara yang menjadi
kompetensi absolut qadi, tempat
pelaksanaan sidang, hukum acara dan
materil yang digunakan, dan lain
sebagainya.
Kajian Doktor Sejarah Hukum
Islam dan Hukum Adat yang juga
alumni UIN Jakarta ini merupakan
kajian yang diambil dari sumber
primer referensi tertua yang berasal
dari Indonesia. Seperti diakui Ayang

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016

Utriza, catatan pengadilan (sijill/buku

register perkara) yang diterima dari C.
Snouck Hurgronje dan tersimpan di
Perpustakaan Universitas Leiden,
Belanda ini merupakan dokumen
tertua di Asia Tenggara. Hal ini
terkonfirmasi dengan kenyataan
bahwa pada umumnya, bahan kajian
sejarah hukum dan peradilan agama di
Indonesia diambil dari sumbersumber pada abad ke-19 atau ke-20.
Dr. Ayang Utriza yang mahir
berbahasa Inggris, Arab, Perancis dan
jago membaca teks bahasa Belanda,
Jerman, dan sedikit Persia ini di selasela kesibukannya berkenan
menerima tim redaksi untuk dimintai
tanggapannya tentang kajian-kajian
yang menjadi concern-nya selama ini.
Berikut adalah petikan
wawancaranya:

Fokus kajian disertasi Bapak

menggunakan ilmu Sejarah dan
Filologi. Bisa diceritakan kenapa
tertarik di bidang tersebut?

Jika mau jujur, sebenarnya saya
masuk jurusan sejarah dan filologi itu
merupakan “kecelakaan sejarah”. Saat
saya di Kairo, saya ditawarkan masuk
jurusan kajian naskah (ilm almakhtutat) di Universitas Liga Arab,
tetapi saya menolak karena saya pikir
ilmu pernaskahan itu ilmu “kurang
keren.” Tetapi, justeru saat saya belajar
di Prancis, malah saya masuk jurusan
sejarah yang di dalamnya saya belajar
filologi, epigrafi, arkeologi, bahkan
belajar juga antropologi, etnologi, dan
sosiologi. Di kampus saya di EHESS
(Ecole des Hautes Etudes en Sciences
Sociales) adalah kampus ilmu-ilmu
sosial dan kemanusian yang

menggunakan pendekatan

INSIGHT

interdisiplin. Jadi, kita belajar semua
disiplin ilmu sosial dan kemanusiaan
dengan sejarah sebagai pendekatan
utama. Ini adalah mazhab Fernand
Braudel dengan l'histoire totale
(sejarah menyeluruh).

Saat belajar Sejarah di S-2 dan
belajar Filologi saat S-3, saya juga
belajar hukum Islam. Jadi, selama
belajar 7 tahun di Prancis, saya tetap
kuliah hukum Islam di EHESS itu juga,
tepatnya di lembaga yang bernama
IISMM (Institut d'etudes de l'Islam et
des societes du monde musulman).
Jadi, saya belajar sejarah, filologi, dan

h u k u m I s l a m s e k a l i g u s . S aya
bersyukur telah belajar Sejarah dan
Filologi untuk memperkuat ilmu dasar
saya, yaitu hukum Islam
(fikih/syariah). Hal ini memperkaya
cara pandang saya dalam melihat
hukum Islam.

Mengapa Bapak memilih mengkaji
sejarah hukum Kesultanan Banten
abad ke-17 dan ke-18? Mengapa
tidak memilih sejarah hukum
Kesultanan lainnya?

Saat menulis tesis master tentang
sejarah hukum Islam di Asia Tenggara
abad ke-14 sampai abad ke-17, saya
telah mempelajari historiografi
Indonesia dan Asia Tenggara dengan
membaca hampir 500 buku dan

artikel, dan saya temukan sedikit
bahan untuk menulis tema tersebut.
Dari sana, saya hanya dapat menulis
tentang kesultanan Samudera-Pasai,
Terengganu, Kesultanan Melaka, dan
Kesultanan Aceh. Adapun kesultanan
yang lain hampir tidak ada bahan
untuk menuliskannya dan kalaupun
ada, itu hanya serpihan-serpihan
informasi.

