Mercury Toxicity and It’s Effect on Histopathology Change of Nile Tilapia (Oreochromis niloticus)

TOKSISITAS MERKURI DAN PENGARUHNYA TERHADAP
HISTOPATOLOGI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

ILHAM ZULFAHMI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Toksisitas Merkuri dan
Pengaruhnya Terhadap Histopatologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2014
Ilham Zulfahmi
NRP C251110091

RINGKASAN
ILHAM ZULFAHMI. Toksisitas Mekuri dan Pengaruhnya Terhadap
Histopatologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Dibimbing oleh RIDWAN
AFFANDI dan DJAMAR T. F. LUMBAN BATU.
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu spesies ikan yang
sangat berpeluang terkontaminasi merkuri. Efek dari bahan pencemar, dapat
berakibat pada kerusakan organ-organ pada makhluk hidup dan dapat
menyebabkan kematian. Efek yang diakibatkan oleh merkuri ini bersifat akut atau
bersifat kronik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan ambang batas
dan toksisitas akut merkuri klorida (HgCl2) pada ikan nila, (Oreochromis
niloticus) mengkaji pengaruh merkuri klorida (HgCl2) pada beberapa parameter
biometrik (kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot rata-rata harian kondisi
hati dan empedu, keragaan reproduksi dan mengkaji tingkat kerusakan struktur
histologis insang, hati dan ginjal ikan nila (Oreochromis niloticus) akibat paparan
merkuri klorida (HgCl2).
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan Juni 2013.

Ikan nila (Oreochromis niloticus) yang digunakan pada penelitian ini adalah
berjenis kelamin betina dengan bobot rata-rata 20 gram atau kisaran panjang 1113 cm sebanyak 400. Bahan toksikan yang digunakan pada penelitian ini adalah
merkuri klorida (HgCl2). Wadah pemeliharan ikan uji yang digunakan adalah
akuarium berukuran 60x40x30 cm dengan volume air sebanyak 43.2 liter. Masa
pemeliharaan ikan uji dilakukan selama 56 hari. Penelitian ini terdiri atas tiga
tahapan yaitu uji pendahuluan, uji akut, dan uji sub kronik. Untuk mengetahui
perubahan yang terjadi pada kondisi biometrik ikan nila didekati dengan
mengukur tingkat kelangsungan hidup (SR), laju pertumbuhan bobot rata-rata
harian (LPBRH), kandungan merkuri pada organ ikan, hepatosomatik indeks
(HSI), volume empedu relatif (VER), indeks kematangan gonad (IKG), fekunditas
dan diameter telur, sedangkan kerusakan jaringan yang ditimbulkan merkuri pada
organ ikan didekati dengan melakukan analisa gambaran kerusakan histologis
pada preparat histologis dengan menggunakan pewarnaan Hematoksilin dan Eosin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai LC50-96 jam merkuri klorida
adalah sebesar 1.64 mgL-1. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada
perlakuan 0 mgL-1 (46.67 %) dan terendah pada perlakuan 0.196 mgL-1 (40.00 %).
Merkuri klorida dengan konsentrasi 0.196 mgL-1 memberikan pengaruh yang
nyata terhadap nilai HSI dan volume empedu relatif serta ukuran diameter telur
ikan Nila (p < 0,05), namun pada konsentrasi 0.164 mgL-1 dan 0.196 mgL--1 tidak
berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan bobot, Indeks kematangan gonad

(IKG) dan fekunditas ikan Nila (Oreochromis niloticus) (p>0,05). Merkuri klorida
menyebabkan kerusakan pada organ insang (hyperplasia, hypertrophy,
proliferation dan neukrosis), hati (hyperplasia, hemorhage, shrinkage of
hepatocytes, proliferation dan neukrosis) dan ginjal (hyperplasia, hemorrhage,
shrinkage of glomerulus, proliferation dan neukrosis).
Kata kunci: Ikan nila, merkuri, Hepatosomatic indexs (HSI), histopatologi

SUMMARY
ILHAM ZULFAHMI. Mercury Toxicity and It’s Effect on Histopathology
Change of Nile Tilapia (Oreochromis niloticus). Supervised by RIDWAN
AFFANDI and DJAMAR T. F. LUMBAN BATU.
Nile tilapia (Oreochromis niloticus) is one of fish species that oportunity to
contaminated with mercury. The effects of pollutants can damage living
organisms organs and can cause death. The effects caused mercury had acute or
chronic character. The aims of this study are to determine threshold and acute
toxicity of mercury chloride (HgCl2) of Nile tilapia (Oreochromis niloticus), to
assess the effect of mercury chloride (HgCl2) on several biometric parameters
(survival, growth rate of average daily weighted, liver condition, bile and
reproductive variability of Nile tilapia (Oreochromis niloticus), assess the level of
damage to the histological structure of the gills, liver and kidney of Nile tilapia

(Oreochromis niloticus) caused mercury chloride (HgCl2) exposure.
This study was conducted from February to June 2013. Nile Tilapia
(Oreochromis niloticus) were used in this study were female with average weight
20 grams or 11-13 cm length range. Toxicant materials used in this study was
mercury chloride (HgCl2). Fish were reared in each aquarium 60x40x30
containing 48 liters of water. This study consists of three stages: a preliminary
test, acute test, and sub-chronic test. To determine the changes in biometric
condition of tilapia approximated by measuring the survival rate (SR), the growth
rate of average daily weight , the content of mercury in the fish organs,
hepatosomatic index (HSI), the relative bile volume (VER), gonadal soamtic
index (IKG), fecundity and oocit diameter, tissue damage caused by mercury in
fish organs by making histological preparations stained with hematoxylin and
eosin.
The median lethal concentration (96 hr, LC50) of Mercury Chloride was
calculated as 1,64 mgL--1.The survival rate was highest in the control treatment
(46,67 %) . Mercury chloride with concentration 0.196 mgL--1 show significant
effect to changes HSI and relative bile volume, and oocyte diameter of Nile
tilapia (p < 0,05). Mercury chloride with a concentration of 0,164 mgL-1 and 0,196
mgL-1 have not a significant effect on the growth rate of weight, gonadal somatic
index and fecundity of Nile tilapia (p > 0,05). Mercury chloride cause damage to

gills (hyperplasia, hypertrophy, proliferation and neukrosis), liver (hyperplasia,
hemorhage, shrinkage of hepatocytes, proliferation and neukrosis) and kidney
(hyperplasia, hemorrhage, shrinkage of the glomerulus, proliferation and
neukrosis).
Keywords: Nile tilapia, Hepatosomatic indexs (HSI), histopathology

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

TOKSISITAS MERKURI DAN PENGARUHNYA TERHADAP
HISTOPATOLOGI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

ILHAM ZULFAHMI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Tesis : Toksisitas Merkuri dan Pengaruhnya Terhadap Histopatologi Ikan
Nila (Oreochromis niloticus)
Nama
: Ilham Zulfahmi
NIM
: C251110091

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Ridwan Affandi, DEA
Ketua

Prof Dr Ir Djamar T.F.Lumban Batu, M.Agr
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya
Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Sigid Haryadi, M.Sc

Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc.Agr


Tanggal Ujian: 14 Maret 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih pada penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah
Pencemaran Lingkungan, dengan judul Toksisitas Merkuri dan Pengaruhnya
Terhadap Histopatologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Ridwan Affandi DEA
dan Bapak Prof Dr Ir Djamar TF Lumban Batu M.Agr selaku pembimbing.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2014
Ilham Zulfahmi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

1  PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian






2  TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila

Merkuri (Hg)
Toksisitas Merkuri Terhadap Organisme
Insang
Hati
Ginjal

3


4
6
7
9

3  METODE
Bahan
Alat
Tahapan Penelitian
Uji Pendahuluan
Uji Toksisitas Akut

Uji Sub Kronik

9


10
10
12
12 

4  HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Pendahuluan
Uji Toksisitas Akut
Uji Sub Kronik
Parameter Fisika Kimia Air
Tingkat Kelangsungan Hidup
Laju Pertumbuhan Bobot
Kandungan Merkuri Pada Organ Hati dan Ginjal
Kondisi Hati dan Empedu
Indeks Kematangan Gonad
Fekunditas dan Diameter Telur
Histopatologi
Pembahasan

16
16 
17 
18
18
18
19
20 
20 
21 
22 
23 
29

5  SIMPULAN

33 

DAFTAR PUSTAKA

34 

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Parameter fisika-kimia air yang akan di ukur
Data mortalitas ikan nila Pada uji nilai kisaran
Kisaran parameter fisika kimia air selama penelitian
Laju pertumbuhan bobot rata-rata harian ikan nila
Kandungan merkuri klorida (HgCl2) pada organ hati dan ginjal ikan nila
Pengaruh merkuri klorida (HgCl2) terhadap IKG ikan nila
Pengaruh merkuri klorida (HgCl2) terhadap fekunditas ikan nila
Pengaruh merkuri klorida (HgCl2) terhadap perubahan struktur
histologis insang nila (Oreochromis niloticus)
9 Pengaruh merkuri korida (HgCl2) terhadap perubahan struktur
histologis ginjal ikan nila (Oreochromis niloticus)
10 Pengaruh merkuri klorida (HgCl2) terhadap perubahan struktur
histologis hati ikan nila (Oreochromis niloticus)

16 
16 
18 
19 
20 
21 
22 
24 
24 
26 

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

11

12

Ikan nila (Oreochromis niloticus)
Struktur histologis insang (Lagler et al.,1977)
Struktur histologis hati ikan (Camargo et al., 2007)
Struktur histologis ginjal ikan (Camargo et al., 2007)
Mortalitas kumulatif ikan Nila (Oreochromis niloticus) setelah
pemaparan merkuri klorida (HgCl2) selama 96 jam
Tingkat kelangsungan hidup ikan uji pada tingkatan sub kronik
Pengaruh merkuri klorida (HgCl2) terhadap HSI ikan nila
Pengaruh merkuri klorida (HgCl2) terhadap VER ikan nila
Pengaruh merkuri klorida terhadap distribusi diameter telur ikan nila
Perubahan struktur histologis insang ikan Nila (Oreochromis niloticus)
selama 56 hari pemaparan HgCl2. (a) perlakuan kontrol (0 mgL -1). (b, d,
f, h) perlakuan 1 (0,164 mgL-1) pada hari ke 14, 28, 42 & 56. (c, e, g, i)
perlakuan 2 (0,196 mgL-1) pada hari ke 14, 28,42 & 56.
Perubahan struktur histologis yang terjadi pada ginjal ikan Nila
(Oreochromis niloticus) selama 56 hari pemaparan HgCl2. (a)
perlakuan kontrol (0 mgL-1). (b, d, f, h) perlakuan 1 (0,164 mgL-1) pada
hari ke 14, 28, 42 & 56. (c, e, g, i) perlakuan 2 (0,196 mgL-1) pada hari
ke 14, 28,42 & 56
Perubahan struktur histologis yang terjadi pada hati ikan nila
(Oreochromis niloticus) selama 56 hari pemaparan HgCl2. (a)
perlakuan kontrol (0 mgL-1). (b, d, f, h) perlakuan 1 (0,164 mgL-1) pada
hari ke 14, 28, 42 & 56. (c, e, g, i) perlakuan 2 (0,196 mgL-1) pada hari
ke 14, 28,42 & 56





17 
19 
20 
21 
23 

25

27 

28 

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permasalahan lingkungan perairan timbul sejak manusia mulai memanfaatkan
lingkungan perairan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu
permasalahan lingkungan tersebut adalah pencemaran perairan. Sumber pencemar
yang berasal dari kegiatan manusia memiliki dampak yang lebih besar bila
dibandingkan dengan pencemar yang berasal dari fenomena alam. Hal ini akibat
semakin tingginya aktivitas manusia yang berdampak pada meningkatnya volume
limbah domestik maupun industri (Kristanto 2002).
Merkuri (Hg) merupakan salah satu kontaminan yang paling banyak
ditemukan di perairan dan sedimen (Ullrich et al., 2001). Meskipun terjadi secara
alami, aktivitas manusia telah memobilisasi meningkatnya kuantitas merkuri dan
telah menjadi sumber masalah kesehatan bagi masyarakat (Clarkson & Magos,
2006; Díez, 2009). Kontaminan ini sangat signifikan dalam hal daya racunnya.
Selain itu, merkuri tidak terdegradasi oleh bakteri sehingga tetap berada secara
permanen di lingkungan perairan (Clark 2001).
Ikan sangat sensitif terhadap perubahan di lingkungan perairan dan
memainkan peran penting dalam menilai potensi risiko yang terkait dengan
pencemaran di lingkungan hidupnya (Lakra dan Nagpure, 2009). Ikan sangat rentan
terhadap toksikan logam karena ikan terus-menerus terpapar di media hidupnya dan
toksiskan ini dapat masuk melalui insang dan asupan pakan yang terkontaminasi.
Efek dari bahan pencemar ini, dapat berakibat pada kerusakan organ-organ tubuh
ikan baik bersifat akut maupun bersifat kronik.
Salah satu jenis ikan yang sangat berpeluang terkontaminasi merkuri adalah
ikan nila (Oreochromis niloticus). Hal ini disebabkan karena Ikan Nila
(Oreochromis niloticus), merupakan ikan yang memiliki penyebaran cukup luas
dan banyak dibudidayakan, selain itu, ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan
ikan konsumsi penting bagi sebagian masyarakat Indonesia. Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) pada dasarnya mempunyai kemampuan menghindarkan
diri dari pengaruh bahan pencemar yang mencemari lingkungan perairan (Roberts,
1978). Namun demikian, ikan yang hidup di habitat terbatas (seperti sungai, danau,
dan teluk), sulit menghindarkan diri dari pengaruh pencemaran tersebut. Akibatnya,
unsur-unsur pencemar masuk ke dalam tubuh ikan.
Ikan nila (Oreochromis niloticus) memiliki banyak keunggulan untuk
dibudidayakan dibanding dengan jenis ikan lainnya karena sifat biologi yang
menguntungkan seperti mudah berkembang biak, pertumbuhannya cepat, pemakan
segala bahan makanan (omnivora), daya adaptasi tinggi, dan memiliki toleransi
tinggi terhadap berbagai kondisi lingkungan (Ishikawa et al. 2007 & Pullin 1997).
Kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan alami dan sistem budidaya
intensif, menyebabkan usaha budidaya ikan nila menyebar secara luas di dunia,
terutama di negara-negara Asia (FAO 2004).
Menurut Palar (2004) merkuri masuk kedalam jaringan tubuh melalui
beberapa jalan, yaitu saluran pernapasan, pencernaan (makanan) dan penetrasi
melalui kulit. Merkuri yang masuk ke dalam tubuh organisme air tidak dapat
dicerna, akan tetapi merkuri mampu bergabung dengan lemak dan masuk kedalam

