Analisis prospek pengembangan tanaman jeruk (Citrus nobilis var microcarpa) di Kabupaten Tapin

ANALI SI S PROSPEK PENGEMBANGAN
TANAMAN JERUK ( Citrus nobilis var. microcarpa)
DI KABUPATEN TAPI N

ANI SAH

SEKOLAH PASCA SARJANA
I NSTI TUT PERTANI AN BOGOR
BOGOR
2007

ABSTRAK
ANISAH, Analisis Prospek Pengembangan Tanaman Jeruk (Citrus nobilis var.
microcarpa)
di Kabupaten Tapin dibimbing oleh DJUNAEDI A. RACHIM,
MUHAMMAD ARDIANSYAH dan MUHAMMAD NUR AIDI.
Sampai saat ini sektor pertanian masih merupakan sektor yang paling
dominan dalam perekonomian Kabupaten Tapin. Salah satu komoditi unggulan
Kabupaten Tapin adalah ‘jeruk siam banjar’. Kenyataan saat ini peta kesesuaian
lahan dan informasi kelayakan ekonomi usaha jeruk belum ada. Karena itu dilakukan
penelitian tentang analisis prospek pengembangan tanaman jeruk di Kabupaten Tapin

agar bisa menjadi acuan dalam pengembangan jeruk ke depan.
Metodologi

yang

digunakan

dalam

penelitian

ini

diawali

dengan

mengumpulkan berbagai data dan peta mengenai sumberdaya lahan daerah yang ada.
Tahap berikutnya adalah pembentukan Satuan Lahan Homogen. Kemudian menyusun
model evaluasi lahan menggunakan perangkat lunak ALES versi


4.65d yang

memakai acuan dari A Frame Work for Land Evaluation (FAO 1976) dan penilaian
secara komputerisasi mengacu pada Land Evaluation Computer System (Wood &
Dent, 1983) yang dikembangkan FAO dan Pusat Penelitian Tanah Indonesia.
Berikutnya adalah menyusun peta dalam format GIS dan terakhir menyusun naskah
laporan.
Hasil analisis menunjukan bahwa lahan di Kabupaten Tapin sebagian besar
adalah sesuai untuk tanaman jeruk (S!, S2 dan S3). Hasil analisis ekonomi usaha
tani jeruk di Kabupaten Tapin termasuk layak (Tidak ada BCR < 1 dan IRR 39
6

- lama bulan kering(bln)
- kelembaban
Ketersediaan Oksigen (oa) :
Drainase

Media perakaran (rc) :
Tekstur


Bahan kasar
Kedalaman tanah
Gambut :
Ketebalan (cm)
Sisipan bahan mineral
Pengkayaan
Kematangan
Retensi hara (nr) :
KTK liat (cmol)
Kejenuhan basa (%)
pH H2O
C - organik
Toksisitas (xs) :
Salinitas (ds/m)
Sodisitas (xc) :
Alkalinitas/ESP (%)
Bahaya Sulfidik (xs) :
Kedalaman sulfidik (cm)
Bahaya erosi :

Lereng (%)
Bahaya erosi
Bahaya banjir (fh) :
genangan
Penyiapan lahan (lp) :
Batuan dipermukaan (%)
Singkapan batuan (%)

Sumber : Djaenudin et al. 2003.

KELAS KESESUAIAN

2,5 – 4
50-90

Baik,
sedang

Agak kasar,
sedang,agak

halus, halus
100

Agak
terhambat

Terhambat,
agak cepat

-

Sangat halus

15-35
75-100

35-55
50-75

Sangat

terhambat,
cepat
Kasar

>55
0,8

≤16
125

100-125

60-100

F0

25

>16
≥20

5,5-7,6

8,0

12

Sistem Informasi Geografis (SIG)
Dalam pembangunan pertanian moderen dicirikan antara lain oleh
penggunaan teknologi tinggi, akrab lingkungan dan pemilihan komoditas yang
berorientasi pasar. Untuk menunjang hal tersebut data dan informasi sumberdaya
lahan dan lingkungannya sangat diperlukan dalam waktu cepat, mudah dan akurat.
Hal tersebut hanya dapat diwujudkan jika data dan informasi tersebut tersimpan
dalam suatu sistem basis data yang mampu bekerja dan menganalisa data secara
cepat dan menampilkan hasilnya dalam berbagai format sesuai pilihan yang
diinginkan pengguna baik dalam bentuk tabular maupun data kartigrafik (Suharta
et al. 1996).
Dalam

hal ini SIG memiliki kemampuan dalam menangani data


sumberdaya lahan tersebut menjadi lebih aktraktif dan informatif diantaranya
dengan menghasilkan peta-peta digital.

