Analisis Pengentasan Kemiskinan Melalui Pelayanan Keuangan Mikro Koperasi

ANALISIS PENGENTASAN KEMISKINAN MELALUI
PELAYANAN KEUANGAN MIKRO KOPERASI

SITI ROHMAWATI

DEPARTEMEN
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pengentasan
Kemiskinan melalui Pelayanan Keuangan Mikro Koperasi adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014

Siti Rohmawati
NIM I34100126

ABSTRAK
SITI ROHMAWATI. Analisis Pengentasan Kemiskinan melalui Pelayanan
Keuangan Mikro Koperasi. Dibimbing oleh SUMARDJO.
Usaha pengentasan kemiskinan dilakukan melalui beberapa kegiatan, di
antaranya pelayanan keuangan mikro yang dilakukan koperasi. Pelayanan keuangan
mikro ini dianggap sangat membantu masyarakat miskin karena keterbatasan akses
orang miskin terhadap lembaga keuangan konvensional. Oleh karena itu, penelitian
ini penting dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pelayanan keuangan
mikro dan tingkat kemiskinan yang dihadapi masyarakat. Berpijak dari hal tersebut,
masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara
karakteristik peminjam, peran petugas, faktor lingkungan dan ketepatan pelayanan
lembaga keuangan mikro, serta bagaimana hubungan antara ketepatan pelayanan
lembaga keuangan mikro dan tingkat kemiskinan rumah tangga. Selain itu,

penelitian ini juga membandingkan kondisi ekonomi anggota di dua wilayah yang
berbeda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan
teknik wawancara. Pengolahan data menggunakan uji Rank Spearman dan Chi
Square. Hasil penelitian menunjukkan beberapa kesimpulan. Pertama, kondisi
kemiskinan anggota saat pertama kali bergabung dengan koperasi termyata
berkecenderungan menyebabkan kurangnya kepatuhan terhadap pemimpin. Kedua,
peran petugas tidak menunjukkan banyak kontribusi terhadap ketepatan pelayanan
lembaga keuangan mikro. Ketiga, banyaknya dukungan luar yang diterima anggota
ternyata memperlancar cicilan pinjaman. Keempat, miskinnya kondisi anggota saat
pertama kali bergabung dengan koperasi ternyata berhubungan dengan tingginya
tingkat konsumsi. Kelima, orang-orang miskin cenderung pernah mengalami
keterlambatan pembayaran cicilan pinjaman. Keenam, kondisi ekonomi anggota
Kecamatan Tamansari lebih baik daripada anggota Kecamatan Dramaga.
Kata kunci : kemiskinan, lembaga keuangan mikro, koperasi

ABSTRACT
SITI ROHMAWATI. The analysis of poverty alleviation through Micro-finance
Cooperation. Supervised by SUMARDJO.
Poverty alleviation done through some activities, include providing access
to micro-finance conducted by cooperation. Micro-finance is very helpful the poor

because of the limited access of the poor to conventional financial institutions.
Therefore, this research is important to determine the correlation between financial
access and the level of poverty in community. Starting from this, the problem in
this research is how the relationship between the characteristics of the borrower, the
role of the officer, the environmental factors and the accuracy of service of microfinance institutions and how relationship between the accuracy of micro-finance
service and household poverty level. This research also compares member
economic conditions in two different areas. The method used in this research is a

survey method with interview techniques. The data processed using Rank
Spearman test and Chi Square. The research was conducted in Tamansari and
Dramaga subdistrict workplace Baytul Ikhtiar cooperation. The result of the
research shows some conclusions. First, poorer the condition of a member when
first time joined in cooperation, the trend is less obedient to the leader. Second, the
role of the officers did not show much contribution toward the accuracy of service
of micro-finance institutions. Third, more the external support received by member,
more smoothly the loan repayment. Fourth, poorer the condition of a member when
first time joined by cooperation, the trend is higher levels of comsumption. Fifth,
poor people tend to ever delays the loan repayment. Sixth, member economic
conditions of Tamansari Sub-district better than member of Dramaga Sub-district.
Keywords: poverty, micro-finance, cooperation


ANALISIS PENGENTASAN KEMISKINAN MELALUI
PELAYANAN KEUANGAN MIKRO KOPERASI

SITI ROHMAWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT

atas rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Pengentasan Kemiskinan
melalui Pelayanan Keuangan Mikro Koperasi” ini dengan baik. Penelitian ini
dilatarbelakangi karena masih banyaknya fenomena kemiskinan walaupun sudah
banyak pihak yang berusaha mengentaskannya. Penelitian ini secara spesifik
bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan ketepatan
pelayanan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sebagai salah satu usaha pengentasan
kemiskinan. Peneliti kemudian menganalisis hubungan antara ketepatan pelayanan
LKM tersebut dan tingkat kemiskinan rumah tangga anggota yang diukur dengan
indikator tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, konsumsi dan tingkat kesehatan.
Selain itu, tingkat kemiskinan juga diukur dengan menggunakan indikator BPS.
Penelitian dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan moril dan
material dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang terlibat. Pertama, ucapan
terima kasih penulis kepada Bapak Sumardjo selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan waktu, tenaga, bimbingan, arahan, saran, dan kritik yang sangat
membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Penulis juga menyampaikan
terima kasih kepada kedua orang tua tercinta, Bapak Kartubi dan Ibu Samiati yang
selalu melimpahkan kasih sayang, doa serta motivasi kepada penulis. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Saharuddin, M.Si selaku dosen

pembimbing akademik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Kementerian Agama selaku lembaga yang memberikan beasiswa selama masa studi.
Tidak lupa terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman SKPM
angkatan 47 dan teman-teman pesantren Al-Ihya yang memberi semangat dan
masukan untuk penulis dalam penulisan skripsi ini.
Penulis telah berusaha dengan maksimal dalam proses pembuatan skripsi ini,
akan tetapi masih ada kemungkinan ditemui kesalahan-kesalahan, sehingga kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata, semoga hasil penelitian
ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, September 2014
Siti Rohmawati

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

xiii

DAFTAR TABEL


xvii

DAFTAR GAMBAR

xix

DAFTAR LAMPIRAN

xix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah


2

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

4

TINJAUAN PUSTAKA

5

Pengertian Kemiskinan

5

Indikator Kemiskinan


5

Indikator Kemiskinan Sajogyo

5

Indikator kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik

6

Indikator Kemiskinan Bank Dunia (World Bank)

