Dampak Kebijakan Antidumping Tariff dan Free Trade Agreement Terhadap Permintaan Impor Udang Amerika Serikat

DAMPAK KEBIJAKAN ANTIDUMPING TARIFF DAN FREE
TRADE AGREEMENT TERHADAP PERMINTAAN IMPOR
UDANG AMERIKA SERIKAT

NOVADE NUR ARIF SIREGAR

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Kebijakan
Antidumping Tariff dan Free Trade Agreement Terhadap Permintaan Impor
Udang Amerika Serikat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Novade Nur Arif Siregar
NIM H34100156

ABSTRAK
NOVADE NUR ARIF SIREGAR. Dampak Kebijakan Antidumping Tariff dan
Free Trade Agreement Terhadap Permintaan Impor Udang Amerika Serikat.
Dibimbing oleh AMZUL RIFIN.
Amerika Serikat menjadi importir udang utama di dunia karena tingginya
konsumsi dan permintaan akan udang impor. Perdagangan udang di Amerika
Serikat mengancam pasokan industri domestik Amerika sehingga pemerintah
Amerika membuat kebijakan berupa antidumping tariff dan free trade agreement.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana dampak kebijakan
antidumping tariff dan free trade agreement yang dilihat dari dayasaing dan
faktor-faktor permintaan impor. RCA dan Gravity Model digunakan dalam
penelitian yang dilakukan. Hasil penelitian menjelaskan bahwa Indonesia
memiliki nilai RCA tertinggi dibandingkan negara eksporter lain. Antidumping
tariff menurunkan permintaan impor udang sesusai dengan teori. Free Trade

Agreement menurunkan permintaan impor udang namun tidak sesuai dengan teori.
Kata kunci: Amerika Serikat, bea masuk antidumping, dampak kebijakan
perdagangan, perjanjian perdagangan bebas, udang

ABSTRACT
NOVADE NUR ARIF SIREGAR. The Impact of Antidumping Tariff and Free
Trade Agreement Policies Towards Shrimp Import Demand in the United States.
Supervised by AMZUL RIFIN.
The United States became the major shrimp importer caused by high
consumption and demand of shrimp import. Shrimp industry domestic suffered by
shrimp import therefore the government set the trade policies such as
Antidumping Tariff and Free Trade Agreement. The purpose of this study is to
analyze the impact of the United States Antidumping Tariff and Free Trade
Agreement. Revealed Comparative Advantage (RCA) and Gravity Model
approach was used in the analysis. The result is Indonesia has the highest RCA
compared other exporters. Based on the theory, Antidumping Tariff has decreased
shrimp import demand. Free Trade Agreement has decreased shrimp import
demand however it is not relevant with theory.
Keywords: The United States, antidumping tariff, impact of trade policy, free
trade agreement, shrimp


DAMPAK KEBIJAKAN ANTIDUMPING TARIFF DAN FREE
TRADE AGREEMENT TERHADAP PERMINTAAN IMPOR
UDANG AMERIKA SERIKAT

NOVADE NUR ARIF SIREGAR

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Dampak Kebijakan Antidumping Tariff dan Free Trade Agreement

Terhadap Permintaan Impor Udang Amerika Serikat
Nama
: Novade Nur Arif Siregar
NIM
: H34100156

Disetujui oleh

Dr Amzul Rifin, SP MA
Pembimbing
Diketahui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah
Perdagangan Internasional, dengan judul Dampak Kebijakan Antidumping Tariff
dan Free Trade Agreement Terhadap Permintaan Impor Udang Amerika Serikat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Amzul Rifin SP MA selaku
pembimbing skripsi yang telah membimbing dan membantu saya menyelesaikan
skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para dosen
Departemen Agribisnis dan Ibu Ida dari staf Departemen Agribisnis yang telah
membantu selama penyelesaian keperluan skripsi. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada keluarga yaitu Arifin Siregar, Artha Hidayah Siagian,
Novient Nur Arif Siregar, dan Nisaul Arif Siregar yang telah memberikan
dukungan tiada henti baik secara moral dan materi dalam tahap penyelesaian
karya ilmiah ini. Terima kasih disampaikan kepada teman-teman tersayang dari
keluarga IMMAM yaitu Amalia Aldina Thoha, Winda Anggraini Harahap, Yulita
Farisa Harahap, Muhammad Iqbal Syahputra Siregar, Muhammad Irfan Miraza,
Muhammad Haris, Muhammad Dahri Zikri, Muhammad Hilman, Melly Sari
Ramadhani Nasution, Adilla Ahmad, Ega Aprindah Aladin, Kartika Jayamurti,
dan Rita Astuti Ritonga yang selalu memberi dukungan moral dan spirit dalam
penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman
Agribisnis yaitu Sabila Mumtaz Khandari, Feby Rizky Hadiyanti, Ayutyas
Sayekti, Revina Febby Rotua Sianipar, Syarifah Nurul Arumi Shahab, Wuri Tri

Handayani, Aditya Maulana, Ryan Fajar Novarianto, serta teman-teman yang
tidak bisa disebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2014
Novade Nur Arif Siregar

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

6

TINJAUAN PUSTAKA

6


Penelitian Terdahulu

6

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Teoritis

9
9

Kerangka Operasional

20

METODE PENELITIAN

21

Waktu dan Tempat Penelitian


21

Jenis dan Sumber Data

22

Metode Analisis dan Pengolahan Data

22

GAMBARAN UMUM

27

Pangsa Pasar Perdagangan Udang di Amerika Tahun 2012

27

Pasar Udang Domestik Amerika Serikat


28

Kebijakan Antidumping Tariff Amerika Terhadap Negara Eksportir Udang

31

Kebijakan Perdagangan Bebas di Amerika Serikat

33

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Daya Saing Komoditi Udang Negara Eksportir di Pasar Amerika
Serikat Tahun 1992 – 2012

37
37

Dampak Kebijakan Terhadap Perdagangan Impor Udang di Amerika Serikat 38
Implikasi Kebijakan Pemerintah Amerika Serikat Terhadap Indonesia
SIMPULAN DAN SARAN


45
45

Kesimpulan

45

Saran

46

DAFTAR PUSTAKA

47

LAMPIRAN

49

RIWAYAT HIDUP

66

DAFTAR TABEL
1 Produksi Udang Berdasarkan Produsen Utama (MT)
2 Jumlah Impor Udang Negara Importir Terbesar
3 Konsumsi Produk Makanan Laut per Kapita di Amerika Serikat Tahun
2011
4 Nilai Perdagangan Impor Udang di Amerika Tahun 2008 – 2012
5 Data dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian
6 Produksi Udang Dalam Negeri dan Udang Impor Amerika Serikat
Tahun 1997 – 2010
7 Bea Antidumping Untuk Produk Udang Beku
8 Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika dengan Mitra
9 Hasil Estimasi Faktor-Faktor Permintaan Impor Amerika

