The Effectivity of Bull Testes Meal Extract on Sex Reversal Nile Tilapia, Oreochromis niloticus By Immersion Technique

(1)

EFEKTIVITAS EKSTRAK TEPUNG TESTIS SAPI

DALAM ALIH KELAMIN IKAN NILA, Oreochromis niloticus L. MELALUI TEKNIK PERENDAMAN

ANDRI ISKANDAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efektivitas Ekstrak Tepung Testis Sapi Dalam Alih Kelamin Ikan Nila, Oreochromis Niloticus L. Melalui Teknik Perendaman, adalah benar hasil karya yang belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 17 Agustus 2010

Andri Iskandar C151080211


(3)

ABSTRACT

Andri Iskandar. The Effectivity of Bull Testes Meal Extract on Sex Reversal Nile Tilapia, Oreochromis niloticus By Immersion Technique. Under direction of Muhammad Zairin Junior and Harton Arfah.

Monosex fish stocks are desirable in aquaculture in order to control reproduction and select the gender that have faster growth characteristics in a particular species. Synthetic steroids are commonly used to sex-reverse tilapia but because of their potential hazards and not recommended in Indonesia; the use of new natural compound is a potential alternative to be explored. Bull testes meal extract (BTME) had knowed containing natural testosterone hormone which can used on sex reversal in fish. The objective of this study was to determine the efficacy of a short-term immersion procedure for masculinizing Nile tilapia,_Oreochromis niloticus. Two androgens hormone were evaluated: 17a-methyltestosterone as control part (synthetic androgens) and the other is BTME as natural androgen. Exposure (8 h) on 4 and again on 7 days post-fertilization to 17a-methyltestosterone at 500 g/ l successfully masculinized fry in all replicated experiments, resulting in 81,11% respectively. Immersions in BTME at 1 ml/l (Experiments A) resulted in significantly skewed sex ratios in (68,89 %), and Experiments B (3 ml/l) resulted in 75,56% males; and Experiments C (5 ml/l) resulted in 85,56 % males. Although further research and refinement is needed, immersion of Nile tilapia in BTME may provide a practical alternative to the use of natural steroid-treated immersion. Furthermore, when compared with current techniques for steroid-induced sex inversion of tilapia, short-term immersion reduces the period of time that workers are exposed to anabolic steroids.


(4)

RINGKASAN

Andri Iskandar. Efektivitas Ekstrak Tepung Testis Sapi Dalam Alih Kelamin Ikan Nila, Oreochromis Niloticus L. Melalui Teknik Perendaman, Dibimbing oleh Muhammad Zairin Junior and Harton Arfah.

Ikan nila Oreochromis niloticus L. merupakan salah satu spesies ikan air tawar penting karena pertumbuhannya yang cepat, tahan terhadap perubahan lingkungan, bersifat omnivora, mampu mencerna makanan secara efisien dan tahan terhadap serangan penyakit. Peningkatan dan tuntutan pasar terhadap komoditas ikan nila mendorong semakin berkembangnya penelitian-penelitian untuk menghasilkan produk-produk yang dapat meningkatkan produksi ikan nila secara nasional. Benih nila jantan pada umumnya dapat diproduksi secara komersial dengan teknik pengarahan kelamin (sex reversal) menggunakan hormon metil testosteron. Namun, penggunaan hormon sintetik lambat laun dikhawatirkan memberikan dampak negatif terhadap keamanan pangan dan kelestarian lingkungan. Untuk itu langkah alternatif untuk mengganti hormon sintetik dan bahan kimia sintetik lainnya dengan senyawa bahan alami perlu dikaji. Senyawa bahan alami alami memiliki kelebihan mudah terurai dalam tubuh dan efek samping yang ditimbulkan sedikit. Salah satu jenis senyawa dari bahan alami alami berasal dari ekstrak tepung testis sapi (ETTS). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ETTS dan konsentrasi optimal penggunaan ETTS dalam proses alih kelamin ikan nila dengan teknik perendaman larva untuk menghasilkan ikan nila monosex jantan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL), terdiri dari 5 perlakuan, yaitu: perlakuan A (1 ml/ liter), perlakuan B ( 3 ml/ liter), perlakuan C ( 5 ml/ liter) dan perlakuan kontrol masing-masing kontrol negatif/ K (-) (tanpa menggunakan hormon) serta kontrol positif/ K (+) menggunakan 17α-metiltestosteron (500 µg/ liter). Perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Ikan uji adalah larva ikan nila berumur 4 hari setelah menetas, padat tebar 100 ekor/ akuarium. Ikan diberi pakan secara

ad libitum dengan frekwensi pemberian 3-4 kali/ hari dan dipelihara selama 60 hari sampai mencapai ukuran lebih dari 5 gram/ ekor.

Hasil penelitian menunjukan bahwa perendaman larva ikan nila di dalam ETTS berpengaruh nyata terhadap prosentase ikan jantan (P≥0,05) sedangkan untuk tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan menunjukkan tidak berbeda nyata. Prosentase ikan jantan tertinggi diperoleh pada perlakuan C sebesar 85,56%. Kualitas air media pemeliharaan masih berada dalam kisaran yang optimal bagi pemeliharaan benih ikan nila.


(5)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

EFEKTIVITAS EKSTRAK TEPUNG TESTIS SAPI

DALAM ALIH KELAMIN IKAN NILA, Oreochromis niloticus L. MELALUI TEKNIK PERENDAMAN

ANDRI ISKANDAR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010


(7)

Judul : Efektivitas Ekstrak Tepung Testis Sapi Dalam Alih kelamin Ikan Nila, Oreochromis Niloticus L. Melalui Teknik Perendaman

Nama : Andri Iskandar

NIM : C151080211

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. M. Zairin Junior, M.Sc Ir. Harton Arfah, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Akuakultur,

Prof. Dr. Enang Harris, MS Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi, Jawa Barat, pada 21 April 1978 dari pasangan Bapak Mochammad Kosim dan Ibu Raden Siti Rachmah (almh). Penulis merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara, setelah lulus pendidikan menengah atas di SMA Negeri 3 Sukabumi pada tahun 1996 selanjutnya pada tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan tinggi pada Program Studi Diploma III Teknologi Reproduksi Ikan (Angkatan I), Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dan lulus pada tahun 2000, kemudian pada tahun 2001 melanjutkan studi Strata-1 (S1) pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya Malang, selesai pada 2003. Pada tahun 2004 penulis menikah dengan Arnis, M.Si dan telah dikaruniai dua orang putra bernama Muhammad Irsyad Iskandar dan Muhammad Farel Iskandar. Saat ini penulis bekerja di lingkungan Direktorat Bisnis dan Kemitraan, Institut Pertanian Bogor. Tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikan pada Strata-2 (S2) Program Studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih karena dengan berkat kemurahan-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Peningkatan produksi perikanan dan peningkatan kualitas dan kuantitas

benih ikan merupakan issue yang mendasari penelitian ini, dengan judul ” Efektivitas Ekstrak Tepung Testis Sapi Dalam Alih Kelamin Ikan

Nila, Oreochromis Niloticus L. Melalui Teknik Perendaman”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

Bapak Prof. Dr. Ir. M. Zairin Jr., M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Ir. Harton Arfah, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir.

Agus Oman Sudrajat, M.Sc sebagai dosen penguji yang telah memberikan arahan, petunjuk dan bimbingan sangat berharga selama proses penelitian sampai dengan penyelesaian studi.

Terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada pimpinan Direktorat Bisnis dan Kemitraan IPB yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melanjutkan pendidikan. Terima kasih kepada Ayahanda Bapak M. Kosim dan Ummi R. S. Rachmah (almh), Bapak mertua Bapak Moetanto dan Ibu Sri Isnaeni atas kasih yang tulus kepada penulis dan atas bantuan doa dalam penyelesaian studi penulis. Banyak pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama proses perkuliahan, penelitian sampai penulisan tesis, teman-teman Ilmu Akuakultur 2008, khususnya di Laboratorium Genetika dan Reproduksi Ikan (Muslim, S.Pi, Ujang Subhan, Gloria Ika, Mubinun, Nurly Faridah dan Soko), teman-teman AKU 2008 (Ruspindo “Edo”, Supasman, dan lain-lain), rekan-rekan AKU 2009 (Abi) atas kebersaman selama kuliah dan penyelesaian studi. Staf di Laboratorium Produksi Benih-BDP (Fachrurozi, S.Pi, Khatib, Henda, Pak Aam dan lainnya), Mbak Lina yang telah membantu pelaksanaan teknis penelitian.

Secara khusus disampaikan terima kasih kepada istri tercinta dan terkasih Arnis, M.Si. atas pengertian, pengorbanan dan kesabaran selama penulis menyelesaikan studi, kepada ananda Muhammad Irsyad Iskandar dan Muhammad Farel Iskandar, diucapkan terimakasih atas hari-hari indah bersama kalian sampai


(10)

dengan saat ini. Erna yang telah mengasuh dan merawat putra-putraku dengan kesabaran.

Penulis menyadari, bahwa apa yang penulis lakukan masih belum memadai karena keterbatasan waktu dan dana; oleh karena itu kritik dan saran penyempurnaan selanjutnya penulis sangat hargai. Diharapkan apa yang penulis lakukan dapat bermanfaat dalam memacu perkembangan teknologi pembenihan ikan pada umumnya dan khususnya ikan nila.

Bogor, 17 Agustus 2010 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan dan Manfaat ... 3

Hipotesis ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Ikan Nila, Oreochromis niloticus L. ... 5

Alih kelamin ... 6

Diferensiasi dan Pengaturan Jenis Kelamin ... 7

Peranan Hormon... 9

Metode Aplikasi Hormon ... 11

Mekanisme Maskulinisasi ... 12

METODE PENELITIAN ... 14

Waktu dan Tempat Penelitian ... 14

Prosedur Penelitian... 14

1. Pembuatan Ekstrak Tepung Testis Sapi (ETTS) ... 14

2. Analisa Kadar Testosteron dan Bahan Aktif dalam ETTS ... 14

3. Pemeliharaan Ikan Nila ... 15

4. Pemeriksaan Gonad Ikan Nila ... 16

Parameter Penelitian... 17

Rancangan Penelitian ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Prosentase Jenis Kelamin Ikan Nila Jantan ... 20

Kelangsungan Hidup Ikan Nila ... 26

Pertumbuhan Ikan Nila ... 28

Hormon Testosteron dalam ETTS ... 29

Kualitas Air ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Prosentase (%) jenis kelamin ikan nila jantan pada setiap perlakuan

diakhir pemeliharaan ... 20

2. Prosentase (%) jenis kelamin ikan nila interseks pada setiap perlakuan diakhir pemeliharaan ... 23

3. Prosentase (%) kelangsungan hidup ikan nila diakhir pemeliharaan ... 26

4. Pertumbuhan ikan nila diakhir pemeliharaan (gram) ... 28


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Jaringan gonad pada ikan nila jantan ... 22 2. Jaringan gonad pada ikan nila interseks ... 24


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Prosedur pembuatan tepung testis sapi (Muslim, 2010) ... 39 2. Data dan uji statistik parameter prosentase jenis kelamin ikan nila 40 3. Data dan uji statistik parameter ikan nila interseks ... 41 4. Data dan uji statistik parameter prosentase tingkat kelangsungan hidup ikan nila ... 42 5. Data dan uji statistik pertumbuhan ikan nila ... 30


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Seksual dimorfisme adalah fenomena perbedaan bentuk atau karakter antara individu jantan dan individu betina pada suatu spesies ikan. Pada ikan nila, jantan akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan betina. Menurut Kurniasih (2004) pemeliharaan ikan untuk jenis kelamin yang lebih cepat tumbuh, dipandang lebih menguntungkan daripada memelihara secara campuran antara kelamin jantan dan betina sekaligus. Hanif et al. (2006) menyebutkan bahwa secara ekonomis sistem pembesaran tunggal kelamin jantan (monosex) dipandang lebih menguntungkan dibandingkan dengan pemeliharaan secara campuran, karena selain mempercepat masa pemeliharaan juga dapat menghasilkan ukuran ikan yang besar dan seragam. Hal ini terjadi karena selama masa pemeliharaan dapat mencegah terjadinya pemijahan liar.