6

Kondisi Kemiskinan di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya

7

Penyebab Kemiskinan


8

Lembaga Keuangan Mikro

10

Koperasi

13

Efektivitas Pelayanan Keuangan Mikro Koperasi dalam Pengentasan
Kemiskinan

15

Kerangka Pemikiran

20

Hipotesis Penelitian


22

Definisi Operasional

22

PENDEKATAN LAPANGAN

29

Lokasi dan Waktu Penelitian

29

Metode Penelitian

29

Teknik Pengambilan Responden dan Informan

29

Teknik Pengumpulan Data

31

Teknik Pengolahan Dan Analisis Data

32

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Gambaran Umum Kecamatan Tamansari dan Kecamatan Dramaga

33
33

Gambaran Umum Kecamatan Tamansari

33

Gambaran Umum Kecamatan Dramaga

33

Sekilas tentang Koperasi Baytul Ikhtiar (BAIK)

33

Produk Layanan Koperasi

34

Kelembagaan Koperasi Baytul Ikhtiar

35

Sebaran Anggota Koperasi Baytul Ikhtiar Cabang Tamansari dan Cabang
Dramaga

37

DESKRIPSI VARIABEL TERKAIT ANALISIS KEMISKINAN MELALUI
PELAYANAN KEUANGAN MIKRO KOPERASI

39

Karakteristik Peminjam Anggota Koperasi Baytul Ikhtiar Kecamatan
Tamansari dan Kecamatan Dramaga

39

Umur

39

Tingkat Pendidikan

40

Jenis Usaha

40

Masa Keanggotaan

41

Tingkat Pemahaman tentang LKM

42

Tingkat Kepatuhan terhadap Pemimpin

43

Sikap terhadap Kemiskinan

44

Peran Petugas LKM

45

Intensitas Sosialisasi

46

Intensitas Pendampingan

47

Efektivitas Penegakan Aturan

48

Faktor Lingkungan

48

Dukungan Luar

49

Dukungan Ketua Kelompok

50

Dukungan Anggota Kelompok

51

Ketepatan Pelayanan LKM

52

Ketepatan Sasaran

52

Kesesuaian Penggunaan Dana

53

Kelancaran Pembayaran

54

Tingkat Kemiskinan Anggota menurut Indikator Penelitian

54

Tingkat Pendapatan

55

Tingkat Pendidikan

56

Tingkat Konsumsi

57

Tingkat Kesehatan

58

Tingkat Kemiskinan Anggota menurut Indikator BPS

59

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PEMINJAM DAN
KETEPATAN PELAYANAN LKM

61

HUBUNGAN ANTARA PERAN PETUGAS LKM DAN KETEPATAN
PELAYANAN LKM

67

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR LINGKUNGAN DAN KETEPATAN
PELAYANAN LKM

71

HUBUNGAN ANTARA KETEPATAN PELAYANAN LKM DAN
TINGKAT KEMISKINAN RUMAH TANGGA ANGGOTA KOPERASI
BAYTUL IKHTIAR MENGGUNAKAN INDIKATOR PENELITIAN

75

HUBUNGAN ANTARA KETEPATAN PELAYANAN LKM DENGAN
TINGKAT KEMISKINAN RUMAH TANGGA ANGGOTA KOPERASI
BAYTUL IKHTIAR MENGGUNAKAN INDIKATOR BPS

79

PERBANDINGAN KONDISI EKONOMI ANGGOTA KOPERASI
KECAMATAN TAMANSARI DAN KECAMATAN DRAMAGA

81

Perbandingan Tingkat Pendapatan antara Kecamatan Tamansari dan
Kecamatan Dramaga menggunakan Ketentuan Upah Minimum Regional
(UMR) Kabupaten Bogor

81

Perbandingan Tingkat Konsumsi antara Kecamatan Tamansari dan
Kecamatan Dramaga menggunakan Ketentuan Garis Kemiskinan (GK)
Provinsi Jawa Barat

81

SIMPULAN DAN SARAN

83

Simpulan

83

Saran

84

DAFTAR PUSTAKA

85

LAMPIRAN

89

RIWAYAT HI DUP

105

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Jumlah sampel anggota koperasi Baytul Ikhtiar Kecamatan
Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi Baytul Ikhtiar cabang Tamansari per
Mei 2014
Sebaran anggota koperasi Baytul Ikhtiar cabang Dramaga per
Desember 2013
Sebaran anggota koperasi menurut umur di Kecamatan Tamansari
dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut pendidikan di Kecamatan
Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut jenis usaha di Kecamatan
Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut masa keanggotaan di
Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut pemahaman tentang LKM di
Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut kepatuhan terhadap pemimpin
di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut sikap terhadap kemiskinan di
Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut peran petugas LKM di
Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut intensitas sosialisasi di
Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut intensitas pendampingan di
Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut efektivitas penegakan aturan
di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut faktor lingkungan yang
diterima di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut dukungan luar yang diterima
di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut dukungan ketua kelompok
yang diterima di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut dukungan anggota kelompok
yang diterima di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut ketepatan pelayanan LKM di
Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut ketepatan sasaran di
Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut kesesuaian penggunaan dana
di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
Sebaran anggota koperasi menurut kelancaran pembayaran di
Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014

30
37
38
39
40
41
42
43
43
44
45
46
47
48
49
49
50
51
52
53
53
54

23 Sebaran anggota koperasi menurut tingkat kemiskinan indikator
penelitian di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
24 Sebaran anggota koperasi menurut pendapatan rumah tangga di
Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
25 Sebaran anggota koperasi menurut pendapatan berdasarkan UMR
di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
26 Sebaran anggota koperasi menurut pendidikan rumah tangga di
Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
27 Sebaran anggota koperasi menurut konsumsi rumah tangga di
Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
28 Sebaran anggota koperasi menurut pendapatan rumah tangga
berdasarkan GK di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun
2014
29 Sebaran rumah tangga anggota koperasi menurut kesehatan
rumah tangga di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
30 Sebaran rumah tangga anggota koperasi menurut kemiskinan BPS
di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
31 Koefisien korelasi antara karakteristik peminjam dan ketepatan
pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun
2014
32 Nilai signifikansi hubungan antara jenis usaha dan ketepatan
pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun
2014
33 Nilai signifikansi hubungan antara jenis usaha dan ketepatan
pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun
2014
34 Koefisien korelasi antara karakteristik peminjam dan ketepatan
pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun
2014
35 Koefisien korelasi antara peran petugas LKM dan ketepatan
pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun
2014
36 Koefisien korelasi antara peran petugas LKM dan ketepatan
pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun
2014
37 Koefisien korelasi antara peran petugas dan ketepatan pelayanan
LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
38 Koefisien korelasi antara faktor lingkungan dan ketepatan
pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun
2014
39 Koefisien korelasi antara faktor lingkungan dan ketepatan
pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun
2014
40 Koefisien korelasi antara faktor lingkungan dan ketepatan
pelayanan LKM di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun
2014
41 Koefisien korelasi antara ketepatan pelayanan LKM dan tingkat
kemiskinan di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014