1
2
2
3
22
31
33
35
42

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Dampak Kebijakan Tarif
Tahap-Tahap Integrasi Ekonomi
Kerangka Pemikiran Operasional
Pangsa Pasar Negara Eksportir Udang di Pasar Amerika

13
15
21
28

DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai RCA Sepuluh Negara Eksportir Udang
2 Hasil RCA Ekspor Udang ke Amerika Tahun 1992 – 2012
3 Hasil Estimasi Faktor-Faktor Permintaan Impor Udang

49
50
60

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pasar udang dunia telah berkembang secara signifikan sejak tahun 1980-an.
Peningkatan perdagangan udang telah dikaitkan terutama peningkatan produksi,
hasil dari ekspansi dalam operasi akuakultur (terutama Asia dan Amerika
Selatan). Hampir 80 persen udang yang dibudidaya berasal dari Asia seperti
Thailand, China, Indonesia, dan India sebagai produsen udang utama. Produksi
udang Asia memiliki kualitas udang yang baik sehingga memiliki nilai daya saing
yang tinggi di pasar dunia. Produsen utama komoditas udang yaitu Thailand yang
juga menjadikan Thailand sebagai salah satu pengekspor udang terbesar bagi
negara importir seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Total produksi
udang berdasarkan wilayah produksi utama di dunia dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Produksi udang berdasarkan produsen utama (MT)
Wilayah
Asia
Tenggara
China
India/
Bangladesh
Amerika
Afrika/
Timur
Tengah
Lainnya
Total

2007

2008

2009

2010

2011

2012

1 357 155

1 462 992

1 342 629

1 449 440

1 574 876

1 716 346

1 265 636

1 268 074

1 181 130

899 600

962 000

1 048 000

171 265

153 797

181 261

204 190

222 737

236 103

451 244

474 344

478 716

465 644

499 250

527 750

26 641

30 067

25 000

27 500

30 000

34 000

9 502
3 281 443

9 725
3 398 999

15 000
3 223 736

16 000
3 062 330

16 000
3 304 863

16 000
3 578 199

Sumber: FAO (2010), GOAL (2009)

Impor udang dari dunia yang dilakukan oleh beberapa negara mengalami
peningkatan, terkecuali tahun 2012. Pada tahun 2012, penurunan impor udang
dikarenakan adanya wabah penyakit yang menurunkan produksi udang di
beberapa negara penghasil udang di dunia, seperti Thailand, China, dan Malaysia.
Negara utama importir udang yaitu Jepang, USA, dan Uni Eropa dengan Amerika
mengambil alih sebagai negara importir nomor satu di dunia. Hal ini dikarenakan
meningkatnya permintaan udang impor dengan harga yang rendah, sedangkan
impor udang ke Jepang mengalami penurunan dikarenakan rendahnya permintaan
akibat ketidakpastian ekonomi Jepang.
Beralihnya importir terbesar dari Jepang ke Amerika disebabkan juga oleh
permintaan konsumen Jepang atas udang impor yang konstan bahkan rendah,
sedangkan permintaan udang impor dari Amerika mengalami peningkatan. Uni
Eropa dalam perdagangan impor udang menerapkan berbagai hambatan
perdagangan sehingga menyulitkan para eksportir udang. Ditetapkannya
kebijakan tariff membatasi jumlah udang yang diekspor ke negara-negara Uni
Eropa. Sehingga, para produsen udang beralih ke Amerika Serikat dikarenakan
mudahnya untuk melakukan perdagangan serta permintaan impor udang yang
tinggi.

2

Tabel 2. Jumlah impor udang negara importir terbesar
Amerika Serikat
Jepang (Frozen
Shrimp only)
Spanyol
Perancis
Inggris
Italia

2009
406 727 814

2010
415 212 558

2011
430 169 378

2012
419 702 785

197 573 829

205 344 682

205 216 286

200 501 829

159 654 680
91 686 890
39 521 848
61 683 554

166 237 831
95 537 400
40 531 494
63 982 366

174608716
92 572 175
43 840 704
64 966 992

149 650 391
92 925 666
38 895 536
58 067 248

Sumber: UN Comtrade, 2012

Udang merupakan produk makanan laut terkemuka dijual di setiap wilayah
Amerika Serikat. Sebagian besar pembelian udang di Amerika dilakukan oleh
restaurant dan lembaga-lembaga seperti industry perikanan. Sebanyak 80 persen
dari semua udang yang dimakan di Amerika dikonsumsi di restaurant yang
merupakan 20 persen dari seluruh penjualan makanan laut. Udang juga
meningkatkan penjualan ikan di pasar sekitar 50 persen.. Sejak tahun 2000,
produksi udang Amerika mengalami penurunan 26 persen. Konsumsi udang yang
meningkat dapat diakibatkan juga oleh stabilnya harga tuna kaleng dengan jumlah
ketersediaan yang terbatas, sedangkan ketersediaan udang semakin lama semakin
meningkat dengan harga yang murah terutama harga udang impor di pasar
Amerika. Konsumsi per kapita udang pada tahun 2011 mencapai £ 4,2 terhitung
sekitar 25 persen dari total makanan laut yang dikonsumsi Amerika Serikat (Tabel
2). Meskipun konsumsi udang menyumbang lebih dari 20 persen dari total
makanan laut yang dikonsumsi, jumlah pasokan domestik udang jauh dibawah
permintaan dan hampir 90 persen dari udang yang dibutuhkan merupakan udang
yang diimpor. Walaupun terjadi beberapa masalah seperti waktu pengiriman dan
inkonsistensi pada penawaran (pasokan), namun impor udang tambak memiliki
banyak keuntungan sehingga menjadikan produk perikanan utama yang diimpor.
Tabel 3. Konsumsi produk makanan laut per kapita di Amerika Serikat tahun
2011
Jenis atau Produk
Udang
Tuna Kaleng
Salmon
Nila
Alaska Pollock
Lele
Kepiting
Ikan Kod
Pangasius
Remis
Total

Jumlah Konsumsi Tahun 2011
4.2
2.6
1.9
1.29
1.3
0.56
0.52
0.50
0.63
0.33
15.0

Sumber: NMFS, 2011

Impor udang Amerika Serikat pada tahun 2012 senilai 4.5 milliar dollar,
meningkat hampir 43 persen dari tahun 1999 dengan tingkat pertumbuhan
tahunan rata-rata 3.3 persen. Impor udang menyumbang 27 persen dari nilai total
produk perikanan impor yang dapat dikonsumsi. Tujuh pemasok utama telah

