Studi sebaran titik panas (Hotspot) sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Jambi tahun 2000 - 2004
STUDI SEBARAN TITIK PANAS (
HOTSPOT
)
SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN
HUTAN DAN LAHAN DI PROPINSI JAMBI
TAHUN 2000-2004
Oleh :
Daniel Yonatan
E14201077
PROGRAM STUDI BUDI DAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
RINGKASAN
Daniel Yonatan, E14201077. Studi Sebaran Titik Panas (Hotspot) Sebagai
Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Jambi Tahun 2000-2004.
Di bawah Bimbingan Ir. Endang A. Husaeni.
Deteksi kebakaran hutan merupakan salah satu kegiatan yang penting
dalam pengendalian kebakaran hutan. Salah satu cara deteksi kebakaran adalah
melakukan deteksi titik panas (hotspot) dengan menggunakan satelit NOAA
(National Oceanic and Atmospheric Administration), yang dilengkapi dengan
sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer). Suatu areal yang
bersuhu 42
oC, dapat mengindikasikan adanya titik panas (hotspot).
Tujuan dari penelititan ini adalah untuk mengkaji sebaran titik panas
(hotspot) sebagai indikator terjadinya kebakaran hutan dan lahan di wilayah
Propinsi Jambi tahun 2000-2004. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2006
sampai dengan bulan Mei 2006. Bahan-bahan penelitian terdiri dari data titik
panas (hotspot) harian di Propinsi Jambi tahun 2000-2004 diperoleh dari FFPMP
2 (kerjasama antara JICA (Japan International Co-operation Agency dan
Departemen Kehutanan Republik Indonesia), data iklim Propinsi Jambi tahun
2000-2004 diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Analisis data yaitu pola sebaran titik panas tahunan Propinsi Jambi tahun
2000-2004, sebaran titik panas bulanan di Propinsi Jambi tahun 2000-2004,
sebaran titik panas tahunan menurut penutupan lahan di Propinsi Jambi tahun
2000-2004, sebaran titik panas tahunan pada setiap kabupaten di Propinsi Jambi
tahun 2000-2004, dan indeks kekeringan Propinsi Jambi Tahun 2000-2004.
Jumlah titik panas meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini memberi
indikasi bahwa pengendalian kebakaran di Propinsi Jambi belum efektif atau
belum berhasil menurunkan jumlah kejadian kebakaran. Kebijakan pemerintah
seperti Kebijakan Tanpa Pembakaran (Zero Burning Policy) di Propinsi Jambi
belum diterapkan secara penuh yang mengakibatkan jumlah titik panas dari tahun
ke tahun terus menungkat.
Jumlah curah hujan bulanan mempengaruhi jumlah titik panas bulanan
dalam kurun waktu tahun 2000-2004. Jumlah titik panas yang rendah terdapat
pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei, November dan Desember.
(3)
Bulan-bulan tersebut memiliki rata-rata jumlah curah hujan Bulan-bulanan yang tinggi. Bulan
Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober memiliki jumlah curah hujan bulanan
yang rendah dan jumlah titik panas yang tinggi, serta jumlah hari hujan terendah
pada bulan Juli sebesar 12,2 hari per bulan. Rata-rata jumlah titik panas tertinggi
bulanan sebesar 533,4 titik terjadi pada bulan Agustus dengan rata-rata jumlah
curah hujan sebesar 133,68 mm. Rata-rata jumlah titik panas terendah pada bulan
Desember sebesar 1 titik dengan rata-rata curah hujan sebesar 185,54 mm. Curah
hujan tahunan di Propinsi Jambi periode tahun 2000-2004 sebesar 1950,9
mm/tahun dengan hari hujan sebesar 170,2 hari.
Pada areal HPH, HSA-W dan HL, terjadinya titik panas kemungkinan oleh
adanya pembukaan areal hutan untuk areal perladangan atau mungkin juga
kebakaran biasa (bukan pembakaran). Untuk membersihkan lahan hutan menjadi
lahan yang siap dijadikan perkebunan atau HTI, pengusaha menggunakan sistem
tebas bakar (Slash and Burn), suatu cara yang murah namun merusak lingkungan.
Di setiap kabupaten di Propinsi Jambi sebaran titik panas tertinggi terdapat
di Kabupaten Tanjung Jabung sebesar 853 titik per tahun, kemudian diikuti
Kabupaten Batanghari sebanyak 430,6 titik per tahun, Kabupaten Sarolangun
Bangko sebanyak 194,2 titik per tahun, Kabupaten Bungo Tebo sebanyak 141,2
titik per tahun, Kabupaten Kerinci sebanyak 27,2 titik per tahun dan terendah di
Kodya Jambi sebanyak 1,6 titik per tahun. Kabupaten Tanjung Jabung merupakan
daerah yang rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan data suhu
maksimum, kelembaban udara dan curah hujan harian tahun 2000-2004 pada
stasiun pengamat cuaca di Propinsi Jambi, maka didapatkan nilai Indeks
Kekeringan Keetch-Byram (KBDI) Propinsi Jambi tahun 2000-2004. Sebaran titik
panas pada setiap kelas indeks kekeringan di Propinsi Jambi tahun 2000-2004
menunjukkan bahwa jumlah titik panas paling tingg terjadi pada kelas Sedang
(1000-1499) sebesar 5714 titik, kemudian diikuti pada kelas Tinggi (>1500)
sebesar 1897 titik, dan sebaran titik panas paling rendah pada kelas Rendah
(0-999) sebesar 440 titik. Adanya titik panas pada kelas Rendah mungkin terjadi
karena adanya pembakaran atau kebakaran biasa yang juga bisa diakibatkan
adanya pengeringan bahan bakar pada hari-hari sebelumnya dimana radiasi
matahari mencapai maksimum.
(4)
STUDI SEBARAN TITIK PANAS (
HOTSPOT
)
SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN
HUTAN DAN LAHAN DI PROPINSI JAMBI
TAHUN 2000-2004
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan
Pada Fakultas Kehutanan
Oleh :
Daniel Yonatan
E14201077
PROGRAM STUDI BUDI DAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(5)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya tanggal 30 April 1983. Penulis merupakan
anak kedua dari 2 bersaudara dari pasangan (Alm) Bapak S. F. Aritonang dan
(Alm) Ibu Martha U. Br. Hutagaol.
Penulis mengikuti pendidikan di TK Bhayangkara Surabaya pada tahun
1988, dilanjutkan di Sekolah Dasar Katolik Santo Mikael Surabaya tahun 1989
dan lulus tahun 1995. Pendidikan dilanjutkan pada Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama Negeri 6 Surabaya dan lulus tahun 1998, selanjutnya di Sekolah
Menengah Umum Negeri 21 Surabaya yang diselesaikan tahun 2001.
Pada tahun 2001 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan terdaftar sebagai mahasiswa
Program Studi Budi Daya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas
Kehutanan. Penulis mengambil minat studi di Laboratorium Kebakaran Hutan dan
Lahan.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan,
penulis melaksanakan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul ”Studi
Sebaran Titik Panas (
Hotspot
) Sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan
Lahan di Propinsi Jambi Tahun 2000-2004”, dibawah bimbingan Bapak Ir.
Endang A. Husaeni.
(6)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kasih karunia dan anugerah yang
dilimpahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Penilis menyadari skripsi ini akan sulit terwujud tanpa bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu penulis berterima kasih kepada :
1.
(Alm) Bapak, (alm) Mama dan Mamaku (E. Br. Marbun) serta Kak Yuli
yang telah mendoakan dan memberikan dorongan moril bagi penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
2.
Bapak Ir. Endang A. Husaeni selaku pembimbing skripsi.
3.
Bapak Effendi Tri Bahtiar, S. Hut dari Departemen Hasil Hutan dan Bapak
Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata sebagai dosen penguji pada ujian komprehensif.
4.
Ibu Mirna dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia atas pemberian
data titik panas yang diperoleh penulis.
5.
Bapak Dadang dan Bapak Dedi dari Badan Meteorologi dan Geofisika
Jakarta atas pemberian data iklim yang diperoleh penulis.
6.
Saudara-saudaraku di Asrama Sylvalestari yang telah banyak memberi
nasehat selama ini.
7.
Nursia Sinaga atas dukungan doanya selama ini.
8.
Semua teman-teman BDH’38 atas kekompakannya.
9.
Teman-teman PMK-E dan KEMAKI-E atas dukungan dan doanya.
10.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas
bantuan doa, tenaga dan moril.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Walaupun
demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
membutuhkan
Bogor, 7 Juni 2006
(7)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul :
STUDI SEBARAN TITIK PANAS (
HOTSPOT
)
SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN HUTAN
DAN LAHAN DI PROPINSI JAMBI TAHUN
2000-2004
Nama
:
Daniel Yonatan
NRP :
E14201077
Menyetujui :
Dosen Pembimbing
(Ir. Endang A. Husaeni)
NIP. 130 338 569
Mengetahui :
Dekan Fakultas Kehutanan
( Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS )
NIP. 131 430 799
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...
1
B. Tujuan Penelitian ...
2
C. Manfaat Penelitian...
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebakaran Hutan ...
3
1. Definisi ...
3
2. Proses Pembakaran ...
3
3. Tipe Kebakaran ...
5
B. Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan ...
6
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penjalaran Api Kebakaran
Hutan ...
7
1. Topografi ...
7
2. Angin ...
7
3. Sifat Bahan Bakar ...
8
D. Deteksi Dini Kebakaran Hutan dan Lahan ...
8
E. Peran satelit NOAA-AVHRR dalam Mendeteksi Kebakaran Hutan .
9
F. Titik Panas (hotspot) ...
9
G. Indeks Kekeringan Ketch Byram (Ketch Byram Drougth Index/
KBDI) ...
10
III. METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian ...
12
B. Bahan dan Alat ...
12
(9)
IV. KONDISI UMUM PROPINSI JAMBI
A. Letak Geografis ...
15
B. Topografi ...
15
C. Iklim ...
16
D. Flora dan Fauna ...
16
E. Penutupan Lahan ...
17
F. Sebab-sebab Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan ...
18
G. Upaya-upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan ...
18
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sebaran Titik Panas Tahunan ...
19
B. Sebaran Titik Panas Bulanan Tahun 2000-2004 ...
20
C. Sebaran Titik Panas Bulanan Menurut Areal Penutupan Lahan
Tahun 2000-2004 ...
21
D. Sebaran Titik Panas Tahunan Pada Setiap Kabupaten Tahun
2000-2004 ...
23
E. Indeks Kekeringan Propinsi Jambi Tahun 2000-2004 ...
23
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...
30
B. Saran ...
30
DAFTAR PUSTAKA ...