55
55
56
56
57

58
58
59

63

64

65
65

67

69
70

71

73

74
75

42 Koefisien korelasi antara ketepatan pelayanan dan tingkat
kemiskinan Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
43 Koefisien korelasi antara ketepatan sasaran dan tingkat konsumsi
rumah
tangga di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun
2014
44 Koefisien korelasi antara ketepatan pelayanan LKM dan tingkat
kemiskinan di Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
45 Koefisien korelasi antara ketepatan pelayanan LKM dan tingkat
kemiskinan Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
46 Sebaran anggota koperasi menurut pendapatan rumah tangga di
Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014
47 Sebaran anggota koperasi menurut pendapatan rumah tangga di
Kecamatan Tamansari dan Dramaga tahun 2014

76

77
79
80
81
82

DAFTAR GAMBAR
1
2

Kerangka pemikiran analisis pengentasan kemiskinan melalui
pelayanan keuangan mikro koperasi
Langkah pengambilan responden penelitian analisis pengentasan
kemiskinan melalui pelayanan keuangan mikro koperasi

21
31

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Peta lokasi penelitian di Kecamatan Dramaga
89
Peta lokasi penelitian di Kecamatan Tamansari
89
Jadwal pelaksanaan penelitian
90
Struktur organisasi koperasi Baytul Ikhtiar
91
Struktur organisasi koperasi Baytul Ikhtiar
92
Kuisioner
93
Panduan pertanyaan mendalam
103
Dokumentasi kegiatan penelitian di Kecamatan Tamansari dan
Dramaga
104

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengentasan kemiskinan harus dilakukan agar semua warga negara dapat
hidup bermartabat. Akan tetapi, beberapa tindakan yang dilakukan untuk
mengentaskan kemiskinan belum sepenuhnya dapat mencapai tujuan yang
diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari masih tingginya angka kemiskinan yaitu
sebanyak 11.25 persen atau sekitar 28 juta jiwa pada Maret 2014 (BPS 2014).
Data statistik menunjukkan terjadinya tren penurunan angka kemiskinan
dari tahun 1998 sampai tahun 2014. Akan tetapi, penurunan angka kemiskinan
tersebut pada tahun 2014 belum dapat mencapai target yang telah ditetapkan oleh
pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Target pengentasan kemiskinan
tercantum pada Perpres No 15 Tahun 2010 yaitu target penurunan angka
kemiskinan menjadi 8-10 persen (Kemkominfo 2011). Fakta tersebut
menunjukkan bahwa kemiskinan bukan masalah yang mudah dipecahkan
meskipun Pemerintah telah mengerahkan banyak usaha dengan sumber daya yang
dimiliki.
Kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor antara lain kurangnya
lapangan pekerjaan, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya kualitas
sumberdaya manusia dan ketiadaan akses permodalan. Masyarakat mengupayakan
banyak hal dalam menanggulangi kemiskinan yang mereka hadapi. Beberapa
tindakan yang mereka lakukan di antaranya dengan menggunakan kearifan lokal
yang dimiliki (Pattinama 2009) dan optimalisasi tenaga kerja serta pengembangan
jaringan (Sumarti 2007). Selain itu, pemerintah Indonesia juga terus melakukan
upaya-upaya pengentasan kemiskinan.
Beberapa program pengentasan kemiskinan di antaranya PNPM (Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat), BLT (Bantuan Langsung Tunai), P3DT
(Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), program IDT (Inpres Desa
Tertinggal), JPS (Jaringan Pengaman Sosial), KB (Keluarga Berencana), UPPKS
(Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera), Kukesra (Kredit Usaha
Keluarga Sejahtera), Takesra (Tabungan Kesejahteraan Rakyat), KPKU (Kredit
Pengembangan Kemitraan Usaha), KPTTG-Taskin (Kredit Pengembangan
Teknologi Tepat Guna Untuk Pengentasan Kemiskinan), dan KUR (Kredit Usaha
Rakyat).
Beberapa program pengentasan kemiskinan dilaksanakan dalam bentuk
pelayanan keuangan mikro. Bentuk lembaga yang menyediakan pelayanan
keuangan mikro beragam jenis, terdiri dari lembaga keuangan mikro formal, non
formal, informal dan program pemerintah. Koperasi adalah salah satu lembaga
formal yang menyediakan pelayanan keuangan mikro yang sudah dikenal
masyarakat.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa efektivitas dari pelayanan
keuangan mikro cukup beragam, ada yang menunjukkan ketercapaian yang
memuaskan dan ada pula yang menunjukkan hasil yang tidak memuaskan.
Penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati (2011) menunjukkan bahwa
pelayanan keuangan mikro melalui kegiatan simpan pinjam berdampak positif
terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga. Sebaliknya, penelitian yang

2

dilakukan oleh Lukman dkk (2008) menunjukkan bahwa pelayanan keuangan
mikro melalui pembiayaan kelompok microbanking menunjukkan hasil yang
beragam, ada yang berhasil meningkatkan kesejahteraan rumah tangga dan ada
pula yang tidak menunjukkan terjadinya peningkatan kesejahteraan, bahkan yang
terjadi adalah kemacetan pembayaran. Demikian pula hasil penelitian yang
dilakukan oleh Usman dkk (2004) terhadap beberapa pelayanan keuangan mikro
di kawasan Nusa Tenggara Timur menunjukkan hasil yang beragam. Bahkan,
penelitian yang dilakukan oleh Litbang dan LPM UPI (2003) terhadap beberapa
pelayanan keuangan mikro dalam bentuk bantuan dana bergulir menunjukkan
efektivitas yang rendah.
Koperasi sebagai salah satu lembaga penyedia pelayanan keuangan mikro
perlu diteliti sejauhmana efektivitasnya dalam pengentasan kemiskinan. Penelitian
tentang koperasi selama ini lebih terkait manajemen pelayanan dan dampaknya
terhadap peningkatan pendapatan anggota. Penelitian tentang koperasi jarang
menghubungkan dengan tingkat kemiskinan anggota secara kuantitatif.
Berpijak dari hal tersebut, dalam penelitian ini, peneliti bermaksud
menganalisis lebih lanjut terkait pelayanan keuangan mikro Koperasi. Peneliti
menganalisis ketepatan pelayanan keuangan Koperasi dan mengukur
hubungannya dengan tingkat kemiskinan yang dialami oleh masyarakat pedesaan.
Kemudian, penelitian ini akan diakhiri dengan saran untuk dinas-dinas terkait
guna meningkatkan efektivitas pelaksanaan pelayanan dalam usaha pengentasan
kemiskinan pada periode mendatang.

