The Effect of Variation in Temperature and Duration on Deoxygenation and Cracking Reaction of RPO in Bioavtur

PENGARUH KONDISI SUHU DAN LAMA REAKSI
DEOKSIGENASI DAN CRACKING RPO
DALAM SINTESIS BIOAVTUR

SHINTA PERMATASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Kondisi Suhu dan
Lama Reaksi Deoksigenasi dan Cracking RPO dalam Sintesis Bioavtur adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis
ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Shinta Permatasari
NIM F351114011 

RINGKASAN
SHINTA PERMATASARI. Pengaruh Kondisi Suhu dan Lama Reaksi
Deoksigenasi dan Cracking RPO dalam Sintesis Bioavtur. Dibimbing oleh
ERLIZA HAMBALI dan DWI SETYANINGSIH.
Minyak nabati dapat diubah menjadi bioavtur karena minyak nabati
merupakan trigliserida yang dapat dikonversi melalui deoksigenasi dan cracking
menjadi hidrokarbon bioavtur. Minyak sawit rafinasi (RPO) yang merupakan
trigliserida minyak nabati diharapkan dapat dikonversi menjadi bioavtur dengan
mekanisme serupa. Penelitian ini bertujuan untuk mengkonversi RPO menjadi
hidrokarbon yang setara dengan avtur melalui deoksigenasi dan cracking dengan
variasi suhu dan lama reaksi. Pada penelitian pendahuluan, RPO dibuat melalui
proses degumming CPO, dipanaskan dengan katalis padat NiMo di dalam reaktor
pada suhu 300, 400, dan 450 oC, disertai penambahan hidrogen pada tekanan 50
bar dan pengadukan selama 5 jam dengan sampling setiap 1 jam untuk
memperoleh kondisi suhu yang cocok. Pada penelitian utama dilakukan reaksi

yang sama pada kondisi suhu terpilih (450 oC) dengan sampling setiap 30 menit
setelah pemanasan awal selama 1 jam. Pengamatan yang dilakukan meliputi
densitas, perubahan fase pada suhu rendah (-15 dan -55 oC) serta analisis GC-MS
dan FTIR.
Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa hanya pada suhu 450 oC
dihasilkan produk yang tetap memiliki fase cair pada suhu hingga -55 oC dan
memiliki densitas setara avtur. Pada kondisi suhu tersebut (450 oC), hasil
penelitian menunjukkan bahwa reaksi deoksigenasi dan cracking terbaik adalah
pada tekanan 50 bar selama 3 jam. Sifat fisik produk tersebut yakni memiliki
reaksi deoksigenasi terbaik, memiliki sifat setara avtur yaitu memiliki densitas
0.8105 g/cm3, tetap berbentuk cair pada pada suhu rendah hingga -55 oC dengan
komposisi hidrokarbon C7-C12 terbanyak.
Kata kunci: bioavtur, refined palm oil, deoksigenasi, cracking

SUMMARY
SHINTA PERMATASARI. The Effect of Variation in Temperature and Duration
on Deoxygenation and Cracking Reaction of RPO in Bioavtur Synthesis.
Supervised by ERLIZA HAMBALI and DWI SETYANINGSIH.
Vegetable oils can be converted into bioavtur because they have
triglycerides that can be converted through deoxygenation and cracking into

bioavtur hydrocarbon. Refined Palm Oil (RPO) is also vegetable triglyceride that
may be converted into bioavtur by similar mechanism. This study aims to convert
RPO into hydrocarbons equal to avtur through deoxygenation and cracking with
various temperature and reaction duration.
In the preliminary research, RPO was made from degumming process of
CPO, heated with solid catalyst NiMo in a reactor at temperature of 300, 400 and
450 oC, with addition of hydrogen at pressure of 50 bar and stirring for 5 h with
sampling every hour to obtain the suitable temperature conditions. At principal
research, the same reaction was conducted at selected temperature conditions with
sampling every 30 minutes after initial heating for 1 h. Observation was
conducted for parameters density, phase change at low temperatures (-15 and -55
o
C), GC-MS and FTIR analysis.
Preliminary research showed that only at temperature of 450 oC, the product
had liquid phase up to -55 oC and the density equal to jet fuel. At this temperature
condition (450 oC ), the results showed that the best deoxygenation and cracking
reaction was at pressure of 50 bar, in 3 h duration. The physical properties of the
products were having the best deoxygenation reaction, having similar properties
with aviation fuel, and density of 0.8105 g/cm3, still on liquid phase at low
temperature up to -55 oC with the composition of mostly C7 - C12 hydrocarbons.

Keywords: bioavtur, refined palm oil, deoxygenation, cracking

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH KONDISI SUHU DAN LAMA REAKSI
DEOKSIGENASI DAN CRACKING RPO
DALAM SINTESIS BIOAVTUR

SHINTA PERMATASARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji pada Ujian Sidang: Dr Ir Liesbetini Haditjaroko, MS

Judul Tesis : Pengaruh Kondisi Suhu dan Lama Reaksi Deoksigenasi dan
Cracking RPO dalam Sintesis Bioavtur
Nama
: Shinta Permatasari
NIM
: F351114011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Prof Dr Erliza Hambali
Ketua

Dr Dwi Setyaningsih, STP MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian

Prof Dr Ir Machfud, MS

Tanggal Ujian: 8 Januari 2014

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan pada waktunya. Penelitian ini
telah dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai bulan Oktober 2013 dengan judul
Pengaruh Kondisi Suhu dan Lama Reaksi Deoksigenasi dan Cracking RPO dalam
Sintesis Bioavtur.
Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada Ibu
Prof Dr Erliza Hambali selaku pembimbing pertama dan Ibu Dr Dwi Setyaningsih
selaku pembimbing kedua yang telah banyak meluangkan waktu dan senantiasa
memberikan arahan dan saran dalam penyelesaian penelitian ini. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dadi (LIPI Serpong) yang telah
membantu selama proses penelitian dengan reaktor dan Bapak Dr Hery Haerudin
(Pertamina) yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan memberikan
sumbang saran pra penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
suami (Syamsu Rijal, SHut MSi), ayah (Dr Tri Panji), ibu (alm Dra Nelti Yetti,
MS dan Wondo Sutyowaty), serta seluruh keluarga, atas segala dorongan,
masukan, doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kehidupan yang jauh lebih baik.