31
(10)
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Faktor-faktor penyebab kebakaran hutan tahun 1997/1998 di Indonesia
7
2. Spesifikasi sensor channel AVHRR...
9
3. Contoh tabel sebaran titik panas di Propinsi Jambi tahun 2000-2004 ... 14
4. Penutupan lahan di Propinsi Jambi ...
17
5. Rata-rata curah hujan dan hari hujan bulanan Propinsi Jambi tahun
2000-2004 ...
21
6. Jumlah titik panas pada setiap kelas indeks kekeringan di Propinsi
Jambi tahun 2000-2004 ...
24
(11)
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1 . Segitiga Api ...
3
2 . Rata-rata Jumlah Sebaran Titik Panas Tahunan di Propinsi Jambi
Tahun 2000-2004 ...
19
3 . Rata-rata Jumlah Sebaran Titik Panas Bulanan dan Rata-rata Jumlah
Curah Hujan di Propinsi Jambi Tahun 2000-2004 ...
20
4 . Rata-rata Jumlah Sebaran Titik Panas Menurut Areal Penutupan
Lahan di Propinsi Jambi Tahun 2000-2004 ...
22
5 . Rata-rata Jumlah baran Titik Panas pada Setiap Kabupaten di
Propinsi Jambi Tahun 2000-2004 ...
23
6 . Grafik KBDI Tahun 2000 ...
25
7 . Grafik KBDI Tahun 2001 ...
26
8 . Grafik KBDI Tahun 2002 ...
27
9 . Grafik KBDI Tahun 2003 ...
28
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
No. Teks Halaman
1. Hasil Perhitungan KBDI di Propinsi Jambi Tahun 2000-2004 ...
33
2. Sebaran Titik Panas Tahunan dan Bulanan di Propinsi Jambi Tahun
2000-2004 ...
59
3. Sebaran Titik Panas Menurut Areal Penutupan Lahan di Propinsi
Jambi Tahun 2000-2004 ...
59
4. Sebaran Titik Panas Pada Setiap Kabupaten di Propinsi Jambi Tahun
2000-2004 ...
59
5. Jumlah Titik Panas dan Jumlah Curah Hujan di ropinsi Jambi Tahun
2000-2004 ...
60
6. Waktu (jam) Terjadinya Titik Panas di Propinsi Jambi Tahun
2000-2004
(13)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bencana kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1982/1983, 1994 dan
tahun 1997/1998 telah menyebabkan kerugian besar, baik secara ekonomi maupun
ekologi. Namun, kebakaran hutan sulit untuk dihindari, terbukti bencana tersebut
terulang kembali pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Untuk mengatasi
terjadinya kebakaran yang tidak diinginkan, maka dibutuhkan suatu tindakan
manajemen kebakaran yang terpadu dan terarah, meliputi kegiatan sebelum, saat
dan pasca terjadinya kebakaran hutan. Kegiatan sebelum kebakaran hutan
bertujuan untuk mencegah kebakaran hutan, pada saat kebakaran hutan untuk
mencegah api menjalar lebih luas sedangkan pada saat pasca kebakaran hutan
bertujuan untuk merehabilitasi lahan bekas terbakar.
Deteksi kebakaran hutan merupakan salah satu kegiatan yang penting
dalam rangka pengendalian kebakaran hutan. Salah satu adalah deteksi
keberadaan titik panas (hotspot) lapangan. Cara deteksi Titik panas (hotspot)
dapat dideteksi dengan satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric
Administration), yang dilengkapi dengan sensor AVHRR (Advanced Very High
Resolution Radiometer). Sensor ini bekerja berdasarkan pancaran energi termal
dari obyek yang diamati. Suatu areal yang bersuhu 42
oC, dapat mengindikasikan
adanya titik panas (hotspot) (Sumaryati dan Harjono, 1997). Adanya titik panas
(hotspot) belum tentu ada kebakaran, namun jika ada kebakaran, pasti ada titik
panas. Suhu awal kebakaran berkisar antara 300 – 350
oC, suhu ini sekaligus
merupakan suhu penyulutan dalam kebakaran hutan (Sumaryati dan
Harjono,1997).
Sebaran titik panas bulanan merupakan kumpulan titik panas yang
terpantau dalam satu bulan. Satelit NOAA melakukan pemantauan satu hingga
tiga kali dalam sehari dan terbagi dalam tiga wilayah, yaitu untuk pemantauan
seluruh wilayah Sumatera dan Kalimantan, hanya wilayah Sumatera dan hanya
wilayah Kalimantan (Forest Fire Prevention and Management Project, 2003).
(14)
Wilayah Sumatera dan Kalimantan merupakan wilayah yang sering terjadi
kebakaran hutan.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelititan ini adalah untuk mengkaji sebaran titik panas
(hotspot) sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan di wilayah Propinsi Jambi
tahun 2000-2004.
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang diperoleh dari pengolahan titik panas (hotspot)
bulanan tahun 2000-2004 dari satelit NOAA diharapkan dapat memberikan
informasi tentang daerah-daerah dan penutupan lahan yang memiliki jumlah titik
panas yang tinggi sehingga dapat digunakan dalam penentuan daerah rawan
kebakaran yang sangat berguna dalam kegiatan manajemen kebakaran hutan di
Propinsi Jambi.
(15)
Sumber Panas
Api
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebakaran Hutan
1. Definisi
Menurut Brown dan Davis (1973) kebakaran hutan adalah suatu proses
reaksi cepat dari oksigen dengan unsur-unsur lain dan ditandai dengan adanya
panas, cahaya, serta biasanya menyala. Proses pembakaran ini menyebar secara
bebas dan mengkonsumsi bahan bakar alam hutan, seperti: serasah, humus,
ranting-ranting kayu mati, gulma, semak, dedaunan serta pohon segar.
2. Proses Pembakaran
Proses pembakaran merupakan reaksi kebalikan dari proses fotosintesis
(Brown dan Davis, 1973) :
Proses fotosintesis :
CO
2+ H
2O + energi matahari (C
6H
10O
5)
n+ O
2Proses pembakaran :
(C
6H
10O
5)
n+ O
2+ Kindling Temperature CO
2+ H
2O + Energi
panas
Proses kebakaran hanya dapat terjadi apabila terdapat tiga unsur yang
saling mendukung yaitu bahan bakar, oksigen, dan panas yang disebut segitiga
api (Clar dan Chatten, 1954) :
Gambar 1. Segitiga Api (Clar dan Chatten, 1954)
Beberapa tahapan proses pembakaran dalam kebakaran hutan menurut
DeBano et al. (1998) :
a.
Pre-ignition
Pada tahap ini bahan bakar mulai terpanaskan, terdehidrasi dan mulai
terjadi proses pirolisis, yaitu terjadi pelepasan uap air, CO
2dan gas-gas yang
mudah terbakar termasuk methane, methanol dan hydrogen. Dalam proses
pirolisis ini reaksi berubah dari endothermic (memerlukan panas) menjadi
(16)
exothermic (melepas panas),
dimana bahan bakar menyerap panas sampai titik
bakar.
b. Flaming Combustion
Reaksi exothermic pada fase ini dapat menaikkan temperatur dari 300 ºC –
500 ºC menjadi 1000 ºC - 1400 ºC. Pirolisis melaju dan mempercepat oksidasi
dari gas-gas yang dapat terbakar dan uap air mengakibatkan pirolisis meningkat di
sekitar bahan bakar termasuk O
2dan pembakaran terjadi selama tahap ini. Api
mulai menyala dan dapat merambat dengan cepat akibat hembusan angin, dan
gas-gas mudah terbakar pada tahap flaming menandai penyalaan bahan bakar.
Peningkatan temperatur ini disertai penguapan air dan hancurnya molekul pada
jaringan pohon dan melepaskan gas-gas yang mudah menguap. Oksidasi yang
tinggi dari bahan organik yang dapat terbakar dan gas-gas lain dapat
menghasilkan massa yang paling besar dari produk pembakaran seperti air, CO
2,
SO
2dan NO
(x).c. Smoldering
Smoldering adalah fase combustion permulaan dalam tipe bahan bakar
gambut. Dua zona yang menjadi karakteristik fase smoldering dari pembakaran
adalah zona pirolisis dengan berkembangnya hasil-hasil pembakaran dan zona
arang dengan pelepasan hasil-hasil pembakaran tidak tampak. Laju penjalaran api
mulai menurun karena bahan bakar tidak dapat mensuplai gas-gas yang dapat
terbakar dalam konsentrasi yang cukup dan pada laju yang dibutuhkan untuk
pembakaran yang dahsyat. Kemudian panas yang dilepaskan menurun dan
suhunya pun menurun menyebabkan gas-gas lebih banyak berkondensasi ke
dalam asap. Smoldering biasanya terjadi pada “fuel beds” dengan bahan bakar
yang tesusun dengan baik dan oksigen terbatas, seperti duff, kayu yang membusuk
dan tanah organik (gambut).
d. Glowing
Fase glowing adalah bagian akhir dari proses smoldering. Pada fase ini
temperatur puncak dari pembakaran berkisar antara 300-600 ˚C dan sedikit atau
tidak sama sekali menghasilkan asap. Bila suatu kebakaran mencapai fase
(17)
glowing, sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan
oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan bahan bakar yang
mengarang. Hasil dari fase glowing terutama adalah CO, CO
2dan abu sisa
pembakaran.
e.
Extinction
Kebakaran terhenti bila bahan bakar yang tersedia dikonsumsi, atau bila
panas yang dihasilkan melalui oksidasi baik melalui fase smoldering maupun
glowing tidak cukup untuk menguapkan air yang berasal dari bahan bakar yang
basah (kadar air tinggi).
3. Tipe Kebakaran
Menurut Brown dan Davis (1973) ada tiga bentuk kebakaran hutan yang
penting. Pembagian berdasarkan tempat terjadinya dan bahan bakar yang terbakar,
yaitu:
a. Kebakaran Bawah (ground fire)
Api membakar bahan organik dalam lapisan tanah dan menjalar lambat,
tidak terpengaruh angin, tanpa nyala (flamming), dan umumnya api
mengkonsumsi humus dan gambut. Kebakaran ini sukar untuk diketahui dan sulit
diawasi. Biasanya diikuti dengan kebakaran permukaan yang paling merusak.
b. Kebakaran Permukaan (surface fire)
Api membakar serasah, tumbuhan bawah, limbah pembalakan,
semak-semak, anakan pohon dan bahan bakar lain yang terdapat pada lantai hutan.
Kebakaran tipe ini paling umum terjadi karena kebakaran hutan biasanya dimulai
dari kebakaran permukaan. Kebakaran permukaan dapat merambat ke tumbuhan
yang lebih tinggi dan menjadi kebakaran tajuk.
c. Kebakaran Tajuk (crown fire)
Kebakaran tipe ini ditandai dengan menjalarnya api antar tajuk pohon atau
semak-semak. Umumnya terjadi pada tegakan konifer dan api dapat berasal dari
(18)
kebakaran permukaan. Faktor angin sangat berpengaruh dan bisa mengakibatkan
api loncat (spot fire) yang dapat menyebabkan kebakaran di daerah lain.