Perumusan Masalah
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) bertujuan meningkatkan pendapatan
masyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan dan
mengurangi tingkat kemiskinan. Ketepatan pelayanan LKM diduga berhubungan
dengan karakteristik peminjam, peran pengurus LKM dan faktor lingkungan.
Ketepatan pelayanan LKM diduga berhubungan dengan karakteristik
peminjam. Dugaan tersebut mengacu pada pendapat Suartha (2013) yang
menyatakan bahwa kemiskinan disebabkan beberapa hal, diantaranya karakteristik
demografi dan sikap terhadap kemiskinan. Di samping itu, Penelitian yang
dilakukan oleh Litbang dan LPM UPI (2003) menunjukkan bahwa tingkat
pemahaman mempengaruhi efektivitas pelayanan keuangan mikro. Berikutnya,
penelitian yang dilakukan oleh Lukman dkk (2008) menunjukkan bahwa tingkat
kepatuhan terhadap pemimpin dan jenis usaha yang dijalankan berhubungan
dengan efektivitas pelayanan keuangan mikro. Berpijak dari penemuan-penemuan
tersebut dan menyesuaikan dengan kondisi keanggotaan Koperasi, karakteristik
peminjam yang diduga berhubungan dengan ketepatan pelayanan LKM adalah
umur, tingkat pendidikan, jenis usaha, masa keanggotaan, tingkat pemahaman
tentang LKM, tingkat kepatuhan pada pemimpin dan sikap terhadap kemiskinan.
Oleh karena itu, perlu dianalisis sejauh mana terdapat hubungan antara
karakteristik peminjam dan ketepatan pelayanan LKM?
Peran petugas LKM diduga berhubungan dengan ketepatan pelayanan
LKM. Dugaan tersebut mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh
Litbang dan LPM UPI (2003) yang menyatakan bahwa kegiatan sosialisasi, proses

3

pendampingan dan penegakan aturan mempengaruhi efektivitas pelayanan
keuangan mikro bantuan dana bergulir. Berpijak dari penemuan tersebut, peran
petugas LKM yang diduga berhubungan dengan ketepatan pelayanan LKM adalah
intensitas sosialisasi, intensitas pendampingan dan efektivitas penegakan aturan.
Oleh karena itu, perlu dianalisis sejauh mana terdapat hubungan antara peran
petugas LKM dan ketepatan pelayanan LKM?
Faktor lingkungan diduga berhubungan dengan ketepatan pelayanan LKM.
Dugaan tersebut mengacu pada hasil penelitian Rachmawati (2011) yang
menyatakan bahwa program pemerintah berpengaruh positif terhadap pendapatan
rumah tangga. Di samping itu, penelitian yang dilakukan oleh Lukman dkk (2008)
menyatakan bahwa peran ketua dan anggota kelompok turut mempengaruhi
efektivitas pelayanan keuangan mikro skema pembiayaan berkelompok. Berpijak
dari penemuan tersebut, faktor-faktor lingkungan yang diduga berhubungan
dengan ketepatan pelayanan LKM adalah dukungan luar, dukungan ketua dan
dukungan anggota kelompok. Oleh karena itu, perlu dianalisis sejauh mana
terdapat hubungan antara faktor lingkungan dan ketepatan pelayanan
LKM?
Ketepatan pelayanan LKM secara umum dilihat dari tiga hal, yaitu
ketepatan sasaran, kesesuaian penggunaan dana dan kelancaran pembayaran.
Ketepatan pelayanan diduga berhubungan dengan tingkat kemiskinan rumah
tangga anggota karena salah satu tujuan pelayanan keuangan mikro adalah
mengentaskan kemiskinan. Dugaan tersebut mengacu pada penelitian Litbang dan
LPM UPI (2003) dan penelitian Lukman dkk (2008). Oleh karena itu, perlu
dianalisis sejauh mana terdapat hubungan antara ketepatan pelayanan LKM
dan tingkat kemiskinan?
Sebuah program yang telah dijalankan perlu dievaluasi untuk mengetahui
tingkat ketercapaian terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi ada dua jenis,
yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif biasanya melihat
dan meneliti pelaksanaan suatu program, mencari umpan balik untuk
memperbaiki pelaksanaan program. Adapun evaluasi sumatif biasanya dilakukan
pada akhir program untuk mengukur sejauh mana tujuan program tercapai
(Singarimbun dan Effendi 1987). Oleh karena itu, program pelayanan keuangan
mikro Koperasi yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan perlu dievaluasi
untuk mengetahui sejauhmana hasil yang telah dicapai. Evaluasi yang dapat
digunakan adalah evaluasi formatif karena pelayanan Koperasi masih berjalan dan
perlu ditingkatkan kualitasnya. Evaluasi dilakukan pada sebagian anggota yang
tergabung di Koperasi. Kecamatan Tamansari dan Kecamatan Dramaga
merupakan dua Kecamatan yang menjadi anggota Koperasi dengan tahun awal
keanggotaan yang sangat berbeda jauh. Perbedaan tersebut kemungkinan
menyebabkan tingkat ketercapaian yang berbeda yang dilihat dari kondisi
ekonomi anggota. Oleh karena itu, perlu dianalisis sejauh mana perbedaan
kondisi ekonomi anggota antara Kecamatan Tamansari dan Kecamatan
Dramaga?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian umum
pada penelitian ini adalah meneliti hubungan antara ketepatan pelayanan LKM