Secara harfiah SIG dapat diartikan

sebagai suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data
geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk
menangkap,

menyimpan,

memperbaiki,

memperbaharui,

mengelola,

memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu
informasi berbasis geografis (Puntodewo et al. 2003).
Produk yang dihasilkan SIG dapat bervariasi baik dalam hal kualitas,

keakuratan dan kemudahan pemakaiannya. Hasil ini dapat dibuat dalam bentuk
peta-peta, tabel angka-angka, teks

dibuat di atas kertas atau media lain

(hardcopy) atau di dalam cetak lunak (softcopy) seperti file elektronik. Fungsifungsi yang dibutuhkan di sini ditentukan oleh pemakai sehingga keterlibatan
pemakai sangat penting dalam menentukan spesifikasi kebutuhan output (baik
desain maupun pencetakan) ( Barus dan Wiradisastra 2000).
Seperti dalam kartografi maka dalam SIG terkomputerpun data geografik
digambarkan sebagai titik, garis dan area seperti halnya penggambaran pada peta.
Data geografik mempunyai seperangkat ciri yang memuatnya berbeda nyata dari
bentuk data yang lain. Oleh karena itu untuk memelihara agar operasi komputer
dapat berjalan secara efektif maka unsur-unsur tersebut harus diorganisasikan
juga, walaupun berbeda caranya dari pada peta konvensional atau peta kertas.
Berbagai kelebihan dan kekurangan pada set peralatan komputer yang digunakan

13

menyebabkan diperlukannya operasi SIG yang bersifat khusus ( Barus dan
Wiradisastra 2000).

Sejak pertengahan tahun 1970an expert system telah dipakai di berbagai
tempat, salah satunya untuk evaluasi sumber daya alam. Pada saat hampir
bersamaan GIS juga berkembang penggunaannya dalam mengolah dan
menyajikan data spasial. Menurut Yialouris et al. 1997 ; Expert GIS lebih
murah dari segi biaya tetapi bentuk sistem dasarnya sangat mendukung untuk
pekerjaan evaluasi lahan. Desain modularnya memungkinkan kemudahan aplikasi
pada berbagai kondisi tanah, iklim dan pekerjaan lingkungan lainnya. Sejak
persyaratan setiap tanaman disimpan dalam KB (Knowledge Base) yang berbeda,
aplikasi expert GIS untuk tanaman yang baru adalah sangat mungkin dan tidak
ada hukum software sebagai persyaratan. EXGIS berisi lebih dari 600 rules yang
masing-masing telah diformat untuk evaluasi lahan. Evaluasi dengan sistem ini
telah memberikan hasil yang sangat memuaskan. Terakhir juga bisa
mengggantikan sejumlah pekerjaan yang substansial.

Automated Land Evaluation System (ALES)
Salah satu perkembangan teknologi dalam bidang evaluasi lahan yaitu
pemanfaatan perangkat lunak komputer diantaranya yaitu Sistem Otomatisasi
Penilaian Lahan (Automated Land Evaluation System) yang disingkat ALES
(Hendrisman et al. 2000b).
Program ALES merupakan suatu alat yang bersifat pakar dan dapat

dimanfaatkan dengan pengetahuan yang

dimiliki pengguna menyangkut

keterkaitan evaluasi lahan yaitu mengenai tanah, agronomi, sosial ekonomi dan
disiplin ilmu lainnya ( Hendrisman et al. 2000a).
ALES mempunyai 7 komponen sebagai berikut :
1. Kerangka pengetahuan dasar yang menggambarkan arahan penggunaan
lahan, baik secara fisik dan ekonomi.
2. Kerangka pengetahuan dasar yang menggambarkan lokasi lahan yang
dievaluasi
3. Kesimpulan mekanisme secara komputerisasi tentang hubungan antara
fisik dan ekonomi satu unit peta untuk arahan penggunaan lahan.