2
membran sel. Merkuri yang bergabung dengan lemak pada akhirnya akan
menumpuk (terakumulasi) di dalam organ, terutama organ respirasi (insang), organ
detoksikasi (hati) dan organ ekskresi (ginjal).
Efek dari bahan pencemar, dapat berakibat pada kerusakan organ-organ pada
makhluk hidup dan dapat menyebabkan kematian. Adapun efek yang diakibatkan
oleh bahan pencemar dapat bersifat akut dan bersifat kronik. Untuk mengetahui
sejauh mana efek dari bahan pencemar merkuri, maka dilakukan uji toksisitas. Uji
toksisitas dapat menjelaskan keterikatan atau hubungan antara besarnya konsentrasi
merkuri di dalam air dengan perubahan struktur sel pada berbagai organ ikan.
Investigasi histopatologi dilakukan untuk mendeteksi efek langsung dari senyawa
kimia pencemar pada organ target. Beberapa penelitian terkait toksisitas suatu
bahan pencemar terhadap ikan yang dilakukan sebelumnya hanya tertuju pada
tingkatan untuk melihat perubahan yang terjadi pada reaksi enzimatik dan
perubahan komposisi sel darah pada ikan uji akibat adanya toksikan. Adapun
penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh dari pada bahan toksikan (merkuri
klorida) terhadap perubahan yang terjadi pada parameter biometrik ikan uji.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Menentukan ambang batas dan toksisitas akut merkuri klorida (HgCl2) pada
ikan nila (Oreochromis niloticus).
2. Mengkaji pengaruh merkuri klorida (HgCl2) terhadap beberapa parameter
biometrik (kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot rata-rata harian,
kondisi hati dan empedu serta keragaan reproduksi) ikan nila (Oreochromis
niloticus).
3. Mengkaji tingkat kerusakan struktur histologis insang, hati dan ginjal ikan
nila (Oreochromis niloticus) akibat dari paparan merkuri klorida (HgCl2)
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang nilai
konsentrasi merkuri yang berbahaya bagi ikan nila (Oreochromis niloticus) yang
hidup di lingkungan perairan dan diharapkan juga mampu memberikan informasi
tentang berbagai pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh merkuri terhadap kondisi
kesehatan ikan nila (Oreochromis niloticus).

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Klasifikasi ikan nila menurut Trewavas (1982):
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Osteichthyes
Subkelas : Acanthoptherygii
Ordo : Percomophi
Subordo : Percoidea
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus

Gambar 1 Ikan nila (Oreochromis niloticus)
Secara umum, bentuk tubuh nila memanjang dan ramping, dengan sisik
berukuran besar. Ukuran matanya besar dan menonjol dengan tepi berwarna putih.
Gurat sisi (linea lateralis) terputus di bagian tengah tubuh, kemudian berlanjut lagi,
tetapi letaknya lebih ke bawah dibandingkan dengan letak garis yang memanjang di
atas sirip dada. jumlah sisik pada gurat sisi 34 buah. Sirip punggung, sirip perut,
dan sirip duburnya memiliki jari-jari keras berupa duri. Sirip punggung dan sirip
dada berwarna. hitam. Pinggir sirip punggung berwarna abu-abu atau hitam
(Trewavas 1982.).
Panjang tubuhnya dua kali tingginya. sirip punggung terdiri atas 16-17 jarijari keras dan 11-15 jari-jari lunak dan pada bagian sirip anal terdapat 3 duri dan 811 jari-jari. Tubuh berwarna kehitaman atau keabuan dengan beberapa pita hitam
belang yang semakin memudar atau samar-samar kelihatan pada saat ikan dewasa.
(Hasni 2008).
Nila (Oreochromis niloticus) memiliki lima buah Sirip, yaitu sirip punggung
(dorsal fin), sirip data (pectoral fin) sirip perut (venteral fin), sirip anal (anal
fin),dan sirip ekor (caudal fin). Sirip punggungnya memanjang dari bagian atas
tutup ingsang hingga bagian atas sirip ekor. Terdapat juga sepasang sirip dada dan
sirip perut yang berukuran kecil dan sirip anal yang panjang. Sementara itu, bentuk
sirip ekornya membundar (Trewavas 1982).

4
Untuk membedakan antara ikan jantan dan betina dapat dilihat dari bentuk
alat kelamin yang ada pada bagian ventral tubuh ikan. Ikan jantan memiliki sebuah
alat kelamin yang bentuknya memanjang dan menonjol. Berfungsi sebagai alat
untuk mengeluarkan sperma dan air seni, warnanya merah, terutama pada saat
matang gonad. Ikan betina memiliki dua lubang kelamin di dekat anal, berbentuk
seperti bulan sabit dan berfungsi sebagai tempat keluarnya telur. Lubang yang
kedua berada di belakang saluran telur dan berbentuk bulat dan berfungsi sebagai
tempat keluarnya air seni (Trewavas 1982).
Merkuri (Hg)
Merkuri (Hg) berasal dari bahasa Latin hydrargyyrum yang berarti menguap,
sedangkan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai raksa. Namun demikian,
di kalangan masyarakat dikenal dengan nama merkuri. (Hutagalung 1984).
Penggunaan Hg dalam bidang industri cukup banyak, seperti industri
pertanian, alat-alat elektronik, industri cat dan sebagainya, selain itu juga digunakan
dalam industri pertambangan emas, Hg ini biasanya digunakan untuk memisah
emas dari batuan, umumnya digunakan oleh penambang liar di sekitar daerah
pertambangan yang limbahnya dibuang ke sungai yang kemudian bermuara ke laut.
Sebagai unsur, pada suhu kamar merkuri (Hg) berbentuk cair keperakan.
Merkuri membentuk berbagai persenyawaan baik anorganik (seperti oksida, klorida,
dan nitrat) maupun organik. Merkuri dapat menjadi senyawa anorganik melalui
oksidasi dan kembali menjadi unsur merkuri (Hg) melalui reduksi. Merkuri
anorganik menjadi merkuri organik melalui kerja bakteri anaerobic tertentu dan
senyawa ini secara lambat terdegradasi menjadi merkuri anorganik. Produksi air
raksa diperoleh terutama dari biji sinabar (86,2 % air raksa) melalui pemanasan
dengan suhu 8000C dengan menggunakan O2 (Halida 2002).
Di antara semua unsur logam berat, Hg menduduki urutan pertama dalam hal
daya racunnya. Diikuti oleh logam berat lainnya yaitu Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn,
dan Zn. Merkuri di air akan dikonversi menjadi metil merkuri (Hikmawati dan
Sulistyorini, 2006). Merkuri, baik logam maupun metil merkuri (CH3Hg+), masuk
ke dalam tubuh melalui pernapasan, penetrasi dari kulit dan makanan. Sebagian
besar dapat diekresikan, sisanya akan menumpuk pada ginjal dan sistem saraf, yang
suatu saat akan mengganggu bila akumulasinya semakin tinggi. Merkuri dalam
bentuk metil merkuri, sebagian besar akan terakumulasi di otak. Tingginya
penyerapan merkuri, dalam waktu singkat dapat menyebabkan berbagai gangguan
mulai dari rusaknya keseimbangan tubuh, tidak dapat berkonsentrasi, tuli, dan
berbagai gangguan lain (Hutagalung dan manik 2002).
Toksisitas Merkuri Terhadap Organisme
Toksisitas adalah kemampuan suatu molekul atau senyawa kimia dalam
menimbulkan kerusakan pada bagian yang peka di bagian dalam maupun di bagian
luar tubuh makhluk hidup (Tandjung 1995). Tolok ukur pengujian efek bahan
pencemar yang saat ini dianggap paling tepat adalah derajat toksisitas dengan
metode Bioassay. Menurut Connel (1995), respon makhluk hidup yang diuji dapat
dimasukkan dalam kategori-kategori sebagai berikut:
a. Akut, yaitu respon makhluk hidup terhadap suatu keadaan yang cukup parah
sehingga menyebabkan suatu respon cepat biasanya dalam waktu 96 jam.

