Analisis Fenotipe dan Performa Perkembangan Awal Ikan Sepat Siam Trichopodus Pectoralis Regan 1910 Potensial Budidaya asal Sumatera, Jawa dan Kalimantan

ANALISIS FENOTIPE DAN PERFORMA PERKEMBANGAN AWAL
IKAN SEPAT SIAM Trichopodus pectoralis Regan 1910 POTENSIAL
BUDIDAYA ASAL SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN

MUHAMMAD HUNAINA FARIDUDDIN ATH-THAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Fenotipe dan
Performa Perkembangan Awal Ikan Sepat Siam Trichopodus Pectoralis Regan
1910 Potensial Budidaya asal Sumatera, Jawa dan Kalimantan adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
MH Fariduddin Ath-thar
NIM C151120551

RINGKASAN
MUHAMMAD HUNAINA FARIDUDDIN ATH-THAR. Analisis Fenotipe dan
Performa Perkembangan Awal Ikan Sepat Siam Trichopodus Pectoralis Regan
1910 Potensial Budidaya asal Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Dibimbing oleh
DINAR TRI SOELISTYOWATI dan RUDHY GUSTIANO.
Ikan sepat siam merupakan salah satu ikan lokal potensial untuk
dikembangkan menjadi komoditas budidaya ekonomis sebagai ikan konsumsi
penting bagi masyarakat. Tingginya produksi ikan sepat siam dari tangkapan alam
menyebabkan ketersediaan di alam semakin menurun. Kegiatan budidaya dapat
mengatasi kelangkaan dan menjaga kelestarian populasi ikan sepat siam dalam
jangka panjang. Langkah domestikasi menuju budidaya memerlukan informasi
terkait fenotipe serta perkembangan awal larva dan benih ikan sepat siam
potensial budidaya. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi potensi ikan
sepat siam asal Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat sebagai komoditas

potensial budidaya berdasarkan analisis truss morfometrik, parameter reproduksi,
perkembangan awal ikan, pertumbuhan fase benih serta sintasan larva dan benih.
Tiga populasi ikan sepat siam asal Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan
Barat digunakan sebagai sumber genetik yang dianggap potensial untuk budidaya.
Ketiga populasi ikan sepat siam ini menunjukkan keragaman genetik terbaik dari
populasi lainnya asal pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Pemijahan dilakukan
secara alami dengan perbandingan jantan dan betina 1:1, masing-masing tiga
ulangan per populasi. Sedangkan evaluasi keragaan pertumbuhan benih dilakukan
selama 63 hari masa pemeliharaan pada benih hasil pemijahan berumur 49 hari.
50 individu per populasi dengan 4 ulangan.
Uji perbandingan karakter morfometrik menunjukkan terdapat 5 karakter
pembeda antar populasi ikan sepat siam asal Lampung, Jawa Timur dan
Kalimantan Barat. Karakter pembeda tersebut adalah A3 (Atas Mulut – Batas
Tengkorak Kepala), A5 (Batas Tengkorak Kepala – Bawah Operkulum), B5
(Awal Sirip Punggung – Sirip Ventral), C4 (Akhir sirip punggung – akhir sirip
anal) dan C6 (Awal sirip punggung lunak – akhir sirip anal). Hasil ilustrasi fungsi
kanonikal karakter morfometrik ketiga populasi ikan sepat siam menunjukkan
sumber genetik asal Jawa Timur terpisah dari populasi asal Lampung dan
Kalimantan Barat. Nilai sharing intra populasi Jawa Timur menunjukkan
homogenitas yang tertinggi (66.7%) dan yang terendah adalah populasi Lampung

(43,3%). Sedangkan nilai sharing inter populasi tertinggi adalah populasi ikan
sepat siam asal Kalimantan Barat dan Lampung (50%).
Fekunditas ikan sepat siam asal Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan
Barat berkisar antara 12583 – 13600 butir, derajat pembuahan 82,0 – 91,3% dan
derajat penetasan 87,8% - 90,1%. Sumber genetik ikan sepat siam asal
Kalimantan Barat menghasilkan telur lebih banyak dibandingkan Lampung dan
Jawa Timur. Sintasan larva umur 5 hari pada populasi ikan sepat siam asal
Kalimantan Barat adalah yang tertinggi (90,7%) dibandingkan dengan ikan sepat
siam asal Lampung dan Jawa Timur. Perkembangan embrio ikan sepat siam
meliputi fase pembelahan, blastula, gastrula, segmentasi, pra-penetasan, penetasan
dan larva. Embrio ikan sepat siam asal Lampung menetas setelah 23jam 35 menit
pembuahan, sedangkan ikan sepat siam asal Kalimantan Barat menetas setelah

23jam 50 menit pembuahan dan ikan sepat siam asal Jawa Timur menetas setelah
24 jam pembuahan. Fase kritis pada perkembangan embrio ikan sepat siam terjadi
pada fase diferensiasi sebelum penetasan dan menjelang fase penetasan. Sintasan
embrio pada fase penetasan 82 -92%. Selama fase perkembangan embrio tidak
ditemukan adanya abnormalitas pada ketiga populasi ikan sepat siam asal
Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat.
Benih ikan sepat siam pada populasi asal Lampung menunjukkan

pertumbuhan tertinggi, sedangkan pertumbuhan terendah pada benih asal populasi
Jawa Timur. Demikian pula pertumbuhan panjang mutlak tertinggi (1,8±0,04) asal
Lampung dan menunjukkan perbedaaan nyata jika dibandingkan dengan populasi
Jawa Timur dan Kalimantan Barat. Pertumbuhan berat mutlak dan sintasan benih
tidak berbeda nyata antar sumber genetik asal populasi Lampung, Jawa Timur dan
Kalimantan Barat, namun laju pertumbuhan harian menunjukkan perbedaan nyata
dimana sumber genetik Lampung mempunyai nilai tertinggi yaitu 1,86±0,02%.
Sintasan benih ikan sepat siam menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata antara
sumber genetik. Sintasan benih berkisar 93,3 – 94,4%.
Penentuan sumber genetik ikan sepat terbaik dilakukan dengan metode
skoring parameter produksi dan indeks kepentingan yaitu sintasan larva, sintasan
benih dan laju pertumbuhan spesifik. Skor tertinggi menunjukkan ikan sepat siam
asal Lampung adalah yang terbaik diikuti sumber genetik asal Kalimantan Barat
dan Jawa Timur. Kegiatan budidaya yang berkelanjutan dapat dimulai dengan
populasi dasar asal Lampung dan program persilangan dengan sepat siam
Kalimantan Barat sehingga diharapkan terjadi penggabungan karakter unggul
produksi sebagai ikan budidaya.
Kata

kunci:


Domestikasi, fenotipe,
Trichopodus pectoralis

perkembangan

awal,

pertumbuhan,

SUMMARY
MUHAMMAD HUNAINA FARIDUDDIN ATH-THAR. Phenotypic and Early
Development Perfomance Analysist of Sumatera, Java dan Kalimantan Snakeskin
Gourami Trichopodus Pectoralis Regan 1910. Supervised by DINAR TRI
SOELISTYOWATI dan RUDHY GUSTIANO.
Snakeskin gourami is one of the potential local fish. The highest production
of snakeskin gourami gained from natural catching. These conditions lead to
decreased in population stock. Fish culture through domestication was the
promising solution of this problem. Three snakeskin gourami populations from
Lampung, East Java and West Kalimantan were used as potential genetic source

considered for culture. These snakeskin gourami populations showed the best
genetic diversity from Sumatra, Java and Borneo. This study aimed to investigate
the potencies of snakeskin gourami from Lampung, East Java and West
Kalimantan as fish culture candidate based on truss morphometric analysis,
reproductive parameters, early development, larvae and fry growth and survival
rate.
Snakeskin gourami spawned naturally with male and female ratio of 1:1,
three replicates each population. The reproductive parameters were measured
using once replication. Early development phase was observed by microscopy
method, whereas the growth performance was observed for 63 days with 50
individual replicates each population.
Morphometric comparison test indicated 5 distinguish characters between
Lampung, East Java and West Kalimantan populations. These were A3 (upper
mouth - upper operculum), A5 (upper operculum - low operculum), B5 (early
dorsal fin - ventral fins), C4 (end of the dorsal fin - end of the anal fin) and C6
(early dorsal fin - the end of the anal fin). The canonical function illustration
showed that morphometric characters from three populations distributed in
different quadrants. On the negative X-axis, East Java population was
distingushed to Lampung and West Kalimantan. The highest intra population
sharing value gained by East Java population (66.7%) and lowest in Lampung

population (43.3%). While the highest inter population sharing gained between
West Kalimantan and Lampung population (50%).
Fecundity was calculated at once sampling, ranged between 12583-13600
eggs. The fertilization rate ranged from 82.0 to 91.3% and hatching rate ranged
between 87.8% - 90.1%. West Kalimantan population produced more eggs than
Lampung and East Java. The survival rate of larvae aged 5 days after hatching
from West Kalimantan was the highest value (90.7%) compared with Lampung
and East Java. Early development phase in snakeskin gourami were cleavage,
blastula, gastrula, segmentation, pre-hatching, hatching and larvae. Lampung
snakeskin gourami embryos hatched on 23jam 35 minutes after fertilization. West
Kalimantan snakeskin gourami hatch from on 23jam 50 minutes after fertilization
and East Java embryo hatched in 24 hours after fertilization. Critical phase in the
early development of snakeskin gourami embryos occurred in differentiation
phase / pre-hatching and ahead hatching phase. There were no abnormalities
during embryonic development phase.

The highest specific growth rate was showed in Lampung population, while
the lowest gained by East Java population. Lampung population showed the
highest growth length (1.8±0.04) and significantly differences compared with East
Java and West Kalimantan population. Weight growth and survival rate were not

significantly different between genetic resources. Lampung showed the highest
specific growth rate (1.86±0.02%) and significantly differences between
populations. Seed survival rate ranges between 93,3 - 94,4%.
Selection the best snakeskin gourami genetic resources using scoring
method on any parameters had been analyzed based on the interests of the three
index parameters, namely the production of larval survival rate, seed survival rate
and specific growth rate. The snakeskin gourami from Lampung population
showed highest score compared with West Kalimantan and East Java. So that,
aquaculture activities based on population from Lampung could be considered as
better genetic source continuously with crossbreeding programs between other
populations.
Keywords:

Domestication, early development,
Trichopodus pectoralis

growth

rate,


phenotype,

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS FENOTIPE DAN PERFORMA PERKEMBANGAN AWAL
IKAN SEPAT SIAM Trichopodus pectoralis Regan 1910 POTENSIAL
BUDIDAYA ASAL SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN

MUHAMMAD HUNAINA FARIDUDDIN ATH-THAR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Agus Oman Sudrajat MSc

Judul Tesis : Analisis Fenotipe dan Performa Perkembangan Awal Ikan Sepat
Siam Trichopodus Pectoralis Regan 1910 Potensial Budidaya asal
Sumatera, Jawa dan Kalimantan
Nama
: Muhammad Hunaina Fariduddin Ath-thar
NIM
: C151120551

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Dinar T Soelistyowati DEA
Ketua

Dr Ir Rudhy Gustiano MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Akuakultur

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Widanarni, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
4 Juli 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2013 ini ialah
domestikasi ikan, dengan judul Analisis Fenotipe dan Performa Perkembangan
Awal Ikan Sepat Siam Trichopodus Pectoralis Regan 1910 Potensial Budidaya
asal Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati
DEA dan Bapak Dr Ir Rudhy Gustiano MSc atas bimbingan dan arahannya dalam
penyusunan tesis ini serta Bapak Dr Ir Agus Oman Sudrajat MSc dan Dr Ir Dedi
Jusadi MSc yang telah banyak memberikan saran dan masukan . Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Ibu Ir Retna Utami MSc selaku Kepala Balai
Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar Bogor. Secara khusus penulis
menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Rudhy Gustiano
MSc, Bapak Dr Ir Triheru Prihadi MSc, Ibu Dra Irin Iriana Kusmini MSi, Bapak
Adang Saputra SPi MSi dan Bapak Gleni Hasan Huwoyon SPi atas semua dukungan
dana, fasilitas dan bantuan yang diberikan hingga selesainya penelitian ini . Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri dan adik tercinta serta
seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Serta rekan-rekan
mahasiswa Pascasarjana Ilmu Akuakultur 2012 atas doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014
MH Fariduddin Ath-thar

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
4
4

2 METODE
Materi Uji
Rancangan Percobaan
Prosedur Penelitian
Analisis Data

4
4
4
5
9

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

10
10
20

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

23
23
24

DAFTAR PUSTAKA

24

RIWAYAT HIDUP

26

DAFTAR TABEL
1 Deskripsi 16 karakter morfometrik trus morfometrik pada ikan sepat
siam (Trichopodus pectoralis)
2 Koefisien variasi (KV) dari 16 karakter morfometrik dari ikan sepat
(Trichopodus pectoralis) populasi Lampung, Jawa Timur dan
Kalimantan Barat
3 Nilai persentase sharing component Ikan Sepat Siam (Trichopodus
pectoralis) populasi Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat
4 Ukuran induk, fekunditas, derajat pembuahan, derajat penetasan dan
sintasan ikan sepat siam (Trichopodus pectoralis) asal Lampung, Jawa
Timur dan Kalimantan Barat
5 Fase Perkembangan Embrio dan Larva Ikan Sepat Siam (Trichopodus
pectoralis) asal Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat
6 Pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan harian benih Ikan Sepat
Siam (Trichopodus pectoralis) asal Lampung, Jawa Timur dan
Kalimantan Barat
7 Kualitas air lingkungan budidaya ikan sepat siam asal Lampung, Jawa
dan Kalimantan Barat (serta lingkungan perairan umum)

