Perubahan Penggunaan/Tutupan Lahan Tahun 1990-2005 dan Proyeksi Perubahan Tahun 2020-2035 di Kawasan Jabodetabek

PERUBAHAN PENGGUNAAN/TUTUPAN LAHAN
TAHUN 1990-2005 DAN PROYEKSI PERUBAHAN
TAHUN 2020-2035
DI KAWASAN JABODETABEK

GHERA LOZY ELIO HAKIM

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan
Penggunaan/Tutupan Lahan Tahun 1990-2005 dan Proyeksi Perubahan Tahun
2020-2035 di Kawasan Jabodetabek adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, 2014
Ghera Lozy Elio Hakim
NIM A14080032

ABSTRAK
GHERA LOZY ELIO HAKIM. Perubahan Penggunaan/Tutupan Lahan Tahun
1990-2005 dan Proyeksi Perubahan Tahun 2020-2035 di Kawasan Jabodetabek.
Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan DIAR SHIDDIQ.
Pertumbuhan penduduk dan kebutuhan aktivitas ekonomi yang cepat di
kawasan Jabodetabek menyebabkan bertambahnya kebutuhan akan ruang.
Masyarakat cenderung mengubah penggunaan lahan ke penggunaan lahan yang
memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis penggunaan/tutupan lahan di Jabodetabek tahun 1990 hingga 2005,
menganalisis pola perubahan penggunaan/tutupan lahan di Jabodetabek tahun
1990 hingga 2005 dan melakukan prediksi penggunaan/tutupan lahan Jabodetabek
tahun 2020 serta 2035. Penelitian menunjukan bahwa pada tahun 1990, 1995, dan

2005 penggunaan/tutupan lahan di wilayah Jabodetabek didominasi oleh sawah
yaitu masing-masing sebesar 256.757 Ha (37,7%), 258.638 Ha (37,9%), dan
254.670 Ha (37,4%).
Lahan sawah merupakan penggunaan lahan yang
mengalami konversi terbanyak dalam rentang waktu 1990-2005.
Penggunaan/tutupan lahan yang meningkat antara tahun 1990 hingga 2005 yaitu
lahan terbangun seluas 92.604 Ha. Pada tahun 2020 lahan di Jabodetabek
diperkirakan masih akan didominasi sawah namun disertai dengan luas lahan
terbangun yang hampir sama luasnya, sedangkan pada tahun 2035 diperkirakan
lahan terbangun akan mendominasi total luas lahan di Jabodetabek.
Penggunaaan/tutupan lahan berupa hutan, pertanian non sawah, sawah, dan badan
air cenderung mengalami penurunan sejak tahun 2005, pada sisi lain
penggunaan/tutupan lahan berupa lahan terbangun untuk tahun 2020 dan 2035
akan terus meningkat. Pola perubahan penggunaan lahan di Jabodetabek yang
terbesar yaitu perubahan lahan sawah ke arah lahan terbangun.
Katakunci: Jabodetabek, Perubahan penggunaan lahan, Prediksi

ABSTRACT
GHERA LOZY ELIO HAKIM. Land Use/Cover Changes 1990-2005 and Trend
Forcast for 2020-2035 in Jabodetabek Region. Supervised by ERNAN

RUSTIADI and DIAR SHIDDIQ.
Rapid population and economic activities growths in Jabodetabek cause
more demand for urbanization. People tend to convert their land to land uses that
provide higher land rent. This research aims to describe land use/cover change in
the Jabodetabek region from 1990 to 2005, to analyze the spatial pattern of land
use/cover changes in the Jabodetabek region from 1990 to 2005, and to forecast
the land use/cover for 2020 and 2035. The results of this study show that the land
use/cover in 1990, 1995, and 2005 was dominated by paddy field, which were
respectively 256.757 Ha (37.7%), 258.638 ha (37.9%), and 254.670 ha (37.4%).
In that period, the paddy field was also experiencing the largest land use/cover
conversion into other uses. Meanwhile, the built-up area experiencing the largest
increase, reached 92.604 ha in 2005. Jabodetabek area in 2020 is expected to be
dominated by paddy fields as well as as built-up, whereas in the year 2035, builtup area to be the largest land use/cover areas in Jabodetabek region. Forest area,
water bodies, paddy field as well as other agricultural uses will continue to
decrease since 2005. On the other side, in the built up 2020 and 2035 the built up
areas will continue to increase. The largest type of land use/cover change in
Jabodetabek region is the conversion of paddy field in built-up area.
Keywords: Jabodetabek region, Land use/cover change, Land use forecast

PERUBAHAN PENGGUNAAN/TUTUPAN LAHAN

TAHUN 1990-2005 DAN PROYEKSI PERUBAHAN
TAHUN 2020-2035
DI KAWASAN JABODETABEK

GHERA LOZY ELIO HAKIM

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi


:

Nama

:

Perubahan Penggunaan/Tutupan Lahan Tahun 1990-2005
dan Proyeksi Perubahan Tahun 2020-2035 di Kawasan
Jabodetabek.
Ghera Lozy Elio Hakim

NIM

:

A14080032

Disetujui oleh,

Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr

Pembimbing I

Diar Shiddiq, SP . MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Baba Barus, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Perubahan
Penggunaan/Tutupan Lahan Tahun 1990-2005 dan Proyeksi Perubahan Tahun
2020-2035 di Kawasan Jabodetabek”
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada:
1. Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya.
2. Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr dan Diar Shiddiq, SP. MSi , atas teladan,
bimbingan, ide, kritik, saran, kesabaran, motivasi dan ilmu yang diajarkan

selama penulis menempuh pendidikan.
3. Dr Khursatul Munibah, M.Sc sebagai penguji atas kritik dan sarannya.
4. Ir. La Ode Syamsul Iman, M.Si yang telah membimbing serta membantu
dalam menyelesaikan penelitian.
5. Kedua orang tua atas perhatian, kasih sayang, kesabaran, motivasi,
pengorbanan dan doa yang tidak pernah putus.
6. Kakak dan adik tersayang atas segala dukungannya.
7. Rekan-rekan MSL‟45, Tutuk, Dini, Galih, fuad, Imam, wisma Panjen dan
teman-teman seperjuangan lainnya untuk kebersamaan dan dukungannya.
8. Annisa Fitria Rachim yang telah memberikan motivasi dan dukungannya.
Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan bagi ilmu
pengetahuan, khususnya bidang Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.