5
b. Subakut, yang merupakan respon makhluk hidup terhadap suatu kondisi yang
kurang parah dan biasanya terjadi setelah waktu yang lebih lama.
c. Kronis, yang merupakan respon makhluk hidup terhadap suatu kondisi yang
berkesinambungan yang terjaga tetap.
Merkuri masuk ke dalam tubuh organisme hidup terutama melalui makanan
yang dimakannya, karena hampir 90% logam berat (merkuri) masuk ke dalam
tubuh melalui jalur makanan. Logam merkuri masuk pada jalur tersebut melalui dua
cara, yaitu lewat air (minuman) dan bahan makanan. Sisanya akan masuk secara
difusi atau perembesan lewat jaringan dan melalui pernafasan (insang) (Palar
2004). Merkuri anorganik di perairan akan mengalami metilasi oleh bakteri anaerob
yang menghasilkan methyl merkuri yang kemudian akan dilepas ke perairan.
Darmono (1995) mengemukakan, bahwa merkuri yang dapat diakumulasi melalui
makanan oleh ikan atau shellfish adalah bentuk methyl merkuri. Methyl merkuri
yang terbentuk, bersifat tidak stabil sehingga mudah dilepaskan.
Makanan yang telah terkontaminasi merkuri akan dikonsumsi oleh ikan dan
masuk ke dalam saluran pencernaan. Pada saluran pencernaan (gastrointestinal)
melalui dinding-dindingnya, merkuri akan menuju ke cairan sirkulatori Bahanbahan kimia (senyawa merkuri) dalam cairan sirkulatori akan teroksidasi menjadi
Hg2+ dan akan terakumulasi dalam hati. Di organ hati merkuri akan dimetabolisme
dan di nonaktifkan oleh enzim-enzim di dalam hati sehingga terjadi biotransformasi
zat-zat berbahaya menjadi zat-zat yang tidak berbahaya yang kemudian
diekskresikan oleh ginjal.
Senyawa-senyawa kimia selain masuk melalui saluran pencernaan, juga dapat
masuk melalui saluran pernafasan (insang). Senyawa kimia tersebut akan masuk
melalui insang yang langsung bersentuhan dengan lingkungan air. Setelah melewati
insang, bahan-bahan kimia termasuk merkuri akan ikut ke dalam sistem pernafasan,
akhirnya akan menembus sel endothelial kapiler darah untuk masuk ke dalam
cairan darah. Selanjutnya akan terbawa aliran darah dan ikut dalam proses
metabolisme (Connel 1995).
Beberapa pengaruh toksisitas logam pada ikan yang telah terpapar logam
berat yaitu pada insang, alat pencernaan dan ginjal. Jumlah merkuri yang
terakumulasi pada tubuh ikan tergantung dari ukuran, umur dan kondisi ikan.
Distribusi dan akumulasi logam tersebut sangat berbeda-beda untuk organisme air.
Hal ini tergantung pada spesies, konsentrasi logam dalam air, pH, fase pertumbuhan
dan kemampuan untuk pindah tempat (Darmono 1995).
Darmono (2008) mengemukakan bahwa terjadinya proses akumulasi merkuri
di dalam tubuh hewan air terjadi karena kecepatan pengambilan merkuri (uptake
rate) pada organisme air lebih cepat dibandingkan dengan proses ekskresi. Merkuri
merupakan logam yang terlibat dalam proses enzimatik, terikat dengan protein
(ligan binding). Ikatan merkuri dengan protein jaringan membentuk senyawa
metallotionein. Metallotionein merupakan protein aditif yang berperan dalam
proses homeostatis organisme dalam mentolelir logam berat.
Thongra-ar et al (2003) menyatakan bahwa ketersediaan dan daya toksisitas
logam berat sangat tergantung pada bentuk kimianya. Pada lingkungan yang
konsentrasi Cl- nya rendah bentuk merkuri organiknya didominasi oleh tiga bentuk
kompleks yaitu HgCl2, HgOHCl dan Hg(OH)2 dengan komplek terbanyak adalah
Hg(OH)2. Sedangkan pada konsentrasi Cl- yang tinggi, yang paling dominan adalah
dalam bentuk HgCl4-2 dan HgCl3- dan memiliki daya toksisitas yang rendah.