Bogor, Januari 2014
Shinta Permatasari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA

2

3 METODE
3.1 Penelitian Pendahuluan
3.2 Sintesis Bioavtur pada Suhu 450 oC dan Tekanan 50 Bar

5
5

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sintesis Bioavtur pada Suhu 300, 400, 450 oC dengan Tekanan 50 bar 5

4.2 Sintesis Bioavtur pada Suhu 450 oC dan Tekanan 50 bar
7
4.3 Densitas dan Fase Produk pada Suhu Rendah
8
4.4 Komposisi Gugus Fungsi dan Senyawa Volatil
10
5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
5.2 Saran

16
16

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

18


RIWAYAT HIDUP

28

DAFTAR TABEL
2.1 Rangkuman jenis bahan, metode, kondisi proses, serta produk hasil
sintesis bioavtur
4.1 Hasil pengamatan deskriptif produk deoksigenasi dan cracking pada
suhu 300, 400, dan 450 oC dengan tekanan 50 bar
4.2 Hasil pengamatan deskriptif produk fase gas yang telah terkondensasi
dari hasil deoksigenasi dan cracking pada suhu 450 oC dan tekanan
50 bar
4.3 Hasil pengamatan perubahan fase produk hasil deoksigenasi dan
cracking pada suhu rendah

4
6

8
10

DAFTAR GAMBAR
4.1 Pengaruh variasi waktu sampling terhadap densitas produk fase gas
yang telah terkondensasi pada sintesis bioavtur
4.2 Profil FTIR
4.3 Perbandingan kromatogram GC-MS dari produk hasil deoksigenasi
dan cracking
4.4 Mass spektra hidrokarbon-hidrokarbon yang terdeteksi pada produk
hasil deoksigenasi dan cracking
4.5 Kandungan hidrokarbon bioavtur produk
4.6 Kandungan senyawa aromatik dan alkena

8
11
13
14
15
15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Syarat Mutu Bahan Bakar Pesawat Berdasarkan International Air
Transport Association
2 Gambar Reaktor Bioavtur
3 Prosedur Analisis Sifat Fisiko Kimia Bioavtur
4 Diagram Alir Penelitian
5 Sifat Fisiko Kimia Senyawa Hidrokarbon Bioavtur C7-C12
6 Nilai % Luas Area Puncak Kromatogram TIC Hidrokarbon Bioavtur,
Alkena, dan Aromatik
7 Senyawa Aromatik dan Alkena yang Terkandung dalam Produk

18
20
21
23
24
25
26

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelangkaan energi merupakan fenomena global yang menjadi salah satu isu
penting permasalahan dunia internasional saat ini. Konsumsi bahan bakar pesawat
di dunia diproyeksikan terus meningkat. Konsumsi bahan bakar pesawat tahun
2007 yang hanya 2 270 000 barrel diproyeksikan menjadi sekitar 5 283 000 barrel
pada tahun 2026 (Ditjen Migas 2012). Menurut Ditjen Migas, konsumsi avtur
Indonesia pada tahun 2011 mencapai 20 900 barrel, sedangkan produksinya hanya
18 200 barrel. Peningkatan konsumsi avtur ini mendorong upaya pencarian
bahan bakar pesawat alternatif sebagai pengganti suplai energi berbasis minyak
bumi. Indonesia memiliki sumber bahan baku avtur yang berasal dari bahan
terbarukan yaitu minyak sawit rafinasi (Refined Palm Oil /RPO), yang berasal dari
minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) melalui proses degumming untuk
menghilangkan gum dan destilasi untuk menghilangkan asam lemak bebas. Selain
karena harganya yang murah, ketersediaan CPO di Indonesia sangat melimpah.
Indonesia merupakan produsen sawit terbesar di dunia dengan luas lahan lebih
kurang 8.4 juta Ha dan dengan produksi CPO mencapai lebih kurang 26.8 juta ton
pada tahun 2011. Saat ini sebanyak 50.5% produksi minyak sawit diekspor dalam
bentuk CPO, sedangkan hanya 49.5% yang diolah di dalam negeri (Ditjen Migas
2012).
Bioavtur merupakan produk bahan bakar pesawat serupa avtur (aviation
turbine) yakni hidrokarbon dengan komposisi utama C7-C12 (Seames dan Aulich
2008) yang dihasilkan oleh serangkaian proses konversi minyak nabati. Menurut
Syahrir (2009), pembuatan bahan bakar yang dihasilkan dari minyak sawit ini
telah diteliti dan hasilnya lebih ramah lingkungan karena mengurangi potensi
pencemaran yang terjadi pada saat pembakaran yakni bebas nitrogen dan sulfur.
Penggunaan bioavtur memiliki keuntungan dari sisi kesesuaian dengan
regulasi tentang pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 5% yang dicanangkan
oleh Uni Eropa. Upaya penurunan gas rumah kaca dapat dilakukan melalui dua
cara. Pertama, mencampurkan bioavtur ke avtur sebagai bahan bakar pesawat jet
komersial. Kedua, mengganti pesawat yang terbang melewati kawasan Eropa
dengan pesawat tipe tertentu yang menghasilkan emisi rendah. Bahkan beberapa
tahun ke depan, pesawat yang masuk ke negara Uni Eropa disyaratkan
menggunakan bahan bakar bioavtur. Berbagai alasan tersebut mendorong untuk
terus dilakukannya pengembangan bahan bakar alternatif untuk pesawat terbang
baik pesawat terbang komersil maupun pesawat militer.
Kajian konversi RPO menghasilkan bioavtur dengan menggunakan reaksi
deoksigenasi dan cracking menjadi kajian utama yang meliputi penentuan kondisi
operasi yang dapat menghasilkan produk dengan reaksi deoksigenasi dan cracking
terbaik.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:

2
1. Apakah variasi suhu dan lama reaksi deoksigenasi dan cracking RPO
berpengaruh pada sintesis bioavtur?
2. Berapa suhu dan lama reaksi yang menghasilkan reaksi deoksigenasi
dan cracking terbaik?
3. Apakah produk yang dihasilkan sudah memenuhi sifat setara avtur?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh suhu dan lama
reaksi deoksigenasi dan cracking RPO pada proses sintesis bioavtur
menggunakan katalis NiMo sehingga menghasilkan senyawa hidrokarbon yang
memiliki spesifikasi yang sesuai dengan spesifikasi bahan bakar pesawat.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
a. Bahan baku minyak sawit yang digunakan adalah RPO.
b. Reaksi deoksigenasi dan cracking menggunakan reaktor bioavtur
berpengaduk magnetic kapasitas 150 cc, dengan bahan stanless steel 316,
tekanan maksimum 80 bar, suhu maksimum 500 oC.
c. Reaksi deoksigenasi dan cracking dilakukan pada variasi waktu sampling
dan suhu (300, 400 dan 450 oC) dan tekanan tetap 50 bar.
d. Karakterisasi bioavtur dengan analisis komponen volatil menggunakan alat
Gas Chromatography Mass Spectroscopy (GC-MS) dan analisis gugus
fungsi menggunakan alat Fourier Transform Infra Red (FTIR), serta
pengamatan densitas dan perubahan fasa pada suhu rendah (sampai -55
o
C).