Bogor, 2014

Ghera Lozy Elio Hakim

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


ix

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


2

TINJAUAN PUSTAKA

2

METODOLOGI PENELITIAN

6

Waktu dan Tempat

6

Jenis Data dan Sumber Data

6

Metode Penelitian


7

KEADAAN UMUM

10

Letak dan Lokasi Penelitian

10

Sosial Ekonomi

10

Keadaan Iklim dan Tanah

12

Geologi dan Geomorfologi


12

HASIL DAN PEMBAHASAN

12

Penggunaan / Tutupan Lahan Wilayah Jabodetabek

12

Perubahan Penggunaan/Tutupan Lahan Jabodetabek

16

Pola Perubahan Penggunaan Lahan

25

Prediksi Penggunaan Lahan Jabodetabek tahun 2020 dan tahun 2035

29

SIMPULAN DAN SARAN

33

Simpulan

33

Saran

34

DAFTAR PUSTAKA

34

LAMPIRAN

36

RIWAYAT HIDUP

52

DAFTAR TABEL
1

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian

2

Hasil pengamatan citra Landsat

13

3

Luas penggunaan Lahan Jabodetabek

14

4

Penggunaan/Tutupan lahan Jabodetabek tahun 1990-1995

17

5

Penggunaan lahan Jabodetabek tahun 1995-2005

19

6

Luas perubahan penggunaan lahan tahun 1995-2005

7

Jumlah Penduduk Jabodetabek

25

8

Perubahan penggunaan lahan Jabodetabek tahun 1990-2005

27

9

Prediksi perubahan penggunaan/tutupan lahan Jabodetabek tahun
2005-2020 berdasarkan proporsi perubahan 1990-2005

7

20

30

10 Prediksi perubahan penggunaan/tutupan lahan Jabodetabek tahun
2020-2035 berdasarkan proporsi perubahan 1990-2005

31

DAFTAR GAMBAR
1

Diagram alir metode penentuan peta penggunaan lahan

8

2

Diagram alir analisis perubahan penggunaan/tutupan lahan

9

3

Peta administrasi Jabodetabek

11

4

Grafik Dinamika Perubahan Lahan Jabodetabek Tahun 1990-2005

15

5

Peta Penggunaan/Tutupan Lahan Jabodetabek Tahun 1990,1995,
dan 2005

15

6

Peta Perubahan Penggunaan Lahan Jabodetabek Tahun 1990-1995

18

7

Peta Perubahan Penggunaan Lahan Jabodetabek Tahun 1995-2005

21

8

Grafik Dinamika Perubahan Lahan Jabodetabek Tahun 1990, 1995,
dan 2005

23

9
10

Grafik total penambahan dan pengurangan tutupan lahan wilayah
Jabodetabek tahun 1990-1995

24

Grafik total penambahan dan pengurangan tutupan lahan wilayah
Jabodetabek tahun 1995-2005

24

11 Bagan alir pola perubahan Jabodetabek tahun 1990-1995
Berdasarkan dua perubahan terbesar
12 Bagan alir pola perubahan Jabodetabek tahun 1995-2005 berdasarkan
dua perubahan terbesar
13 Bagan alir pola perubahan Jabodetabek tahun 1990-2005 berdasarkan
dua perubahan terbesar

26

27
29

14 Luas pola perubahan Jabodetabek tahun 1990-2035 berdasarkan lima
perubahan terbesar

32

15 Grafik perubahan luas penggunaan/tutupan lahan Jabodetabek tahun
1990-2035 berdasarkan proporsi perubahan 1990-2005

32

16 Grafik Dinamika Perubahan Lahan Jabodetabek Tahun 1990-2035

33

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Tabel Nilai Akurasi Klasifikasi Penggunaan Lahan Jabodetabek
Tahun 1990

37

Tabel Nilai Akurasi Klasifikasi Penggunaan Lahan Jabodetabek
Tahun 1995

39

Tabel Nilai Akurasi Klasifikasi Penggunaan Lahan Jabodetabek
Tahun 2005

43

Nilai Kappa Peta Perubahan Penggunaan Lahan Jabodetabek 19901995

45

Nilai Kappa Peta Perubahan Penggunaan Lahan Jabodetabek 19952005

47

Lampiran 6 Data Lapang

49

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan penggunaan lahan adalah bentuk peralihan dari penggunaan
lahan sebelumnya ke jenis penggunaan lahan lainnya, dimana luas dan lokasi
penggunaan lahan tertentu berubah pada kurun waktu tertentu. Proses perubahan
pengunaan/tutupan lahan umumnya bersifat irreversible. Pengaturan
penggunaan/tutupan lahan di suatu wilayah ditetapkan melalui Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi/Kabupaten/Kota. Pada RTRW terdapat
rencana-rencana tentang pemanfaatan ruang. Namun pada kenyataannya masih
banyak terjadi inkonsistensi pemanfaatan ruang. Lufitayanti (2013) menyatakan
inkonsistensi penggunaan lahan eksisting tahun 2010 terhadap RTRW
Jabodetabek adalah sebesar 63.863,1 Ha (10.25 %) dari total luas wilayah
Jabodetabek. Hal ini terjadi karena penggunaan/tutupan lahan yang tidak sesuai
dengan rencana-rencana yang telah ditetapkan pemeritah setempat. Rencana
penggunaan/tutupan lahan seharusnya disesuaikan dengan kemampuan
sumberdaya lahan agar dapat diusahakan secara berkelanjutan. Dinamika aktivitas
masyarakat dalam menjalankan kegiatan sosial, ekonomi dan budaya di suatu
wilayah dapat berimbas pada penggunaan/tutupan lahan di wilayah tersebut. Di
wilayah perkotaan pola perubahan penggunaan/tutupan lahan yang umum terjadi
adalah berubahnya lahan pertanian menjadi lahan terbangun.
Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat menyebabkan
bertambahnya kebutuhan akan ruang. Di sisi lain luas lahan di suatu wilayah
relatif tidak akan bertambah. Menurut Panuju (2004) proses suburbanisasi telah
terjadi di Jabodetabek dan dipicu oleh arus migrasi yang cukup besar menuju
Jakarta dan meluas ke arah Bodetabek. Peningkatan penduduk yang cukup besar
terjadi di wilayah Bodetabek, yaitu dari tahun 1961 sebesar 3% menjadi ± 6%
pada tahun 2000. Sementara itu yang tinggal di Jakarta dari tahun 1961 sebesar
3% menjadi ±5% pada tahun 2000. Migran didominasi oleh pencari kerja
berpendidikan dan berketerampilan rendah yang kemudian memunculkan
perkembangan sektor informal yang pesat di DKI Jakarta. Kemajuan
pembangunan suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan
penduduk yang diiringi meningkatnya kualitas dan kuantitas kebutuhan hidup.
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi merupakan kawasan yang
memiliki perkembangan wilayah relatif cepat. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
dan juga peningkatan aktivitas pada wilayah tersebut berdampak pada
peningkatan kebutuhan akan lahan.
Penggunaan lahan cenderung mengarah kepada penggunaan yang secara
ekonomi lebih menguntungkan. Suatu penataan ruang dapat mempengaruhi
perkembangan ekonomi masyarakat di suatu wilayah. Menurut PP No. 26 tahun
2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tata guna lahan adalah suatu
upaya dalam merencanakan penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang
meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi tertentu, misalnya
fungsi pemukiman, perdagangan, industri,dan lain-lain. Tata guna lahan
merupakan salah satu faktor penentu utama dalam pengelolaan lingkungan karena

2
kunci dari pembangunan berkelanjuta yaitu adanya keseimbangan antara kawasan
budidaya dan kawasaan lindung.
Identifikasi dan analisis penggunaan/tutupan lahan serta pola alih guna
lahan mempunyai peranan sangat penting dalam mengidentifikasii masalah yang
timbul akibat perubahan penggunaan lahan.
Tujuan
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan yaitu: (1) menganalisis
penggunaan/tutupan lahan di Jabodetabek tahun 1990 hingga 2005, (2)
menganalisis pola perubahan penggunaan/tutupan lahan di Jabodetabek tahun
1990 hingga 2005 dan (3) melakukan prediksi penggunaan/tutupan lahan
Jabodetabek tahun 2020 dan tahun 2035.