Namun, berkat informasi dari
pembimbing saya: Prof. Claude Guillot,
saya diberitahu bahwa ada satu
kesultanan yang meninggalkan
sumber penting tentang qadi, yaitu
kesultanan Banten. Saya pun dikirim,
saat S-2 pada 2004, ke Universitas
Leiden untuk melacak naskah-naskah
Banten itu dan ternyata benar adanya.

Ini adalah sumber luar biasa yang

belum disentuh oleh para pengkaji
hukum Islam. Setelah selesai S-2 pada
Juni 2005, saya pun disarankan untuk
melanjutkan S-3 dengan fokus kajian
pada naskah-naskah Banten itu.
Karena naskah itu cukup banyak dan
s u l i t , m a k a p e m b i m b i n g s aya
menyarankan membahas 1 naskah
saja, yaitu Undhang-Undhang Banten
(UUB).

Subhanallah, kajian naskah atas
UUB menjadi jalan akademik saya dan
membuka jalan ke Universitas Oxford
(2012) dan Universitas Harvard
(2013) untuk melakukan penelitian
hukum Islam dengan membahas
naskah qadi Banten yang lain dan di

sana status saya sebagai visiting
fellow. Banyak peneliti hukum Islam di
Eropa yang tertarik dengan catatan
hukum qadi Banten dari abad ke-18
ini.

Oiya, Bapak juga memperoleh
penghargaan tertinggi (summa cum
laude) untuk disertasinya. Kira-kira
faktor apa yang membuat Bapak
memperoleh predikat tersebut?
Kuncinya apa?
Saya butuh waktu 5 tahun untuk
menulis disertasi tersebut. Saya pikir
pencapaian itu berkat ketekunan,
kerja-keras, dan kedisiplinan yang
tinggi. Siapapun yang pernah menulis

disertasi doktor di luar negeri akan
menyetujui pendapat saya. Hasil yang

diraih adalah perjalanan panjang
keilmuan. Saya menulis sesuatu yang
kecil, tetapi sangat dalam dan teliti,
dan yang paling penting memberikan
sumbangsih keilmuan pada bidang
kajian dan tema kajian kita. Saya tentu
sangat puas dari kerjakeras saya dan
itu diganjar dengan penghargaan
tersebut. Kuncinya tidak lain adalah
ketekunan dan kerja-keras yang tak
kenal lelah.

Jadi secara garis besar, apa yang
dapat diambil sebagai pelajaran
bagi masyarakat Islam di Indonesia,
khususnya Peradilan Agama, dari
hasil penelitian Bapak seperti yang
tertuang dalam disertasi Bapak?

Banyak pelajaran yang bisa diambil
dari kajian disertasi saya, antara lain
bahwa satu hukum itu sangat
dipengaruhi oleh agama yang dianut
oleh penguasa. Saat Jawa dikuasai oleh
raja-raja beragama Hindu dan Budha,
maka hukumnya pun dipengaruhi
banyak oleh ajaran dan sistem agama
tersebut, seperti kitab hukum Agama
dari masa Majapahit atau
Kutaramanawa Dharmasastra dan
kitab hukum lainnya. Selanjutnya, saat
islamisasi Jawa yang dimulai pada
abad ke-15, maka hukum baru pun

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016

99

INSIGHT

diperkenalkan, yaitu hukum Islam,
dan lambat laun memengaruhi hukum
setempat. Di sana mulai terjadi
pengenalan hukum Islam, lalu
campuran antara hukum adat yang
berbau Hindu dan Budha (sebagai
hukum lama) dengan hukum Islam
(sebagai hukum baru).

Saling memengaruhi dalam
hukum terjadi begitu alamiah dan
diterima dan disesuaikan dengan adat
setempat. Dalam konteks Banten,
misalnya, sudah ada kemajemukan
hukum atau pluralisme hukum, yaitu
hukum adat-Jawa, hukum Islam, dan
hukum Eropa.

