Analisis Pola Sebaran Titik Panas dan Pemodelan Spasial Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

ANALISIS POLA SEBARAN TITIK PANAS DAN
PEMODELAN SPASIAL KERENTANAN KEBAKARAN
HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KAPUAS,
KALIMANTAN TENGAH

DINI TRESNA DININGTYAS

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pola Sebaran
Titik panas dan Pemodelan Spasial Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014
Dini Tresna Diningtyas
NIM A14090067

ABSTRAK
DINI TRESNA DININGTYAS. Analisis Pola Sebaran Titik Panas dan
Pemodelan Spasial Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten
Kapuas, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH
dan KOMARSA GANDASASMITA.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menjadi masalah serius sejak
tahun 1982/1983. Kabupaten Kapuas merupakan salah satu kabupaten di
Kalimantan Tengah yang sering mengalami kebakaran hutan dan lahan. Tujuan
penelitian untuk menganalisis sebaran titik panas di Kabupaten Kapuas,
mengidentifikasi faktor-faktor pemicu yang menjadi penyebab kebakaran hutan
dan lahan, membangun model spasial kerentanan kebakaran, dan memetakan
tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di wilayah tersebut. Metode
Composite Mapping Analysis (CMA) digunakan untuk membangun model

spasial. Sebaran titik panas selama tahun 2005 sampai 2012 terindikasi
maksimum pada tahun 2006 dan 2009, hal ini diduga karena adanya pengaruh
kekeringan panjang (El-Nino), sehingga intensitas kebakaran meningkat. Faktorfaktor dominan yang menentukan kerentanan kebakaran hutan dan lahan secara
berurutan dari paling tinggi ke rendah adalah kedalaman gambut, jarak terhadap
pusat desa, penutupan/penggunaan lahan, jarak terhadap jalan, dan jarak terhadap
sungai. Faktor kedalaman gambut memiliki pengaruh yang tinggi dibanding faktor
lainnya. Model spasial kerentanan kebakaran hutan dan lahan yang terbaik adalah
model dengan 5 faktor, yaitu kedalaman gambut, jarak terhadap pusat desa,
penutupan/penggunaan lahan, jarak terhadap jalan, dan jarak terhadap sungai.
Hasil pemetaan kerentanan kebakaran hutan dan lahan menunjukkan tingkat
kerentanan tinggi dan sangat tinggi di Kecamatan Mantangai memiliki luas
wilayah terbesar.
Kata kunci : titik panas, kebakaran hutan dan lahan, CMA, penutupan/penggunaan
lahan, tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan

ABSTRACT
DINI TRESNA DININGTYAS. Analysis of Hotspot Pattern and Spatial
Modeling for Vulnerability of Land and Forest Fires in Kapuas District, Central
Kalimantan. Supervised by MUHAMMAD ARDIANSYAH and KOMARSA
GANDASASMITA.

Land and forest fires in Indonesia become a serious problem since
1982/1983. Kapuas District is one of districts in Central Kalimantan which often
experiences land and forest fire. Aim of this research is to analyze the distribution
of hotspot in Kapuas District, to identify the driver factors which cause land and
forest fire, to build spatial modeling and to map land and forest fire vulnerability
index in that area. A Composite Mapping Analysis (CMA) method was used to
build spatial modeling. The maximum distribution of hotspot during 2005 to 2012
occured in 2006 and 2009, and it was estimated due to the influence of El-Nino,
so the intensity of the land and forest fire increased. Dominant driving factors of
land and forest fire vulnerability from the highest to the lowest are depth of peat,
distance to central village, land use/cover, road distance, and river distance. Depth
of peat is a factor that has a higher influence than others factors. The best spatial
modeling for vulnerability of land and forest fire is a model with 5 factors, those
are depth of peat, distance to central village, land use/cover, road distance, and
river distance. The result of land and forest fire vulnerability mapping showed that
high to the very high vulnerability index of the Mantangai sub-district in very
large region.

Keywords: hotspot, land and forest fires, CMA, land use/cover, land and forest
fires vulnerability index


ANALISIS POLA SEBARAN TITIK PANAS DAN
PEMODELAN SPASIAL KERENTANAN KEBAKARAN
HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KAPUAS,
KALIMANTAN TENGAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Analisis Pola Sebaran Titik Panas dan Pemodelan Spasial
Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas,

Kalimantan Tengah
Nama
: Dini Tresna Diningtyas
NIM
: A14090067

Disetujui oleh

Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah
Pembimbing I

Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Baba Barus, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Alhamdulillah. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Desember
2013 ini ialah kerentanan kebakaran hutan dan lahan, dengan judul Analisis Pola
Sebaran Titik panas dan Pemodelan Spasial Kerentanan Kebakaran Hutan dan
Lahan di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan karya ilmiah ini tidak lepas
dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah selaku pembimbing skripsi utama dan Dr. Ir.
Komarsa Gandasasmita, MSc selaku pembimbing dua yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan saran, arahan, dan bimbingannya kepada
penulis.
2. Dr. Boedi Tjahjono selaku dosen penguji atas kritikan dan saran yang telah
diberikan untuk perbaikan penyusunan skripsi ini.
3. Keluarga tercinta papa, mama, Zakki, Mia, dan Ridha, terima kasih atas doa,
kasih sayang, motivasi serta dukungan moral dan spiritual yang tak kunjung
berhenti kepada penulis.

4. Proyek Columbia University and Institut Pertanian Bogor Partnership to
Build Capacity for Adaptation to Climate Risk in Indonesia yang telah
memberikan dukungan data dan dana dalam penelitian ini.
5. Bapak Achmad Siddiq Thoha yang telah membimbing penulis dalam
pengolahan data.
6. Saudara-saudara SOIL 46 terutama teman satu bimbingan Sulistiyanti dan
teman seperjuangan Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial
(Swaesti, Prapti, Lusy, Ega, Vita, Kak Merina, Kak Novia, Bang Farid, dan
lainnya), sahabat Wisma Kristal (Anita, Nurila, Putri, Athu, Tia, Surini, dan
Khairunnisa) terima kasih atas canda tawa, masukan, dukungan, dan
kebersamaannya selama ini, senang bisa menjadi bagian dari kalian.
7. Semua pihak yang telah membantu kegiatan penelitian dan penyusunan karya
ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan,
untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Akhir kata,
semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Mei 2014
Dini Tresna Diningtyas


