Masculinization of Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) By Immersion Technique in Purwoceng (Pimpinella alpina) Extract

(1)

PURWOCENG (Pimpinella alpina)

SAFRIZAL PUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUTE PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Maskulinisasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Melalui Perendaman Dalam Ekstrak Purwoceng (Pimpinella alpina), adalah benar hasil karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir thesis ini.

Bogor, 23 September 2011

Safrizal Putra C151090261


(3)

Immersion Technique in Purwoceng (Pimpinella alpina) Extract. Under direction of Muhammad Zairin Junior and Harton Arfan.

Masculinization of in nile tilapia is very important in controlling reproduction and obtaining gender that have faster growth. Synthetic steroids which are commonly used to masculinize but has potential hazards and not recommended for aquaculture. The use of natural product is a potential alternative to be explored, especially from plant. The objective of this study was to determine the effect of immersion nile tilapia larval in extract of purwoceng in masculinizing nile tilapia. Doses used in this study are 10, 20, 30 mg/l of purwoceng extract with two control groups those are using 500 µg/l 17α -methiltestesterone and no immersion in purwoceng extract. Exposing 8h on 4 and 7 days post-hatching in extract of purwoceng and 17α-metiltestesterone, resulted in significantly skewed sex ratio of 73,3% males by immersion in 20 mg/l.

Synthetic androgen, 17α-methiltestesterone gave better result than extract of purwoceng in this study. Further study on extract of purwoceng is needed to observe the best limit of short-time immersion and to find the best result in sex ratio.

Key word : masculinization, nile tilapia (Oreochromis niloticus), exstract of purwoceng (Pimpinella alpina)


(4)

telah lama dikenal oleh masyarakat dan telah dibudidayakan secara masal. Ikan nila sangat cepat mencapai kedewasaannya sehingga asupan energi yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan dalam bentuk daging dan pertambahan biomasa digunakan sebagai perkembangbiakannya. Budidaya monoseks menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan ini karena memungkinkan ikan tumbuh seragam, dapat mencapai ukura besar, tidak bereproduksi liar di kolam budidaya dan mengurangi tingkah laku keinginan seksual. Budidaya monoseks telah terbukti efisien dalam memproduksi ikan nila dan dapat memperbaiki pertumbuhan biomassa ikan nila. Salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan ikan monoseks jantan adalah dengan menggunakan hormon androgen. Hormon yang telah umum dipakai untuk jantanisasi adalah 17α -metiltestesteron (17α-MT). Namun saat ini penggunaan MT telah dibatasi karena dikhawatirkan meninggalkan residu, baik di ikan maupun di perairan. Oleh karena itu, perlu dicari bahan alternatif yang lebih aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tumbuhan afrodisiaka. Pada umumnya tanaman yang mempunyai khasiat afrodisiaka mengandung senyawa yang berkaitan dengan fitosteroid misalnya stigmasterol atau senyawa lainnya yang berkhasiat meningkatkan kualitas seksual, memperkuat tubuh dan memperlancar peredaran darah. Oleh karena itu perlu dilakukan penyelidikan pengaruh purwoceng terhadap diferensiasi sek terutama yang bersifat androgenik. Senyawa aktif dalam purwoceng dianalisis dengan GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry). Hasil analisis menyatakan ada senyawa stigmasterol sebanyak 5,38%.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan menggunakan ekstrak purwoceng sebanyak 10 mg/liter, 20 mg/liter, 30 mg/liter. Sebagai kontrol dilakukan perendaman dengan 17α-MT

konsentrasi 500 µg/liter (kontrol positif) dan perendaman tanpa ekstraksi dan 17α -MT (Kontrol negatif). Masing-masing perlakuan dilakukan dengan tiga kali ulangan. Perendaman dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada hari ke 4 dan 7. Perendaman dilakukan selama 8 jam. Ikan yang digunakan adalah ikan nila hitam. Akuarium yang digunakan berukuran 90 x 50 x 40 cm, sebanyak 15 unit. Selama masa pemeliharaan ikan diberi pakan sekenyangnya. Ikan uji dipelihara selama 2 bulan dan selanjutnya diamati jenis kelaminnya dengan metode asetokarmin.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis perendaman ekstrak purwoceng berpengaruh terhadap persentase ikan berkelamin jantan. Hasil penelitian adalah sebagai berikut; 10 mg/liter (66,7 ± 3,33), 20 mg/liter (73,3 ± 3,35), dan 30 mg/liter (68,88 ± 3,85). Sedangkan ikan kontrol negatif (52,2 ± 5,09) dan positif (80 ± 3,34). Dari data tersebut persentase ikan jantan tertinggi akibat perlakuan adalah perendaman larva dalam 20 mg/l ekstrak purwoceng. Dalam penelitian ini dihasilkan ikan nila interseks pada setiap perlakuan dan kontrol positif yaitu; 10 mg/liter (5.6 ± 8,38), 20 mg/liter (13.3 ± 3,34), 30 mg/liter (12.22 ± 1,93), dan kontrol positif (7.8 ± 3,85).

Kelangsungan hidup ikan uji adalah sebagai berikut 10 mg/liter (88,33), 20 mg/liter (83,33), dan 30 mg/liter (84,67). Sedangkan ikan kontrol negatif (83) dan


(5)

Dengan hasil penelitian tersebut maka ekstrak purwoceng dapat dijadikan bahan alternatif untuk menggantikan hormon 17α-MT. Penelitian selanjutnya perlu dilakukan untuk mencari lama perendaman, dosis atau metode lain untuk memaksimalkan maskulinisasi ikan nila.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, ata tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(7)

PURWOCENG (Pimpinella alpina)

SAFRIZAL PUTRA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Megister Sains pada

Program Studi Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUTE PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

(9)

Nama NRP

Program Studi : : :

alpina) Safrizal Putra C151090261

Ilmu Akuakultur (AKU)

Disetujui: Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Muhammad Zairin Junior, M.Sc Ketua

Ir. Harton Arfah, M.Si Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Akuakultur

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(10)

Penyayang karena dengan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Peningkatan produksi dengan teknik alih kelamin, kelangkaan hormon, mahalnya harga hormon di pasaran, resiko karsinorgenik dan mulai dilarangnya pemakaian hormon sintetik menjadi landasan penulis untuk melakukan penelitian

ini, dengan judul “Maskulinisasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Melalui Perendaman Dalam Ekstrak Purwoceng (Pimpinella alpina)”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada ayahanda Bapak Nasruddin dan Ibunda Faridah yang telah bersedia membiayai dan mendoakan penulis untuk melanjutkan pendidikan S2. Selanjutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Zairin Junior, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Ir. Harton Arfah, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing dan Ibu Dr. Dinar Tri Sulistyowati, DEA sebagai dosen penguji yang telah memberikan arahan, petunjuk, dan bimbingan yang sangat berharga selama proses penelitian ini.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada adik-adik: Mauliawan Saputra, Rawatal Afna dan Rahmatul Husna yang telah mendukung penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. Terimakasih kepada saudari Rahmadini Zaini yang telah bersedia menanti, mendukung, dan mendoakan penulis untuk menyelesaikan pendidikan S2. Selanjutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada penghuni Aceh kos: Muliari, Masda Admi, Hasfiandi, Marwan Funna, Muhammad Safir, dan Muhammad Rizal yang selalu menyemangati dan membantu penulis menyelesaikan penelitian ini. Tidak lupa terimakasih kepada teman-teman akuakultur angkatan 2009 yang selalu bersedia diajak berdiskusi, membantu dan mendukung penulis menyelesaikan tesis ini. Khususnya, kepada Reza Syamsuddin yang telah membantu ikan sebagai materi penelitian. Penulis juga mengucapkan kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas masukan, dukungan, dan penyemangat bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari, hasil ini belum memadai karena keterbatasan dana dan waktu, oleh karenanya masukan kritik dan saran sangat penulis hargai. Penulis


(11)

(12)

Bapak Nasruddin dan Ibu Faridah. Penulis merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Setelah lulus pendidikan menengah atas di SMA 1 Lhokseumawe pada tahun 2004 selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan tinggi pada program studi S1 Ilmu Kelautan di Universitas Syiah Kuala dan lulus pada tahun 2008. Selanjutnya, pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan strata-2 (S2) pada Program Studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.2 Tujuan dan Manfaat ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Ikan nila (Oreocromis niloticus) ... 5

2.2 Biosintesis testesteron... 6

2.3. Seks reversal ... 7

2.4 Purwoceng (Pimpinella alfina) ... 8

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 13

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 13

3.2 Rancangan Penelitian ... 13

3.3 Prosedur Penelitian ... 13

3.3.1 Pembuatan ekstrak purwoceng ... 13

3.3.2 Pemeliharaan ikan uji ... 14

3.3.3 Pemeriksaan Gonad ... 15

3.4 Pengamatan Parameter ... 15

3.5.1 Kadar senyawa aktif dalam Purwoceng (Pimpilena pruancan) ... 15

3.5.2 Persentase Ikan Jantan ... 15

5.5.3 Kelangsungan Hidup Ikan... 16

5.5.4 Persentase Ikan Nila Intersek ... 17

5.5.5 Pertumbuhan Ikan Uji ... 17

5.5.6 Kualitas Air ... 17

3.5 Analisis Data ... 17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

4.1 Prosentase Ikan Jantan ... 19

4.2 Kelangsungan Hidup Ikan Nila ... 24

4.3 Pertumbuhan Ikan nila ... 25

4.4 Kadar Senyawa Stigmasterol Dalam Ekstrak Purwoceng ... 26


(14)

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

5.1 Kesimpulan ... 31

5.2 Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 33


(15)

DAFTAR TABEL

1. Peran senyawa-senyawa yang terkandung dalam purwoceng ... 9

2. Jumlah prosentase ikan jantan ... 19

3. Jumlah prosentase ikan nila intersex ... 22

4. Jumlah prosentase kelangsungan hidup ikan nila ... 24

5. Bobot ikan nila pada akhir penelitian ... 25


(16)

DAFTAR GAMBAR

1. Biosintesis Hormon Steroid ... 6

2. Gambar tanaman purwoceng ... 8

3. Struktur kimia kolestrol dan turunannya ... 10


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Prosedur analisis bahan aktif purwoceng dengan metode GC-MS ... 39

2. Data dan uji statistik jumlah dan prosentase jenis kelamin ikan nila... 40

3. Data dan analisis kelangsungan hidup ikan nila ... 42

4. Data dan uji statistik pertumbuhan ikan nila ... 44


(18)

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan ekonomis tinggi yang telah lama dikenal oleh masyarakat dan telah dibudidayakan secara masal. Ikan nila sangat cepat mencapai kedewasaannya sehingga asupan energi yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan dalam bentuk daging dan pertambahan biomasa digunakan sebagai perkembangbiakannya (Ronald dan Thomas, 2000). Budidaya monoseks menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan ini karena memungkinkan ikan tumbuh seragam, dapat mencapai ukuran besar, tidak bereproduksi liar di kolam budidaya dan mengurangi tingkah laku keinginan seksual (Biswas et al, 2004). Budidaya monoseks telah terbukti efisien dalam memproduksi ikan nila dan dapat memperbaiki pertumbuhan biomassa ikan nila (Ronald dan Thomas, 2000; Phillay dan Kutty, 2005). Selisih biomassa ikan antara nila monosek dengan yang tidak saat panen dapat mencapai 30-50% (Mair et al., 1995).

Salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan ikan monoseks jantan adalah dengan menggunakan hormon androgen. Hormon yang telah umum dipakai untuk jantanisasi adalah 17α-metiltestesteron (17α-MT) (Zairin, 2003). Namun saat ini penggunaan 17α-MT telah dibatasi karena dikhawatirkan meninggalkan residu, baik di ikan maupun di perairan (Pandian dan Kirankumar, 2003). Oleh karena itu perlu dicari bahan alternatif yang lebih aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Pemberian hormon alamiah telah terbukti berhasil, seperti 11β -Hydroxyandrostenedione dengan dosis 40 atau 50 mg dapat menjantankan ikan nila (Oreochromis niloticus) hingga 98% (Desprez et al., 2003). Pada penelitian Muslim (2010), maskulinisasi menggunakan 6% tepung testis sapi per kilogram pakan mampu meningkatkan ikan nila jantan hingga 83%. Ekstrak tepung testis sapi sebanyak 5 ml/liter mampu meningkatkan jumlah ikan nila jantan hingga 85,6% (Iskandar, 2010).

Dulu steroid dianggap hanya terdapat pada hewan sebagai hormon kelamin namun beberapa tahun terakhir makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan di tumbuhan yang disebut fitosteroid (Vickery dan Vickery, 1981; Harborne,


(20)

2006; Cseke et.al, 2006). Hormon ini dapat menggantikan steroid sintetik. Struktur molekul yang mirip antara isoflafonoid dan estrogen menyebabkan reseptor mampu berikatan dengan reseptor estrogen sehingga senyawa ini juga disebut sebagai estrogen like (Tremblay dan Van Der Kraak, 1998).

Maskulinisasi menggunakan fitoandrogen untuk maskulinisasi pernah diteliti oleh Alfian (2003), menggunakan ekstrak kayu sandrego (Lunasia amara Blanco) pada ikan cupang (Betta splendens). Penelitian tersebut menggunakan ekstrak sendrego yang dicampurkan kedalam pakan sebanyak 20 mg/kg pakan yang dapat menghasilkan hingga 70,7% jantan.

Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tumbuhan afrodisiaka (Gunawan, 2002). Pada umumnya tanaman yang mempunyai khasiat afrodisiaka mengandung senyawa yang berkaitan dengan fitosteroid misalnya stigmasterol atau senyawa lainnya yang berkhasiat meningkatkan kualitas seksual, memperkuat tubuh dan memperlancar peredaran darah. Oleh karena itu perlu dilakukan penyelidikan pengaruh purwoceng terhadap diferensiasi seks terutama yang bersifat androgenik.

Rumusan Masalah

Peredaran hormon 17α-metiltestesteron telah dibatasi karena dikhawatirkan meninggalkan residu, baik di ikan maupun perairan. Selain itu, produksi ikan monoseks menggunakan hormon 17α-metiltestesteron dilarang masuk ke pasar Eropa (Pandian dan Kirankumar, 2003), sehingga perlu dicari bahan alternatif untuk maskulinisasi. Salah satu cara yang bisa di lakukan adalah dengan bahan alamiah yang berasal dari tanaman yang bersifat androgenik diantaranya adalah menggunakan tanaman purwoceng.

Selama ini purwoceng digunakan sebagai obat kuat kaum laki-laki atau disebut dengan istilah afrodisiaka. Tanaman purwoceng mampu meningkatkan kadar hormon testesteron, LH (luteinizing hormone), dan FSH ( follicle-stimulating hormone). Diduga tanaman purwoceng mengandung fitosteroid, terutama stigmasterol yang mampu memberikan efek androgenik (Taufikurrahman, 2004). Fitosteroid yang paling umum ditemukan dalam tanaman


(21)

dapat meningkatkan vitelogenesis pada ikan betina rainbow trout dan pada ikan jantan yang diberi perlakuan -sitosterol. Sel hati ikan jantan tersebut mampu menghasilkan vitelogenin (Tremblay dan Van der Kraak, 1998). Selain itu, dalam penelitian Parks et al (2001), dilaporkan bahwa fitosteroid yang terkandung dalam limbah cair bubur kertas mampu memaskulinisasi ikan betina mosquitofish (Gambusia affinis holbrooki). Maskulinisasi menggunakan ekstrak sandrego yang diduga mengandung stigmasterol dengan perlakuan 20 mg/kg pakan mampu meningkatkan ikan cupang (Betta splendens) jantan sebesar 70,7% dibandingkan kontrol yang hanya 33% (Alfian, 2003).

Hasil analisis GC-MS purwoceng mengandung bahan aktif stigmasterol sebanyak 5,38% (data analisis GC-MS terlampir). Bahan aktif stigmasterol yang terkandung dalam ekstrak purwoceng diharapkan mampu mengarahkan kelamin larva ikan nila menjadi jantan. Selain itu, kecendrungan dunia saat ini untuk memakai bahan alamiah sangat mendukung pengembangan bahan alamiah untuk peningkatan produksi ikan nila sehingga produk maskulinisasi dapat diterima oleh pasar internasional.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui pengaruh pemberian ekstrak purwoceng terhadap maskulinisasi ikan nila melalui perendaman dan (2) menentukan dosis optimum ekstrak purwoceng untuk menghasilkan ikan nila jantan.

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat melakukan jantanisasi dalam kegiatan produksi ikan nila monosex dengan menggunakan ekstrak purwoceng dan memberikan informasi bagi para pelaku budidaya dan peneliti.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah perendaman larva dalam ekstrak purwoceng dengan konsentrasi yang berbeda akan berpengaruh terhadap maskulinisasi ikan nila.


(22)

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Ikan nila berasal dari benua Afrika dan telah masuk untuk dibuidayakan ke negara-negara sub-tropis dan tropis sejak tahun 1960-an (Phillay dan Kutty, 2005). Jenis yang paling umum dibudidayakan adalah Oreochromis niloticus dan Oreochromis mossambicus (Bearmore et al., 2005). Berdasarkan Saanin ikan nila dapat diklasifikasikan sebagai berikut;

Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Osteichthyes Sub Kelas : Acanthoptherigii Ordo : Perchmorpi Sub Ordo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Ikan nila (famili Cichlidae) dapat tumbuh dan berkembang biak dengan cepat sehingga sangat cocok untuk dibudidayakan secara masal (Phillay dan Kutty, 2005). Ikan nila sangat cepat mencapai kedewasaannya sehingga dapat menghambat pertumbuhannya. Pada masa reproduksi, asupan energi lebih banyak digunakan untuk kematangan gonad dibandingkan energi yang dapat diinvestasikan sebagai biomasa dalam bentuk daging (Phelps dan Popma, 2000).

Untuk tujuan budidaya masal, sangat penting untuk melakukan sex reversal guna memproduksi ikan nila monoseks berkelamin jantan karena pertumbuhannya yang lebih cepat dan dapat mengurangi keinginan seksual (Zairin, 2003). Keuntungan lainnya adalah meningkatkan biomasa ikan, dapat memproduksi ukuran ikan yang relatif seragam, dan mencegah pemijahan liar di dalam wadah budidaya (Phillay dan Kutty, 2005).


(24)

Biosintesis Testesteron

Hormon testesteron diproduksi oleh testis yang dikonversi dari kolesterol (Gambar 1). Perubahan kolesterol menjadi pregnenolon di andrenal, ovarium, dan testis identik satu sama lain. Kemudian peregnenolon diubah secara berurutan menjadi menjadi progesteron, 17α-hidroksiprogesteron, androstenedion, dan selanjutnya baru diubah menjadi testesteron (Murray, 2006). Selanjutnya dengan enzim P450 aromatase testesteron diubah menjadi estradiol.

Gambar 1. Biosintesis hormon steroid (Leusch, 2001).

(1) cytochrome P450 side-chain cleavage - P450scc; (β) γ -hydroxysteroid dehydrogenase - γ -HSD; (γ) P450c17 (17α-hydroxylase); (4) P450c17 (C17,20-lyase); (5) 17 - HSD: (6) cytochrome P450 aromatase; (7) 11 -hydroxylase; (8) 11 -HSD; (9) HMG-CoA reductase. Mekanisme biosintesis steroid pada ikan terjadi melalui jalur prenegnolon (P5) (Leusch, 2001).


(25)

Sex Reversal

Jenis kelamin pada ikan ditentukan oleh dua faktor utama yaitu genetik dan lingkungan. Secara genetik jenis kelamin ditentukan oleh pasangan kromosom yang diturunkan oleh induknya. Namun secara fungsional jenis kelamin ikan ditentukan oleh lingkungan selama perkembangan gonad ikan berlangsung. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan gonad diantaranya adalah temperatur, pH, dan eksogenus steroid (Devlin dan Nagahama, 2002).

Hormon steroid merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan kelamin pada ikan teleost. Hormon tersebut akan merangsang fenomena reproduksi ikan yaitu merangsang diferensiasi gonad, gametogenesis, ovulasi, spermatogenesis, pemijahan dan tingkah laku seksual (Tremblay dan Van Der Kraak, 1998; Zairin, 2003).

Diferensiasi kelamin pada jenis ikan teleost umumnya terjadi sejak awal menetasnya telur. Proses diferensiasi kelamin adalah suatu proses perkembangan gonad jantan dan betina menjadi suatu jaringan gonad yang definitif (Pandian, 1999). Pembentukan jaringan gonad ikan dapat diinterfensi sesuai dengan yang diinginkan dari jenis kelamin yang seharusnya dengan bahan-bahan tertentu seperti hormon (Zairin, 2003).

Untuk memproduksi nila jantan (monoseks) dalam budidaya massal perlu dilakukan kontrol kelamin dengan perlakuan tertentu. Teknologi untuk mengontrol seks ikan dikenal dengan istilah seks reversal (Zairin, 2003). Hormon yang umum digunakan adalah dengan menggunakan 17α-metiltestesteron (MT) untuk menjantankan seluruh ikan nila (Phelps dan Popma, 2000; Zairin, 2003; Devlin dan Nagahama, 2002). Namun penggunaan hormon MT untuk produksi ikan telah dibatasi dan ikannya dilarang masuk ke pasar eropa karena kekhawatiran adanya residu hormon (Pandian dan Kirankumar, 2003).

Hormon-hormon alami juga telah digunakan untuk maskulinisasi seperti pemakaian hormon androgen alami 11β-hydroxyandrostenedione (11 Βoha4) dapat menghasilkan jantan mendekati 100% jantan (Desprez et al., 2003). Penggunakan testis sapi yang mengandung hormon testesteron pada larva ikan nila dapat menghasilkan 87% ikan jantan (Muslim, 2010). Maskulinisasi


(26)

menggunakan fitoandrogen pernah diteliti oleh Alfian (2003) pada ikan cupang menggunakan ekstrak kayu sandrego. Penelitian tersebut menggunakan ekstrak sendrego dengan perlakuan 0, 10, 20, dan 30 mg/kg pakan. Persentase jantan setelah perlakuan secara berturut-turut adalah 33%, 59,67%, 70,67% dan 50,33%. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa fitosteroid dari limbah cair bubur kertas dapat mempengaruhi rasio seks ikan di perairan (Tremblay dan Van Der Kraak, 1998; Parks et al. 2001).