Desfrez et al. (2006) menyatakan bahwa populasi jantan monosex

umumnya bertujuan untuk mengoptimalkan sistem produksi (jantan tumbuh lebih cepat daripada betina, mengurangi jumlah reproduksi, mengurangi jenis kelamin “reduction of sexual/ territorial behaviour”, peningkatan rataan tingkat pertumbuhan), yang secara umum dihasilkan dalam skala besar melalui pengalihan jenis kelamin atau pendekatan secara genetik (hibridisasi interspesifik; teknologi YY super male atau ZZ, pada O. niloticus dan O. aureus) (Abucay et al. 1997; Desprez et al. 2003).

Benih ikan nila jantan pada umumnya dapat diproduksi secara komersial dengan teknik pengalihan kelamin (sex reversal) menggunakan hormon metil testosteron (Gale et al. 1999; Abumhara et al. 2003; Adel et al. 2006). Jenis hormon pada umumnya menggunakan hormon sintetik seperti 17 metiltestosteron (Bart et al. 2003; Arsenia et al. 2005; Adel et al. 2006), 17 metildihydrotestosteron (MDHT) (Fitzpatrick et al. 1999), trembolon acetate (Galvez et al. 1996; Sanchez et al. 2002; Bart et al. 2003). Namun seiring dengan perkembangannya, penggunaan hormon sintetik lambat laun dikhawatirkan memberikan dampak negatif terhadap keamanan pangan dan kelestarian lingkungan. Wiryowidagdo (2005) menyatakan bahwa senyawa sintetik memiliki


(16)

beberapa kelemahan diantaranya sulit terurai dalam tubuh, bersifat karsinogenik, mencemari lingkungan dan seringkali menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, bahkan saat ini peredarannya sudah dibatasi oleh pemerintah. Selain itu berdasarkan penelitian, telah ada bukti bahwa penggunaan hormon sintetik dapat mengakibatkan hasil yang paradoxial menjadi betina, terutama bila pemakaian dosis yang berlebihan atau waktu pemberian yang terlalu lama (Papoulias et al. 2000).

Pada saat ini umumnya konsumen ikan menghendaki agar ikan yang dikonsumsinya diperoleh dari hasil produksi yang terbebas dari bahan-bahan yang berbahaya. Untuk itu langkah alternatif dalam rangka mencari pengganti hormon sintetik dan bahan kimia sintetik lainnya dengan senyawa bahan alami perlu dikaji. Senyawa bahan alami alami memiliki kelebihan mudah terurai dalam tubuh dan efek samping yang ditimbulkan sedikit (Wiryowidagdo 2005). Selain bertujuan untuk menekan biaya operasional, pemanfaatan senyawa dari bahan alami diharapkan dapat dengan mudah diaplikasikan pada tingkat petani ikan agar lebih efektif dan efisien.

Salah satu cara yang dilakukan adalah pemanfaatan bahan alami yang berasal dari testis sapi yang mengandung hormon testosteron (Adamu et al. 2006). Murni (2009) menyebutkan bahwa testis sapi yang selama ini menjadi limbah, ternyata kaya testosteron. Berdasarkan uji radio immuno assay (RIA) dengan menggunakan Yodium-125, ekstrak jaringan testis sapi mengandung kadar testosteron 30 % lebih tinggi dibandingkan dengan testosteron yang dihasilkan dari testis mencit, domba dan kambing. Tingginya konsentrasi menunjukkan jumlah hormon androgen penghasil sel jantan lebih banyak.

Perumusan Masalah

Dalam budidaya ikan, dasar pengembangan produksi selalu berorientasi pada jenis, keseragaman bentuk, keseragaman warna, daya tahan terhadap penyakit, efisiensi pemberian pakan serta kecepatan pertumbuhan. Sistem pembesaran tunggal kelamin jantan pada ikan nila, dianggap lebih menguntungkan secara ekonomis sehingga salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi produksinya adalah melalui upaya memproduksi ikan nila jantan secara hormonal untuk menghasilkan ikan nila yang monosex. Pemanfaatan hormon


(17)

yang diperoleh dari bahan alami sebagai pengganti hormon sintetik yang semakin mahal serta peredarannya sudah semakin dibatasi oleh pemerintah, diharapkan akan memberikan dampak positif dalam pengembangan budidaya monosex ikan nila. Sumber hormon testosteron yang berasal dari ekstrak tepung testis sapi (ETTS) merupakan salah satu alternatif solusi sebagai upaya pengganti hormon sintetik. Namun demikian, pengaruh ETTS dan konsentrasi optimal penggunaan ETTS dalam proses maskulinisasi ikan nila dengan metode perendaman larva untuk menghasilkan ikan nila monosex jantan perlu dikaji untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh ETTS dan konsentrasi optimal penggunaan ETTS dengan metode perendaman larva dalam alih kelamin ikan nila dalam menghasilkan ikan nila monosex jantan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk memperoleh benih ikan nila monosex jantan dengan memanfaatkan senyawa bahan alami sebagai pengganti senyawa sintetik penghasil hormon testosteron.

Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah bahwa perendaman larva dalam ETTS dengan konsentrasi yang berbeda akan berpengaruh terhadap keberhasilan maskulinisasi pada ikan nila.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Nila, Oreochromis niloticus L.

Ikan nila Oreochromis niloticus L. merupakan jenis ikan yang diintroduksi dari Afrika bagian timur di Sungai Nil, Danau Tangayika, Chad, Nigeria dan Kenya, lalu dibawa oleh orang ke Eropa, Amerika, negara-negara Timur Tengah dan Asia. Di Indonesia benih ikan nila secara resmi didatangkan dari Taiwan oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar tahun 1969.

Berdasarkan klasifikasinya, ikan nila digolongkan sebagai berikut: Kelas : Osteichthyes

Sub-kelas : Acanthoptherigii Ordo : Percomorphii

Sub-ordo : Percoidea Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Menurut Pullin (1985) pada awalnya ikan nila dinamakan Tilapia nilotica. Namun berdasarkan pada tingkah lakunya dalam mengerami telur yang selalu diletakkan di dalam rongga mulutnya, maka nama latinnya diubah menjadi

Sarotherodon niloticus, yang kemudian berubah lagi menjadi Oreochromis niloticus berdasarkan pengamatan bahwa proses pengeraman telur tersebut hanya dilakukan oleh induk betinasaja.

Selain mudah dipelihara dan dikembangbiakkan serta responsif dan efisien terhadap pemberian makanan tambahan, ikan nila juga adaptif atau mudah menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan lingkungan dan tahan terhadap gangguan hama dan penyakit. Ikan nila dapat dipelihara di kolam, sawah, tambak dan perairan lain, seperti sungai, danau dan muara sungai sampai pinggiran laut yang terlindung (teluk). Ikan ini juga dapat dibudidayakan secara monokultur maupun polikultur secara terpadu dengan hewan ternak.

Penyebaran ikan nila yang sangat cepat didukung dengan kecepatan bereproduksi menjadikan perkembangan ikan ini menjadi tidak terkontrol. Dampak negatifnya adalah banyak terjadi silang dalam (inbreeding), yang


(19)

berakibat pada menurunnya kualitas genetik ikan, selanjutnya akan menyebabkan turunnya performa ikan tersebut baik pertumbuhan, daya tahan terhadap penyakit, maupun kemampuan beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya.

Alih kelamin

Pada ikan perubahan sifat kelamin individual dimungkinkan terjadi, baik secara alamiah maupun rekayasa. Populasi ikan monosex dapat diperoleh dengan teknik pengalihan jenis kelamin (sex reversal) yang dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu maskulinisasi (Fitzpatrick et al. 1999; Gale et al. 1999; Arsenia et al. 2005), feminisasi (Hopkins et al. 1979), ginogenesis dan androgenesis (Shelton et al. 2002).

Zairin (2002) menyebutkan bahwa secara harfiah alih kelamin dapat diartikan sebagai suatu teknologi yang membalikkan arah perkembangan kelamin menjadi berlawanan. Dengan penerapan teknologi ini, ikan yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya menjadi betina atau sebaliknya. Aplikasi alih kelamin dapat merubah fenotipe ikan namun genotipenya tidak dapat berubah.

Di Indonesia, teknik pengalihan jenis kelamin yang seringkali diterapkan diantaranya teknik maskulinisasi untuk menghasilkan populasi ikan jantan (all male) dan feminisasi untuk menghasilkan populasi ikan betina (all female). Perubahan seks pada ikan tersebut dapat dimanipulasi dengan berbagai cara seperti melalui pemberian makanan (Galvez et al. 1996; Park et al. 2004; Adel et al. 2006), perendaman (Hopkins et al. 1979; Gale et.al. 1999; Arsenia et al. 2005), penyuntikan (Mirza dan Shelton 1988) dan teknik implantasi (Andre 2006). Phelps dan Popma (2000) menyebutkan bahwa perlakuan alih kelamin yang dilakukan melalui metode pemberian makanan dan metode perendaman biasanya menggunakan hormon sintetik, seperti 17α-metiltestosteron, 17α -etiniltestosteron, 17 estradiol β (E) dan dietilbesterol (DES), trembolone acetate (TBA). Lebih lanjut disebutkan bahwa maskulinisasi dapat dilakukan dengan menggunakan hormon 17α-metiltestosteron sedangkan feminisasi dilakukan dengan menggunakan hormon 17 estradiol β (Hopkins et al. 1979; Kim et al.


(20)

Proses pembentukan jenis kelamin jantan maupun pada betina dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu endogenous, eksogenous hormon dan faktor lingkungan (Massenreng 2007). Lebih lanjut Carman et al. (1998) menyebutkan bahwa secara buatan, teknik alih kelamin dimungkinkan terjadi dikarenakan pada awal perkembangan embrio atau larva belum terjadi diferensiasi kelamin.