Menurut hasil penelitian Bapak,
sumber hukum di Banten
berdasarkan UUB adalah hukum
adat, hukum Islam, dan hukum
Eropa. Apa benar demikian?

Berdasarkan penelitian disertasi
doktor saya terhadap satu naskah dari
Banten yang tersimpan di Universitas
Leiden, yaitu Undhang-Undhang
Banten (UUB) dari abad ke-17 dan ke18, menunjukkan bahwa hukum di
Banten bersumber dari tiga hukum:
hukum adat, hukum Islam, dan hukum
“Eropa”. Jelasnya, 80 persen isi dari
UUB bersumber dari hukum adat, 15
persen, dan 5 persen dari hukum
Eropa. Hukum adat berkait dengan
seluruh aspek hukum (perdata,
pidana, publik), sementara hukum
Islam hanya menyangkut aspek
hukum keluarga Islam (nikah, cerai,
dan waris), adapun hukum Eropa
terkait dengan hukum perjanjian
antara Banten dengan Belanda.

Apakah pluralisme sumber hukum
yang sekarang berlaku di Indonesia
mempunyai kaitan erat dengan
pluralisme hukum pada masa lalu di
Indonesia?

Kemajemukan (pluralisme) hukum di
Indonesia saat ini sesungguhnya
adalah cermin dan warisan budaya
hukum Nusantara pada masa lampau.
Pluralisme hukum lahir dari rahim
budaya masyarakat Nusantara dan
100

bukan gagasan yang diimpor dari luar
Nusantara. Masyarakat Indonesia
sejak dulu sudah terbiasa dengan
ragam hukum yang berbeda untuk
mengatur masyarakat yang beragam
pula. Nah, penjajah Belanda sangat jeli,
cerdik, dan pintar. Mereka tahu
pluralisme hukum yang sudah ada di
Nusantara dan mereka gunakan untuk
kepentingan politik hukum mereka.

Belanda memasukkan khazanah
pluralisme hukum di tengah
masyarakat kita ke dalam hukum
positif Hindia-Belanda, yaitu di dalam
Indische Staatregeling, semacam UUD
Hindia-Belanda. Di dalam pasal 131
dan pasal 163 dinyatakan tiga hukum
berlaku untuk tiga golongan, yaitu
hukum adat bagi Bumiputera (pribumi
Islam maupun Kristen), hukum Eropa
bagi golongan Eropa (Belanda dan
Jepang), dan hukum negara asal
mereka bagi golongan Timur-Asing
(Tionghoa, India, dan Arab).

Bagaimana posisi hukum Islam
dibandingkan dengan dua sumber
hukum lainnya tersebut pada masa
Kesultanan Banten? Bagaimana jika
ada pertentangan antara ketiganya
dalam persoalan yang sama?
Sumber hukum apa yang
didahulukan?
Hukum Islam di Banten berlaku untuk
soal-soal kekeluargaan, seperti nikah,
cerai, rujuk, dan waris. Semua
persoalan hukum keluarga diatur oleh
hukum Islam. Adapun bidang hukum
yang lain diatur oleh hukum Adat,
sementara bidang hukum
yang terkait dengan soal
p o l i t i k d a n e ko n o m i
diatur oleh Sultan.
Menariknya semua aspek
hukum di Banten diurus
dan merupakan
kewenangan Qadi (hakim
agama) yang bergelar
Kiyahi Peqih Najmuddin.
Kompetensi absolut Qadi
di Banten adalah semua
bidang hukum, kecuali
soal hukum tata-negara
(peralihan kekuasaan)

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016

merupakan wilayah kewenangan
Sultan dan hukum ekonomi wilayah
kewenangan Syahbandar. Hukum
pidana, perdata, perjanjian, publik dan
lainnya adalah wilayah kewenangan
Qadi. Jadi, Pengadilan Qadi di Banten
menerima semua kasus hukum yang
terjadi di tengah masyarakat Banten.
Pengadilan Qadi adalah satu-satunya
pengadilan yang ada dan diakui di
Kesultanan Banten. Jika terjadi
pertentangan antara hukum Islam dan
hukum adat, maka Qadi lebih memilih
hukum adat.
Kok bisa begitu? Mengapa hukum
adat yang lebih dipilih?