Purwoceng (Pimpinella alpina)

Porwoceng merupakan tumbuhan yang berasal dari pegunungan alpen yang tumbuh baik di dataran tinggi. Di Indonesia purwoceng banyak tumbuh secara liar di gunung Dieng, Jawa Tengah. Tanaman purwoceng tidak berkayu, bulat berongga, berwarna hijau, dan beralur (Gambar 2). Daun tunggal, berwarna hijau, dan berbau aromatis. Tinggi tumbuhan ini dapat mencapai 50-100 cm.

Porwoceng telah lama dikenal sebagai tanaman yang dipakai dalam ramuan tradisional sebagai obat-obatan afrodisiaka (Gunawan, 2002). Bahan yang dipakai dalam ramuan afrodisiaka adalah bagian tanaman purwoceng yang berasal dari akar tanaman, namun juga sering dipakai dari seluruh bagian tanaman. Saat ini, tanaman purwoceng telah banyak beredar di masyarakat dalam bentuk kering, jamu, maupun kapsul yang telah dikemas secara modern.


(27)

Saat ini penelitian mengenai afrodisiaka yang berasal dari tanaman terus dilakukan terutama untuk meningkatkan kejantanan pria. Pada umumnya tumbuhan yang mempunyai khasiat afrodisiaka mengandung senyawa turunan saponin, alkaloid, steroid yang berkaitan dengan stigmasterol, -sitosterol, ganestein dan senyawa lainnya yang dapat memperkuat tubuh serta memperlancar peredaran darah. Senyawa stigmasterol dan saponin steroid diduga meningkatkan kualitas seksual setelah mengkonsumsinya. Senyawa saponin steroid umumnya digunakan sebagai bahan dasar industri produk hormon seks dan sebagai hormon anabolik (Gunawan, 2002; Taufiqurrahman, 2004).

Tabel 1. Peran senyawa-senyawa yang terkandung dalam purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap seksualitas pada manusia (Gunawan, 2002).

No Nama senyawa Peran

1 Limonena Merangsang pristaltik. Menambah daya tahan tubuh.

2 Anisketone Merangsang dan menambah semangat serta pereda lelah.

3 Asam kafeat Merangsang semangat, merangsang aktifitas saraf pusat, merangsang keluarnya prostaglandin, menghambat keluarnya histamin, dan menghilangkan rasa kantuk.

4 Dianethole Merangsang hormon estrogen. 5 Eugenol Mencegah ejakulasi prematur.

6 -Himachalene Merangsang dan menambah semangat, menambah daya tahan tubuh, menghilangkan letih dan lelah. 7 Hydroquinone Merangsang ereksi, menaikkan tekanan darah,

merangsang timbulnya kejang.

8 Imperatorin Merangsang semangat, meningkatkan semangat (temperamen), menahan kantuk.

9 Isoorientin Menambah produksi sperma 10 Myristicin Merangsang semangat 11 Phellandrene Memacu ereksi


(28)

12 Pristane Menambah daya tahan tubuh 13 Proazulene Merangsang semangat

14 Seselin Merangsang semangat, merangsang saraf pusat, menghilangkan rasa lelah dan letih, menahan kantuk.

15 Squalene Merangsang semangat, melancarkan transfer oksigen dalam darah.

16 Stigmasterol Merangsang hormon androgen, merangsang proses terjadinya ovulasi dan bahan baku pembuatan hormon steroid (untuk obat KB).

Adanya beberapa zat yang bersifat androgenik dalam tumbuhan purwoceng seperti stigmasterol yang dapat meningkatkan ereksi pada pria diharapkan dapat memberikan efek andogenik untuk proses jantanisasi ikan nila. Selain itu juga terdapat isoorientin yang dapat meningkatkan produksi sperma.

Gambar 3. Struktur kimia kolesterol dan turunannya (De-Eknamkul dan

Potduang, 2003).

Hasil uji laboratorium dengan menggunakan metode gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS), purwoceng mengandung senyawa stigmasterol


(29)

sebanyak 5,38% dari total senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak purwoceng. Menurut Sivan dan Yaron (2006), senyawa stigmasterol yang terkandung dalam limbah bubur kertas dapat mengubah rasio seks ikan di perairan. Reseptor androgen dan estrogen dapat mengikat fitosterol (Tremblay dan Kraak, 1998) sehingga dapat mempengaruhi seks rasio, gonad, dan hormonal (Hawit et al, 2008). Pengikatan tersebut akibat dari adanya kemiripan struktur molekul stigmasterol, kolesterol dan testesteron.


(30)

(31)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Lab. KESDA provinsi DKI Jakarta (analisis kandungan senyawa aktif, Pimpinella alpina), Lab. Percobaan Babakan FPIK (pemeliharaan ikan uji), dan Lab. Pengembangbiakan dan Genetika Ikan BDP FPIK IPB (pembuatan preparat histologi gonad dan analisis gonad metode acetocarmin). Pelaksanan penelitian direncanakan selama 4 bulan.

Rancangan Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan adalah RAL (Rancangan Acak Lengkap). Dosis ekstrak purwoceng yang digunakan adalah 0, 10, 20 dan 30 mg/liter. Dari hasil analisis GC;MS, ekstrak purwoceng mengandung senyawa stigmasterol sebanyak 5,38%. Dengan demikian dosis stigmasterol yang terkandung dalam setiap dosis perlakuan secara berturut-turut sebanyak 0 mg, 0,538 mg, 1,076 mg, dan 1,614 mg. Masing-masing perlakuan dilakukan dengan tiga kali ulangan.

Perlakuan A, ekstrak purwoceng 10 mg/liter Perlakuan B, ekstrak purwoceng 20 mg/liter Perlakuan C, ekstrak purwoceng 30 mg/liter

Perlakuan D, perendaman dalam 17α-MT konsentrasi 500 µg/liter (kontrol positif)

Perlakuan E, perendaman tanpa ekstrak purwoceng dan 17α-MT (Kontrol negatif) Yij= μ + τi + €ij

Keterangan :

Yij : Nilai pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j μ : Rata-rata umum

τi : Pengaruh perlakuan ke-i

€ij : Pengaruh acak yang menyebar normal

Prosedur Penelitian 1. Pembuatan ekstrak purwoceng

Tanaman purwoceng dikeringkan lalu digiling menjadi bubuk. Tanaman purwoceng yang telah menjadi bubuk direndam dalam pelarut methanol 70%


(32)

dengan perbandingan 1:2. Kemudian diaduk selama 3 jam, lalu didiamkan (maserasi) selama 24 jam. Selanjutnya disaring, lalu disiapkan menjadi ekstrak kental.

2. Pemeliharaan Ikan Uji

Prosedur kerja yang dilakukan dalam pemeliharaan ikan adalah sebagai berikut:

1.1.Persiapan Wadah

Wadah yang digunakan adalah akuarium perendaman volume 5 liter sebanyak 15 unit akuarium dan akuarium pemeliharaan ukuran 90 x 50 x 40 cm sebanyak 15 unit akuarium. Sebelum digunakan, akuarium disterilkan menggunakan kaporit dengan dosis 10 ppm, lalu dibilas dengan air bersih dan didiamkan selama 24 jam. Kemudian akuarium diisi air sebanyak 100 liter, air yang digunakan adalah air yang telah diendapkan didalam bak tandon.

1.2.Perendaman

Larva yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva ikan nila (Oreochromis niloticus) berumur 4 hari (berat 0,02-0,03 gram/larva) diperoleh dari BRPBAT (Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar) Sempur Bogor. Larva direndam dalam larutan ekstrak purwoceng masing-masing 0, 10, 20, dan 30 mg/liter dengan lama waktu perendaman 8 jam dalam akuarium bervolume 5 liter. Akuarium tersebut diisi air sebanyak 3 liter dengan jumlah larva ikan nila 100 ekor/akuarium. Sebelum digunakan ekstrak purwoceng dan MT dilarutkan dengan larutan ethanol 95% sebanyak 5 ml. Perendaman dilakukan sebanyak dua kali perendaman, yaitu pada saat larva berumur 4 hari dan diulangi pada saat larva berumur 7 hari.

1.3.Pemeliharaan larva

Setelah perendaman pertama dan kedua selesai, larva dipindahkan kedalam akuarium pemeliharaan. Larva diberi pakan starter berbentuk tepung untuk benih ikan air tawar merk Hi-Pro-Vite, tipe PS-P yang diproduksi oleh PT. Centra Proteina, Tbk. Komposisi nutrisi: protein minimum 40%, lemak minimum 10%, serat kasar maksimal 8%, dan


(33)

kadar air 12%. Selama pemeliharaan, ukuran dan jenis pakan disesuaikan dengan tingkat perkembangan larva. Pakan yang diberikan dengan frekuensi pemberian 3-4 kali/hari. Larva dipelihara selama 60 hari sehingga dapat diidentifikasi dengan metode asetokarmin untuk membedakan kelamin jantan dan betina.

3. Pemeriksaan Gonad Ikan Uji

Pemeriksaan gonad ikan uji menggunakan metode asetokarmin (Zairin, 2002). Larutan asetokarmin

Larutan asetokarmin dibuat dengan melarutkan 0,6 g bubuk karmin kedalam 100 ml asam asetat 45%. Larutan dididihkan selama 2 hingga 4 menit kemudian didinginkan dan disaring dengan kertas saring. Selanjutnya dimasukkan dalam botol tertutup dan disimpan pada suhu ruang.

Pemeriksaan gonad

Pemeriksaan gonad dilakukan setelah ikan berumur 60 hari dengan mengambil sampel sebanyak 30% dari ikan uji. Ikan dibedah dan diambil gonadnya secara hati-hati menggunakan pinset. Untuk memudahkan pengambilan gonad, usus dan organ dalam perut dikeluarkan. Sebagian gonad diletakkan di atas gelas objek kemudian dicincang dengan menggunakan pisau skalpel sampai halus. Kemudian cincangan gonad di atas objek gelas diberi larutan asetokarmin sebanyak 2 tetes. Objek gelas ditutup dengan cover gelas. Gonad siap diamati dibawah mikroskop binokuler dengan pembesaran 40X.

Pengamatan Parameter

1. Kadar senyawa aktif dalam Purwoceng (Pimpinella alpina)

Kadar senyawa aktif dalam purwoceng (Pimpinella alpina) dianalisis dengan menggunakan metode GC:MS (Gas chromatography-mass spectrometry) yang dilakukan di Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. 2. Persentase Ikan Jantan

Perhitungan persentase ikan jantan menggunakan rumus sebagai berikut:

% 100 sampel ikan total ) ( jantan ikan Jumlah Jantan Ikan

Persentase sampel x

  


(34)

3. Kelangsungan Hidup Ikan Uji

Kelangsungan hidup ikan dihitung jumlahnya pada akhir penelitian dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

SR : Kelangsungan hidup selama perlakuan (%) Nt : Jumlah ikan pada akhir perlakuan (ekor) No : Jumlah ikan pada awal perlakuan (ekor) 4. Persentase Ikan Nila Interseks

Pengamatan juga dilakukan terhadap morfologi ikan dan dideskripsikan tingkat kesempurnaannya apabila terdapat ikan-ikan yang cacat kelamin (interseks).