Metode alih kelamin terdiri dari metode untuk memperoleh populasi

monosex yaitu melalui terapi hormon (secara langsung) atupun rekayasa kromosom (cara tidak langsung). Terapi dengan menggunakan hormon digunakan untuk feminisasi dan maskulinisasi secara langsung. Metode secara langsung dapat diterapkan pada semua jenis ikan apapun kromosom seksnya. Kelebihan utamanya adalah sederhana dan dapat meminimalkan kematian walaupun hasil yang didapat nantinya akan sangat beragam. Hal ini disebabkan karena perbandingan kelamin alamiah antara jantan dan betina tidak selalu sama (Zairin 2002). Lebih lanjut disebutkan bahwa bahwa budidaya populasi monosex

dilakukan untuk mendapatkan ikan dengan pertumbuhan yang cepat dimana pada beberapa jenis ikan kelamin jantan tumbuh lebih cepat dibandingkan ikan betina atau sebaliknya, mencegah terjadinya pemijahan liar, untuk mendapat penampilan yang baik serta menunjang genetika ikan yaitu pemurnian ras ikan.

Rothbard et al. (1990) dalam Abucay et al. (1999) menyatakan bahwa larva yang baru menetas, mempunyai hormon endogenous yang tinggi dan tingkatan ini berbeda antar setiap individu ikan. Hal ini dimungkinkan karena pada larva, autosomal seks jantan yang dimiliki dapat dimodifikasi karena mempunyai kandungan endogenous androgen yang tinggi, sehingga selama proses perlakuan hormon untuk alih kelamin dengan eksogenous hormon yang dikombinasikan dengan tingginya level endogenous hormon memungkinkan proses maskulinisasi berjalan dengan mudah.

Diferensiasi dan Pengaturan Jenis Kelamin

Fase diferensiasi seks pada ikan meliputi seluruh aktivitas yang berhubungan dengan keberadaan gonad, perpindahan awal sel nutfah, kemunculan bagian tepi gonad dan diferensiasi gonad menjadi testis atau ovari (Piferrer 2001).

Phelps dan Popma (2000) menyebutkan bahwa pada ikan, diferensiasi seks gonad merupakan proses yang kompleks tidak seperti pada kebanyakan hewan


(21)

vertebrata lainnya. Selain faktor genetik dan kromosom seks, terdapat faktor lain yang mempengaruhi hasil dari proses akhir perkembangan gonad dan seks fenotipe yang diperoleh yaitu faktor lingkungan. Mekanisme determinasi seks dikontrol oleh gen spesifik yang hanya mengendalikan “initial decision” dari fenotipe gonad, akan tetapi intruksi khusus yang berhubungan langsung dengan proses diferensiasi seks gonad ini dapat ditolak disebabkan oleh berbagai faktor internal dan eksternal (Hayes, 1998).

Masa diferensiasi seks ikan sangat beragam tergantung pada spesiesnya. Pada ikan-ikan golongan Ochlids dan Cyprinodontids, fase diferensiasi seks berlangsung antara 10-30 hari setelah penetasan (Pandian dan Sheela 1995). Informasi lain dalam Varadaraj dan Pandian (1987) menyebutkan bahwa untuk

Oreochromis mossambicus 11-19 hari, untuk Oreochromis aureus 18-32 hari, untuk Oreochromis niloticus 25-59 hari, dan dalam penelitian berlanjut, selama 11 hari dari hari ke-10 setelah penetasan merupakan periode kritis untuk

Oreochromis mossambicus. Sedangkan masa diferensiasi kelamin pada ikan mas,

Cyprinus carpio, L. terjadi antara hari ke- 9-98 setelah penetasan. Keragaman masa diferensiasi ini sangat bergantung pada kondisi periode labil masing-masing spesies ikan, karena efektifitas perlakuan hormon steroid, sangat ditentukan oleh kondisi labil dari masing-masing spesies ikan (Piferrer 2001). Selain itu menurut Pandian dan Sheela (1995) pada beberapa spesies ikan, masa diferensiasi seks dapat dimulai dari periode embrio, larva, juvenil dan bahkan ikan dewasa.

Jenis kelamin individu secara genetik sudah ditetapkan pada saat pembuahan, akan tetapi pada masa embrio, jaringan bakal gonad masih berada dalam masa indiferent. Matty (1985) menyatakan bahwa pada suatu jaringan bakal jantan atau betina, sebenarnya struktur-struktur dari jantan dan betina tersebut sudah ada dan tinggal menunggu proses diferensiasi dan penekanan ke arah aspek jantan atau betina.

Kirpichnikov (1981) menyebutkan bahwa jenis kelamin dalam suatu individu ditentukan oleh kromosom seks (gonosom) yang mengandung faktor gen-gen jantan dan betina. Gen-gen utama yang berperan dalam menentukan jenis kelamin jantan dan betina terletak pada kromosom X dan Y, sedangkan


(22)

beberapa gen tambahan yang tidak begitu dominan dalam penentuan jenis kelamin tersebar pada kromosom lainnya.

Proses pengalihan kelamin pada suatu individu dapat dipengaruhi oleh faktor genetis dan lingkungan dan dapat terjadi secara alami maupun buatan. Perubahan kelamin yang disebabkan oleh faktor lingkungan yang tidak disertai adanya perubahan susunan genetik dikategorikan sebagai perubahan kelamin secara alami. Sedangkan perubahan kelamin dengan bantuan manusia untuk mengarahkan perkembangan organ reproduksi dengan menggunakan bahan-bahan yang dapat mendorong terjadinya perubahan tersebut disebut dengan perubahan kelamin buatan. Perubahan kelamin buatan ditujukan untuk menghasilkan individu dengan fenotipe kelamin yang berbeda dengan kelamin genotipenya (Chan dan Yeung 1983).

Yamazaki (1983); Hunter dan Donaldson (1983) menyatakan bahwa perubahan jenis kelamin secara buatan dimungkinkan karena pada fase pertumbuhan gonad belum terjadi diferensiasi kelamin dan belum ada pembentukan steroid sehingga pembentukan gonad dapat diarahkan dengan menggunakan hormon steroid sintetis. Hormon tersebut dapat mengatur beberapa fenomena reproduksi misalnya proses diferensiasi gonad, pembentukan gamet, ovulasi, spermiasi, pemijahan atau tingkah laku kawin, karakter seksual sekunder, perubahan morfologis atau fisiologis pada musim pemijahan atau produksi fenomon. Diantara fenomena tersebut, masa diferensiasi gonad terjadi lebih awal yang kemudian diikuti oleh fenomena yang lain (Yamazaki 1983).

Massenreng (2007) menyebutkan bahwa perubahan jenis kelamin melalui pemberian hormon steroid merupakan salah satu cara untuk menghasilkan populasi monosex yang sesuai dengan yang diharapkan. Hormon steroid biasanya diberikan secara langsung ke ikan terutama pada masa perkembangan gonad (diferensiasi seks), cara ini telah berhasil diterapkan pada beberapa jenis ikan seperti ikan nila, koan, mas dan beberapa jenis ikan lainnya.

Peranan Hormon

Hormon merupakan bahan kimia yang disekresikan ke dalam cairan tubuh oleh satu sel atau sekelompok sel dan dapat mempengaruhi fisiologi sel-sel tubuh lainnya. Sebagian besar hormon disekresikan oleh kelenjar endokrin dan


(23)

selanjutnya ke dalam darah diangkut ke seluruh tubuh. Murray et al. (2003) menyebutkan bahwa hormon mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengaturan fisiologi dan umumnya bekerja sebagai aktivator spesifik atau

inhibitor dari enzim.

Menurut Sumantadinata dan Carman (1995) pemberian hormon dalam alih kelamin, secara sederhana bertujuan untuk mempengaruhi keseimbangan hormon dalam darah yang pada saat difensiasi kelamin sangat menentukan individu tertentu akan berstatus jantan atau betina dengan cara memasukkannya dari luar tubuh individu. Guyton (1994) menyebutkan bahwa secara kimiawi hormon dapat dibagi dalam 3 tipe dasar, yaitu :

1. Hormon steroid; golongan ini merupakan struktur kimia yang mirip dengan kolesterol dan sebagian besar tipe ini berasal dari kolesterol. Ada bermacam macam hormon steroid yang disekresikan oleh (a) korteks adrenal (kortisol

dan aldosteron), (b) ovarium (estrogen dan progesteron), (c) testis (testosteron) dan (d) plasenta (estrogen dan progesteron).

2. Derivat asam amino tirosin; terdapat 2 kelompok hormon yang merupakan derivat asam amino tirosin yaitu tiroksi dan triiodotironin, merupakan bentuk iodinisasi dari derivat tirosin, dan kedua hormon utama yang berasal dari medula adrenal penefrin dan norepinefrin, kedua-duanya merupakan katekolamin yang berasal dari tirosin.

3. Protein atau peptida. Pada dasarnya semua hormon endokrin yang terpenting dapat merupakan derivat protein, peptida atau derivat keduanya. Hormon yang disekresikan kelenjar hipofisis anterior dapat merupakan molekul protein atau polipeptida besar; hormon hipofisis posterior, hormon

antidiuretik dan oksitosin merupakan peptida asam amino. Insulin, glukagon

dan parathormon merupakan polipeptida besar.

Arfah (1997) menyatakan bahwa hormon-hormon yang dapat digunakan untuk proses alih kelamin dapat digolongkan kedalam jenis hormon steroid yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

a. Golongan androgen (androstenedion, etiniltestosteron, metiltestosteron dan testosteron propionat), merupakan jenis yang umum digunakan pada proses maskulinisasi;


(24)

b. Hormon estrogen (estron, estriol, estradiol dan etinilestradiol) yang digunakan untuk mengarahkan diferensiasi kelamin menjadi betina (feminisasi);

Hormon androgen terbentuk secara alami seperti testosteron, 11α -kotestoteron, dyhidrotestosteron dan yang dapat disintesis seperti 17α– metiltestoteron dan testosteron propionat (Sower et al. 1985). Lebih lanjut Ganong (1995) menyebutkan bahwa hormon ini merupakan salah satu jenis hormon steroid yang dapat dihasilkan oleh testis pada kondisi normal. Selain berfungsi untuk merangsang tahap akhir dalam proses spermatogenesis dan meningkatkan pertumbuhan serta aktivitas eksresi dari organ kelamin pelengkap, hormon androgen juga berperan dalam pemeliharaan dari kelamin sekunder, tingkah laku seksual serta proses penjantanan (maskulinisasi). Androgen juga dibuat oleh korteks anak ginjal dan ovari serta kemungkinan besar juga terdapat pada plasenta (Turner dan Bagnara 1976 dalam Arfah 1997).

Sensitivitas hormon steroid eksogenus terhadap diferensiasi seks sangat tergantung pada perkembangan gonad yang terjadi. Sensitivitas masih belum terlihat pada saat belum terbentuk gonad, akan tetapi begitu formasi gonad telah terbentuk, sensitivitas hormon mulai meningkat sampai mencapai puncak pada fase diferensiasi seks secara fisiologis (Piferrer 2001).

Phelps dan Popma (2000) menyebutkan bahwa hormon androgen mempunyai dua aksi fisiologis yaitu aktivitas androgenik; mempengaruhi perkembangan karakteristik seks jantan sedangkan aktivitas anabolik; merangsang biosintesis protein.

Metode Aplikasi Hormon

Aplikasi pemberian hormon pada ikan dapat dilakukan dengan cara penyuntikan berkala, perendaman atau secara oral dengan media melalui pakan. Keberhasilan penggunaan hormon steroid bergantung kepada beberapa faktor diantaranya jenis dan umur ikan, dosis hormon yang digunakan, lama waktu pemberian dan cara pemberian hormon (Hunter dan Donaldson 1983).

