Proyeksi Perubahan Pola Curah Hujan Di Indonesia Menggunakan Skenario Perubahan Iklim Jangka Pendek

PROYEKSI PERUBAHAN POLA CURAH HUJAN
DI INDONESIA MENGGUNAKAN SKENARIO
PERUBAHAN IKLIM JANGKA PENDEK

RADINI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Proyeksi Perubahan
Pola Curah Hujan di Indonesia Menggunakan Skenario Perubahan Iklim Jangka
Pendek adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2015

Radini
NIM G24110059

ABSTRAK
RADINI. Proyeksi Perubahan Pola Curah Hujan di Indonesia Menggunakan
Skenario Perubahan Iklim Jangka Pendek. Dibimbing oleh AKHMAD FAQIH.
Penelitian ini mengkaji tentang perubahan curah hujan berdasarkan
skenario perubahan iklim jangka pendek untuk periode proyeksi tahun 2011-2035.
Perhitungan model prediksi dilakukan dengan menggunakan metode analisis
korelasi kanonik. Data yang dipakai adalah data curah hujan dari observasi
BMKG, CHIRPS dan luaran model GCM. Hasil penelitian menunjukan bahwa
data CHIRPS cukup baik dalam menduga curah hujan Indonesia, yakni terlihat
dari nilai rataan korelasi 24 stasiun (r=0.715) dan plot data yang mampu
mengikuti pola data observasi. Berdasarkan analisis cluster, wilayah Indonesia
terbagi menjadi lima wilayah cluster dengan karakter curah hujan yang berbeda.
Analisis klimatologi menunjukan bahwa perubahan curah hujan rata-rata yang

cukup besar terjadi pada musim JJA dan DJF, sementara pada MAM dan SON
perubahannya kecil. Analisis curah hujan per-cluster menunjukan terjadinya
perubahan curah hujan yang signifikan pada semua cluster. Proyeksi iklim jangka
pendek secara umum menunjukan bahwa Indonesia akan mengalami kenaikan
curah hujan rata-rata saat musim kemarau dan penurunan saat musim hujan.
Kata kunci: analisis cluster, GCM, korelasi kanonik

ABSTRACT
RADINI. Projection of Rainfall Pattern Changes in Indonesia Using Near-term
Climate Change Scenarios. Supervised by AKHMAD FAQIH.
This study examined rainfall changes based on near-term climate change
scenarios in 2011-2035 periods. The prediction models were calculated using
canonical correlation analysis. The study used rainfall data from BMKG
observation, CHIRPS and outputs GCM models. The results showed that
CHIRPS have good performance in estimating observed rainfall over Indonesia,
as shown by the average correlation value of 24 stations (r=0.715) and data plot
that follow the pattern of observation data. Based on cluster analysis, rainfall in
Indonesia is divided into five clusters, each cluster has different rainfall pattern.
Climatological analysis showed that average rainfall changes in JJA and DJF
seasons are high, while changes of MAM and SON are not significant. The

rainfall analysis per cluster showed that rainfall changes are significant for all
cluster. Near-term climate projections generally showed that Indonesia average
rainfall increase during the dry season and decrease during the rainy season.
Key words: cluster analysis, GCM, canonical correlation

PROYEKSI PERUBAHAN POLA CURAH HUJAN
DI INDONESIA MENGGUNAKAN SKENARIO
PERUBAHAN IKLIM JANGKA PENDEK

RADINI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
Nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul
“Proyeksi Perubahan Pola Curah Hujan di Indonesia Menggunakan Skenario
Perubahan Iklim Jangka Pendek”. Karya ilmiah ini ditujukan untuk mendapatkan
gelar sarjana sains pada program studi Meteorologi Terapan, Departemen
Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Dalam penyusunan karya ilmiah dan pelaksanaan penelitian ini tidak
terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Bapak dan Ibu yang sudah memberikan doa dan kasih sayang selama ini.
2. Bapak Dr Akhmad Faqih selaku pembimbing, yang telah banyak
memberikan arahan ilmu kepada penulis.
3. Alvin Gustomy dan Taufik Hidayat sebagai teman seperjuangan penulis.
4. Mbak Enggar yang sudah mengajarkan banyak hal, terimakasih atas
waktunya selama ini.

5. Teman-teman sahabat JEJAKA Community (Erwin, Hendra, Okem dan
lain-lain)
6. Teman-teman GFM 48 atas semua cerita yang kita lalui selama ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi
pembaca pada umumnya.