Pada kondisi yang memungkinkan ketiga tipe kebakaran dapat terjadi
secara bersamaan. Kebakaran permukaan dapat menjalar menjadi kebakaran tajuk
atau sebaliknya. Api dari tajuk jatuh ke permukaan tanah dan mengakibatkan
kebakaran permukaan. Kebakaran permukaan juga dapat menyebabkan kebakaran
bawah (Brown dan Davis, 1973).
B. Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan
Faktor-faktor penyebab kebakaran hutan pada umumnya dapat dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Faktor kesengajaan
Perladangan berpindah dalam skala besar
Perburuan satwa liar
Tidak senang terhadap petugas kehutanan
b. Faktor ketidak sengajaan
Bara dari kereta api
Api dari pekerja hutan
Api dari perkemahan
Api dari pembuatan arang
c. Faktor alam
Api dari petir
Api dari kawah gunung api
Cuaca kering dan panas
Beberapa studi dan kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian
besar kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh konversi hutan dan pembersihan
lahan (land clearing) (Glover dan Jessup, 1998 & 1999; Bappenas, 1999b dalam
(19)
Simorangkir, dan Sumantri, 2002). Bank Dunia (2001a) selanjutnya mengkaji
sebab-sebab kebakaran pada tahun 1997/1998 (Tabel 1), yang pada dasarnya
bersumber dari kebijakan pembangunan pemerintah dan penerapannya yang
lemah dan tidak konsisten, yang sebagian diakibatkan oleh lemahnya
kerangka-kerangka kerja kelembagaan dan peraturan.
Tabel 1. Faktor-faktor penyebab kebakaran hutan tahun 1997/1998 di Indonesia
Penyebab %
Konversi lahan skala besar
34
Perladanagan berpindah
25
Pertanian menetap
17
Konflik sosial dengan masyarakat lokal
14
Transmigrasi 8
Sebab-sebab alami
2
Sumber : Bank Dunia, 2001a dalam Simorangkir dan Sumantri, 2002
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penjalaran Api Kebakaran Hutan
1. Topografi
Faktor topografi yang berperan dalam penjalaran api adalah kemiringan
lereng (Brown dan Davis, 1973). Api membakar cepat ke arah puncak bukit
dan lambat ke arah lembah. Hal ini disebabkan oleh penyebaran panas dan
adanya angin permukaan yang naik ke atas lereng yang lebih tinggi.
2. Angin
Angin adalah udara yang bergerak. Angin bergerak karena adanya
perbedaan tekanan, aliran udara panas dan udara dingin. Pergerakan angin
merupakan salah satu faktor pertimbangan bagi pemadam kebakaran dalam
memadamkan api. Angin mempengaruhi kebakaran karena:
(20)
b. mendekatkan nyala api ke bahan bakar yang belum terbakar
c. mengeringkan bahan bakar dengan cara meningkatkan evaporasi.
Angin dapat menimbulkan loncatan api ke daerah yang belum terbakar.
Loncatan api ini dapat menimbulkan kebakaran tajuk (crown fire) (Clar dan
Chatten, 1954).
3. Sifat Bahan Bakar
Sifat bahan bakar yang mempengaruhi penjalaran api adalah tingkat
kekeringan bahan bakar. Bahan bakar yang kering akan mudah sekali terbakar
oleh api, sedangkan bahan bakar yang basah sangat sulit untuk terbakar. Sifat
kering dan basah bahan bakar dipengaruhi oleh suhu, radiasi matahari, angin dan
hujan.
D.
Deteksi Dini Kebakaran Hutan dan Lahan
Pemadaman kebakaran hutan dan lahan yang efektif memerlukan deteksi
dini dan pelaporan yang baik. Kalau deteksi dini tidak efisien, kerusakan akibat
kebakaran bisa menjadi demikian besar oleh karena terlambatnya upaya-upaya
pemadaman. Pemadaman belum dapat dilakukan sampai suatu kebakaran dapat
diketahui atau dideteksi. Selang waktu antara mulainya kebakaran dengan
datangnya tenaga pemadam ke lokasi kebakaran akan mencakup waktu-waktu
untuk kegiatan yaitu : deteksi, pelaporan, persiapan, pemadaman dan mobilisasi.
Untuk itu, deteksi kebakaran harus benar-benar diperhatikan agar upaya
pemadaman dapat segera dan mudah dilakukan, sehingga kerugian yang diderita
dapat ditekan sampai sekecil mungkin.
Pengawas tidak mungkin mengawasi seluruh kawasan hutan sepanjang
waktu, bahkan selama musim kering. Paremeter seperti : nilai hutan yang
dilindungi, frekuensi kejadian kebakaran, sifat kebakaran dan efek pemulihannya,
fasilitas transportasi dan komunikasi, sumber dana, kemampuan tenaga pemadam,
dan peralatan pemadaman yang tersedia turut membantu menentukan "kawasan
prioritas" yang harus diawasi sepanjang waktu.
Cara-cara deteksi yang mungkin dapat dilakukan antara lain:
Deteksi dan pelaporan sukarela dari masyarakat;
Patroli darat (secara rutin);
(21)
Patroli udara dan penginderaan jarak jauh (satelit).
E. Peran Satelit NOAA-AVHRR dalam Mendeteksi Kebakaran Hutan
Keterbatasan manusia dalam mendeteksi kebakaran hutan memerlukan
bantuan satelit. Hal ini dilakukan karena tidak semua wilayah hutan dapat
terjangkau oleh pengawasan manusia. Cara deteksi kebakaran yang lebih
menjurus pada terjadinya kebakaran hutan adalah dengan deteksi titik panas
(hotspot). Sensor AVHRR, yang dibawa satelit NOAA, mampu mendeteksi
adanya titik panas di permukaan bumi. Ada dua satelit yang beroperasi yaitu
NOAA 14 dan 16.
Pemanfaatan data satelit ini merupakan sarana yang potensial untuk
mendeteksi atau memantau trejadinya kebakaran hutan karena selain memiliki
sensor yang peka terhadap wilayah dengan temperatur yang tinggi, juga dapat
meliputi daerah yang sangat luas (2.600 x 1.500 km
2) serta dapat mengirimkan
data minimal satu kali dalam sehari.(Departemen Kehutanan, 1989)
Dalam mendeteksi kebakaran hutan dengan satelit NOAA, tidaklah
mendeteksi kebakaran secara langsung namun yang dideteksi adalah titik panas
(hotspot). Adanya titik panas menunjukkan adanya perubahan besar dari radiasi
yang dipancarkan obyek di permukaan bumi dengan naiknya temperatur. AVHRR
memiliki lima buah channel yang beroperasi pada panjang gelombang (0,58-0,68)
µm, (3,55-3,95) µm, (10,3-11,3) µm dan (11,5-12,5) µm (Sumaryati dan Harjono,
1997). Sensor ini mampu mendeteksi permukaan bumi dengan resolusi yang
tinggi yaitu sebesar 1,1 km.
Tabel 2. Spesifikasi sensor channel AVHRR
Sensor
Cahnnel
Panjang
Gelombang
Batasan Spektrum
Elektromagnet
Kegunaan
Deteksi Api
Kegunaan dalam Remote
Sensing
Channel - 1
0,58-0,68µm
Terlihat
Asap
Albedo/ awan
Channel - 2
0,72-1,1µm
Mendekati inframerah Asap
Vegetasi/
awan/
air
Channel - 3
3,55-3,93µm
Tengah inframerah
Api
Api/ permukaan hangat
Channel - 4
10,3-11,3µm
Jauh dari inframerah
Api
Temperatur permukaan laut
Channel - 5
11,5-12,5µm
Jauh dari inframerah
-
Temperatur permukaan laut
Sumber : Vegetation Fire in Mainland South East Asia Spatio-Temporal
Analysis of AVHRR 1 Km Data For The 1992/1993 Dry Season
(22)
F. Titik Panas (
Hotspot
)
Titik panas
(Hotspot) merupakan suatu istilah untuk titik yang memiliki
suhu lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ambang yang ditentukan data digital
satelit. Data digital yang digunakan berasal dari satelit NOAA-AVHRR (National
Oceanic Atmospheric Administration, Advanced Very High Resolution
Radiometer). Nilai ambang batas yang digunakan dalam menetukan suatu titik
panas yaitu 315 K (42
oC) untuk tangkapan sinyal siang hari dan 310 K (37
oC)
untuk tangkapan sinyal pada malam hari ( Hotspot Distribution Image in Sumatra
and Kalimantan July 2002- December 2002) Vol. 11, Forest Fire Prevention
Management Project phase 2, Dephut-JICA).
Titik panas (hotspot) yang dapat ditangkap sinyal akan diproyeksikan
menjadi suatu pixel pada suatu peta yang juga menunjukkan koordinat
geografisnya. Keberadaan suatu titik panas berarti telah terjadi suatu kebakaran
hutan di suatu lokasi. Namun berdasarkan verifikasi di lapangan, kebanyakan dari
titik panas yang dideteksi merupakan kebakaran. Sebagai suatu indikasi awal,
maka titik panas yang dideteksi perlu dilakukan pengecekan ke lapangan (ground
check) sehingga jika terjadi kebakaran dapat secara dini diupayakan
pemadamannya hingga tidak meluas. Berdasarkan keterbatasan yang dimiliki,
satelit NOAA hanya dapat mendeteksi suatu titik panas berupa pixel yang
berukuran 1,1 km x 1,1 km atau 1,21 km
2, dengan demikian untuk ukuran wilayah
panas yang luasannya kurang dari 1,21 km
2akan dipresentasikan sebagai satu
pixel dan kebakaran yang sedikit lebih 1,21 km
2akan dipresentasikan sebagai 2
pixel. Luas areal minimum yang dideteksi sebagai 1 pixel diperkirakan seluas 0.15
ha (Albar,2002).
G. Indeks Kekeringan Keetch Byram (Ketch Bryam Drougth Index/KBDI)
Indeks kekeringan menggambarkan tingkat atau nilai defisiensi
kelembaban tanah yang dihitung berdasarkan data cuaca harian. Metode ini
diperkenalkan pertama kali di Indonesia oleh John E. Deeming dan diterapkan
pada proyek kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Timur sejak 1995 (Solichin
dan Kimman, 2004). Metode ini merupakan dasar untuk memperhitungkan
kandungan kelembaban tanah maksimal, yang biasa didefinisikan sebagai
(23)
kapasitas lapang. Metode ini sangat sederhana karena hanya memerlukan tiga
variabel cuaca untuk menghitung indeks kekeringan, yaitu suhu maksimum
harian, rata-rata curah hujan tahunan, dan kelembabapan relatif. Formula untuk
menghitung nilai Keetch / Byram Drynees Index dalam satuan metrik adalah
sebagai berikut:
05
.