4

dengan tingkat kemiskinan rumah tangga serta menganalisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan ketepatan pelayanan LKM tersebut. Adapun tujuan-tujuan
khusus pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Menganalisis hubungan antara karakteristik
peminjam dan ketepatan
pelayanan LKM.
2. Menganalisis hubungan antara peran pengurus dan ketepatan pelayanan LKM.
3. Menganalisis hubungan antara faktor lingkungan dan ketepatan pelayanan
LKM.
4. Menganalisis hubungan antara ketepatan pelayanan LKM dan tingkat
kemiskinan rumah tangga.
5. Menganalisis perbedaan kondisi ekonomi anggota antara Kecamatan
Tamansari dan Kecamatan Dramaga

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai
pihak, antara lain:
1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah
pengetahuan mengenai upaya-upaya pengentasan kemiskinan. Penelitian ini
juga diharapkan dapat menjadi rujukan atau literatur bagi akademisi yang
ingin meneliti lebih jauh mengenai hubungan antara pelayanan keuangan
mikro dan tingkat kemiskinan rumah tangga pedesaan.
2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan
dalam pelaksanaan pelayanan keuangan mikro di pedesaan. Pemerintah juga
diharapkan dapat membuat kebijakan khususnya terkait pelayanan keuangan
mikro dengan sistem yang lebih baik dan dapat mendukung tercapainya
peningkatan kesejahteraan.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
mengenai hubungan ketepatan pelayanan LKM dengan tingkat kemiskinan
rumah tangga pedesaan.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Kemiskinan
Banyak ahli memberikan definisi tentang kemiskinan. Quibria (1996)
dalam Sumarti (2007) menyatakan bahwa kemiskinan adalah kondisi yang
bersifat multidimensional, mencakup tingkat pendapatan, pendidikan dan
kesehatan yang rendah serta kurangnya akses terhadap distribusi aset fisik, aset
sosial, kesempatan usaha/kerja dan kesempatan peningkatan kualitas sumber daya
manusia. Selain itu, kemiskinan juga mencakup rendahnya tingkat keamanan
(jaminan terhadap resiko dan tekanan ekonomi) baik di tingkat nasional, lokal
maupun rumah tangga. Pattinama (2009) juga berpendapat bahwa secara ekonomi
penduduk miskin tidak memiliki apa-apa (having nothing), secara sosial mereka
tidak menjadi siapa-siapa (being nothing), dan secara politik mereka tidak
memperoleh hak kecuali korban pembangunan (having no rights and being
wrong). Secara umum, kemiskinan adalah keterbatasan yang dihadapi seseorang
atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Kemiskinan ditandai
dengan rendahnya tingkat pendapatan, pendidikan dan kesehatan serta ketiadaan
aset fisik yang dimiliki.
Indikator Kemiskinan
Banyak indikator yang digunakan untuk menentukan tingkat kemiskinan.
Indikator-indikator tersebut di antaranya yaitu indikator kemiskinan Sajogyo,
indikator kemiskinan BPS (Badan Pusat Statistik) dan indikator Bank Dunia
(World Bank). Selain itu, ada indikator kemiskinan menurut pandangan subyektif
masyarakat terhadap kondisi lingkungannya.
Indikator Kemiskinan Sajogyo
Penentuan tingkat kemiskinan menggunakan indikator kemiskinan
Sajogyo dihitung berdasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang
disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan
dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan. Adapun pembagian tingkat kemiskinan
pada daerah pedesaan adalah sebagai berikut.
1. Miskin: jika pengeluaran keluarga lebih kecil dari 320 kg nilai tukar beras per
orang per tahun
2. Miskin sekali: jika pengeluaran keluarga lebih kecil dari 240 kg nilai tukar
beras per orang per tahun
3. Paling miskin: jika pengeluaran keluarga lebih kecil dari 180 kg nilai tukar
beras per orang per tahun
Pembagian tingkat kemiskinan pada daerah perkotaan adalah sebagai
berikut.
1. Miskin: jika pengeluaran keluarga lebih kecil dari 480 kg nilai tukar beras per
orang per tahun
2. Miskin sekali: jika pengeluaran keluarga lebih kecil dari 380 kg nilai tukar
beras per orang per tahun
3. Paling Miskin: jika pengeluaran keluarga lebih kecil dari 270 kg nilai tukar
beras per orang per tahun (Musawwir 2009)

6

Indikator kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik
Salah satu indikator kemiskinan yang umum digunakan adalah indikator
yang ditentukan oleh BPS. Ada 14 (empat belas) kriteria keluarga/rumah tangga
miskin menurut BPS sebagai berikut.
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas
rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama dengan rumah tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air
hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak
tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan
0.5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau
pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp600 000 per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak
tamat
SD/hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp500 000,
seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau
barang modal lainnya (JDIH BPK [Tanpa tahun]).
Jika suatu rumah tangga memenuhi minimal sembilan atau lebih dari
indikator tersebut, maka termasuk rumah tangga miskin. Akan tetapi jika suatu
rumah tangga belum memenuhi dari kesembilan indikator tersebut maka termasuk
rumah tangga bukan miskin.
Aspek penting dalam pengukuran kemiskinan yang dilakukan BPS adalah
garis kemiskinan. Pada dasarnya, garis kemiskinan merupakan kumpulan titik
potong (cut off points) dari kelompok miskin dan tidak miskin. Garis kemiskinan
dapat ditentukan berdasarkan satuan moneter seperti tingkat konsumsi atau non
moneter seperti tingkat pendidikan atau kesehatan. Selain itu, kegunaan garis
kemiskinan adalah untuk mengenali lebih jauh fenomena kemiskinan seperti
indeks kedalaman kemiskinan/poverty gap index dan indeks keparahan
kemiskinan/severity poverty index. Indeks tingkat kedalaman kemiskinan
digunakan untuk melihat rentang relatif antara penduduk miskin dan garis
kemiskinan, sedangkan indeks keparahan kemiskinan digunakan untuk melihat
tingkat ketimpangan (inequality) di antara penduduk miskin yang berada di bawah
garis kemiskinan (Marbun dan Suryahadi 2009).
Indikator Kemiskinan Bank Dunia (World Bank)
Bank Dunia memerlukan garis kemiskinan absolut untuk memperoleh
gambaran umum tentang kondisi kemiskinan di dunia sekaligus untuk
menentukan alokasi bantuan kepada negara-negara miskin. Pada tahun 2005,
Bank Dunia, seperti dijelaskan oleh Martin Ravallion (2008) telah merevisi garis