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Kebakaran Hutan dan Lahan

2

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan

3

Teknologi Penginderaan Jauh


5

Sistem Informasi Geografis

9

METODE

11

Bahan dan Alat

11

Tahap Penelitian

11

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN


15

Letak Geografis

15

Topografi

16

Iklim

16

Jumlah Penduduk

17

Perekonomian

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

18

Jumlah Titik Panas di Kabupaten Kapuas Tahun 2005-2012

18

Evaluasi Kerapatan Titik Panas Terhadap Berbagai Faktor

20

Pemodelan Spasial Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan

26

Pemetaan Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan

29

SIMPULAN DAN SARAN

32

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

38

DAFTAR TABEL
1

Karakteristik band Landsat 7 ETM+

8

2

Bahan yang digunakan dalam penelitian

11

3

Kerapatan titik panas pada berbagai penutupan/penggunaan lahan

23

4

Kerapatan titik panas pada berbagai kedalaman gambut

25

5

Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 1

27

6

Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 2

28

7

Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 3

28

8

Matrik akurasi model terpilih

30

9

Persentase luas daerah berdasarkan kelas kerentanan kebakaran

30

10 Persentase luas kerentanan kebakaran per kecamatan

32

DAFTAR GAMBAR
1

Diagram tahap penelitian

15

2

Peta lokasi penelitian

16

3

Jumlah titik panas tahun 2005-2012

18

4

Jumlah titik panas tahun 2009 di Kabupaten Kapuas

19

5

Peta sebaran titik panas tahun 2009 di Kabupaten Kapuas

20

6

Pola hubungan kerapatan titik panas terhadap jarak dari desa

21

7

Sebaran titik panas terhadap pusat desa

21

8

Pola hubungan kerapatan titik panas terhadap jarak dari jalan

22

9

Sebaran titik panas terhadap jarak dari jalan

22

10 Pola hubungan kerapatan titik panas terhadap jarak dari sungai

22

11 Sebaran titik panas terhadap jarak dari sungai

23

12 Pola hubungan kerapatan titik panas terhadap penutupan/penggunaan
lahan

24

13 Sebaran titik panas terhadap penutupan/penggunaan lahan

24

14 Pola hubungan kerapatan titik panas berdasarkan kedalaman gambut

25

15 Peta sebaran titik panas tahun 2009 pada
Kapuas

26

gambut di Kabupaten

16 Grafik hubungan antara skor komposit model 1 dan kerapatan titik
panas

27

17 Grafik hubungan antara skor komposit model 2 dan kerapatan titik
panas

28

18 Grafik hubungan antara skor komposit model 3 dan kerapatan titik
panas

29

19 Peta tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten
Kapuas

31

DAFTAR LAMPIRAN
1

Skor masing‐masing sub faktor pada faktor kedalaman gambut

35

2

Skor masing‐masing sub faktor pada faktor penutupan/penggunaan lahan

35

3

Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap sungai

35

4

Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap jalan

36

5

Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap pusat desa

36

6

Presentase luas kerentanan kebakaran per kecamatan

37

7

Presentase luas gambut per kecamatan

37

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menjadi masalah serius sejak tahun
1982/1983, berawal dari kebakaran hutan di Kalimantan Timur seluas 3.6 juta ha
yang terjadi karena musim kering panjang yang disebabkan oleh El-Nino. Sejak
tahun 1991 peristiwa El-Nino lebih sering terulang dan makin panjang, yaitu
setiap tiga tahun sehingga menimbulkan kebakaran yang makin meluas. Menurut
Suratmo (2003) beberapa pakar berpendapat bahwa makin meluasnya areal yang
terbakar sejak tahun 1991 disebabkan oleh makin banyaknya hutan alam yang
diubah menjadi hutan produksi (HPH dan HTI), perkebunan, pertanian,
permukiman, dan lain sebagainya. Perubahan penggunaan lahan tersebut
merupakan kebijakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akibat
peningkatan jumlah penduduk.
Titik panas (hotspots) merupakan sebuah istilah untuk area yang memiliki
suhu lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ambang batas yang telah ditentukan
oleh data digital satelit. Data setelit tersebut dapat diperoleh dari sensor yang
terpasang pada sebuah satelit, seperti sensor MODIS (Moderate Resolution
Imaging Spectroradiometer) pada satelit Terra dan Aqua atau sensor AVHRR
(Advanced Very High Resolution Radiometer) pada satelit NOAA (National
Oceanic Atmospheric Administration). Selama ini titik panas banyak
dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian, pemantauan kebakaran hutan/lahan,
penduga terjadinya kebakaran hutan/lahan, pengendalian kebakaran hutan/lahan,
atau prediksi kebakaran hutan/lahan berdasarkan pola penyebaran titik panas.
Berdasarkan data titik panas tahun 2002-2006, Provinsi Kalimantan Tengah
merupakan salah satu provinsi dengan jumlah titik panas terbanyak, selain
Provinsi Riau dan Sumatera Selatan (Samsuri et al. 2012). Kabupaten Kapuas
merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Tengah yang sering mengalami
kebakaran hutan dan lahan dengan jumlah titik panas yang cukup tinggi setiap
tahunnya.
Purbowaseso (2004) mendefinisikan bahwa penyebab kebakaran hutan dan
lahan diantaranya terjadi karena faktor alam dan faktor aktifitas manusia. Faktor
alam yang dapat menyebabkan kebakaran misalnya aktifitas vulkanis dan
sembaran petir pada hutan atau lahan yang kering. Sementara, faktor aktifitas
manusia yang menyebabkan kebakaran misalnya adalah kegiatan penyiapan lahan
untuk ladang, perkebunan, dan HTI. Kebakaran hutan dan lahan dapat
memberikan dampak buruk seperti kerusakan ekologis, merosotnya nilai ekonomi
hutan, dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan
menurunkan keanekaragaman sumber daya alam hayati.
Mengingat dampak buruk tersebut, maka perlu dilakukan upaya untuk
pencegahan kebakaran hutan dan lahan secara dini. Salah satu upaya untuk
mengetahui ancaman kebakaran dan sarana untuk membantu upaya pengendalian
kebakaran adalah dengan menyediakan informasi tingkat kerentanan kebakaran
hutan dan lahan. Informasi ini dapat diturunkan dengan memanfaatkan data titik
panas dan data pendukung lainnya untuk diolah dan dianalisis dengan
memanfaatkan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan Sistem

2

Informasi Geografis (SIG). Hasil analisis menghasilkan model spasial, yang dapat
memetakan tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan. Peta kerentanan
kebakaran hutan dan lahan tersebut diharapkan dapat memudahkan untuk
pemantauan resiko kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas, dan dapat
menjadi masukan bagi pengambilan kebijakan dalam rencana pencegahan
kebakaran hutan dan lahan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis pola sebaran titik panas tahun 2005-2012 di Kabupaten
Kapuas
2. Mengidentifikasi faktor-faktor pemicu yang menjadi penyebab kebakaran
hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas
3. Membangun model spasial tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan
di Kabupaten Kapuas
4. Memetakan tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten
Kapuas