2 TINJAUAN PUSTAKA
Upaya mengatasi kelangkaan bahan bakar alternatif bagi pesawat terbang
dilakukan dengan berbagai upaya pengembangan sumber energi baru melalui riset
bahan bakar maupun energi terbarukan (renewable). Penelitian tentang teknologi
proses sintesis bioavtur telah dilakukan oleh Seames dan Aulich (2008)
menggunakan bahan baku minyak kedelai dan minyak canola. Penelitian serupa
juga telah dilakukan oleh McCall et al. (2009) menggunakan bahan baku minyak
kedelai rafinasi (Refined Bleached Deodorized/RBD) dan Bradin (2011) dengan
bahan baku minyak kedelai mentah, minyak kedelai murni, minyak jagung,
minyak rapseed, serta minyak biji kapas.
RPO mengandung asam lemak dengan komposisi utama C16 (palmitat) dan
C18 (stearat, oleat, dan linoleat). Menurut Wijanarko et al. (2006), kandungan
asam lemak dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat (42.5%) dan asam
oleat (43%). Asam lemak tersebut diharapkan menghasilkan produk bioavtur
melalui reaksi deoksigenasi (terjadi sebelum proses cracking) yang dapat
mengubah asam lemak menjadi hidrokarbon yang berkesesuaian serta CO2 (Boyas
et al. 2012). Hal ini dilanjutkan dengan reaksi pemutusan (cracking) rantai

3
hidrokarbon dengan suhu dan tekanan tinggi untuk memotong rantai karbon
hingga sesuai dengan rantai karbon bioavtur (berkisar antara C7 hingga C12).
Proses sintesis bioavtur dimulai dengan proses deoksigenasi yang diikuti
dengan proses cracking menggunakan katalis untuk cracking minyak sawit.
Beberapa katalis yang dapat digunakan untuk cracking minyak sawit adalah NiMo
dan H-ZSM5. Nasikin et al. (2009) menyatakan bahwa katalis yang biasa
digunakan untuk cracking minyak sawit pada reaktor batch adalah katalis NiMo,
sedangkan katalis H-ZSM5 digunakan pada proses catalytic cracking minyak
sawit pada reaktor fixed batch (Twaiq et al. 1999; 2004). Katalis NiMo yang
digunakan pada penelitian ini merupakan katalis hasil penelitian Pertamina
Research and Development yang telah dipreparasi untuk proses sintesis bioavtur.
Deoksigenasi merupakan proses mengurangi jumlah oksigen yang
terkandung dalam RPO. Proses ini membutuhkan hidrogen. Reaksi dimulai
dengan terjadinya hidrogenasi trigliserida yang mengandung asam lemak tak
jenuh menghasilkan trigliserida yang semua asam lemaknya jenuh. Hidrogenasi
berikutnya akan memecah ester (gliserida) tersebut menjadi asam lemak dan
hidrokarbon propana. Reaksi deokasigenasi diakhiri dengan reaksi dekarboksilasi
asam lemak menjadi hidrokarbon yang berkesesuaian (hidrokarbon rantai
panjang) dan karbon dioksida (Boyas et al. 2012).
Cracking merupakan reaksi pemecahan senyawa hidrokarbon yang
memiliki molekul besar menjadi molekul-molekul yang lebih kecil pada suhu
tinggi (melebihi 350-400 oC) dengan atau tanpa bantuan katalis. Proses cracking
terdiri dari tiga macam, yaitu: thermal cracking atau pirolisis, catalytic cracking,
dan hydrocracking. Thermal cracking terjadi pada suhu lebih dari 1000 K.
Catalytic cracking terjadi pada suhu 200-600oC dan tekanan 1 atm di berbagai
reaktor (tubular, plug flow, mixed bed, dan fluidzed bed) dengan bantuan katalis
yang langsung kontak dengan reaktan. Hydrocracking merupakan proses
mengubah umpan berupa minyak berat menjadi produk-produk minyak yang lebih
ringan dengan kehadiran hidrogen dan bantuan katalis, menggunakan tekanan
tinggi dan suhu tinggi (Savitri 2013).
Deoksigenasi dan cracking terjadi pada reaktor yang sama secara hampir
bersamaan. Kondisi proses sintesis bioavtur yang dilakukan mengacu kepada riset
dari berbagai referensi (Tabel 2.1). Pada umumnya, cracking akan lebih cepat
pada kondisi suhu yang lebih tinggi. Namun suhu yang lebih tinggi dapat
menyebabkan laju cracking tidak terkendali sehingga menghasilkan hidrokarbon
dengan rantai yang terlalu pendek.
Pemilihan variasi suhu didasarkan dari beberapa referensi dan melihat
batasan suhu aman yang diizinkan oleh spesifikasi reaktor. Variasi kondisi suhu
yang dipilih berdasarkan spesifikasi aman reaktor yaitu 300, 400, dan 450 oC.
Pemilihan variasi lama reaksi didasarkan pada penelitian Mercader (2010) yang
menggunakan proses empat jam dengan waktu pemanasan 1.5-2 jam (90-120
menit).

4
Tabel 2.1 Rangkuman jenis bahan, metode, dan kondisi proses sintesis bioavtur
No

Sumber

Bahan

Metode

Kondisi

1.

Seames dan
Aulich
(2008)

Minyak Canola,
minyak kedelai

Thermal dan
catalytic
cracking

Suhu 100-600
o
C, tekanan 207
bar, waktu
tinggal 3 jam

2.

Bradin
(2011)

Minyak kedelai
mentah, minyak
kedelai rafinasi,
minyak jagung,
minyak rapeseed,
minyak biji kapas

Thermal dan
hydrocracking
menggunakan
katalis

Suhu melalui 2
tahapan.
Tahapan
pertama antara
150-250 oC,
sedangkan
tahapan kedua
antara 400-600
o
C

3.

McCall et
al. (2009)

RBD minyak
kedelai

Deoksi-

Tekanan 34.5
bar. Suhu 288345 oC

Mercader
(2010)

Minyak rapeseed
dan minyak biji
bunga matahari

High pressure
thermal
treatment
(HPTT),
hydrodeoxygenation

4.

genasi tekanan
rendah dan
selective
cracking

Suhu 230-340
o
C, tekanan 300
bar, waktu
proses 4 jam
(ditambah 1.52 jam waktu
pemanasan)

Bahan bakar pesawat haruslah memenuhi spesifikasi Internasional yang
sangat ketat karena akan digunakan oleh maskapai penerbangan dengan tuntutan
tingkat kemanan yang sangat tinggi. National Aeronautics and Space
Administration menyatakan bahwa bioavtur harus memenuhi standar minimal
bahan bakar pesawat, tidak merusak lingkungan, serta bahan baku yang digunakan
tidak berasal dari bahan pangan.
Setiap negara memiliki standar avtur yang berbeda-beda. Namun dalam
spefikasi, setiap standar sudah memiliki ketentuan yang berdasarkan pada
International Air Transport Association (Lampiran 1). Parameter yang terdapat
dalam standar avtur diantaranya composition, volatility, fluidity, combustion,
corrosion, thermal stability, contaminant dan lain-lain (Milton 2005).