Mirza dan Shelton (1988) menyebutkan bahwa pada umumnya, cara yang terbaik dan mudah dalam metode pemberian hormon adalah melalui bantuan media berupa makanan, namun cara ini terbatas hanya pada ikan yang telah


(25)

mampu memakan pakan buatan. Meskipun demikian metode pemberian hormon juga dapat dilakukan melalui pakan alami seperti artemia, moina dan lain-lain (Arfah 1997). Lebih lanjut Carman et al. (1998) menyebutkan bahwa cara oral dan perendaman merupakan metode dalam aplikasi penggunaan hormon. Pada metode perendaman, agar efektif perlu diperhatikan konsentrasi hormon dan lama waktu perendaman. Konsentrasi hormon yang diberikan tidak boleh berlebihan karena dapat menimbulkan tekanan dalam pembentukan gonad, efek paradoksial, pertumbuhan rendah dan tingkat kematian yang tinggi (Wichins dan Lee 2002). Sedangkan lama waktu perendaman akan lebih singkat jika dosis atau konsentrasi hormon yang digunakan juga sangat tinggi (Hunter dan Donaldson 1983).

Yamazaki (1983) menyatakan bahwa agar hormon steroid berpengaruh lebih efektif, maka waktu penggunaannya harus dilakukan ketika gonad belum berdiferensiasi. Hal ini terjadi karena sensitivitas hormon sangat tinggi terjadi saat sebelum diferensiasi kelamin secara fisiologis dan secara histologis. Untuk itu, perlakuan hormon akan memberikan efek pengarahan jenis kelamin tertinggi jika diberikan tepat sebelum tahap diferensiasi kelamin secara fisiologis. Menurut Massenreng (2007) perlakuan masa alih kelamin yang diterapkan pada stadia awal, yaitu stadia larva dengan metode perendaman, diharapkan akan terjadi adanya penyerapan hormon melalui insang atau terjadi difusi, sehingga dapat menghambat proses pembentukan estrogen melalui enzim aromatase dengan menggunakan aromatase inhibitor (imidazole) dengan harapan diperoleh ikan dengan jenis kelamin jantan saja.

Mekanisme Maskulinisasi

Hormon androgen bekerja secara umpan balik dalam mengendalikan pelepasan gonadotropin pituitary dan berperan penting dalam diferensiasi serta pembentukan kelamin jantan dan sifat kelamin sekundernya. Androgen masuk ke dalam sel sitoplasma, selanjutnya diikat oleh reseptor khusus. Reseptor ditemukan dalam sitosol yang keberadaannya dipengaruhi oleh androgen. Steroid reseptor komplek (ligan) ini kemudian menuju nukleus dan berikatan dengan akseptor pada genom. Hal tersebut memungkinkan transkripsi spesies baru mRNA yang memberikan kode untuk sintesis protein tertentu di dalam


(26)

sitoplasma. RNA bertambah secara nyata terutama dalam fraksi mikrosom, hal ini akan merangsang terjadinya spermatogenesis.

Tandjung (2003) menyebutkan bahwa hormon steroid akan mempengaruhi sel target seperti gonad dan saluran otak. Hal ini diduga karena pada saat fertilisasi sudah terbentuk sel kromosom yang apabila diberi hormon testosteron dari luar, maka hormon ini akan merangsang hormon endogen mensintesis steroid untuk pertumbuhan dan perkembangan gonad secara fungsional.


(27)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan Mei 2010. Pembuatan ekstrak tepung testis sapi (ETTS) dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Analisa hormon testosteron dan bahan aktif dari hasil ekstraksi tepung testis sapi di Laboratorium Uji Bioteknologi, Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor. Pemeliharaan ikan di Laboratorium Produksi Benih, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), IPB sedangkan analisa gonad dengan metode acetocarmin dilaksanakan di Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika Ikan, Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB.

Prosedur Penelitian

1. Pembuatan Ekstrak Tepung Testis Sapi (ETTS)

Berdasarkan standar operasional prosedur pembuatan tepung menjadi bahan ekstrak di Laboratorium Fisiologi dan Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, bahan berupa tepung testis sapi (TTS) direndam dalam larutan ether selama 48 jam kemudian hasil rendaman diuapkan. Setelah menguap, endapan dilarutkan dalam phospate buffer saline atau PBS (0,05 ml/l; pH 7,4) sebanyak 0,5 ml. Campuran tersebut kemudian dihomogenitaskan selanjutnya homogenat dimasukkan ke dalam tabung untuk dicentrifuge pada kecepatan 2500 rpm selama 15 menit pada suhu 40 C. Supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam tabung serum untuk disimpan pada suhu minus 200 C sebelum dilakukan analisa kandungan hormonnya.

2. Analisa Kadar Testosteron dan Bahan Aktif dalam ETTS

Bahan aktif yang ada dalam ETTS dianalisa dengan menggunakan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatograms), karena sampel sudah dalam bentuk ekstrak, sampel dianalisa dengan cara menginjekkan sampel ke alat HPLC, dengan 235 nm. Sampel dan standar kemudian dibandingkan dengan sepadex atau luas area contoh, maka akan diperoleh konsentrasi contoh.


(28)

3. Pemeliharaan Ikan Nila

Tahapan kerja yang dilakukan dalam proses pemeliharaan ikan adalah sebagai berikut :

a. Persiapan wadah

Wadah yang digunakan dalam penelitian terdiri dari dua jenis yaitu wadah yaitu untuk perendaman berupa akuarium volume ± 5 l sebanyak 15 unit, dan untuk pemeliharaan yaitu akuarium ukuran 90 x 40 x 40 cm sebanyak 15 unit. Sebelum digunakan, akuarium untuk pemeliharaan dicuci agar bebas dari kotoran dengan menggunakan kaporit (CaOCL) 10 ppm, kemudian dibilas dengan air bersih dan dibiarkan selama 24 jam. Air yang digunakan untuk mengisi akuarium adalah air yang telah diendapkan di dalam tandon, kemudian pada masing-masing akuarium diisi air sebanyak 100 liter. Untuk menjaga agar kualitas air di dalam akuarium tetap stabil, akuarium dilengkapi dengan aerasi dan heater yang bertujuan untuk menjaga kisaran suhu pada 28-300 C.

b. Konsentrasi hormon dan lama waktu perendaman

Penelitian ini menggunakan metode perendaman dengan konsentrasi hormon yang digunakan sebanyak 1 ml/ liter, 3 ml/ liter dan 5 ml/ liter. Perendaman dilakukan sebanyak dua (2) kali yaitu pada hari ke-4 setelah penetasan selanjutnya diulangi pada hari ke-7. Waktu masing-masing perendaman selama 8 jam. Perlakuan kontrol terdiri dari kontrol positif/ K (+) dan negatif/ K (-). K (+) dilakukan perendaman dalam larutan 17α-metiltestosteron (produk WAKO Pure Chemical Industries Ltd, Jepang) dengan konsentrasi 500 µg/ liter selama 8 jam pada hari ke-4 diulangi pada hari ke-7, sedangkan pada K (-), larva direndam tanpa menggunakan hormon.

c. Perendaman larva

Prosedur kerja perendaman adalah: wadah perendaman volume 5 liter diisi air sebanyak 3 liter/ wadah (Abumhara et al. 2003). ETTS dilarutkan ke dalam air setiap wadah dengan konsentrasi hormon berdasarkan konsentrasi yang telah ditentukan. Pada perlakuan K (+), hormon 17α-metiltestosteron (MT)


(29)

terlebih dulu dilarutkan dalam 95% ethanol sebelum dicampurkan ke dalam wadah perendaman. Masing-masing wadah dilengkapi dengan aerasi untuk suplai oksigen dan sekaligus untuk menghomogenitaskan campuran air dengan hormon. Sebelum larva dimasukkan, wadah perendaman didiamkan selama 30 menit. Larva yang digunakan dalam penelitian adalah larva ikan nila (Oreochromis niloticus L.) berumur 4 hari setelah penetasan (berat 0.01-0.02 gram/larva). Kepadatan larva pada masing-masing percobaan sebanyak 33 ekor/ liter (Gale et al. 1999).

d. Pemeliharaan larva

Setelah perendaman pertama dan kedua selesai, larva dipindahkan ke dalam wadah pemeliharaan dengan kepadatan 1 ekor/ liter (Adel et al. 2006). Larva diberi pakan berupa pelet starter berbentuk tepung untuk benih ikan air tawar merk Hi-Pro-Vite, tipe PS-P yang diproduksi oleh PT. Centra Proteina, Tbk. Dengan komposisi nutrisi: protein min 40 %, lemak min 10 %, serat kasar maks 8 % dan kadar air 12 %. Selama pemeliharaan, ukuran dan jenis pakan disesuaikan dengan tingkat perkembangan larva. Pakan diberikan secara ad libitum (sekenyangnya) dengan frekuensi pemberian 3 sampai 4 kali/ hari (SNI 6141-2009). Pemeliharaan dilakukan sampai ikan mencapai umur 2 bulan.

e. Pengukuran kualitas air

Pengukuran kualitas air meliputi kandungan oksigen terlarut (DO), temperatur dan pH air setiap tiga hari sekali, sedangkan kandungan amoniak (NH3) diukur setiap minggu.

4. Pemeriksaan Gonad Ikan Nila

Metode yang digunakan dalam pemeriksaan gonad adalah metode acetokarmin, dengan tahapan sebagai berikut:

a. Pembuatan larutan acetokarmin

Larutan acetokarmin dibuat dengan melarutkan 0,6 g bubuk karmin ke dalam 100 ml asam asetat 45%. Larutan selanjutnya dipanaskan sampai mendidih selama 2-4 menit kemudian didinginkan. Setelah dingin, larutan


(30)

disaring dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam botol tertutup untuk disimpan pada suhu kamar.

b. Pemeriksaan gonad ikan

Pemeriksaan gonad ikan dilakukan pada saat ikan berumur 2 bulan. Ikan yang akan diperiksa gonadnya diambil dari wadah pemeliharaan sebanyak 30 ekor (30% total populasi/ wadah pemeliharaan). Setelah ikan dimatikan, bagian perut ikan dibedah dengan pisau bedah. Usus dan organ yang ada di dalam perut ikan diangkat dengan hati-hati agar gonad mudah untuk diambil. Gonad selanjutnya diambil dengan pinset dan diletakkan di atas glass objek untuk dicincang dengan pisau scalpel sampai halus. Cincangan gonad kemudian diberi larutan acetokarmin sebanyak 2 tetes. Untuk memudahkan pengamatan, glass objek ditutup dengan cover glass

dan sampel selanjutnya diamati di bawah mikroskop binokuler dengan pembesaran 40X.