Bogor, Desember 2015

Radini

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xiv

DAFTAR LAMPIRAN


xv

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

TINJAUAN PUSTAKA

2

Pola Curah hujan Indonesia


2

Global Circulation Model (GCM)

2

Statistical Downscaling

3

CCA

3

Perubahan Iklim Jangka Pendek dan RCP

4

METODE


5

Waktu dan Tempat

5

Alat dan Data

5

Prosedur Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Koreksidan Validasi CHIRPS

8
8


Statistical Downscaling

10

Analisis Cluster

12

Analisis Klimatologi Curah Hujan

15

Analisis Perubahan Pola Curah Hujan

19

SIMPULAN DAN SARAN

22


Simpulan

22

Saran

22

DAFTAR PUSTAKA

22

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP

29


DAFTAR TABEL
1 Daftar Model yang digunakan
6
2 Faktor koreksi dan korelasi (Observasi dan CHIRPS) pada 8 stasiun
BMKG
9
3 Perubahan persentase wilayah cluster hasil prediksi
15

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

9
10
11

12

13

14
15

Peta pola curah hujan Indonesia
2
Radiative forcing dari RCP
5
Plot lokasi 24 titik BMKG
6
Perbandingan plot data curah hujan bulanan CHIRPS (sebelum dan
sesudah koreksi) dengan Observasi pada 8 stasiun BMKG
8
Perbandingan rataan curah hujan bulanan 24 Stasiun observasi dengan data
CHIRPS sebelum dan sesudah koreksi periode tahun 1981-2010
9
Sebaran korelasi data observasi dan CHIRPS per stasiun
9
Loadings spasial dan temporal score CCA mode 1 data model GCM (X)
dan CHIRPS (Y). Model a) MRI , b) IPSL dan c) CNRM. CCA
10
Persentase keragaman 5 mode CCA yang dipakai dalam downscaling
model menggunakan CPT. Scree plot X adalah model GCM dan Y adalah
CHIRPS. Model a) MRI, b) IPSL dan c) CNRM
11
Skill forecast hasil downscaling menggunakan metode CCA. Model a)
MRI, b) IPSL dan c) CNRM
12
Pola curah hujan masing-masing cluster (CHIRPS). Sumbu Y adalah CH
(mm) dan sumbu X adalah bulan (1-12)
13
Perbandingan wilayah cluster antara a) CHIRPS, b) Model 1 (M1/MRI), c)
Model 2 (M2/IPSL), d) Model 3 (M3/CNRM) dan e) Rataan 3 Model.
CHIRPS adalah data historical (1981-2005) dan Model adalah hasil
prediksi (2011-2035)
14
Perbandingan klimatologi curah hujan rata-rata musiman Indonesia (DJF
dan MAM) antara data CHIRPS, Model 1 (M1/MRI), Model 2 (M2/IPSL)
dan Model 3 (M3/CNRM). CHIRPS adalah data historical dan Model
adalah hasil prediksi
16
Perbandingan klimatologi curah hujan rata-rata musiman Indonesia (JJA
dan SON) antara data CHIRPS dan hasil prediksi berdasarkan model.
Model 1 (M1/MRI), Model 2 (M2/IPSL) dan Model 3 (M3/CNRM).
CHIRPS adalah data historical dan Model adalah hasil prediksi
17
Perbandingan data curah hujan bulanan CHIRPS dan hasil prediksi
wilayah Indonesia
18
Perbandingan perubahan pola curah hujan rata-rata bulanan (25 tahun) per
cluster antara data CHIRPS historical (baseline) dan tiga hasil prediksi
berdasarkan model. Model 1 (M1/MRI), Model 2 (M2/IPSL) dan Model 3
(M3/CNRM).
19

16 Perbandingan perubahan pola curah hujan rataan bulanan (25 tahun) per
cluster dengan asumsi jika wilayah cluster tidak berubah
20
17 Perbandingan data curah hujan rata-rata bulanan (25 tahun) antara data
historical CHIRPS (base line) dan hasil prediksi berdasarkan model
(M1, M2 dan M3) wilayah Indonesia
21

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Korelasi data CHIRPS dan Observasi 24 stasiun BMKG

25

Loadings spasial dan temporal score CCA mode 2 sampai 5 data model
GCM MRI (X) dan CHIRPS (Y)
26
Loadings spasial dan temporal score CCA mode 2 sampai 5 data
model GCM IPSL (X) dan CHIRPS (Y)
27
Loadings spasial dan temporal score CCA mode 2 sampai 5 data
model GCM CNRM (X) dan CHIRPS (Y)
28