3

menyumbang sebagian besar impor tersebut seperti China, Ekuador, India,
Indonesia, Meksiko, Thailand, dan Vietnam. Pada tahun 2012, impor udang dari
tujuh negara tersebut menyumbang 88 persen dari nilai total impor udang
Amerika Serikat. Thailand merupakan pemasok terbesar di Amerika Serikat
terhitung sekitar 25 persen dari impor tahun 2012. Konsumen udang di Amerika
Serikat sangat bergantung pada impor yang menyediakan 93 persen dari total
pasokan pada tahun 2011.
Peningkatan impor udang Amerika telah ditopang oleh peningkatan
konsumsi udang perkapita Amerika. Udang telah menjadi makanan laut paling
banyak dikonsumsi di Amerika Serikat semenjak tahun 2001 yang diikuti oleh
tuna kaleng dan salmon. Pada tahun 1999, konsumsi udang per kapita adalah 3
pon sementara konsumsi udang per kapita Amerika pada tahun 2011 sebesar 4.2
pon (National Marine Fisheries Services, 2012). Untuk terus meningkat secara
signifikan, impor udang Amerika terkonsentrasi di beberapa negara pemasok
udang. Pada tahun 2004 enam negara pengekspor udang memasok lebih dari 70
persen dari total impor Amerika yang lebih dari 1 milliar pound. Negara-negara
tersebut meliputi Brazil, China, Ekuador, India, Thailand, dan Vietnam. Eksportir
utama udang yang lainnya ke Amerika yaitu Meksiko, Bangladesh, dan Indonesia.
Namun, negara-negara eksportir tersebut tidak selalu mengekspor udang ke
Amerika dari tahun 1992 hingga 2012. Beberapa negara pasokan impor udang
Amerika dari tahun 1992 hingga 2012 yaitu Thailand, Indonesia, Peru, Ekuador,
India, Canada, Mexico, Malaysia, China, Colombia, dan Singapore. Tabel 3
menjelaskan jumlah udang yang diperdagangkan oleh beberapa negara yang
selalu menjadi pasokan udang Amerika.
Tabel 4. Nilai perdagangan impor udang di Amerika tahun 2008 – 2012
Eksportir
Thailand
Indonesia
Peru
India
Mexico
Malaysia
China

2008
110 781 417
72 612 314
48 187 426
13 586 191
34 457 262
26 662 603
17 214 098

2009
112 471 821
57 538 803
48 208 981
16 946 797
41 095 285
15 429 501
11 188 693

Tahun
2010
122 060 992
51 846 753
49 277 614
27 941 764
23 492 680
22 628 092
14 986 761

2011
106 476 758
59 434 068
63 748 902
44 914 829
30 622 934
27 560 180
12 704 938

2012
79 449 840
64 227 712
63 602 958
62 560 354
26 238 119
22 585 762
9 192 047

Sumber: UN Comtrade, 2012

Karena peningkatan impor, produksi udang dalam negeri mengalami
penurunan hampir setengahnya, dari 463 781 ribu dollar pada tahun 2002 menjadi
240 976 ribu dollar pada tahun 2011. Udang pendaratan di Amerika Serikat pada
tahun 2011 hampir sebesar 312,7 juta pon dengan nilai hampir 518 juta dollar.
Kawasan Teluk pendaratan memiliki pangsa terbesar diantara semua daerah,
terhitung hampi 68 persen dari total nasional sebesar 212 juta pon. Petambak
udang Teluk dipaksa menurunkan harga akibat persaingan dari impor udang yang
dijual dibawah harga seharusnya. Sementara itu para petambak udang harus
menggunakan biaya operasional yang tinggi terutama untuk bahan bakar diesel.
Dengan mengimpor udang dalam jumlah yang besar ke pasar AS, membuat
nelayan udang dalam negeri mengeluh karena hal tersebut telah mengurangi
pangsa pasar mereka dan membuat keseluruhan penurunan harga pasar. Banyak

4

dari nelayan udang di Amerika yang harus menghadapi risiko pengangguran dan
profitabilitas yang rendah. Akibatnya, pada Desember 2003 nelayan dan
pengolahan bisnis udang di Texas, Louisiana, Mississippi, Alabama, Georgia,
Florida, North Carolina, dan South Carolina State membentuk Aliansi Southern
Shrimps Alliance (SSA) dan menyerahkan petisi kepada Komisi Perdagangan
Internasional Amerika Serikat terhadap impor udang (Fishery 2005).
Permintaan impor udang dari Amerika yang semakin meningkat pesat
membuat pemerintah Amerika menetapkan kebijakan untuk mengontrol jumlah
impor udang. Kebijakan yang ditetapkan berupa kebijakan antidumping tariff
dimana Amerika membatasi impornya pada negara-negara eksportir yang
memberikan subsidi terhadap harga udangnya di pasar Amerika sehingga harga
tersebut menjadi lebih murah dibandingkan harga domestik. Beberapa negara
yang terkena kebijakan anti-dumping adalah China, Malaysia, India, dan
Thailand. Namun, Thailand membuktikan bahwa dengan diberlakukannya
kebijakan tersebut impor udang dari Thailand tetap dalam jumlah yang besar.
Amerika Serikat juga menerapkan kebijakan free trade agreements yaitu
perjanjian dengan mitra dalam hal perdagangan bebas. Hal ini dikarenakan
Amerika Serikat menerapkan perdagangan multilateral serta sering melakukan
perdagangan ekspor impor. Free trade agreements Amerika Serikat telah
dilakukan dengan 34 negara yang masing-masing menerapkan keuntungan untuk
negaranya. FTA Amerika Serikat memberikan toleransi atau keleluasaan dalam
hal hambatan perdagangan sehingga meringankan beban untuk melakukan
perdagangan dan meningkatkan keuntungan pada setiap negara. FTA menyangkut
semua komoditi yang masuk dalam perjanjian untuk diperdagangkan sehingga
menaikkan nilai impor atau ekspor masing-masing negara.
Perumusan Masalah
Ocean shrimp mendominasi pasokan udang dalam negeri di Amerika
Serikat, sementara produksi udang kurang dari 2 persen dari pasokan udang
domestik (Keithly 2008). Daerah utama penghasil udang adalah daerah pesisir
New England, pantai Atlantik Selatan, Teluk Meksiko, dan di sepanjang pantai
Pasifik barat Amerika Serikat. Total impor udang Amerika pada tahun 2010
menyumbang pangsa pasar 88 persen (VSTM 2011), Sumber impor udang
tersebut termasuk Asia yang menyumbang 49 persen, Amerika Utara 22 persen,
Amerika Selatan 18 persen, Eropa 6 persen, Oceania 4 persen, dan Afrika 1
persen. Sumber utama negara tujuan impor udang di Amerika yaitu Thailand,
China, Viet Nam, India, Indonesia, dan Bangladesh yang merupakan bagian Asia.
Meksiko dan Kanada pada bagian Amerika Utara, sedangkan Ekuador, Brazil,
Venezuela, dan Guyana merupakan sumber utama di Amerika Selatan.
Amerika mengimpor lebih dari seperempat dari total pasokan udang dunia
pada tahun 2011. Amerika mengimpor beberapa produk udang yang telah
tersegmentasi menjadi sembilan belas kategori berdasarkan situs National Marine
Fisheries Service dan Teknologi Nasional. Selama periode 1991 – 2012 volume
semua jenis udang impor kecuali shell-on berukuran kecil, telah meningkat.
Namun pangsa relatifnya telah berubah. Misalnya, pangsa udang kupas yang beku
dan segar dan udang yang bermacam-macam meningkat dari 34 persen dan 7