TINJAUAN PUSTAKA
Tutupan Lahan dan Penggunaan Lahan
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), lahan adalah suatu
lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi dimana
faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk
didalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun
sekarang, seperti reklamasi daerah pantai, penebangan hutan, dan akibat- akibat
yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Lahan memiliki arti yang
bermacam-macam, yaitu sebagai ruang (space), alam (nature), faktor produksi
(factor of production), barang konsumsi (consumption of goods), milik (property),
dan modal (capital) (Barlowe 1978)
Menurut Arsyad (2006), penggunaan lahan dibedakan ke dalam dua
kelompok, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non
pertanian. Penggunaan lahan pertanian meliputi hutan, sawah, ladang,
perkebunan, dan lainnya. Penggunaan lahan non pertanian seperti pemukiman,
industri, dan perkantoran
Istilah land cover (tutupan lahan) dan land use (penggunaan lahan), sering
sekali digunakan dalam kajian permukaan bumi. Menurut Lillesand dan Kiefer
(1979) bahwa penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan jenis kenampakan
yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan (land use) berkaitan
dengan kegiatan manusia pada obyek tersebut.
Penutupan lahan merupakan atribut biofisik dari permukaan bumi seperti
lahan pertanian, pegunungan, padang rumput, dan hutan serta daerah terbangun.
Jadi penutupan lahan digunakan untuk menyebut kuantitas dan tipe vegetasi atau
struktur bangunan yang menutupi areal permukaan tanah tertentu termasuk aspek
lingkungan fisik seperti tanah, biodiversitas, air permukaan dan air dalam tanah.
Penggunaan lahan mencakup semua aktivitas manusia dalam memanfaatkan
lahan. Dalam hal ini lahan dapat dipandang dalam dua pengertian, yaitu
sumberdaya dan ruang. Lahan sebagai sumberdaya berarti penggunaan lahan
sebagai bahan baku yang diperlukan untuk keberlangsungan aktivitas manusia. Di

3
lain pihak, lahan sebagai ruang berarti kegiatan manusia di dalam memanfaatkan
potensi produksi dari tanah dan submineral kandungannya. Jadi terminologi
penggunaan lahan tidak dapat dipisahkan dari penutupan lahan.
Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan
Fenomena konversi lahan (land conversion) menjelaskan beralihnya bentuk
dan fungsi penutupan lahan (land cover) atau penggunaan lahan (land use) yang
disebabkan oleh aktivitas manusia. Ada 2 sifat dari koversi lahan, yaitu bersifat
permanen dan sementara. Permanen apabila penggunaan lahan pertanian
dikonversi ke penggunaan lahan pemukiman atau kawasan industri. Apabila
perubahan penggunaan lahan dari jenis pertanian satu ke jenis pertanian lainnya,
maka dikatakan bersifat sementara. Selain masalah alih fungsi lahan, masalah
tumpang tindih penggunaan dalam pemanfaatan lahan juga menjadi isu nasional.
Tumpang tindih penggunaan lahan baru dapat menimbulkan dampak negatif
apabila antar sektor yang memanfaatkannya tidak saling mendukung (Utomo
1992).
Hukum ekonomi pasar menjelaskan proses alih fungsi lahan berlangsung
dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktifitas dengan land rent
yang lebih tinggi. land rent diartikan sebagai nilai keuntungan bersih dari aktifitas
pemanfaatan lahan per satuan luas lahan dan waktu tertentu (Arsyad dan Rustiadi
2008).
Penggunaan lahan mengalami pergeseran akibat perubahan ekosistem alam
sebagai wujud dari proses pembangunan. Dinamika alih fungsi lahan dapat terjadi
pada segala bentuk pemanfaatan lahan, baik pada wilayah perkotaan maupun
pedesaan. Pada wilayah perkotaan, tingkat perkembangan urbanisasi merupakan
pemicu terjadinya perubahan penggunaan lahan, umumnya terkait upaya
penyediaan sarana perumahan dan industri (Rustiadi dan Panuju 2002).
Peningkatan kegitan di pusat pertumbuhan akan memiliki dampak
pertumbuhan pada wilayah sekitarnya melalui pengembangan kegiatan pada
sektor yang terkait. Dalam suatu pengembangan wilayah atau kawasan terdapat 3
unsur fundamental (dasar) yaitu pusat, wilayah pengaruh, dan jaringan
transportasi (Adisasmita 2010).
Perubahan penggunaan lahan, khususnya lahan sawah yang berada di
sekitar perkotaan untuk penggunaan lain seperti perumahan dan industri
mengancam hilangnya produktivitas tanah dan kelestarian lingkungan. Lahan
sawah diyakini dapat mencegah atau mempertahankan lingkungan dari kerusakan
karena mampu menahan air, berfungsi sebagai DAM, dan mengurangi erosi.
Menurut Kaiser dan Weiss dalam Pontoh dan Sudrajat (2005) secara
konsepsional proses perubahan penggunaan lahan di pinggir kota dipengaruhi
oleh:
 Urban interest, yaitu meningkatnya kebutuhan lahan kota, sehingga
kawasan pinggir kota menjadi potensial dan guna lahan yang ada mulai
bergeser.
 Secara aktif kota menjadi bahan pertimbangan bagi pengusaha untuk dibeli
dan dikembangkan.

4
 Mulai diprogram untuk pembangunan, dibangun, dan dihuni oleh
penduduk.
Kawasan Jabodetabek
Jabotabek adalah sebuah akronim dari Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi,
yaitu sebuah kawasan metropolitan Jakarta dan sekitarnya. Dengan dibentuknya
Kota Depok sebagai pemekaran dari Kabupaten Bogor, akronim Jabotabek diubah
menjadi Jabodetabek. Tahun 2010 wilayah DKI Jakarta merupakan wilayah yang
mengalami pertumbuhan penduduk tertinggi yaitu mencapai 1,4% pertahun.
Dengan demikian, penduduk DKI Jakarta sudah mencapai 9.588.198 jiwa dengan
kepadatan rata-rata penduduknya sebesar 14.470 jiwa/km2. Apabila jumlah
penduduk DKI Jakarta dikalkulasikan dengan wilayah Bogor, Bekasi, Depok, dan
Tangerang (Jabodetabek) mencapai 26,6 juta jiwa (BPS 2010).
Sejak tahun 1977, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan
bahwa wilayah Botabek sebagai wilayah penyangga Kota Jakarta. Hal ini
disebabkan karena terlalu padatnya kota Jakarta untuk menampung semua
aktivitas pemerintahan, perdagangan, dan industri. Berdasarkan hal tersebut
pemerintah mulai mengatur pembangunan dan peruntukan wilayah di Jabotabek.
Untuk aktivitas pemerintahan, tetap dikonsentrasikan di wilayah Jakarta Pusat.
Kawasan industri, pengembangan dikonsentrasikan di kawasan Cibitung dan
Cikarang (Kab. Bekasi) serta Cikupa (Kab. Tangerang). Untuk pemukiman,
pengembang-pengembang besar banyak membangun kota-kota satelit yang
dilengkapi dengan sarana pendukung kota seperti sekolah, pusat perbelanjaan,
rumah sakit, dan tempat hiburan. Kota-kota satelit ini banyak berkembang di Kota
Bekasi, Kota Tangerang, Serpong (Kota Tangerang Selatan), Cibubur (Kab.
Bekasi), Cileungsi (Kab. Bogor), dan Kota Depok.
Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat menyebabkan
bertambahnya kebutuhan akan ruang, sedangkan luas lahan di suatu wilayah tidak
akan bertambah. Fenomena ini memaksa masyarakat untuk merubah penggunaan
lahan ke penggunaan lahan yang memiliki nilai lebih tinggi. Namun perubahan
penggunaan lahan ini tidak disertai dengan perencanaan yang baik sehingga sering
terjadi konflik (Kartikasari 2007).
Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena
yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1997). Setiap obyek memiliki karakteristik yang
berbeda berdasarkan radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan
oleh obyek tersebut.(Murai 1996). Rentang gelombang elektromagnetik yang
lebih luas dalam pengindraan jauh meliputi gelombang pendek mikro hingga
spektrum yang lebih pendek seperti gelombang infra merah, gelobang tampak,
dan gelombang ultra violet (Elachi 2006).
Landsat merupakan satelit tak berawak pertama yang dirancang untuk
memperoleh data tentang sumberdaya bumi. Program Landsat telah meluncurkan