Parameter Penelitian

a. Prosentase jenis kelamin ikan nila jantan

Zairin (2002) menyebutkan bahwa untuk mengetahui prosentase jenis kelamin ikan jantan digunakan rumus sebagai berikut:

% 100 sampel ikan total sampel) ( jantan ikan jantan ikan (%)

Persen x

b. Prosentase ikan nila interseks

Prosentase ikan interseks menggunakan rumus:

% 100 sampel ikan total sampel) ( interseks ikan interseks ikan (%) Prosentase x

c. Kelangsungan hidup ikan

Untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup/ survival rate ikan selama percobaan, pada akhir percobaan dihitung jumlah ikan yang hidup dengan menggunakan rumus:


(31)

% 100 (%)

SRt x

No Nt

t t

Keterangan:

SRt : Kelangsungan hidup/ survival rate ikan selama percobaan Ntt : Jumlah ikan pada akhir percobaan (ekor)

Not : Jumlah ikan pada awal percobaan (ekor) (Zonnenveld et al. 1991)

.

d. Pertumbuhan ikan

Perhitungan pertumbuhan menggunakan rumus sebagai berikut: W = Wt – Wo

Keterangan:

W : Pertumbuhan ikan (gram)

Wt : Bobot rata-rata individu pada akhir pemeliharaan (gram) Wo : Bobot rata-rata individu pada awal pemeliharaan (gram) e. Kualitas Air

Pengamatan kualitas air wadah pemeliharaan meliputi pengamatan temperatur air, kandungan oksigen terlarut (DO), derajat keasaman (pH) dan amoniak terlarut (NH3).

Rancangan Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) (Mattjik et al. 2006) dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan, yaitu:

Perlakuan A, ETTS konsentrasi 1 ml/ liter Perlakuan B, ETTS konsentrasi 3 ml/ liter Perlakuan C, ETTS konsentrasi 5 ml/ liter

Perlakuan D, 17α-MT konsentrasi 500 g/ liter (kontrol positif/ K(+) ) Perlakuan E, perendaman tanpa ekstrak TTS dan MT (kontrol negatif/ K (-)) Model rancangan penelitian yang digunakan sebagai berikut :

Yij = µ + τi + Єij Dimana :

Yij : Nilai pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j µ : Rata-rata umum

τi : Pengaruh perlakuan ke-i

Єij : Pengaruh acak yang menyebar normal

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap respon parameter yang diukur, digunakan analisis sidik ragam (ANOVA). Jika hasilnya berbeda nyata


(32)

maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) untuk menentukan perlakuan yang memberikan respon terbaik.


(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh data mengenai prosentase jenis kelamin ikan nila jantan, intesex, kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan nila, hormon testosteron dalam ekstrak testis sapi (ETTS) serta data kualitas air sebagai data penunjang.

Prosentase Jenis Kelamin Ikan Nila Jantan

Hasil analisis data terhadap prosentase jenis kelamin ikan nila jantan pada akhir pemeliharaan, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Prosentase (%) jenis kelamin ikan nila jantan pada setiap perlakuan di akhir pemeliharaan

Ulangan Perlakuan

K (-) K (+) A B C

I 60,00 90,00 66,67 80,00 83,33

II 46,67 73,33 73,33 76,67 83,33

III 60,00 80,00 66,67 70,00 90,00

Rata-rata 55,56 a 81,11bc 68,89b 75,56bc 85,56c

STDEV 7,70 8,39 3,85 5,09 3,85

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P≥0,05)

Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat dijelaskan bahwa prosentase rata-rata jenis kelamin ikan nila jantan tertinggi diperoleh pada perlakuan C sebesar

85,56%. Jumlah prosentase rata-rata ikan nila jantan pada kelompok perlakuan K (-), K (+), perlakuan A dan B adalah 55,56%, 81,11%, 68,89% dan 75,56%.

Secara umum perendaman larva ikan nila dalam ETTS pada setiap perlakuan menghasilkan prosentase ikan nila jantan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan K (-) dan berdasarkan hasil analisis sidik ragam terhadap prosentase jenis kelamin masing-masing perlakuan menunjukkan perbedaan satu dengan yang lainnya (P≤0,05).

Prosentase ikan nila jantan tertinggi pada perlakuan C memberikan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan K (-) dan perlakuan A, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan K (+) dan B. Dari prosentase rata-rata menunjukkan bahwa dengan semakin tinggi konsentrasi hormon yang diberikan pada setiap perlakuan, prosentase ikan nila jantan yang dihasilkan tampak semakin besar pula. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pemberian ETTS yang mengandung hormon


(34)

testosteron melalui aplikasi perendaman, mampu mempengaruhi sistem hormonal dalam tubuh ikan nila, sehingga berpengaruh terhadap terbentuknya kelamin jantan ikan nila.

Hormon testosteron bertujuan untuk menambah konsentrasi androgen sehingga akan menyebabkan ikan menjadi jantan secara fenotipe. Sumantadinata dan Carman (1995) menyatakan bahwa pemberian hormon bertujuan untuk mengganggu keseimbangan hormonal di dalam darah yang pada saat diferensiasi kelamin, akan menentukan individu tertentu berstatus jantan atau betina. Androgen dapat merangsang munculnya sifat-sifat kelamin jantan, karena hormon ini dapat menghambat penumpukan kuning telur serta dapat menyebabkan penyerapan telur kembali dan degenerasi ovari betina (Hunter dan Donaldson 1983).

Keberhasilan pengarahan jenis kelamin pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis ikan, metode pemberian, lama waktu perlakuan, jenis dan dosis atau konsentrasi hormon yang digunakan serta temperatur air (Hunter dan Donaldson 1983). Massenreng (2007) menyebutkan bahwa hormon endogeneous, eksogenous dan faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap proses pembentukan jenis kelamin jantan maupun pada betina.

Proses pengarahan jenis kelamin merupakan proses perkembangan gonad ikan menjadi suatu jaringan yang definitif. Hardiantho et al. (2009) menyebutkan bahwa pada ikan nila secara normal, individu jantan memiliki kromosom XY yang memiliki testis sementara betina berkromosom XX yang memiliki ovari. Pada ikan jantan, proses ini ditandai dengan munculnya spermatoonia serta pembentukan sistem vaskular pada testis, sedangkan pada ikan betina proses ini ditandai dengan terjadinya meiosis oogonia dan perbanyakan sel-sel somatik membentuk rongga ovari, dengan perlakuan menggunakan bahan-bahan tertentu, misalnya hormon, maka perkembangan gonad dengan genotipe tersebut dapat diarahkan berlawanan dengan kondisi yang seharusnya (Park et al. 2004). Pada kondisi ini terjadi pengarahan morfologi jenis kelamin ikan, tingkah laku serta fungsi pada saat periode kritis dimana otak embrio yang telah terbentuk, masih dalam keadaan bipotensial untuk mengarahkan jenis kelamin.


(35)

Berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan nila di bawah mikroskop, bentuk gonad menyerupai sebuah benang tipis memanjang dan terletak tepat di bawah gelembung renang. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa pada gonad ikan jantan dapat ditemukan adanya sel spermatozoa dengan bentuk dan ukuran yang tidak beraturan. Ukuran sel spermatozoa tersebut lebih kecil dibandingkan dengan sel telur dan jumlahnya banyak, apabila diperhatikan sepintas dengan pembesaran tertentu, hanya akan tampak berupa titik-titik kecil (Gambar 1).

Gambar 1. Jaringan gonad pada ikan nila jantan a. Bakal sel sperma

Teknik perendaman dalam penelitian ini dilakukan pada saat ikan nila masih berupa larva berumur 4 hari kemudian diulangi setelah larva berumur 7 hari. Hal ini diharapkan akan meningkatkan prosentase ikan nila jantan yang dihasilkan dikarenakan pada saat itu organ kelamin belum terbentuk sempurna. Mantau (2005) menyebutkan bahwa maskulinisasi dengan rangsangan hormon perlu memperhatikan umur ikan. Semakin muda umur ikan, peluang terbentuknya kelamin jantan akan semakin besar, dan semakin tua umur ikan, peluang perubahan kelamin betina ke jantan semakin berkurang. Menurut Yamazaki (1983) masa yang tepat dan baik untuk pemberian hormon yaitu pada saat ikan masih dalam stadia larva atau pada saat ikan mulai makan. Melalui metode perendaman larva, hormon akan masuk ke dalam tubuh ikan melalui pertukaran seperti pada insang, kulit dan gurat sisi serta melalui proses difusi (Zairin 2002). Mekanisme masuknya hormon ke dalam tubuh dengan cara perendaman adalah hormon masuk mengalir langsung oleh darah menuju ke hati selanjutnya ke seluruh tubuh dan menuju organ tertentu (target), seperti pada ikan jantan langsung menuju ke testis sedangkan ikan betina langsung menuju ovarium.


(36)

Hunter dan Donaldson (1983) menyatakan bahwa untuk memperoleh perendaman yang efektif, perlu memperhatikan hubungan antara konsentrasi hormon yang diberikan dan lamanya waktu perendaman. Umumnya perendaman dengan konsentrasi yang tinggi membutuhkan waktu perendaman yang lebih singkat. Pemberian hormon dengan konsentrasi yang lebih tinggi serta waktu perlakuan yang terlalu lama juga dapat menyebabkan terhambatnya proses pembentukan gonad dan gamet, akibatnya akan menimbulkan efek yang berlawanan yaitu efek feminisasi atau intesex (Murni 2005).

Ikan intesex merupakan individu ikan yang gonadnya mengandung bakal sel jantan (sperma) dan bakal sel telur (ovum). Pada umumnya sel telur dan bakal sperma terletak dalam suatu kelompok yang terpisah. Hasil analisis data terhadap prosentase ikan nila intesex pada akhir pemeliharaan, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Prosentase (%) ikan nila intesex pada setiap perlakuan diakhir

pemeliharaan

Ulangan Perlakuan

K (-) K (+) A B C

I 0,00 3,33 10,00 0,00 0,00

II 0,00 3,33 6,67 6,67 3,33

III 0,00 6,67 6,67 3,33 0,00

Rata-rata 0,00a 4,44b 7,78b 3,33bc 1,11c

STDEV 0,00 1,92 1,92 3,33 1,92

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P≥0,05)

Dalam penelitian ini ditemukan ikan nila intesex dengan prosentase tertinggi pada perlakuan A 7,78%; kemudian diikuti perlakuan K (+) sebesar 4,44%; B sebesar 3,33% dan perlakuan C 1,11% sedangkan pada perlakuan K (-) tidak ditemukan adanya ikan nila intesex. Pada gonad ikan intesex dapat dilihat adanya sel telur dan sel sperma yang umumnya kedua sel tersebut terletak dalam suatu kelompok yang terpisah seperti terlihat pada Gambar 2.

Yamazaki (1983) menyebutkan bahwa terjadinya ikan intesex sebagai akibat dari pemberian hormon steroid dalam dosis yang terlalu rendah atau terlalu tinggi (Pandian dan Sheela 1995). Kelangsungan reproduksi ikan intesex sulit untuk dievaluasi, kondisi ini diketahui hanya setelah kejadian dimana ikan dimatikan dan gonadnya dianalisa (Phelps dan Popma 2000).


(37)

Gambar 2. Jaringan gonad pada ikan nila intesex

a. Bakal sel sperma; b. Bakal sel telur

Menurut Hunter dan Donaldson (1983) pemberian dosis hormon yang terlalu tinggi atau rendah dapat menimbulkan sterilisasi dan abnormalitas dalam perkembangan gonad, meningkatnya kematian (mortalitas), adanya fenomena paradoksial serta tekanan terhadap pertumbuhan (Pandian dan Sheela 1995; Nakamura et al. 1998).