6
HgCl2 lebih banyak terdapat pada lingkungan yang konsentrasi Cl rendah
dibandingkan konsentrasi Cl- yang tinggi. Hal ini menyebabkan toksisitas merkuri
akan meningkat seiring menurunnya salinitas. Selanjutnya dikemukakan bahwa
menurut prinsip Asam Basa Kuat dan Lemah (HSAB), merkuri adalah asam lemah
dan dapat bereaksi lebih cepat dengan basa lemah terutama ligan yang mengandung
unsur N dan S tetapi jauh lebih kuat bereaksi dengan ligan yang mengandung unsur
S dari pada unsur N. Jadi dari mekanisme ini dapat diketahui bahwa Hg cenderung
membentuk kompleks yang kuat dengan kelompok sulfhidril (-SH) yang ada dalam
protein dibandingkan dengan Cl-. Ikan mengandung banyak protein, oleh karenanya
maka jumlah kelompok sulfhidril yang terkandung dalam jaringan ikan dapat
menentukan jumlah Hg yang dapat terabsorpsi.
Senyawa-senyawa kimia yang telah berikatan dengan protein dan membentuk
metallotionein tersebut akan dibawa oleh darah (Darmono, 1995). Senyawa merkuri
yang masuk bersama makanan, akan masuk ke dalam alur pencernaan, setelah
mengalami absorbsi di usus, senyawa merkuri akan dibawa ke hati melalui vena
porta hepatik. Selanjutnya di dalam hati senyawa merkuri mengalami metilasi
lambat menjadi Hg2+, dan kemudian akan masuk ke dalam darah dan akan
teroksidasi sempurna menjadi merkuri bivalensi (Hg2+). Bersama peredaran darah,
Hg2+ yang masuk ke hati akan mengalami metabolisme, terdegradasi dan
melepaskan Hg2+, sehingga dapat menghambat enzim proteolitik dan menyebabkan
kerusakan sel (Lu 1995). Merkuri yang tadinya masuk ke dalam hati akan terbagi
dua yaitu sebagian akan terakumulasi pada hati, sedangkan sebagian lainnya akan
dikirim ke empedu. Dalam kantong empedu, akan dirombak menjadi senyawa
merkuri anorganik yang kemudian akan dibawa ke ginjal melalui darah.(Palar,
2004).
Insang
Beberapa pengaruh toksisitas logam pada ikan yang telah terpapar logam
berat yaitu pada insang, alat pencernaan, hati dan ginjal. Insang merupakan organ
yang dimiliki ikan sebagai alat utama pernafasan. Insang selain sebagai alat
pernafasan ikan, juga digunakan sebagai pengatur tekanan osmotik dalam tubuh
ikan (Fernandez & Mazon 2003)
Insang merupakan organ yang penting pada ikan. Sebagian besar kematian
ikan yang disebabkan oleh bahan pencemar terjadi karena kerusakan pada bagian
insang dan organ-organ yang berhubungan dengan insang. Karena letaknya di luar
dan berhubungan langsung dengan air sebagai media hidupnya, maka organ inilah
yang pertama kali mendapat pengaruh apabila lingkungan air tercemar oleh bahan
pencemar baik yang terlarut maupun yang tersuspensi. Insang merupakan organ
yang langsung berhubungan dengan air, sehingga apabila air mengandung polutan
akan mengakibatkan kerusakan pada organ ini dan organ-organ yang berhubungan
dengan insang. Hal inilah yang menyebabkan ikan mati di perairan.
Pada umumnya ikan Teleostei mempunyai lima pasang lembar insang.
Lamella primer bentuknya tipis, berupa dua garis melengkung ke belakang dan
saling berhubungan. Lamella sekunder berbentuk setengah lingkaran mengelilingi
semua bagian dari lamella primer (Takasima dan Hibiya 1995). Insang terdiri atas
sepasang filamen insang, di mana setiap filamen terdiri oleh serat melintang yang
tertutup epithelium yang tipis disebut lamella. Lamella merupakan penyusun
filamen. Sebuah rangkaian lamella pada satu sisi dari septum interbranchiale

7
disebut hemibranchium. Dua hemibranchium dan septum interbranchia membentuk
insang lengkap disebut holobranchia (Lagler et al.1977). Struktur insang ikan dapat
dilihat pada Gambar 2.

Keterangan:
1. Eritrosit
2. Epitelium
3. Sel pillar
4. Lumen kapiler
5. Lamella
6. Sel sel interlamella
7. Sel mucus
8. Tulang rawan penopang

Gambar 2 Struktur histologis insang (Lagler et al. 1977).
Pada filamen insang terdapat sejumlah besar lamella. Tepi-tepi bebas lamella
sangat tipis ditutupi epithelium berisi jaringan kapiler yang disokong oleh sel
pilaster. Sel pilaster berfungsi membatasi sel epithelium dengan kapiler darah.
Lamella sekunder kaya akan eritrosit. Lamella sekunder insang berupa lipatan
lembaran melintang, tipis, dinding luarnya terdiri atas selapis sel epithelium pipih
dan di bawahnya terdapat lapisan sub epithelium yang sangat tipis dan terdiri atas
jaringan ikat. Selubung epithelium dibungkus oleh lapisan vaskuler medial,
merupakan anyaman kapiler darah dari arteri brachialis efferent sel-sel pilaster dari
eritrosit (Lagler et al.1977).
Hati
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh yang terletak dalam rongga
peritoneal dan melingkupi viscera. Hati memiliki bentuk seperti huruf U dan
berwarna merah kecoklatan. Struktur utama hati adalah sel hati atau hepatosit.
Hepatosit (sel parenkim hati) bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam
metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara sinusoid yang berisi darah dan saluran
empedu. Sel kupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting dalam
sistem retikuloendotelial tubuh (Lu 1995). Sel kupffer merupakan sistem
monositmakrofag dan fungsi utamanya adalah menelan bakteri dan benda asing lain
dalam darah. Sehingga hati merupakan salah satu organ utama sebagai pertahanan
terhadap invasi bakteri dan agen toksik (Anderson 1995).
Sel hati berbentuk polihedral, dengan enam permukaan atau lebih. Sel hati
mempunyai satu/dua buah inti bulat, banyak retikulum endoplasma halus dan kasar,
serta mempunyai banyak mitokondria yang berbentuk ovoid atau sferis. Sel hati
berkelompok dalam lempeng-lempeng dan saling berhubungan sedemikian rupa
sehingga membentuk bangunan lobulus hati. Di dalam lobulus hati, sel hati
tersusun secara radier. Diantara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang
dinamakan sinusoid. Sinusoid adalah pembuluh darah kapiler yang merupakan

8
percabangan dari vena porta dan arteri hepatika. Tidak seperti kapiler lain, sinusoid
dibatasi oleh sel fagositik atau sel kupffer (Anderson 1995).
Kerusakan hepatosit menurut Ressang (1984) dapat dibagi menjadi dua yaitu
taksohepatik dan trofohepatik. Kerusakan akibat taksopatik disebabkan oleh
pengaruh langsung dari agen yang toksik, baik berupa zat kimia maupun kuman.
Kerusakan akibat trofopatik disebabkan adanya kekurangan faktor-faktor penting
untuk kehidupan sel seperti oksigen atau zat makanan, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Hati sangat rentan terhadap pengaruh berbagai zat kimia
dan sering menjadi organ sasaran utama dari efek racun zat kimia. Oleh karena itu,
hati merupakan organ tubuh yang paling sering mengalami kerusakan.
Hati merupakan organ yang banyak berhubungan dengan senyawa kimia
sehingga mudah terkena efek toksik (Loomis 1978). Diantara berbagai zat yang
masuk ke dalam hati bersama darah, kemungkinan ada zat yang mampu
menginduksi kerusakan hati. Zat yang dimaksud antara lain logam berat dan salah
satunya adalah logam merkuri (Hg). Darmono (1995) menyatakan bahwa kongesti
dan hemoragi atau pendarahan terlihat pada hepatopankreas yang terakumulasi oleh
logam berat.