5. Pertumbuhan Ikan Uji

Pengukuran bobot ikan dilakukan setiap minggu untuk perhitungan kebutuhan pakan dan pertumbuhan ikan sendiri. Perhitungan pertumbuhan menggunakan rumus sebagai berikut:

G = (ln Wt –ln Wo) / Δt x 100%

G : Laju pertumbuhan harian individu (%)

Wt : Bobot rata-rata individu pada akhir pemeliharaan (gram) Wo : Bobot rata-rata individu pada awal pemeliharaan (gram)

Δt : Lama waktu pemeliharaan (hari) 6. Kualitas Air

Pengukuran kualitas air meliputi suhu (suhu minimum dan maksimum selama penelitian), DO, dan pH yang dilakukan setiap hari menggunakan termometer, DO-meter, dan kertas lakmus. NH3 diukur setiap minggu

menggunakan spektrofotometer.

Analisis Data

Data persentase ikan jantan, kelangsungan hidup, dan pertumbuhan ikan ditabulasi. Dilakukan analisis kehomogenan, bila data sudah homogen dilakukan

% 100 (%) x No Nt SRt  % 100 sampel ikan total ) ( interseks ikan Jumlah Interseks Ikan

Persentase sampel x

 


(35)

analisis sidik ragam (ANOVA) dengan uji F dan bila berbeda nyata dilakukan uji Duncan. Data yang telah dianalisis disajikan alam bentuk tabel dan grafik yang selanjutnya dibahas sesuai dengan parameter uji yang diamati.

Analisis eksploratif dilakukan terhadap data gonad yang diamati, kadar kandungan senyawa aktif dalam purwoceng, dan kecacatan. Data kualitas air dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel.


(36)

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari penelitian maskulinisasi ikan nila dengan perendaman dalam ekstrak purwoceng diperoleh data utama berupa data persentase ikan nila jantan, kelangsungan hidup, dan pertumbuhan. Selain itu, diperoleh pula informasi hasil pengukuran senyawa aktif yang terdapat di dalam ekstrak purwoceng dan kualitas air sebagai data penunjang.

Persentase Ikan Jantan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan nila yang diberi perlakuan dengan perendaman ekstrak purwoceng menghasilkan ikan nila jantan lebih banyak dibandingkan kontrol (-). Tabel 2 menunjukkan prosentase ikan jantan pada akhir penelitian setelah dilakukan histologi dengan metode asetokarmin;

Tabel 2. Jumlah prosentase (%) ikan nila jantan pada perlakuan perendaman ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam ekstrak purwoceng

Ulangan K (-) MT (+) P10 P20 P30

1 53,33 79,99 63,33 73,33 66,66

2 56,66 76,66 69,99 76,66 66,66

3 46,66 83,33 66,66 69,99 73,33

Rata-rata 52,2 ± 5,09a 80 ± 3,34c 66,7 ± 3,33b 73,3 ± 3,35bc 68,88 ± 3,85b

Secara genetik dalam keadaan normal ikan akan menghasilkan keturunan dengan rasio seks jantan dan betina 50% : 50% (Tave, 1993; Pandian 1999). Rasio seks tersebut dapat diarahkan menjadi mayoritas jantan maupun betina sesuai kepentingan dengan teknik alih kelamin (Tave, 1993; Bearmore et al., 2000; Preferrer, 2001; Zairin, 2003; Desprez et al., 2003). Persentase ikan jantan yang lebih tinggi merupakan indikator keberhasilan dari teknik maskulinisasi pada ikan nila (Zairin, 2003).

Tabel 2 menunjukkan bahwa ada pengaruh perlakuan perendaman larva ikan nila dalam ekstrak purwoceng terhadap persentase ikan nila jantan. Perlakuan perendaman ekstrak purwoceng dengan dosis 10, 20, dan 30 mg/l menghasilkan ikan nila jantan berurut-turut 66,7%, 73,3%, dan 68,9%. Jumlah ikan jantan tersebut lebih tinggi dibandingkan ikan nila kontrol K (-) yang hanya 52,2% namun lebih rendah dari pada kontrol positif (+) dengan perendaman MT dengan


(38)

jumlah 80%. Setelah diuji statistik, jumlah ikan jantan terbukti berbedanyata dibandingkan ikan nila yang tidak diberi perlakuan apapun (Kontrol (-)).

Persentase ikan nila jantan terbanyak terdapat pada kontrol (+) dengan perlakuan MT yang menghasilkan ikan nila jantan sebanyak 80%. Disusul dengan perlakuan perendaman ekstrak purwoceng dengan dosis 20, 10, dan 30 mg dengan hasil ikan nila jantan sebanyak 73,3%, 68,9% dan 66,6%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hasil optimal terdapat pada dosis 20 mg dan kecenderungan menurun pada dosis 30 mg. Hasil tertinggi dengan dosis 20 mg tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan ekstrak tanaman sendrego dengan dosis yang sama yang menghasilkan ikan cupang jantan sebanyak 70,7% (Alfian, 2003). Tingkat keberhasilan teknik alih kelamin akan sangat ditentukan oleh jumlah hormon yang diberikan, lama waktu perlakuan, dan frekuensi perlakuan baik melalui pemberian hormon melalui pakan maupun dengan teknik perendaman (Piferrer, 2001; Devlin dan Nagahama, 2002). Perlakuan maskulinisasi ikan nila dengan teknik perendaman menggunakan hormon MT paling tepat dilakukan pada saat larva baru menetas hingga mendekati masa definitif pembentukan kelamin (Pandian dan Sheela, 1995).

Perubahan rasio seks ikan yang disebabkan oleh pengaruh fitosteroid pernah diteliti oleh Tremblay (1998) melalui studi lingkungan di sungai yang dilalui limbah cair pembuatan pabrik kertas. Lalu ia meneliti kemampuan reseptor untuk mengikat beberapa jenis fitosteroid. Penelitian tersebut membuktikan adanya afinitas (kemampuan mengikat) reseptor terhadap fitosteroid ( -sitosterol, stigmasterol, dan genistein). Bahkan, -sitosterol mampu merangsang produksi vitelogenin pada ikan rainbow trout jantan. Meskipun demikian, afinitas fitosteroid masih lebih rendah dibandingkan hormon steroid dari hewan maupun hormon sintetik. Lebih lanjut Hewitt (2008) mengatakan bahwa limbah cair pabrik kertas dapat menyebabkan gangguan metabolisme pada ikan, pengecilan pada organ reproduksi, gangguan sistem endokrin, dan mengurangi produksi telur. Hou (2011) mengungkapkan bahwa adanya maskulinisasi populasi ikan betina mosquitofish (Gambusia affinis) di sungai Dengcun, China akibat paparan limbah cair pabrik kertas.


(39)

Gambar 4. Jaringan gonad ikan nila 1. betina 2. jantan dan 3. intersex. *Keterangan : a. bakal sel betina dan b. bakal sel jantan.

Meningkatnya jumlah ikan jantan dalam penelitian ini diduga akibat adanya senyawa stigmasterol dalam ekstrak purwoceng. Senyawa stigmasterol mempunyai daya ikat pada reseptor sehingga mempengaruhi sistem endokrin ikan. Daya ikat stigmasterol pada reseptor akibat adanya kemiripan antara struktur molekul stigmasterol dengan kolesterol dan hormon androgen (Tremblay dan Van der Kraak, 1998). Senyawa stigmasterol dan -sitosterol yang terdapat dalam limbah cair bubur kertas diduga mempengaruhi nisbah kelamin pada berbagai ikan di sungai yang dilalui limbah cair bubur kertas (Hawit et al., 2008).

Selain gonad jantan dan betina, dalam perlakuan perendaman ekstrak purwoceng dan MT juga didapati gonad dengan status intersex, dimana dalam


(40)

satu gonad terdapat bakal sel jantan (sperma) dan bakal sel betina (ovum) (Gambar 4). Hampir pada setiap perlakuan alih kelamin terdapat ikan yang kelaminnya intersex. Pada penelitian ini terdapat 13,3% ikan berstatus intersex pada perlakuan perendaman ekstrak purwoceng sebanyak 20 mg/l (Tabel 3). Pada penelitian Muslim (2010) terdapat sebanyak 8,3% ikan nila intersex dengan pemberian tepung testis sapi dalam pakan. Iskandar (2010) mendapati 7,8% ikan intersex dengan perlakuan perendaman ekstrak testis sapi pada ikan nila. Pada ikan Pomoxis nigromaculatus terdapat 23% ikan dengan status intersex (Arslan, 2004). Gangguan pada organ reproduksi juga terjadi pada ikan kakap Eropa (Dicentrarchus labrax) pada usia dewasa setelah perendaman dengan hormon MT yang mencapai 11% ikan intersex (Chatain, 1999). Menurut Zairin (2002), ikan intersex merupakan penyimpangan pembentukan kelamin akibat dosis hormon atau lama perlakuan yang kurang tepat pada saat perlakuan. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencari dosis dan lama perlakuan optimum dalam perlakuan alih kelamin untuk meningkatkan populasi jantan dan mengurangi ikan intersex.

Tabel 3. Jumlah prosentase (%) ikan nila intersex pada perlakuan perendaman ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam ekstrak purwoceng

Ulangan K (-) MT (+) P10 P20 P30

1 0 9,99 9,99 9,99 9,99

2 0 9,99 0 16,66 13,33

3 0 3,33 16,66 13,33 13,33

Rata-rata 0 7,8 ± 3,85ab 5.6 ± 8,38a 13,3 ± 3,34b 12,22 ± 1,93b

Pembentukan kelamin pada ikan nila dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor genetik, lingkungan, dan steroid eksogenus (Devlin dan Nagahama, 2002). Secara normal, faktor genetik akan membentuk kelamin ikan menjadi jantan dan betina dengan perbandingan 50% : 50% tanpa dipengaruhi faktor eksternal, namun set kromosom kelamin tersebut dapat dimanipulasi untuk mendapatkan jenis kelamin tertentu dengan teknik ginogenesis maupun androgenesis (Tave, 1993). Hasil penelitian Rougeot et al (2005), teknik ginogenesis dapat menghasilkan 100% populasi ikan betina pada ikan Perca fluviatilis dengan kondisi lingkungan alamiah.


(41)

Pada masa diferensiasi pembentukan kelamin akan dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal. Faktor lingkungan merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi rasio seks, terutama temperatur. Temperatur yang rendah pada kisaran <20oC akan mengarahkan ikan mas (Carassius auratus) menjadi mayoritas betina hingga mencapai 100% sedangkan pada temperatur yang semakin tinggi sekitar 30oC akan mengarahkan ikan mas menjadi jantan hingga mencapai 93% (Goto-Kazeto, 2006). Pada hasil penelitian Colburn et al (2009), peningkatan temperatur dapat meningkatkan populasi jantan Paralichthys dentatus. Penelitian tersebut menghasilkan 100 jantan XX pada temperatur 26 C0.