5

persen di tahun 1991 menjadi 38 persen dan 21 persen di tahun 2012, bila
dibandingkan, pangsa udang dengan produk lain (shell-on berukuran besar,
medium, dan kecil) menurun. Udang kupas yang beku dan segar memiliki pangsa
terbesar diantara semua jenis impor udang.
Amerika mengimpor udang lebih dari lima puluh negara di seluruh dunia.
Negara-negara tersebut termasuk Asia, Amerika Selatan, dan negara-negara
Amerika Tengah. Negara-negara Asia adalah eksportir utama udang ke Amerika
Serikat dengan pangsa lebih dari 75 persen pada tahun 2011. Amerika Selatan dan
Amerika Tengah memiliki pangsa 17 persen dan 6 persen dari impor udang
Amerika Serikat pada tahun 2011. Sedangkan semua negara termasuk Eropa dan
Afrika hanya memiliki pangsa sebesar 1 persen dari total impor Amerika Serikat.
Tingginya permintaan Amerika Serikat atas impor udang terhadap beberapa
negara penghasil udang menimbulkan persaingan untuk meningkatkan pangsa
pasar. Dengan memiliki pangsa pasar yang besar dapat meningkatkan trade value
atas ekspor udang pada negara eksportir ke Amerika yangmana bertujuan untuk
meningkatkan devisa negaranya. Oleh karena itu, setiap negara eksportir terus
berusaha untuk memperbaiki mutu udang yang akan diekspor guna meningkatkan
kepercayaan Amerika untuk menjadikan negara tujuan impornya sebagai sumber
utama impor udang. Sehingga terjadilah persaingan antar negara yang mana
udang di setiap negara eksportir harus memiliki daya saing atau keunggulan.
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, impor dilakukan didasarkan
pada faktor GDP negara importir, GDP negara eksportir, kurs, cadangan devisa,
harga impor, harga substitusi komoditi, produksi domestik. Impor udang dari
Amerika didukung oleh beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi naik turunnya
permintaan impor udang. Faktor-faktor tersebut dapat berupa GDP per kapita
Amerika, GDP per kapita negara eksportir, kurs yang berlaku setiap tahunnya,
jarak ekonomi antar negara eksportir dan importir, harga, dan variabel dummy
yang digunakan untuk melihat pengaruh nyatanya terhadap naik turunnya
permintaan impor udang dari Amerika.
Pada tahun 2008 Amerika Serikat mengalami krisis keuangan, sedikit dari
masyarakat awam (terutama Indonesia) yang benar-benar menyadari dampaknya
di negara adidaya tersebut. Hal ini karena krisis yang dialami Amerika Serikat
imbasnya tidak sejelas krisis ekonomi moneter yang pernah terjadi di Asia pada
tahun 1997-1998. Padahal, krisis yang dialami Amerika juga memiliki imbas
besar bagi penduduknya, walaupun tidak berujung pada penjarahan dan
pembakaran atau bahkan pemberontakan. Paling tidak, seperti data yang
dikeluarkan oleh PEW Financial Reform Project, pertumbuhan ekonomi Amerika
melambat dibuktikan dengan anjloknya GDP sebesar 5.4 persen di kuarter 2008
dan 6.4 persen di kuarter pertama 2009 (tahun ke tahun) dimana ini merupakan
periode enam bulan terburuk untuk pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat.
Selain itu, angka pengangguran meningkat pesat dan tingkat kepercayaan terhadap
pemerintah menurun.
Perdagangan bilateral di antara negara eksportir dan importir tidak terlepas
dari bentuk kebijakan pemerintah guna melindungi industri dan kondisi dalam
negeri. Bentuk kebijakan perdagangan impor udang di Amerika berupa
antidumping tariff yangmana dikeluarkan sebagai bentuk proteksi terhadap pasar
domestik Amerika Serikat. Kebijakan antidumping tariff diberlakukan kepada
negara-negara yang diduga mendapatkan subsidi dari pemerintah atas harga impor

6

udang yang berlaku di pasar Amerika sehingga menurunkan permintaan impor
domestik Amerika. Kebijakan perdagangan lainnya yang secara tidak langsung
mempengaruhi perdagangan impor udang di Amerika yaitu free trade agreements
yangmana bertujuan untuk mengurangi bahkan menghapus hambatan
perdagangan bilateral yang terjadi antara Amerika Serikat dengan negara lainnya
sehingga dapat meningkatkan nilai ekspor dan impor baik di Amerika maupun di
negara mitra. FTA Amerika Serikat dengan mitra terjadi kepada beberapa negara
eksportir udang di Amerika namun belum tentu berdampak terhadap perdagangan
impor udang yang dilakukan Amerika.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan,
maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui bagaimana dayasaing sepuluh negara eksportir udang ke
Amerika di pasar Amerika
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor udang
dari Amerika pada sepuluh negara eksportir udang
3. Mengetahui dampak dari kebijakan perdagangan yang disahkan Amerika

TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian Terdahulu
Kebijakan dalam perdagangan internasional dibutuhkan untuk menjaga
keamanan industri dalam negeri. Edwin Aprianto (2006) telah meneliti bagaimana
kebijakan mempengaruhi perdagangan internasional dengan judul Peramalan
Dampak Kebijakan Tarif Impor Beras Terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi
Perdagangan Beras di Jawa Timur. Analisis kebijakan dilihat pada: (1) keragaan
pasar beras di Jawa Timur, (2) pengaruh kinerja kebijakan tariff impor beras
terhadap keragaan pasar beras Jawa Timur, dan (3) simulasi kebijakan tariff impor
yang terbaik bagi kesejahteraan produsen dan konsumen beras di Jawa Timur.
Hasil penelitian menurut model ekonometrika bahwa keragaan pasar beras di
Jawa Timur dibentuk oleh interaksi antara permintaan beras, penawaran beras,
dan pembentukan harganya. Ketiga hal tersebut dipengaruhi secara ekonomi dan
simultan oleh variabel-variabel ekonomi seperti areal luas panen padi,
produktivitas, jumlah penduduk, pendapatan perkapita masyarakat Jawa Timur.
Tariff impor beras pada penelitian ini diketahui memiliki pengaruh secara
simultan terhadap keragaan pasar beras di Jawa Timur terutama pada jumlah
impor, harga beras, permintaan beras, harga gabah, produktivitas dan luas areal
panen padi. Kenaikan tariff impor beras menjadi 40 persen selama 5 tahun ke
depan merupakan yang terbaik, karena memberikan tambahan kesejahteraan pada
produsen sebesar Rp 7.12 triliun, selain pengurangan kesejahteraan konsumen
yang tidak terlalu besar.