7

10
11

12
13

19
20

DAFTAR GAMBAR
1 Titik truss morfometrik Ikan Sepat Siam (Trichopodus pectoralis)
2 Penyebaran Karakter Morfometrik Ikan Sepat Siam (Trichopodus
pectoralis) populasi Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat
3 Fase pembelahan pada perkembangan embrio ikan sepat siam
(Trichopodus pectoralis)
4 Fase blastula pada perkembangan embrio ikan sepat siam (Trichopodus
pectoralis)
5 Fase gastrula pada perkembangan embrio ikan sepat siam (Trichopodus
pectoralis)
6 Fase segmentasi dan pra-penetasan pada perkembangan embrio ikan
sepat siam (Trichopodus pectoralis)
7 Fase larva pada perkembangan embrio ikan sepat siam (Trichopodus
pectoralis)
8 Sintasan antar waktu embrio ikan sepat siam (Trichopodus pectoralis)
asal Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat
9 Pertumbuhan panjang antar waktu (umur 49 – 112 hari) ikan sepat
(Trichopodus pectoralis) populasi Lampung, Jawa Timur dan
Kalimantan Barat
10 Sintasan benih Ikan Sepat Siam (Trichopodus pectoralis) populasi
Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat selama 50 hari
pemeliharaan

7
11
14
15
15
16
17
17

18

19

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman genetik dan sumber
daya perikanan yang tinggi. Salah satu sumber daya perikanan Indonesia yang
mempunyai potensi besar untuk dikembangkan adalah ikan-ikan lokal perairan
tawar. Menurut Kottelat et al. (1993) ada 353 spesies ikan di Indonesia bagian
barat. Berdasarkan survey dan analisis komoditas yang dilakukan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kelautan Perikanan (Sukadi et al. 2008) beberapa
ikan yang potensial untuk dibudidayakan diantaranya adalah ikan sepat siam,
gabus, betok dan tambakan. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan penting
suatu komoditas dianggap potensial untuk dibudidayakan adalah bernilai
ekonomis, memeiliki pasar prospektif, produksi dan tingkat konsumsi masyarakat
lokal yang tinggi.
Ikan sepat siam merupakan salah satu ikan lokal yang memenuhi syaratsyarat untuk dikembangkan menjadi komoditas budidaya ekonomis sebagai ikan
konsumsi penting bagi masyarakat. Harga ikan sepat siam pada tingkat produsen
berkisar antara Rp 12.615/kg (Sumatera Utara) sampai dengan Rp 19.902/kg
(Propinsi Papua) (PPHP 2010). Jumlah produksi ikan sepat siam relatif lebih
tinggi dibandingkan ikan-ikan lokal lainnya. Data Statistik Kelautan dan
Perikanan 2011 (Pusdatin KKP 2013) menunjukkan pada periode 2007 – 2010
tingkat produksi ikan sepat siam meningkat dari 17.919 ton menjadi 22.306 ton.
Nilai produksi ikan sepat siam juga mengalami peningkatan dari Rp. 143,238
milyar menjadi Rp. 212,586 milyar pada tahun 2007 sampai dengan 2010.
Tingginya produksi tersebut sebagian berasal dari tangkapan alam
(Nasution 2012). Volume hasil produksi ikan sepat dari kegiatan budidaya pada 4
tahun berturut-turut (2008-2011) hanya berkisar 2.82 – 12.36% dari total produksi
setiap tahun (Pusdatin KKP 2013). Selain permasalahan rendahnya produksi ikan
sepat siam dari kegiatan budidaya, Nasution (2012) menyatakan bahwa telah
terjadi penurunan kelimpahan sumber daya perikanan termasuk ikan sepat siam di
perairan umum. Hal tersebut juga dibuktikan dengan semakin menurunnya
volume produksi ikan sepat siam antara tahun 2010-2011 dari 22.306 ton menjadi
21.888 ton (DJPT KKP 2012). Sehingga perlu dilakukan langkah nyata untuk
mengantisipasi masalah tersebut, diantaranya melalui budidaya ikan sepat siam.
Beberapa penelitian tentang domestikasi ikan sepat siam yang merupakan langkah
awal bagi suatu komoditas untuk bisa memasuki level budidaya telah dilakukan.
Penelitian tersebut antara lain mengenai analisis status genetik ikan sepat siam di
Indonesia (Iskandariah, 2013) dan perkembangan awal larva ikan sepat siam
(Amornsakun et al. 2004 dan Morioka et al. 2010).
Domestikasi adalah proses penyesuaian diri organisme yang berasal dari
alam dan dipelihara di luar habitat aslinya secara terkontrol. Perubahan
lingkungan dapat mempengaruhi perubahan perilaku, ekspresi genotipe pada
fenotipe organisme dan struktur genetik (Lorenzen et al. 2012). Mekanisme
perubahan yang terjadi pada penangkaran mempengaruhi proses evolusi genetik
dari generasi ke generasi melalui seleksi alam terhadap kebugaran fenotipe
organisme. Individu yang bisa beradaptasi akan mampu bertahan atau sintas. Pada

2
umumnya domestikasi akan meningkatkan keragaan fenotipe ikan budidaya.
Pengelolaan sumber genetik dalam budidaya yang berkelanjutan memerlukan
informasi terkait status genetika populasi dan pemantauan terhadap perubahan
tingkah laku, kinerja reproduksi serta keragaan embrio dan benih dalam
pemeliharaan secara terkontrol (Huang dan Liao 2012).
Status genetika populasi meliputi ragam genetik yang berhubungan erat
dengan keragaan pertumbuhan ataupun sifat-sifat ekonomis seperti sintasan dan
efisiensi pakan. Selain itu, ragam genetik merupakan kunci kebugaran populasi
yang menjamin keberlanjutannya dan kemampuan merespon secara pasif seleksi
alam ataupun buatan (Lorenzen et al. 2012). Sneath (1995) menyatakan bahwa
informasi morfometrik ikan dapat menjelaskan status genetik stok ikan
berdasarkan kemiripan ataupun perbedaan bentuk tubuhnya. Karakterisasi genetik
pada ikan sepat mutiara telah dilaporkan oleh Rejeki (2013) serta ikan sepat siam
oleh Iskandariah (2013). Nilai keragaman genetik ikan sepat siam dari sumber
genetik Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat cukup tinggi yaitu berkisar
antara 21,87 – 65,62% (Iskandariah 2013) yang menunjukkan potensial sebagai
sumber variasi genetik dibandingkan dengan populasi ikan sepat siam yang
berasal dari wilayah lainnya di Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
Hassin et al. (1997) menyatakan bahwa proses domestikasi dapat dipantau
berdasarkan kesuksesan pemijahan di lingkungan terkontrol, normalitas
perkembangan embiro, pertumbuhan larva dan benih hasil pemijahannya.
Evaluasi pertumbuhan awal dalam proses domestikasi diperlukan untuk menyusun
aplikasi standar operasional perbanyakan dan pengembangan populasi budidaya.
Kesuksesan fase reproduksi secara berulang merupakan pengembangan teknik
reproduksi buatan pada kegiatan produksi benih dengan rekayasa genetik maupun
seleksi dan persilangan untuk pemuliaan. Beberapa parameter aspek reproduksi
yang memegang peranan penting dalam perbanyakan populasi adalah fekunditas,
derajat penetasan, sintasan larva, perkembangan embrio dan larva (Bilio 2007).
Fase perkembangan awal ikan memegang peranan penting pada performa
benih dan calon induk. Fase perkembangan awal ini terutama berhubungan
dengan normalitas perkembangan saat embriogenesis dan ketahanan hidup
(sintasan). Embrio ikan yang mengalami abnormalitas pada saat embriogenesis
akan berpengaruh terhadap kualitas benih yang dihasilkan terutama laju
pertumbuhan (Bromage 2001). Analisis perkembangan awal sepat siam telah
dilakukan oleh Morioka et al. (2010) dan ikan sepat mutiara oleh Hodges dan
Behre (1953). Kohno (1998) menyatakan bahwa status perkembangan awal ikan
pada embrio sangat esensial, tidak hanya berkaitan dengan pengembangan
perbenihan tetapi juga dalam kegiatan adopsi atau domestikasi spesies baru yang
berpotensi untuk dibudidayakan.
Keragaan pertumbuhan benih merupakan parameter penting setelah sukses
menetas menjadi larva dalam lingkungan budidaya untuk dievaluasi sebagai
keberhasilan domestikasi ikan (Gjedrem 2005). Pada ikan zebra (Robison dan
Rowland 2005) dan ikan salmon (Johnson et al. 2006) menunjukkan bahwa ikan
yang sudah terdomestikasi mempunyai pertumbuhan lebih cepat dibandingkan
dengan ikan dari alam (wild type) dan sebaliknya terjadi pada Chinook salmon
(Oncorhynchus tshawytscha) (Pearsons et al. 2007). Pertumbuhan merupakan
ekspresi genotipe pada fenotipe yang diamati secara kuantitatif dan dipengaruhi
oleh faktor lingkungan. Menurut Tave (1993), variasi fenotipe dihasilkan oleh