5

3 METODE
3.1 Sintesis Bioavtur pada Suhu 300, 400 dan 450 oC dengan Tekanan 50 bar
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan suhu terbaik sintesis
bioavtur yang disesuaikan dengan spesifikasi aman reaktor. Variasi suhu yang
digunakan ialah 300, 400, dan 450 oC dengan tekanan tetap 50 bar. RPO sebanyak
100 ml dipanaskan di dalam reaktor bioavtur berpengaduk dengan kapasitas 150
ml. Gambar reaktor bioavtur dapat dilihat pada Lampiran 2. Katalis NiMo yang
digunakan setiap batch proses sebanyak 1% dari massa RPO. Reaktor kemudian
ditutup dan gas hidrogen dilewatkan dengan pengaturan tekanan awal 25 bar.
Secara bertahap, suhu dinaikkan hingga mencapai suhu yang diinginkan. Setelah
tekanan mencapai 50 bar dan suhu mencapai nilai yang diinginkan, sampling
dilakukan pada keran sampling gas yang dihubungkan dengan kondensor dan
keran sampling cairan. Pengambilan sampel dilaksanakan setiap satu jam selama
lima jam proses. Produk yang dihasilkan kemudian diamati dan dilakukan
pengujian terhadap penyimpanan suhu rendah (sampai -15 oC). Metode pengujian
terhadap penyimpanan suhu rendah dapat dilihat pada Lampiran 3.
3.2 Sintesis Bioavtur pada Suhu 450 oC dan Tekanan 50 bar
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan maka
diperoleh suhu terbaik untuk sintesis bioavtur, yakni suhu 450 0C dengan sampel
gas yang telah terkondensasi menjadi cairan. Uji lanjut dilakukan pada kondisi
suhu terbaik dengan reaksi yang sama yang dilakukan melalui pengambilan
sampling setiap 30 menit. Penyampelan ini dilakukan setelah pemanasan awal
selama satu jam.
RPO sebanyak 100 ml dipanaskan di dalam reaktor dengan pengaturan
suhu, pengadukan, penambahan katalis dan pengaturan gas hidrogen seperti reaksi
pada suhu 300 dan 400 oC sebelumnya. Suhu dinaikkan secara bertahap hingga
mencapai 450 oC setelah pemanasan selama satu jam dan tekanan telah mencapai
50 bar. Sampling dilakukan hanya pada keran sampling gas yang telah
dihubungkan dengan kondensor setiap 30 menit selama 3.5 jam (210 menit).
Bioavtur yang dihasilkan pada proses tersebut kemudian diuji lanjut melalui
serangkaian pengamatan meliputi densitas, perubahan fase pada suhu rendah
(sampai -55 oC) serta analisis GC-MS dan FTIR. Metode analisis dapat dilihat
pada Lampiran 3, sedangkan diagram alir penelitian dapat dilihat pada Lampiran
4.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sintesis Bioavtur pada Suhu 300, 400 dan 450 oC dengan Tekanan 50 bar
Proses sintesis bioavtur pada suhu 300 dan 400 oC selama lima jam dan
tekanan 50 bar menghasilkan minyak berbentuk padat pada suhu ruang, sehingga

6
tidak memenuhi spesifikasi utama bioavtur. Uji dan pengamatan pada suhu
tersebut hanya menghasilkan produk atau sampling cairan, sedangkan hasil
produk atau sampling gas hanya dihasilkan pada hasil sintesis suhu 450 oC dan
tekanan 50 bar. Hasil pengamatan deskriptif produk deoksigenasi dan cracking
pada suhu 300, 400 dan 450 oC dengan tekanan 50 bar dapat dilihat pada Tabel
4.1.
Tabel 4.1 Hasil pengamatan deskriptif produk deoksigenasi dan cracking pada
suhu 300, 400, dan 450 oC dengan tekanan 50 bar
Perlakuan
Sampling
Warna Sampel
Bentuk Sampel
Suhu (oC)
Sampel
Cairan
Hijau
Semua produk padat pada
kekuningan
suhu ruang, seperti lilin
300
Gas
Cairan

Hitam

Gas

-

Cairan

Hitam

Semua produk cair pada
suhu ruang

Gas

Putih bening
hingga merah
seperti iodin

Semua produk cair pada
suhu ruang, produk dari
waktu sampling 3 dan 3.5
jam cair hingga suhu -55 oC

400

450

Semua produk kental
sampai padat pada suhu
ruang
-

Hasil penelitian pendahuluan juga menunjukkan bahwa hanya produk hasil
deoksigenasi dan cracking pada suhu 450 oC dapat menghasilkan produk yang
tetap berfase cair pada suhu hingga -55 oC dan memiliki densitas setara avtur.
Produk tersebut dihasilkan dari sampling gas. Dari hasil pengamatan produk dapat
disimpulkan bahwa senyawa hidrokarbon avtur telah dihasilkan pada produk hasil
deoksigenasi dan cracking pada suhu 450 oC dan tekanan 50 bar dari hasil
sampling gas.
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa variasi perlakukan ketiga suhu yang
berbeda menghasilkan variasi sampel yang berbeda. Sampel yang dihasilkan
berupa cairan dan gas hanya ditemukan pada suhu 450 0C sedangkan pada suhu
lainnya hanya menghasilkan sampel berupa cairan saja. Pengamatan lanjutan
berdasarkan kategori warna dan fase juga menunjukkan beberapa perbedaan pada
percobaan perlakuan suhu yang semakin tinggi (300 hingga 450 0C). Jika dilihat
dari hasil yang ditunjukkan maka dapat dideskripsikan bahwa upaya peningkatan
perlakuan suhu pada sampel bahan dari suhu rendah (300 0C) ke suhu tinggi (450
0
C) mengakibatkan perubahan warna yang semakin gelap (hitam) serta bentuk
padat menjadi cair.

7
Hasil yang lain yang ditunjukkan dari Tabel 4.1 bahwa hanya pada suhu 450
C yang menghasilkan gas yang kemudian ditampung dalam wadah melalui teknik
kondensasi gas melalui sistem buka tutup keran gas pada reaktor. Sampel gas
yang telah berbentuk cair karena proses kondensasi memiliki variasi warna putih
bening hingga merah. Selain itu, fase cair dapat dipertahankan hingga suhu -55
o
C.
Perbedaan fase dan warna pada produk disebabkan terjadinya reaksi
deoksigenasi yang dilanjutkan dengan reaksi cracking. Produk dengan perlakuan
suhu 300 dan 400 oC berbentuk padat pada suhu ruang karena adanya proses
hidrogenasi trigliserida dan dekarboksilasi asam lemak menjadi hidrokarbon jenuh
rantai panjang. Namun proses cracking yang menghasilkan hidrokarbon rantai
pendek baru terjadi pada proses sintesis bioavtur dengan perlakuan suhu 450 oC.
Hal ini dapat dilihat dari bentuk produk yang tetap berbentuk cair pada suhu ruang,
bahkan produk dari hasil sampling gas tetap berbentuk cair hingga suhu -55 oC.
Dari hasil penelitian pendahuluan ini dapat disimpulkan bahwa proses
deoksigenasi dan cracking telah berlangsung baik pada perlakuan suhu 450 oC dan
penyamplingan yang dilakukan pada sampling gas.
Justifikasi ini diperkuat melalui analisis FTIR dimana pada profil FTIR
RPO terlihat bahwa adanya puncak yang tajam pada bilangan gelombang pada
gugus karbonil. Puncak tersebut terlihat semakin mengecil pada profil FTIR
produk hasil sintesis bioavtur dengan perlakuan suhu 450 oC yang menandakan
bahwa proses deoksigenasi mulai terjadi pada kondisi suhu 450 oC. Pada
kromatogram GC-MS produk hasil sintesis bioavtur dengan perlakuan suhu 450
o
C juga menunjukkan bahwa hidrokarbon C7-C12 telah terdeteksi yang
menandakan bahwa proses cracking telah terjadi.
0