7

Iwan Hermawan (2012) telah meneliti dampak kebijakan pemerintah atas
perdagangan internasional dengan judul Analasis Dampak Kebijakan Tarif Impor
Serat Kapas Terhadap Kesejahteraan Petani Serat Kapas di Indonesia. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kebijakan tariff impor serat kapas ternyata belum
mampu meningkatkan produksi kapas, khususnya sesuai dengan target produksi
serat kapas yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pertanian sebesar 63 ribu ton
pada tahun 2014. Namun demikian kebijakan ini masih memberikan dampak
positif terhadap peningkatan kesejahteraan petani serat kapas di dalam negeri.
Kombinasi kebijakan tariff impor dengan ekstensifikasi luas lahan tanaman kapas
memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi serat kapas dalam
negeri, meskipun dampaknya relatif kecil terhadap kesejahteraan petani serat
kapas dibandingkan kebijakan lainnya pada masa mendatang.
Reni Kustiarti, Atien Priyanti, dan Erwidodo (2008) telah meneliti
Kebijakan Impor Susu: Melindungi Peternakan dan Konsumen. Hasil analisis
menunjukkan bahwa semakin tinggi tariff impor, semakin tinggi harga konsumen
susu di pasar domestic, dan semakin tinggi beban yang harus ditanggung oleh
konsumen susu terutama yang berpendapatan rendah (kelompok miskin) dan
semakin tinggi biaya social neto. Akan tetapi, penerapan tariff bukanlah satusatunya cara untuk melindungi peternak susu sehingga perlu kebijakan lain yang
dapat memberikan insentif bagi peternak untuk berproduksi dan meningkatkan
kegiatan usahanya. Penerapan tariff impor yang tinggi justru menyebabkan
inefisiensi alokasi sumberdaya pertanian serta membebani konsumen dan
perekonomian nasional. Harga bukan satu-satunya peubah penentu pertumbuhan
produksi susu nasional, dan harga juga bukan satu-satunya peubah penentu
keuntungan petani. Untuk meningkatkan keuntungan (dan kesejahteraan) petani,
kebijakan perlu diarahkan untuk memacu produktivitas dengan meningkatkan
investasi untuk penelitian dan pengembangan, mengurangi distorsi pasar dan
pasar masukan produksi, serta memperluas kesempatan kerja di pedesaan.
Birgitta Dian Saraswati, Sotya F., dan Yayuk A. (2011) telah meneliti
Simulasi Dampak Kebijakan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreements)
dengan Menggunakan Angka Pengganda Social Accounting Matrices. Hasil
analisis menunjukkan bahwa kebijakan FTA ASEAN-China memberikan dampak
negatif maupun positif. Pada kasus Indonesia, dampak negative pemberlakuan
ACFTA paling besar dirasakan oleh pemerintah. Dengan bebasnya tariff barang
impor dari negara anggota ACFTA maka sumber penerimaan pemerintah dari sisi
penerimaan pajak juga berkurang. Selain itu, dampak negatif juga dirasakan pada
sektor jasa karena menurunnya pendapatan dari semua sektor produksi maka akan
berdampak pada pendapatan perbankan yang merupakan bagian dari sektor jasa.
Sedangkan dampak positif diberlakukannya ACFTA dirasakan oleh pelaku
ekonomi perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah perusahaan importir
di Indonesia cukup besar sehingga penghapusan tariff impor akan berdampak
pada peningkatan keuntungan yang diperoleh perusahaan importir. Penerapan
ACFTA juga mendorong munculnya perusahaan-perusahaan importir baru di
Indonesia. Oleh karena itu, trade creation hasil penerapan ACFTA hanya dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek karena hanya
meningkatkan konsumsi dan tidak meningkatkan ekspor.
Analisis Dampak Kebijakan Perdagangan Bebas ASEAN Terhadap
Pengembangan Komoditas Pangan Utama Indonesia telah diteliti oleh Saktyanu

8

Kristyantoadi (2012). Hasil analisis dampak perdagangan bebas ASEAN terhadap
pengembangan produk pangan Indonesia menunjukkan hanya produksi (output)
padi saja yang mengalami penurunan (negatif) sedangkan kedua komoditas
lainnya, komoditas jagung dan kedelai, mengalami peningkatan (positif). Dampak
terhadap ASEAN penurunan terjadi pada komoditas kedelai. Penurunan ini bisa
diakibatkan meningkatnya penanaman tanaman padi dan jagung sehingga
menyebabkan tanaman kedelai mengalami penurunan. Pola tersebut tidak saja
terjadi pada indikator output, namun juga terjadi yang sama pada penggunaan
faktor produksi : lahan, tenaga kerja baik terampil maupun tidak terampil, modal
dan sumberdaya alam lainnya.
Analisis Pengaruh Kebijakan Free Trade WTO Terhadap Terciptanya
Ketimpangan Ekonomi Global: Perbandingan Perekonomian India dan Amerika
Serikat juga telah diteliti oleh Dewi Andita Sari, dkk (2012). Hasil analisis
menjelaskan bahwa keberadaan globalisasi dan WTO di dunia internasional tidak
dapat dipungkiri dapat mengubah tatanan ekonomi kearah yang lebih baik, namun
ternyata tidak semua negara dapat menikmati hal tersebut. India sebagai negara
yang menjadi anggota WTO merasakan benar dampak diberlakukannya kebijakan
Free Trade oleh WTO, beberapa sektor perekonomian di India mengalami
kemajuan yang sangat pesat terutama bidang jasa. Namun ternyata keberadaan
Free Trade tidak dapat memberikan keuntungan yang sama di semua lini
perekonomian India, dimana sektor perekonomian riil belum dapat berjalan secara
semestinya. Seperti kebanyakan negara-negara berembang lainnya, ketimpangan
sosial yang disebabkan oleh adanya globalisasi sangatlah terasa bila dibandingkan
daerah urban dengan daerah rural di India. Hal berbeda dirasakan oleh Amerika
dimana mereka mendapatkan keuntungan yang lebih maksimal dari proses
perdagangan bebas, terlepas dari adanya krisis ekonomi yang menimpa Amerika
baru-baru ini. WTO yang mempromosikan perdagangan bebas ternyata juga
meinmbulkan efek negative bagi negara berkembang dan mempersulit untuk
mengejar kemampuan negara yang lebih maju dalam mengimplementasikan
kebijakan WTO. Hal tersebut kemudian berdampak kepada terjadinay situasi
ketimpangan global.
Analisis daya saing telah diteliti oleh Kusumastanto (2007) dengan judul
Kebijakan dan Strategi Peningkatan Daya Saing Produk Perikanan Nasional
dengan menggunakan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) yang
bertujuan untuk menunjukkan bagaimana pangsa produk atau komoditas
perikanan dalam keseluruhan ekspor Indonesia dibandingkan dengan pangsa
produk sejenis pada pasar ekspor dunia. Berdasarkan hasil penelitian pada
komoditas udang atau jenis Crustacea nilai RCA mengalami penurunan yaitu
sebesar 2.2 pada tahun 2002 menjadi 2.1 pada tahun 2003, dan 1.4 pada tahun
2004. Jadi dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan kontribusi jenis udang
crustacea di perdagangan internasional mengalami penurunan tetapi masih
berdaya saing kuat karena nilai RCAnya lebih besar dari satu (RCA>1).
Yunita (2006) telah meneliti analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
aliran perdagangan biji kakao Indonesia. Data yang digunakan adalah data cross
section. Variabel-variabel yang digunakan adalah volume ekspor, GDP per kapita
negara tujuan, populasi negara tujuan, jarak antara negara Indonesia dengan
negara tujuan, harga produk ekspor di negara tujuan, nilai tukar dan kualitas
produk (dummy). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara bersama-sama