3
gabungan dari variasi genetik, variasi lingkungan dan variasi interaksi antara
genetik dengan lingkungan. Variasi genetik mendukung sintasan jangka panjang
suatu spesies karena memberikan kelenturan beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan yang memungkinkan mampu bertahan hidup dan bereproduksi
sehingga menghasilkan generasi baru. Suatu populasi dengan keragaman genetik
yang tinggi menunjukkan kebugaran yang lebih baik yaitu meliputi tingginya laju
pertumbuhan dan daya tahan terhadap perubahan lingkungan serta stres (Dunham
2004). Pengaruh variasi lingkungan terhadap fenotipe kuantitatif menurut Tave
(1993) terkait dengan interaksi antara variasi genetik dan lingkungan, yaitu
potensi genetik yang baik akan terekspresi secara optimal jika didukung oleh
lingkungan yang sesuai. Kemampuan metabolisme tubuh akan berjalan secara
optimum pada lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya sehingga
pertumbuhan dan respon stres berjalan dengan baik. Pada ikan sepat siam belum
pernah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis potensi
pertumbuhan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fenotipe dan performa
perkembangan awal serta pertumbuhan larva dan benih ikan sepat siam asal
Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat sebagai sumber genetik potensial
ikan untuk budidaya. Secara genetis, ketiga populasi ikan sepat siam
menunjukkan keragaman genetik terbaik dari pulau Sumatera, Jawa dan
Kalimantan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Iskandariah (2013) yaitu
berkisar antara 21,87 – 65,62%. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk
melengkapi data dan informasi tentang karakter fenotipe dan performa
perkembangan awal serta pertumbuhan larva dan benih ikan sepat siam yang
merupakan bagian dari kegiatan domestikasi.

Perumusan Masalah
Suplai ikan sepat siam yang berasal dari penangkapan di alam berpotensi
menyebabkan ketersediaan di alam semakin menurun. Indikasi penurunan
kelimpahan ikan sepat siam di perairan umum dibuktikan dengan semakin
kecilnya ukuran individu ikan sepat siam yang berhasil ditangkap oleh masyarakat
nelayan. Langkah domestikasi ikan sepat siam diperlukan sehingga
pengembangbiakan melalui kegiatan budidaya dapat dilakukan untuk mengatasi
kelangkaan dan menjaga kelestariannya. Domestikasi dan pengelolaan sumber
genetik yang berkelanjutan dalam budidaya memerlukan informasi sumber
genetik kandidat budidaya yang terkait dengan penanganan tahap reproduksi,
perkembangan embrio dan keragaan pertumbuhan benih serta mengevaluasi
penyesuaian kondisi budidaya terkait kemampuan adaptasi organisme di
lingkungan terkontrol. Beberapa penelitian yang berhubungan dengan domestikasi
ikan sepat siam antara lain analisis status genetik ikan sepat siam di Indonesia
(Iskandariah, 2013) dan perkembangan awal larva ikan sepat siam (Amornsakun
et al. 2004 dan Morioka et al. 2010). Penelitian ini akan melengkapi data
domestikasi ikan sepat siam terutama yang berhubungan dengan performa
fenotipe dan perkembangan awal serta pertumbuhan larva dan benih ikan sepat
siam potensi budidaya asal Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat.

4
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fenotipe dan performa
perkembangan awal serta pertumbuhan larva dan benih ikan sepat siam asal
Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat sebagai sumber genetik potensial
ikan untuk budidaya
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah melengkapi informasi genetika populasi
sumber genetik ikan sepat siam potensial budidaya untuk pengelolaan populasi,
pemuliaan ataupun konservasi dalam jangka panjang.

2 METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif
berdasarkan analisis truss morfometrik, parameter reproduksi, perkembangan awal
ikan pada fase embrio serta pertumbuhan fase benih dan sintasan larva serta benih.
Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2013 sampai dengan Februari 2014
di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar Bogor.

Materi Uji
Sumber genetik Ikan sepat siam yang dievaluasi merupakan ikan sepat
siam yang berasal dari 3 populasi yaitu Lampung, Jawa Timur (Tulungagung) dan
Kalimantan Barat (Pontianak). Induk betina ikan sepat siam yang digunakan untuk
pemijahan memiliki panjang 17,1±1,32 cm dan berat 96,2±1,80 gram. Sedangkan
induk jantan memiliki panjang 15,7±1,27 cm dan berat 94,6±1,11. Jumlah induk
yang digunakan adalah 3 pasang pada setiap populasi. Pemijahan berlangsung
secara alami menggunakan rasio jantan dan betina 1:1. Evaluasi keragaan
pertumbuhan digunakan benih ikan sepat siam hasil pemijahan yang berumur 49
hari dan dipilih benih yang seragam dengan panjang total rata-rata 1,8 cm. Benih
yang digunakan berjumlah 50 ekor pada setiap ulangan populasi. Analisa truss
morfometrik menggunakan ikan sepat siam hasil koleksi dari 3 populasi yaitu
Lampung, Jawa Timur (Tulungagung) dan Kalimantan Barat (Pontianak)
sejumlah 30 ekor per populasi yang diambil secara acak.