0
)
.
*
00175
.
0
exp(
*
88
.
10
1
001
.
0
*
)
229
.
8
)
522
.
1
.
max
*
0875
.
0
exp(
*
9676
.
0
(
*
)
2000
(
+
−
+
−
+
−
=
Rain
ann
T
YKBDI
DF
Tmax (
oC) adalah suhu maksimum harian. YKBDI adalah indeks kekringan hari
kemarin.
AnnRain (mm/tahun) adalah rata curah hujan tahunan. Terdapat tiga
kelas kekeringan, yaitu rendah (0-999), sedang (1000-1499), dan tinggi (>1500).
Sebagai contoh, jika menunjukkan nilai 0, ini mendeskripsikan kondisi tanah yang
lembab, dalam kondisi ini tanaman dapat tumbuh dengan baik. Bila nilai
menunjukkan 2000, ini mendeskripsikan sama sekali tidak ada kelembaban tanah,
sehingga bila tanah kering tentunya tidak tersedia air yang cukup untuk
menumbuhkan tanaman di atasnya (tanaman mati).
(24)
III. METODE PENELITIAN
A.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelititan ini dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan,
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan
Maret 2006 sampai dengan bulan Mei 2006.
B.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan penelitian terdiri dari :
1.
Data sebaran titik panas (hotspot) harian di Propinsi Jambi tahun
2000-2004 diperoleh dari FFPMP / Forest Fire Project
Management Prevention tahap 2 (kerjasama antara Departemen
Kehutanan Republik Indonesia dan JICA/ Japan International
Cooperation Agency) yang mencakup koordinat titik panas, hari
dan tanggal serta jam terdapatnya titik panas menurut penutupan
lahan / penggunaan tanah dan menurut kabupaten.
2.
Data iklim Propinsi Jambi tahun 2000-2004 diperoleh dari Badan
Meteorologi dan Geofisika .
Alat yang digunakan:
1.
Alat tulis
2.
Alat Hitung
3.
Personal Komputer
C.
Metode Penelitian
1.
Persiapan Penelitian
a.
Penentuan Wilayah Kajian
Wilayah yang dipilih untuk mengkaji data sebaran titik panas (hotspot)
sebagai indikator kejadian kebakaran hutan dan lahan adalah Propinsi
(25)
Jambi, dengan pertimbangan bahwa di Propinsi Jambi merupakan salah
satu propinsi yang sering terjadi kebakaran hutan dan lahan.
b.
Pengumpulan bahan-bahan penelitian berupa data titik panas bersumber
dari FFPMP / Forest Fire Project Management Prevention tahap 2
(kerjasama antara Departemen Kehutanan Republik Indonesia dan JICA/
Japan International Cooperation Agency).
2.
Analisis Data
a.
Pola sebaran titik panas tahunan Propinsi Jambi tahun 2000-2004.
Dari data jumlah titik panas (hotspot) di Propinsi Jambi tahun
2000-2004, dihitung jumlah titik panas setiap tahun sehingga diketahui tahun
yang memiliki jumlah titik panas (hotspot) terbanyak di Propinsi Jambi
selama periode 2000-2004, dan dibuat grafiknya.
b.
Pola sebaran titik panas bulanan di Propinsi Jambi tahun 2000-2004.
Dari data jumlah titik panas (hotspot) di Propinsi Jambi tahun
2000-2004, dihitung jumlah titik panas setiap bulan sehingga diketahui bulan
yang memiliki jumlah titik panas (hotspot) terbanyak di Propinsi Jambi
selama periode 2000-2004, dan dibuat grafiknya
c.
Pola sebaran titik panas tahunan menurut penutupan lahan di Propinsi
Jambi tahun 2000-2004.
Pola sebaran titik panas tahunan menurut penutupan lahan di Propinsi
Jambi tahun 2000-2004 dianalisis dari jumlah kumulatif titik panas
menurut penutupan lahan di Propinsi Jambi tahun 2000-2004.
d.
Pola sebaran titik panas tahunan pada setiap kabupaten di Propinsi
Jambi tahun 2000-2004.
Analisis mengenai pola penyebaran titik panas setiap kabupaten wilayah
Propinsi Jambi tahun 2000-2004, diambil dari data jumlah titik panas
(hotspot) bulanan di hutan dan lahan setiap kabupaten wilayah Propinsi
Jambi. Selama periode 2000-2004, titik panas (hotspot) menyebar di
setiap kabupaten wilayah Propinsi Jambi. Pola penyebaran tersebut
(26)
dianalisis untuk mengetahui apakah suatu titik panas (hotspot) selalu
berada pada suatu kabupaten wilayah Propinsi Jambi periode
2000-2004. Lalu dibuat juga grafik pola penyebaran titik panas setiap
kabupaten wilayah Propinsi Jambi tahun 2000-2004.
e.
Indeks kekeringan Propinsi Jambi Tahun 2000-2004.
Indeks kekeringan harian dihitung dari data iklim Propinsi Jambi tahun
2000-2004. Nilai indeks kekeringan dikaitkan dengan waktu (tanggal)
terjadinya titik panas.
Tabel 3. Contoh Tabel Sebaran Titik Panas di Propinsi Jambi tahun 2000-2004
Bulan
Tahun
Jumlah Rata-rata
2000 2001 2002 2003 2004
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
(27)
IV. KONDISI UMUM PROPINSI JAMBI
A. Letak Geografis
Propinsi Jambi terletak di Pantai Timur Pulau Sumatera berhadapan
dengan Laut Cina Selatan, pada alur lalu lintas Internasional dan Regional. Secara
geografis Propinsi Jambi terletak diantara 0º 45’ – 2
o45’ Lintang Selatan dan
antara 101
o10’ – 104
o44’ Bujur Timur. Luas wilayah Propinsi Jambi 53.435,72
km
2, luas daratan 51.000 km
2, luas lautan 425,5 km
2dan panjang pantai 185
km. Batas-batas Wilayah Propinsi Jambi adalah sebagai berikut :
•
Sebelah Utara dengan Propinsi Riau
•
Sebelah Selatan dengan Propinsi Sumatera Selatan
•
Sebelah Barat dengan Propinsi Sumatera Barat
•
Sebelah Timur dengan Laut Cina Selatan
Propinsi Jambi termasuk dalam kawasan segi tiga pertumbuhan Indonesia-
Malaysia-Singapore (IMS-GT) dan Indonesia-Malaysia-Thailand (IMT-GT).
Waktu tempuh dari Jambi ke Singapura melalui jalur laut melalui Batam dengan
menggunakan kapal cepat (jet-foil) ± 5 jam ( Bappeda Jambi, 2005 dan
Pemerintah Kota Jambi, 2005 ).
B. Topografi
Kondisi lahan di Propinsi Jambi bervariasi dari daratan rendah sampai
daratan tinggi yaitu ( Bappeda Jambi, 2005 ):
•
Kemiringan 0– 3% = 14.576 km
2(29,0%)
•
Kemiringan 3–12%= 14.381 km
2(28,6%)
•
Kemiringan 12–40%= 9.306 km
2(18,5%)
•
Kemiringan >40% = 12.000 km
2(23,9%)
Jumlah luas areal menurut ketinggian tempat di Propinsi Jambi:
-
0 - 100 meter = 34.738 km
2(53,2%)
-
101-500 meter = 17.981 km
2(24,5%)
-
500-1.000 meter = 9.127 km
2(13,9%)
-
> 1.000 meter = 5.437 km
2( 8,4%)
(28)
C. Iklim
Dari sisi iklim, Propinsi Jambi termasuk beriklim tropis. Musim hujan
jatuh pada bulan Oktober sampai April (dipengaruhi oleh Musim Tenggara) dan
musim kemarau pada bulan April sampai Oktober (dipengaruhi oleh Musim
Barat). Jumlah curah hujan di Propinsi Jambi tercatat sebesar 201,5 mm/bulan dari
hari hujan 13,5 hari per bulan. Pada siklus 30 tahunan terjadi curah hujan yang
lebih besar sehingga terjadi banjir. Iklim Propinsi Jambi bertipe A (Schmidt and
Ferguson) dengan curah hujan rata-rata 1.900 – 3.200 mm/tahun dan rata-rata hari
hujan 116 – 154 hari per tahun. Suhu maksimum sebesar 31
oC ( Bappeda Jambi,
2005 dan BMG, 2005 ).
D. Flora dan Fauna
1. Flora
Di Propinsi Jambi terdapat beberapa tipe ekosistem hutan hujan dataran
rendah sampai ekosistem sub alpin serta beberapa ekosistem yang khas (rawa
gambut, rawa air tawar, dan danau). Selain itu terjadi pendominasian oleh
beberapa jenis famili seperti Dipterocarpaceae,
Leguminosae,
Lauraceae,
Myrtaceae,
Bombacaceae,
Moraceae,
Anacardiaceae,
Myristicaceae,
Euphorbiaceae dan Meliaceae. Dari penelitian Biological Science Club pada
tahun 1993 ditemukan 115 jenis tumbuhan etnobotani yang digunakan oleh
masyarakat untuk keperluan sehari-hari.
2. Fauna
Beberapa jenis fauna yang ada seperti Badak Sumatera, Gajah Sumatera,
Macan dahan, Tapir, Kambing Hutan, Katak bertanduk, Siamang,Wau-wau
Hitam, Beruk, Kera ekor panjang, Tiung Sumatera masih mendominasi pada
beberapa taman nasional yang ada di Propinsi Jambi (Forest Watch Indonesia,
2004).
(29)
E. Penutupan Lahan
Tabel 4. Penutupan Lahan Propinsi Jambi tahun 2002 dan tahun 2003
Kode Keterangan
Luas tahun 2002
(Ribu Ha)
Luas tahun 2003
(Ribu Ha)
A. Hutan
2001 Hutan Lahan Kering Primer
378
111
2002 Hutan Lahan Kering Sekunder
624
879
2005 Hutan Rawa Primer
125
147
20051 Hutan Rawa Sekunder
237
132
2004 Hutan Mangrove Primer
0
0
20041 Hutan Mangrove Sekunder
2
5
2006 Hhutan
Tanaman
96
108
Jumlah Hutan
1463
1380
B. Non Hutan
2007 Belukar
66
180
20071 Belukar
Rawa
133
308
3000 Savana
0
0
2010 perkebunan
288
421
20091 Pertanian
Lahan
Kering
65
162
20092 Pertanian Lahan Kering Campur
1447
1496
20093 Sawah
298
52
20094 Tambak
0
2
20121 Pelabuhan
Udara/
Laut
0
0
20122 Transmigrasi
28
11
2014 Tanah
Terbuka
27
65
5001 Pemukiman
17
30
50011 Tubuh
Air
5
0
Rawa
1
20
Jumlah Non Hutan
2377
2747
C. Tidak Ada Data / Awan
2500 Awan
970
Tidak Ada Data
0
687
Jumlah Tidak Ada Data
970
687
Jumlah Total
4810
4814
( Sumber : Departemen Kehutanan )
Pada tabel 4 dapat terlihat kondisi penutupan lahan dari tahun 2002-2003.