Diferensiasi seks meliputi seluruh aktifitas yang berhubungan dengan keberadaan gonad, mencakup perpindahan awal sel nutfah, munculnya bagian tepi gonad serta diferensiasi gonad menjadi testis atau ovari (Piferrer 2001). Pandian dan Sheela (1995) menyebutkan bahwa perlakuan hormonal sebelum gonad terdiferensiasi (periode labil) dapat mengarahkan individu menjadi jantan atau betina. Sensitivitas hormon steroid terhadap diferensiasi seks tergantung pada perkembangan gonad (gonadogenesis) yang terjadi. Dalam hal ini pada saat gonad belum terbentuk, sensitivitasnya sangat rendah dan mulai meningkat pada saat terbentuk formasi gonad serta pertumbuhan gonad melalui perkembangan sel. Puncak sensitivitas terjadi pada saat fisiologi seks telah terdiferensiasi yang selanjutnya mulai menurun kembali pada saat jaringan seks berdiferensiasi (Piferrer 2001).

Menurut Yuniarti et al. (2007) fase diferensiasi kelamin pada ikan nila terjadi pada saat larva berumur 6-7 hari setelah menetas sampai 27-28 hari setelah menetas. Proses diferensiasi seks pada teleost terjadi secara bertahap dan labil (Pandian 1999). Aplikasi alih kelamin pada ikan yang dipilih, disesuaikan dengan


(38)

fase terjadinya diferensiasi kelamin. Apabila diferensiasi kelamin terjadi sebelum ikan belum mampu memanfaatkan makanan dari luar, maka proses alih kelamin dapat dilaksanakan dengan menggunakan metode perendaman. Pada ikan teleost gonochorist, fisiologi kelamin dapat dimanipulasi dengan pemberian hormon steroid, walaupun tidak sepenuhnya efektif pada beberapa spesies (Piferrer et al.1994 dalam Patino 1997). Yamazaki (1983) menyebutkan bahwa proses diferensiasi seks dapat terjadi pada saat tertentu diantaranya pada waktu telur menetas dan atau sebelum atau sesudah ikan mulai makan.

Hormon seksual eksogenous yang diberikan sebelum proses determinasi seksual terjadi dapat secara kuat mempengaruhi proses diferensiasi kelamin pada ikan hingga diperoleh jenis kelamin tertentu (Hunter dan Donaldson 1983). Proses pemberian hormon steroid merupakan salah satu perubahan kelamin secara buatan. Hormon steroid seksual yang berguna untuk proses ini antara lain androgen (testosteron dan metiltestosteron) yang memiliki pengaruh maskulinitas, serta hormon estrogen (estron dan estradiol) yang berpengaruh terhadap feminitas.

Pemberian beberapa jenis hormon androgen dapat menyebabkan timbulnya efek maskulinisasi atau efek dari sifat antara maskulin dengan feminin. Testosteron dengan esternya merupakan hormon alami yang dihasilkan oleh gonad jantan. Pada fase embrionik, hormon ini dapat menyebabkan timbulnya sifat jantan pada saluran genital, akan tetapi tidak mempengaruhi gonad secara keseluruhan (Hunter dan Donaldson 1983).

Jenis androgen yang paling sering digunakan dalam aplikasi alih kelamin untuk maskulinisasi adalah hormon 17α-metiltestosteron (MT) yang diperkirakan efektif digunakan pada lebih dari 25 spesies yang telah diuji (Devlin dan Nagahama 2002). 17α-metiltestosteron merupakan hormon sintetik yang molekulnya telah dimodifikasi agar dapat bertahan lama di dalam tubuh, hal ini disebabkan pada karbon ke-17 telah ditempeli gugus metil agar tahan lebih lama (Zairin 2002). Namun demikian, meskipun 17α-metiltestosteron bersifat stabil dan mudah penanganannya (Yamazaki 1983), peredaran hormon ini sangat terbatas, harganya yang mahal dan sulit didapat di pasaran, selain itu untuk tujuan-tujuan yang sifatnya komersil, hormon tersebut tidak dijual secara bebas dan dibatasi penggunaannya. Wiryowidagdo (2005) menyebutkan bahwa


(39)

senyawa MT mempunyai beberapa kelemahan yaitu sulit terurai di dalam tubuh, bersifat karsinogenik, mencemari lingkungan dan seringkali menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki. Oleh karenanya Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Kelautan dan Perikanan mengeluarkan aturan yang menyatakan larangan penggunaan 21 jenis obat-obatan dalam kegiatan akuakultur termasuk metiltestosteron dan steroid sintetik lainnya. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dicari alternatif untuk menggantikan peranan hormon sintetik dan bahan kimia sintetik lainnya dengan jenis hormon yang berasal dari bahan alami, salah satunya adalah pemanfaatan ETTS. Menurut Murni (2005) pada testis sapi terdapat hormon androgen. ETTS dapat dijadikan sebagai bahan alternatif dalam kegiatan alih kelamin ikan karena selain aman, bahan ini tidak menimbulkan tekanan fisiologis pada ikan sehingga tidak menyebabkan kematian pada ikan, ramah lingkungan dan aman terhadap konsumen.

Dibandingkan penelitian sejenis yang menggunakan bahan-bahan senyawa alami seperti pemanfaatan testis beri-beri (ram) dengan prosentase jantan yang dihasilkan sebesar 57% (Haylor dan Pascual 1991) dalam Pelps dan Popma (2000), ekstrak teripang pasir sebesar 67,31% jantan (Triajie 2008) serta resin lebah 60 % jantan (Soelistyowati 2009), pemanfaatan ETTS melalui perendaman menghasilkan prosentase jantan lebih tinggi sebesar 85,56%.

Kelangsungan Hidup Ikan Nila

Kelangsungan hidup merupakan parameter penting dalam pemeliharaan ikan nila sehingga dapat diketahui hasil akhir dari perlakuan terhadap benih ikan nila. Dalam penelitian ini data kelangsungan hidup serta analisa statistik dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Prosentase (%) kelangsungan hidup ikan nila diakhir pemeliharaan

Ulangan Perlakuan

K (-) K (+) A B C

I 87,00 81,00 87,00 82,00 86,00

II 92,00 83,00 93,00 92,00 88,00

III 87,00 86,00 89,00 84,00 91,00

Rata-rata 88,67a 83,33 a 89,67 a 86,00 a 88,33 a

STDEV 2,89 2,52 3,06 5,29 2,52

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P≥0,05)


(40)

Berdasarkan hasil penelitian dan analisa statistik diatas bahwa perendaman larva ikan nila dengan menggunakan ETTS pada level konsentrasi yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan selama perlakuan dan akhir penelitian.

Pada akhir penelitian, tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila masih relatif tinggi berkisar antara 83,33 – 89,67%. Mantau (2005) menyebutkan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan selama proses pengalihan jenis kelamin dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti padat penebaran, pemberian pakan, temperatur dan kondisi lingkungan lainnya. Selama pelaksanaan teknis penelitian, semua benih ikan nila pada setiap perlakuan mendapatkan proporsi dan penanganan yang sama. Kepadatan larva pada masing-masing percobaan sebanyak 33 ekor/ liter (Gale et al. 1999). Pakan diberikan secara ad libitum

(sekenyangnya) dengan frekuensi pemberian 3 sampai 4 kali/ hari. Temperatur pada masing-masing media baik pada saat perlakuan perendaman maupun pemeliharaan dipertahankan stabil pada kisaran 28-300 C.

Penggunaan hormon atau bahan kimia sintetik dalam aplikasi alih kelamin pada ikan secara umum mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup karena diduga mempengaruhi adanya tekanan fisiologi terhadap ikan yang diberi perlakuan. Benih ikan nila masih dalam fase larva sehingga kondisi fisiologinya masih lemah. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bahan alami dari ETTS yang tidak menyebabkan tekanan terhadap fisiologi benih ikan nila sehingga tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila relatif tinggi.

Berdasarkan hasil analisa yang diperoleh, bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan nila dalam penelitian ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian dengan memanfaatkan bahan-bahan alami seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Murni (2005) dengan tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila sebesar 80%, menggunakan testis sapi yang dikeringkan dengan cara dioven. Triajie (2008) yang memanfaatkan ekstrak teripang pasir dengan tingkat kelangsungan hidup 83,33%.

Pertumbuhan Ikan Nila

Pertumbuhan merupakan pertambahan bobot ikan selama pemeliharaan. Parameter pertumbuhan penting diamati untuk mengetahui kondisi fisiologis ikan


(41)

yang dipelihara. Data hasil pengamatan pertumbuhan benih ikan nila selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pertumbuhan ikan nila diakhir pemeliharaan (gram)

Ulangan Perlakuan

K (-) K (+) A B C

I 12,1290 12,0070 9,8610 11,4360 11,7740

II 12,1470 12,0730 12,9810 13,1520 13,6860

III 12,8850 11,4030 10,8510 13,4250 14,2690

Rata-rata 12,38a 11,82 a 11,23 a 12,67 a 13,24 a

STDEV 0,43 0,36 1,59 1,07 1,30

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P≥0,05)

Berdasarkan analisa sidik ragam diketahui bahwa pertumbuhan benih ikan nila yang diberi perlakuan perendaman ETTS dengan konsentrasi berbeda tidak menunjukkan perbedaan nyata antara satu dengan yang lainnya (P≥0,05). Menurut Mantau (2005), perlakuan androgen yang tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan ikan nila selama 60 hari pemeliharaan dimungkinkan disebabkan oleh faktor-faktor lain diluar efek androgen. Lebih lanjut disebutkan bahwa pertumbuhan benih selama proses pengubahan kelamin ditentukan oleh beberapa faktor seperti seperti padat penebaran, pemberian pakan, temperatur dan kondisi lingkungan lainnya. Joe et al. (1995) dalam Guerrero III dan Guerrero (2004) melaporkan bahwa perlakuan MT 5-25 mg/kg pakan memiliki pengaruh yang lebih nyata dibandingkan dengan kontrol selama periode pengubahan kelamin. Diduga MT memiliki efek anabolik terhadap ikan. Namun, Cruz dan Mair (1994) dalam Mantau (2005) tidak menemukan pengaruh yang nyata perlakuan MT 40 mg/kg pakan terhadap pertumbuhan ikan nila selama masa pengubahan jenis kelamin.

Hormon androgen memiliki dua aktifitas fisiologi yaitu aktifitas androgenik dan aktifitas anabolik (Phelps dan Popma 2000). Terkait dengan hal tersebut, Dunham (2004) menyebutkan tentang satu penjelasan dari efek anabolik bahwa perubahan betina menjadi jantan menghasilkan peningkatan bobot tubuh ikan. Hormon dalam hal ini bertanggung jawab terhadap efek anabolik, tidak pada perubahan larva dari betina ke jantan. Shepered dan Bronage (1988) dalam Arfah (1997) menyatakan bahwa hormon MT pada umumnya memiliki sifat anabolik yang mampu merangsang pertumbuhan, lebih lanjut dikatakan bahwa


(42)

hormon-hormon androgen bertanggung jawab terhadap penampakan karakter dan fungsi kelamin jantan.

Menurut Phelps dan Popma (2000), proses pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal seperti faktor genetik (Dunham 2004), faktor eksternal, diantaranya kualitas air khususnya temperatur air (Devlin dan Nagahama 2002) serta nutrisi khususnya protein (Adel et al. 2007). Selain pertumbuhan genetik, faktor internal juga dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin. Jantan ikan nila tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan ikan betina, hal ini dikarenakan kematangan gonad ikan betina lebih cepat, sehingga energi untuk pertumbuhan berkurang karena dialihkan untuk proses pematangan telur (Dunham 2004).