5
beberapa generasi, yaitu: generasi pertama terdiri dari Landsat 1, Landsat 2, dan
Landsat 3, generasi kedua terdiri dari Landsat 4 dan Landsat 5, dan generasi
ketiga yang terdiri dari Landsat 6 dan Landsat 7. Citra Landsat TM (Thematic
Mapper) merupakan citra hasil Landsat 5. Landsat ini memiliki ketinggian orbit
705 km dan resolusi spasial 15 m (PAN), 30 m (band 1-5, 7), 60 m band 6. Citra
Landsat TM terdiri dari 7 band. Band 1 pada Landsat 7 ini memiliki panjang
gelombang antara 0,45-0,52 μm, band 2 sebesar 0,52-0,6 μm, band 3 0,63-0,69
μm, band 4 0,76-0,9 μm, band 5 1,55-1,75 μm, untuk band 6 memiliki nilai antara
10,4-12,5 μm, dan band 7 berada pada panjang gelombang 2,08-2,35 μm.
(Lillesand dan Kiefer 1997)
Menurut Estes dan Simonett dalam Sutanto (1986) interpretasi citra
merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk
mengidentifikasi obyek yang tergambar dalam citra dan menilai arti penting objek
tersebut. Dalam interpretasi citra terdapat sembilan unsur yaitu, rona, tekstur,
bentuk, ukuran, pola, situs (site), bayangan, asosiasi, konvergensi bukti.
Rangkaian kegiatan yang diperlukan dalam pengenalan objek pada citra yaitu:
1. Deteksi, adalah pengamatan adanya suatu objek.
2. Identifikasi, adalah upaya mencirikan objek yang telah dideteksi dengan
menggunakan keterangan yang cukup.
3. Analisis, adalah Pengumpulan keterangan lebih lanjut.
Maximum Likelihood
Klasifikasi citra dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu
klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tidak terbimbing
(unsupervised classification). Menurut Rusdi (2005) dalam klasifikasi terbimbing,
identitas dan lokasi beberapa tipe penutup lahan seperti pemukiman, pertanian,
atau lahan basah diketahui melalui kombinasi orientasi wilayah, analisis foto
udara, peta dan pengalaman pribadi. Maximum Likelihood Classification (MLC)
banyak digunakan pada citra beresolusi rendah sampai menengah seperti Lansat
dan hanya memperhatikan nilai spektral. Richard (1993), klasifikasi MLC
didasarkan pada perkiraan densitas probabilitas untuk setiap tutupan/penggunaan
lahan. Perhitungan probabilitas disini memungkinkan untuk menemukan sebuah
piksel dari kelas i pada vektor x yang didefinisikan oleh persamaan:
P(i‫׀‬X) = P(X‫׀‬i)P(i) / P(X)
Dimana:
P(i‫׀‬X) =

P(X‫׀‬i) =
P(i)
P(X)

=
=

Probabilitas bersyarat dari kelas i, dihitung mengingat bahwa vektor X
ditetapkan secara apriori (tanpa syarat). Probabilitas ini juga disebut
likelihood.
Probabilitas bersyarat (conditional) dari vektor X, dihitung mengingat
bahwa kelas ditetapkan secara apriori.
Probabilitas kelas i muncul didalam sebuah citra
Probabilitas dari vektor X

6
Maximum Likelihood Classification digunakan untuk mengevaluasi secara
kuantitatif variance dan co-variance pola tanggapan spektral kategori ketika
mengklasifikasi piksel yang tidak dikenal, dengan asumsi distribusi normal
(Lillesand dan Kiefer 1990). Dalam kasus distribusi normal, Lk dapat
diexpresikan sebagai berikut:

dimana : n
X
Lk(X)
µk
∑k
/∑k/

= banyaknya band
= vektor penciri dari n band
= kemungkinan dari X masuk ke dalam kelas k
= vektor rataan dari kelas k
= matrik varian kovarian dari kelas k
= determinan dari ∑k

Penelitian yang dilakukan oleh Sarwoko (2004) menyatakan bahwa
pendekatan metode pengklasifikasi metode Maximum Likelihood lebih baik jika
dibandingkan dengan metode Minimum Distance. Hal ini disebabkan pada
Minimum Distance hanya memperhitungkan aspek jarak, pada metode Maximum
Likelihood memperhitungkan informasi sekitar seperti rata-rata, variansi dan
sebarannya.
METODE
Waktu, Tempat dan Dat
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2012 sampai bulan September
2013 di daerah Jabodetabek dan analisis data dilakukan di Bagian Perencanaan
dan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
Fakulatas Pertanian, IPB dan di Pusat Pengkajian Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri
dari data citra landsat Jabodetabek tahun 1990, 1995, dan 2005, peta administrasi,
peta penggunaan lahan tahun 1983, dan 2010, serta peta jalan Jabodetabek. Data
sekunder secara umum dibagi atas data spasial dan data atribut. Alat yang
digunakan terdiri dari seperangkat komputer dengan perangkat lunak (software),
yaitu IDRISI Selva, Microsoft Word, Microsoft Excel, printer, dan alat tulis.

