Analisis Penggunaan Lahan dan Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2006 dan 2012 Serta Identifikasi Lahan Kritis di Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Penutupan Lahan Indonesia

  Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan) dan Benua Australia (Pulau Papua) serta sebaran wilayah peralihan Wallacea (Pulau Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara). Indonesia memiliki hutan tropis ketiga terluas di dunia setelah Brasil dan Zaire, sehingga sangat penting peranannya sebagai bagian dari paru-paru dunia serta penyeimbang iklim global. Untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari melalui optimalisasi manfaat hutan pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan secara proporsional dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, yaitu minimal 30%, seperti dituangkan pada pasal 18 UU No. 41 tahun 1999. Kawasan hutan dimaksud kemudian dideliniasi sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai hutan konservasi, lindung dan produksi (Dephut, 2008).

  Lahan dan Pengunaan Lahan

  Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk interaksi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian.

  Penggunaan lahan pertanian dibedakan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan dan dimanfaaatkan atau atas jenis tumbuhan yang terdapat atas lahan tersebut. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam lahan kota atau desa (permukiman), industri, rekreasi, dan sebagainya (Arsyad, 2006).

  Penggunaan lahan termasuk dalam komponen sosial budaya karena penggunaan lahan mencerminkan hasil kegiatan manusia atas lahan serta statusnya (Bakosurtanal, 2007). Adanya aktifitas manusia dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya sehari-hari berdampak pada perubahan penutup/penggunaan lahan. Diperkotaan, perubahan umumnya mempunyai pola yang relatif sama, yaitu bergantinya penggunaan lahan lain menjadi lahan urban.

  Perubahan penggunaan lahan yang pesat terjadi apabila adanya investasi di bidang pertanian atau perkebunan. Dalam kondisi ini akan terjadi perubahan lahan hutan, semak, ataupun alang-alang menjadi lahan perkebunan. Perubahan yang dilakukan oleh masyarakat terjadi dalam skala kecil (Sitorus, dkk., 2006).

  Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat. Sedangkan informasi tentang kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat di tafsir secara langsung dari penutupan lahannya. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda (Lillesand dan Kiefer, 1993).

  Deteksi perubahan mencakup penggunaan fotografi udara berurutan diatas wilayah tertentu dari fotografi tersebut peta penggunaan lahan untuk setiap waktu dapat dipetakan dan dibandingkan (Lo, 1995). Sulistyo (2004) menambahkan bahwa salah satu data penginderaan jauh merupakan data digital sehingga memerlukan pengolahannya untuk memperoleh informasi yang disajikan dalam peta tematik.

  Pemetaan penggunaan lahan dan penutupan lahan sangat berhubungan dengan studi vegetasi, tanaman pertanian dan tanah dari biosfer. Karena data penggunaan lahan dan tutupan lahan paling penting untuk planner yang harus membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya lahan, maka data ini bersifat ekonomi (Lo, 1995).

  Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokan berbagai jenis penutup lahan/penggunaan lahan ke dalam suatu kesamaan sesuai dengan sistem tertentu. Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi citra penginderaan jauh untuk tujuan pemetaan penutup lahan/penggunaan lahan. Banyak sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang telah dikembangkan, yang dilatarbelakangi oleh kepentingan tertentu atau pada waktu tertentu (Sitorus, dkk., 2006).

  Keadaan Geografis/Demografi

  Jaring Halus merupakan sebuah desa yang terletak di pinggir lautan lepas (dikelilingi oleh lautan). Desa ini merupakan desa pesisir yang penduduknya mayoritas adalah Melayu dan sebagian kecil adalah suku Banjar. Untuk mencapai desa ini transportasi yang digunakan adalah kapal boat dari Secanggang. Menurut cerita masyarakat setempat, dulunya desa ini merupakan sebuah tempat di mana masyarakat Melayu di desa ini berasal dari negeri Malaysia yang oleh karena suatu hal mereka bertransmigrasi ke desa ini. Dan dulunya desa ini masih kosong sama sekali dan lama kelamaan berkembang akibat perubahan zaman. Dulunya oleh orang Malaysia di sebut jari halus, tetapi kemudian akibat para pendatang yang tinggal dan menetap di desa tersebut seperti Banjar, Jawa, Melayu, dan Banten akhirnya berubah nama menjadi Desa Jaring Halus. Secara geografis terletak pada 3°51'30” – 3°59'45” LU dan 98°30' – 98°42' BT dengan ketinggian lebih kurang 1 m dpl. Desa ini merupakan desa pesisir yang berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah utara dan timur, sebelah selatan dengan Desa Selotong, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Tapal Kuda (BB BKSDA, 2006).

  Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove

  Lillesand dan Kiefer (1993) menyatakan bahwa perubahan lahan terjadi karena manusia yang mengubah lahan pada waktu yang berbeda. Pola-pola perubahan lahan terjadi akibat responnya terhadap pasar, teknologi, pertumbuhan populasi, kebijakan pemerintah, degradasi lahan, dan faktor sosial ekonomi lainnya (Basyuni, 2003). Menurut Darmawan (2003), salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan lahan adalah faktor sosial ekonomi masyarakat yang berhubungan dengan kebutuhan hidup manusia terutama masyarakat sekitar kawasan.