TINJAUAN PUSTAKA
Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga
mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian
ekonomis dan atau nilai lingkungan (PERMENHUT No. P. 12/Menhut-II/2009
pasal 1 angka 2). Menurut Syaufina (2008) kebakaran hutan merupakan kejadian
di mana api membakar bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan
hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran
lahan terjadi di kawasan bukan hutan di mana api membakar material organik di
bawah permukaan serasah seperti yang terjadi pada lahan gambut. Kebakaran di
Indonesia seringkali membakar areal hutan dan areal bukan hutan dalam waktu
bersamaan akibat penjalaran api dari kawasan hutan ke kawasan bukan hutan, atau
sebaliknya.
Berdasarkan posisi terjadinya kebakaran hutan, Sahardjo (2003)
membedakan kebakaran hutan menjadi tiga tipe :
a. Kebakaran Bawah (Ground Fire)
Kebakaran bawah adalah kebakaran yang mengkonsumsi bahan bakar berupa
material organik yang terdapat di bawah permukaan tanah. Kebakaran bawah
ini sangat sukar dideteksi dan berjalan lambat karena tidak dipengaruhi oleh
kecepatan angin. Kebakaran dengan tipe ini biasanya terjadi pada lahan gambut
dan ditandai oleh munculnya asap putih yang keluar dari bawah permukaan
tanah, sehingga menyebabkan banyak pohon mati karena akarnya hangus
terbakar.

3

b. Kebakaran Permukaan (Surface Fire)
Kebakaran permukaan merupakan kebakaran yang mengkonsumsi bahan bakar
yang terdapat di lantai hutan, seperti serasah dan vegetasi-vegetasi kecil yang
ada di permukaan lantai hutan. Kebakaran jenis ini paling sering terjadi pada
tegakan hutan sekunder dan hutan alam, kecuali di daerah rawa gambut yang
dominan dengan kebakaran bawah. Kebakaran ini dapat menjalar pada vegetasi
yang lebih tinggi bahkan sampai pada tajuk pohon, sesuai dengan tingkat
perkembangannya.
c. Kebakaran atas (Crown Fire)
Kebakaran atas atau kebakaran tajuk adalah kebakaran yang berkembang dari
bagian atas pohon yang satu ke tajuk pohon yang lainnya, dan berasal dari
kebakaran permukaan yang menjalar kearah tajuk permukaan pohon. Dalam
tegakan hutan yang rapat pada kondisi tanah yang curam dan dengan tiupan
angin yang cepat, kebakaran tajuk dapat pula menyebabkan kebakaran
permukaan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh faktor biofisik dan faktor
aktivitas manusia. Menurut Suratmo (2003) penyebab utama kebakaran hutan dan
lahan di beberapa wilayah Indonesia dipengaruhi oleh faktor manusia baik karena
kelalaian maupun kesengajaan (pembukaan lahan) dan kecil kemungkinan
disebabkan oleh fenomena alamiah seperti sembaran petir, gesekan kayu, dan
lain-lain. Purbowaseso (2004) juga menjelaskan faktor-faktor penyebab kebakaran
hutan dan lahan meliputi bahan bakar, cuaca, waktu, jenis tanah dan topografi.
Selain itu, Kayoman (2010) mengungkapkan bahwa faktor aktivitas manusia juga
berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan.
Bahan Bakar
a. Ukuran Bahan Bakar
Semakin halus bahan bakar menunjukkan bahan bakar tersebut akan lebih
mudah mengering jika terkena cahaya matahari tetapi bahan bakar halus akan
lebih mudah dalam menyerap air akibat dari luas permukaan yang besar.
Sehingga, dari sifat tersebut dapat diketahui bahwa apabila nyala api mengenai
bahan bakar yang halus maka api akan terbakar dengan cepat tetapi cepat pula
padam.
b. Susunan Bahan Bakar
Bahan bakar yang terdapat di alam dapat tersusun secara horizontal maupun
vertikal. Susunan horizontal akan berpengaruh terhadap luasan penyebaran
kebakaran, sedangkan susunan vertikal akan mempengaruhi ukuran dan
kemampuan nyala api.
c. Volume Bahan Bakar
Volume bahan bakar akan menunjukkan intensitas besarnya kebakaran
sehingga dapat pula digunakan untuk memprediksi kerusakan yang terjadi.
d. Jenis Bahan Bakar
Beberapa jenis bahan bakar yang terdapat di hutan adalah serasah lantai hutan,
kanopi, semak, alang-alang, gambut, dan batang yang melapuk (Purbowaseso
2004).

4

e. Kandungan Air Bahan Bakar
Kandungan air akan berpengaruh terhadap kemudahan bahan bakar menyala
serta kecepatan menyebarnya api (Purbowaseso 2004).
Cuaca
a. Angin
Angin akan menurunkan kelembaban udara sehingga mempercepat
pengeringan bahan bakar serta memperbesar ketersediaan oksigen sehingga api
dapat berkobar dan cepat merambat ke daerah sekitarnya.
b. Suhu
Suhu yang tinggi akan mempercepat bahan bakar mengering sehingga lebih
rentan terhadap kebakaran.
c. Curah Hujan
Curah hujan tinggi menyebabkan bahan bakar akan mengandung kadar air
tinggi serta mempengaruhi kelembaban udara lingkungan sekitar menjadi lebih
tinggi sehingga akan sulit terjadi kebakaran.
d. Keadaan Air Tanah
Faktor air tanah akan terlihat pengaruhnya pada kebakaran lahan gambut. Pada
musim kemarau, kondisi air tanah bisa menurun sehingga menyebabkan
permukaan air tanah juga menurun sehingga menyebabkan lapisan atas gambut
menjadi kering.
e. Kelembaban Nisbi
Kelembaban udara yang tinggi akan mempengaruhi kandungan air bahan
bakar, dimana bahan bakar tersebut akan menyerap air dari udara yang lembab
tersebut sehingga bahan bakar menjadi sulit untuk terbakar (Purbowaseso
2004).
Waktu
Dalam hal ini, waktu terkait dengan kondisi cuaca yang menyertainya.
Pada waktu siang hari, umumnya kondisi cuaca yang terjadi adalah kelembaban
udara rendah, suhu udara tinggi, dan angin bertiup kencang, sedangkan pada
waktu malam hari kondisi cuaca umumnya justru sebaliknya yaitu kelembaban
udara tinggi, suhu udara rendah dan angin bertiup lebih kencang (Purbowaseso
2004).
Topografi
Kelerengan mempengaruhi penjalaran api, sifat-sifat nyala api, dan
perilaku api lainnya. Api menjalar lebih cepat ke arah atas lereng daripada ke
bawah lereng. Kecepatan penjalaran api menaiki lereng sampai kelerengan 20º
relatif sama. Akan tetapi pada kelerengan 30º, kecepatan penjalaran akan
meningkat secara signifikan. Hal ini berbeda pada saat api menuruni lereng,
kecepatan api saat menuruni lereng akan lebih lambat daripada menaiki lereng
(Purbowaseso 2004).
Tipe Tanah
Faktor tipe tanah sangat berpengaruh dalam menentukan kejadian
kebakaran hutan dan lahan terutama pada tipe kebakaran bawah permukaan. Tipe
tanah yang dimaksud adalah tanah gambut dan tanah bukan gambut. Kebakaran