9

variabel- variabel bebas dalam model berpengaruh terhadap variabel tidak bebas.
Dengan kata lain, semua variabel bebas dapat menjelaskan variasi perubahan
volume ekspor biji kakao Indonesia ke negara-negara tujuan. Variabel-variabel
yang berpengaruh besar terhadap aliran perdagangan biji kakao Indonesia adalah
populasi negara tujuan, jarak antara negara Indonesia dengan negara tujuan, nilai
tukar mata uang negara tujuan terhadap dolar Amerika dan kualitas biji kakao
Indonesia. Sedangkan untuk GDP per kapita negara tujuan tidak menjadi faktor
utama yang menjadi pertimbangan bagi negara importir untuk mengimpor biji
kakao Indonesia.
Handayani (2008) telah meneliti mengenai analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi aliran perdagangan dan strategi pengembangan ekspor kertas
Indonesia. Variabel-variabel yang berpengaruh nyata adalah PDB per kapita
negara tujuan, populasi negara tujuan, jarak antara Indonesia dengan negara
tujuan ekspor dan harga kertas Indonesia di negara tujuan. Variabel dummy yaitu
tuduhan dumping terhadap produk kertas Indonesia memberikan pengaruh negatif
dan tidak nyata terhadap aliran perdagangan kertas Indonesia.
Alternatif strategi yang menjadi pertimbangan bagi pengembangan ekspor
kertas Indonesia adalah peningkatan ekspor kertas Indonesia khususnya ke negara
tujuan ekspor, peningkatan produksi bahan baku kertas, membuka peluang
masuknya investor asing dalam industry kertas Indonesia, peningkatan keamanan
dan hukum oleh pemerintah, kerjasama antara pemerintah dan para pengusaha
untuk membentuk peraturan hukum yang lebih pasti serta pemerintah dan asosiasi
pulp dan kertas Indonesia (APKI) membuat program promosi industri kertas
Indonesia.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Teoritis
Teori Permintaan Impor
Perdagangan internasional dapat diartikan sebagai transaksi dagang antara
subyek ekonomi negara yang satu dengan subyek ekonomi negara yang lain, baik
mengenai barang ataupun jasa. Adapun subyek ekonomi yang dimaksud adalah
penduduk yang terdiri dari warga negara biasa, perusahaan ekspor, perusahaan
impor, perusahaan industry, perusahaan negara ataupun departemen pemerintah
yang dapat dilihat dari neraca perdagangan (Sobri 2000).
Sebagaimana diketahui dalam statistik perdagangan internasional, yang
dimaksud dengan ekspor adalah suatu perdagangan dengan cara mengeluarkan
barang dari dalam ke luar wilayah pabean suatu negara misalkan ke luar wilayah
pabean negara Indonesia dengan memenuhi ketentuan yang berlaku. Sedangkan
yang dimaksud dengan impor adalah suatu perdagangan dengan cara memasukkan
barang dari luar negeri ke dalam wilayah pabean misalnya ke dalam wilayah
pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku. (Bank
Indoneisa, 1994)
Seperti diketahui, didalam suatu teori permintaan terdapat variabel-variabel
yang mempengaruhi impor sebagai fungsi permintaan yaitu sebagai berikut:

10

1. Harga
Teori ekonomi mengatakan bahwa sesuai hokum permintaan, kurva
permintaan mempunyai kemiringan negatif yang dijelaskan sebagai berikut:
“When the price of a commodity is raides (and the other things are held
constant), buyer tend to buy less of the commodity. Similarly, when the price is
lowered, other things equal, quantity demanded increased” (Samuelson, 1983).
Hal ini menunjukkan bahwa jumlah permintaan sangat tergantung pada harga
barang tersebut. Dengan kata lain harga barang akan menentukan jumlah
permintaan terhadap suatu barang.
2. Tingkat Pendapatan
Penekanan kurva permintaan biasanya selalu diletakkan pada keterkaitan
antara jumlah dan harga dengan syarat ceteris paribus. Namun demikian
sesungguhnya masih banyak faktor lain di luar harga yang turut mempengaruhi
permintaan akan suatu barang tersebut. Paul A Samuelson dan William D.
Nordhaus, ahli-ahli ekonomi mengatakan bahwa permintaan akan suatu barang
juga dipengaruhi oleh “…average level of income, the size of the population, the
prices and availability of related goods, individual tasted…” (Samuelson, 1983).
Selanjutnya juga dinyatakan bahwa “the average income of consumers is a key
determinated of demand. As people’s income rise, they tend to buy more of almost
everything…” (Samuelson, 1983). Dalam analisis selanjutnya, faktor-faktor
seperti besarnya pasar yang tercermin dari banyak penduduk, tersedianya barang
substitusi dan cita rasa yang sifatnya sangat subyektif bagi setiap individu akan
ditiadakan dan diperlakukan sebagai variabel pengganggu.
Ahli ekonomi lainnya, Lindert dan Kindleberger juga menyatakan adanya
hubungan antara permintaan dengan tingkat pendapatan nasional suatu bangsa,
khususnya permintaan akan barang dan jasa dari luar negeri atau impor. Ia
mengatakan bahwa “the volume of nation’s imports depend positively on the level
of real national product” (Lindert dan Kindleberger, 1981)
3. Nilai Tukar Mata Uang Asing
Seperti telah diketahui bahwa dalam kegiatan perdagangan yang dilakukan
antarnegara di seluruh dunia atau yang disebut sebagai perdagangan internasional
meliputi ekspor dan impor. Dengan perdagangan domestis yang tidak melakukan
hubungan dengan luar negeri digunakan mata uang negara itu sendiri sebagai alat
pembayarannya. Sedangkan dalam perdagangan internasional sedikitnya akan
melibatkan dua negara yang berbeda. Maka dalam hal ini alat pembayaran yang
digunakan adalah suatu mata uang yang daoat diterima di kedua negara baik
negara yang mengekspor maupun negara yang mengimpor barang dan jasa
tersebut.
Mata uang setiap negara mempunyai harga yang dinyatakan dalam mata
uang negara lainnya. Ini disebut sebagai kurs atau nilai tukar atau exchange rate
(Lindert dan Kindleberger, 1973). Hingga saat ini mata uang yang bersifat
internasional dalam arti mata uang tersebut diakui oleh seluruh negara di dunia
sebagai alat pembayaran adalah mata uang dolar (US Dollar). US Dollar sebagai
mata uang internasional tersebut atau yang sering disebut sebagai hard currency
mempunyai suatu nilai yang diukur dengan mata uang masing-masing negara
yang bersangkutan yaitu negara-negara pengekspor dan pengimpor. Nilai inilah
yang disebut sebagai nilai tukar mata uang dolar terhadap mata uang masingmasing negara. Khusus dalam bidang impor, Lindert dan Kindleberger dalam