Pada penelitian ini, temperatur tidak mempengaruhi rasio seks ikan nila dimana temperatur berada pada kisaran 26,5 – 27,5oC. Hal tersebut terbukti dengan hasil histologi asetokarmin yang menyatakan jumlah ikan jantan berjumlah 52,2% pada ikan kontrol (-) yang tidak diberikan perlakuan apapun. Angka tersebut tidak berbeda jauh dengan penelitian Muslim (2010) dan Iskandar (2010) yang masing-masing terdapat 55% dan 55,6% ikan nila jantan pada kisaran suhu 27-30oC. Demikian pula hasil penelitian Goto-Kazeto (2006) yang menyatakan ikan mas jantan kontrol berjumlah 53,5% pada temperatur 25oC.

Faktor yang paling berpengaruh terhadap perubahan rasio seks ikan secara fenotip adalah hormon steroid baik yang bersifat androgenik maupun estrogenik (Pandian, 1999 ; Piferrer, 2001 ; Devlin dan Nagahama, 2002 ; Zairin, 2003).

Hormon yang paling sering digunakan untuk maskulinisasi adalah 17α-MT dan untuk feminisasi digunakan estradiol (Beardmore, 2001). Menurut Pandian dan Kirankumar (2003), penggunaan hormon 17α-MT untuk produksi ikan jantan telah dibatasi dan ikannya dilarang masuk ke pasar Eropa karena kekhawatiran adanya residu hormon dalam tubuh ikan maupun diperairan. Oleh karena itu, dengan adanya hasil yang positif dari penggunaan ekstrak purwoceng dengan teknik perendaman maka purwoceng dapat digunakan sebagai pengganti hormon

17α-MT untuk kegiatan maskulinisasi ikan nila.

Kelangsungan Hidup Ikan Nila

Kelangsungan hidup merupakan salah satu parameter yang sangat penting dalam perlakuan maskulinisasi ikan nila sebagai indikator apakah bahan yang


(42)

dipakai memiliki efek negatif yang dapat menyebabkan kematian atau tidak. Data kelangsungan hidup hasil penelitian disajikan pada Tabel 4;

Tabel 4. Rata-rata persentase kelangsungan hidup ikan nila pada perlakuan perendaman ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam ekstrak purwoceng

DOSIS Keterangan

Perendaman pertama

Perendaman

kedua Akhir penelitian Kontrol (-) 100 99,67 83 ± 7,0a

MT (+) 100 99 86,67 ± 4,5a

P10 100 97,67 88,33 ± 4,9a

P20 100 98,67 83,33 ± 4,5a

P30 100 98,33 84,67 ± 6,4a

Kelangsungan hidup ikan nila pada akhir penelitian berkisar antara 83% pada perlakuan kontrol (-) hingga 88,33%.pada perlakuan perendaman ekstrak purwoceng 10 mg/l sedangkan kelangsungan hidup terendah terjadi pada ikan kontrol (-) sebanyak 83% dari total populasi 100 ekor sejak perendaman awal. Kelangsungan hidup yang tinggi ini didukung oleh parameter kualitas air budidaya yang optimal bagi ikan nila.

Data kelangsungan hidup ikan nila saat penelitian menunjukkan bahwa perendaman ikan nila dengan ekstrak purwoceng maupun MT tidak menyebabkan kematian pada ikan nila. Hal ini dapat dilihat pada perendaman pertama dengan prosentase larva ikan nila yang hidup mencapai 100%. Hingga akhir penelitian kelangsungan hidup ikan masih cukup tinggi. Hal tersebut selaras dengan penelitian Iskandar (2010) yang melakukan maskulinisasi dengan ekstrak testis sapi dengan kelangsungan hidup 83,3% - 89,7%. Kelangsungan hidup rata-rata ikan nila setelah perlakuan 11 -hydroxyandrostenedione (11 OHA4) sebanyak 82,3% pada akhir pemeliharaan (Desprez, 2003).

Kelangsungan hidup ikan pada saat pemeliharaan sangat ditentukan oleh kualitas air yang optimal bagi ikan nila. Dalam penelitian ini kualitas air berada pada kisaran optimum baik temperatur, pH, ammonia, dan kandungan oksigen terlarut (Tabel 6). Selain itu, kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan juga akan menentukan kelangsungan hidup ikan. Pakan yang diberikan juga berkualitas


(43)

baik dengan kadar protein 38%. Pakan diberikan sekenyangnya dengan frekuensi pemberian 3 hingga 4 kali per hari.

Pertumbuhan Ikan Nila

Pertumbuhan merupakan salah satu parameter penting untuk mengetahui keadaan fisiologis ikan setelah perlakuan perendaman eksrak purwoceng dan MT. Hasil pengamatan pertumbuhan ikan nila selama penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 5. Bobot ikan nila pada akhir pemeliharaan (g) pada perlakuan perendaman ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam ekstrak purwoceng

Ulangan K (-) MT (+) P10 P20 P30

1 6.87 7.97 8.24 7.8 8.37

2 6.05 7.9 8.07 7 7.58

3 7.92 8.36 8.31 7.08 7.74

Rata-rata 6,9 ± 0,94a 8,1 ± 0,25b 8,2 ± 0,12b 7,3 ± 0,44ab 7,9 ± 0,42ab

Tabel 5 diatas terlihat bahwa ikan nila yang diberi perlakuan perendaman ekstrak purwoceng dan MT memiliki bobot akhir yang lebih besar dibandingkan dengan ikan kontrol yang tidak diberi perlakuan. Bobot akhir ikan nila yang paling besar terdapat pada perlakuan P10, disusul secara berurutan pada perlakuan MT, P30, P20 dan Kontrol (-). Namun, setelah diuji secara statistik setiap kelompok tidak memberikan perbedaan yang nyata dari setiap perlakuan perendaman (p<0,05) terhadap peningkatan bobot akhir ikan. Menurut Dunham (2004), hormon androgen mempunyai sifat anabolik maupun katabolik yang berhubungan dengan pertumbuhan ikan setelah perlakuan. Phelps dan Popma (2000), mengatakan bahwa hormon androgen mempunyai dua aksi fisiologis; (1) bersifat androgenik, dimana pertumbuhan didorong oleh karakter jantan yang terbentuk pada ikan: dan (2) bersifat anabolik, dimana hormon androgen menstimulasi biosintesis protein di dalam tubuh ikan. Pertumbuhan ikan sendiri harus didukung oleh kondisi lingkungan yang optimal dan pemberian pakan yang cukup.

Pertumbuhan ikan nila pada awalnya sama. Namun pada saat mencapai kedewasaan, ikan nila betina mengalami perlambatan pertumbuhan akibat adanya


(44)

tingkah laku seksual dan perkembangan gonad untuk bereproduksi. Begitu juga ikan nila jantan akan mengalami perlambatan pertumbuhan akibat tingkah laku seksual apabila dipelihara secara campuran antara jantan dan betina dalam media pemeliharaan yang sama (Pandian dan Sheela, 1999; Phelps dan Popma 2000; Zairin, 2003). Oleh karena itu, pemeliharaan ikan nila jantan berkelamin tunggal (monosek) sangat penting untuk meningkatkan biomassa dan keseragaman ukuran ikan nila pada saat pemanenan.

Kadar Senyawa Stigmasterol Dalam Ekstrak Purwoceng

Dahulu steroid dianggap hanya terdapat pada hewan, namun beberapa tahun terakhir senyawa tersebut makin banyak ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi (Harborne, 2006). Jenis tumbuhan yang mengandung fitosteroid diantaranya adalah purwoceng (Taufiqurrahman, 2005), sendrego (Alfian, 2003), kacang kuning, sipata-pata (Sabri, 2011), dan beberapa tanaman lainnya. Kebanyakan steroid yang ditemukan pada tumbuhan adalah fitoestrogen sedangkan yang bersifat androgenik jauh lebih sedikit jumlahnya. Purwoceng merupakan salah satu yang mempunyai sifat androgenik. Stigmasterol adalah salah satu senyawa fitoandrogen yang terdapat dalam ekstrak purwoceng. Hasil analisis GC;MS purwoceng mengandung bahan aktif stigmasterol sebanyak 5,38%. Stigmasterol mempunyai sifat androgenic-like, yaitu senyawa yang mempunyai sifat yang sama dengan hormon androgen yang diduga akan mempengaruhi nisbah kelamin ikan nila.

Menurut Sabri (2011), penggunaan fitoestrogen dapat meningkatkan kepadatan tulang akibat dari terikatnya fitoestrogen oleh reseptor-estrogen sehingga menyebabkan adanya fungsi yang sama dengan hormon estrogen. Hal tersebut dikuatkan oleh Trembley dan Van der Kraak (1998), menyatakan bahwa adanya afinitas (kemampuan mengikat) fitosteroid oleh reseptor sehingga menimbulkan efek yang sama dengan hormon yang terdapat pada hewan. Afinitas fitosteroid tersebut pernah dicoba terhadap beberapa senyawa, diantaranya adalah stigmasterol, -sitosterol, dan genestein. Meskipun mempunyai daya afinitas terhadap reseptor namun afinitas fitosterod lebih lemah dibandingkan steroid yang terdapat pada hewan (Tramblay dan Van der Kraak, 1998).


(45)

Tanaman purwoceng telah digunakan sejak lama sebagai tanaman afrodisiaka dalam bentuk jamu tradisional (Gunawan, 2002). Penggunaan ekstrak purwoceng pada tikus mampu meningkatkan kadar hormon testesteron dalam darah, LH (luteinizing hormone), dan FSH (follicle-stimulating hormone), serta dapat meningkatkan kemampuan seksual pada tikus jantan (Taufikurrahman dan Wibowo, 2005). Tanaman sendrego dan pasak bumi juga mempunyai fungsi yang sama (Alfian, 2003; Taufikurrahman dan Wibowo, 2005). Bahkan sendrego dapat digunakan sebagai bahan untuk maskulinisasi ikan cupang yang dapat mencapai 70,3% ikan cupang jantan (Alfian, 2003). Pada limbah cair bubur kertas juga

terdapat fitosteroid berupa -sitosterol dan stigmasterol yang mempunyai sifat androgenik yang dapat mempengaruhi rasio seks ikan dan mengganggu fungsi gonad ikan mosquito (Orlando, 2007).

Kualitas Air

Kualitas air selama penelitian disajikan pada Tabel 6:

Tabel 6. Kualitas air selama penelitian pada perlakuan perendaman ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam ekstrak purwoceng

Parameter Satuan Hasil pengukuran

Kisaran yang layak menurut referensi (Popma dan Lovshin (1999))

DO mg/l 6,87 – 7,87 >5

Temperatur oC 26,5 – 27,5 6,5-8,5

pH Unit 7,23 – 7,45 25-30

Amoniak mg/l 0,109 – 0.196 <0,2

Pertumbuhan dan kehidupan ikan sangat dipengaruhi oleh temperature (Kordi dan Tancung, 2007). Kualitas air yang menjadi media hidup ikan penelitian berada pada batasan optimum untuk kehidupan ikan nila. Pada saat penelitian temperatur berada pada kisaran 26,5 – 27,5 0C. Menurut Amri el al., (2008), ikan nila dapat hidup secara maksimal pada kisaran suhu 25 – 38 0C. Sedangkan menurut Suresh (2005), temperatur optimal bagi pertumbuhan ikan nila berkisar 26 – 32 0C.