5

yang terjadi pada tipe tanah gambut sangat berbahaya dan sulit dideteksi, karena
tipe kebakaran gambut penjalarannya melalui bawah permukaan (Purbowaseso
2004).
Faktor Aktifitas Manusia
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia berawal dari
pembakaran yang dilakukan oleh manusia baik masyarakat maupun perusahaan.
Pembakaran tersebut dilakukan untuk kegiatan pembersihan lahan (land clearing)
yang akan digunakan untuk lahan pertanian maupun perkebunan. Kebakaran
hutan dan lahan yang yang terjadi karena aktifitas manusia dipengaruhi oleh jarak
terhadap jalan dan jarak terhadap sungai. Kejadian kebakaran banyak terjadi pada
jarak yang dekat terhadap jalan dan sungai, karena jalan dan sungai merupakan
akses yang akan memudahkan masyarakat untuk masuk ke lokasi yang akan
dibuka menjadi lahan pertanian maupun perkebunan (Kayoman 2010).
Teknologi Penginderaan Jauh
Penginderaan jarak jauh merupakan suatu sarana yang sangat bermanfaat
dalam berbagai aspek yang terkait dengan masalah-masalah manajemen
kebakaran. Penginderaan jarak jauh dapat digunakan pada pra-perencanaan
kebakaran yang terkait langsung dengan organisasi sumberdaya guna menangani
kondisi darurat tersebut. Tahap ini mencakup pengetahuan tentang kondisi rawan,
nilai hutan, kualitas lahan, pola cuaca, kondisi bahan bakar dan topografi (Jaya
2003).
Titik Panas
Titik panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang
mengindikasikan suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi dibandingkan
suhu disekitarnya. Definisi tersebut tertulis dalam pasal 1 angka 9 Permenhut
No.P12//P Menhut-II/2009. Titik panas diperoleh dari data setelit yang ditangkap
oleh sensor yang terpasang pada sebuah satelit, seperti sensor MODIS (Moderate
Resolution Imaging Spectroradiometer) pada satelit Terra dan Aqua atau sensor
AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) pada satelit NOAA
(National Oceanic Atmospheric Administration). Titik panas yang ditangkap oleh
satelit akan diproyeksikan menjadi suatu pixel yang juga akan menunjukkan
koordinat geografisnya. Pixel merupakan unit terkecil dari citra satelit/foto. Satu
pixel pada citra satelit NOAA, Aqua, dan Terra setara dengan area seluas 1 km2 di
lapangan. Namun 1 pixel tidak setara dengan 1 km2 luas kebakaran. Jika terjadi
kebakaran pada koordinat tertentu, koordinat tersebut akan ditampilkan di tengah
pixel, meskipun kebakaran yang terjadi berada di pinggir pixel, sehingga untuk
mengetahui lokasi terjadinya kebakaran harus menelusuri kurang lebih 1 km2 dari
lokasi koordinat titik panas tersebut (Purwanto 2012). Oleh sebab itu, titik panas
dari lokasi kebakaran di lapang dapat bergeser hingga radius ±1 km di sekeliling
koordinat titik panas tersebut.
MODIS (Moderate-Resolution Imaging Spectra Radiometer) merupakan
sensor yang dapat mendeteksi suatu objek di permukaan bumi yang memilki suhu
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Sensor ini terdapat pada
satelit Terra dan Aqua. Satelit Terra diluncurkan pada 18 Desember 1999 dan

6

satelit Aqua diluncurkan pada 4 Mei 2002. Satelit Terra melintas dari utara ke
selatan memotong garis khatulistiwa pada jam 10.30 dan 22.30 setiap hari. Satelit
Aqua melintas dari selatan ke utara melewati garis khatulistiwa pada jam 13.30
dan 01.30, sehingga dapat menghasilkan data tampilan secara global setiap 1
sampai 2 hari. Sensor MODIS menghasilkan resolusi radiometrik 16-bit dan
menghasilkan citra dijital dalam beberapa band: biru (band 3), merah (band 1),
hijau (band 4), near-infrared (band 2, 5 dan 16-19), SWIR (band 6-7), visible
(band 8-15), MWIR (band 20-26), dan TIR (band 27-37). Sementara resolusi
spasialnya bervariasi antara 250 m hingga 1000 m diantaranya 250 m (band 1-2),
500 m (band 3-7), dan 1000 m (band 8-36) (Prahasta 2009).
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administartion) merupakan
satelit cuaca milik Amerika Serikat yang didesain untuk memperoleh informasi
tentang hidrologi kelautan dan studi-studi iklim untuk kepentingan meterologi.
Satelit ini mengorbit pada ketinggian orbit 833±18.5 km, inklinasi sekitar 98.7°–
98.9°, dan mempunyai kemampuan mengindera suatu daerah yang sama setiap 12
jam, serta data direkam dengan resolusi radiometrik 10 bit. Satelit ini dilengkapi
dengan 6 (enam) sensor utama, yaitu : AVHRR (Advanced Very High Resolution
Radiometer), TOVS (Tiros Operational Vertical Sonde), HIRS (High Resolution
Infrared Sounder) bagian dari TOVS, DCS (Data Collection System), SEM
(Space Environment Monitor), dan SARSAT (Search And Rescue Sattelite
System). Sensor yang relevan untuk pemantauan bumi adalah sensor AVHRR,
sensor ini mampu mendeteksi adanya anomali panas permukaan bumi untuk
mendapatkan titik panas. Sensor AVHRR-NOAA mampu mendeteksi permukaan
bumi dengan resolusi spasial sebesar 1,1 km x 1,1 km atau sekitar 100 ha.
Meskipun demikian, untuk kondisi suhu yang sangat tinggi, misalnya pembukaan
lahan dengan pembakaran atau kebakaran hutan akan terdeteksi meskipun
luasannya belum mencapai 100 ha, karena sensor AVHRR sangat peka (sensitif)
terhadap panas (Sutanto 2000).
Titik panas yang dideteksi oleh satelit NOAA maupun MODIS banyak
dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian, pemantauan kebakaran hutan/lahan,
penduga terjadinya kebakaran hutan/lahan, pengendalian kebakaran hutan/lahan,
atau prediksi kebakaran hutan/lahan berdasarkan pola penyebaran titik panas.
Mendeteksi terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah dengan cara melakukan
pengamatan terhadap jumlah dan sebaran titik panas yang diperoleh dengan
melakukan pengolahan terhadap data citra satelit. Pengolahan dilakukan dengan
menggunakan metode deteksi titik panas sesuai dengan karakteristik dari sensor
yang digunakan.
Menurut Hiroki dan Prabowo (2003), metode deteksi titik panas ada tiga,
yaitu (1) perolehan data dan prapemrosesan, (2) metode sederhana, dan (3)
metode algoritma kontekstual.
1. Perolehan data dan prapemrosesan
Metode ini merupakan metode yang membuat perencanaan perolehan data
(planning) terlebih dahulu. Tahap perencanaan meliputi, pemilihan daerah yang
akan diambil datanya dan menentukan cakupan liputannya. Ketika saat perekaman
tiba, dilakukan proses penangkapan (capturing). Setelah data diterima, selanjutnya
dilakukan proses kalibrasi, navigasi, dan overlay citra untuk memberikan referensi
geografisnya.