11

buku International Economics menyatakan bahwa “Importing goods and services
correspondingly tends to cause the home currency to be sold in order to buy
foreign currency” (Lindert dan Kindleberger, 1981).
Kebijakan Perdagangan Internasional
Antidumping Tariff
Dumping adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh produsen atau
pengekspor yang melaksanakan penjualan barang/komoditi di luar negeri atau
negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga barang sejenis baik di
dalam negeri pengekspor maupun di negara pengimpor, sehingga mengakibatkan
kerugian bagi negara pengimpor. Untuk mengantisipasi adanya praktik dumping
diperlukan suatu tindakan yang disebut antidumping yaitu suatu tindakan balasan
yang diberikan oleh negara pengimpor terhadap barang dari negara pengekspor
yang melakukan dumping. Pengenaan bea masuk antidumping adalah pungutan
yang dikenakan terhadap barang dumping yang menyebabkan kerugian industri
negara pengimpor.
Kemudian yang dikatakan dengan anti-dumping adalah kebijakan yang
dibuat atau diciptakan oleh pemerintah dalam suatu negara untuk mencegah
timbulnya berbagai kegiatan curang oleh pelaku usaha asing melalui produk
impor yang berkaitan dengan aspek harga dan produk. Mekanisme anti-dumping
ini selanjutnya menciptakan safeguard yaitu suatu upaya perlindungan dari
pemerintah suatu negara untuk melindungi produk dalam negeri yang dihasilkan
pelaku usaha domestiknya. Tindakan balasan atas politik dumping dapat
diwujudkan dalam bentuk Bea Masuk Anti Dumping. Kebijakan anti dumping
menjadi hal yang kontroversial dan paling sering digunakan oleh negara-negara
maju untuk melindungi perusahaannya yang kurang efisien. Kebijakan
antidumping itu diterapkan tidak boleh lebih lama daripada 5 tahun sejak
kebijakan antidumping diterapkan, namun pihak pemerintah yang mengeluarkan
kebijakan antidumping di suatu negara bisa menerapkan jangka waktu yang lebih
lama jika melihat bahwa kelanjutan pengenaan kebijakan antidumping mencegah
timbulnya kembali atau mengurangi kerugian yang terus berlanjut pada suatu
industri domestiknya.
Pada awalnya ketentuan GATT yang mengatur mengenai tata cara dan
prosedur pelaksanaan antidumping (Article VI) dirasakan masih bersifat tidak
jelas dan perlu dipertegas serta diperluas sehingga perlu penyempurnaan melalui
berbagai perundingan multilateral yang menghasilkan Agreement on
Implementation of Article VI of GATT 1994 atau yang dikenal dengan
Antidumping Code (1994). Article 2,1 dari Antidumping Code (1994) mengatur
tentang determinasi dumping yaitu:
“For the purpose of this Agreement, a product is to be considered as being
dumped, i.e. introduced into the commerce of another country at less than
its normal value, if the export price of the product exported from one
country to another is less than the comparable price, in the ordinary course
of trade for the like product when destined for consumption in the exporting
country.”
Dengan demikian konsep utama dalam GATT 1994 adalah menjual barang
dengan harga lebih murah diluar negeri daripada dalam negeri dengan dibawah
harga normal. Sehingga jika terdapat selisih antara harga jual ekspor dan harga

12

jual dalam negeri lebih rendah, maka eksportir dianggap sudah melakukan
dumping.
Untuk mengkounter praktik dumping yang dilakukan produsen negara
pengekspor maka pemerintah negara pengimpor dapat melakukan pengenaan dan
penarikan bea masuk antidumping. Pengertian antidumping menurut konsep
GATT 1994 adalah bea masuk yang dikenakan kepada barang-barang yang
diketahui sebagai barang dumping dengan tujuan menghilangkan unsur dumping
pada barang tersebut, dan agar harga barang tersebut tidak terlalu tinggi
perbedaannya dengan harga barang sejenis di negara importir. Tindakan
antidumping sebagai upaya untuk mengkounter praktik dumping perlu dilakukan
secara adil dan proporsional sehingga dapat mengakomodir kepentingan
masyarakat dan dunia usaha. Dengan demikian apabila suatu perusahaan di luar
negeri menjual produknya ke negara lain dengan harga dumping dan
menyebabkan kerugian terhadap industry dalam negeri importir, maka negara
importir tersebut dibenarkan mengenakan bea masuk antidumping sebesar margin
dumpingnya.
GATT bertujuan menunjang perdagangan semakin terbuka dengan
berkurangnya hambatan dalam bentuk tariff dan non-tarif dan sekaligus
menyebabkan negara pesertanya berkewajiban untuk membatasi diri dalam
melangkah, kegiatan dan kebijaksanaan yang dapat menghambat perdagangan
internasional. Untuk dapat dilarangnya suatu dumping harus memenuhi unsurunsur dalam pasal VI GATT. Walaupun rumusannya sangat sederhana namun
dalam prakteknya membutuhkan suatu perlindungan dan kajian yang cukup
kompleks untuk menentukan sudah terjadi atau tidaknya suatu dumping yang
dilarang dan dapat dikenakan bea masuk antidumping.
Pasal VI GATT dinyatakan bahwa dumping yang dapat melahirkan
tindakan antidumping haruslah:
a. Harga produk ekspor tersebut dibawah harga normal
b. Tindakan tersebut:
1. Menyebabkan kerugian material; atau
2. Mengancam timbulnya kerugian material bagi industry domestik
produk tersebut dan;
3. Secara material menghalangi pengembangan industry dalam negeri.
Ketentuan yang menyatakan bahwa suatu produk dijual dalam perdagangan
dibawah harga normal bilamana harga produk tersebut:
1. Lebih rendah dari harga pembanding produk tersebut dalam perdagangan
yang normal atau umumnya ordinary course dari produk sejenis yang
ditujukan untuk konsumsi di negara pengekspor.
2. Bila harga domestic tersebut tidak ada, maka harga tersebut harus lebih
rendah dari:
a. Harga pembanding tertinggi dari produk sejenis untuk diekspor ke
negara ke-tiga dalam atau perdagangan normal; atau
b. Biaya produksi barang tersebut di negara asal ditambah dengan biaya
penjualan dan keuntungan yang layak.