7

kemiskinan absolut US $1 PPP (Purchasing Power Parity)/hari menjadi US $1.25
PPP (Purchasing Power Parity)/hari. Angka tersebut didapatkan dari rata-rata
garis kemiskinan 15 negara termiskin di dunia (Marbun dan Suryahadi 2009).
Nilai tukar PPP menunjukkan daya beli mata uang di suatu negara yang
disetarakan dengan negara lain, bukan sekedar nilai tukar biasa (exchange rate)
(Kemkominfo 2011).
Dari pemaparan indikator-indikator kemiskinan yang sering digunakan,
secara umum beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur
kemiskinan secara mudah sebagai berikut.
1. Tingkat pendapatan
Tingkat pendapatan dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan. Tingkat
pendapatan merupakan salah satu indikator dari 14 indikator yang digunakan
oleh BPS. BPS memberikan batas pendapatan minimal yang diperoleh kepala
rumah tangga sebesar Rp600 000. Akan tetapi, penentuan batasan tingkat
pendapatan sebagai indikator kemiskinan perlu diperhatikan karena biaya
hidup yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut dibuktikan
dengan adanya perubahan upah minimum regional (UMR) secara berkala.
2. Tingkat konsumsi
Tingkat konsumsi dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan. Tingkat
konsumsi merupakan lima indikator dari 14 indikator kemiskinan yang
digunakan oleh BPS. Selain itu, penggunaan tingkat konsumsi sebagai
indikator kemiskinan juga terlihat pada indikator World Bank yang
memberikan batasan garis kemiskinan sebesar US $1.25 PPP/hari dan juga
terlihat pada indikator kemiskinan Sajogyo dengan menghitung besarnya
pengeluaran per kapita yang disetarakan dengan beras.
3. Tingkat kesehatan
Tingkat kesehatan dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan. BPS
memasukkan indikator tingkat kesehatan sebagai salah satu dari 14 indikator
dalam mengukur kemiskinan. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat
Handayani (2009) yang menyatakan bahwa kemiskinan berkaitan erat dengan
beberapa hal, di antaranya adalah rendahnya tingkat kesehatan.
4. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan. BPS
memasukkan indikator tingkat pendidikan sebagai salah satu dari 14 indikator
untuk mengukur kemiskinan. Hal tersebut sejalan dengan Handayani (2009)
yang menyatakan bahwa kemiskinan berkaitan erat dengan beberapa hal, di
antaranya adalah rendahnya tingkat pendidikan.
Kondisi Kemiskinan di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya
Masyarakat mengupayakan banyak hal dalam menanggulangi kemiskinan
yang mereka hadapi. Beberapa tindakan yang mereka lakukan di antaranya seperti
disebutkan oleh Pattinama (2009) dengan menggunakan kearifan lokal yang
mereka miliki dan penelitian yang dilakukan oleh Sumarti (2007) dengan cara
optimalisasi tenaga kerja dan pengembangan jaringan.
Selain tindakan-tindakan mandiri yang dilakukan, pemerintah Indonesia
terus melakukan upaya-upaya pengentasan kemiskinan. Beberapa program yang
dilakukan di antaranya PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat),

8

BLT (Bantuan Langsung Tunai), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung
Desa Tertinggal), program IDT (Inpres Desa Tertinggal), JPS (Jaringan Pengaman
Sosial), KB (Keluarga Berencana), UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan
Keluarga Sejahtera), Kukesra (Kredit Usaha Keluarga Sejahtera), Takesra
(Tabungan Kesejahteraan Rakyat), KPKU (Kredit Pengembangan Kemitraan
Usaha), KPTTG-Taskin (Kredit Pengembangan Teknologi Tepat Guna Untuk
Pengentasan Kemiskinan) dan masih banyak lagi program-program yang
dilakukan.
Upaya pembangunan yang dilakukan telah berhasil menurunkan tingkat
kemiskinan dari sekitar 60 persen pada awal tahun 1970-an menjadi sekitar 11
persen pada akhir tahun 1996. Pada tahun 1990-an penurunan jumlah dan
persentase penduduk miskin itu makin lambat. Pada awal krisis tahun 1997-1998
jumlah dan persentase penduduk miskin itu meningkat kembali. Pada tahun 1998
jumlah penduduk miskin sempat melonjak menjadi 49.5 juta atau 24 persen
(Suyono 2003). Dengan berbagai usaha yang dilakukan, angka kemiskinan terus
menurun dari tahun 1998 sampai tahun 2014 (Kemkominfo 2011). Akan tetapi,
angka kemiskinan masih tergolong tinggi yaitu sebanyak 11.25 persen atau sekitar
28 juta jiwa pada Maret 2014 (BPS 2014).
Terkait upaya penanggulangan kemiskinan, Sarman M dan Sajogyo (2000)
menyatakan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan sebenarnya harus
dikondisikan oleh suprastruktur dan melibatkan unsur aparat pemerintah, swasta
dan lembaga sukarelawan (LSM). Efektivitas program pengentasan kemiskinan
terwujud jika ada keterpaduan dan keterkaitan program antara lembaga
pemerintah, swasta dan sukarelawan tersebut. Koordinasi dan kepedulian
merupakan syarat bagi semua pihak yang ingin mengentaskan kemiskinan. Akan
tetapi, gejala ego-sektoral justru muncul sebagai penghambat ketercapaian tujuan
program pengentasan kemiskinan.
Penyebab Kemiskinan
Suartha (2013) mengutip dari Sen (1998) mengklasifikasi kemiskinan
bersumber dari empat hal seperti berikut.
1. Heterogenitas personal
Keragaman yang dimiliki oleh seseorang tercermin dalam kehidupan
bermasyarakat. Keragaman tersebut merupakan modal penting dalam
pengembangan diri. Selain itu, keragaman memberikan cerminan strata yang
terjadi dalam masyarakat.
2. Keragaman lingkungan
Perbedaan lingkungan memberikan cerminan keragaman potensi yang
terkandung di dalamnya.
3. Perbedaan iklim
Perbedaan iklim menciptakan perbedaan perilaku masyarakat untuk
memanfaatkan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidup.
4. Perbedaan kebiasaan konsumsi
Pola konsumsi merupakan cerminan gaya hidup yang memberikan kontribusi
terciptanya kemiskinan, terutama bagi daerah-daerah yang memiliki budaya
konsumtif dengan alasan untuk mempertahankan adat istiadat dan melakukan