7

2. Metode sederhana
Metode ini dilakukan dengan menetapkan batas nilai ambang suhu
kecerahan tertentu, pada matriks citra. Titik panas akan terdeteksi jika nilai suhu
kecerahan suatu pixel pada citra lebih besar atau sama dengan nilai ambang batas,
begitu pula sebaliknya, jika nilai suhu kecerahan pada pixel tersebut lebih kecil
dari nilai ambang, maka pixel tersebut bukan merupakan titik panas. Menurut
bentuk logika boolean pernyataan di atas dinyatakan dengan :
IF nilai citra
THEN nilai citra
ELSE nilai citra

>
= titik panas,
= bukan titik panas

dimana nilai citra adalah suhu kecerahan saluran yang digunakan dan  nilai
ambang.
Nilai ambang bukanlah suatu nilai yang kaku, tetapi dapat diubah-ubah
sesuai dengan kondisi iklim atau daerah yang dideteksi. Kelebihan metode ini
adalah pada kesederhanaan proses perhitungannya, yaitu waktu pemrosesannya
lebih singkat. Kelemahannya adalah tidak dapat mengeliminasi efek kilau surya
(sunglint), karena pada kondisi-kondisi tertentu dapat terjadi efek kilau surya.
Misalnya jika sudut perekaman terlalu rendah dan mengenai objek air atau atap
rumah pemukiman yang terbuat dari seng, ataupun pada lahan gundul yang
berpasir.
3. Metode algoritma kontekstual
Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kelemahan pada metode
sederhana. Jika pada metode sederhana digunakan hanya satu saluran saja, maka
pada metode ini digunakan lebih dari satu saluran untuk memproses data titik
panas yang ditangkap oleh citra agar data yang diperoleh lebih akurat.
Hasil pengolahan data citra satelit yang diperoleh masih memiliki
ketidakakuratan yang disebabkan oleh kelemahan satelit. Kelemahan dari satelit
NOAA-AVHRR salah satunya yaitu sensor tidak mampu menembus awan, asap
atau aerosol. Kelemahan pada satelit MODIS yaitu sensornya tidak dapat
menembus awan, asap, dan kanopi tajuk, sehingga akan sangat merugikan apabila
kebakaran besar terjadi karena wilayah tersebut tertutup asap. Kejadian ini sering
terjadi pada musim kebakaran, sehingga jumlah titik panas yang terdeteksi jauh
lebih rendah dari yang seharusnya. Kedua satelit tersebut juga memiliki
kelemahan dalam keakuratan posisi (sudut) saat melintas dengan stasiun
penerima.
Kelemahan-kelemahan pada satelit tersebut dapat di atasi dengan analisis
lanjut untuk mengidentifikasi apakah titik panas merupakan kebakaran atau
pembakaran, atau terletak di wilayah yang beresiko tinggi mengalami kebakaran,
seperti pada lahan gambut. Analisis dapat dilakukan dengan melakukan overlay
antar data titik panas dan data peta penggunaan lahan atau data penutupan lahan
dengan Sistem Informasi Geografis. Biasanya titik panas yang terletak di areal
permukiman atau transmigrasi mengidentifikasi kejadian pembakaran untuk
penyiapan lahan. Sementara, titik panas yang terjadi di wilayah seperti HPH (Hak
Pengusaha Hutan), HTI (Hutan Tanaman Industri), atau perkebunan,
kemungkinan besar merupakan kejadian kebakaran (dengan asumsi, perusahaan

8

tidak melakukan pembakaran karena dilarang) (Fire Fight South East Asia 2002
dalam Heryalianto 2006).
Citra Satelit Landsat 7 ETM+
Satelit Landsat 7 sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+)
merupakan satelit observasi permukaan bumi yang masih digunakan hingga
sekarang. Satelit ini diluncurkan pada tanggal 15 April 1999, dengan orbit pada
ketinggian 705 ± 5 km, dengan siklus 16 hari. Sensor ETM 7 band dengan
penambahan band pankromatik (band 8), dan resolusi radiometrik 8 bit.
Karakteristik band ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik band Landsat 7 ETM+

Band

Panjang
Gelombang
(µm)

Spektral

Karakteristik
Penetrasi tubuh air, pemetaan pantai,
pembeda vegetasi-tanah, dan analisis
penggunaan lahan.

1

0.45-0.52

Biru

2

0.52-0.60

Hijau

3

0.63-0.69

Merah

0.76-0.90

Infra
merah
dekat

5

1.55-1.75

Infra
merah
sedang

6

10.40-12.50

Infra
merah
termal

4

Infra
merah
sedang
Sumber: Lillesand dan Kiefer 1997
7

2.09-2.35

Mengukur puncak pantulan hijau
vegetasi untuk membedakan vegetasi
dan penilaian kesuburan
Untuk
penyerapan
klorofil,
memperkuat
kontras
antara
kenampakan vegetasi dan bukan
vegetasi dan membantu dalam
penentuan spesies tumbuhan
Berguna untuk menentukan tipe
vegetasi, dan biomassa vegetasi, dan
memperkuat kontras antara tanaman
tanah dan tubuh air dan pembeda
kelembaban tanah
Untuk penentuan jenis tanaman,
kandungan air vegetasi dan kondisi
kelembaban tanah.
Sensitif terhadap gangguan vegetasi,
pemisahan kelembaban tanah dan
untuk klasifikasi vegetasi serta untuk
gejala lain yang berhubungan dengan
panas.
Sangat berguna sebagai pembeda tipe
mineral dan batuan.