4.2 Sintesis Bioavtur pada Suhu 450 oC dan Tekanan 50 bar
Sesuai hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan pada tiga kondisi suhu
berbeda, diketahui bahwa produk deoksigenasi dan cracking telah berlangsung
baik pada saat penyamplingan gas. Senyawa hidrokarbon ini dihasilkan hanya
pada suhu 450 oC dengan tekanan 50 bar, sehingga penelitian lanjutan hanya
dilakukan pada suhu 450 oC dengan tekanan 50 bar. Pada proses ini, sampling
dilakukan setiap setengah jam (30 menit) setelah pemanasan awal selama 1 jam
(60 menit). Hasil pengamatan deskriptif produk hasil deoksigenasi dan cracking
pada suhu 450 oC dan tekanan 50 bar dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Hasil pengamatan pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa variasi waktu
sampling memberikan pengaruh terhadap warna dan bentuk. Pengamatan terhadap
perubahan warna menunjukkan bahwa makin lama proses deoksigenasi dan
cracking berlangsung akan menghasilkan perubahan warna dari bening dan
kuning menjadi coklat, merah hingga kuning kecoklatan. Pengamatan terhadap
fase produk juga menunjukkan perubahan walaupun tidak ditemukan banyak
variasi fase yakni dari cair dua fase menjadi cair. Jika dilihat dari hasil ini, dapat
dikatakan bahwa makin lama proses deoksigenasi dan cracking berlangsung pada
suhu 450 oC dan tekanan 50 bar maka akan membentuk hasil berupa cairan
berwarna kuning sampai coklat kemerahan.

8
Tabel 4.2 Hasil pengamatan deskriptif produk fase gas yang telah
terkondensasi dari hasil deoksigenasi dan cracking pada suhu
450 oC dan tekanan 50 bar
Waktu
Warna Sampel
Bentuk Sampel
Sampling (Jam)
1.5
Fase bawah bening,
Cair, terdapat dua
fase atas kuning
fase
2
Cokelat tua
Cair
2.5
Merah seperti iodine
Cair
3
Cokelat kemerahan
Cair
3.5
Kuning kecoklatan
Cair
Sesuai dengan pengamatan deskriptif produk dapat disimpulkan bahwa
reaksi cracking yang menghasilkan hidrokarbon rantai pendek telah terjadi. Hal
ini ditandai dengan fase produk yang berbentuk cair. Justifikasi ini diperkuat
melalui analisis FTIR dimana pada profil FTIR produk hasil sintesis bioavtur
dengan perlakuan suhu 450 oC terlihat bahwa puncak pada bilangan gelombang
untuk gugus karbonil mulai mengecil yang menandakan proses deoksigenasi
mulai terjadi. Hasil analisis GC-MS produk hasil sintesis bioavtur dengan
perlakuan suhu 450 oC turut memperkuat justifikasi ini. Dari kromatogram GCMS terlihat bahwa produk hasil sintesis bioavtur dengan perlakuan suhu 450 oC
telah menghasilkan hidrokarbon dengan komposisi utama C7-C12 yang
menandakan proses cracking telah terjadi. Produk-produk tersebut kemudian
dilakukan uji lanjut untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama reaksi
deoksigenasi dan cracking.
4.3 Densitas dan Fase Produk pada Suhu Rendah

Desitas pada 15oC (g/cm3)

Menurut UOP (Holmgren 2008), densitas yang sesuai dengan spesifikasi
bahan bakar pesawat JP-8 berkisar antara 0.775-0.840 g/cm3. Hasil uji densitas
produk yang sesuai dengan standar bahan bakar pesawat adalah sampel dengan
lama proses sintesis 1.5 jam, 2 jam, 2.5 jam dan 3 jam. Pengaruh lama proses
terhadap hasil uji densitas dapat dilihat pada Gambar 4.1.
1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0

1

1.5
2
2.5
Waktu Sampling (Jam)

3

3.5

Gambar 4.1. Pengaruh variasi waktu sampling terhadap densitas produk fase gas
yang telah terkondensasi pada sintesis bioavtur

9
Gambar 4.1 yang menunjukkan bahwa densitas bioavtur yang dihasilkan
lebih rendah dibandingkan densitas RPO (waktu sampling jam ke-0). Proses
deoksigenasi dan cracking menyebabkan penurunan densitas produk melalui
mekanisme pemotongan hidrokarbon rantai panjang. Namun, pengaruh waktu
proses sintesis bioavtur terhadap densitas menunjukkan bahwa waktu tidak
banyak memberikan pengaruh perubahan terhadap densitas. Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 4.1 yakni perubahan densitas cenderung konstan pada nilai 0.75
hingga 0.85 g/cm3. Waktu pengambilan sampel yang semakin lama menunjukkan
pengaruh terhadap densitas yang meningkat secara perlahan dan cenderung stabil
pada nilai densitas 0.8 g/cm3. Nilai densitas tersebut kemungkinan terjadi karena
adanya reaksi siklisasi pada rantai hidrokarbon. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil
analisis FTIR yang menunjukkan bahwa munculnya puncak pada bilangan
gelombang 623.76-937.05 cm-1. Puncak tersebut terlihat makin tajam pada produk
hasil sintesis bioavtur pada waktu sampling 3 dan 3.5 jam (Gambar 4.2 E dan F).
Tantangan utama dalam penggunaan CPO sebagai bahan bakar jet komersial
adalah kecenderungannya untuk membeku pada suhu rendah saat penerbangan
dan stabilitas penyimpanan biofuel (Dagget et al. 2007), sehingga diperlukan
pengamatan perubahan fase produk pada penyimpanan suhu rendah. Pengamatan
produk pada suhu rendah dilakukan dengan penyimpanan dalam dua kondisi suhu
yaitu -15 dan -55 oC, untuk mengetahui pengaruh lama reaksi proses sintesis
bioavtur terhadap perubahan fase produk pada suhu rendah. Hasil pengamatan ini
dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa pengaruh suhu yang diuji dengan waktu
pengujian memperlihatkan hasil yang menarik yang kemudian dapat disesuaikan
dengan nilai spesifikasi avtur. Freezing point yang sesuai dengan spesifikasi
bahan bakar pesawat JP-8 menurut UOP (Holmgren 2008) adalah -47 oC. Jika
sampel telah membeku pada suhu di atas -47 oC maka sampel tersebut tidak
memenuhi spesifikasi bahan bakar pesawat JP-8. Menurut data hasil pengamatan
perubahan fase produk hasil sintesis bioavtur saat pengujian suhu rendah, hanya
produk yang dihasilkan pada proses sintesis 3 dan 3.5 jam yang tidak mengalami
perubahan fase pada suhu -15 dan -55 oC. Hasil sintesis pada kedua waktu
sampling ini menunjukkan bahwa bioavtur yang dihasilkan telah layak atau
memenuhi kriteria dan spesifikasi avtur. Dari hasil pengamatan ini dapat
disimpulkan bahwa produk dengan waktu sampling 3 dan 3.5 jam telah
mengalami proses cracking yang menghasilkan hidrokarbon rantai pendek yang
sesuai dengan hidrokarbon avtur. Kesimpulan ini didukung dengan hasil analisis
GC-MS yang menunjukkan bahwa hidrokarbon rantai pendek yang sesuai dengan
hidrokarbon avtur (C7-C12) telah terdeteksi yang menunjukkan bahwa proses
cracking telah terjadi.