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi seperti
suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai
sektor kehidupan manusia. Dampak tersebut sebagian besar berhubungan dengan
anomali curah hujan maupun kejadian ekstrim seperti banjir dan kemarau yang
sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian. Banyak laporan menunjukkan
bahwa luas wilayah terkena bencana iklim sudah semakin luas dengan tingkat
kehilangan hasil pertanian yang semakin besar (Boer dan Las 2003). Perubahan
iklim berdampak pada pergeseran musim, seperti semakin singkatnya musim
hujan namun dengan curah hujan yang lebih besar (banjir) dan musim kemarau
semakin panjang yang berdampak kekeringan. Pramudia (2006) menyatakan telah
terjadi perubahan musim di beberapa kota sentra padi (pantura). Perubahan
tersebut mencakup perubahan durasi dan pergeseran musim kering atau basah,
serta perubahan jumlah curah hujan pada setiap musim.
Kajian proyeksi perubahan iklim umumnya berbasis skenario perubahan
iklim jangka panjang yang berbasis pada skenario emisi (Candradijaya 2014).
Sedangkan proyeksi iklim jangka pendek yang berbasis pada hasil prediksi iklim
skala waktu dekadal/interdekadal masih sedikit dilakukan, khususnya di Indonesia.
Kajian tentang perubahan iklim jangka pendek saat ini sangat penting, terutama
terkait dengan pertimbangan pemerintah membuat kebijakan publik dalam
pembangunan nasional seperti pembangunan infrastruktur. Sebagai contoh,
perencanaan pembangunan dan pengelolaan waduk membutuhkan informasi iklim
10 hingga 30 tahun ke depan, yang sangat terkait dengan informasi perubahan
iklim jangka pendek. Pada Laporan Kelima Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC AR5) (IPCC 2013), telah disiapkan data proyeksi iklim terbaru
yang berbasis pada skenario jangka pendek. Pada penelitian ini penulis akan
mengkaji tentang proyeksi perubahan curah hujan Indonesia berdasarkan skenario
perubahan iklim jangka pendek (hingga tahun 2035) menggunakan data luaran
GCM CMIP5.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Melakukan validasi data curah hujan CHIRPS menggunakan data obervasi.
2. Melakukan prediksi curah hujan di masa depan berdasarkan luaran model
GCM berbasis skenario perubahan iklim jangka pendek (near-term climate
change).
3. Menganalisis perubahan pola curah hujan per wilayah cluster maupun seluruh
Indonesia berdasarkan hasil prediksi.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Pola Curah Hujan Indonesia
Pengaruh faktor fisiografis wilayah Indonesia terhadap unsur iklim
menyebabkan tiga tipe curah hujan, yakni ekuatorial, monsunal dan lokal. Tipe
ekuatorial dicirikan oleh dua kali maksimum curah hujan bulanan dalam setahun.
Tipe monsonal dipengaruhi oleh angin laut dalam skala yang sangat luas, tipe
hujan ini dicirikan oleh adanya perbedaan yang jelas antara periode musim hujan
dan kemarau dalam setahun, dan hanya terjadi satu kali maksimum curah hujan
bulanan dalam setahun. Tipe lokal dicirikan dengan besarnya pengaruh kondisi
lingkungan, seperti bentang perairan, pegunungan serta pemanasan lokal yang
intensif. Pola ini hanya terjadi satu kali maksimum curah hujan bulanan dalam
waktu satu tahun, dan terjadi beberapa bulan kering. Menurut Hamada (2002)
Indonesia terbagi menjadi empat daerah iklim, tiga di antaranya sesuai dengan
tipe diatas sedangkan tipe ke empat merupakan daerah peralihan yang tidak
menunjukan secara jelas musim kering dan musim kemarau.

Gambar 1 Peta pola curah hujan Indonesia, A (monsunal), B (ekuatorial) dan C
(lokal). Sumber : Aldrian dan Susanto (2003)
Global Circulation Model (GCM)
Model iklim global (Global Circulation Model, GCM) adalah model
numerik yang mewakili proses fisik di atmosfer, laut, kriosfer dan permukaan
tanah. GCM ini merupakan alat yang paling canggih saat ini untuk
mensimulasikan respon sistem iklim global untuk meningkatkan konsentrasi gas
rumah kaca. GCM menggambarkan kondisi iklim menggunakan grid tiga dimensi
untuk wilayah seluruh dunia, biasanya memiliki resolusi horizontal antara 250 dan
600 kilometer, 10 sampai 20 lapisan vertikal di atmosfer dan sebanyak 30 lapisan
di lautan. Resolusinya relatif cukup kasar terhadap skala lokal dalam penilaian
dampak (IPCC, 2007). Beberapa lembaga yang mengeluarkan data GCM antara
lain GISS (Goddard Institute for Space Studies) dari NASA, GFDL (Geophysical
Fluid Dynamic Laboratory) dari NOAA, UKMO (United Kingdom
Meteorological Office), CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial
Research Organization) dari Australia, NCEP (National Centers for
Environmental Prediction) dan beberapa lembaga lainnya. Informasi penting yang