9

Menurut Jaya (2003) pada daerah sinar tampak dan inframerah dekat serta
sedang, energi yang direflektansikan dan direkam oleh sensor sangat bergantung
pada sifat-sifat obyek yang bersangkutan seperti pigmentasi, kadar air, struktur sel
daun atau percabangan dari vegetasi, kandungan mineral, dan kadar air tanah serta
tingkat sedimentasi pada air. Oleh karena itu kombinasi dari satu band sinar
tampak, satu band dari inframerah dekat, dan satu band dari inframerah sedang
dianggap sebagai kombinasi yang cukup ideal digunakan untuk mendeteksi
berbagai penutupan lahan.
Terdapat banyak aplikasi dari data Landsat TM: pemetaan penutupan
lahan, pemetaan penggunaan lahan, pemetaan tanah, pemetaan geologi, pemetaan
suhu permukaan laut, dan lain-lain. Untuk pemetaan penutupan dan penggunaan
lahan data Landsat TM lebih dipilih daripada data SPOT multispektral karena
terdapat band infra merah menengah. Landsat TM adalah satu-satunya satelit nonmeteorologi yang mempunyai band inframerah termal. Data termal diperlukan
untuk studi proses-proses energi pada permukaan bumi seperti variabilitas suhu
tanaman dalam areal yang diirigasi (Thoha 2008).
Beberapa penelitian yang terkait dengan penyediaan peta
penutupan/penggunaan lahan khususnya dibidang kehutanan yang berhubungan
dengan sifat-sifat vegetasi telah banyak menggunakan citra Landsat. Penelitian
yang memanfaatkan citra Landsat diantaranya Ratnasari (2000) menggunakan
citra Landsat untuk pemantauan kebakaran hutan di Kalimantan Timur, Kayoman
(2010) menggunakan citra Landsat untuk menentukan penutupan/penggunaan di
Kalimantan Barat yang merupakan salah satu variabel yang digunakan
penelitiaanya mengenai pemodelan spasial resiko kebakaran hutan dan lahan di
Kalimantan Barat. Menurut Ratnasari (2000) dari hasil interpretasi secara visual
citra komposit warna 542 Landsat-TM dapat diketahui bahwa lahan terbuka akibat
kebakaran nampak dengan warna merah tua dan pola yang tidak teratur, lahan
yang sedang terbakar juga berwarna merah tua namun tampak lebih gelap, hal ini
ditandai dengan adanya sumber asap yang tampak berwarna biru muda dan
menyebar mengikuti pola arah angin.
Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografi (SIG) mencakup juga sistem yang berorientasi
operasi secara manual, yang berkaitan dengan operasi pengumpulan,
penyimpanan, manipulasi data yang bereferensi geografi secara konvensional.
Kemampuan untuk melaksanakan analisis spasial yang kompleks secara cepat
mempunyai keuntungan kualitatif dan kuantitatif, dimana skenario-skenario
perencanaan, model-model keputusan, deteksi perubahan dan analisis, dan tipetipe analisis lain dapat dikembangkan dengan membuat perbaikan secara terusmenerus (Barus dan Wiradisastra 2000).
Menurut Jaya (2003) analisis spasial yang juga disebut dengan pemodelan
adalah suatu proses untuk mendapatkan atau mengekstraksi dan membentuk
informasi baru dari data (feature) geografis. Analisis spasial mencakup proses
pemodelan, pengujian model, interpretasi hasil model. Analisis spasial sangat
bermanfaat untuk prediksi suatu kejadian melalui proses simulasi data geografis,
contohnya untuk menentukan tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan.
Salah satu teknik pembangunan model spasial kerentanan kebakaran hutan dan

10

lahan yaitu dengan menggunakan Analisis Pemetaan Gabungan (Composite
Mapping Analysis/CMA).
Composite Mapping Analysis
Analisis Pemetaan Gabungan (Composite Mapping Analysis/CMA),
merupakan metode yang umum digunakan untuk aplikasi di bidang lingkungan,
seperti pemodelan spasial kebakaran hutan. Arianti (2006), Jaya et al. (2007),
Samsuri (2008) dan Kayoman (2010) menggunakan CMA untuk membuat
pemodelan spasial kerawanan kebakaran hutan dan lahan. CMA memanfaatkan
overlay poligon atau memanfaatkan kemampuan manipulasi sel (raster) dari SIG.
Metode ini dilakukan dengan memberikan bobot terhadap peubah yang telah
diskala, sehingga skor total merupakan kombinasi yang linier. Penentuan tingkat
bobot ini tergantung kebutuhan sesuai ruang lingkup permasalahan yang akan
dipecahkan dengan pengetahuan yang lengkap. CMA yang berbasis SIG biasanya
menggabungkan faktor-faktor yang terkait dengan bencana dan manusia (Arianti
2006).
Samsuri (2008) mendefinisikan metode analisis pemetaan komposit
(Composite Mapping Analysis/CMA) merupakan salah satu cara penentuan bobot
dan skor suatu peubah spasial yang dilakukan secara empiris. Hubungan antara
jumlah titik panas per km² dengan faktor-faktor penyusun kerawanan kebakaran
hutan dan lahan dianalisis untuk menurunkan nilai skor masing-masing faktor.
Faktor yang memiliki korelasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
faktor yang lain dipilih dan digunakan untuk menyusun model regresi linear
berganda. Bobot masing-masing peubah adalah proporsi setiap koefesien korelasi
dari regresi linear terhadap seluruh koefesien regresinya.
Menurut Mapilata (2013) pada metode CMA dilakukan karakteristik lokasi
berdasarkan hubungan spasial dari faktor-faktor yang relevan mempengaruhi
suatu kejadian yang ada atau diusulkan. Secara spasial metode CMA
memanfaatkan fungsi overlay polygon atau manipulasi raster dari SIG. Interaksi
antara kejadian kebakaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran
dilakukan dengan memberikan pembobotan dan skor faktor-faktor yang
mempengaruhi kebakaran terhadap kejadian kebakaran yang telah diskala
sehingga menghasilkan suatu indek gabungan yang linier.
C=∑

atau C =
= 1

+

+ ⋯+

dengan C adalah indeks gabungan merupakan status kelas kerawanan yang telah
diskala, wi adalah bobot parameter i, xi adalah kriteria skor parameter i dan n
adalah jumlah parameter.

11

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan
Tengah yang merupakan wilayah dengan jumlah titik panas lebih banyak
dibandingkan dengan wilayah kabupaten lain di Kalimantan Tengah. Persiapan
dan pengolahan data/citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi
Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB,
Bogor. Pengumpulan data dimulai dari bulan Maret sampai Juni 2013, yang
dilanjutkan dengan pengolahan data dari bulan Juni sampai Desember 2013.
Bahan dan Alat
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
terdiri atas Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2009. Data sekunder terdiri atas peta
administrasi, penutupan/pengggunaan lahan, jaringan jalan, jaringan sungai, pusat
desa, kedalaman gambut, dan data titik panas MODIS tahun 2009. Data yang
digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Bahan yang digunakan dalam penelitian
No.
Data
1.
Citra Landsat 7 ETM+ part/row :
118/60, 118/61, 118/62 tahun 2009
2.
Peta Administrasi Kabupaten
Kapuas
3.
Peta jaringan jalan, jaringan
sungai, pusat desa, dan kedalaman
gambut

Badan Koordinasi Survei
dan Pemetaan Nasional
Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah
Provinsi Kalimantan Tengah

4.