(46)

Kandungan oksigen terlarut pada saat penelitian 6,87 – 7,87 ppm. Sedangkan kadar oksigen optimal yang dibutuhkan oleh ikan nila >3 ppm (Suresh, 2005). Kandungan oksigen terlarut yang tinggi disebabkan aerasi yang optimal dalam akuarium. Total ammonia 0,109 – 0.196 mg/l dan pH 7,23 – 7,45 saat penelitian berlangsung. Kadar ammonia optimal <0,2 dan pH 6,5 – 8,5. Keseluruhan kualitas air pada saat penelitian berada pada kisaran layak.

Salah satu parameter kualitas air yang sangat mempengaruhi rasio seks ikan adalah temperatur (Zairin, 2003; Devlin dan Nagahama, 2002; Goto-Kazeto, 2006). Pada temperatur yang tinggi akan menyebabkan arah kelamin menjadi jantan sedangkan pada temperatur rendah umumnya akan mengarah menjadi betina (Goto-Kazeto, 2006). Sejak stadia embrio temperatur telah mempengaruhi seks rasio maupun perkembangan ikan (Devlin dan Nagahama, 2002). Pada suhu 15oC populasi ikan mas (Carassius auratus) betina dapat mencapai 94,6%, pada suhu 23oC populasi betina berada pada kisaran normal, berjumlah 46,6% dan pada suhu dan pada temperatur 30oC populasi jantan dapat mencapai 92,3% (Goto-Kazeto, 2006). Menurut Pillay (1981), peningkatan temperatur dapat meningkatkan jumlah ikan jantan dan pada fase dewasa dapat meningkatkan hormon testesteron dan 11-ketotestesteron.


(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pengarahan kelamin ikan nila dengan teknik perendaman larva dalam larutan ekstrak purwoceng memberikan pengaruh yang nyata terhadap maskulinisasi ikan nila. Hasil terbaik ditunjukkan oleh perlakuan perendaman dengan konsentrasi 20 mg/l yang dapat menghasilkan ikan jantan sebanyak 73,3%.

Saran

Pemanfaatan ekstrak purwoceng dapat digunakan sebagai bahan alternatif untuk maskulinisasi ikan nila sebagai pengganti hormon sintetik karena jumlahnya yang terbatas, harganya mahal, dan sudah mulai dilarang masuk ke pasar Eropa.


(48)

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Agusta A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. ITB. Bandung Alfian M.Z. 2003. Pengaruh pemberian ekstrak kayu sandrego (Lunasia amara

Blanco) terhadap produksi ikan cupang jantan (Betta splendens). Skripsi. Program studi budidaya perairan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Amri K dan Khairuman. 2008. Buku Pintar Budidaya Ikan Konsumsi. Penebar

Swadaya. Jakarta.

Andersen L. Goto-Kazeto R., Trant J.M., Nash J.P., Korsgaard B., and Bjerregaard P. 2006. Short-term exposure to low concentrations of the synthetic androgen methyltestosterone affects vitellogenin and steroid levels in adult male zebrafish (Danio rerio). Aquatic Toxicology 76 (2006) 343–352

Anonimous, 2011. http://www.purwoceng.org/

Arslan T dan Phelps R.P. 2004. Production of monosex male black crappie, Pomoxis nigromaculatus, populations by multiple androgen immersion. Aquaculture 234 : 561–573

Bearmore J.A., Mair G.C., dan Lewis R.I. 2000. Monosex male production in finfish as exemplified by tilapia: applications, problems, and prospects. Aquaculture 197 : 283-301

Biswas A.K, Morita T, Yoshizaki G, Maita M, dan Takeuchi T. 2004. Control of reproduction in Nile tilapia Oreochromis niloticus (L.) by photoperiod manipulation. Aquaculture 243 : 229 – 239.

Chatain B, Saillant E, dan Peruzzi S. 1999. Production of monosex male populations of European seabass, Dicentrarchus labrax L. by use of the

synthetic androgen 17α-methyldehydrotestosterone. Aquaculture 178 : 225–234.

Colburn H.R, Nardi G.C, Borski R.J, dan Berlinsky D.L. 2009. Induced meiotic

gynogenesis and sex differentiation in summer flounder (Paralichthys

dentatus). Aquaculture 289; 175–180.

Cseke L.J, Kirakosyan A, Kaufman P.B, Warber S.L, Duke J.A, Brielmann H.L. 2006. Natural Products from Plants. Second edition. CSR. London.


(50)

De-Eknamkul W and Potduang B. 2003. Biosynthesis of b-sitosterol and stigmasterol in Croton sublyratus proceeds via a mixed origin of isoprene units. Phytochemistry 62: 389–398.

Desprez D., Geraz E., Hoareau M.C., Melard C., Bosc P., and Baroiller J.F. 2003. Production of a High Persentage of Male Offspring with a Natural

Androgen, 11 -Hydroxyandrostenedione (11 Βoha4), in Florida Red Tilapia. Aquaculture 216 : 55-65.

Devlin R.H dan Nagahama Y. 2002. Sex determination and sex differentiation in fish: an overview of genetic, physiological, and environmental inf luences. Aquaculture 208: 191–364

Djojosoebagio S. 1996. Fisologi Kelenjar Endokrin. UI-Press.

Gunawan D. 2002. Ramuan Tradisional untuk Keharmonisan Suami Istri. Penebar Swadaya.

Goto-Kazeto R., Abe Y., Masai K., Yamaha E., Adachi S., and Yamauchi K. 2006. Temperature-dependent sex differentiation in goldfish: Establishing the temperature-sensitive period and effect of constant and fluctuating

water temperatures. Aquaculture 254 : 617–624

Harborne J. B. 2006.Metode Fitokimia. ITB. Bandung.

Herbert R.B. 1995. Biosynthesis Metabolit Sekunder. IKAPI Semarang.

Hewit L.M., Kovacs T.G., Dubes M.G., Maclatchy D.L., Martel P.H., Mcmaster M.E., Paice M.G., Parrott J.L., Heuvel M.R.V.D and Van der Kraak G.L. 2008. Altered reproduction in fish exposed to pulp and paper mill effluents: roles of individual compounds and mill operating conditions. Environmental Toxicology and Chemistry, Vol. 27, No. 3, pp. 682–697. Iskandar A. 2010. Efektifitas Ekstrak Tepung Testis Sapi dalam Alih Kelamin

Ikan Nila Oreochromis niloticus Melalui Teknik Perendaman. Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Kordi M.G.H.K dan Tancung A.B. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta. Jakarta.

Mair G.C., Abucay J.S., Beardmore J.A., Skibinski D.O.F., 1995. Growth performance trials of genetically male tilapia ŽGMT. derived from YY


(51)

-males in Oreochromis niloticus L.: on station comparisons with mixed sex and sex reversed male populations. Aquaculture 137, 313–324.

Murray R.K, Granner D.K, Rodwell V.W. 2006. Biokimia Harper. EGC. Jakarta Muslim. 2010. Maskulinisasi Ikan Nila Oreochromis niloticus dengan Pemberian

Tepung Testis Sapi. Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Orlando E.F., Bass D.E., Caltabiano L.M., Davis W.P., Gray L.E.Jr., and Guillette L.J.Jr. 2007. Altered development and reproduction in mosquitofish exposed to pulp and paper mill effluent in the Fenholloway River, Florida USA. Aquatic Toxicology 84 : 399–405.

Pandian T.J. 1999. Sex Determination and Differentiation in Teleosts. In Karunasagar I, Indrani K, Alan R : Aquaculture and Biotechnology. Science Publisher, Inc. USA.

Pandian T.J dan Kirankumar. 2003. Recent Advances in Hormonal Induction of Sex-Reversal in Fish. Di dalam: Jana B.B dan Webster C.D, (Editor). Sustainable Aquaculture: Global Pespectives. New York: Food Product Press; 2003. hlm 205-230.

Parks L.G., Lambright C.S., Orlando., E.F., Guillette L.J.Jr., Ankleys G.T., and Gray L.E.Jr. 2001. Masculinization of Female Mosquitofish in Kraft Mill Effluent-Contaminated Fenholloway River Water Is Associated with Androgen Receptor Agonist Activity. Toxicological sciences . 62; 257– 267.

Piferrer F. 2001. Endocrine sex control strategies for the feminization of teleost fish. Aquaculture 197 : 229–281.

Phelps R.P. dan Popma T.J. 2000. Sex Reversal of Tilapia. Pages 39 – 59 in B.A. Costa-Pierce and J.E. Rakocy, eds. Tilapia Aquaculture in the Americas, Vol. 2. The World Aquaculture Society, Baton Rouge, Louisiana, United States.

Pillay T.V.R. 1981. Reproductive Physiology of Teleost Fishes: A Review of Present Knowledge and Needs for Future Research. UNDP and FAO. Phillay T.V.R dan Kutty M.N. 2005. Aquaculture Principles and Practices.


(52)

Popma T.J dan Lovshin L.L. 1999. Worldwide Prospect for Commercial Production of Tilapia. Research and Development Series No.41. International Center for Aquaculture and Aquatic Enveronment. Department of Fisheries and Allied Aquculture Auburn University. Alabama. USA.

Rougeot C, Ngingo J.V, Gillet L, Vanderplasschen A, dan Me´lard C. 2005. Gynogenesis Induction and Sex Determination in the Eurasian Perch, Perca fluviatilis. Aquaculture 243; 411 – 415.

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Bina Cipta. Bandung.

Sabri M. 2011. Aktivitas Ekstrak Etanol Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangular Salisb) Sebagai Antiosteoporosis Pada Tikus (Rattus norvegicus).

Suresh V. 2005. Tilapias. Dalam Aquaculture Farming Aquatic Animals and Plants. Editor; Lucas J.S dan Southgate P.C. Blackwell Publishing.

Taufiqurrachman and Wibowo. 2005. Effect of purwoceng (Pimpinella alpina) extract in stimulating testosterone, luteinizing hormone (LH) and follicle stimulating hormone (FSH). in sprague dawley male rats. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII – Bogor.

Tave D. 1993. Genetic For Fish Hatchery Managers. Second Edition. Van Nostrand Reinhold. New York, USA.

Tremblay L. dan Van Der Kraak G. 1998. Use of a series of homologous in vitro and in vivo assays to evaluate the endocrine modulating actions of -sitosterol in rainbow trout. Aquatic Toxicology 43; 149–162.

Vickery M.L, dan Vickery B. 1981. Secondary Plant Metabolism. The Macmillan Press LTD. London.

Winars H. 2005. Isoflavon. Gajah Mada University Press. Yokyakarta

Zairin Jr. M. 2002. Sek Reversal : Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Penebar Swadaya. Jakarta.