9

ritual dengan berbagai pengorbanan tanpa mempertimbangan kemampuan
yang dimiliki.
Suartha (2013) mengutip pada Gustafsson dan Yue (2006)
menyimpulkan bahwa rumah tangga yang hidup dengan banyak anggota, dengan
kepala rumah tangga yang pendidikannya rendah, maka anak-anak menghadapi
risiko kemiskinan yang lebih tinggi dari orang lain. Rumah tangga yang memiliki
anggota keluarga lebih dari 4 orang dengan pendidikan kepala rumah tangga
SMP ke bawah memiliki peluang 1.312 kali lebih besar untuk menjadi miskin
daripada rumah tangga yang memiliki anggota keluarga kurang dari 4 orang
dengan pendidikan kepala rumah tangga SMP ke atas.
Menurut Suartha (2013), kemiskinan disebabkan oleh faktor eksternal dan
faktor internal. Faktor eksternal meliputi (1) budaya seperti kentalnya
kekerabatan, kuatnya tradisi turun temurun, ketatnya adat istiadat, keengganan
untuk merantau, budaya untuk kumpul bersama; (2) topografi wilayah; dan (3)
kebijakan pemerintah yang menyangkut keputusan dalam pembangunan yang
menyebabkan kurangnya infrastruktur yang memadai. Adapun faktor internal
meliputi (1) karakteristik demografi seperti usia, jenis kelamin, pendidikan,
jumlah anggota keluarga, pekerjaan, dan penghasilan; (2) motivasi; (3) persepsi;
dan (4) budaya individu seperti malas dan tidak mau memanfaatkan kemampuan
yang dimiliki, tidak disiplin, lebih suka meminta dibandingkan dengan berusaha.
Penelitian Suartha (2013) menyimpulkan beberapa hal di antaranya sikap
rumah tangga miskin untuk keluar dari kemiskinan berpengaruh positif dan
signifikan terhadap keberdayaan. Makin kuat sikap rumah tangga miskin untuk
keluar dari kondisi kemiskinan menyebabkan tingkat keberdayaannya makin
tinggi. Tingkat keberdayaan makin tinggi menunjukkan rumah tangga semakin
mampu keluar dari kemiskinan.
Definisi sikap terhadap kemiskinan yang digunakan dalam penelitian
Suartha (2013) adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
perilaku tertentu, dengan penuh kesadaran untuk keluar dari kemiskinan.
Indikator-indikator dari variabel sikap terhadap kemiskinan adalah sebagai
berikut.
1. Keyakinan kondisi dapat diubah
Adanya keyakinan atas kondisi yang dialami selama menjadi keluarga miskin
dapat berubah menjadi keluarga tidak miskin.
2. Kemiskinan bukan takdir
Kemiskinan yang dialami bukan takdir/nasib, melainkan kondisi yang dialami
akan bisa berubah jika keluarga miskin memiliki keinginan yang kuat untuk
mengubah nasibnya.
3. Tidak senang terhadap kemiskinan
Sikap dari keluarga miskin bahwa kemiskinan adalah bagian dari berbagai
kekurangan/keterbatasan yang dimiliki baik sandang, pangan maupun papan.
4. Senang bisa keluar dari kemiskinan
Suatu keadaan yang diharapkan rumah tangga miskin sebagai wujud dari
perubahan yang diinginkan.
5. Niat yang kuat keluar dari kemiskinan
Keinginan yang kuat dari keluarga miskin untuk keluar dari lingkaran
kemiskinan.

10

6. Bersedia keluar dari kemiskinan
Kesediaan untuk melakukan berbagai kegiatan dengan menerima imbalan atas
aktivitas yang dilakukan.
Lembaga Keuangan Mikro
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga keuangan yang
menyediakan jasa simpanan dan pembiayaan skala kecil kepada masyarakat,
terutama untuk masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Tujuan
keberadaan LKM adalah sebagai sarana perluasan lapangan kerja, pemerataan dan
peningkatan pendapatan masyarakat serta peningkatan kesejahteraan masyarakat
miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Kegiatan usaha LKM meliputi jasa
pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman,
pembiayaan, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi
pengembangan usaha (UU No 1 Tahun 2013). Dengan kata lain, LKM diharapkan
mempunyai pengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat.
Usman dkk (2004) menyatakan bahwa secara umum lembaga penyedia
layanan keuangan mikro dibedakan menjadi empat golongan sebagai berikut.
1. Lembaga formal, yaitu lembaga yang berbadan hukum dan secara formal
diakui oleh perundangan sebagai lembaga keuangan. Lembaga formal
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu bank dan non bank. Contoh lembaga
formal jenis bank adalah BRI, Bank Mandiri dan Bank Perkreditan Rakyat
(BPR), sedangkan contoh lembaga formal non bank adakah Badan Perkreditan
Desa (BPD), Koperasi dan perusahaan pegadaian.
2. Lembaga non formal, yaitu lembaga yang berbadan hukum, akan tetapi belum
memiliki izin sebagai lembaga keuangan. Lembaga non formal ini antara lain
berbentuk Usaha Simpan Pinjam (USP) dan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM).
3. Program-program pemerintah berbentuk pelayanan keuangan mikro,
contohnya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan
(PNPM-MP) yang berbentuk kegiatan simpan pinjam usaha ekonomi
produktif dan bantuan dana bergulir dari pemerintah.
4. Lembaga informal, yaitu lembaga yang sama sekali berbadan hukum,
contohnya kelompok arisan dan rentenir.
Penelitian mengenai efektivitas pelayanan keuangan mikro terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat menghasilkan penemuan beragam. Di
antara penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Litbang dan
Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) UPI (2003) pada beberapa jenis
bantuan bergulir di Kota Bandung, penelitian yang dilakukan oleh Lukman dkk
(2008) pada microbanking di Sumatera Barat dan penelitian yang dilakukan
Rachmawati (2011) tentang dampak Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) terhadap anggota simpan pinjam Usaha Ekonomi
Produktif (UEP).
Hasil evaluasi Badan Litbang dan LPM UPI (2003) pada beberapa jenis
bantuan dana bergulir di Kota Bandung menyimpulkan bahwa ada beberapa hal
yang mempengaruhi efektivitas bantuan dana bergulir. Efektivitas program diukur
dari peningkatan jumlah usaha produktif, pembukaan lapangan kerja baru,
penyerapan tenaga kerja, pengurangan jumlah pengangguran, peningkatan