14

4. Fasilitas yang menjelaskan model yang dibangun agar bisa dipahami
5. Konsultasi yang memungkinkan pengguna mudah mengquery tentang
suatu penggunaan lahan pada waktu tertentu.
6. Laporan yang umum (dilayar, dicetak atau dalam bentuk file)
7. Modul yang bisa mengimport atau mengeksport yang memungkinkan data
dipertukarkan dengan data base eksternal informasi geografi dan lembar
kerja.
ALES bukan GIS dan tidak bisa menampilkan peta sendiri. ALES hanya bisa
menganalisa karakteristik geografi lahan jika tiap unit pada peta didefinisikan
(Rossiter and Wambeke 1997).

Prospek Pasar Buah Jeruk
Pemasaran jeruk saat ini nampaknya belum menjadi masalah yang
berarti bagi petani karena pada masa panen para pedagang datang dengan
sendirinya ke kebun petani. Harga jualnyapun cukup memuaskan dimana untuk
1 keranjang penuh (60 kg) jeruk ukuran AB dihargai Rp. 130.000,-. (Balai
Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika 2004).
Tujuan utama pasar jeruk adalah kota-kota besar di pulau jawa seperti
Surabaya dan Jakarta. Harga buah di tingkat petani sangat bervariasi dan
berfluktuasi terutama pada saat beberapa sentra produksi panen bersamaan
waktunya, kisaran harga jeruk di tingkat produsen antara Rp.1000 - Rp.3000,-. per
kg. Pada kegiatan panen ini, sistem ijon juga masih banyak terjadi di daerah sentra
produksi (Litbang Deptan 2006).
Nilai ekonomis jeruk dapat dilihat dari tingkat kesejahteraan petaninya
yang relatif tinggi. Keuntungan usaha tani jeruk biasanya mulai diperoleh pada
tahun ke-4, dengan besar yang bervariasi tergantung jenis maupun lokasi. Analisis
usahatani jeruk di lahan pasang surut di Lampung dan Kalimantan Selatan yang
memberikan nilai B/C sebesar 1,6 – 2,92, dengan nilai NPV sebesar Rp.6.676.812
– Rp. 9.982.250 dan IRR sekitar 39,4%. Secara umum, hasil analisis terhadap
rataan biaya produksi usaha tani jeruk per hektar, diperoleh tingkat keuntungan
usahatani sebesar Rp 369,57 juta/ha/siklus tanaman atau Rp 33,60 juta/ha/tahun
(Litbang Deptan 2006).

15

Saat ini Indonesia termasuk negara pengimpor jeruk terbesar kedua di
ASEAN setelah Malaysia, dengan volume impor sebesar 94.696 ton; sedangkan
ekspornya hanya sebesar 1.261 ton dengan tujuan ke Malaysia, Brunai Darusalam,
dan Timur

Tengah. Impor buah jeruk segar yang terus meningkat,

mengindikasikan adanya segmen pasar (konsumen) tertentu yang menghendaki
jenis dan mutu buah jeruk prima yang belum bisa dipenuhi produsen dalam negeri
(Litbang Deptan 2006).
Bila dilihat dari sisi ekspornya, tampak bahwa ekspor jeruk nasional masih
sangat kecil dibanding dengan negara produsen jeruk lainnya seperti Spanyol,
Afrika Selatan, Yunani, Maroko, Belanda, Turki dan Mesir. Oleh karena itu,
pemacuan produksi jeruk nasional akan memiliki urgensi penting karena
disamping untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, kesempatan kerja,
konsumsi buah dan juga untuk meningkatkan devisa ekspor nasional (Litbang
Deptan 2006).
Selanjutnya, dilihat dari segi harga Free On Board (FOB) sesungguhnya
komoditas jeruk nasional masih mampu bersaing jika ditingkatkan produksinya
dibandingkan dengan negara-negara produsen lainnya. FOB jeruk nasional
sebesar 328,95 US$/ton, sementara FOB jeruk dari negara Spanyol, Italia, USA,
dan Meksiko diatas FOB Indonesia. Hal yang perlu diperhatikan dalam ekspor
buah jeruk ini adalah bahwa kualitas buah jeruk nasional harus tinggi dan dapat
bersaing dengan kualitas jeruk sejenis dari negara produsen lainnya (Litbang
Deptan 2006).
Dari segi permintaan jeruk meningkat

sebesar 14,3% pertahun.