Zairin Jr. M. 2003. Endokrinologi dan Peranannya Bagi Masa Depan Perikanan Indonesia. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Fisiologi Reproduksi dan Endokrinologi Hewan Air. Institut Pertanian Bogor.


(53)

Lampiran 1. Prosedur analisis bahan aktif purwoceng dengan metode GC-MS

Analisis bahan aktif tanaman purwoceng menggunakan metode GC-MS (Chromatography-Mass Spectrophotometry) dilakukan di Laboratorium Pemeriksaan Doping dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta.

Alat Gas Chromatography (Agilent Technologies) dengan panjang Column Capillary (Innowax) 30 m, diameter 0,25 mm, film thnkness 0,25 µm. Temperatur inlet diatur pada 250 0C dan dengan menggunakan gas pembawa helium. Prosedur pengujian diawali dengan mengatur temperatur oven dengan temperature awal 130 0C selama 2 menit, kemudian dinaikkan 60C/menit menjadi 170 0C selama 2 menit, 3 0C/menit sampai mencapai 2150C selama 1 menit, dan dinaikkan lagi 400C/menit menjadi 2500C selama 10 menit. Waktu ranning yang dibutuhkan adalah 20 menit dengan aliran tetap (constant flow) pada 1.5 µl/menit. Volume yang diinjeksikan sebanyak 5µg dengan perbandingan aliran 1 : 100 dihubungkan dengan auto sampler Mass Selective Detector (Agilent 5973, electron impact (IE)) dan Chemstation data system. Suhu sumber ion 2300C dan suhu interface 2800C serta suhu quadrupole adalah 1400C. Komponen terdeteksi berdasarkan waktu retensi puncak kromagram (% puncak area) dan spectra mass.


(54)

Lampiran 2. Data dan uji statistik jumlah dan prosentase jenis kelamin ikan nila

Perlakuan Ulangan

∑ Sampel ∑ Jantan ∑ intersex ∑ Betina Prosentase (%) Jantan Intersex Betina

1 30 16 0 14 53.28 0 46.62

K (-) 2 30 17 0 13 56.62 0 43.29

3 30 14 0 16 46.62 0 53.28

Total 90 47 0 43 156.52 0 143.19

Rata-rata 30 15.,67 0 14,33 52,17 47,73

1 30 24 3 3 79.92 9.99 9.99

MT (+) 2 30 23 3 4 76.59 9.99 13.32

3 30 25 1 4 83.25 3.33 13.32

Total 90 72 7 11 239.76 23.31 36.63

Rata-rata 30 24 2,33 3,67 79,92 7,77 12,21

1 30 19 3 8 63.27 9.99 26.64

P10 2 30 21 0 9 69.93 0 29.97

3 30 20 5 5 66.6 16.65 16.65

Total 90 60 8 22 199.8 26.64 73.26

Rata-rata 30 20 2,67 7,33 66,6 8,88 24,42

1 30 22 3 5 73.26 9.99 16.65

P20 2 30 23 5 2 76.59 16.65 6.66

3 30 21 4 5 69.93 13.32 16.65

Total 90 66 12 12 219.78 39.96 39.96

Rata-rata 30 22 4 4 73,26 13,32 13,32

1 30 20 3 7 66.6 9.99 23.31

P30 2 30 20 4 6 66.6 13.32 19.98

3 30 22 4 4 73.26 13.32 13.32

Total 90 62 11 17 206.46 36.63 56.61

Rata-rata 30 20,67 3,67 5,67 68,82 12,21 18,87

Ulangan K (-) MT (+) P10 P20 P30 1 53,33 79,99 63,33 73,33 66,66 2 56,66 76,66 69,99 76,66 66,66 3 46,66 83,33 66,66 69,99 73,33 Rata-rata 52,22 80% 66,66 73,33 68,88


(55)

ANOVA ikan nila jantan

ANOVA Sumber

Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat

Tengah F hitung F tabel Perlakuan 1271.009 4 317.752 21,443 3,48

Galat 148.185 10 14.819

Total 1419.194 14

Intersex

Ulangan K (-) MT (+) P10 P20 P30

1 0 9,99 9,99 9,99 9,99

2 0 9,99 16,66 13,33

3 0 3,33 16,66 13,33 13,33 Rata-rata 0 7,77 5,55 13,33 12,22

ANOVA ikan nila intersex Sumber

Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat

Tengah F hitung F tabel

Perlakuan 330.065 4 82.516 4,129 3,48

Galat 199.867 10 19.987


(56)

Lampiran 3. Data dan analisis kelangsungan hidup ikan nila

Kelangsungan hidup setelah perendaman pertama

DOSIS ULANGAN

1 2 3

Control 100 100 100

MT 100 100 100

10 100 100 100

20 100 100 100

30 100 100 100

Kelangsungan hidup setelah perendaman kedua

DOSIS ULANGAN

1 2 3

Control 100 100 99

MT 98 100 99

10 98 98 97

20 100 97 99

30 97 98 100

Kelangsungan hidup ikan nila pada akhir penelitian Ulangan K (-) MT (+) P10 P20 P30

1 90 82 86 83 80

2 83 87 85 88 82

3 76 91 94 79 92

Rata-rata 83 86,67 88,33 83,33 84,67

Kelangsungan hidup rata-rata

DOSIS Keterangan

Perendaman pertama Perendaman kedua Akhir penelitian

Control (-) 100 99,67 83

MT (+) 100 99 86,67

10 100 97,67 88,33

20 100 98,67 83,33


(57)

ANOVA Kelangsungan hidup Sumber

Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat

Tengah F hitung F tabel

Perlakuan 61.733 4 15.433 0,497 3,48

Galat 310.667 10 31.067


(58)

Lampiran 4. Data dan uji statistik pertumbuhan ikan nila

Ulangan K (-) MT (+) P10 P20 P30

1 6,87 7,97 8,24 7,8 8,37

2 6,05 7,9 8,07 7 7,58

3 7,92 8,36 8,31 7,08 7,74

Rata-rata 6,94 8,08 8,21 7,29 7,90

ANOVA pertumbuhan ikan nila Sumber

Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat

Tengah F hitung F tabel

Perlakuan 3.507 4 0,877 3,311 3,48

Galat 2.648 10 0,265


(59)

Immersion Technique in Purwoceng (Pimpinella alpina) Extract. Under direction of Muhammad Zairin Junior and Harton Arfan.

Masculinization of in nile tilapia is very important in controlling reproduction and obtaining gender that have faster growth. Synthetic steroids which are commonly used to masculinize but has potential hazards and not recommended for aquaculture. The use of natural product is a potential alternative to be explored, especially from plant. The objective of this study was to determine the effect of immersion nile tilapia larval in extract of purwoceng in masculinizing nile tilapia. Doses used in this study are 10, 20, 30 mg/l of purwoceng extract with two control groups those are using 500 µg/l 17α -methiltestesterone and no immersion in purwoceng extract. Exposing 8h on 4 and 7 days post-hatching in extract of purwoceng and 17α-metiltestesterone, resulted in significantly skewed sex ratio of 73,3% males by immersion in 20 mg/l.

Synthetic androgen, 17α-methiltestesterone gave better result than extract of purwoceng in this study. Further study on extract of purwoceng is needed to observe the best limit of short-time immersion and to find the best result in sex ratio.

Key word : masculinization, nile tilapia (Oreochromis niloticus), exstract of purwoceng (Pimpinella alpina)


(60)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan ekonomis tinggi yang telah lama dikenal oleh masyarakat dan telah dibudidayakan secara masal. Ikan nila sangat cepat mencapai kedewasaannya sehingga asupan energi yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan dalam bentuk daging dan pertambahan biomasa digunakan sebagai perkembangbiakannya (Ronald dan Thomas, 2000). Budidaya monoseks menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan ini karena memungkinkan ikan tumbuh seragam, dapat mencapai ukuran besar, tidak bereproduksi liar di kolam budidaya dan mengurangi tingkah laku keinginan seksual (Biswas et al, 2004). Budidaya monoseks telah terbukti efisien dalam memproduksi ikan nila dan dapat memperbaiki pertumbuhan biomassa ikan nila (Ronald dan Thomas, 2000; Phillay dan Kutty, 2005). Selisih biomassa ikan antara nila monosek dengan yang tidak saat panen dapat mencapai 30-50% (Mair et al., 1995).

Salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan ikan monoseks jantan adalah dengan menggunakan hormon androgen. Hormon yang telah umum dipakai untuk jantanisasi adalah 17α-metiltestesteron (17α-MT) (Zairin, 2003). Namun saat ini penggunaan 17α-MT telah dibatasi karena dikhawatirkan meninggalkan residu, baik di ikan maupun di perairan (Pandian dan Kirankumar, 2003). Oleh karena itu perlu dicari bahan alternatif yang lebih aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Pemberian hormon alamiah telah terbukti berhasil, seperti 11β -Hydroxyandrostenedione dengan dosis 40 atau 50 mg dapat menjantankan ikan nila (Oreochromis niloticus) hingga 98% (Desprez et al., 2003). Pada penelitian Muslim (2010), maskulinisasi menggunakan 6% tepung testis sapi per kilogram pakan mampu meningkatkan ikan nila jantan hingga 83%. Ekstrak tepung testis sapi sebanyak 5 ml/liter mampu meningkatkan jumlah ikan nila jantan hingga 85,6% (Iskandar, 2010).

Dulu steroid dianggap hanya terdapat pada hewan sebagai hormon kelamin namun beberapa tahun terakhir makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan di tumbuhan yang disebut fitosteroid (Vickery dan Vickery, 1981; Harborne,


(61)

2006; Cseke et.al, 2006). Hormon ini dapat menggantikan steroid sintetik. Struktur molekul yang mirip antara isoflafonoid dan estrogen menyebabkan reseptor mampu berikatan dengan reseptor estrogen sehingga senyawa ini juga disebut sebagai estrogen like (Tremblay dan Van Der Kraak, 1998).

Maskulinisasi menggunakan fitoandrogen untuk maskulinisasi pernah diteliti oleh Alfian (2003), menggunakan ekstrak kayu sandrego (Lunasia amara Blanco) pada ikan cupang (Betta splendens). Penelitian tersebut menggunakan ekstrak sendrego yang dicampurkan kedalam pakan sebanyak 20 mg/kg pakan yang dapat menghasilkan hingga 70,7% jantan.

Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tumbuhan afrodisiaka (Gunawan, 2002). Pada umumnya tanaman yang mempunyai khasiat afrodisiaka mengandung senyawa yang berkaitan dengan fitosteroid misalnya stigmasterol atau senyawa lainnya yang berkhasiat meningkatkan kualitas seksual, memperkuat tubuh dan memperlancar peredaran darah. Oleh karena itu perlu dilakukan penyelidikan pengaruh purwoceng terhadap diferensiasi seks terutama yang bersifat androgenik.

Rumusan Masalah

Peredaran hormon 17α-metiltestesteron telah dibatasi karena dikhawatirkan meninggalkan residu, baik di ikan maupun perairan. Selain itu, produksi ikan monoseks menggunakan hormon 17α-metiltestesteron dilarang masuk ke pasar Eropa (Pandian dan Kirankumar, 2003), sehingga perlu dicari bahan alternatif untuk maskulinisasi. Salah satu cara yang bisa di lakukan adalah dengan bahan alamiah yang berasal dari tanaman yang bersifat androgenik diantaranya adalah menggunakan tanaman purwoceng.