10

Tabel 4.3 Hasil pengamatan perubahan fase produk hasil deoksigenasi dan
cracking pada suhu rendah.
Waktu Sampling (Jam)
Suhu Perlakuan
(oC)
1.5
2
2.5
3
3.5
-15

cair

cair

cair

cair

cair

-55

padat

padat

padat

cair

cair

Titik beku produk bioavtur dipengaruhi oleh sifat fisiko kimia hidrokabon
penyusunnya. Hidrokarbon penyusun bioavtur memiliki titik beku yang cukup
rendah, sehingga produk bioavtur tidak membeku pada suhu rendah. Titik beku
hidrokarbon penyusun bioavtur terendah dimiliki oleh senyawa heptana (C7) yaitu
-90.56 oC, sedangkan yang tertinggi adalah dodekana (C12) yaitu -9.6 oC (Aurora
2006). Bioavtur yang dihasilkan pada suhu proses 450 oC dan tekanan 50 bar
merupakan hidrokarbon yang memiliki komposisi utama C7 hingga C12 sehingga
masih berbentuk cair pada suhu -55 oC. Sifat fisiko kimia hidrokarbon penyusun
produk bioavtur dapat dilihat pada Lampiran 5.
4.4 Komposisi Gugus Fungsi dan Senyawa Volatil
Perubahan struktur pada RPO sebelum dan sesudah mengalami
deoksigenasi dan cracking dapat dianalisis menggunakan FTIR. Metode ini
digunakan untuk melihat perubahan gugus-gugus fungsi dari senyawa kimia
selama reaksi berlangsung. Spektrum RPO dan produk hasil deoksigenasi dan
cracking dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Pada spektrum RPO terdapat puncak tajam pada bilangan gelombang
1743.31 cm-1, sedangkan pada spektrum produk hasil deoksigenasi dan cracking
dengan lama proses sintesis 1.5, 2, 2.5, 3 dan 3.5 jam terjadi sedikit pergeseran
(pada bilangan gelombang 1711.93-1713.48 cm-1) dan bentuk puncak semakin
mengecil. Menurut Williams dan Fleming (1973), wilayah bilangan gelombang
1500-1800 cm-1 menunjukkan gugus ikatan rangkap, baik C=C, C=O, C=N,
maupun N=O. Minyak sawit tidak mengandung C=N maupun N=O, sehingga
puncak pada daerah bilangan gelombang itu hanya mungkin berasal dari vibrasi
C=C dan C=O.
Gambar 4.2 menunjukkan bahwa semakin lama proses deoksigenasi dan
cracking berlangsung, bertambah pula jumlah gugus ikatan tunggal pada produk.
Hal ini dapat dilihat dari munculnya puncak pada bilangan gelombang 2955.272956.72 cm-1. Bilangan gelombang 2852,43-2956,72 cm-1 menunjukkan adanya
gugus fungsi ikatan tunggal CH3-CH2- yang dihasilkan dari reaksi hidrogenasi.
Reaksi hidrogenasi dapat mengubah trigliserida yang mengandung asam lemak
tak jenuh menjadi trigliserida yang semua asam lemaknya jenuh.

11

A

1
4
0
0

B

1
1
0
0

7
0
0

C

D

2
9
0
0

1
7
0
0

E

F
Gambar 4.2 Profil FTIR ARPO, Produk dengan lama proses sintesis B1.5 jam, C2
jam, D2.5 jam, E3 jam dan F 3.5 jam.
Bilangan gelombang 1711.93-1743.31 cm-1 menunjukkan adanya gugus
fungsi karbonil dan asam lemak. Gugus fungsi C=O ini terlihat sangat tinggi pada
RPO, namun dengan perlakuan proses deoksigenasi dan cracking semakin lama,
kandungan grup karbonil pada produk menjadi semakin rendah. Gambar 4.2
menunjukkan bahwa bentuk puncak spektrum produk pada bilangan gelombang

12
1711.93-1713.48 cm-1 semakin mengecil. Hal ini menandakan bahwa semakin
lama proses deoksigenasi dan cracking, gugus C=O dan C=C yang terkandung
pada produk semakin kecil dan bereaksi atau terlepas menjadi ikatan tunggal C-C
dan C-O sebagai akibat reaksi deoksigenasi.
Gugus fungsi C-O juga dapat dilihat pada bilangan gelombang 1116.291286.05 cm-1 . Puncak tajam pada bilangan gelombang 1116.29 cm-1 terlihat pada
spektrum RPO. Puncak tersebut hampir tidak terlihat pada spektrum produk,
bahkan sama sekali tidak muncul pada spektrum produk hasil sintesis bioavtur
pada lama proses 3 dan 3.5 jam (Gambar 4.2 E dan F). Hal ini menandakan reaksi
deoksigenasi pada produk telah terjadi. Bentuk puncak pada panjang gelombang
tersebut juga menunjukkan tahapan proses deoksigenasi.
Reaksi ini merupakan tahapan akhir proses deoksigenasi yang dinamakan
reaksi dekarboksilasi. Reaksi tersebut dapat mengubah asam lemak menjadi
hidrokarbon rantai panjang dan karbon dioksida. Bentuk puncak terlihat makin
tajam dari bilangan gelombang 1376.94-1464.86 cm-1 pada spektrum produk hasil
sintesis bioavtur pada lama proses 3 dan 3.5 jam (Gambar 4.2 E dan F) yang
menandakan gugus fungsi alkana yang terbentuk semakin banyak.
Puncak pada Gambar 4.2 B, C, dan D menunjukkan bahwa proses
hidrogenasi telah terjadi, namun proses dekarboksilasi belum berlangsung
sempurna. Puncak pada Gambar 4.2 E dan F menunjukkan bahwa proses
hidrogenasi dan dekarboksilasi telah berlangsung dengan baik, sehingga dapat
disimpulkan bahwa reaksi deoksigenasi telah berlangsung sempurna pada hasil
sintesis bioavtur pada lama proses 3 dan 3.5 jam, ditandai dengan tidak adanya
puncak pada area tersebut. Bilangan gelombang 623.76-937.05 cm-1 dengan
puncak yang cukup tajam menunjukkan gugus fungsi alkena dan gugus fungsi
aromatik. Menurut Srivastava (2007), bilangan gelombang tersebut menunjukkan
proton (H) streching untuk gugus –CH3 pada senyawa aromatik. Untuk
mengetahui senyawa yang terjadi pada proses cracking, maka senyawa yang
terbentuk pada semua lapisan dianalisis dengan alat GC-MS.
Berdasarkan data GC-MS dapat dipilih fraksi yang memiliki jumlah rantai
karbon setara dengan rantai karbon avtur. Data GC-MS menunjukkan bahwa
reaksi deoksigenasi dan cracking menghasilkan banyak senyawa, terlihat dari
banyaknya puncak TIC (Total Ion Current) (Gambar 4.3). Hidrokarbon yang
terdeteksi antara lain adalah nonana (C9), dekana (C10), dan undekana (C11).
Gambar 4.3 menunjukkan kromatogram GC-MS dari produk hasil deoksigenasi
dan cracking.
Hasil analisis GC-MS tersebut menunjukkan pula bahwa terdapat kemiripan
komposisi kimia antara bahan bakar pesawat JP-8 (Seames dan Aulich 2008)
dengan produk. Avtur JP-8 dan produk sama-sama memiliki alkana C9 (nonana),
C10 (dekana), dan C11 (undekana) dengan komposisi yang cukup tinggi dan
didominasi dengan alkana C7-C12. Namun komposisi produk hasil deoksigenasi
dan cracking RPO ini mengandung senyawa-senyawa lain, sedangkan komposisi
Avtur JP-8 terdiri dari alkana C7-C16. Pada kromatogram GC-MS, nonana muncul
pada waktu retensi 16.6 menit, dekana muncul pada waktu retensi 21.3 menit,
sedangkan undekana muncul pada waktu retensi 25.9 menit.