Hormon Testosteron Dalam ETTS

Hormon adalah suatu substansi kimia yang diproduksi oleh jaringan khusus yang kemudian disekresikan ke dalam darah untuk selanjutnya dibawa menuju organ target (Bolander 1994). Menurut Hunter dan Donaldson (1983) hormon steroid seksual yang berguna untuk proses pengubahan kelamin antara lain hormon androgen yang terdiri dari testosteron dan metiltestosteron, yang memiliki pengaruh maskulinitas serta hormon estrogen seperti estradiol dan estron yang berpengaruh terhadap feminitas.

Hormon steroid merupakan hormon yang dapat mempengaruhi reproduksi hewan, merangsang proses pertumbuhan, diferensiasi kelamin dan juga mempengaruhi tingkah laku ikan. Testosteron dan esternya merupakan hormon alami yang dihasilkan oleh gonad jantan. Hormon testosteron yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari testis sapi yang telah diekstrak, Taylor dan Thomas (2004) menyebutkan bahwa kandungan testosteron tersebut diproduksi oleh sel-sel interstitial dari leydig. Hormon testosteron yang terkandung dalam ETTS dapat dikategorikan sebagai hormon alami. Pandian dan Sheela (1995) menyebutkan bahwa terdapat 13 hormon steroid yang digunakan untuk aplikasi alih kelamin (16 hormon androgen dan 15 hormon estrogen). Hormon androgen dibagi menjadi 5 hormon alami dan 11 hormon sintetik. Kelima hormon alami tersebut adalah testosteron, 11-ketotestosteron, 11β-hidrosiandrostenedion, androstenedion, dehidroepiandrostenedion.


(43)

ETTS berbahan dasar dari tepung testis sapi yang dibuat dengan menggunakan metode fresh drying (kering segar). Testis sapi yang digunakan berbobot 200-450 gram dan berasal dari sapi lokal (jenis bull), umur 5-7 tahun, dengan bobot 4-7 kuintal (Muslim, 2010). Sapi dengan ukuran ini dikategorikan sebagai sapi dewasa (matang kelamin), sehingga testisnya telah berfungsi untuk menghasilkan hormon jantan (androgen). Jenis sapi merupakan jantan normal, bukan sapi kastrasi.

Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan di Laboratorium Uji Bioteknologi LIPI-Bogor, kandungan hormon testosteron yang terdapat di dalam ETTS sebesar 100 mcg/ml ekstrak TTS. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian lainnya: 142,8-1,204 ng/g (Murni dan Jenny, 2001); 2300-27.700 pg/g (Iskandariah 1996); 18,8 mg/l (Meyer et al. 2008). Tingginya kandungan hormon dalam ETTS ini diduga karena bahan dasar ekstrak berupa tepung testis sapi dibuat dengan menggunakan metode fresh drying (kering segar), menurut Muslim (2010) dengan menggunakan metode ini tidak merusak bahan kimia termasuk hormon yang terkandung dalam tepung testis sapi (Lampiran 1).

Kualitas Air

Pengukuran parameter kualitas air selama penelitian berlangsung dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5. Kualitas air media pemeliharaan selama penelitian

Parameter Satuan Hasil Pengukuran

Oksigen terlarut mg/l 5,5 - 7,6

Temperatur air oC 27 - 30

pH Unit 6,38 - 7, 32

Amoniak mg/l 0,011 - 0,018

Dari hasil pengukuran yang disajikan pada Tabel diatas, kualitas air media pemeliharaan benih ikan selama pemeliharaan masih berada dalam kisaran yang normal untuk pertumbuhan maupun tingkat kelangsungan hidup ikan nila. Kondisi lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi keberhasilan teknik alih kelamin. Meskipun ikan nila mampu hidup pada air dengan kadar oksigen terlarut rendah (Popma 1999), namun

menurut Phelps dan Popma (2000) bahwa tingkat oksigen terlarut lebih dari 4 mg/liter dapat meningkatkan respon makan ikan yang dipelihara. Selanjutnya


(44)

Popma dan Masser (1999) menyatakan bahwa lingkungan optimal untuk pemeliharaan ikan nila adalah DO ≥ 3 mg/l; pH 6,5-8,5; temperatur air 25-28oC, sedangkan Phelps dan Popma (2000) menyebutkan bahwa temperatur air yang optimum untuk pemeliharaan ikan nila adalah 26-280C.

Menurut Zairin (2002) salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap alih kelamin adalah temperatur air. Temperatur air akan berpengaruh langsung terhadap proses metabolisme tubuh yang selanjutnya akan mempengaruhi kerja hormon. Selain itu disebutkan pula bahwa temperatur air akan mempengaruhi stadia perkembangan larva dan mempengaruhi lamanya sensitivitas gonad terhadap stimulasi hormon. Temperatur merupakan faktor yang mengendalikan aktifitas molekuler dalam metabolisme. Peningkatan temperatur akan diikuti dengan perubahan laju penyerapan kuning telur, laju perkembangan dan laju metabolisme. Temperatur air dapat mempengaruhi struktur dan fungsi protein serta makro molekul lain dalam tubuh ikan (Devlin dan Nagahama 2002).


(45)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Aplikasi alih kelamin melalui teknik perendaman terhadap larva ikan nila memberikan pengaruh nyata terhadap maskulinisasi ikan nila sebagai parameter utama. Selanjutnya dari hasil analisa data terhadap prosentase jenis kelamin ikan nila jantan, kelangsungan hidup serta laju pertumbuhan benih ikan nila selama pemeliharaan menunjukkan bahwa perlakuan C (konsentrasi 5 ml/liter), menghasilkan tingkat prosentase jenis kelamin ikan nila jantan tertinggi yaitu sebesar 85,56%.

Saran

Pemanfaatan jenis hormon yang berasal ekstrak testis sapi dapat dijadikan sebagai bahan alternatif dalam kegiatan alih kelamin ikan, karena selain aman bahan ini tidak menimbulkan tekanan fisiologis pada ikan, ramah lingkungan dan aman terhadap konsumen. Sebagai sarana untuk melengkapi informasi yang masih terbatas, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perkembangan ikan betina hasil alih kelamin. Selain itu diperlukan penelitian pada skala yang lebih besar untuk melihat hasil yang lebih nyata di lapangan.


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Abucay JS and Graham C Mair. 1994. In press. Methods of Identifying Males with YY Genotype in Oreochromis niloticus L. In: Proceedings of The Second AADCP International Workshop on Genetics in Aquaculture and Fisheries Management. Phuket, Thailand. November 7th-11th.

Abucay JS and Graham C Mair. 1997. Hormonal Sex Reversal of Tilapias: Implications of Hormone Treatment Application in Closed Water Systems. Aquaculture Research, P: 841-845.

Abucay JS, Graham C Mair, David OF Skibinski and Jhon A. Breadmore. 1999. Environmental Sex Determination: The Effect of Temperature and Salinity on Sex Ratio in O. Niloticus L. Aquaculture Research, P: 219-234.

Abumhara A Ali, SM Yadem and Richard Sovjak. 2003. Masculinization of Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) Fry by Immersion in 17 α-Methyl Testosterone. Department of Animal Production and Food Processing. Institute of Tropics and Subtropics. Czech University of Life Sciences, Prague.

Adamu S, MY Fatihu, NM Useh, NGD Ibrahim, M Mamman, VO Sekoni and KAN Kesievo. 2006. Testicular Pathologic Changes in Relation to Serum Concentrations of Testosteron in Trypanosoma pivax Infected White Fulani Bull. Journal of Animal and Veterinary Advances 5, P: 1165-1171. Adel ME Shalaby, Ashraf A, Ramadan and Yassir AE Khattab. 2006. Sex-Reversal of Nile Tilapia Fry Using Different Doses of 17 α-Methyl Testosterone at Different Dietary Protein Levels. Central Laboratory for Aquaculture Research. Abbassa, Abo–Hammad. Sharkia Governorate. Egypt.

Andre H. 2006. Upaya Maskulinisasi Induk Ikan Lele Dumbo, Clarias sp. Yang Telah Diovariektomi Parsial dengan Metode Implantasi Hormon 17 α -Metiltestosteron. Skripsi. Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.

Arfah H. 1λλ7. Efektivitas Hormon 17α-Metiltestosteron dengan Metode Perendaman Induk Terhadap Nisbah Kelamin dan Fertilitas Keturunan pada Ikan Gapi (Poecilia reticulata Peters). Tesis. Program Pascasarjana. IPB.

Arsenia G Cagauan, Francis N Baleta and Jose S Abucay. 2005. Sex Reversal of Nile Tilapia, Oreochromis niloticus L. by Egg Immersion Technique The Effect of Hormone Concentration and Immersion Time. College of Fisheries and Freshwater Aquaculture Center. Central Luzon State University, Science of Muñoz. Nueva Ecija 3120. Philippines.

Bart Amrit N, ARSB Athauda, Martin S Fitzpatrick and WM Contreraz Sanchez. 2003. Ultrasound Enhanced Immersion Protocols for Masculinization of


(47)

Nile Tilapia, Oreochromis niloticus. Journal of The World Aquaculture Society, P: 210-216.

Bolander FF. 1994. Molecular Endocrinology. 2nd Edition. Academic Press. Inc San Diego. California.

Carman O, Sastrawibawa S dan Alimudin. 1998. Peningkatan Kualitas Genetik melalui Produksi Jantan Super pada Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) secara Masal dalam rangka Peningkatan Efisiensi Produksi (Laporan Riset Unggulan Terpadu IV). Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. Dewan Riset Nasional. Jakarta.

Chan STH and Yeung WSB. 1983. Sex Control and Sex Reversal in Fish Under Natural Condition. in: Hoar WS, Randal DJ, Donaldson EM. Editor Fish Physiology: Vol IX B. New York. Academic Press.

Desprez D, Mélard C, Hoareau MC, Bellemène Y, Bosc P and Baroiller JF. 2003. Inheritance of Sex in Two ZZ Pseudofemales Lines of tilapia Oreochromis aureus. Aquaculture Research, 218: 131-140.

Desprez D, Cédric Briand, Marie Claude Hoareau, Charles Mélard, Pierre Bosc and Jean François Baroiller. 2006. Study of Sex Ratio in Progeny of a Complex Oreochromis Hybrid, The Florida Red Tilapia. Aquaculture Development Programme in Reunion Island.

Devlin RH and Y Nagahama. 2002. Sex Determinatian and Sex Differentiation in Fish: an Overview of Genetic, Physiological and Environmental Influences. Aquaculture Research, 208: 191-364.

Fitzpatrick Martin S, WM Contreras Sanchez, Ruth H Milston, M Lucero and Grant W Feist. 1999. Steroid Immersion for Masculinization of Tilapia Fry in MDHT. Eight Work Plan, Reproduction Control Research 2 A (RCR2A). Final Report. Department of Fisheries and Wildlife. Oregon State University, Corvallis. Oregon. USA.

Gale WL, MS Fitzpatrick, M Lucero, WM Contreras-Sánchez and CB Schreck. 1999. Masculinization of Nile tilapia (Oreochromis niloticus) by Immersion in Androgens. Aquaculture Research, 178: 349-357.