Pertumbuhan permintaan ini berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1,8%
pertahun dan dari pertumbuhan konsumsi perkapita meningkat sebesar 12%.
Sementara produksi jeruk meningkat sebesar 8,34% pertahun disumbang oleh
pertumbuhan produktivitas sebesar 5,79% dan luas areal sebesar 2,42% pertahun
(Syafa’at et al. 2005).
Neraca perdagangan jeruk Indonesia selama lebih dari 3 dekade terakhir
selalu mengalami defisit atau net impor dan cendrung terus meningkat dari 86 ton
pada tahun 1970 menjadi 19.197 ton pada tahun 2000 bahkan menjadi 24.091 ton
pada tahun 2003. kondisi ini mencerminkan bahwa jeruk Indonesia tidak mampu

16

bersaing dengan jeruk dari negara-negara lain sehingga impor terus mengalir. Hal
ini diduga karena Indonesia tidak mampu memenuhi kriteria kualitas terutama
dalam hal warna, keseragaman bentuk dan ukuran serta cita rasa.

Dengan

demikian ke depan produksi jeruk dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu
memenuhi kebutuhan dalam negeri (Syafa’at et al. 2005).
Produksi jeruk diproyeksikan akan meningkat sangat lambat yaitu sekitar
0,14% per tahun dan konsumsi jeruk juga diproyeksikan meningkat sedikit lebih
cepat dibandingkan produksi tetapi sebenarnya masih sangat lambat yaitu 0,57%
per tahun. Pada tahun 2005 defisit sudah mencapai 12 ribu ton dan naik menjadi
18,65 ribu ton pada tahun 2006 lalu menjadi menjadi 45,7 ribu ton pada tahun
2010 kemudian menjadi 116,6 ribu ton pada tahun 2020 (Syafa’at et al. 2005).
Defisit produksi akan terus meningkat, menguras devisa negara untuk
impor.

Untuk mengurangi hal tersebut maka perlu terobosan dalam upaya

peningkatan produksi baik melalui perluasan tanam, peremajaan maupun
intensifikasi tanaman produktif yang sudah ada (Syafa’at et al. 2005).
Dengan

makin

meningkatnya

jumlah

penduduk,

meningkatnya

pendapatan, dan kesadaran kebutuhan gizi masyarakat, maka permintaan buah
jeruk yang kaya mineral dan vitamin ini akan terus meningkat. Pada tahun 2010,
kebutuhan produksi buah jeruk diprediksi sebesar 2.355.550 ton dan jika
produktivitasnya 17 - 20 ton per ha, maka pada tahun tersebut diperlukan luas
panen kurang lebih 127.327 ha dari 70.000 ha luas panen yang tersedia pada tahun
2004. Penambahan luas areal untuk mencapai total produksi yang telah ditetapkan
hingga tahun 2010 diprediksikan minimal 27.327 ha diluar tanaman yang belum
berproduksi saat itu. Hingga tahun 2010 diperkirakan kebutuhan pengembangan
areal baru seluas 30.060 ha. Dari luasan ini, maka keperluan bibit jeruk yang
bebas penyakit diperkirakan sebanyak 15.030.000 apabila populasi 500 bibit/ha
(Litbang Deptan 2006).

METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai September 2006 meliputi
tahap persiapan, pengumpulan data, identifikasi, pengecekan lapangan, analisis
dan pengolahan data sampai penulisan laporan.
Lokasi penelitian berada di Kabupaten Tapin Propinsi Kalimantan Selatan.
Kabupaten Tapin berjarak 113 km dari kota Banjarmasin yang secara geografis
terletak antara koordinat 2o 11’ 40’’ LS s.d. 3o 11’ 50’’ LS. dan 114o 4’ 27’’ BT
s.d. 115o 3’ 20’’ BT. Sebelah Utara berbatasan dengan dengan Kabupaten Hulu
Sungai Selatan, sebelah Selatan dengan Kabupaten Banjar, sebelah Barat dengan
Kabupaten Barito Kuala dan seb