7
Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
No.
1

2

3

Jenis Data
Sumber Data
Citra Landsat Jabodetabek Tahun Bagian
Pusat
Pengkajian
1990, 1995, 2005
Perencanaan
Pengembangan
Wilayah (P4W) LPPM IPB
Peta Administrasi Jabodetabek
Bagian
Pusat
Pengkajian
Perencanaan
Pengembangan
Wilayah (P4W) LPPM IPB
Hasil Klasifikasi Penggunaan Bagian
Pusat
Pengkajian
Lahan Tahun 1983 dan tahun 2010 Perencanaan
Pengembangan
(Tutuk Lufitayanti 2013)
Wilayah (P4W) LPPM IPB
Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam 3 tahap. yaitu: (1) Persiapan, studi
literatur, dan pengumpulan data, (2) Analisis data spasial, (3) Analisis data.
Persiapan dan studi literatur dilakukan dengan pengumpulan buku-buku yang
berkaitan dengan penelitian ini.
Analisis Penggunaan/Tutupan Lahan
Data-data yang dikumpulkan untuk penunjang kegiatan ini yaitu citra
Landsat tahun 1990, 1995, 2005, peta penggunaan lahan tahun 1983 dan tahun
2010, serta peta administrasi Jabodetabek. Citra Landsat tahun 1990, 1995, dan
2005 dilakukan prepocessing untuk kemudian dilakukan kalibrasi. Selanjutnya 7
band yang dimiliki citra digabungkan dengan stacking sehingga didapatkan hasil
citra yang memiliki nilai R-G-B. Tahap berikutnya yaitu penggabungan atau
mosaicking antar dua scene yang berbeda, kemudian dilakukan proses subset
berdasarkan peta administrasi untuk mendapatkan kawasan penelitian yaitu
Jabodetabek.
Klasifikasi adalah sebuah metode untuk menyusun data yang homogen
secara sistematis ke dalam sebuah kelompok atau kelas. Menurut Lillesand and
Kiefer (1990), analisis citra terbimbing merupakan proses pemilihan kategori
informasi atau kelas yang diinginkan dan memilih daerah yang mewakili tiap
kategori. Statistik yang diperoleh dari data untuk tiap kategori digunakan sebagai
dasar untuk klasifikasi.
Proses klasifikasi dilakukan dengan membuat training set atau pengambilan
titik sampling pada objek di citra. Pengambilan titik sampling dilakukan minimal
enam kali ulangan di setiap kelas penggunaan lahan hingga mewakili seluruh
kawasan Jabodetabek. Terdapat lima macam kelas penggunaan lahan yaitu hutan,
pertanian non sawah, sawah, badan air, dan lahan terbangun (built up area).
Penggunaan lahan pertanian non sawah terdiri dari lahan terbuka, kebun, semak,
tegalan, dan rumput.
Setelah dilakukan proses pengambilan titik sampling, maka citra dapat
diklasifikasi menggunakan sitem klasifikasi maximum likelihood. Metode
maximum likelihood dapat memperhitungkan informasi sekitar yaitu rata-rata,
variansi dan sebarannya (Sarwoko 2004). Kemudian output yang dihasilkan yaitu

8
peta penggunaan lahan Jabodetabek tahun 1990, 1995, dan 2005. Peta tersebut
digunakan untuk menganalisis penggunaan/tutupan lahan di Jabodetabek tahun
1990 hingga 2005.
Berikut bagan alur metode yang tersaji pada Gambar 1.
Citra 1990

Citra 1995

Citra 2005

Preprocessing

Stacking

Mosaicking

Subset

Citra Landsat
Jabodetabek 1990

Citra Landsat
Jabodetabek 1995

Citra Landsat
Jabodetabek 2005

Training set ROI
Klasifikasi maximum likelihood
Peta Penggunaan Lahan Tahun 1990, 1995, 2005
Gambar 1 Diagram alir metode penentuan peta penggunaan lahan

9
Analisis Pola Perubahan Penggunaan/Tutupan Lahan
Untuk mendapatkan data penelitian ini terlebih dahulu dilakukan tahap
perbaikan pada setiap penggunaan/tutupan lahan dengan menggunakan model
maker, hal ini bertujuan untuk merubah lahan yang terklasifikasi sebagai awan
menjadi penggunaan lahan yang ditentukan. Proses tersebut dilakukan
berdasarkan teori land rent dan proses perubahan pengunaan/tutupan lahan yang
umumnya bersifat irreversible. Tahap proses analisis perubahan penggunaan
lahan dilakukan dengan membandingkan peta penggunaan lahan Jabodetabek
tahun 1990-1995, tahun 1995-2005, dan tahun 1990-2005 menggunakan cross tab
pada software Idrisi Selva. Hasil analisis tersebut dapat digunakan untuk
menganalisis pola perubahan penggunaan/tutupan lahan di Jabodetabek tahun
1990 hingga 2005 Berikut bagan alur metode (Gambar 2).
Peta
penggunaan/tutupan
lahan Jabodetabek
1990

Peta
penggunaan/tutupan
lahan Jabodetabek
1995

Peta
penggunaan/tutupan
lahan Jabodetabek
2005

Model Maker

Idrisi Selva

Peta penggunaan/tutupan
lahan Jabodetabek 1990

Peta penggunaan/tutupan
lahan Jabodetabek 1995

Cross Tab

Peta penggunaan/tutupan
lahan Jabodetabek 2005

Cross Tab

Peta perubahan
penggunaan/tutupan lahan
Jabodetabek 1990-1995

Peta perubahan
penggunaan/tutupan lahan
Jabodetabek 1995-2005

Peta perubahan
penggunaan/tutupan lahan
Jabodetabek 1990-2005

Gambar 2 Diagram alir analisis perubahan penggunaan/tutupan lahan

10
Prediksi Penggunaan/Tutupan Lahan
Berdasarkan data hasil luas perubahan penggunaan lahan tahun 1990-2005
dapat dilakukan tahap perkiraan penggunaan lahan untuk tahun 2020 dan 2035,
serta dapat dilihat pola perubahan yang terjadi di Jabodetabek. Perkiraan
perubahan penggunaan lahan diproyeksikan 15 tahun ke depan, karena peta
perubahan penggunaan lahan yang digunakan mempunyai kurun waktu 15 tahun.
Analisis perkiraan penggunaan lahan Jabodetabek menggunakan rumus yaitu:
Pij (t2-t1) =

Lj (tx)

=

Lij (t2-t1)
Li (t1)
Lij (tx-t1)

dimana:
Pij (t2-t1) adalah proporsi penggunaan lahan ke-i pada tahun awal t1 yang beralih
fungsi ke penggunaan lahan ke-j pada tahun akhir t2
Lij (t2-t1) adalah luas penggunaan lahan ke-i tahun awal t1 beralih fungsi menjadi
penggunaan lahan ke-j di tahun akhir t2 (ha)
Li (t1)
adalah luas penggunaan lahan i pada tahun awal (t1)
Lj (tx)
adalah luas penggunaan lahan j di tahun x
tx
adalah tahun prediksi

KEADAAN UMUM
Letak dan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di wilayah Jabodetabek yang merupakan wilayah
yang padat. Jabodetabek terdiri dari 8 wilayah administrasi yaitu DKI Jakarta,
Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota dan Kabupaten Bekasi, serta Kota
dan Kabupaten Tengerang. Jabodetabek terletak pada tiga provinsi yaitu Provinsi
DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten. Wilayah Jabdetabek berada
pada latitude 6010‟ - 6047‟ LS dan longitude 106020‟ - 107027‟29” BT . Daerah
Jabodetabek memiliki total luas sebesar 671.902,8 Ha.
Sosial Ekonomi
Jakarta merupakan pusat aktivitas dan Bogor, Depok, Tangerang, bekasi
sebagai wilayah penyangga. Perekonomian Provinsi DKI Jakarta tumbuh sebesar
5,90% pada tahun 2006, 6,44% pada tahun 2007, pada tahun 2008 pertumbuhan
ekonomi Jakarta mencapai 6,22%. Sementara pada tahun 2009 mengalami
penurunan, namun jika dibandingkan tahun 2008 masih relatif tinggi, yaitu 5,01%.
Selanjutnya pertumbuhan ekonomi Jakarta tahun 2010 meningkat hingga 6,50%
dan tahun 2011 terus mengalami peningkatan dan mencapai 6,77%. Sektor yang
paling berkembang di Jabodetabek adalah sektor tersier, meliputi sektor
perdagangan, hotel, restoran, dan sektor keuangan, real estate, jasa perusahan,
serta sektor pengangkutan dan komunikasi, dimana pertembuhan tercepat di

11
Jakarta. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2010), luas Metropolitan Priority
Area (MPA) Jabodetabek 6.400,71 kilometer persegi dengan populasi sebanyak
27,95 juta jiwa. Luas DKI Jakarta 664,1 km persegi dengan jumlah penduduk
9,588 juta jiwa dan luas MPA timur (Kota dan Kabupaten Bekasi) 1.480 km
persegi dengan populasi 4,966 juta jiwa. Luas MPA selatan (Kota Depok, Kota
dan Kabupaten Bogor) 2.981,77 km persegi dengan jumlah penduduk sebanyak
7,456 juta jiwa dan luas MPA barat (Kota dan Kabupaten Tangerang serta Kota
Tangerang Selatan) 1.274,93 km persegi dengan populasi 4,9 juta jiwa.