Galvez John I and John R Morrison. 1996. Efficacy of Trenbolone Acetate in Sex Inversion of The Blue Tilapia, Oreochromis aureus. Journal of The World Aquaculture Society, 27: 483 – 486.

Ganong GF. 1995. Review of Medical Physiology. Penerjemah: P. Ardianto, J. Oswari (Ed). Jakarta.

Guerrero III RD and LA Guerrero. 2004. Effect of Androstenedione and Methyltestosteron on Oreochromis niloticus Fry Treated for Sex Reversal


(48)

in Outdoor Net Enclosures. www.nracs.org/publications. www.aq. Arizona. Edu.

Guyton AC. 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Hanif S, T Yuniati dan Didi Junaedi. 2006. Teknik Produksi Induk Jantan YY Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan RI.

Hardiantho D, S Hanif dan C Harimurtiadi. 2009. Produksi Induk dan Benih Unggul Ikan Nila. Present Status of Genetic Improvement of Nile Tilapia in National Tilapia Broodstock Center. International Ocean Science, Technology and Policy Symposium, World Ocean Confereence. Manado. Hay MF, HR Lindner and T Mann. 1961. Morphology of Bull Testes and Seminal

Vesicles in Relation Testicular Androgens. Proceeding of The Royal Society of London. Series B, Biological Sciences, 154: 433-448.

Hunter GA and EM Donaldson. 1983. Hormonal Sex Control and Its Aplication to Fishculture. In: WS Hoar, DJ Randall, EM Donaldson (Editors). Fish Physiology. Academic Press. New York, P: 223-291.

Hopkins Kevin D, William L Shelton and Carole R Engle. 1979. Estrogen Sex Reversal of Tilapia aurea. Aquaculture Research, 18: 263 -268

Iskandariah. 1996. Pemanfaatan Testis Sapi dalam Teknik Pengalihan Jenis Kelamin (Seks Reversal) Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.). Skripsi. Universitas Djuanda. Bogor.

Kirpichnikov VS. 1981. Genetics Bases of Fish Selection. Springer-Verlag. Berlin.

Kim DS, HJ Cho, IC Bang, GC Choi and YK Nam. 2000. Effect of Immersion of Larvae in Estradiol 17 β on Feminization, Structural Changes of Gonad and Growth Performance in The Far Eastern Catfish, Silurus asotus

(Linnaeus). Aquaculture Research, 32: 323-328.

Kurniasih T. 2004. Produksi Ikan Nila Jantan Homogamet YY (YY Supermale) Untuk Meningkatkan Produksi Nila. WARTA Penelitian Perikanan Indonesia.

Lindner HR. 1961. Androgen and Related Compounds in The Spermatic Vein Blood of Domestic Animals. Journal of Endocrinology, 23: 139-159. Mair GC, JS Abucay, JA Breadmore, DOF Skibinski and Abella TA. 1997.


(1)

(2)

Lampiran 1. Prosedur pembuatan tepung testis sapi (Muslim, 2010)

a. Testis segar dari hasil pemotongan di RPH, dikuliti, dibelah dan dipotong-potong selanjutnya dicincang sampai halus.

b. Testis yang sudah halus dimasukkan ke dalam gelas ukur volume 250 ml sebanyak 100 gram, kemudian dimasukkan ke dalam frezeer untuk dibekukan pada suhu rendah ( -20oC) selama 24 jam.

c. Testis yang sudah beku, sudah siap diproses dengan mesin frezee dry. Sebelum mesin dinyalakan, pastikan semua katup pada ruang silinder

stainlesssudah pada posisi “vent” (tertutup).

d. Nyalakan stop kontak mesin pada posisi “on” biarkan sampai mencapai suhu -75oC, yang dapat dilihat pada penunjuk digital yang terdapat pada mesin.

e. Setelah mencapai suhu -75oC selanjutnya pompa vacum dinyalakan (stop

kontak power pada posisi “on”) dan biarkan hingga tekanannya mencapai -0,1 Mpa. Besarnya tekanan dapat dilihat pada penunjuk tekanan (press gauge) yang terdapat pada mesin.

f. Selanjutnya pasang gelas frezee dry yang berisi sampel pada slot-slot yang

tersedia, kemudian katup yang sebelumnya berada pada posisi “vent” diputar hingga posisi “vacum”

g. Biarkan sampai sampel benar-benar kering (lebih kurang 20-24 jam). h. Setelah sampel terlihat kering, putar katup yang sebelumnya pada posisi

“vacum” ke posisi „vent”, kemudian angkat gelas frezee dry yang berisi sampel dari slot yang sudah diputar tadi.

i. Testis yang sudah kering dikeluarkan dari gelas frezee dry dan siap untuk ditumbuk dalam mangkok porselin sampai berbentuk seperti tepung, hasil tumbukan kemudian diayak dengan menggunakan ayakan halus.

j. Tepung testis yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam kantong plastik dan ditutup rapat dan siap untuk digunakan, sebelum digunakan disimpan dalam freezer.


(3)

Lampiran 2. Data dan uji statistik parameter prosentase jenis kelamin ikan nila

Ulangan Perlakuan

K (-) K (+) A B C

I 60,00 90,00 66,67 80,00 83,33

II 46,67 73,33 73,33 76,67 83,33

III 60,00 80,00 66,67 70,00 90,00

Total 166,67 243,33 206,67 226,67 256,67

Rata-rata 55,56±7,70 81,11±8,39 68,89±3,85 75,56±5,09 85,56±3,85 Anova ikan nila jantan

SK db jk kt fhit ftab

perlakuan 4 1651,85 330,37 8,92 3,48

galat 10 370,37 37,03

total 14 2022,22

Perlakuan Ulangan ∑ Sampel ∑ Jantan ∑ Intersex ∑ Betina Prosentase (%)

Jantan Intersex Betina A

1 30 20 3 7 66,67 10,00 23,33

2 30 22 2 6 73,33 6,67 20,00

3 30 20 2 8 66,67 6,67 26,67

Total 90 62 7 21 206,67 23,33 70,00

Rata-Rata 30 20,67 2,33 7,00 68,89 7,78 23,33

B

1 30 24 0 6 80,00 0,00 20,00

2 30 23 2 5 76,67 6,67 16,67

3 30 21 1 8 70,00 3,33 26,67

Total 90 68 3 19 226,67 10,00 63,33

Rata-Rata 30 22,67 1,00 6,33 75,56 3,33 21,11

C

1 30 25 0 5 83,33 0,00 16,67

2 30 25 1 4 83,33 3,33 13,33

3 30 27 0 3 90,00 0,00 10,00

Total 90 77,00 1,00 12,00 256,67 3,33 40,00

Rata-Rata 30 25,67 0,33 4,00 85,56 1,11 13,33

K (-)

1 30 18 0 12 60,00 0,00 40,00

2 30 14 0 16 46,67 0,00 53,33

3 30 18 0 12 60,00 0,00 40,00

Total 90 50,00 0,00 40,00 166,67 0,00 133,33

Rata-Rata 30 16,67 0,00 13,33 55,56 0,00 44,44

K(+)

1 30 27 1 2 90,00 3,33 6,67

2 30 22 1 7 73,33 3,33 23,33

3 30 24 2 2 80,00 6,67 6,67

Total 90 73,00 4,00 11,00 243,33 13,33 36,67


(4)

Lampiran 3. Data dan uji statistik parameter ikan nila intersex

Ulangan Perlakuan

K (-) K (+) A B C

I 0,00 3,33 10,00 0,00 0,00

II 0,00 3,33 6,67 6,67 3,33

III 0,00 6,67 6,67 3,33 0,00

Total 0,00 13,33 23,33 10,00 3,33

Rata-rata 0,00 4,44±1,92 7,78±1,92 3,33±3,33 1,11±1,92 Anova ikan nila intersex

SK db jk kt fhit ftab

perlakuan 4 111,11 22,22 5,00 3,48

galat 10 44,44 4,44


(5)

Lampiran 4. Data dan uji statistik parameter prosentase tingkat kelangsungan hidup ikan nila

Perlakuan Ulangan ∑ Ikan awal ∑ Ikan mati ∑ Ikan akhir SR (%) saat pemeliharaan pemeliharaan

A

1 100 13 87 87

2 100 7 93 93

3 100 11 89 89

Total 300 31 269 269

Rata-rata 100 10,33 89,67 89,67

B

1 100 18 82 82

2 100 8 92 92

3 100 16 84 84

Total 300 42 258 258

Rata-rata 100 14,00 86,00 86,00

C

1 100 14 86 86

2 100 12 88 88

3 100 9 91 91

Total 300 35 265 265

Rata-rata 100 11,67 88,33 88,33

K (-)

1 100 13 87 87

2 100 8 92 92

3 100 13 87 87

Total 300 34 266 266

Rata-rata 100 11,33 88,67 88,67

K(+)

1 100 19 81 81

2 100 17 83 83

3 100 14 86 86

Total 300 50 250 250

Rata-rata 100 16,67 83,33 83,33

Ulangan Perlakuan

K (-) K (+) A B C

I 87,00 81,00 87,00 82,00 86,00

II 92,00 83,00 93,00 92,00 88,00

III 87,00 86,00 89,00 84,00 91,00

Total 266,00 250,00 269,00 258,00 265,00

Rata-rata 88,67±2,89 83,33±2,52 89,67±3,06 86,00±5,29 88,33±2,52 Anova tingkat kelangsungan hidup ikan nila

SK db jk kt fhit ftab

perlakuan 4 77,73 15,55 1.33 3,48

galat 10 116,67 11,67


(6)

Lampiran 5. Data dan uji statistik pertumbuhan ikan nila

Perlakuan Ulangan Wo (g) Wt (g) W (g)

A

1 0,01 9,87 9,86

2 0,01 12,99 12,98

3 0,01 10,86 10,85

Total 0,03 33,72 33,69

Rata-Rata 0,01 11,24 11,23

B

1 0,01 11,44 11,43

2 0,01 13,16 13,15

3 0,01 13,43 13,42

Total 0,03 38,04 38,01

Rata-Rata 0,01 12,68 12,67

C

1 0,01 11,78 11,77

2 0,01 13,69 13,68

3 0,01 14,27 14,26

Total 0,03 39,75 39,72

Rata-Rata 0,01 13,25 13,24

K(-)

1 0,01 12,13 12,12

2 0,01 12,15 12,14

3 0,01 12,89 12,88

Total 0,03 37,19 37,16

Rata-Rata 0,01 12,39 12,38

K(+)

1 0,01 12,01 12,00

2 0,01 12,08 12,07

3 0,01 11,41 11,40

Total 0,03 35,51 35,48

Rata-Rata 0,01 11,83 11,82

Ulangan Perlakuan

K (-) K (+) A B C

I 12,13 12,01 9,86 11,44 11,77

II 12,15 12,07 12,98 13,15 13,69

III 12,89 11,40 10,85 13,43 14,27

Total 37,16 35,48 33,69 38,01 39,72

Rata-rata 12,39±0,43 11,83±0,37 11,23±1,59 12,67±1,07 13,24±1,30 Anova pertumbuhan ikan nila

SK db jk kt fhit ftab

per 4 7,16 1,43 1,25 3,48

galat 10 11,46 1,14