3
terdapat dalam GCM masih berskala global sehingga sulit untuk memperoleh
langsung informasi berskala lokal dari GCM. Luaran GCM belum sepenuhnya
dapat digunakan terutama untuk kawasan tropis dengan topografi dan vegetasi
yang heterogen sehingga diperlukan pendekatan yaitu dengan menggunakan
teknik downscaling secara statistik (Kang et al. 2007).
Statistical Downscaling
Statistical Downscaling (SD) adalah suatu fungsi transfer yang
menggambarkan hubungan fungsional skala global hasil GCM (peubah prediktor)
dengan unsur-unsur iklim lokal (peubah respon). Teknik SD yang umumnya
banyak digunakan adalah teknik SD berbasis modelregresi linier. Zorita et al.
(1995) mengemukakan tiga asumsi, yaitu (1) GCM dapat memprediksi peubah
atmosfir berskala besar yang lebih realistis dari pada memprediksi peubah iklim
lokal, (2) hubungan antara peubah skala besar dan lokal tidak berubah dengan
adanya perubahan iklim dan (3) prosedur statistik tidak hanya menghasilkan suatu
replika data historis tetapi juga makna pengaruh setiap peubah dan hubungannya
terhadap peubah lokal.
GCM dalam teknik SD merupakan data dalam bentuk grid, sehingga
ketelitian dalam menentukan domain grid yang sesuai sangat penting untuk
menghasilkan penduga curah hujan yang akurat. Hasil dari model SD dapat
memberikan prediksi deret waktu yang panjang untuk mempelajari dampak iklim.
Bentuk umum model SD adalah sebagai berikut:

Y (tx1) = f (X (txg))
Keterangan :

Y (tx1)
X (txg)
t
g

: Peubah-peubah iklim lokal (curah hujan lokal)
: Peubah-peubah parameter (iklim hasil GCM)
: Banyaknya waktu (seperti: bulanan, harian)
: Banyaknya grid GCM
Canonical Correlation Analysis (CCA)

CCA adalah salah satu teknik statistika multivariat untuk mengukur
hubungan linier antara dua variabel multidimensi. Hubungan dalam (interrelationship) yaitu antara multi output berupa metrik dan nonmetrik dengan multi
input berupa metrik maupun nonmetrik. Data iklim untuk wilayah global dan
lokal digunakan untuk memahami hubungan tersebut (Miftahuddin et al. 2013).
Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2011) ide utama dari analisis ini adalah
mencari pasangan dari kombinasi linear yang memiliki korelasi terbesar.
Pasangan dari kombinasi linear ini disebut fungsi/peubah kanonik dan korelasinya
disebut korelasi kanonik. Analisis korelasi kanonik berfokus pada korelasi antara
kombinasi linear dari gugus peubah dependen dengan kombinasi linear dari gugus
peubah independen. Penentuan fungsi kanonik bisa dilakukan dengan
menggunakan matriks kovarian atau matriks korelasi. Fungsi kanonik inilah yang
dapat digunakan untuk menentukan model persamaan regresi guna memprediksi
curah hujan.