Gambar 3 Peta administrasi Jabodetabek

12
Keadaan Iklim dan Tanah
Kondisi iklim wilayah Jabodetabek memiliki curah hujan rata-rata antara
1500-lebih dari 5000 mm/tahun. Curah hujan terbesar terdapat di wilayah Bogor
dan sebagian Wilayah Bekasi, Jakarta, serta Tangerang memiliki curah hujan
terendah. Berdasarkan curah hujan yang ada, wilayah Jabodetabek memiliki
bulan basah dan bulan kering.
Wilayah Jabodetabek terletak pada ketinggian 25 hingga lebih dari 200
mdpl, bertopografi datar sampai sangat curam. Tanah yang terbentuk di wilayah
Jabodetabek pada umumnya berasal dari bahan induk abu volkan dan batuan
piroklastik. Jenis tanah alluvial, andosol, tanah kelabu, tanah podsolik, tanah
latosol, regosol, dan tanah renzina merupakan tanah-tanah yang tersebar di
seluruh wilayah Jabodetabek. Jenis tanah yang paling banyak persebarannya di
wilayah Jabodetabek yaitu jenis tanah kompleks latosol merah kuning, latosol
coklat,dan podsolik dengan proporsi luas sebesar 15.28 %. Jenis tanah regosol
coklat merupakan jenis tanah yang sedikit persebarannya di wilayah Jabodetabek,
yaitu dengan luas 0.6 Ha. (RPJMD Kota Bogor 2012)
Geologi dan Geomorfologi
Wilayah Jabodetabek memiliki formasi batuan yang tersebar yaitu batuan
alluvial, batuan sedimen, dan batuan volkan. Wilayah Jabodetabek tediri dari tiga
bentuk lahan yang sesuai dengan kondisi ekosistemnya yaitu kawasan pesisir,
kawasaan dataran, dan kawasan perbukitan. Kawasan pesisir terdapat hampir di
sepanjang pantai utara Jabodetabek. Kawasan tersebut memiliki topografi yang
landai. Kawasan dataran adalah kawasan yang memiliki ketinggian 25-200 mdpl,
dan topografi bergelombang. Kawasan ini terdapat di Kabupaten dan Kota
Tangerang, Kota Depok, dan sebagian dari Kabupaten maupun Kota Bekasi.
Kawasan perbukitan terdapat di wilayah Kabupaten maupun Kota Bogor yang
memiliki ketinggian 200 mdpl. Kawasan tersebut memiliki topografi berbukit
sampai dengan sangat curam. (RPJMD Kota Bogor 2012)
Kawasan pesisir didominasi oleh geologi dengan tipe alluvium. Kawasan
dataran memiliki tipe geologi Pleistoocene volcanic facies dan untuk bahan
vulkanik muda tersebar di kawasan perbukitan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggunaan/Tutupan Lahan Wilayah Jabodetabek
Pengamatan citra dalam analisis memiliki tujuan yaitu untuk
mengidentifikasi objek yang ada pada citra, serta mengelompokan jenis
penggunaan lahan yang sama dalam satu kelas. Berdasarkan citra Landsat tahun
1990, 1995, dan 2005 dapat diamati ciri-ciri kenampakan penggunaan lahan yaitu
sebagai berikut:
 Hutan dalam citra Landsat memiliki ciri pola visual yang menyebar.
Penggunaan lahan ini berwarna hujau muda hingga hijau tua, bertekstur kasar

13









dan memiliki kawasan yang cukup luas. Semakin gelap rona hutan
menandakan semakin lebat pula hutan tersebut.
Pertanian non sawah ini meliputi penggunaan lahan berupa kebun campuran,
tegalan, semak, kebun, dan lahan terbuka. Pertanian non sawah ini memiliki
warna kuning dan hijau, bertekstur kasar dengan pola yang tidak teratur.
Klasifikasi ini menyebar di seluruh kawasan Jabodetabek.
Sawah memiliki ciri umum yaitu adanya pola petak-petak dan dibatasi dengan
pematang serta adanya aliran air untuk pengairan sawah. Penggunaan lahan ini
memiliki tekstur halus, berwarna hijau muda, merah muda, kuning, sampai
biru. Sawah yang berwarna biru menandakan bahwa sawah tersebut berada
pada fase sedang tergenang. Sawah memiliki pola visual menyebar.
Badan air dapat diamati dari warna dan teksturnya pada citra yaitu berwarna
biru muda sampai tua dan bertekstur halus. Semakin gelap warna biru pada
badan air menunjukkan semakin dalamnya badan air tersebut. Pola visual
menyebar juga menjadi ciri dari klasifikasi badan air ini.
Lahan terbangun memiliki warna ungu, bertekstur kasar, dan memiliki ukuran
bervariasi. Pemukiman memiliki sifat pola visual yang mengelompok.
Tabel 2 Hasil pengamatan citra Landsat

Jenis
Penggunaan
1990

Pada Citra
1995
2000

Karakteristik Penggunaan Lahan
2005

Sawah

Memiliki warna hijau, biru, merah
muda. Hijau = masa tanam pada
fase reproduksi; Biru= masa
tergenang; merah muda= masa
tanam pada fase pematangan.
Berpetak-petak
dibatasi
oleh
pematang serta adanya aliran
tubuh air. Bertekstur halus.

Lahan
Terbangun

Memiliki warna ungu. Bertekstur
kasar, dan ukuran bervariasi.

Hutan

Memiliki warna hijau muda
sampai tua, bertekstur kasar, rona
terang sampai gelap, sangat luas.

Pertanian Non
Sawah

Memiliki warna kuning dan hijau,
bertekstur kasar, tidak teratur

Badan Air

Memiliki warna biru muda hingga
tua, bertekstur halus, rona terang
sampai gelap

14
Menurut Purwadhi (2001) pengelompokan atau melakukan segmentasi
terhadap kenampakan-kenampakan yang homogen dengan teknik kuantitatif
merupakan tujuan dilakukannya klasifikasi pada citra. Pengklasifikasian
penggunaan lahan Kawasan Jabodetabek ini menggunakan teknik klasifikasi
terbimbing dengan metode maximum likelihood. Ide dasar dari maximum
likelihood ini yaitu mencari nilai parameter yang memberi kemungkinan yang
paling besar untuk mendapatkan data yang terobservasi sebagai estimator
penggunaan lahan. Hasil klasifikasi penggunaan lahan menghasilkan data luasan
dan komposisi penggunaan lahan seperti pada Tabel 3.
Tabel 3 Luas penggunaan Lahan Jabodetabek
Penggunaan Lahan

1990 (Ha)

1995 (Ha)

2005 (Ha)