Pada areal kawasan hutan terjadi pengurangan luas kawasan hutan dari tahun
2002-2003, sedangkan untuk areal luar kawasan hutan terjadi penambahan luas
kawasan. Hal ini menandakan dari tahun 2002-2003 terjadi pengkonversian areal
kawasan hutan menjadi areal bukan kawasan hutan.
(30)
F. Sebab-sebab Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan
Penyebab terjadinya kebakaran dibagi menjadi 2 bagian yaitu alami dan
buatan. Penyebab alami dipengaruhi oleh adanya pengaruh dari penyimpangan
iklim seperti El Nino maupun osilasi atmosfer di atas Samudera Hindia yang
menyebabkan kondisi cuaca yang ekstrem di beberapa wilayah di Indonesia
termasuk di Propinsi Jambi (SSFMP, 2004). Penyebab buatan kebanyakan
dilakukan oleh masyarakat dan pengelola HTI untuk pembukaan lahan (WARSI,
2003). Selain itu juga karena adanya illegal logging, degredasi lahan, pembukaan
lahan untuk pemukiman dan pertanian serta perkebunan oleh masyarakat setempat
dengan jalan membakar hutan (FFPMP, 2000 dan Syaipul Bakhori, 2004).
Problem tersebut merupakan problem utama yang ada dan berkembang di
masyarakat sekitar hutan di Propinsi Jambi. Problem utama yang kedua adalah
kurang adanya kerjasama antara instansi pemerintah, Departemen Kehutanan dan
Perkebunan, tentara dan organisasi massa dalam hal menanggulangi bahaya
kebakaran yang nantinya akan terjadi.
G. Upaya-upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Salah satu upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Jambi
adalah mengadakan kerja sama antara pemerintah daerah dengan Direktorat
Penanggulangan Kebakaran Hutan Departemen Kehutanan, Balai Konservasi
Sumber Daya Alam (BKSDA) dan JICA (Japan International Co-operation
Agency) dalam program FFPMP 2 (Forest Fire Project Management Prevention
tahap ke dua). Tujuan dari proyek tersebut adalah melaksanakan kegiatan
pencegahan dan pemadaman dini kebakaran hutan dan lahan yang berkelanjutan,
layak dan dapat dijadikan proyek percontohan yang baik, sesuai dengan sumber
daya alam Indonesia, guna melindungi taman nasional. Ada 4 macam kegiatan
utama, yaitu sistem deteksi dini dan peringatan dini, pemadaman dini kebakaran
hutan, kegiatan penyuluhan dan humas, dan pencegahan kebakaran hutan secara
partisipatif (Workshop FFPMP 2, 2006).
(31)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sebaran Titik Panas Tahunan
Berdasarkan data satelit NOAA-AVHRR (Gambar 2), maka jumlah titik
panas pada tahun 2004 memiliki jumlah lebih banyak dari pada jumlah titik panas
tahun 2000, tahun 2001, tahun 2002, dan tahun 2003. Pada tahun 2000, tahun
2001, tahun 2002, dan tahun 2003 hanya terdapat secara berurutan 220 titik, 468
titik, 1577 titik, dan 2608 titik, sedangkan pada tahun 2004 terdapat sebanyak
3178 titik.
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500
J
u
m
lah
T
it
ik
P
an
a
s
Jumlah Titik Panas 220 468 1577 2608 3178 Tahun
2000
Tahun 2001
Tahun 2002
Tahun 2003
Tahun 2004
Gambar 2. Jumlah Titik Panas di Propinsi Jambi Tahun 2000-2004 (Sumber data
titik panas: Satelit NOAA, FFMP2-PHKA / JICA).
Jumlah titik panas meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini memberi indikasi
bahwa pengendalian kebakaran di Propinsi Jambi belum efektif atau belum
berhasil menurunkan jumlah kejadian kebakaran. Kebijakan pemerintah seperti
Kebijakan Tanpa Pembakaran (Zero Burning Policy) di Propinsi Jambi belum
diterapkan secara penuh yang mengakibatkan jumlah titik panas dari tahun ke
tahun terus meningkat.
(32)
0 100 200 300 400 500 600
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des
Bulan
Jumlah Titik Panas Curah Hujan (mm)
B. Sebaran Titik Panas Bulanan Tahun 2000-2004
Jumlah curah hujan bulanan mempengaruhi jumlah titik panas bulanan
(Gambar 3) dalam kurun waktu tahun 2000-2004. Rata-rata jumlah titik panas
yang rendah terdapat pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei, November
dan Desember. Bulan-bulan tersebut memiliki rata-rata jumlah curah hujan
bulanan yang tinggi. Bulan Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober memiliki
rata-rata jumlah curah hujan bulanan yang kecil dan rata-rata jumlah titik panas
yang tinggi. Rata-rata jumlah titik panas tertinggi bulanan sebesar 533,4 titik
terjadi pada bulan Agustus dengan rata-rata jumlah curah hujan sebesar 133,68
mm. Rata-rata jumlah titik panas terendah pada bulan Desember sebesar 1 titik
dengan rata-rata curah hujan sebesar 185,54 mm. Curah hujan tahunan di Propinsi
Jambi periode tahun 2000-2004 sebesar 1950,9 mm/tahun.
Gambar 3. Jumlah Titik Panas Bulanan dan Jumlah Curah Hujan Bulanan di
Propinsi Jambi Tahun 2000-2004 (Sumber data titik panas dan curah
hujan: Satelit NOAA, FFMP2-PHKA / JICA, Badan Meteorologi dan
Geofisika).
Gambar 3 menunjukkan frekuensi terjadinya kebakaran yang tinggi pada
bulan Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober. Pada bulan-bulan tersebut
sangat perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan terjadinya kebakaran. Rata-rata
jumlah hari hujan bulanan tertinggi sebesar 16,8 hari per bulan adalah bulan
Februari. Rata-rata jumlah hari hujan terendah sebesar 12,2 hari per bulan adalah
bulan Juli. Pada setiap bulannya, rata-rata jumlah hari hujan pada setiap bulan
selama periode tahun 2000-2004 cukup tinggi, namun yang membedakan adalah
rata-rata curah hujan. Bulan Maret dan bulan Desember memiliki rata-rata jumlah
(33)
hari hujan sama sebesar 16,2 hari per bulan, namun rata-rata curah hujan pada
bulan Maret 174,7 mm dan bulan Desember 185,54 mm. Jumlah rata-rata hari
hujan tahunan Propinsi Jambi periode tahun 2000-2004 sebesar 170,2 hari per
tahun.
Tabel 5. Curah Hujan dan Hari Hujan Bulanan Propinsi Jambi Tahun 2000-2004
Bulan
Rata-rata
(Hari)
Curah Hujan
(mm)
Jan
13.8 226.56
Feb
16.8 328.26
Mar
16.2 174.7
Apr
13.8 96.52
May
14 138.32
Jun
12.4 110.26
Jul
12.2 122.14
Aug
13.2 133.68
Sep
11.8 103.3
Oct
14.6 160.34
Nov
15.2 171.3
Dec
16.2 185.54
Jumlah
170.2 1950.9
Waktu terjadinya titik panas (Lampiran 6) adalah pada pukul 07.00-pukul
12.00 WIB. Terjadinya titik panas dimungkinkan adanya radiasi maksimum
matahari pada hari sebelumnya atau juga adanya pembakaran oleh masyarakat
sekitar hutan dengan tujuan membuka lahan untuk perladangan.
C. Sebaran Titik Panas Menurut Areal Penutupan Lahan Tahun 2000-2004
Pola sebaran titik panas di dalam kawasan hutan di Propinsi Jambi dalam
kurun waktu tahun 2000-2004 (Gambar 4), menunjukkan rata-rata jumlah titik
panas paling tinggi pada areal hak pengusahaan hutan (HPH), yaitu sebesar 371,6
titik per tahun, kemudian diikuti areal hutan tanaman industri (HTI) sebanyak 82,6
titik per tahun, areal hutan suaka alam dan hutan wisata sebanyak 44,8 titik per
tahun dan jumlah titik panas paling rendah terdapat di areal hutan lindung, yaitu
sebanyak 11,8 titik per tahun. Di luar kawasan hutan, jumlah titik panas paling
tinggi terdapat pada areal lahan milik sebesar 815,4 titik per tahun, kemudian
diikuti areal transmigrasi (TRA) sebesar 156,8 titik per tahun dan paling rendah
pada areal perkebunan (KUB) sebesar 127 titik per tahun.
(34)
Adanya sejumlah titik panas yang terjadi pada areal lahan milik, TRA,
KUB, dan HTI mungkin merupakan kegiatan adanya pembakaran dalam rangka
penyiapan lahan untuk areal pertanian atau kehutanan. Pada areal HPH, HSA-W
dan HL, terjadinya titik panas kemungkinan oleh adanya pembukaan areal hutan
untuk areal perladangan atau mungkin juga kebakaran biasa (bukan pembakaran).
Pembakaran dalam rangka pembukaan lahan dalam kegiatan perkebunan lebih
banyak disebabkan oleh pertimbangan ekonomis dari pada ekologis (Hadisuparto,
2003). Untuk membersihkan lahan hutan menjadi lahan yang siap dijadikan
perkebunan atau HTI, pengusaha menggunakan sistem tebas bakar (Slash and
Burn), suatu cara pembersihan lahan yang murah. Saharjo (2002), menyatakan
bahwa timbulnya kebakaran besar dan beraturan dalam suatu wilayah HPH
tertentu merupakan indikasi telah terjadi sesuatu yang terencana dan sistematis,
yaitu pembakaran limbah vegetasi sisa tebangan untuk tujuan komersial seperti
penyiapan lahan. Hal ini dapat dibuktikan dengan telah berkali-kali terjadinya
kebakaran, namun yang sesungguhnya adalah pembakaran yang disengaja ataupun
karena kelalaian. Dapat dikatakan bahwa penyebab timbulnya kebakaran hutan
yang hampir terjadi pada setiap tahun adalah akibat dari kebijakan konversi lahan
yang dikeluarkan oleh pemerintrah yang bertujuan untuk mengkonversi hutan
(primer maupun sekunder) menjadi hutan tanaman maupun perkebunan.
Gambar 4. Jumlah Titik Panas Menurut Areal Penutupan Lahan Propinsi Jambi
Tahun 2000-2004 (Sumber data titik panas: Satelit NOAA,
FFMP2-PHKA / JICA).