4
Perubahan Iklim Jangka Pendek dan RCP
IPCC (2007) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi
rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara
statistik untuk jangka waktu yang panjang. Pemanasan global terjadi akibat
peningkatan efek rumah kaca yang disebabkan oleh naiknya konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer. Semakin tinggi konsentrasi gas rumah kaca, maka
semakin banyak radiasi panas dari bumi yang terperangkap di atmosfer dan
dipancarkan kembali ke bumi. Hal ini menyebabkan peningkatan suhu di
permukaan bumi. Pemanasan global adalah meningkatnya suhu rata-rata
permukaan bumi sebagai akibat meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca di
atmosfer. Perubahan iklim global sebagai peristiwa naiknya intensitas efek rumah
kaca yang terjadi karena adanya gas dalam atmosfer yang menyerap sinar panas
yaitu sinar infra merah yang dipancarkan oleh bumi. Selain itu diperjelas bahwa
perubahan iklim dapat terjadi karena proses internal maupun ada kekuatan
eksternal atau ulah manusia yang terus menerus mengubah komposisi atsmosfer
dan tata guna lahan (Murdiyarso 2003).
Menurut IPCC (2013) dalam Assesment Report 5 (AR5), yang dimaksud
dengan near-term (jangka pendek) mengacu pada periode dari sekarang sampai
abad pertengahan. Periode proyeksi dititik beratkan sekitar tahun 2016-2035
berdasarkan periode baseline tahun 1986-2005, meskipun beberapa informasi
tentang proyeksi perubahan sebelum dan setelah periode ini (hingga pertengahan
abad) juga dinilai. Berbeda dengan long-term yang mengacu pada periode sampai
akhir abad 21 (tahun 2100) atau sampai periode selanjutnya. AR5 IPCC (2013)
menggunakan skenario Representative Concentration Patway (RCP) yang
menggantikan skenario sebelumnya yakni SRES pada AR3 dan AR4.
RCP merupakan skenario yang lebih menitik beratkan pada konsentrasi
dari emisi yang tidak secara langsung berdasarkan gambaran sosialekonomi. Skenario RCP juga konsisten pada gas-gas yang berumur pendek
di atmosfer serta alih fungsi lahan. RCP didasarkan pada Radiative Forcing
(RF), RF didefinisikan sebagai perbedaan antara energi radiasi yang diterima
oleh bumi dengan yang dipantulkan kembali ke luar bumi. Semakin besar
RF maka semakin besar energi yang masuk ke bumi sehingga memanaskan sistem,
begitu juga sebaliknya. RCP terdiri dari 4 skenario yakni RCP 2.6, RCP 4.5, RCP
6.0 dan RCP 8.5 yang didasarkan pada besarnya nilai RF. Penelitian ini
menggunakan data Model CMIP5 skenario RCP 4.5. Skenario tersebut
dikembangkan oleh pemodelan Mini CAM di Pacific Northwest National
Laboratory Joint Global Change Research Institute (JGCRI). RCP 4.5 adalah
skenario stabilisasi dimana jumlah radiative forcing distabilkan sebelum tahun
2100 dan strategi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (Clarke et al. 2007).

5

Gambar 2 Radiative forcing dari Representative Concentration Pathways (RCP).
Sumber: Vuuren et al. (2011)

METODE

Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan November 2015 di
Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut
Pertanian Bogor
Alat dan Data
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer
dengan Operating System berbasis LINUX dengan software Climate
Predictability Tool (CPT), NCAR Commond Language (NCL), Surfer 10, Matlab
dan Microsoft excel.
Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari empat data presipitasi
(curah hujan), yakni data observasi BMKG, data CHIRPS, data hindcast dan
forecast model GCM CMIP. Data observasi BMKG (1981-2010) menggunakan
24 titik stasiun. Data curah hujan CHIRPS (1981-2010) menggunakan 24 titik
koordinat yang sama dengan data BMKG. Data model CMIP5 eksperimen RCP
berupa data hindcast (1981-2010) dan forecast (2006-2035).

6
Prosedur Analisis Data
Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan tiga jenis data curah hujan yakni observasi
BMKG, Climate Hazard InfraRed Precipitation with Station (CHIRPS) dan
luaran model GCM. Data observasi (curah hujan) Indonesia didapat dari data
BMKG sebanyak 24 titik stasiun, data diunduh melalui website data BMKG
(http://dataonline.bmkg.go.id/). Data curah hujan CHIRPS v2p0/ 0p25 dengan
resolusi 25 x 25 Km (koordinat 950BT-1410BT dan 60 LU-110 LS) didapat dari
website
IRI
(http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.UCSB/.CHIRPS
/.v2p0 .daily/ .global/.0p25) dengan format data CPT (.tsv). Data GCM model
CMIP5 eksperimen RCP didapat dari website Program For Climate Model
Diagnosis and Intercomparison (PCMDI) (http://cmip-pcmdi.llnl.gov/cmip5/).
CHIRPS merupakan salah satu data presipitasi yang menggabungkan data iklim
global yang berasal dari satelit dengan data observasi di permukaaan dengan dua
pilihan resolusi yakni 0.050dan 0.250. Keunggulan CHIRPS ialah nilai bias yang
rendah sebagai akibat dari data masukan yang berupa data satelit, data observasi
dan data topografi. Beberapa penelitian menunjukan bahwa data CHIRPS lebih
bagus digunakan terutama untuk daerah spesifik dengan topografi yang beragam
(Pricope et al. 2013). Data CMIP5 yang digunakan yaitu dari luaran model MRICGCCM2, IPSL-CM5 dan CNRM-CM5 (Tabel 1) yang terdiri dari data hindcast
(1981-2010) dan forecast (2006-2035) dengan format data .nc kemudian
dikonversi ke .tsv menggunakan software NCL. Data CHIRPS dan data model
hindcast digunakan untuk membangun model prediksi sedangkan data forecast
digunakan untuk membuat prediksi (CHIRPS proyeksi). Gambar 3 menunjukkan
plot titik 24 stasiun BMKG dan daftar model yang digunakan dalam penelitian.