Gambar 4 Struktur histologis hati ikan (Camargo et al. 2007). Keterangan gambar:
a. inti sel, b. granular sitoplasma
Tingkat kerusakan hati menurut Darmono (1995), dibagi menjadi tiga yaitu
ringan, sedang dan berat. Perlemakan hati termasuk dalam tingkat ringan yang
ditandai dengan pembengkakan sel. Tingkat kerusakan sedang yaitu kongesti dan
hemoragi, sedangkan tingkat berat adalah kematian sel atau nekrosis. Kerusakan
hati akibat logam berat Hg disebabkan aktifitas logam tersebut dalam
mempengaruhi kerja enzim proteolitik (Lu 1995).
Keberadaan dari suatu toksikan dapat mempengaruhi kerja dari enzim–enzim
metabolik. Toksikan ini mempunyai kemampuan berikatan dengan enzim, ikatan
ini terjadi karena logam berat mempunyai kemampuan untuk menggantikan gugus
logam yang berfungsi sebagai co-faktor bagi reaksi-reaksi enzimatik (Palar 2004).
Racun yang masuk ke dalam tubuh, dalam hal ini adalah logam berat akan
mengalami proses detoksikasi di dalam hati oleh fungsi hati (hepar). Senyawa
toksik akan diubah menjadi senyawa lain yang sifatnya tidak lagi beracun terhadap
tubuh. Jika zat toksik yang masuk ke dalam tubuh relatif kecil atau sedikit dan
fungsi detoksikasi hati berlangsung dengan baik maka tidak akan terjadi keracunan,
namun apabila zat toksik terdapat dalam jumlah besar dan reaksi-reaksi enzimatik

9
tidak mampu malukan fungsi-fungsi dektoksifikasi, maka hati akan mengalami
kerusakan.
Ginjal
Pada ikan, tubulus ginjal merupakan bentuk berpasangan yang terletak
memanjang pada dinding dorsal rongga tubuh. Setiap tubule ginjal menuju ke ureter
yang masuk ke kandung kemih. Urine kemudian dikeluarkan lewat lubang
urogenital pada bagian bawah tubuh ikan (Lagler et al.1977).

Gambar 4 Struktur histologis ginjal ikan (Camargo et al. 2007). Keterangan
gambar: a. kapsul Bowman, b. distal tubulus, c. proximal tubulus
Menurut (Lagler et al.,1977), ginjal Cyprinidae terbagi menjadi 2 bagian
yaitu kepala ginjal dan tubule ginjal. Tubule ginjal air tawar terdiri atas glomerulus,
segmen leher terbuka (proximal convoluted tubule) yang terdiri atas 2 segmen
cytologis yang berbeda (distal convoluted tubule) dan tubule pengumpul. Urine
terbentuk oleh saringan glomerulus ke dalam tubuli ginjal. Khususnya ikan mas
(Cyprinus sp. dan Carassius sp.). Jumlah nitrogen yang dikeluarkan insang 6-10
kali lebih banyak daripada ginjal ikan pada umumnya. Ginjal ikan air tawar yang
berglomeruli gunanya untuk mengeluarkan kembali air yang secara osmotis diserap.
Karena konsentrasi cairan tubuhnya lebih besar daripada lingkungan, maka fungsi
ginjal ikan air tawar adalah sebagai regulator hiperosmotik.

3 METODE
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Juni 2013. Tahap
pemeliharaan ikan uji serta uji toksisitas akut dan kronik dilaksanakan di
Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Institut Pertanian Bogor sedangkan proses pembuatan preparat histologis dilakukan
pada Laboratorium Patologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

10
Bahan
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah merkuri klorida (HgCl2)
sebagai bahan toksik yang sudah ditentukan konsentrasinya. Merkuri klorida
(HgCl2) mempunyai bentuk formulasi seperti tepung halus (soluble powder)
berwarna putih dan mudah larut dalam air. Ikan uji adalah ikan nila (Oreochromis
niloticus) dengan jenis kelamin betina dengan bobot rata-rata 20 gram atau kisaran
panjang 11-13 cm sebanyak 400 ekor. Ikan Nila (Oreochromis niloticus) tersebut
diaklimatisasi selama tujuh hari pada kolam aklimatisasi sebelum dijadikan sebagai
ikan uji. Bahan-bahan lainnya meliputi larutan yang digunakan dalam pembuatan
preparat histologis yaitu Buffered Neutral Formalin (BNF), NaCl fisiologis 0.65%,
akuades dan HCl 0.1 N, xylol, paraffin, alkohol 50%, alkohol 70%, alkohol 80%,
alkohol 90%, alkohol 95% , alkohol 100%, hematoksilin, dan eosin.
Alat
Alat yang digunakan pada penelitian adalah mikroskop, timbangan digital,
seperangkat alat bedah untuk mengambil organ dalam ikan uji, seperangkat alat
untuk pembuatan preparat histologi, Spektrofotometer penyerap atom (Atomic
Absorption Spectrophotometer, AAS). Alat yang digunakan untuk mengukur
kualitas air in situ meliputi Termometer, pH meter dan DO meter. Wadah
pemeliharan yang digunakan adalah akuarium ukuran 60x40x30 cm3 sebanyak 12
buah, saringan/serokan, peralatan aerasi, gelas beker, labu ukur, dan peralatan gelas
lain yang digunakan di Laboratorium
Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri atas tiga tahapan yaitu uji pendahuluan, uji akut dan uji
subkronik. Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsentrasi pada ambang
batas atas (N) dan ambang batas bawah (n). Hasil dari uji ini akan dijadikan dasar
dalam melakukan uji toksisitas akut. Sedangkan uji subkronik yaitu pemeliharaan
ikan Nila pada media yang tercemar mercuri pada konsentrasi yang berbeda.
Uji pendahuluan
Tujuan Uji Pendahuluan.
Uji pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk menentukan ambang batas
atas (N) dan ambang batas bawah (n) yang kemudian akan digunakan dalam uji
toksisitas akut. Konsentrasi ambang batas atas (N) adalah konsentrasi terendah dari
bahan uji yang menyebabkan semua ikan uji mati selama pemaparan 24 jam,
sedangkan konsentrasi ambang batas bawah (n) adalah konsentrasi tertinggi dari
bahan uji yang menyebabkan semua hewan uji hidup setelah pemaparan 48 jam
(APHA 1980).
Rancangan Penelitian Uji Pendahuluan
Penentuan nilai konsentrasi pada uji pendahuluan dilakukan dengan
menggunakan metode Range Finding Test yaitu dengan memperkirakan dosis
merkuri yang dapat mengakibatkan kematian 100%. Adapun dosis konsentrasi pada
uji pendahuluan ini didasarkan pada metode logaritmik berbasis 10 yaitu kontrol =
0 mgL-1; a = 10-2 mgL-1; b = 10-1 mgL-1, c = 100 mgL-1 dan d = 101 mgL-1 dengan
jumlah ikan pada masing masing akuarium sebanyak 10 ekor. Apabila pada uji ini