Hutan

166.423

129.218

74.085

Pertanian non sawah

168.343

173.453

175.511

Sawah

256.757

258.638

254.670

Badan air

32.033

29.629

26.686

Lahan terbangun

57.548

90.165

150.152

Berdasarkan Tabel 3, tahun 1990 dan 1995 didominasi oleh penggunaan
lahan berupa sawah dengan luas masing-masing 256.757 Ha (37,7%) dan 258.638
Ha (37,9%). Pada tahun 2005 penggunaan/tutupan yang mendominasi di wilayah
Jabodetabek masih berupa lahan sawah dengan luas 254.670 Ha (37,4%). Dalam
kurun waktu 1990-2005 penggunaan/tutupan lahan berupa hutan, sawah dan
badan air cenderung selalu menurun, sedangkan penggunaan lahan yang selalu
meningkat yaitu penggunaan lahan terbangun dan pertanian non sawah.
Penggunaan lahan sawah mengalami peningkatan dalam kurun 1990-1995 dan
mengalami penurunan dalam kurun 1995-2005. Tingkat akurasi yang didapat dari
proses klasifikasi yaitu pada tahun 1990 sebesar 91/;.
Q1`‟%, pada tahun
1995 sebesar 77,7%, dan pada tahun 2005 sebesar 91%. Nilai akurasi ini
merupakan nilai akurasi dari data sample yang diambil. Berikut gambar grafik
dinamika perubahan lahan Jabodetabek tahun 1990-2005 serta peta penggunaan
lahan Jabodetabek tahun 1990,1995, dan 2005.

15

Gambar 4 Grafik Dinamika Perubahan Lahan Jabodetabek Tahun 1990-2005

1990

1995

Gambar 5 Peta Penggunaan/Tutupan Lahan Jabodetabek Tahun 1990,1995, dan
2005

16
Pola Perubahan Penggunaan/Tutupan Lahan Jabodetabek
Perubahan Penggunaan/Tutupan Lahan Jabodetabek tahun 1990-1995
Kebutuhan lahan yang semakin meningkat diiringi dengan ketersediaan
lahan yang terbatas akan memicu meningkatnya perubahan penggunaan/tutupan
lahan. Pusat, wilayah pengaruh, dan jaringan transportasi merupakan 3 unsur
dasar dalam pengembangan wilayah atau pengembangan kawasan (Adisasmita
2010). Wilayah Jakarta merupakan pusat segala aktivitas di Jabodetabek. Hal ini
memicu meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan akan lahan.
Ketersedian ruang yang terbatas dapat menimbulkan ekspansi kegiatan perkotaan
di wilayah pinggiran. Perluasan kawasan perkotaan yang tidak sesuai dengan pola
kebijaksanaan kota telah menyebabkan timbulnya pola penggunaan/tutupan lahan
yang tidak teratur (urban sprawl).
Penggunaan/tutupan lahan wilayah Jabodetabek dalam kurun waktu lima
tahun mengalami perubahan penggunaan lahan yang cukup tinggi. Perubahan
pada penggunaan/tutupan lahan hutan yang beralih ke jenis penggunaan lahan
pertanian non sawah, sawah, badan air, dan lahan terbangun yaitu seluas 37.205
Ha. Penggunaan/tutupan lahan hutan memiliki tingkat perubahan tertinggi ke
penggunaan/tutupan lahan pertanian non sawah yaitu seluas 25.504 Ha, diikuti
oleh perubahan penggunaan/tutupan lahan hutan menjadi sawah seluas 10.502 Ha.
Lahan terbangun merupakan kawasan yang mengalami peningkatan luas lahan
yang cukup signifikan yaitu seluas 32.616 Ha. Hal ini didukung oleh data
Bappenas (2005) yang menyebutkan bahwa penduduk Indonesia tumbuh dengan
kecepatan 1,49 % per tahun dimana persebaran penduduk antar pulau dan
provinsinya tidak merata. Sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di Pulau
Jawa, sedangkan luas wilayah Pulau Jawa tidak mencapai 7% dari luas total
Indonesia. Perubahan penggunaan/tutupan lahan menjadi lahan terbangun
didominasi oleh berubahnya lahan sawah yaitu seluas 20.902 Ha. Lahan pertanian
non sawah merupakan penyumbang terbesar kedua yang berubah menjadi lahan
terbangun, yaitu 9.371 Ha. Hal tersebut terangkum pada Tabel 4. Berdasarkan
total perubahan, penggunaan/tutupan lahan sawah mengalami perubahan yang
terluas yaitu seluas 68.360 Ha. Selain itu pertanian non sawah dan hutan juga
mengalami perubahan yang cukup luas yaitu seluas 67.974 Ha dan 37.205 Ha.
Perbandingan penggunaan/tutupan lahan antar dua tahun ini memiliki nilai kappa
sebesar 0,77 yang memiliki arti kesesuaian yang baik antara peta penggunaan
lahan tahun 1990 dan 1995.
Berdasarkan data yang tersaji pada tabel 4 dapat digambarkan sebuah peta
perubahan panggunaan lahan Jabodetabek dalam rentang waktu 5 tahun tersebut.
Pada Gambar 7 terlihat perubahan penggunaan lahan di wilayah Jabodetabek
sangat tinggi. Pembangunan DKI Jakarta terlihat lebih ke arah koridor timur,
barat, utara, dan sedikit membatasi pengembangan ke arah selatan guna mencapai
keseimbangan ekosistem. Terjadi pergeseran fungsi di kawasan pusat kota secara
besar-besaran, dari pusat industri manufaktur menjadi pusat kegiatan bisnis,
keuangan dan jasa, sedangkan industri manufaktur bergeser ke arah tepi kota. Hal
ini disebabkan oleh tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di Jabodetabek yang
tidak seiring dengan ketersediaan lahan yang ada di kota DKI Jakarta. Proses

17
suburbanisasi ini juga telah mempercepat proses konversi lahan di Jakarta dan
sekitarnya. Konversi penggunaan lahan di dalam proses suburbanisasi umumnya
merupakan proses konversi dari lahan-lahan yang memiliki nilai land rent yang
lebih rendah. Namun disisi lain masih terjadi penyimpangan dalam perubahan
penggunaan/tutupan lahan di kawasan selatan Jabodetabek. Bagian selatan
Jabodetabek dalam perencanaan banyak diperuntukkan sebagai kawasan lindung,
namun terlihat pada gambar banyak terjadi perubahan penggunaan/tutupan lahan
hutan yang dikonversi menjadi penggunaan/tutupan lahan lainnya. Daerah
Kabupaten Bogor menjadi daerah terluas yang mengalami konversi hutan. Selain
itu pengaruh akses jalan juga menjadi peran penting dalam terjadinya perubahan
lahan. Terlihat pada Gambar 6 lahan sawah yang dilalui atau dekat dengan jalan
utama cenderung dikonversi dan diubah fungsinya menjadi lahan terbangun. Hal
tersebut terjadi pada sawah yang berlokasi di daerah Kabupaten Bekasi,
Tangerang dan daerah pinggiran kota Jakarta.
Tabel 4 Penggunaan/Tutupan lahan Jabodetabek tahun 1990-1995
Luas Penggunaan
lahan (Ha)

1990

1995
Hutan

Pertanian
non sawah

Sawah

Badan
air

Lahan
terbangun

Total
Perubah
an

Hutan
(166.423)

129.218
(77,6%)

25.504
(15,3%)

10.502
(6,3%)

0
(0%)

1.199
(0,7%)

37.205

Pertanian
non sawah
(168.343)

0
(0%)

100.368
(59,6%)

58.603
(34,8%)

0
(0%)