Gambar 3 Plot lokasi 24 titik stasiun BMKG
Tabel 1 Daftar model GCM yang digunakan
No
1

Model
MRICGCCM2

2

IPSL-CM5

3

CNRMCM5

Negara
Meteorological
Research
Institute, Japan
Institut Piere Simon Laplace,
France
Centre
National
de
Recherches
Meterorologique, France

Resolusi
2.80 x2.80
2.50 x3.750
0

1.9 x 1.9

0

Referensi
Sillmann et
al. (2013)
Swingedouw
et al. (2013)
Meehl et al.
(2013d)

7
Koreksi dan Validasi Data CHIRPS
Data CHIRPS digunakan sebagai pengganti data observasi sehingga perlu
dilakukan validasi dengan data observasi BMKG. Sebelumnya data observasi
dilakukan uji homogenitas dan cek data kosong per stasiun. Uji homogenitas
dilakukan untuk melihat pola datanya homogen atau tidak. Kemudian dilakukan
cek data dengan melihat nilai maksimum (pencilan data) dan data kosong.
Kemudian data observasi dan CHIRPS per titik dilakukan pencocokan data
kosong, jika nilai observasi kosong maka data data CHIRPS juga dikosongkan.
Data harian kemudian diubah menjadi bulanan dan diplotkan untuk mencari faktor
koreksi (FK). Nilai FK digunakan untuk validasi data CHIRPS spasial Indonesia
yakni dengan mengalikannya dengan data CHIRPS, sehingga didapat CHIRPS
terkoreksi.
Model Prediksi Iklim
Model Prediksi Iklim dibuat menggunakan perangkat lunak CPT. Model
digunakan untuk memprediksi data CHIRPS proyeksi (periode 2006-2035). CPT
merupakan suatu perangkat lunak berbasis Windows maupun Linux yang dapat
digunakan untuk membangun dan mengembangkan model prediksi iklim
musiman berdasarkan Model Output Statistic (MOS) (Mason 2008). Penelitian ini
menggunakan CPT berbasis Linux. CPT memiliki lima analisis pilihan yang dapat
digunakan yakni Canonical Correlation Analysis (CCA), Principal Components
Regression (PCR), Multi Linear Regression (MLR), Global Model Output (GMO),
dan Probabilistic Forecast Verification (PFV). Analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah CCA. Data input yang digunakan adalah (1) data model
(hindcast), (2) CHIRPS (historical) dan (3) model (forecast). Data 1 dan 2
digunakan sebagai pembangun model sedangkan data 3 digunakan sebagai
prediktor dari prediktan yakni CHIRPS (Prediction).
Analisis Cluster
Analisis Cluster merupakan teknik peubah ganda yang mempunyai tujuan
untuk mengelompokkan objek-objek berdasarkan kemiripan karakteristik yang
dimilikinya. Karakteristik objek-objek dalam suatu cluster memiliki tingkat
kemiripan yang tinggi, sedangkan karakteristik antar objek antar cluster memiliki
tingkat kemiripan yang rendah. Analisis cluster dilakukan untuk mengelompokan
grid yang memiliki pola curah hujan bulanan yang sama menggunakan aplikasi
perangkat lunak Minitab 15. Banyaknya kelompok ditentukan berdasarkan
penurunan similarity dan peningkatan distance level. Analisis cluster
menggunakan data rataan curah hujan bulanan selama 25 tahun.
Analisis Klimatologi
Analisis Klimatologi (curah hujan) dilakukan dengan membagi data
menjadi empat periode musiman Desember-Februari (DJF), Maret-Mei (MAM),
Juli-Agustus (JJA) dan September-November (SON) yang dipetakan secara
spasial. Analisis klimatologi diplotkan berdasarkan data CHIRPS historical
(1981-2005) dan CHIRPS proyeksi (2011-2035) hasil dari prediksi CPT.
Klimatologi curah hujan memberikan gambaran mengenai kondisi curah hujan
secara spasial dan perubahannya secara temporal.