Rancangan Percobaan
Penelitian dirancang untuk membandingkan 3 populasi ikan sepat siam dari
sumber genetik yang berbeda yaitu Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat
menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 ulangan. Pemijahan
berlangsung secara alami. Fekunditas dihitung berdasar satu kali sampling dab
dianalisa secara deskriptif. Penghitungan derajat pembuahan dilakukan dengan
sampling secara acak sebanyak 100 butir, kemudian diamati di bawah mikroskop

5
untuk mengetahui kondisi pembuahannya. Telur yang sudah dibuahi terlihat
bening, sedangkan telur yang tidak dibuahi atau mati berwarna putih. Derajat
penetasan dihitung dengan mengambil 100 telur sebanyak 3 kali ulangan untuk
setiap populasi dan dipelihara pada wadah plastik sampai dengan menetas
kemudian dihitung jumlah larva yang menetas. Fase perkembangan awal larva
yaitu embrio diamati menggunakan mikroskop hingga telur menetas untuk
mengevaluasi ada tidaknya abnormalitas dan fase kritis perkembangan embrio.
Selanjutnya larva dipelihara sampai dengan umur 5 hari dan dihitung sintasan
larva dari masing-masing populasi.
Kemudian setiap populasi dipilih 50 ekor benih dengan pengulangan
sebanyak 3 kali yaitu merupakan hasil pemijahan tiap pasang induk untuk
dievaluasi perbedaan keragaan pertumbuhan antar populasi selama pemeliharaan
(63 hari). Parameter yang diamati meliputi laju pertumbuhan, sintasan dan
karakter truss morfometrik.

Prosedur Penelitian
Persiapan Induk dan Pemijahan Alami
Induk ikan sepat siam jantan dan betina dari masing-masing populasi
dimatangkan secara terpisah pada akuarium 1 x 1 x 0,4 m. Pematangan dilakukan
dengan kombinasi pakan udang (protein 50%) dan vitamin E. Kriteria induk
matang gonad adalah berat induk yang ada pada kisaran induk matang gonad pada
penelitian Amornsakun et al. (2004) dan Morioka et al. (2010) yaitu lebih dari 90
gram. Selain itu, kriteria induk betina matang gonad terlihat dari ciri genital
kelamin yaitu berwarna kemerahan dan menonjol. Pemijahan dilakukan secara
alami pada akuarium pemijahan berukuran 2 x 1 x 0,5 m. Sebelum dilakukan
pemijahan, air pada akuarium pemijahan diberikan daun ketapang yang bertujuan
untuk menurunkan pH dan diberikan styrofoam sebagai substrat penempelan busa
yang nantinya akan digunakan ikan sepat siam jantan untuk meletakkan telur yang
sudah dibuahi. Pemijahan dilakukan secara alami dengan rasio jantan dan betina
1:1. Induk jantan dimasukkan terlebih dahulu sampai menunjukkan tanda-tanda
siap memijah yaitu dengan mengeluarkan busa pada permukaan air dan substrat
pemijahan (styrofoam). Setelah terlihat busa yang menutup 20% permukaan air,
induk sepat siam betina dimasukkan. Waktu yang dibutuhkan dari awal
memasukkan induk betina sampai dengan terjadinya pemijahan dan telur dibuahi
adalah 2-3 hari. Sebelum dan sesudah proses pemijahan, induk betina ditimbang
beratnya untuk penghitungan fekunditas dengan metode gravimetri. Telur yang
berada pada akuarium pemijahan diambil sampel sebanyak 100 butir untuk
ditimbang dengan neraca Ohauss sebagai data penghitungan fekunditas.
Pengamatan Embriogenesis
Perkembangan awal ikan (fase embrio) diamati dari mulai dibuahi sampai
larva menetas dan berumur dua hari. Pengamatan menggunakan mikroskop
Olympus BX-51 yang dilengkapi dengan Olympus digital imaging DP-12. Data
perkembangan awal ikan meliputi diameter telur setelah dibuahi, perkembangan
embrio dari mulai dibuahi sampai dengan larva umur dua hari. Pada pengamatan
perkembangan embrio ini juga dilakukan pengamatan secara deskriptif sintasan

6
antar waktu embrio ikan sepat siam dari semua populasi untuk mengetahui fase
kritis perkembangan embrio. Selanjutnya larva dipelihara hingga umur 49 hari.
Pakan yang diberikan selama pemeliharaan larva adalah pakan alami (infusoria)
yang dikombinasikan dengan pakan buatan. Pada pemeliharaan larva ini tidak
dilakukan penyifonan maupun pergantian air.
Pemeliharaan Benih
Evaluasi keragaan benih ikan sepat siam menggunakan benih hasil
pemijahan yang berumur 49 hari diambil dari akuarium pemeliharaan kemudian
dilakukan proses pemilahan untuk mendapatkan benih yang seragam dengan
panjang total 1,8 cm. Seluruh benih dihitung satu per satu kemudian ditebar ke
dalam akuarium dengan penebaran 50 ekor/akuarium sebanyak empat ulangan
pemeliharaan setiap populasi. Benih ditimbang bobot dan diukur panjangnya
sebagai titik pengukuran awal pemeliharaan (T0). Pakan diberikan sebanyak 10%
dari biomassa, hingga akhir pemeliharaan selama 60 hari. Frekuensi pemberian
pakan sebanyak tiga kali sehari, yaitu pagi, siang dan sore. Pakan yang diberikan
mengandung kadar protein 40%.
Pengukuran pertumbuhan bobot dan panjang dilakukan setiap tujuh hari
sekali dengan jumlah sampel 30 ekor/ulangan. Bobot diukur menggunakan
timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g, sedangkan panjang diukur dengan
ketelitian 0,1 cm menggunakan penggaris alumunium. Sintasan benih dihitung
pada akhir perlakuan pemeliharaan untuk setiap populasi.
Pengelolaan kualitas air pada media pemeliharaan benih dilakukan dengan
penyifonan yang dilakukan setiap hari. Pergantian air dilakukan sebanyak 20%
dari total air pada akuarium pemeliharaan. Parameter kualitas air yang diukur
pada penelitian ini meliputi suhu, pH dan oksigen terlarut/DO (Dissolved
Oxygen). Pengukuran dilakukan pada awal, tengah dan akhir pemeliharaan benih.
Karakterisasi Truss Morfometrik
Metode pengukuran morfometrik menggunakan metode kotak truss
tunggal dengan 6 titik ukur mengacu pada Strauss dan Bookstein (1982). Hasil
penggambaran pada kerangka tubuh ikan sepat siam didapatkan 16 jarak penanda
(Gambar 1). Ikan sepat siam yang akan diukur diletakkan di atas kertas yang telah
dilapisi plastik bening, kemudian masing-masing titik ditandai menggunakan
jarum. Hasil penandaan tersebut kemudian dihubungkan menggunakan pensil dan
diukur mengunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,01mm. pengukuran truss
morfometrik ini menggunakan induk secara acak tiap populasi dan tanpa
pembedaan jantan dan betina. Jumlah sampel yang digunakan pada tiap populasi
adalah 30 ekor. Deskripsi 16 karakter morfometrik trus morfometrik pada ikan
sepat siam disajikan pada Tabel 1.