13

Gambar 4.3 Perbandingan kromatogram GC-MS dari produk hasil deoksigenasi
dan cracking dengan lama proses A1.5 jam, B2 jam, C2.5 Jam, D3
jam. E3.5 jam.
Hasil mass spektra pada Gambar 4.4 menunjukkan bahwa produk memiliki
gugus fungsi hidrokarbon (CH3). Panji (2012) mengemukakan bahwa jenis gugus
fungsi dapat dikenali dari tipe ion paling sederhana yang dihasilkan pada
fragmentasi.
Gugus fungsi tertentu akan menghasilkan seri ion yang memiliki pola
tertentu, karena merupakan deret homolog dari ion yang paling sederhana. Seri
ion ini sering disebut magic number. Magic number untuk gugus fungsi
hidrokarbon adalah 29, 43, 57, 71, 85, 99 dan seterusnya.

14
43.1

57.1

71.1

85.1

128.2

142.2

156.2

Gambar 4.4 Mass spektra hidrokarbon-hidrokarbon yang terdeteksi pada produk
hasil deoksigenasi dan cracking: ANonana, BDekana, CUndekana.
Pada Gambar 4.4 terlihat bahwa seri ion yang dihasilkan sesuai dengan
seri ion gugus fungsi hidrokarbon. Molekul dengan ion molekul 156.2 dan pola
43.1, 57.1,71.1, 85.1 dan seterusnya merupakan hidrokarbon undekana (Gambar
4.4 C). Molekul dengan ion molekul 142.2 dan dengan pola fragmentasi 43.1,
57.1, 71.1, 85.1 dan seterusnya yang merupakan hidrokarbon dekana (Gambar 4.4
B). Molekul dengan ion molekul 128.2 dan pola fragmentasi 43.1, 57.1, 71.1, 85.1
dan seterusnya merupakan hidrokarbon nonana (Gambar 4.4 A).
Gugus fungsi hidrokarbon avtur telah muncul mulai dari produk hasil
deoksigenasi dan cracking dengan lama proses 1.5 jam. Gambar 4.5 menunjukkan
kandungan hidrokarbon bioavtur yang terdapat pada produk dengan pendekatan %
luas area puncak pada kromatogram TIC.
Pendekatan % luas area puncak pada kromatogram TIC digunakan untuk
mengetahui kandungan hidrokarbon avtur pada produk hasil deoksigenasi dan
cracking. Hal ini dilakukan karena GC-MS yang digunakan tidak memiliki
kromatogram standar untuk bioavtur.
Teori Effective Carbon Respon (ECR) menyatakan bahwa respon puncak
pada kromatogram GC tergantung dari jumlah karbon dan gugus fungsi suatu
senyawa. Namun, dengan membandingkan % luas area puncak hidrokarbon
bioavtur dapat diketahui kondisi reaksi yang menghasilkan hidrokarbon bioavtur
tertinggi. Gambar 4.5 menunjukkan bahwa semakin lama sampling dilakukan,
kandungan hidrokarbon bioavtur C7-C12 semakin menurun.

15
50
45
40
% Luas Area

35
30
25
20
15
10
5
0
1.5

2

2.5

3

3.5

Waktu Sampling (Jam)

Gambar 4.5. Kandungan hidrokarbon bioavtur produk hasil deoksigenasi dan
cracking dengan pendekatan % luas area puncak kromatogram TIC
( ) C7-C12 dan ( )C9-C11 terhadap variasi waktu sampling

% Luas Area

Hasil ini berbeda dengan kandungan hidrokarbon bioavtur C9-C11 yang
cenderung sama pada variasi waktu sampling. Kandungan hidrokarbon ini
seharusnya semakin meningkat sejalan dengan lamanya proses deoksigenasi dan
cracking. Penurunan kandungan hidrokarbon bioavtur disebabkan oleh banyaknya
hidrokarbon avtur yang menguap menjadi gas, mengingat bobot molekul
hidrokarbon bioavtur lebih rendah dibandingkan senyawa lainnya pada produk.
Nilai % luas area puncak kromatogram TIC hidrokarbon bioavtur dapat dilihat
pada Lampiran 6.
Pendekatan % luas area puncak pada kromatogram TIC juga dapat
digunakan untuk mengetahui kandungan senyawa aromatik dan alkena yang
terdapat pada produk (Gambar 4.6).
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
1.5

2

2.5

3

3.5

Waktu Sampling (Jam)

Gambar 4.6. Kandungan senyawa aromatik dan alkena pada produk hasil
deoksigenasi dan cracking dengan pendekatan % luas area puncak
kromatogram TIC terhadap variasi waktu sampling

16
Gambar 4.6 menunjukkan bahwa kandungan senyawa aromatik dan alkena
produk semakin meningkat sejalan dengan lamanya waktu sampling. Hal ini
sesuai dengan hasil analisis FTIR (Gambar 4.2) yang menunjukkan puncak yang
semakin tajam akibat perbedaan variasi waktu sampling pada bilangan gelombang
untuk gugus fungsi aromatik dan alkena.
Nilai % luas area puncak kromatogram TIC senyawa alkena dan aromatik
dapat dilihat pada Lampiran 6. Senyawa-senyawa aromatik dan alkena yang
terdapat pada produk dapat dilihat pada Lampiran 7. Dari hasil analisis FTIR dan
GCMS tersebut dapat disimpulkan bahwa proses deoksigenasi dan cracking
terbaik terdapat pada produk hasil sintesis pada lama reaksi tiga jam.