11
tidak diperoleh hasil yang diharapkan pada batas ambang bawah dan batas ambang
atas dari konsentrasi merkuri klorida (HgCl2) yang digunakan, maka nilai
konsentrasi merkuri klorida (HgCl2) yang dipakai akan diturunkan atau
ditingkatkan.
Prosedur Kerja Uji Pendahuluan
Prosedur kerja uji pendahuluan diawali dengan mempersiapkan wadah uji,
kemudian diberikan merkuri klorida (HgCl2) dengan konsentrasi yang berbeda
sesuai dengan metode Range Finding Test, untuk setiap konsentrasi dilakukan dua
kali ulangan. Wadah uji yang digunakan bervolume 43.2 liter dan pada setiap
wadah uji dimasukkan ikan uji sebanyak 10 ekor dalam waktu yang relatif
bersamaan. Selama uji pendahuluan, setiap unit wadah uji diberi aerasi namun
tidak dilakukan pergantian air dan pemberian pakan. Pengamatan mortalitas hewan
uji dilakukan pada jam ke-0, 6, 12, 24, dan 48. Penentuan ambang batas atas
dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap mortalitas ikan uji hingga jam
ke 24. Sedangkan penentuan ambang batas bawah dilakukan dengan melakukan
pengamatan terhadap mortalitas ikan uji hingga jam ke 48.

Parameter yang Diamati dan Analisa Data
Hasil yang diperoleh pada uji pendahuluan digunakan sebagai ambang batas
bawah dan ambang batas atas untuk mendapatkan konsentrasi yang akan diujikan
pada uji toksisitas akut. Persamaan untuk mendapatkan konsentrasi merkuri klorida
(HgCl2) yang akan digunakan pada uji toksisitas akut adalah sebagai berikut:

 �  
���  ! ! = � ��� ( )


Keterangan: N = konsentrasi ambang atas
n = konsentrasi ambang bawah
a = konsentrasi terkecil dalam deret konsentrasi yang ditentukan
k = jumlah konsentrasi yang di uji
Selanjutnya dilakukan analisis terhadap hasil yang diperoleh dari persamaan
diatas untuk mendapatkan konsentrasi konsentrasi merkuri klorida yang akan
diujikan pada uji toksisitas akut. Adapun persamaan yang digunakan untuk
mendapatkan konsentrasi-konsentrasi tersebut yaitu:
�/� = �/� = �/� = �/� = �/�
Keterangan : n : konsentrasi ambang bawah
a : nilai konsentrasi terkecil dalam uji toksisitas akut
b,c,d,e, : nilai konsentrasi yang diujikan pada uji toksisitas akut

12
Uji Toksisitas Akut
Tujuan Uji Toksisitas Akut.
Uji toksisitas akut ini bertujuan untuk mengetahui derajat toksisitas akut
merkuri (Hg) yang dinyatakan dengan LC50 (Lethal Concentration). LC50-96 jam
merupakan konsentrasi yang dapat mematikan hewan uji sebanyak 50 % hingga
jam ke 96. Uji Toksisitas akut akan memberikan petunjuk tentang dosis yang
sebaiknya digunakan dalam pengujian Sub Kronik (Lu 2006).
Rancangan Penelitian Uji Toksiitas Akut
Metode uji toksisitas akut pada penelitian ini mengacu pada US–EPA
(1991).Pengujian toksisitas akut dilakukan dengan menggunakan empat konsentrasi
berbeda dengan ulangan sebanyak dua kali. Jumlah ikan pada masing masing
wadah uji adalah sebanyak 10 ekor.
Prosedur Kerja Uji Toksisitas Akut
Prosedur kerja uji toksisitas akut dilakukan dengan menyiapkan wadah uji
yang telah diberikan merkuri klorida dengan konsentrasi yang ditentukan. Selama
uji toksisitas, setiap unit akuarium diberi aerasi namun tidak dilakukan pergantian
air dan pemberian pakan. Pengamatan mortalitas hewan uji dilakukan berdasarkan
interval waktu logaritma (logarithmic time interval) pada jam ke-12, 24, 48, 72 dan
96.
Parameter yang diamati dan analisa data
Hasil pengamatan mortalitas ikan uji yang diperoleh digunakan sebagai acuan
dalam menentukan LC50-96 jam dari merkuri klorida (HgCl2). Penentuan nilai
LC50-96 jam dilakukan dengan analisis probit menggunakan perangkat lunak EPA
Probit Analysis Version 1.5. LC50-96 jam yang diperoleh digunakan sebagai dasar
dalam menentukan konsentrasi merkuri klorida (HgCl2) pada batas aman bagi ikan
uji. Konsentrasi merkuri klorida (HgCl2) pada batas aman yang diperoleh kemudian
dijadikan acuan dalam menentukan konsentrasi merkuri klorida (HgCl2) pada uji
sub kronik. Konsentrasi merkuri klorida (HgCl2) pada batas aman diperoleh
berdasarkan persamaan berikut (Finney 1971).
�����   ���� = 10 % � ��!"
Uji Sub Kronik
Tujuan Uji Sub kronik.
Uji sub kronik bertujuan untuk mengetahui pengaruh merkuri klorida (HgCl2)
terhadap perubahan beberapa parameter biometrik ikan uji serta tingkat kerusakan
jaringan yang terjadi pada organ insang, hati dan ginjal ikan uji. Perubahan yang
terjadi pada biometrik ikan uji diukur pada akhir masa pemeliharaan, sedangkan
pengamatan kerusakan jaringan yang terjadi pada insang, hati dan ginjal dilakukan
setiap 14 hari.