7

Gambar 1 Titik truss morfometrik Ikan Sepat Siam (Trichopodus pectoralis)
Tabel 1 Deskripsi 16 karakter truss morfometrik pada ikan sepat siam
(Trichopodus pectoralis)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Karakter
Morfometrik
Kepala

Tubuh Tengah

Tubuh Belakang

Kode
A1
A2
A3
A4
A5
A6
B1
B3
B4
B5
B6
C1
C3
C4
C5
C6

Deskripsi Jarak
Sirip Ventral – Bawah Operkulum
Bawah Operkulum – Bawah Mulut
Atas Mulut – Batas Terakhir Tulang Kepala
Batas Terakhir Tulang Kepala – Sirip Ventral
Batas Terakhir Tulang Kepala – Bawah Operkulum
Atas Mulut – Sirip Ventral
Awal Sirip Anal – Sirip Ventral
Batas Terakhir Tulang Kepala – Awal Sirip Punggung
Awal Sirip Punggung – Awal Sirip Anal
Awal Sirip Punggung – Sirip Ventral
Batas Terakhir Tulang Kepala – Awal Sirip Anal
Awal sirip anal – akhir sirip anal
Awal sirip punggung – akhir sirip punggung
Akhir sirip punggung – akhir sirip anal
Akhir sirip punggung lunak – awal sirip anal
Awal sirip punggung lunak – akhir sirip anal

8
Parameter Uji
Fekunditas
Fekunditas merupakan jumlah total telur yang dihasilkan indukan.
Fekunditas ini dihitung menggunakan metode gravimetri. Dimana berat induk
betina sebelum pemijahan dikurangi berat induk setelah pemijahan kemudian
dibagi berat per satuan telur. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
F=
F
Wt
Ws
Wtot

=
=
=
=

Fekunditas (butir)
Berat induk awal (gram)
Berat induk (gram)
Berat total 100 butir telur (gram)

Derajat Pembuahan
Derajat pembuahan telur (DPb) adalah persentase jumlah telur yang
dibuahi dibanding dengan jumlah total telur sampel yang ditebar. Derajat
pembuahan telur dihitung dengan rumus:
DPb =
DPb = Derajat Pembuahan (%)
Bt = Jumlah telur yang dibuahi (butir)
B0 = Jumlah telur sampel yang ditebar (butir)
Derajat Penetasan
Derajat penetasan telur (DPt) adalah persentase jumlah telur yang
menetas dibanding dengan jumlah total telur yang dibuahi. Derajat penetasan telur
dihitung dengan rumus:
DPt =
DPt = Derajat Penetasan (%)
Tt = Jumlah telur yang menetas (ekor)
T0 = Jumlah telur yang ditebar (butir)
Pertumbuhan Mutlak
Pertumbuhan mutlak panjang maupun berat merupakan selisih dari
panjang atau bobot akhir dan panjang atau bobot awal pemeliharaan. Pertumbuhan
mutlak dihitung dengan rumus:
PM = Wt – W0
Keterangan :
PM = Pertumbuhan Mutlak
Wt = bobot rata-rata ikan pada saat akhir (gram)
W0 = bobot rata-rata ikan pada saat awal (gram)

9
Laju Pertumbuhan Harian
Laju pertumbuhan bobot harian (LPH) dengan mengacu kepada rumus
Weatherley and Gill (1987):
LPH =

LnWt

LnWo
t

x100 %

Keterangan :
LPH = laju pertumbuhan harian (%)
Wt = bobot rata-rata ikan pada saat akhir (gram)
W0 = bobot rata-rata ikan pada saat awal (gram)
t
= lama perlakuan (hari)
Sintasan
Sintasan larva adalah persentase jumlah larva yang hidup pada akhir
pengamatan (5 hari) dibandingkan jumlah larva pada awal pemeliharaan. Sintasan
larva dihitung berdasar rumus:
Sintasan larva (%) =
Nt
N0

= Jumlah larva awal pemeliharaan (ekor)
= Jumlah larva akhir pemeliharaan (ekor)

Analisis Data
Data yang telah diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisis
menggunakan bantuan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 22. Uji banding
truss morfometrik dianalisis kanonikal, evaluasi perkembangan embrio dianalisis
secara deskriptif, sedangkan keragaan pertumbuhan diuji ANOVA. Pemilihan
populasi terbaik dilakukan dengan skoring untuk masing-masing populasi pada
setiap parameter yang dianalisis berdasarkan indeks kepentingan ekonomis
budidaya meliputi sintasa larva, sintasan benih dan laju pertumbuhan spesifik.

10

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Truss Morfometrik
Uji perbandingan karakter morfometrik (Tabel 2) menunjukkan 5 karakter
yang dapat digunakan untuk membedakan ikan sepat siam antar populasi
Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat. Karakter yang berbeda tersebut
adalah A3 (Atas Mulut – Batas Terakhir Tulang Kepala), A5 (Batas Terakhir
Tulang Kepala – Bawah Operkulum), B5 (Awal Sirip Punggung – Sirip Ventral),
C4 (Akhir sirip punggung – akhir sirip anal) dan C6 (Awal sirip punggung lunak –
akhir sirip anal). Hasil pengukuran truss morfometrik ditampilkan pada Tabel 2 di
bawah ini.
Tabel 2 Koefisien variasi (KV) dari 16 karakter morfometrik dari ikan sepat
(Trichopodus pectoralis) populasi Lampung, Jawa Timur dan
Kalimantan Barat
Karakter
Morfometrik
A1
A2
A3
A4
A5
A6
B1
B3
B4
B5
B6
C1
C3
C4
C5
C6

Kalimantan
Lampung
Barat
0.16
0.19
0.17
0.17
0.24
0.27
0.13
0.14
0.19
0.22
0.09
0.10
0.27
0.31
0.15
0.16
0.11
0.12
0.06
0.08
0.10
0.10
0.08
0.09
0.12
0.14
0.12
0.12
0.09
0.10
0.07
0.10

Jawa
Timur
0.17
0.15
0.28
0.11
0.20
0.08
0.32
0.15
0.13
0.13
0.11
0.12
0.14
0.13
0.13
0.15

Signifikansi
0.449
0.733
0.016*
0.155
0.037*
0.693
0.400
0.168
0.350
0.000*
0.426
0.111
0.446
0.016*
0.856
0.003*

* Karakter yang berbeda (P≤0,05)
Keterangan :
A1
A2
A3
A4
A5
A6
B1
B3

Sirip Ventral – Bawah Operkulum
Bawah Operkulum – Bawah Mulut
Atas Mulut – Batas Terakhir Tulang Kepala
Batas Terakhir Tulang Kepala – Sirip Ventral
Batas Terakhir Tulang Kepala – Bawah Operkulum
Atas Mulut – Sirip Ventral
Awal Sirip Anal – Sirip Ventral
Batas Terakhir Tulang Kepala – Awal Sirip Punggung

B4
B5
B6
C1
C3
C4
C5
C6

Awal Sirip Punggung – Awal Sirip Anal
Awal Sirip Punggung – Pelvic Fin
Batas Terakhir Tulang Kepala – Awal Sirip Anal
Awal Sirip Anal – Akhir Sirip Anal
Awal Sirip Punggung – Akhir Sirip Punggung
Akhir Sirip Punggung – Akhir Sirip Anal
Akhir Sirip Punggung Lunak – Awal Sirip Anal
Awal Sirip Punggung Lunak – Akhir Sirip Anal

11
Hasil ilustrasi fungsi kanonikal memperlihatkan bahwa karakter
morfometrik ketiga populasi ikan sepat terdistribusi pada kuadran yang berbeda
(Gambar 2). Pada area sumbu X negatif terdapat sumber genetik asal Jawa Timur
yang terpisah dengan Lampung dan Kalimantan Barat. Penyebaran karakter pada
sumbu Y mengindikasikan hubungan yang dekat antara sumber genetik dari
Lampung dan Kaliamantan Barat, meskipun group centroid sebaran karakter
morfometrik keduanya berada pada kuadran yang berbeda.