5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa reaksi deoksigenasi dan cracking
terbaik adalah pada suhu 450 oC pada tekanan 50 bar selama tiga jam dengan
pertimbangan memiliki kriteria deoksigenasi sempurna, menghasilkan produk dari
sampel gas yang memiliki sifat setara avtur, yaitu memiliki densitas 0.8105 g/cm3,
tetap berbentuk cair pada suhu rendah hingga -55 oC, dan memiliki komposisi
hidrokarbon C7-C12.

5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji kinerja produk pada
hasil deoksigenasi dan cracking terbaik (suhu 450 oC, tekanan 50 bar, proses
selama 3 jam) yang sesuai dengan metode analisis kerja bahan bakar pesawat.

DAFTAR PUSTAKA
Aurora A. 2006. Hydrocarbons (Alkanes, Alkenes, and Alkynes). New Delhi (IN):
Discovery Publishing House.
Boyas RS, Zarraga FT, Loyo FJH. 2012. Hydroconvertion of Triglycerides into
Green Liquid Fuels. In tech 8: 187-216.
Bradin, D. 2011. Process for Producing a Renewable Fuel in the Gasoline or Avtur
Range. United States Patent No. US 7928 273 B2.
Dagget DL, Hendricks RC, Walther R, Corporan E. 2007. Alternate Fuels for Use
in Commercial Aircraft. Boeing Commercial Airplane, Seattle.
Direktorat Jendral Minyak dan Gas. 2012. Statistik Minyak dan Gas Indonesia.
Holmgren J. 2008. Bio Aviation Fuels. World Biofuels Markets Congress.
Brussels, Belgium. 12-14 March 2008.

17
McCall MJ, Marker TL, Marinangeli RE, Kocal JA.. 2009. Production of
Aviation Fuel from Biorenewable Feedstocks. US Patent Application
Publication No. US 2009/0162264 A1.
Milton B. 2005. World Jet Fuel Specifications with Avgas Supplement. UK:
Technical Department Leatherhead.
Nasikin M, Susanto BH, Hirsaman MA, Wijanarko A. 2009. Biogasoline from
Palm Oil by Simultaneous Cracking and Hydrogenation Reaction over
NiMo/Zeolite Catalyst. World Applied Sci J 5: 74-79.
Panji T. 2012. Teknik Spektroskopi untuk Elusidasi Struktur Molekul. Yogyakarta
(ID): Graha Ilmu.
Savitri. 2013. Pembuatan Cumene (Isopropil Benzena) dari Minyak Gondorukem
(Rosin Oil) Melalui Reaksi Perengkahan dan Dehidrogenasi Menggunakan
Katalis HZSM-5 Termodifikasi. [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Surfactant and Bioenergy Research Center. 2013. SOP for Densitymeter Anton
Paar DMA 4500m. Bogor (ID): SBRC.
Seames WA and Aulich T. 2008. Method for Cold Stable Biojet Fuel. US Patent
Application Publication No. US 2008/0092436 A1.
Srivastava A dan Singh VB. 2007. Theoritical and Experimental Studies of
Vibrational Spectra of Naphtalene an its Cation. Indian J Pure & Appl
Phys 45: 714-720.
Syahrir I. 2009. Proses Perengkahan Asam Oleat Basis Minyak Sawit Menjadi
Fraksi Gasoline dengan Katalis HZSM-5. J Teknik Kim 3 (2): 227-233.
Twaiq FA, Noor A, dan Subhash B. 2004. Performance of Composite Catalysts in
Palm Oil Cracking for the Production of Liquid Fuels and Chemicals. J
Fuel Processing Technol 85: 1283-1300.
Twaiq FA, Noor A, dan Subhash B. 1999. Catalytic Covertion of Palm Oil to
Hydrocarbon: Performance of Various Zeolite Catalysts. J Ind Eng Chem
Res 38: 3230-3237.
Wijanarko A, Mawardi DA, Nasikin M. 2006. Produksi Biogasoline dari Minyak
Sawit Melalui Reaksi Perengkahan Katalitik dengan Katalis γ-alumina.
Makara Teknol 10 (2): 51-60.
Williams DH dan I Fleming. 1973. Spectroscopic Methods in Organic Chemistry.
2nd ed. London (GB): Mc Graw Hill.

18
Lampiran 1. Syarat Mutu Bahan Bakar Pesawat Berdasarkan International Air
Transport Association
Issuing Agency: Specification:
Latest Revision date Grade
Designation:
COMPOSITION
Appearance C & B (1) C & B
(1)
Acidity, Total (mg KOH/g)

IATA Guidance Material (5th Edition) January 2004
Jet A
Jet A-1
Test Method
IP
Kerosine
Kerosine
ASTM
C & B (1)

C & B (1)

M

0.10

0.015

D3242

354

M

25

25.0

D1319

156

M

. ---

26.5

M

0.30

0.30

ax.
Aromatics (vol %)
ax.
or Total Aromatics (vol %)

436

ax
Sulphur, Total (wt %)
ax

Sulphur, Mercaptan (wt %)

M 0.003

0.0030

D1266,
D1552,
D2622,
D4294,
D5453
D3227

107,
243,
336,
373

D4952

30

D86

123

170,
303
160,
365

342

ax.
or Doctor Test
H/P Components (vol%)
Severely H/P Components
(vol%) (2)
VOLATILITY
Distillation Temperature:
Initial BP (°C)
10% Recovery (°C)

M

Negative

Negative
Report
Report

--205

Report
205.0

ax.
50% Recovery (°C)

M Report

Report

M Report

Report

M

300

300.0

M

1.5

1.5

M

1.5

1.5

M

38

38.0

D56, D3828

775-840

775.0-840.0

D1298,
D4052

M

-40

-47.0

16

M

8.0

8.000

D2386,
D5972
D445

M

42.

8 42.

12, 381,
355

25.0

25

80 D3338,
D4529,
D4809
D1322

ax.
90% Recovery (°C)
ax.
Final BP (°C)
ax.
Distillation Residue (vol %)
ax.
Distillation Loss (vol %)
ax.
Flash Point (°C)
in.
Density @ 15°C (kg/m3)
FLUIDITY
Freezing Point (°C)
ax
Viscosity @ -20°C (cSt)

71

ax.
COMBUSTION
Net Heat of Comb. (MJ/kg)
in.
Smoke Point (mm)

57

19
Lampiran 1. Syarat Mutu Bahan Bakar Pesawat Berdasarkan International Air
Transport Association (lanjutan…)
Issuing Agency: Specification:
Latest Revision date Grade
Designation:
COMBUSTION
or Smoke Point (mm)

IATA Guidance Material (5th Edition) January 2004
Jet A
Jet A-1
Test Method
IP
Kerosine
Kerosine
ASTM
M

18

19.0

D1322

57

M

3.0

3.00

D1840

M

1

1

D130

154

M

25

25

D3241

323

in.
and Naphthalenes (vol %)
ax.
CORROSION
Copper Strip (2h @ 100°C)
ax.
THERMAL STABILITY
JFTOT ÆP @ 260 ºC(mm Hg)
ax.
Tube Deposit Rating (Visual)

M .