Pengadilan Qadi Kiyahi Peqih
Najmuddin di Banten tidak
membedakan antara kasus perdata,
pidana, keluarga, dan lainnya. Hukum
adat yang diambil dan dijadikan salah
satu sumber hukum oleh Qadi adalah
bentuk pengejawantahan dari salah
satu konsep di dalam Usul Fikih
(Filsafat Hukum Islam), yaitu al-'âdat
al-muhakkamah yang berarti adat
adalah sumber hukum sepanjang tidak
bertentangan dengan Alquran dan
Hadis. Walaupun ia berasal dari
hukum adat, ia telah 'di-islam-kan'
oleh Qadi dan diterima sebagai bagian
dari hukum Islam. Qadi Banten
menjadikan hukum adat sebagai
sumber utama perundangan dan
keputusan hukum, karena Qadi paham
betul konsep hukum Islam dan
mengerti adat-istiadat dan budaya
setempat.

INSIGHT


Di dalam kinerja Qadi, ia
m e n g e r t i ko n s e p i j t i h a d ya n g
memberikan kebebasan qadi untuk
melakukan penafsiran dan
penelaahan hukum atas soal hukum
yang dihadapinya. Karena Banten
a d a l a h m a sya ra ka t J awa ya n g
berasaskan budaya dan adat Jawa,
maka qadi Banten mengambil budaya
dan adat Jawa sebagai bagian dari
ijtihad hukumnya. Di dalam filolosofi
budaya jawa adalah istilah “rasa”
(baca: roso), yaitu segala sesuatu
harus dirasakan oleh hati jika hal itu
sudah baik, benar, dan patut.

Nah, qadi Banten juga didorong
oleh filsafat budaya Jawa “roso” ini,
sehingga setiap keputusan hukumnya
telah sesuai dengan adat dan istiadat
masyarakat Banten saat itu. Ini adahal
yang luar biasa untuk masa itu. Para
hakim di Pengadilan Agama di seluruh
Indonesia atau bahkan semua hakim


Kedudukan Qadi di Kesultanan
Banten merupakan kedudukan
tertinggi, setelah Sultan dan Perdana
Menteri. Tegasnya, Qadi adalah
penanggung jawab tertinggi di dalam
bidang hukum. Kalau di dalam sejarah
hukum Islam, ia seperti Qâdi al-Qudât
(Hakim Agung) di masa Khilafah
Umayyah dan Khilafah Abbasiyyah.
Qadi Kiyahi Peqih Najmuddin adalah
Menteri Kehakiman, Hakim Agung,
dan Kadi dan Hakim sekaligus. Kiyahi
Peqih Najmuddin juga memiliki
pegawai atau staf atau wakil dalam
menjalankan tugas dan fungsinya,
yaitu: jaksa, paliwara, hakim, pangulu,
dan lainnya. Qadi memiliki struktur
hingga ke pedesaan di seluruh wilayah
Kesultanan Banten. Pangulu adalah
wakil Qadi yang tersebar di daerahdaerah yang jauh dari pusat kekuasaan
Kesultanan Banten.

Jadi, Qadi di masa Kesultanan

di semua pengadilan harus belajar dari
Qadi Banten bahwa mengambil
keputusan harus mempertimbangkan
budaya dan adat setempat dan rasa
kemanusiaan yang tinggi.

Banten dapat dikatakan sebagai
bentuk dan contoh pengadilan agama
modern yang administrasinya cukup
maju pada masanya.

Baik. Selanjutnya, bagaimana
kedudukan qadi (hakim agama)
pada masa Kesultanan Banten?