Gambar 2 Penyebaran karakter morfometrik ikan sepat siam (Trichopodus
pectoralis) Populasi Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat
Tabel 3 di bawah ini menunjukkan nilai persentase sharing component
intra populasi dan inter populasi Ikan Sepat Siam. Nilai sharing intra populasi
tertinggi diperoleh populasi Jawa Timur (66.7%) dan terendah pada populasi
Lampung (43,3%). Sedangkan nilai sharing tertinggi antar populasi diperoleh
antara populasi Kalimantan Barat dan Lampung (50%).
Tabel 3 Nilai persentase sharing component ikan sepat siam (Trichopodus
pectoralis) populasi Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat
Populasi
Kalimantan Barat Lampung Jawa Timur
Jumlah
Lampung
43.3
6.7
100
50.0
Jawa Timur
16.7
16.7
100
66.7
Kalimantan Barat
53.3
33.3
13.3
100

12
Perkembangan Awal Ikan
Kinerja reproduksi yang diamati pada penelitian ini meliputi fekunditas,
derajat penetasan dan sintasan larva disajikan pada Tabel 4. Induk betina ikan
sepat siam yang digunakan untuk pemijahan memiliki panjang 17,1±1,32 cm dan
berat 96,2±1,80 gram, sedangkan induk jantan memiliki panjang 15,7±1,27 cm
dan berat 94,6±1,11. Fekunditas yang dihitung pada sekali sampling berkisar
antara 12583 – 13600 butir. Sumber genetik ikan sepat siam asal Kalimantan
Barat menghasilkan telur lebih banyak dibandingkan Lampung dan Jawa Timur.
Derajat pembuahan berkisar antara 82,0 – 91,3% dan derajat penetasan berkisar
antara 87,8% - 90,1% (Tabel 4). Sintasan larva umur 5 hari setelah menetas pada
populasi ikan sepat siam asal Kalimantan Barat mempunyai nilai tertinggi (90,7%)
dibandingkan Lampung dan Jawa Timur.
Tabel 4 Ukuran induk, fekunditas, derajat pembuahan, derajat penetasan dan
sintasan larva ikan sepat siam (Trichopodus pectoralis) asal Lampung,
Jawa Timur dan Kalimantan Barat
Sumber
Genetik
Lampung
Jawa Timur
Kalbar

Ukuran Induk
Panjang
(cm)
18.7
17
16.1

Berat
(gram)
95,13
98,31
95,25

Derajat
Fekunditas*
pembuahan
(butir)
(%)
12889
12583
13600

82,0
91,3
85,0

Derajat
penetasan
(%)

Sintasan
larva
(%)

89,4
90,1
87,8

81,3
78,7
90,7

*) Sampling dilakukan sekali

Perkembangan awal ikan meliputi perkembangan embrio dari mulai telur
dibuahi sampai dengan larva umur 2 hari. Pembuahan terjadi setelah dilakukan
pemijahan secara alami. Telur yang baru dibuahi dari populasi Lampung
berdiameter 950.6±52.54µm. Embrio ikan sepat siam asal Lampung menetas pada
23jam 35 menit setelah dibuahi. Ikan sepat siam asal Kalimantan Barat menetas
pada 23 jam 50 menit setelah pembuahan dan ikan sepat siam asal Jawa Timur
menetas setelah 24 jam.

13
Proses dan lini masa perkembangan embrio ikan sepat siam 3 sumber
genetik asal Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Fase Perkembangan Embrio dan Larva Ikan Sepat Siam (Trichopodus
pectoralis) Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat
Sumber Genetik
Fase Perkembangan
Pembelahan
2 sel
4 sel
8 sel
16 sel
32 sel
64 sel
Blastula
Oblong/densitas tinggi
Sphere
Kubah
30% epiboli
Gastrula
50% epiboli
Germ-ring
Tempurung embrio
75% epiboli
90% epiboli
Bakal ekor
Segmentasi
3 somit
6 somit

10 somit
20 somit
Pra-Penetasan
Pharyngula 1

Pharyngula 2

Keterangan

Lampung

Jatim

Kalbar

2 sel
4 sel
8 sel
16 sel
32 sel
64 sel

30m
40m
50m
1j 5m
1j 10m
1j 40m

40m
51m
60m
1j 10m
1j 21m
2j

40m
50m
60m
1j 10m
1j 5m
1j 50m

Jumlah sel padat
Blastomer berbentuk
sphere
Terbentuk
dome/kubah blastomer
Pergerakan epiboly
dimulai

4j
4j 30m

4j 30m
5j

4j 10m
4j 45m

5j

5j 30m

5j 10m

5j 30m

6j

6j

Pergerakan epiboli
50%
Germ ring terbentuk
Tempurung embrio
mulai terbentuk
Pergerakan epiboli
70%
Pergerakan epiboli
90%
Terbentuk bakal ekor

6j 15m

6j 45m

6j 40m

6j 30m
8j 20m

7j
8j 30m

7j
8j 15m

9j

9j 10m

8j 50m

9j 10m

9j 30m

9j

10j 5m

10j 30m

10j 10m

Terbentuk 3 somit
Terbentuk 6 somit,
terbentuk optic
primordium
Terbentuk 10 somit
Terbentuk 20 somit

10j 15m
11j

10j 45m
11j 45m

10j 30m
11j 15m

12j 20m
14j 30m

13j
15j

12j 40
14j 40m

Detak jantung
terdeteksi, Melanofor
terbentuk pada yolk
egg, optic vesicle-like
eye terbentuk
Melanofor terbentuk
pada tubuh

17j 30m

18j 10m

17j 50m

20j 35m

21j

20j 40m

21j 35m

22j

21j 50m

23j 35m

24j

23j 50m

Pharyngula 3
Penetasan
Larva menetas
Telur menetas
Keterangan: j= jam; m = menit

14
Fase perkembangan awal embrio pada ikan sepat siam secara garis besar
meliputi tahap pembelahan blastodisk, blastula, gastrula, segmenetasi, prapenetasan dan penetasan. Pembentukan blastodisk terjadi pada 30-40 menit
setelah pembuahan. Fase perkembangan embrio diawali dengan fase pembelahan.
Pembelahan blastodisk terjadi setiap 10 menit. Fase pembelahan ini dimulai
dengan pembelahan blastodisk menjadi 2 sel dan sempurna pada 30-40 menit
setelah dibuahi (Gambar 3A). Pembelahan tersebut diikuti pembelahan
selanjutnya dan menjadi 4 sel pada 40-51 menit setelah dibuahi (Gambar 3B).
Blastodisk menjadi 8 sel pada 50-60 menit setelah dibuahi (Gambar 3C) dan
menjadi 16 sel pada 1 jam 5 menit-1 jam 10 menit setelah dibuahi (Gambar 3D).
Pembelahan blastodisk menjadi 32 sel terjadi pada 1 jam 21 menit setelah dibuahi
(Gambar 3E) dan fase terakhir pembelahan yang diamati yaitu membelah
sempurna menjadi 64 sel terjadi pada 1jam 40 menit - 2 jam setelah dibuahi
(Gambar 3F).