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Koreksi dan Validasi CHIRPS
Data observasi dan CHIRPS seluruh stasiun digabung dan diplotkan untuk
mendapatkan faktor koreksi (FK). Nilai FK yang didapat berdasarkan data
tersebut adalah 0.878. Nilai FK tersebut yang digunakan untuk mengoreksi data
CHIRPS spasial (Indonesia) sebagai pengganti data observasi. Secara keseluruhan
(24 stasiun) hasil nilai korelasinya cukup baik yakni nilai rataan korelasi dari 24
stasiun (Lampiran 1) sebesar 0.715. Berdasarkan Tabel 2 nilai korelasi
berfluktuasi, terbesar pada stasiun Juanda dan terkecil pada stasiun Sultan
hasanuddin. CHIRPS merupakan data presipitasi yang menggabungkan data iklim
global dengan data observasi dan data topografi. Jika faktor masukan data
observasi kurang, dari segi jumlah data maupun stasiun akan mempengaruhi
kesesuaian CHIRPS dalam menduga curah hujan lokal. Stasiun Pangsuma
memiliki nilai korelasi cukup kecil, karena dilihat dari jumlah ketersediaan data
yang sedikit dan faktor stasiun sekitarnya yang berjarak sangat jauh satu sama lain.
Perlu dilakukan koreksi data CHIRPS menggunakan FK per stasiun. Berikut
adalah contoh hasil perbandingan data curah hujan antara data observasi dan
CHIRPS yang dikoreksi menggunakan FK per masing-masing stasiun.

Gambar 4 Perbandingan plot data curah hujan bulanan CHIRPS (sebelum dan
sesudah koreksi) dengan Observasi pada 8 stasiun BMKG

9
Tabel 2 Faktor koreksi dan Korelasi (Observasi dan CHIRPS) 8 stasiun BMKG
FK
Nama Stasiun
Korelasi
0.87
Babullah_Ternate Maluku
0.58
1.18
Juanda Surabaya
0.85
1.30
Pangsuma P Kalimantan
0.64
0.87
Raden Inten_Lampung
0.69
0.95
Soetha Cengkareng
0.82
0.87
Sultan Hasanuddin
0.51
0.87
Sultan Thaha_Jambi
0.70
Tjilik Riwut
0.87
0.70
Penelitian ini mengasumsikan bahwa seluruh wilayah Indonesia memiliki
FK yang sama yakni 0.878. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam running
model menggunakan CPT. Tentunya cara ini memiliki kelemahan karena hanya
akan menurunkan seluruh nilai curah hujan di setiap grid dengan persentase
penurunan yang sama. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian selanjutnya dimana
sebaiknya masing-masing wilayah cluster dikoreksi menggunakan FK per cluster,
karena setiap cluster memiliki nilai FK yang berbeda-beda. Setelah dilakukan
koreksi nilai CHIRPS menjadi menurun seperti pada Gambar 5. Pola data
CHIRPS terlihat mampu mengikuti data Observasi. Berdasarkan data 24 stasiun
yang digunakan hasil pendugaan CHIRPS sudah cukup baik terlihat dari nilai
rataan korelasi 24 stasiun 0.715 dan plot data yang mampu mengikuti pola data
observasi.
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Gambar 5 Perbandingan rataan curah hujan bulanan 24 Stasiun observasi dengan
data CHIRPS sebelum dan sesudah koreksi periode tahun 1981-2010
Sebaran korelasi 24 stasiun ditunjukan Gambar 6, korelasi menunjukan nilai
yang beragam yakni 7 stasiun menunjukan korelasi merah (0.41-0.62), 5 stasiun
korelasi kuning (0.6-0.71), 6 stasiun korelasi hijau (0.71-0.82) dan 6 stasiun
korelasi biru (0.8-0.9). Faktor yang mempengaruhi keragaman nilai korelasi
tersebut adalah topografi wilayah dan jumlah ketersediaan data (kuantitas data
maupun jumlah stasiun).

Gambar 6 Sebaran korelasi data observasi dan CHIRPS per stasiun

10
Statistical Downscaling
CCA merupakan salah satu metode analisis peubah ganda yang ditujukan
untuk mengetahui keterkaitan antara dua kelompok peubah. Analisis tersebut
digunakan dalam proses SD untuk memprediksi curah hujan. Proses tersebut
menghasilkan parameter seperti: loadings, scores dan skill forecast.
Loadings dan Scores
Loadings diplotkan secara spasial dan scores secara temporal. Loadings
menunjukan bobot komponen pokok yang menggambarkan hubungan (korelasi)
antara suatu variabel dengan suatu faktor dalam pendugaan forecast
menggunakan metode CCA. Setiap mode CCA memiliki sebaran loading yang
berbeda-beda. Semakin besar nilai bobot suatu wilayah spasial maka semakin
besar nilai yang dipakai. Temporal scores menunjukan kesesuaian komponen
model GCM (X) dan CHIRPS (Y) dari mode CCA secara time series yang terlihat
pada Gambar 7.

a)

b)

c)

Gambar 7 Loadings spasial dan temporal score CCA mode 1 data model GCM
(X) dan CHIRPS (Y). Model a) MRI , b) IPSL dan c) CNRM. CCA
mode 2 sampai 5 dilampirkan.