MODIS.gsfc.nasa.gov

5.

Data Titik Panas MODIS tahun
2009
Peta Penutupan/Penggunaan
Lahan Kabupaten Kapuas Tahun
2009

Sumber Data
usgs.glovis.com

CCROM-SEAP (Interpretasi
citra Landsat)

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer, perangkat lunak
ArcGis versi 9.3, Erdas Imagine versi 9.1, dan MINITAB versi 14.
Tahap Penelitian
Pengumpulan Data Digital
Data yang dikumpulkan meliputi peubah model kerentanan kebakaran
hutan dan lahan seperti kedalaman gambut, jarak terhadap pusat desa, jarak
terhadap jalan, jarak terhadap sungai, dan penutupan/penggunaan lahan. Selain
itu, digunakan juga data titik panas dari MODIS, yang diolah menjadi kerapatan

12

titik panas, digunakan untuk membangun model spasial. Pada penelitian ini tidak
menggunakan data curah hujan karena lokasi penelitian hanya mencakup tingkat
kabupaten saja sehingga tidak memiliki curah hujan yang beragam, selain itu data
topografi juga tidak digunakan karena lokasi penelitian memiliki kemiringan
lereng yang relatif datar.
Data penutupan/penggunaan lahan diperoleh dari hasil pengolahan citra
satelit Landsat yang diunduh dari URL glovis.usgs.gov, sedangkan data titik
panas MODIS tahun 2009 diunduh dari URL modis.gsfc.nasa.gov. Kedua data
tersebut dikonversi atau disiapkan menjadi data vektor sehingga dapat diproses
atau diolah dalam SIG. Data kedalaman gambut, jarak terhadap pusat desa, jarak
terhadap jalan, dan jarak terhadap sungai diperoleh dari Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah yang sudah berbentuk data
vektor sehingga dapat langsung digunakan untuk pengolahan data.
Pengolahan Data Peubah Model
Data peubah model yang digunakan, yaitu data kedalaman gambut, jarak
terhadap pusat desa, jarak terhadap jalan, dan jarak terhadap sungai sudah berupa
data vektor sehingga tidak perlu dilakukan digitasi lagi, sedangkan data peubah
lainnya, yaitu penutupan/penggunaan lahan, didapatkan dari pengolahan citra
satelit Landsat tahun 2009. Proses pengolahan citra akan dijelaskan pada sub-bab
selanjutnya. Data tersebut disajikan dengan sistem proyeksi yang sama yaitu
UTM (Universal Tranverse Mercator).
Pengolahan Citra Satelit Landsat
Hasil akhir yang diinginkan dari pengolahan citra Landsat adalah peta
penutupan/penggunaan lahan sebagai salah satu peubah yang digunakan dalam
penelitian ini. Kegiatan dalam pengolahan citra antara lain georeferensi,
mosaicing, histogram matching, dan cropping. Kemudian dilakukan interpretasi
citra secara visual dengan kombinasi band yang digunakan adalah 5-4-3 (RGB),
dengan menggunakan unsur interpretasi: rona (berkaitan dengan derajat keabuan
suatu obyek), tekstur (frekuensi perubahan rona), pola (susunan keruangan
obyek), ukuran, bentuk (berkaitan langsung terhadap bentuk umum, konfigurasi
atau kerangka dari obyek tunggal), bayangan, dan situs (lokasi suatu obyek
terhadap obyek-obyek yang lain).
Interpretasi objek dilakukan melalui 3 tahap, yaitu deteksi, identifikasi,
dan klasifikasi. Deteksi dilakukan untuk mengamati keberadaan suatu objek,
selanjutnya diidentifikasi untuk mencirikan objek. Pada tahap analisis
dikumpulkannya keterangan yang lebih lanjut dengan memperhatikan unsur
interpretasi. Tahap selanjutnya yaitu klasifikasi untuk membatasi dan membagi
penutupan/penggunaan lahan yang berbeda. Tahap ini mengacu pada Petunjuk
Teknis Penafsiran Citra Resolusi Sedang yang dikeluarkan oleh Badan Planologi
Kementerian Kehutanan (Tahun 2010). Hasil dari tahap interpretasi citra adalah
peta penutupan/penggunaan lahan tentatif tahun 2009 dengan kelas penutupan
/penggunaan lahan sebanyak 20 kelas.
Pengolahan Data Titik panas
Data titik panas berupa data tabular hasil pantauan satelit MODIS yang
dikeluarkan oleh NASA dikonversi ke format vektor dengan dengan referensi

13

koordinat geografisnya. Berdasarkan data ini dilakukan analisis kerapatan titik
panas (titik panas per km2), yang selanjutnya digunakan sebagai parameter model
spasial tingkat kerentanan. Nilai kerapatan titik panas ditentukan dengan
menggunakan fungsi analysis calculate density pada perangkat lunak ArcGis versi
9.3, kemudian nilai kerapatan titik panas tersebut dikelaskan menjadi 5 kelas
kerentanan, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Model
spasial tingkat kerentanan kebakaran dibangun berdasarkan hubungan antara
kerapatan titik panas dan masing-masing peubahnya, yaitu kedalaman gambut,
jarak terhadap pusat desa, jarak terhadap jalan, jarak terhadap sungai, dan
penutupan/penggunaan lahan.
Pemodelan Kerentanan kebakaran
Pemodelan dilakukan dengan pendekatan CMA (Jaya et al., 2007).
Kebakaran hutan dan lahan disebakan oleh faktor alam (biofisik) dan faktor akibat
aktivitas manusia. Dalam penelitian ini, peubah merepresentasikan aktifitas
manusia yaitu jarak terhadap pusat desa (x1), jarak terhadap jalan (x2), dan jarak
terhadap sungai (x3), representasi biofisik yaitu kedalaman gambut (x4), dan
representasi dari aktifitas biofisik dan manusia adalah penutupan/penggunaan
lahan (x5). Pemodelan spasial mengikuti tahapan berikut :
a. Penentuan Skor Aktual (actual score)
Nilai skor masing-masing sub faktor dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan (1) dan (2).
Oi

Xi dan Zi = Ei x
Ei =

100


(1)

Oi
Ei

(2)

Keterangan :
Xi = skor kelas (peubah) biofisik
Zi = skor kelas (peubah) aktifitas manusia
Oi = jumlah titik panas yang ada pada setiap sub faktor
Ei = jumlah titik panas yang diharapkan pada setiap sub faktor
T = jumlah total titik panas
F = persentase luas daerah dalam setiap sub faktor
b. Penentuan Skor Dugaan (estimated score)
Berdasarkan hubungan antara skor setiap faktor dan kerapatan titik panas
dihitung nilai skor dugaan menurut pola regresi linear yang memiliki koefisien
determinasi (R2) yang lebih tinggi.
c. Perhitungan Nilai Skor Skala (rescalling score)
Nilai skor skala dihitung dengan menggunakan persamaan 3 (Jaya et al. 2007).
ScoreR.Out =