  Menurut Pasaribu (2004) permasalahan-permasalahan utama yang melatarbelakangi terjadinya degradasi hutan mangrove di Sumatera Utara tidak terlepas dari beberapa hal, antara lain:

  1. Tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah Kebanyakan masyarakat di kawasan pesisir bekerja sebagai nelayan tradisional. Meskipun cukup potensial namun tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir relatif masih rendah jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Hal ini disebabkan terbatasnya peralatan yang dimiliki nelayan tradisional yang mengakibatkan penurunan hasil tangkap dan penghasilan nelayan. Dalam satu bulan nelayan tradisional hanya efektif bekerja 20 hari. Untuk mengisi waktu saat tidak melaut nelayan melakukan pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan seperti beternak kepiting, ikan kerapu dan mencari kayu bakar. Pencarian kayu bakar dilakukan di hutan mangrove di sekitar mereka dengan penebangan yang tidak memenuhi aturan mengakibatkan percepatan kerusakan.

  2. Penebangan liar (illegal logging) Kayu mangrove termasuk bahan baku terbaik dalam pembuatan arang, yang bernilai ekonomi untuk dipasarkan di dalam negeri dan di ekspor ke luar negeri terutama Jepang. Dampak dari tingginya nilai arang bakau di pasaran mengakibatkan masyarakat mendirikan dapur arang yang beroperasi secara liar.

  Untuk memenuhi bahan bakar tidak jarang masyarakat melakukan penebangan liar di kawasan lindung dan sempadan pantai yang seharusnya terlarang bagi pengambilan kayu.

  3. Pembukaan tambak udang secara liar Peningkatan harga udang di pasaran nasional sejak tahun delapan puluhan, menyebabkan banyak masyarakat membuka lahan tambak di daerah pantai yang menimbulkan konversi lahan. Kawasan mangrove berubah menjadi hamparan tambak dan kerusakan mangrove di perparah oleh kurangnya kesadaran pengusaha dan masyarakat dalam melakukan pelestarian di daerah lindung dan sempadan. Pembukaan tambak tidak hanya dilakukan di kawasan hutan produksi yang secara umum diperkenankan, juga dijumpai oknum-oknum tertentu melakukan ekstensifikasi tambak sampai ke hutan lindung.

  4. Persepsi yang keliru tentang mangrove Banyak masyarakat maupun birokrat yang berhubungan dengan bidang kesehatan mempunyai pandangan yang keliru tentang mangrove. Mangrove dianggap sebagai tempat kotor untuk tempat bersarang dan berkembang biak nyamuk malaria, lalat dan berbagai jenis serangga lainnya. Hal ini telah mendorong terjadinya pembabatan mangrove yang berlebihan untuk mengatasi timbulnya wabah penyakit.

  5. Lemahnya penegakan hukum Pada dasarnya telah banyak peraturan perundangan yang bertujuan untuk mengatur dan melindungi sumberdaya mengrove melalui cara-cara pengelolaan yang didasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian namun demikian belum dibarengi dengan pelaksanaan penegakan hukum yang memadai. Sehingga dari waktu ke waktu semakin banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tanpa adanya upaya penegakan hukum yang berarti.

  Sistem Informasi Geografis (SIG)

  Sistem informasi geografis merupakan suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi (georeference) dalam hal pemasukan, manajemen data, memanipulasi dan menganalisis serta pengembangan produk dan percetakan (Aronoff, 1989).

  Sedangkan Prahasta (2005) mengemukakan bahwa sistem informasi geografis merupakan sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi.

  Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer untuk

  Kompilasi data 3. Penyimpanan data 4. Perubahan dan updating data 5. Manajemen dan pertukaran data 6. Manipulasi data 7. Pemanggilan dan presentasi data 8. Analisa data

  Penginderaan Jauh

  Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1993). Tujuan utama dari penginderaan jauh adalah mengumpulkan data dan informasi sumberdaya alam dan lingkungan (Lo, 1995).

  Satelit Landsat merupakan salah satu satelit sumber daya bumi yang dikembangkan oleh NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat.

  Satelit ini terbagi dalam dua generasi yaitu generasi pertama dan generasi kedua. Generasi pertama adalah satelit Landsat 1 sampai Landsat 3. Satelit generasi kedua adalah satelit membawa dua jenis sensor yaitu sensor MSS dan sensor Thematic Mapper (TM) (Budiyanto, 2002).

  Menurut Prabowo et al. (2005) menyatakan bahwa sistem informasi geografis merupakan sekumpulan perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data-data geografis, dan sumberdaya manusia yang terorganisir, yang secara efisien mengumpulkan, menyimpan, meng-update, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan semua bentuk data yang bereferensi geografis.

  Pemetaan habitat mangrove berperan penting dalam manajemen pengelolaan hutan mangrove mencakup inventarisasi sumberdaya spesies, deteksi perubahan lahan yang terjadi dan perencanaan tata ruang ekosistem yang berkelanjutan (Satriya, 2010)

  Penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1) Penilaian dengan menggunakan teknologi GIS (geographic information system) dan inderaja (citra satelit), dan 2) Penilaian secara langsung di lapangan (teristris) (Dephut, 2005).