9.371
(5,6%)

67.974

Sawah
(256.757)

0
(0%)

47.457
(18,5%)

188.397
(73,4%)

0
(0%)

20.902
(8,1%)

68.360

Badan Air
(32.033)

0
(0%)

124
(0,4%)

1.136
(3,5%)

29.629
(92,5%)

1.144
(3,6%)

2.404

Lahan
terbangun
(57.548)

0
(0%)

0
(0%)

0
(0%)

0
(0%)

57.548
(100%)

0

Gambar 6 Peta Perubahan Penggunaan Lahan Jabodetabek Tahun 1990-1995

18

19
Perubahan Penggunaan/Tutupan Lahan Jabodetabek tahun 1995-2005
Keadaan populasi penduduk Jabodetabek selama kurun waktu 10 tahun
yaitu 1995-2005 mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Berdasarkan Badan
Pusat Statistik (2008) wilayah Jabodetabek mengalami peningkatan jumlah
penduduk sebesar 3.419.671 jiwa. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya kaum
urbanisasi yang pindah dari daerah menuju ibukota. Krisis ekonomi yang terjadi
menyebabkan ibukota menjadi tujuan utama untuk mencari pekerjaan. Semakin
meningkatnya populasi penduduk di ibukota mengakibatkan krisis lahan yang
berimbas pada perubahan penggunaan lahan di daerah sekitar ibukota. Dapat
dilihat pada Tabel 5, penggunaan/tutupan lahan hutan menurun 8% dari tahun
1995 sampai 2005, yaitu sebesar 55.133Ha. Lahan yang mengalami peningkatan
terbesar yaitu penggunaan/tutupan lahan untuk lahan terbangun dengan proporsi
8,8% atau seluas 59.987 Ha. Begitu pula dengan pertanian non sawah yang
mengalami peningkatan luas lahan. Namun disisi lain sawah dan badan air
mengalami penurunan selama kurun waktu sepuluh tahun yaitu masing-masing
sebesar 0,6% dan 0,4%.
Tabel 5 Penggunaan lahan Jabodetabek tahun 1995-2005
Penggunaan
Lahan
Hutan
Pertanian non
sawah
Sawah
Badan air
Lahan
terbangun
Total

1995
Luas (Ha)

2005
Proporsi
(%)

Luas (Ha)

1995-2005
Proporsi
(%)

(Ha)

(%)

129.218

18,97

74.085

10,88

-55.133

-8,09

173.453

25,47

175.511

25,77

2.057

0,30

258.638
29.629

37,97
4,35

254.670
26.686

37,39
3,92

-3.968
-2.943

-0,58
-0,43

90.165

13,24

150.152

22,05

59.987

8,81

681.104

100

681.104

100

0,00

0,00

Tingginya populasi penduduk menuntut lahan terbangun agar memiliki
proporsi yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, lahan sawah menjadi pilihan utama
untuk perubahan penggunaan/tutupan lahan menjadi lahan terbangun. Alasan lain
perubahan terjadi karena nilai land rent dari sawah lebih rendah daripada lahan
terbangun. Perubahan alih fungsi sawah menjadi penggunaan/tutupan lahan lain
seperti lahan terbangun tidak membutuhkan pengelolaan dan biaya yang cukup
tinggi. Jika dilihat dari data pada Tabel 6, luas hutan yang berubah fungsi menjadi
kawasaan pertanian non sawah sebesar 41.075 Ha. Selain perubahaan fungsi lahan
dari hutan ke pertanian non sawah, di wilayah Jabodetabek perubahan lahan dari
pertanian non sawah kearah sawah juga memiliki pola perubahan yang besar
dalam kurun waktu sepuluh tahun sejak tahun 1995 hingga 2005 yaitu sebesar
40.435 Ha. Menurut UU 41 tahun 2009 penggunaan lahan subur seperti sawah
harus menjadi kawasan pertanian pangan berkelanjutan dan sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dan dimuat dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM), dan Rencanan Tahunan baik nasional maupun Rencana Kerja Pemerintah
(RKP). Seperti yang disebutkan pada UU 41 tahun 2009 Pasal 7 ayat 2 “Wilayah
kegiatan selain kegiatan pertanian pangan berkelanjutan di dalam kawasan

20
pertanian pangan ditetapkan dengan memperhitungkan luas kawasan dan jumlah
penduduk”. Namun, penyimpangan konversi lahan banyak terjadi, lahan sawah
yang dikonversi menjadi kawasan terbangun seringkali tidak memperhitungkan
luas kawasan pertanian pangan. Terjadinya lonjakan penduduk yang begitu besar
mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan
terbangun yang tidak mementingkan kawasan pertanian pangan berkelanjutan.
Seperti data pada Tabel 6, lahan sawah yang beralih fungsi menjadi lahan
terbangun memiliki angka cukup tinggi dengan luasan 39.057 Ha atau sebesar
15%. Berdasarkan total perubahan, penggunaan/tutupan lahan pertanian non
sawah dan sawah mengalami perubahan yang terluas yaitu masing-masing seluas
58.969 Ha dan 58.827 Ha. Perbandingan penggunaan/tutupan lahan tahun 1995
dengan penggunaan/tutupan lahan tahun 2005 menghasilkan nilai kappa sebesar
0,77 yang menunjukkan bahwa nilai kesesuaian antara peta penggunaan lahan
tahun 1995 dan 2005 mencapai 77%.
Tabel 6 Luas perubahan penggunaan lahan tahun 1995-2005
Luas Penggunaan
lahan (Ha)

1995

Hutan
(123.218)
Pertanian
non sawah
(173.453)
Sawah
(256.757)
Badan Air
(29.629)
Lahan
terbangun
(90.164)

2005

74.085
(57,3%)

Pertanian
non sawah
41.075
(31,8%)

12.102
(9,4)

0
(0%)

Lahan
terbangun
1.956
(1,5%)

0
(0%)

114.485
(66%)

40.436
( 23,3%)

0
(0%)

18.533
(10,7%)

0
(0%)
0
(0%)

19.770
(7,64%)
181
(0,61%)

199.811
(77,26%)
2.321
(7,8%)

0
(0%)
26.686
(90,1%)

39.057
(15,1%)
440
(1,5%)

0
(0%)

0
(0%)

0
(0%)

0
(0%)

90.165
(100%)

Hutan

Sawah

Badan air

Total
Peruba
han
55.133
58.969
58.827
2.942,6

Pada gambar 7 dapat dijelaskan bahwa telah terjadi perluasan perubahan
lahan yang terjadi di kawasan Jabodetabek. Perubahan lahan yang terlihat terjadi
di sekitaran daerah pusat yaitu DKI Jakarta. Namun pada periode ini sedikit
berbeda dengan periode 1990-1995 hal ini dapat terlihat dari perubahan lahan
yang berkembang ke arah selatan. Daerah selatan yang telah direncanakan sebagai
kawasan lindung cenderung mengalami perubahan. Kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang rencana tata ruang dan rendahnya pengawasan dari
pemerintah menjadi pemicu terjadinya penyimpangan penggunaan lahan ini.
Perkembangan ke arah barat dan timur DKI Jakarta juga masih terlihat besar pada
periode 1995-2005. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Panuju
(2004) yang menyatakan konversi lahan dilihat dari data penutupan lahan
Bodetabek 1972-2001 secara spasial lebih banyak terjadi di sekitar wilayah
Tangerang dan Bekasi. Konversi terti