Rata-rata Jumlah Hotspot
0 150 300 450 600 750 900
Rata-rata Jumlah
Jumlah Titik Panas per Tahun
Jumlah Titik Panas per tahun 371.6 82.8 44.8 11.8 127 156.8 815.4
(35)
D. Sebaran Titik Panas Pada Setiap Kabupaten Tahun 2000-2004
Sebaran titik panas pada setiap kabupaten di Propinsi Jambi (Gambar 5)
menunjukkan bahwa rata-rata jumlah titik panas tertinggi terdapat di Kabupaten
Tanjung Jabung, yaitu sebesar 853 titik per tahun. Diikuti Kabupaten Batanghari
terdapat 430,6 titik per tahun, Kabupaten Sarolangun Bangko sebanyak 194,2 titik
per tahun, Kabupaten Bungo Tebo sebanyak 141,2 titik per tahun, dan Kabupaten
Kerinci sebanyak 27,2 titik per tahun. Jumlah titik panas terendah, terdapat di
pada Kodya Jambi sebanyak 1,6 titik per tahun. Kabupaten Tanjung Jabung
merupakan daerah yang paling rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan.
Kemungkinan kebakaran hutan dan lahan di kabupaten ini terjadi akibat kegiatan
perladangan di dalam dan di sekitar kawasan hutan dimana penerapan Zero
Burning sulit dilaksanakan bagi masyarakat umum.
Gambar 5. Jumlah Titik Panas Tahunan Pada Setiap Kabupaten di Propinsi Jambi
Tahun 2000-2004 (Sumber data titik panas: Satelit NOAA,
FFMP2-PHKA / JICA).
E. Indeks Kekeringan dan Terjadunya Titik Panas di Propinsi Jambi Tahun
2000-2004
Berdasarkan data suhu maksimum, kelembaban udara dan curah hujan
harian tahun 2000-2004 pada stasiun pengamat cuaca di Propinsi Jambi, maka
didapatkan nilai Indeks Kekeringan Keetch-Byram (KBDI) Propinsi Jambi tahun
2000-2004. Pada Gambar 6, Gambar 7, Gambar 8, Gambar 9, dan Gambar 10
0 150 300 450 600 750 900
Jumlah Titik Panas per Tahun
Jumlah Titik Panas per Tahun 430.6 141.2 27.2 1.6 194.2 815.4 Batanghari Bungo Tebo Kerinci Kodya Jambi Sarolangun
(36)
terlihat pola dari indeks kekeringan di Propinsi Jambi. Pada setiap gambar
diplotkan pula waktu terjadinya titik panas. Secara umum terlihat bahwa terjadi
titik panas pada saat nilai indeks mencapai kelas Sedang (1000-1499) dan kelas
Tinggi (> 1500). Titik panas yang terjadi pada waktu kelas Rendah (0-999)
dimungkinkan dapat terjadi karena karena ada perubahan dalam rangka persiapan
lahan, atau terjadi radiasi matahari maksimum yang mengakibatkan keringnya
bahan bakar.
Sebaran titik panas pada setiap kelas indeks kekeringan di Propinsi Jambi
tahun 2000-2004 (Tabel 6), menunjukkan bahwa sebaran titik panas paling tinggi
pada kelas Sedang (1000-1499) sebesar 5714 titik, kemudian diikuti kelas Tinggi
(>1500) sebesar 1897 titik, dan sebaran titik panas paling rendah pada kelas
Rendah (0-999) sebesar 440 titik. Adanya titik panas pada kelas Rendah
kemungkinan terjadi adanya pembakaran dalam rangka penyiapan lahan atau
kebakaran biasa yang juga bisa diakibatkan adanya pengeringan bahan bakar pada
hari-hari sebelumnya.
Tabel 6. Jumlah Titik Panas Pada Setiap Kelas Indeks Kekeringan di Propinsi
Jambi Tahun 2000-2004
Kelas Indeks
Kekeringan
Jumlah Titik Panas
Jumlah
Tahun
2000
Tahun
2001
Tahun
2002
Tahun
2003
Tahun
2004
Rendah (Low)
216
6
168
7
43 440
Sedang
(Moderate)
4
423
514
2507
2266 5714
Tinggi (High)
0
39
895
94
869 1897
(37)
0 500 1000 1500 2000
01/01/00 01/02/00 01/03/00 01/04/00 01/05/00 01/06/00 01/07/00 01/08/00 01/09/00 01/10/00 01/11/00 01/12/00 Date
KBDI
KBDI Kejadian Titik Panas
HIGH
MODERATE
(38)
Gambar 6.Grafik KBDI Tahun 2000
Gambar 7.Grafik KBDI Tahun 2001
0500 1000 1500 2000
01/01/01 01/02/01 01/03/01 01/04/01 01/05/01 01/06/01 01/07/01 01/08/01 01/09/01 01/10/01 01/11/01 01/12/01 Date
KBDI
DI today Kejadian Titik Panas
HIGH
MODERATE
(39)
Gambar 8.Grafik KBDI Tahun 2002
0500 1000 1500 2000
01/01/02 01/02/02 01/03/02 01/04/02 01/05/02 01/06/02 01/07/02 01/08/02 01/09/02 01/10/02 01/11/02 01/12/02 Date
KBDI
DI today Kejadian Titik Panas
HIGH
MODERATE
(40)
Gambar 9.Grafik KBDI Tahun 2003
0500 1000 1500 2000
01/01/03 01/02/03 01/03/03 01/04/03 01/05/03 01/06/03 01/07/03 01/08/03 01/09/03 01/10/03 01/11/03 01/12/03 Date
KBDI
DI today Kejadian Titik Panas
HIGH
MODERATE
(41)
Gambar 10.Grafik KBDI Tahun 2004
0500 1000 1500 2000
01/01/04 01/02/04 01/03/04 01/04/04 01/05/04 01/06/04 01/07/04 01/08/04 01/09/04 01/10/04 01/11/04 01/12/04 Date
KBDI
DI today Kejadian Titik Panas
HIGH
MODERATE
(42)
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
1.
Dalam kurun waktu tahun 2000-2004 di Propinsi Jambi jumlah titik panas
meningkat terus dari tahun ke tahun. Hal ini memberi indikasi bahwa di
Propinsi Jambi usaha pengendalian kebakaran hutan dan lahan masih
belum berhasil.
2.
Bulan rawan kebakaran adalah antara bulan Juni-Oktober pada taraf curah
hujan bulanan relatif rendah.
3.
Kawasan hutan yang paling rawan kebakaran adalah areal HPH, diikuti
oleh areal HTI, HSA-W dan Hutan Lindung. Di luar kawasan hutan, areal
lahan milik merupakan kawasan yang paling rawan dan diikuti areal
perkebunan dan transmigrasi.
4.
Kabupaten yang paling rawan terhadap kebakaran adalah Kabupaten
Tanjung Jabung, kemudian diikuti oleh Kabupaten Batanghari, Kabupaten
Sarolangun Bangko, Kabupaten Bungo Tebo, Kabupaten Kerinci dan
Kodya Jambi.
B.
Saran
1.
Usaha-usaha pengendalian kebakaran perlu ditingkatkan pada bulan-bulan
dan daerah yang rawan terhadap bahaya kebakaran hutan dan lahan.
2.
Perlunya pemantauan langsung ke lapangan untuk memastikan titik panas
(43)
DAFTAR PUSTAKA
Affan, J. M. 2002. Penilaian Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan Berdasarkan
Indeks Vegetasi, NVDI dan Indeks Kekeringan, KBDI (Studi kasus
Taman nasional Berbak Jambi). Skripsi. Jurusan Geofisika dan
Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut
Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
Anderson, I. P, I. D Iamanda dan Muhandar. 1999. Forest Fire Prevention and
Control Project. European Union. Ministry of Forestry and Estae Crops.
Palembang.
Bakhori, Syaipul. 2004. Ratusan Hektare Lahan di Jambi Terbakar.
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/smoke/20004/06/22/brk,200406
22-31,id.html
[9 Juni 2005].
Bappeda Jambi. 2005. Jambi Membangun.
http://
www.bappedajambi.go.id/gamumum.php
[11 Juni 2005].
Brown, AA. and K. P. Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. Mc.
Graw-Hill Books Company. New York.
Chandler, C. D. Cheney, P. Thomas, L . Trabaund. And D. Williams. 1983. A Fire
Forestry. Vol I. Forest Fire Behavior and Effect. John Wiley and Son.
New York.
Clar, C.D. And L.R Chatten. 1954. Principles of Forest Fire Management.
Department of Natural Resources Division of Forestry. California.
Departemen Kehutanan. 2002. Peta Penutupan Lahan Propinsi Jambi.
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/INTAG/peta%20Tematik/PL_V
eg/Veg.2002/Vjambi.gif
[10 Juni 2005].
FFPMP. 2000. Kegiatan Kampanye di Jambi.
http://ffmp2.hp.infoseek.co.jp/Indonesia/in_camp_jmb.html
[ 9 Juni
2005].
FFPMP 2. 2006. Proyek Pencegahan Kebakaran Hutan Tahap 2. Departemen
Kehutanan Republik Indonesia. Japan International Cooperation Agency
(44)
Hadisuparto, H. 2003. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia.
http//:www.kompas.com/kompas-cetak/0306/29/29/fokus/395705.html
[4 April 2006].
Jones, S. H. 1997. Vegetation Fire in Maintance South East Asia Spatio-Temporal
Analisys of AVHRR 1 Km Data for The 1992/1993 Dry Season. Joint
Research Centre. Ispra. Italy. P:13.
Keetch, J. J., and G. M. Byram. 1968. A Drought Index For Forest Fire Control.
USDA Forest Service, South-eastern Forest Exp. Sta. Res. Pap. SE-38
Solichin dan P. Kimman. 2004. Sistem Informasi Kebakaran. South Sumatra
Forest Fire Management Project. Propinsi Sumatera Selatan.
http://www.ssffmp.or.id/ssffmp?file/publication/sistem_informasi_kebak
aran.pdf
. [ 22 Februari 2005].
SSFMP. 2004. Sumatera dan Kalimantan Dalam Kabut Asap.
http://www.ssfmp.or.id/ssfmp/news-2.asp?id=49
[9 Juni 2005].
Suratmo,F. G, E. A Husaeni dan N. S Jaya,. 2003. Pengendalian Kebakaran
Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
WARSI. 2003. 6000 Hektar Hutan Jambi Habis Selama 2003.
http://
www.warsi.or.id/News/2003/News_200309_Hutan.htm
[9 Juni
2005].
WARSI. 2004. Jambi Forest.
http://www.warsi.or.id/forest/FOREST.HTM
[10
Juni 2005].