Selama ini purwoceng digunakan sebagai obat kuat kaum laki-laki atau disebut dengan istilah afrodisiaka. Tanaman purwoceng mampu meningkatkan kadar hormon testesteron, LH (luteinizing hormone), dan FSH ( follicle-stimulating hormone). Diduga tanaman purwoceng mengandung fitosteroid, terutama stigmasterol yang mampu memberikan efek androgenik (Taufikurrahman, 2004). Fitosteroid yang paling umum ditemukan dalam tanaman


(62)

dapat meningkatkan vitelogenesis pada ikan betina rainbow trout dan pada ikan jantan yang diberi perlakuan -sitosterol. Sel hati ikan jantan tersebut mampu menghasilkan vitelogenin (Tremblay dan Van der Kraak, 1998). Selain itu, dalam penelitian Parks et al (2001), dilaporkan bahwa fitosteroid yang terkandung dalam limbah cair bubur kertas mampu memaskulinisasi ikan betina mosquitofish (Gambusia affinis holbrooki). Maskulinisasi menggunakan ekstrak sandrego yang diduga mengandung stigmasterol dengan perlakuan 20 mg/kg pakan mampu meningkatkan ikan cupang (Betta splendens) jantan sebesar 70,7% dibandingkan kontrol yang hanya 33% (Alfian, 2003).

Hasil analisis GC-MS purwoceng mengandung bahan aktif stigmasterol sebanyak 5,38% (data analisis GC-MS terlampir). Bahan aktif stigmasterol yang terkandung dalam ekstrak purwoceng diharapkan mampu mengarahkan kelamin larva ikan nila menjadi jantan. Selain itu, kecendrungan dunia saat ini untuk memakai bahan alamiah sangat mendukung pengembangan bahan alamiah untuk peningkatan produksi ikan nila sehingga produk maskulinisasi dapat diterima oleh pasar internasional.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui pengaruh pemberian ekstrak purwoceng terhadap maskulinisasi ikan nila melalui perendaman dan (2) menentukan dosis optimum ekstrak purwoceng untuk menghasilkan ikan nila jantan.

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat melakukan jantanisasi dalam kegiatan produksi ikan nila monosex dengan menggunakan ekstrak purwoceng dan memberikan informasi bagi para pelaku budidaya dan peneliti.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah perendaman larva dalam ekstrak purwoceng dengan konsentrasi yang berbeda akan berpengaruh terhadap maskulinisasi ikan nila.


(63)

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Ikan nila berasal dari benua Afrika dan telah masuk untuk dibuidayakan ke negara-negara sub-tropis dan tropis sejak tahun 1960-an (Phillay dan Kutty, 2005). Jenis yang paling umum dibudidayakan adalah Oreochromis niloticus dan Oreochromis mossambicus (Bearmore et al., 2005). Berdasarkan Saanin ikan nila dapat diklasifikasikan sebagai berikut;

Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Osteichthyes Sub Kelas : Acanthoptherigii Ordo : Perchmorpi Sub Ordo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Ikan nila (famili Cichlidae) dapat tumbuh dan berkembang biak dengan cepat sehingga sangat cocok untuk dibudidayakan secara masal (Phillay dan Kutty, 2005). Ikan nila sangat cepat mencapai kedewasaannya sehingga dapat menghambat pertumbuhannya. Pada masa reproduksi, asupan energi lebih banyak digunakan untuk kematangan gonad dibandingkan energi yang dapat diinvestasikan sebagai biomasa dalam bentuk daging (Phelps dan Popma, 2000).

Untuk tujuan budidaya masal, sangat penting untuk melakukan sex reversal guna memproduksi ikan nila monoseks berkelamin jantan karena pertumbuhannya yang lebih cepat dan dapat mengurangi keinginan seksual (Zairin, 2003). Keuntungan lainnya adalah meningkatkan biomasa ikan, dapat memproduksi ukuran ikan yang relatif seragam, dan mencegah pemijahan liar di dalam wadah budidaya (Phillay dan Kutty, 2005).


(64)

Biosintesis Testesteron

Hormon testesteron diproduksi oleh testis yang dikonversi dari kolesterol (Gambar 1). Perubahan kolesterol menjadi pregnenolon di andrenal, ovarium, dan testis identik satu sama lain. Kemudian peregnenolon diubah secara berurutan menjadi menjadi progesteron, 17α-hidroksiprogesteron, androstenedion, dan selanjutnya baru diubah menjadi testesteron (Murray, 2006). Selanjutnya dengan enzim P450 aromatase testesteron diubah menjadi estradiol.

Gambar 1. Biosintesis hormon steroid (Leusch, 2001).

(1) cytochrome P450 side-chain cleavage - P450scc; (β) γ -hydroxysteroid dehydrogenase - γ -HSD; (γ) P450c17 (17α-hydroxylase); (4) P450c17 (C17,20-lyase); (5) 17 - HSD: (6) cytochrome P450 aromatase; (7) 11 -hydroxylase; (8) 11 -HSD; (9) HMG-CoA reductase. Mekanisme biosintesis steroid pada ikan terjadi melalui jalur prenegnolon (P5) (Leusch, 2001).


(1)

Lampiran 1. Prosedur analisis bahan aktif purwoceng dengan metode GC-MS Analisis bahan aktif tanaman purwoceng menggunakan metode GC-MS (Chromatography-Mass Spectrophotometry) dilakukan di Laboratorium Pemeriksaan Doping dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta.

Alat Gas Chromatography (Agilent Technologies) dengan panjang Column Capillary (Innowax) 30 m, diameter 0,25 mm, film thnkness 0,25 µm. Temperatur inlet diatur pada 250 0C dan dengan menggunakan gas pembawa helium. Prosedur pengujian diawali dengan mengatur temperatur oven dengan temperature awal 130 0C selama 2 menit, kemudian dinaikkan 60C/menit menjadi 170 0C selama 2 menit, 3 0C/menit sampai mencapai 2150C selama 1 menit, dan dinaikkan lagi 400C/menit menjadi 2500C selama 10 menit. Waktu ranning yang dibutuhkan adalah 20 menit dengan aliran tetap (constant flow) pada 1.5 µl/menit. Volume yang diinjeksikan sebanyak 5µg dengan perbandingan aliran 1 : 100 dihubungkan dengan auto sampler Mass Selective Detector (Agilent 5973, electron impact (IE)) dan Chemstation data system. Suhu sumber ion 2300C dan suhu interface 2800C serta suhu quadrupole adalah 1400C. Komponen terdeteksi berdasarkan waktu retensi puncak kromagram (% puncak area) dan spectra mass.


(2)

Lampiran 2. Data dan uji statistik jumlah dan prosentase jenis kelamin ikan nila

Perlakuan Ulangan ∑ Sampel ∑ Jantan ∑ intersex ∑ Betina Prosentase (%) Jantan Intersex Betina

1 30 16 0 14 53.28 0 46.62

K (-) 2 30 17 0 13 56.62 0 43.29

3 30 14 0 16 46.62 0 53.28

Total 90 47 0 43 156.52 0 143.19

Rata-rata 30 15.,67 0 14,33 52,17 47,73

1 30 24 3 3 79.92 9.99 9.99

MT (+) 2 30 23 3 4 76.59 9.99 13.32

3 30 25 1 4 83.25 3.33 13.32

Total 90 72 7 11 239.76 23.31 36.63

Rata-rata 30 24 2,33 3,67 79,92 7,77 12,21

1 30 19 3 8 63.27 9.99 26.64

P10 2 30 21 0 9 69.93 0 29.97

3 30 20 5 5 66.6 16.65 16.65

Total 90 60 8 22 199.8 26.64 73.26

Rata-rata 30 20 2,67 7,33 66,6 8,88 24,42

1 30 22 3 5 73.26 9.99 16.65

P20 2 30 23 5 2 76.59 16.65 6.66

3 30 21 4 5 69.93 13.32 16.65

Total 90 66 12 12 219.78 39.96 39.96

Rata-rata 30 22 4 4 73,26 13,32 13,32

1 30 20 3 7 66.6 9.99 23.31

P30 2 30 20 4 6 66.6 13.32 19.98

3 30 22 4 4 73.26 13.32 13.32

Total 90 62 11 17 206.46 36.63 56.61

Rata-rata 30 20,67 3,67 5,67 68,82 12,21 18,87

Ulangan K (-) MT (+) P10 P20 P30 1 53,33 79,99 63,33 73,33 66,66 2 56,66 76,66 69,99 76,66 66,66 3 46,66 83,33 66,66 69,99 73,33 Rata-rata 52,22 80% 66,66 73,33 68,88


(3)

ANOVA ikan nila jantan

ANOVA Sumber

Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat

Tengah F hitung F tabel

Perlakuan 1271.009 4 317.752 21,443 3,48

Galat 148.185 10 14.819

Total 1419.194 14

Intersex

Ulangan K (-) MT (+) P10 P20 P30

1 0 9,99 9,99 9,99 9,99

2 0 9,99 16,66 13,33

3 0 3,33 16,66 13,33 13,33

Rata-rata 0 7,77 5,55 13,33 12,22 ANOVA ikan nila intersex

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat

Tengah F hitung F tabel

Perlakuan 330.065 4 82.516 4,129 3,48

Galat 199.867 10 19.987


(4)

Lampiran 3. Data dan analisis kelangsungan hidup ikan nila Kelangsungan hidup setelah perendaman pertama

DOSIS ULANGAN

1 2 3

Control 100 100 100

MT 100 100 100

10 100 100 100

20 100 100 100

30 100 100 100

Kelangsungan hidup setelah perendaman kedua

DOSIS ULANGAN

1 2 3

Control 100 100 99

MT 98 100 99

10 98 98 97

20 100 97 99

30 97 98 100

Kelangsungan hidup ikan nila pada akhir penelitian Ulangan K (-) MT (+) P10 P20 P30

1 90 82 86 83 80

2 83 87 85 88 82

3 76 91 94 79 92

Rata-rata 83 86,67 88,33 83,33 84,67

Kelangsungan hidup rata-rata

DOSIS Keterangan

Perendaman pertama

Perendaman kedua

Akhir penelitian

Control (-) 100 99,67 83

MT (+) 100 99 86,67

10 100 97,67 88,33

20 100 98,67 83,33


(5)

ANOVA Kelangsungan hidup Sumber

Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat

Tengah F hitung F tabel

Perlakuan 61.733 4 15.433 0,497 3,48

Galat 310.667 10 31.067


(6)

Lampiran 4. Data dan uji statistik pertumbuhan ikan nila

Ulangan K (-) MT (+) P10 P20 P30

1 6,87 7,97 8,24 7,8 8,37

2 6,05 7,9 8,07 7 7,58

3 7,92 8,36 8,31 7,08 7,74

Rata-rata 6,94 8,08 8,21 7,29 7,90

ANOVA pertumbuhan ikan nila Sumber

Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat

Tengah F hitung F tabel

Perlakuan 3.507 4 0,877 3,311 3,48

Galat 2.648 10 0,265