Menurut Bapak, sejak kapan hakimhakim Peradilan Agama di
Indonesia 'murni' menggunakan
hukum Islam yang bersumber dari

kitab-kitab fiqh?
Kalau yang dimaksud hukum Islam
“murni” dalam arti hukum yang
bersumber dan merujuk pada kitabkitab fikih, maka sudah sejak awal para
hakim di peradilan agama di Indonesia
merujuk pada kitab-kitab fikih. Kalau
kita membaca putusan-putusan hakim
agama di PA, sebelum adanya
Kompilasi Hukum Islam Inpres RI no. 1
tahun 1991 atau bahkan sebelum
adanya UU Perkawinan no. 1/1974,
maka para hakim merujuk langsung
pada kitab-kitab fikih, bahkan
mengutipkan ibarat atau teks dari
kitab-kitab tersebut disertai nama
pengarang, nama kitab, juz dan
halaman yang dikutip.

Dengan demikian, kita dapat
menilai pemahaman fikih dan
kemampuan membaca kitab klasik
para hakim agama dulu itu sangat baik.
Setelah adanya KHI, para hakim
merujuk pada KHI 1991 dan UU no.
1/1974 dan peraturan perundangan
lainnya. Para hakim menjauh dari
tradisi fikih klasik. Di satu sisi ini
bagus, karena tidak semua persoalan
yang terjadi pada masa kini dapat
dijumpai atau dikiyaskan dengan apa
yang sudah dibahas oleh para fukaha
di dalam kitab-kitab fikih tersebut. Di
sisi lain, keunikan para hakim agama
yang dulu biasanya merujuk pada
kitab klasik itu tidak ada lagi. Semua
sudah ada di perundang-undangan.

Jadi, UU Perkawinan no. 1/1974
dan KHI yang pada awalnya dianggap
s e b a ga i p e n g e j awa n t a h a n d a n
turunan dari hukum Islam, maka
proses yang terus terjadi sekarang
telah menjadikan hukum Islam
sebagai hukum positif seperti hukum
lainnya.

Apakah Bapak mengikuti
perkembangan Peradilan Agama di
Indonesia? Bagaimana pandangan
pribadi Bapak mengenai Peradilan
Agama dahulu dan kini?

Saya mengikuti perkembangan
Peradilan Agama sejak saya menjadi
mahasiswa di IAIN Ciputat. Saya

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016

101

INSIGHT

menilai bahwa Peradilan Agama dulu,
seperti pada Qadi Kiyahi Peqih
Najmuddin di Kesultanan Banten
memiliki wewenang yang lebih luas.
Semua aspek hukum masuk ke dalam
kompetensi absolut Pengadilan Qadi.
Hal ini dapat dipahami, karena bentuk
'negara' Banten saat itu adalah
ke s u l t a n a n . D a l a m p a n d a n ga n
pemikiran politik Islam klasik,
kesultanan salah satu corak dari
sistem pemerintahan Islam. Jadi,
cukup wajar jika wewenang
Pengadilan Qadi di Banten saat itu
sangat luas. Keadaan ini berbalik
setelah Indonesia merdeka,
pengadilan agama hanya salah satu
dari 4 peradilan yang diakui.

Lebih sedih lagi, nasib Pengadilan
Qadi yang ada di seluruh HindiaBelanda saat penjajahan. Peradilan
Kadi dan Mahkamah Agama semasa
penjajahan “ditundukkan dan
direndahkan” oleh pemerintah
kolonial Belanda menjadi pengadilan
kelas dua, bahkan kelas tiga. Politik
hukum Belanda ini terus berjalan
hingga kemerdekaan Indonesia.
Bahkan, setelah merdeka pun
keputusan pengadilan agama harus
mendapatkan kekuatan hukum dari
pengadilan negeri. Ini tragis sekali!

Baru 30 tahun belakangan ini,
Peradilan Agama bisa menunjukkan
marwahnya setelah keluar UU
Peradilan Agama no. 7 tahun 1989.
Untuk terus meningkat kewibawaan
PA, maka para hakim dan semua
jajaran harus bekerja keras untuk
m e n g e m b a l i k a n ke j aya a n d a n
kemuliaan peradilan agama seperti
pada masa kesultanan di Nusantara
dulu.

Apakah Bapak sering mengkaji
putusan-putusan hakim Peradilan
Agama? Menurut Bapak, bagaimana
kualitas putusan-putusan tersebut?