(45)
Lampiran 1. Hasil Perhitungan KBDI di Propinsi Jambi Tahun
2000-2004
Date TEMP
(oC) 24-RF (mm) DIY Net RF (mm)
Interval Difactor DI
today Stage
01/01/00 27,17 0 531 0 531 52 583 Low
02/01/00 28,13 0 583 0 583 58 641 Low
03/01/00 27,3 3,2 641 0 641 49 690 Low
04/01/00 27 0 690 0 690 49 739 Low
05/01/00 27,67 0 739 0 739 50 789 Low
06/01/00 28,67 0 789 0 789 55 844 Low
07/01/00 27,31 5,5 844 0,5 839 41 880 Low
08/01/00 27,78 5,8 880 0,8 872 46 918 Low
09/01/00 25,73 0 918 0 918 34 952 Low
10/01/00 28,53 0 952 0 952 47 999 Low
11/01/00 27,69 6,4 999 1,4 985 42 1027 Moderate
12/01/00 27,93 2 1027 0 1027 38 1065 Moderate
13/01/00 24,63 0 1065 0 1065 28 1093 Moderate
14/01/00 25,87 63 1093 58 513 28 541 Low
15/01/00 27,09 11,2 541 11,2 429 56 485 Low
16/01/00 27,53 8,6 485 8,6 399 62 461 Low
17/01/00 27,44 0 461 0 461 62 523 Low
18/01/00 29,6 11 523 6 463 71 534 Low
19/01/00 27,14 3 534 0 534 48 582 Low
20/01/00 26,5 0 582 0 582 56 638 Low
21/01/00 28,07 0,4 638 0 638 60 698 Low
22/01/00 28,07 0 698 0 698 60 758 Low
23/01/00 27,7 2,1 758 0 758 55 813 Low
24/01/00 27,76 1,7 813 1,7 796 46 842 Low
25/01/00 27,74 1,5 842 1,5 827 46 873 Low
26/01/00 28,2 0 873 0 873 51 924 Low
27/01/00 27,29 3,2 924 0 924 42 966 Low
28/01/00 26,43 5 966 5 916 38 954 Low
29/01/00 29,1 0 954 0 954 52 1006 Moderate
30/01/00 28,4 0 1006 0 1006 38 1044 Moderate
31/01/00 28,01 2,4 1044 0 1044 38 1082 Moderate
01/02/00 27,75 2,1 1082 3,1 1051 38 1089 Moderate
02/02/00 28,22 0 1089 0 1089 38 1127 Moderate
03/02/00 28,33 15 1127 10 1027 38 1065 Moderate
04/02/00 26,35 9 1065 9 975 31 1006 Moderate
05/02/00 24,6 18 1006 18 826 28 854 Low
06/02/00 26,97 0 854 0 854 41 895 Low
07/02/00 27,93 13 895 8 815 46 861 Low
08/02/00 27,54 4,9 861 4,9 812 46 858 Low
09/02/00 27,61 2,3 858 2,3 835 46 881 Low
10/02/00 29,14 0 881 0 881 51 932 Low
11/02/00 26,1 41 932 36 572 34 606 Low
12/02/00 26,56 19,4 606 19,4 412 49 461 Low
13/02/00 25,7 20,1 461 20,1 260 50 310 Low
14/02/00 26,63 6,3 310 6,3 247 53 300 Low
15/02/00 26,79 0 300 0 300 53 353 Low
16/02/00 27,41 8,1 353 3,1 322 59 381 Low
17/02/00 28,04 5,4 381 5,4 327 66 393 Low
18/02/00 25,63 0,4 393 0,4 389 53 442 Low
19/02/00 26,23 0 442 0 442 50 492 Low
20/02/00 25,76 6,6 492 1,6 476 50 526 Low
21/02/00 24,87 0,8 526 0,8 518 42 560 Low
22/02/00 23,93 0 560 0 560 42 602 Low
(46)
24/02/00 25,77 13,5 613 13,5 478 44 522 Low
25/02/00 26,64 5,4 522 5,4 468 47 515 Low
26/02/00 27,67 57 515 52 -5 58 53 Low
27/02/00 28,73 3 53 3 23 86 109 Low
28/02/00 27,5 5,8 109 5,8 51 74 125 Low
29/02/00 27,38 5,7 125 5,7 68 67 135 Low
01/03/00 26,96 0 135 0 135 67 202 Low
02/03/00 26,75 0 202 0 202 67 269 Low
03/03/00 27 10,1 269 5,1 218 67 285 Low
04/03/00 27,2 9,6 285 9,6 189 67 256 Low
05/03/00 28,03 0 256 0 256 74 330 Low
06/03/00 29,27 0 330 0 330 73 403 Low
07/03/00 27,63 1,2 403 0 403 62 465 Low
08/03/00 26,77 0 465 0 465 62 527 Low
09/03/00 28,13 0 527 0 527 58 585 Low
10/03/00 28,2 0 585 0 585 58 643 Low
11/03/00 28,12 2,3 643 0 643 54 697 Low
12/03/00 28,03 5,4 697 5,4 643 54 697 Low
13/03/00 26,17 6 697 6 637 44 681 Low
14/03/00 27,07 2 681 2 661 49 710 Low
15/03/00 27,13 8,2 710 8,2 628 45 673 Low
16/03/00 27,13 18 673 18 493 49 542 Low
17/03/00 25,83 12 542 12 422 47 469 Low
18/03/00 24,93 0 469 0 469 45 514 Low
19/03/00 27,08 4,9 514 0 514 52 566 Low
20/03/00 27,29 2,7 566 2,7 539 52 591 Low
21/03/00 26,77 44 591 44 151 52 203 Low
22/03/00 26,2 17 203 17 33 57 90 Low
23/03/00 27,28 12,7 90 12,7 -37 70 33 Low
24/03/00 27,7 29 33 29 -257 78 0 Low
25/03/00 25,6 2 -179 2 -199 63 0 Low
26/03/00 26,87 5,4 -136 5,4 -190 70 0 Low
27/03/00 27,25 7,4 -120 7,4 -194 70 0 Low
28/03/00 27,38 6,6 -124 6,6 -190 70 0 Low
29/03/00 27,07 4,5 -120 4,5 -165 70 0 Low
30/03/00 28,33 0 -95 0 -95 78 0 Low
31/03/00 28,04 3,5 -17 -17 78 61 Low
01/04/00 28,39 3,6 61 3,6 25 78 103 Low
02/04/00 25,57 0 103 0 103 60 163 Low
03/04/00 25,97 0 163 0 163 60 223 Low
04/04/00 27,05 5,2 223 0,2 221 63 284 Low
05/04/00 27,59 5 284 5 234 70 304 Low
06/04/00 30,47 0 304 0 304 89 393 Low
07/04/00 29,77 0 393 0 393 81 474 Low
08/04/00 28,22 3,4 474 0 474 62 536 Low
09/04/00 27,96 0 536 0 536 58 594 Low
10/04/00 28,44 3,8 594 0 594 58 652 Low
11/04/00 27,8 0 652 0 652 54 706 Low
12/04/00 28,18 6 706 1 696 50 746 Low
13/04/00 28,35 5,2 746 5,2 694 50 744 Low
14/04/00 27,79 0 744 0 744 50 794 Low
15/04/00 28,08 0 794 0 794 50 844 Low
16/04/00 27,88 6 844 1 834 46 880 Low
17/04/00 28,15 4,7 880 4,7 833 46 879 Low
18/04/00 28,55 3,8 879 3,8 841 51 892 Low
19/04/00 28,01 0 892 0 892 46 938 Low
20/04/00 27,67 0 938 0 938 42 980 Low
(1)
05/08/04 30,7 0 1597 0 1597 24 1621 High 06/08/04 28,5 15 1621 10 1521 16 1537 High 07/08/04 28,7 5 1537 5 1487 20 1507 High 08/08/04 29,0 8 1507 8 1427 20 1447 Moderate 09/08/04 28,6 0 1447 0 1447 24 1471 Moderate 10/08/04 28,4 24 1471 19 1281 22 1303 Moderate 11/08/04 23,7 3 1303 3 1273 19 1292 Moderate 12/08/04 26,6 0 1292 0 1292 27 1319 Moderate 13/08/04 29,7 0 1319 0 1319 32 1351 Moderate 14/08/04 24,9 4 1351 0 1351 19 1370 Moderate 15/08/04 28,6 0 1370 0 1370 29 1399 Moderate 16/08/04 31,6 0 1399 0 1399 39 1438 Moderate 17/08/04 30,9 0 1438 0 1438 30 1468 Moderate 18/08/04 30,7 0 1468 0 1468 30 1498 Moderate 19/08/04 31,8 0 1498 0 1498 33 1531 High 20/08/04 31,6 0 1531 0 1531 27 1558 High 21/08/04 31,5 8 1558 3 1528 27 1555 High 22/08/04 31,0 3 1555 3 1525 24 1549 High 23/08/04 29,7 17 1549 17 1379 22 1401 Moderate 24/08/04 29,6 4 1401 4 1361 27 1388 Moderate 25/08/04 29,9 0 1388 0 1388 32 1420 Moderate 26/08/04 30,7 0 1420 0 1420 30 1450 Moderate 27/08/04 28,6 22 1450 17 1280 24 1304 Moderate 28/08/04 28,5 0 1304 0 1304 29 1333 Moderate 29/08/04 28,7 0 1333 0 1333 29 1362 Moderate 30/08/04 28,8 0 1362 0 1362 29 1391 Moderate 31/08/04 30,1 0 1391 0 1391 32 1423 Moderate 01/09/04 27,5 0 1423 0 1423 22 1445 Moderate 02/09/04 29,9 0 1445 0 1445 27 1472 Moderate
03/09/04 30,6 0 1472 0 1472 30 1502 High 04/09/04 29,4 11 1502 6 1442 20 1462 Moderate 05/09/04 28,6 0 1462 0 1462 24 1486 Moderate 06/09/04 27,8 0,8 1486 0 1486 22 1508 High 07/09/04 29,0 1 1508 1 1498 20 1518 High 08/09/04 29,6 0 1518 0 1518 22 1540 High 09/09/04 29,7 1 1540 0 1540 22 1562 High 10/09/04 29,6 0 1562 0 1562 22 1584 High 11/09/04 29,6 34 1584 29 1294 22 1316 Moderate 12/09/04 30,6 0 1316 0 1316 35 1351 Moderate 13/09/04 29,4 0 1351 0 1351 29 1380 Moderate 14/09/04 28,6 0 1380 0 1380 29 1409 Moderate 15/09/04 27,8 0 1409 0 1409 22 1431 Moderate 16/09/04 29,0 0 1431 0 1431 24 1455 Moderate 17/09/04 29,6 0 1455 0 1455 27 1482 Moderate 18/09/04 29,7 0 1482 0 1482 27 1509 High 19/09/04 29,6 0 1509 0 1509 22 1531 High 20/09/04 29,6 0 1531 0 1531 22 1553 High 21/09/04 28,6 0 1553 0 1553 20 1573 High 22/09/04 24,5 0,5 1573 0 1573 13 1586 High 23/09/04 29,1 6 1586 6 1526 20 1546 High 24/09/04 28,5 1 1546 1 1536 20 1556 High 25/09/04 28,4 0 1556 0 1556 18 1574 High 26/09/04 27,9 0 1574 0 1574 18 1592 High 27/09/04 27,7 1 1592 0 1592 18 1610 High 28/09/04 29,6 0,3 1610 0,3 1607 17 1624 High 29/09/04 29,7 0 1624 0 1624 17 1641 High 30/09/04 29,6 0 1641 0 1641 17 1658 High 01/10/04 29,6 0 1658 0 1658 17 1675 High