ScoreE.input – ScoreE.min
ScoreE.max – ScoreE.min

Score.Rmax - ScoreR.min +ScoreR.min (3)

Keterangan :
Score Rout = nilai skor hasil rescalling
Score Einput = nilai skor dugaan (estimated score) input
Score Emin = nilai minimal skor dugaan
Score Emax = nilai maksimal skor dugaan
Score Rmax = nilai skor tertinggi hasil rescalling
Score Rmin = nilai skor terendah hasil rescalling

14

d. Pembuatan Persamaan Matematika
Skor komposit ditentukan dengan metode CMA (Composite Mapping
Analysis), dengan bobot yang dihitung dari pendekatan kuantifikasi.
Selanjutnya, untuk membangun model ditentukan hubungan antara skor
komposit dengan kerapatan titik panas sehingga dapat ditentukan skor
kerentanan.
e. Uji Signifikansi Model
Pengujian signifikansi model dilakukan untuk memilih model terbaik yang
memiliki akurasi tertinggi menggunakan uji Z.
f. Pembuatan Peta Kelas Kerentanan Kebakaran
Tingkat kerentanan kebakaran dikelompokkan menjadi 5 kelas berdasarkan
skor kerentanan.
g. Validasi Model
Validasi model ditentukan berdasarkan nilai matrik koinsidensi antara tingkat
kerentanan kebakaran menurut model dan tingkat kerentanan kebakaran
menurut kerapatan titik panas dengan menggunakan matrik kesalahan
(confusion matrix). Nilai akurasi dihitung dengan persamaan :
OA =

∑ri=1 Xii
N

x 100%

(4)

Keterangan :
OA = nilai validasi keseluruhan
Xii = Coincided value atau luasan kelas kerentanan yang sama antara
model dan kerapatan titik panas
N
= total area validasi
Diagram tahap penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

15

Citra Landsat
Tahun 2009

Pengumpulan Data Digital

Data Titik Panas

Peta
Layer Stack

M ODIS Tahun 2009

Administrasi
Penutupan/ Penggunaan

Jarak Desa

Jarak Jalan

Jarak Sungai

Kedalaman
Gambut

Lahan Tahun 2009
M ozaic

M engubah data tabular
Tumpang

menjadi data vektor

Tindih
M enganalisis Hubungan antara Kerapatan Titik Panas Tahun
Int erpretasi

2009 dengan Fakt or Kerentanan

Distribusi Spasial

Penentuan Skor dan Bobot M asing-masing

M enentukan

Faktor (CM A)

Kerapatan Titik Panas
Tahun 2009

Operasi Spasial

Penentuan Beberapa
Alternatif M odel Spasial

Validasi

Model Terbaik

Peta Tingkat Kerentanan
Kebakaran Hutan dan Lahan

Gambar 1 Diagram tahap penelitian

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
Letak Geografis
Kabupaten Kapuas adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan
Tengah dengan ibukota kabupaten di Kuala Kapuas. Secara geografis Kabupaten
Kapuas terletak di antara 0o8'48" sampai dengan 3o27'00" Lintang Selatan dan
113o2'36" sampai 114o44'00" Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Kapuas
adalah 14 999 km2 yang terbagi menjadi 17 kecamatan yaitu Basarang, Bataguh,
Dadahup, Kapuas Barat, Kapuas Hilir, Kapuas Hulu, Kapuas Kuala, Kapuas
Murung, Kapuas Tengah, Kapuas Timur, Mandau Talawang, Mantangai, Pasak
Talawang, Pulau Petak, Selat, Tamban Catur, dan Timpah.
Batas administrasi wilayah Kabupaten Kapuas berbatasan dengan
kabupaten-kabupaten: sebelah utara dengan Kabupaten Barito Utara dan Murung
Raya, sebelah selatan dengan Laut Jawa dan Kabupaten Barito Kuala Provinsi
Kalimantan Selatan, sebelah barat dengan Kabupaten Pulang Pisau, Kota
Palangkaraya, dan Gunung Mas, dan sebelah timur dengan Kabupaten Barito

16

Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada
Gambar 2.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Topografi
Kabupaten Kapuas mempunyai topografi yang secara umum terbagi menjadi
dua bagian kawasan besar, yaitu kawasan pasang surut (sebelah selatan yang
berpotensi untuk pertanian tanaman pangan) dan kawasan bukan pasang surut
(bagian utara yang berpotensi untuk perkebunan karet rakyat dan perkebunan
besar swasta). Bagian selatan merupakan daerah pesisir, dataran rendah, dan rawarawa dengan ketinggian antara 0-50 meter dari permukaan air laut dan kemiringan
lereng 0-8%. Sementara bagian utara merupakan daerah dataran tinggi yang
berbukit dengan ketinggian antara 50-500 meter dari permukaan air laut dan
memiliki kemiringan lereng 8-15%.
Selain itu daerah Kabupaten Kapuas memiliki daerah/wilayah perairan yang
meliputi danau, rawa, dan beberapa sungai besar, yaitu:
1. Sungai Kapuas Murung dengan panjang ± 66.38 km
2. Sungai Kapuas dengan panjang ± 600 km
3. Daerah Pantai/Pesisir Laut Jawa dengan panjang ± 189.85 km
Iklim
Kabupaten Kapuas pada umumnya termasuk daerah beriklim tropis dan
lembab dengan temperatur pada tahun 2009 berkisar antara 21-23 oC dan

17

maksimal mencapai 36 oC. Intensitas penyinaran matahari selalu tinggi dan
sumber daya air cukup banyak, sehingga menyebabkan tingginya penguapan yang
menimbulkan awan aktif/tebal. Curah hujan terbanyak jatuh pada bulan Februari
berkisar 116-973 mm tiap tahun, sedangkan bulan kering/kemarau jatuh pada
bulan Juli sampai Oktober.
Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Kapuas sekitar 338 583 jiwa dengan
klasifikasi 171 070 laki-laki dan 167 513 perempuan (Kapuas dalam Angka tahun
2009). Tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Kapuas rata-rata sebanyak 22.57
orang per km2. Komposisi penduduk serta penyebaran yang belum merata dan
keberadaan penduduk masih banyak yang bertempat tinggal di sekitar ibukota
kabupaten dan kecamatan. Tingkat pendidikan di kabupaten ini yaitu, kemampuan
baca tulis masyarakat Kapuas cukup tinggi. Lebih dari 95% penduduknya
mengenyam pendidikan Sekolah Dasar, namun kurang dari 50% yang berlanjut
sampai ke jenjang Sekolah Lanjut Tingkat Atas. Penduduk laki-laki memiliki
kemampuan baca tulis lebih tinggi dibandi