(A) 2 sel

(D) 16 sel

(B) 4 sel

(E) 32 sel

(C) 8 sel

(F) 64 sel

Gambar 3 Fase pembelahan pada perkembangan embrio ikan sepat siam
(Trichopodus pectoralis)
Fase blastula diawali dengan fase dimana jumlah sel pada blastomer
sangat padat atau disebut fase oblong. Fase ini terjadi pada 4 jam 30 menit setelah
dibuahi (Gambar 4A). Fase selanjutnya adalah blastomer yang berubah bentuk
menjadi sphere atau membulat pada 5 jam setelah dibuahi (Gambar 4B). Fase
sphere tersebut diikuti oleh fase kubah/dome, fase ini disebut fase kubah/dome
karena adanya pembentukan kubah/dome yang menutup 10% dari viteline vesicle.
Fase kubah ini terjadi pada 5 jam 30 menit setelah dibuahi (Gambar 4C). Pada
fase kubah/dome ini, epiboly atau gerakan sel pada embrio awal terjadi. Fase
terakhir dari Blastula ini adalah fase ketika gerakan epiboly menutup 30% dari
viteline vesicle (Gambar 4D).

15

(A) Oblong

(B) Sphere

(C) Dome

(D) 30% Epiboli

Gambar 4 Fase blastula pada perkembangan embrio ikan sepat siam (Trichopodus
pectoralis)
Fase gastrula ini diawali dengan pergerakan epiboly yang mencapai 50%
dari viteline vesicle (Gambar 5A). Fase ini terjadi pada 6 jam 45 menit setelah
dibuahi. Fase ini diikuti oleh pembentukan germ ring dan shield pada 7 jam dan 8
jam 30 menit setelah dibuahi (Gambar 5B dan 5C). Pergerakan epiboly mencapai
75% dan 90% pada 9 jam 30 menit setelah dibuahi (Gambar 5D dan 5E) dan fase
terakhir pada Gastrula ini ditandai dengan munculnya tail bud pada 10 jam 30
menit setelah dibuahi (Gambar 5F).

(A) 50% Epiboli

(D) 75% Epiboli

(B) Germ Ring

(C) Shield

(E) 90% Epiboli

(F) Tail Bud

Gambar 5 Fase gastrula pada perkembangan embrio ikan sepat siam (Trichopodus
pectoralis)
Fase selanjutnya adalah segmentasi yang ditandai dengan munculnya
somit atau ruas tubuh dan notokorda. Fase ini diawali dengan munculnya 6 somit
dan primordium optic (Gambar 6A). Selanjutnya terbentuk 10 dan 20 Somit
(Gambar 6B dan 6C) pada 13 dan 15 jam setelah menetas. Fase terakhir sebelum
penetasan adalah fase pra-penetasan atau disebut juga fase pharyngula. Pada fase
ini, mulai terlihat adanya melanophore pada yolk sac dan jantung mulai berdetak
untuk memompa darah (Gambar 6D). Melanophore yang awalnya hanya berada
pada yolk sac kemudian berangsur muncul pada bagian tubuh saat fase
pharyngula 2 dan jumlahnya menjadi banyak pada fase pharyngula 3 (Gambar 7E
dan 7F).

16

(A) 6 Somit

(D) Pharyngula 1

(B) 10 Somit

(C) 20 Somit

(E) Pharyngula 2

(F) Pharyngula 3

Gambar 6 Fase segmentasi dan pra-penetasan pada perkembangan embrio ikan
sepat siam (Trichopodus pectoralis)
Setelah fase perkembangan embrio sempurna maka telur akan menetas
menjadi larva. Telur ikan sepat siam asal Lampung menetas pada 23jam 35 menit
setelah menetas. Ikan sepat siam asal Kalimantan Barat menetas pada 23jam 50
menit setelah menetas dan ikan sepat siam asal Jawa Timur menetas pada 24 jam
setelah menetas. Cadangan kuning telur terlihat semakin mengecil seiring
bertambahnya umur larva (Gambar 7). Pada larva umur 1 hari, mulut larva mulai
terbuka. Struktur jaringan dorsal dan ventral berkembang pada larva umur 2 hari.

17

(A) Larva

(B) Larva 1

(C) Larva 2

Gambar 7 Fase larva pada perkembangan embrio ikan sepat siam (Trichopodus
pectoralis)
Fase kritis pada perkembangan embrio ikan sepat siam terjadi pada fase
pra-penetasan dan fase penetasan menjadi larva (Gambar 8). Ikan sepat siam asal
Lampung dan Kalbar menunjukkan penurunan sintasan embrio menjadi 88% pada
fase diferensiasi yaitu pada jam ke-18, lebih rendah dibandingkan dengan sintasan
embrio ikan sepat siam asal Jawa Timur yaitu 92% pada fase yang sama. Pada jam
ke 22-24 sintasan embrio ikan sepat siam asal Lampung menurun hingga 82%
sedangkan pada ikan sepat siam asal Kalimantan Barat dan Jawa Timur pada jam
ke 22-24 adalah 86% dan 92%. Selama fase perkembangan embrio tidak
ditemukan adanya abnormalitas pada ketiga populasi ikan sepat siam dari sumber
genetik asal Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat.
100

Sintasan (%)

95
90
Kalbar

85

Lampung
80
Jatim
75
70
2

4

6

8

10 12 14 16 18 20 22 24

Jam ke-

Gambar 8 Sintasan antar waktu embrio ikan sepat siam (Trichopodus pectoralis)
asal Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Barat

18
Keragaan Pertumbuhan
Pertumbuhan panjang diukur dengan metode sampling, dimana setiap titik
sampling mewakili 7 hari pemeliharaan. Gambar 9 menunjukkan grafik
pertumbuhan panjang benih ikan sepat umur 49 sampai dengan 112 hari
pemeliharaan. Laju pertumbuhan benih meningkat dengan kecepatan antar
populasi yang relatif sama dan membentuk pola yang sama pada semua populasi.
Pertumbuhan tertinggi ditunjukkan pada benih ikan sepat populasi Lampung,
sedangkan pola pertumbuhan terendah pada benih ikan sepat siam populasi Jawa
Timur.

49

56

63

70

77

84

91

98

105

112

Umur (hari)

Gambar 9 Pertumbuhan panjang antar waktu (umur 49 – 112 hari) ikan sepat
(Trichopodus pectoralis) populasi Lampung, Jawa Timur dan
Kalimantan Barat
Ikan sepat siam dari sumber genetik Lampung menunjukkan pertumbuhan
panjang mutlak tertinggi (1,8±0,04) dan menunjukkan perbedaaan nyata jika
dibandingkan dengan populasi Jawa Timur dan Kalimantan Barat (Tabel 6).
Sedangkan untuk pertumbuhan berat mutlak dan sintasan tidak b