11

kegiatan ekonomi usaha kecil, dan penyerapan dana oleh masyarakat. Beberapa
hal yang mempengaruhi efektivitas tersebut adalah tingkat pemahaman (persepsi)
masyarakat terhadap program, sosialisasi sebelum pelaksanaan program, proses
pendampingan, penegakan aturan yang berlaku, ketepatan sasaran, penggunaan
dana bantuan, faktor sosial budaya masyarakat, kinerja pengurus, transparansi,
layanan konsultasi, dan daya dukung sarana dan prasarana, termasuk di dalamnya
kelengkapan administrasi yang disediakan.
Penjelasan mengenai masing-masing hal-hal yang mempengaruhi
efektivitas tersebut dapat dilihat pada keterangan di bawah ini.
1. Tingkat pemahaman (persepsi) masyarakat terhadap program
Beberapa pemahaman yang salah mengenai sistem bantuan dana bergulir
menyebabkan tindakan masyarakat yang tidak sesuai dengan harapan
penyedia program. Banyak masyarakat tidak mengembalikan bantuan dana
bergulir karena adanya persepsi bahwa dana merupakan hibah yang tidak
perlu dikembalikan.
2. Sosialisasi sebelum pelaksanaan program
Sosialisasi merupakan langkah awal yang turut menentukan keberhasilan
program. Sosialisasi awal tentang mekanisme program sangat menentukan
kesuksesan program di lapangan. Sosialisasi yang kurang akomodatif dan
aspiratif menimbulkan dampak negatif terhadap jalannya program di lapangan.
3. Proses pendampingan
Pendampingan bertujuan untuk mengawal masyarakat agar dapat
memanfaatkan dana bergulir untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Pendampingan sebaiknya dilakukan hingga tuntas. Pendampingan pada
beberapa program bantuan dana bergulir di Bandung hanya dibatasi dengan
kontrak 4-6 bulan. Pendampingan kemudian diserahkan kepada pengelola
yang ditunjuk berdasarkan musyawarah yang ada di kelurahan. Pengelola
yang ditunjuk sebagai pengganti dalam kondisi belum siap dan belum
memiliki keterampilan dan kemampuan berorganisasi secara profesional. Hal
tersebut menyebabkan rendahnya efektivitas dana bergulir dalam peningkatan
kesejahteraan.
4. Penegakan aturan yang berlaku
Penegakan aturan harus dilakukan agar tujuan program tercapai. Aturan yang
ditegakkan akan membuat pelanggar merasa jera dan sekaligus pelajaran bagi
yang lain. Begitu pula sebaliknya. Aturan yang tidak ditegakkan membuat
peserta program tidak menghargai aturan yang ada, termasuk juga para
penerima bantuan dana bergulir. Masyarakat menganggap bantuan bergulir
merupakan hibah yang tidak perlu dikembalikan. Persepsi tersebut muncul
akibat tidak dimintanya pertanggungjawaban dana bergulir pada periode
sebelumnya.
5. Ketepatan sasaran
Dana bergulir harus diberikan sesuai dengan target sasarannya. Pemberian
dana bergulir pada sasaran yang tidak tepat menyebabkan penggunaan dana
yang tidak sesuai ketentuan. Hal ini dapat dilihat pada penggunaan dana yang
seharusnya untuk kegiatan produktif tetapi digunakan untuk keperluan
konsumtif.

12

6. Penggunaan dana bantuan
Bantuan dana bergulir sebaiknya digunakan untuk usaha produktif secara
kontinu. Penggunaan dana untuk usaha produktif yang hanya berjalan
sementara waktu menyebabkan masyarakat belum mampu mengembangkan
dan meningkatkan usahanya untuk jangka panjang. Mereka juga belum
mampu mengatasi kendala dan meningkatkan pendapatan.
7. Faktor sosial budaya masyarakat
Faktor sosial budaya masyarakat terwujud pada kesiapan masyarakat dalam
berpartisipasi secara aktif pada seluruh tahapan kegiatan. Tahapan tersebut
terdiri atas persiapan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pelestarian, dan
pemeliharaan. Faktor sosial budaya turut mempengaruhi terhadap efektivitas
program.
8. Kinerja pengurus
Tugas pengurus bermacam-macam, di antaranya memahami materi modul dan
teknis operasional, melakukan sosialisasi awal, merangkum aspirasi melalui
musyawarah desa, memberikan layanan konsultasi, dan memberikan
pendampingan. Akan tetapi, kinerja pengurus belum optimal dan kurang
memadai sehingga efektivitas program menjadi rendah.
9. Transparansi
Keterbukaan mendukung keberhasilan program. Ada beberapa hambatan
dalam menciptakan keterbukaan program, di antaranya intervensi elit desa
yang berlebihan dan pengelolaan program yang tidak sesuai aturan. Intervensi
elit desa yang cukup dominan menyebabkan berkembangnya sentimen negatif
dan sikap curiga terhadap para elit desa. Ditambah lagi, pengelolaan bantuan
dana bergulir yang tidak sesuai aturan menyebabkan program terkesan tidak
ada pertanggung jawaban yang jelas dan tidak ada sanksi bagi pengurus dan
anggota yang menyalahgunakan wewenang. Kurangnya transparansi tersebut
menyebabkan rendahnya efektivitas program.
10. Layanan konsultasi
Kelompok masyarakat belum memahami cara-cara untuk mendapatkan
pinjaman dan menggunakan dana bantuan secara optimal untuk meningkatkan
kesejahteraan. Hal tersebut karena peran pengurus dalam memberikan layanan
konsultasi belum optimal.
11. Dukungan sarana dan prasarana
Di antara dukungan sarana dan prasarana yang dianggap masih kurang adalah
daya dukung pada administrasi pembukuan keuangan yang tidak tertib, rapi
dan benar. Kekurangan tersebut juga mempengaruhi kelancaran pelaksanaan
program dana bergulir
Hasil evaluasi Lukman dkk (2008) menyimpulkan bahwa ada beberapa hal
yang mempengaruhi keberhasilan pembiayaan kelompok oleh microbanking di
Sumatera Barat. Beberapa hal tersebut adalah karakter sosial budaya yang dilihat
dari ikatan sosial antaranggota kelompok dan tingkat kepatuhan terhadap ketua
yang merupakan fungsi kontrol sosial, peran ketua kelompok, usaha yang
dijalankan dan asal usul pembentukan kelompok (Lukman dkk 2008).
Penjelasan mengenai masing-masing hal-hal yang mempengaruhi
efektivitas tersebut dapat dilihat pada keterangan di bawah ini.

13

1. Karakter sosial budaya
Karakter sosial budaya dalam penelitian ini dilihat dari dua hal, yaitu ikatan
sosial antaranggota kelompok dan tingkat kepatuhan terhadap ketua. Dalam
penelitia