13
Rancangan Penelitian Uji sub kronik
Konsentrasi merkuri klorida (HgCl2) yang digunakan pada uji sub kronik
terdiri dari tiga konsentrasi yaitu kontrol (0 mgL-1 HgCl2), konsentrasi batas aman,
dan nilai interval + 20% dari konsentrasi batas aman, untuk pengamatan biometrik
ikan uji dilakukan 3 ulangan dengan jumlah ikan uji sebanyak 10 ekor untuk setiap
wadah uji, sedangkan untuk pengamatan tingkat kerusakan jaringan ikan uji tidak
dilakukan ulangan, jumlah ikan uji yang digunakan sebanyak 15 ekor per wadah
uji .
Prosedur Kerja Uji Sub kronik
Prosedur kerja uji subkronik diawali dengan menyiapkan wadah uji
sebanyak 12 buah yang telah diberikan merkuri klorida (HgCl2) dengan konsentrasi
yang ditentukan. Pengukuran bobot awal dilakukan sebelum ikan uji dimasukkan
kedalam wadah uji. Bahan anastesi yang digunakan dalam proses pengukuran bobot
awal ikan uji yaitu minyak cengkeh dengan dosis 3 ml untuk setiap 1liter air.
Selama uji subkronik, setiap unit akuarium diberi aerasi pemberian pakan
sebanyak 2 kali sehari dengan FR 2% dari bobot ikan uji (Solomon & Boro, 2010).
sedangkan pergantian air dilakukan setiap 14 hari sekali. Pengamatan terhadap
perubahan komponen/ parameter biometrik ikan uji dilakukan pada akhir masa
pemeliharaan sedangkan pengamatan tingkat kerusakan struktur histologis pada
hewan uji (insang, hati dan ginjal) dilakukan setiap 14 hari sekali.
Metode yang digunakan pada pengamatan struktur histologis adalah metode
histoteknik dengan tahapan kerja meliputi pengambilan sampel, fiksasi, dehidrasi,
penjernihan, infiltrasi, penanaman, proses pemotongan, penempelan sayatan pada
gelas objek, deparafinasi dan pewarnaan. Pengambilan sampel insang, hati dan
ginjal dilakukan dengan menggunakan pisau bedah, potongan tersebut kemudian
diletakkan dalam wadah yang telah ditambahkan pengawet Buffered Neutral
Formalin (BNF).
Proses pengawetan dilakukan agar tidak terjadinya perubahan pada jaringan,
dan melindungi sel dari proses pengerutan saat dimasukkan dalam alkohol dan
parafin panas serta meningkatkan kemampuan jaringan untuk diwarnai. Proses
penghilangan air dilakukan dengan cara merendam jaringan dalam alkohol mulai
dari alkohol 80%, 90%, 95% sampai ke alkohol absolut.
Proses penjernihan dilakukan untuk menghilangkan pengaruh alkohol dalam
jaringan dengan merendam jaringan tersebut ke dalam xylol. Setelah dilakukan
perjernihan jaringan nampak lebih tranparan dan gelap. Selanjutnya proses infiltrasi
dilakukan dengan merendam jaringan dalam parafin secara bertingkat pada suhu
600C. Hal ini dilakukan agar jaringan dapat dipotong dengan tipis.
Proses penanaman yaitu meletakkan jaringan dalam wadah sedemikian rupa
sehingga memudahkan pada saat dipotong dan pengenalan kembali jaringan.
Wadah kemudian dicampur dengan parafin dan kemudian didinginkan selama 6
jam untuk mengeraskan parafinnya. Poses pemotongan blok dilakukan dengan
menggunakan mikrotom. Ketebalan jaringan ditetapkan setebal 5 mikron. Hasil
sayatan kemudian diapungkan dalam air hangat (400C), lalu diletakkan dalam gelas
objek. Gelas objek kemudian diletakkan di atas hotplate selama 10-15 menit
hingga seluruh air menguap. Gelas obyek kemudian disimpan dalam inkubator
selama satu malam sebelum digunakan pada proses sebelumnya.
Proses pewarnaan dilakukan dengan melakukan perendaman preparat dengan
hematoksilin selama 7 menit kemudian dicuci dengan menggunakan aquades

14
dilanjutkan dengan eosin selama 3 menit dan dicuci kembali dengan menggunakan
aquades.
Parameter yang diamati dan analisa data
Parameter biometrik yang diamati pada uji sub kronik ini, yaitu tingkat
kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot rata-rata harian, kandungan merkuri
pada organ hati dan ginjal, Hepato somatic indeks (HSI) dan Volume empedu
relatif (VER), indeks kematangan gonad, fekunditas dan sebaran diameter telur.
Pengamatan terhadap tingkat kerusakan jaringan histologis dilakukan pada organ
insang, hati dan ginjal. Penilaian terhadap kerusakan struktur jaringan tersebut
dilakukan dengan cara melakukan analisa terhadap perubahan struktur sel yang
terjadi pada jaringan tersebut.
Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) dan Laju Pertumbuhan Bobot
Pengukuran tingkat kelangsungan hidup ikan bertujuan untuk mengetahui
pengaruh merkuri (Hg) terhadap kelangsungan hidup ikan uji. Sedangkan
pengukuran laju pertumbuhan bobot bertujuan untuk melihat pengaruh merkuri
(Hg) terhadap pertumbuhan bobot ikan. Tingkat kelangsungan hidup ikan uji
dihitung dengan menggunakan persamaan (Effendie 1979), sebagai berikut:
�� =

��
 � 100
��

Keterangan :SR : Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt : Jumlah ikan akhir
No : Jumlah ikan awal
Sedangkan untuk menghitung laju pertumbuhan bobot digunakan persamaan
Steffens (1989), sebagai berikut:
! (��)
����� = !!
  − 1 ! � 100
(��)

Keterangan: LPBRH
Wt
Wo
t

: Laju pertumbuhan (%)
: Bobot rata-rata akhir (gram)
: Biomassa rat-rata awal (gram)
: Lama pemeliharaan (hari)

Hepatosomatik Indeks (HSI) dan Volume Empedu Relatif (VER)
Pengamatan terhadap Hepato Somatik Indeks (HSI) dan Volume Empedu
Relatif (VER) juga dilakukan untuk melihat perubahan kondisi hati dan empedu
akibat paparan merkuri yang masuk ke dalam tubuh ikan uji. Adapun persamaan
yang digunakan untuk menghitung HSI menurut Htun-Han (1978) yaitu:
��� =

�ℎ
 � 100
��

15

Keterangan:HSI : Hepato Somatik Indeks (%)
Bh : Berat Hati (gram)
Bt : Berat tubuh termasuk hati (gram)
Persamaan yang digunakan untuk menghitung Volume Empedu relatif (VER) yaitu:
��� =

��
 � 100
��

Keterangan : VER : Volume Empedu Relatif (%)
Ve : Volume empedu (ml)
Vt
: Volume hati termasul empedu (ml)
Indeks Kematangan Gonad (IKG)
Untuk mengetahui pengaruh merkuri (Hg) terhadap perkembangan reproduksi
ikan uji maka dilakukan pengukuran terhadap beberapa parameter reproduksi yang
meliputi Indeks Kematangan Gonad, Fekunditas dan Diameter telur ikan uji. Indeks
Kematangan Gonad dihitung dengan menggunakan persamaan (Effendie 1979),
sebagai berikut:
��� =

��
 � 100
��

Keterangan: IKG : Indeks kematangan gonad (%)
Bg : Berat Gonad (gram)
Bt : Berat tubuh termasuk gonad (gram)
Fekunditas dan Sebaran Diameter Telur
Fekunditas diukur pada ikan uji dengan tingkat kematangan gonad III.
Pengukuran fekunditas dilakukan dengan cara mengambil contoh telur dari masing
masing ovari (anterior, tengah, posterior), selanjutnya ditimbang dan dihitung
jumlah telur di dalamnya. Fekunditas dihitung dengan menggunakan persamaan
(Effendi 1979), sebagai berikut:
�=

� � �
 


Keterangan : F : Fekunditas (butir)
G : Berat gonad (gram)
Q : Berat gonad contoh (gram)
X : Jumlah telur contoh (Butir)
Pengukuran diameter telur dilakukan pada ikan uji dengan tingkat kematangan
gonad III. Pengukuran diameter telur dilakukan terhadap 150 butir untuk setiap
perlakuan dengan menggunakan mikroskop (pembesaran 4x10) yang telah
dilengkapi dengan mikrometer.

16

Pengukuran Parameter fisika-kimia air
Pengukuran sifat fisika kimia air dilakukan secara in situ dan ek situ.
Pengukuran sifat fisika kimia air yang dilakukan secara in situ meliputi: Suhu, DO,
dan pH, sedangkan untuk amoniak dilakukan pengukuran secara ek situ di
laboratorium. Pengukuran parameter fisika kimia a