(2)
02/10/04 28,6 0 1675 0 1675 16 1691 High 03/10/04 24,5 0 1691 0 1691 10 1701 High 04/10/04 29,1 0 1701 0 1701 11 1712 High 05/10/04 28,5 0 1712 0 1712 11 1723 High 06/10/04 28,6 0 1723 0 1723 11 1734 High 07/10/04 28,7 0 1734 0 1734 11 1745 High 08/10/04 28,9 15 1745 10 1645 11 1656 High 09/10/04 27,2 14 1656 14 1516 13 1529 High 10/10/04 29,6 0 1529 0 1529 22 1551 High 11/10/04 29,7 0 1551 0 1551 22 1573 High 12/10/04 29,6 0 1573 0 1573 22 1595 High 13/10/04 32,2 0 1595 0 1595 27 1622 High 14/10/04 28,8 3 1622 0 1622 16 1638 High 15/10/04 29,6 0 1638 0 1638 17 1655 High 16/10/04 29,7 0 1655 0 1655 17 1672 High 17/10/04 29,6 0 1672 0 1672 17 1689 High 18/10/04 23,5 30 1689 25 1439 10 1449 Moderate 19/10/04 24,8 32 1449 27 1179 16 1195 Moderate 20/10/04 26,6 0 1195 0 1195 31 1226 Moderate 21/10/04 27,3 10 1226 5 1176 27 1203 Moderate 22/10/04 28,4 2 1203 2 1183 30 1213 Moderate 23/10/04 26,0 0 1213 0 1213 24 1237 Moderate 24/10/04 28,9 0 1237 0 1237 33 1270 Moderate 25/10/04 27,2 0 1270 0 1270 27 1297 Moderate 26/10/04 27,9 0 1297 0 1297 30 1327 Moderate 27/10/04 28,6 0 1327 0 1327 29 1356 Moderate 28/10/04 29,5 0 1356 0 1356 32 1388 Moderate 29/10/04 32,2 0 1388 0 1388 39 1427 Moderate 30/10/04 28,8 30 1427 25 1177 24 1201 Moderate
31/10/04 29,1 0 1201 0 1201 33 1234 Moderate 01/11/04 28,9 15 1234 10 1134 33 1167 Moderate 02/11/04 27,0 2 1167 2 1147 31 1178 Moderate 03/11/04 27,1 0 1178 0 1178 31 1209 Moderate 04/11/04 27,6 0 1209 0 1209 30 1239 Moderate 05/11/04 27,9 0 1239 0 1239 30 1269 Moderate 06/11/04 28,5 0 1269 0 1269 33 1302 Moderate 07/11/04 28,0 0 1302 0 1302 26 1328 Moderate 08/11/04 27,1 0 1328 0 1328 23 1351 Moderate 09/11/04 25,5 26 1351 21 1141 21 1162 Moderate 10/11/04 24,9 32 1162 32 842 25 867 Low 11/11/04 24,6 0 867 0 867 33 900 Low 12/11/04 24,9 0 900 0 900 30 930 Low 13/11/04 25,6 0 930 0 930 34 964 Low 14/11/04 25,8 0 964 0 964 34 998 Low 15/11/04 27,3 29 998 24 758 38 796 Low 16/11/04 26,3 0 796 0 796 40 836 Low 17/11/04 25,0 0 836 0 836 33 869 Low 18/11/04 25,6 0 869 0 869 37 906 Low 19/11/04 25,9 0 906 0 906 34 940 Low 20/11/04 27,2 0 940 0 940 38 978 Low 21/11/04 27,1 0 978 0 978 38 1016 Moderate 22/11/04 26,7 0 1016 0 1016 34 1050 Moderate 23/11/04 27,8 3 1050 0 1050 38 1088 Moderate 24/11/04 29,9 0 1088 0 1088 47 1135 Moderate 25/11/04 30,0 0,1 1135 0 1135 42 1177 Moderate 26/11/04 26,0 0 1177 0 1177 28 1205 Moderate 27/11/04 27,2 1 1205 0 1205 27 1232 Moderate 28/11/04 31,0 2 1232 2 1212 41 1253 Moderate
(3)
29/11/04 29,3 0 1253 0 1253 33 1286 Moderate 30/11/04 29,0 2 1286 0 1286 33 1319 Moderate 01/12/04 26,7 54 1319 54 779 23 802 Low 02/12/04 26,8 0 802 0 802 41 843 Low 03/12/04 27,6 0 843 0 843 46 889 Low 04/12/04 28,6 0 889 0 889 51 940 Low 05/12/04 29,1 0 940 0 940 47 987 Low 06/12/04 29,6 0 987 0 987 52 1039 Moderate 07/12/04 29,9 0 1039 0 1039 47 1086 Moderate 08/12/04 30,0 0 1086 0 1086 47 1133 Moderate 09/12/04 28,0 0 1133 0 1133 34 1167 Moderate 10/12/04 28,8 0 1167 0 1167 38 1205 Moderate 11/12/04 29,1 0 1205 0 1205 33 1238 Moderate 12/12/04 28,7 3 1238 0 1238 33 1271 Moderate 13/12/04 29,1 0 1271 0 1271 33 1304 Moderate 14/12/04 27,1 27 1304 22 1084 23 1107 Moderate 15/12/04 26,8 0 1107 0 1107 31 1138 Moderate 16/12/04 26,7 48 1138 43 708 23 731 Low 17/12/04 27,1 0,3 731 0,3 728 45 773 Low 18/12/04 26,0 0 773 0 773 40 813 Low 19/12/04 29,6 0 813 0 813 56 869 Low 20/12/04 26,2 17 869 12 749 37 786 Low 21/12/04 27,6 0 786 0 786 50 836 Low 22/12/04 27,2 0 836 0 836 41 877 Low 23/12/04 27,6 0 877 0 877 46 923 Low 24/12/04 27,7 0 923 0 923 42 965 Low 25/12/04 26,6 25 965 20 765 38 803 Low 26/12/04 26,8 0 803 0 803 41 844 Low 27/12/04 27,2 0 844 0 844 41 885 Low
28/12/04 29,9 0 885 0 885 56 941 Low 29/12/04 29,2 16 941 10 841 47 888 Low 30/12/04 28,6 0 888 0 888 51 939 Low 31/12/04 29,0 17 939 12 819 47 866 Low
(4)
Lampiran 2. Sebaran Titik Panas Tahunan dan Bulanan di Propinsi Jambi Tahun
2000-2004
Tahun
Bulan
Jumlah
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul
Agt Sep Okt Nov Des
2000
0 5 44 2 28 4 25 71 39 0 1 1 220
2001
0 0 7 1 1 53 272 53 70 9 1 1 468
2002
0 81 87 2 26 58 57 578 66 617 5 0 1577
2003
3 1 1 1 31 684 407 608 705 163 3 1 2608
2004
8 32 19 9 16 453 16 1357 814 437 15 2 3178
Jumlah
11 119 158 15 102 1252 777 2667 1694 1226 25 5 8051
Rata-rata
2,2 23,8 31,6 3 20,4
250,4 155,4 533,4 338,8 245,2 5
1 1610,2
Lampiran 3. Sebaran Titik Panas Menurut Areal Penutupan Lahan di Propinsi
Jambi Tahun 2000-2004
Tahun HPH HTI
HAS-W
HL
KUB
TRA
Lahan
Milik
Jumlah
2000
39
7
5 4 13 9
143
220
2001
121 28 4
0
50
147
118 468
2002
415 57 129
8
182
207
579 1577
2003
929 239 41
16
301
324 758 2608
2004
354 83 45
31
89
97
2479 3178
Jumlah
1858 414 224
59
635
784 4077 8051
Rata-rata
Jumlah
Hotspot
371,6 82,8 44,8
11,8
127
156,8
815,4 1610,2
Lampiran 4. Sebaran Titik Panas Pada Setiap Kabupaten di Propinsi Jambi Tahun
2000-2004
Tahun Kerinci
Kodya
Jambi
Sarolangun
Bangko
Tanjung
Jabung
Bungo
Tebo
Batanghari Jumlah
2000
3 0 52 81 28 56 220
2001
22 0
46 135 151 114 468
2002
26 5 146 913 118 369 1577
2003
50 2 464 1383
196 513 2608
2004
35 1 263 1565
213 1101 3178
Jumlah
136 8
971 4077 706 2153 8051
Rata-rata
Jumlah
Hotspot
(5)
Lampiran 5. Jumlah Titik Panas dan Jumlah Curah Hujan di Propinsi Jambi Tahun 2000-2004
Tahun
Titik Panas/ Curah
Hujan
Satuan
Bulan
Jumlah
Jan Feb Mar
Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
2000
Titik Panas
Titik 0 5 44 2 28 4 25 71 39 0 1 1 220
Curah Hujan
mm 136 481,6 211 56 217,9 170,4 197,4 300,7 162,7
291,4 100,6
76,3 2402
2001
Titik Panas
Titik 0 0 7 1 1 53 272 53 70 9 1 1 468
Curah Hujan
mm 228
166,3
151,2
92,7
94,6
167,1 74 100,6
98,9
140,7
277,1
243,2 1834,4
2002
Titik Panas
Titik 0 81 87 2 26 58 57 578
66
617 5 0 1577
Curah Hujan
mm 457 306 179
50,2
97,8 75,2 88,3 63,1 77,9
133,4 223,7
227,8 1979,4
2003
Titik Panas
Titik 3
1 1 1 31 684 407 608 705 163 3 1 2608
Curah Hujan
mm 147,8
370,8
309,5
158,8
144 75,6 158 80
120,4
100,2
143
173,1
1981,2
2004
Titik Panas
Titik 8 32 19 9 16 453 16 1357
814
437 15 2 3178
Curah Hujan
mm 164
316,6
22,8
124,9
137,3 63 93 124
56,6
136
112,1
207,3
1557,6
Jumlah Titik Panas
Titik 11 119 158 15 102 1252 777 2667
1694
1226 25 5
8051
Rata-rata Titik Panas
Titik 2,2 23,8 31,6 3 20,4 250,4 155,4 533,4
338,8
245,2 5
1
1610,2
Jumlah Curah Hujan
mm 1132,8
1641,3
873,5
482,6
691,6 551,3 610,7 668,4 516,5
801,7 856,5
927,7
9754,6
Rata-rata Curah Hujan
mm 226,56
328,26
174,7
96,52
138,32
110,26 122,14
133,68
103,3
160,34
171,3
185,54
1950,9
(6)