13

Gambar 1. Dampak kebijakan tarif
Sumber: Aritonang, 2013
Berdasarkan Gambar 1 dampak kebijakan antidumping tariff dapat dilihat
pada tiga keadaan, yaitu: 1) Tanpa Perdagangan. Harga dan jumlah komoditi
yang diperdagangkan ditentukan oleh supply dan demand sehingga harga yang
harus dikeluarkan sebesar 3Px untuk memperoleh jumlah komoditi sebesar 30X;
2) Dengan Perdagangan. Perdagangan mengakibatkan harga turun menjadi 1Px
akibatnya konsumsi naik menjadi 70X sedangkan produksi domestik turun
menjadi 10X sehingga mengakibatkan pasar domestik harus mengimpor untuk
memenuhi kebutuhan domestik sebesar 60X (selisih antara besarnya konsumsi
dan produksi); 3) Perdagangan dengan Kebijakan. Penurunan jumlah produksi
akibat impor mengharuskan dibuatnya kebijakan untuk melindungi pasar
domestik. Kebijakan tarif membuat harga meningkat menjadi 2Px yang
mengakibatkan peningkatan produksi domestik menjadi 20X (meningkat sebesar
10X) dan penurunan konsumsi menjadi 50X (menurun sebesar 20X) sehingga
impor yang dilakukan berkurang sebesar 30X. Penerimaan yang diterima
pemerintah akibat kebijakan tarif sebesar selisih harga perdagangan tanpa
kebijakan dan perdagangan dengan kebijakan dikali jumlah komoditi impor yaitu
1Px dikalikan dengan 30X.
Keputusan pengenaan “bea masuk anti dumping” ditentukan oleh pihak
yang berwenang dari negara pengimpor. Bea masuk antidumping dapat dikenakan
untuk jangka waktu lima tahun. Adapun bea masuk antidumping sementara
(provisional duties) dapat diterapkan untuk jangka waktu empat sampai sembilan
tahun, tergantung pada keadannya dengan persyaratan sebelumnya telah
ditemukan adanya dumping dan injury. Jika bea masuk antidumping berlaku
surut, maka penentuan pembayaran bea masuk antidumping akan berlaku segera,
biasanya antara 12 bulan hingga 18 bulan setelah tanggal permintaan untuk
penaksiran akhir jumlah bea masuk anti dumping dibuat.

14

Keputusan untuk mengenakan bea masuk antidumping atau tidak terhadap
kasus-kasus yang persyaratannya telah terpenuhi dan berapa jumlah bea masuk
anti dumping yang akan dikenakan merupakan kewenangan pihak yang
berwenang dari negara pengimpor.
Integrasi Ekonomi
Integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian
internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua pembatasanpembatasan (barriers) yang dibuat terhadap bekerjanya perdagangan bebas dan
dengan jalan mengintroduksi semua bentuk-bentuk kerjasama dan unifikasi.
Integrasi dapat dipakai sebagai alat untuk mengakses pasar yang lebih besar,
menstimulasi pertumbuhan ekonomi sebagai upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan nasional.
Integrasi ekonomi memiliki prinsip dan mekanisme yang sama dengan
perdagangan bebas. Secara teoritis, integrasi ekonomi mengacu pada suatu
kebijakan komersial atau kebijakan perdagangan yang secara diskriminatif
menurunkan atau menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan hanya diantara
negara-negara anggota yang sepakat akan membentuk suatu integrasi ekonomi.
Semua bentuk hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif sengaja
diturunkan atau bahkan dihapuskan diantara negara anggota. Sedangkan bagi
negara-negara yang bukan anggota, maka pemberlakuan tarif dan non tarif
tergantung dari kebijakan negara masing-masing. Dalam integrasi ekonomi terjadi
perlakuan diskriminatif antara negara-negara anggota dengan negara-negara diluar
anggota dalam melakukan perdagangan, sehingga dapat memberikan dampak
kreasi dan dampak diversi bagi negara-negara anggota (Salvatore, 1997).
Krugman (1991) memperkenalkan suatu angapan bahwa secara alami blok
perdagangan didasarkan pada pendekatan geografis yang dapat memberikan
efisiensi dan meningkatkan kesejahteraan bagi anggotanya.
Griffin dan Pustay (2002), membentuk susunan atau hirarki dari integrasi
ekonomi regional yang mungkin terjadi. Ada lima tingkatan yaitu, kawasan
perdagangan bebas, persekutuan pabean, pasaran bersama, uni ekonomi, dan uni
politik.
Secara teoritis Salvatore (1997) menguraikan integrasi ekonomi menjadi
beberapa bentuk:
1.
Pengaturan perdagangan Preferensial (preferential trade arrangements)
dibentuk oleh negara-negara yang sepakat menurunkan hambatan-hambatan
perdagangan yang berlangsung diantara mereka dan membedakannya dengan
negara-negara yang bukan anggota.
2.
Kawasan perdagangan bebas (free trade area) adalah bentuk integrasi
ekonomi yang lebih tinggi dimana semua hambatan perdagangan baik tarif
maupun non-tarif diantara negara-negara anggota telah dihilangkan sepenuhnya,
namun masing-masing negara anggota tersebut masih berhak menentukan sendiri
apakah tetap mempertahankan atau menghilangkan hambatan-hambatan
perdagangan yang diterapkan terhadap negara-negara diluar anggota.
3.
Persekutuan Pabean (customs union) mewajibkan semua negara nggota
untuk tidak hanya menghilangkan semua bentuk hambatan perdagangan diantara
mereka, namun juga menyeragamkan kebijakan perdagangan mereka terhadap
negara luar yang bukan anggota.

15

4.
Pasar bersama (common market) yaitu suatu bentuk integrasi dimana
bukan hanya perdagangan barang saja yang dibebaskan, namun arus faktor
produksi seperti tenaga kerja dan modal juga dibebaskan dari semua hambatan.
5.
Uni Ekonomi (economic union) yaitu dengan menyeragamkan kebijakankebijakan moneter dan fiskal dari masing-masing negara anggota yang berada
dalam suatu kawasan atau bagi negara-negara yang melakukan kesepakatan.
Perjanjian perdagangan preferensial (PTAs) adalah kesepakatan antara dua
negara atau lebih yang mana tarif yang dikenakan pada barang yang
diperdagangkan bagi negara anggota lebih rendah dibanding dengan tarif yang
diperdagangkan dengan negara diluar anggota. PTAs dapat diartikan secara luas
meliputi Regional Trading Arrangement (RTAs) yang merupakan kesepakatan
yang dibentuk dalam satu kawasan, kesepakatan perdagangan antar negara-negara
berkembang, kesepakatan perdagangan antar kawasan dan bentuk kesepakatan
lainnya yang bertujuan untuk memperlancar arus barang dan jasa.

Gambar 2. Tahap-tahap integrasi ekonomi
Sumber: Hill, 2000
Bentuk kesepakatan perdagangan yang telah dibentuk telah mengarah pada
perdagangan bebas, seperti World Trade Organization (WTO), Association of
Southeast Asian Nations (ASEAN) and South Asian Association for Reg