S aya s u d a h m e m b a c a d a n
mempelajari ratusan hukum
keputusan hakim agama dan saya
menilai keputusan-keputusannya
cukup ringkas, sederhana, dan mudah
102

dipahami.

Kritik pedas bagi hakim agama di
Pengadilan Agama dari para hakim di
pengadilan lainnya dan para pengamat
hukum adalah bahwa keputusan para
hakim agama belum menunjukkan
kemampuan maksimal dalam
memberikan alasan/argumentasi
hukum dalam keputusan hukum yang
dibuat.

Selain mengutip perundangan di
Indonesia yang berlaku, menurut saya
para hakim agama seyogyanya juga
tetap merujuk pada Alquran, Hadis,
dan kitab-kitab fikih klasik dari 4
mazhab dan harus merujuk pada buku,
artikel, bahkan hukum internasional
untuk memperkuat hujjah hukum di
dalam keputusan, sehingga
argumentasinya kaya dan ilmiah.

Saya ingin sekali bekerjasama
dengan Badilag untuk melakukan
pelatihan para hakim agama yang
masih muda dalam peningkatan
kemampuan argumentasi hukum di
dalam keputusan, terutama dengan
melakukan kunjungan dan pelatihan
ke berbagai negara-negara muslim di
Afrika Utara dan Timur-Tengah.

Menurut Bapak, apa yang harus
dilakukan Peradilan Agama terkait
pengembangan hukum Islam di
Indonesia?


Peradilan Agama harus dapat
mengembangkan dan meningkatkan
kemampuan para hakim di dalam
pengambilan keputusan dengan

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016

memperkaya keputusan dengan
rujukan-rujukan buku, artikel, dan
perbandingan keputusan dengan
pengadilan lain dari negara-negara
muslim. Dengan demikian, PA dapat
dikatakan mengembangkan hukum
Islam dalam aspek peradilan.

PA t i d a k m e l u l u h a n y a
menerapkan dan merujuk kepada
keputusan Mahkamah Konstitusi,
misalnya, dalam kasus “asal-usul
anak” yang merujuk pada kasus
Machicha Mukhtar. Para hakim di PA
harus mampu juga memberikan
alasan hukum yang diambil dari
khazanah fikih klasik dan
kontemporer dan juga dari konsepkonsep Usul Fikih, seperti Maqashid
al-Syariah dari Imam Abu Ishaq
Ibrahim al-Syatibi. Harus tetap
mengambil dari kekayaan khazanah
dan metodologi Usul Fikih.

Jika para hakim di PA dapat
melakukan itu, dapatlah dikatakan PA
telah memberikan sumbangsih bagi
pengembangan hukum Islam karena
sudah memperkaya dan memberikan
pijakan ilmiah dan yudisial sekaligus.

Saran & masukan Bapak untuk
h a k i m
p e n g a d i l a n
agama/mahkamah syar'iyah di
Indonesia?

Saya menyarankan para hakim di
pengadilan agama/mahkamah
syar'iyyah di seluruh Indonesia untuk
terus belajar, baik belajar secara
formal hingga jenjang doktor maupun
belajar secara non-formal baik melalui
pelatihan resmi dan kunjungan,
maupun belajar sendiri dengan jalan
membaca. Belajar terus adalah sangat
penting bagi hakim supaya para hakim
tidak mandek dalam memberikan
penalaran hukum dalam keputusan
mereka. Dengan terus belajar, maka
para hakim tidak hanya menjadi “alat
dan mesin” pengadilan agama, tetapi
menjadi “pengembang dan penemu”
hukum Islam melalui lembaga PA.
|Achmad Cholil, Mahrus, Rahmat Arijaya|

INSIGHT

Ayang Utriza, DEA., Ph.D:

Kecewa di Kairo,
Lulus Summa Cum Laude di Paris
Setelah menggondol ijazah
sarjana dari fakultas syariah UIN
Jakarta pada tahun 2001, Ayang Utriza
Yakin langsung bertolak ke Kairo,
Mesir untuk melanjutkan S2 di
Universitas Al-Azhar. Tapi hanya
bertahan setahun. Ia mengaku kecewa
karena tidak menemukan sistem
pembelajaran yang ia bayangkan
seperti di Eropa dan Amerika.
Merasa tidak puas dengan gaya
belajar yang kurang membuka dialog
dan pemikiran kritis, Riza, sebutan
lain dari Ayang, mulai membangun
mimpi kuliah di Eropa. Negara
Perancis pun ia lingkari di peta dunia
yang ia tempelkan di dinding
kamarnya. Tekadnya sudah bulat,
harus kuliah di Paris. Alasannya,
karena banyak cendekiawan muslim
yang alumni Perancis. Kemampuan
bahasa Arab dan Inggris pun makin ia
tingkatkan. Tidak hanya itu, Ayang
juga mengikuti banyak tarekat di
Mesir sambil menimba doa dari para
ulama Mesir agar hasratnya kuliah di
Eropa bisa terkabul. Akhirnya, setelah
melalui jalanan terjal dan berliku,
mimpinya untuk kuliah di negeri
menara Eiffel terwujud.
Dengan mengantongi beasiswa
dari Pemerintah Perancis ia meraih
gelar Master (DEA) 2003-2005.
Sedangkan gelar Doktor (Ph.D)
diselesaikan atas bantuan beasiswa
dari perusahaan minyak dan gas
Perancis TOTAL E&P, 2008-2013.
Keduanya didapatkan dari kampus
Ecole des Hautes Etudes en Sciences
S o c i a l e s ( E H E S S ) Pa r i s . G e l a r
Doktornya diraih dengan predikat
penghargaan tertinggi (with highest
honor), summa cum laude.

Kini, tidak mudah menemui
sosok kelahiran Jakarta, 1 Juni 1978
ini. Jadwalnya begitu pada setiap hari.
Selain mengajar di FSH dan Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta, Ayang juga
menjabat Wakil Ketua LTM-PBNU
2015-2020, Direktur Indonesian
Sharia Watch, Direktur Yayasan ArRaudhah, Managing Editor Jurnal
Studia Islamika PPIM UIN Jakarta,
SMRC Fellow di PPIM UIN Jakarta,
Associate Editor pada Directory of
Open Access Journal (DOAJ-Universita
Lund, Swedia), Tim Ahli Cagar Budaya
Provinsi Banten, Dewan Editor di
berbagai jurnal, yaitu Jurnal Ijtihad
(IAIN Salatiga), Jurnal Ulumuna (IAIN
Mataram), Jurnal At-Tahrir (STAIN
Ponorogo), Jurnal Madania (IAIN
Bengkulu), Jurnal Ar-Raniry (UIN
Banda Aceh), dan Jurnal Heritage
(Puslitbang Lektur-Kemenag RI).
Ayang juga produktif menulis.
Buah pemikirannya baik yang
berbentuk essay, journal article, hasil
penelitian dan buku tersebar di
berbagai media. Tidak hanya dalam
edisi bahasa Indonesia, tetapi juga
bahasa Arab, Inggris dan Perancis.
Tahun 2015 lalu ia meneliti
putusan salah satu PA di Jadebotabek
tentang kasus perceraian karena
murtad. Hasil penelitiannya ia tulis
dalam publikasi yang berjudul “The
Judicial Practice in Indonesian
Religious Courts in the Field of
Divorce: the Case of Fasakh for the
Ground of Apostasy”. Dari penelitian
itu ia temukan fakta bahwa ternyata
hakim memiliki cara kerjanya sendiri.
Berbeda antara law in the book dengan
law in action.

Ia berpendapat, hakim harus
mempertimbangkan rasa keadilan dan
adat masyarakat setempat, tetapi
hakim juga harus mendukung
peraturan (la bouche de la loi).
|Achmad Cholil|

Ia berpendapat, hakim harus
mempertimbangkan
rasa keadilan dan adat
masyarakat setempat,
tetapi hakim juga harus
mendukung peraturan
(la bouche de la loi).

MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016

103

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Hak atas Kesehatan reproduksi perempuan dalam cedaw dan hukum Islam (studi komparaif)

9 90 110

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157