11
Persentase keragaman (% variance) data ditunjukan pada Gambar 8. Mode
CCA yang digunakan adalah lima mode pertama. Kelima mode tersebut dianggap
sudah mampu mewakili keragaman data (lebih dari 80 %), sedangkan sisanya
semakin mendekati nol yang dianggap tidak penting lagi. Nilai mode CCA
pertama merupakan nilai komponen utama yang mempunyai keragaman terbesar,
sedangkan PC kedua memiliki keragaman terbesar kedua dan seterusnya.

a)

b)

c)

Gambar 8 Persentase keragaman 5 mode CCA yang dipakai dalam downscaling
model menggunakan CPT. Scree plot X adalah model GCM dan Y
adalah CHIRPS. Model a) MRI, b) IPSL dan c) CNRM

12
Skill Forecast
Skill forecast adalah representasi skala kesalahan akurasi perkiraan curah
hujan forecast model dalam menduga data curah hujan observasi. Peta skill
forecast ini dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kehandalan suatu sistem
prakiraan musim dan memantau kualitas dari hasil prakiraan atau sejauh mana
ketepatan prakiraan yang dibuat. Hasil ketiga model pada Gambar 7 memiliki
nilai korelasi yang cukup baik, tidak ada wilayah yang berkorelasi negatif.
Wilayah dengan pola hujan monsunal seperti Jawa dan Nusa Tenggara memiliki
nilai korelasi yang paling baik, sedangkan untuk wilayah tipe hujan ekuatorial dan
lokal terlihat lebih rendah. Hasil forecast model CNRM memiliki kecenderungan
nilai korelasi terbesar dibandingkan model lainnya.
a)

b)

c)

Gambar 9 Skill forecast hasil downscaling menggunakan metode CCA. Model a)
MRI, b) IPSL dan c) CNRM
Analisis Cluster
Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas, pengaruh seperti letak posisi
lintang, perairan, variasi topografi daratan serta pola angin menyebabkan
perbedaan pola dan kuantitas hujan. Perlu dilakukan pemisahan wilayah

13
berdasarkan pola curah hujannya, dalam penelitian ini pemisahan wilayah
dilakukan menggunakan Analisis Cluster. Berdasarkan data yang digunakan
dalam penelitian, curah hujan wilayah Indonesia dibedakan menjadi 5 wilayah
cluster yang didasarkan pada nilai similarity dan distance level.
Setiap cluster memiliki karakter pola curah hujan yang berbeda-beda seperti
pada Gambar 10. Cluster 1 dan 4 masuk kategori pola hujan mosunal, terutama
terlihat jelas pada cluster 4. Ciri utama pola monsunal ini adalah memiliki 1
puncak musim hujan dan 1 puncak musim kemarau. Kedua wilayah cluster ini
lebih dominan dipengaruhi oleh angin monsun. Angin monsun yang berhembus
dari arah Asia menuju Australia disebut monsun barat yang menyebabkan musim
hujan dan sebaliknya angin monsun yang berhembus dari Australia menuju Asia
disebut monsun timur yang menyebabkan musim kemarau. Sementara pada
cluster 3 dan 5 masuk kategori pola hujan ekuatorial, ciri utama dari pola ini
adalah memiliki 2 puncak musim hujan dalam setahun. Faktor yang dominan
mempengaruhinya adalah pergerakan semu matahari, yang melawati wilayah
ekuator dua kali dalam setahun.

Gambar 10 Pola curah hujan masing-masing cluster (CHIRPS). Sumbu Y adalah
CH (mm) dan sumbu X adalah bulan (1-12)
Cluster 1 dan 4 secara spesifik memiliki karakter pola yang berbeda, cluster
4 memiliki curah hujan yang jauh lebih kecil (kering) dari pada cluster 1, musim
kemarau dan musim penghujan cluster 4 lebih kering dari cluster 1. Cluster 3 dan
5 juga berbeda, cluster 3 memiliki curah hujan yang lebih kecil walaupun polanya
hampir serupa. Sementara cluster 2 memiliki pola hujan dengan karakter musim
kering dan basah yang tidak berbeda jauh fluktuasinya (sepanjang musim hampir
sama). Cluster 4 memiliki rataan curah hujan bulanan paling sedikit dibandingkan
cluster lain, dengan perbedaan curah hujan saat kemarau dan penghujan yang
sangat besar. Berikut adalah perbandingan perubahan wilayah cluster antara
baseline dan hasil prediksi

14
a)
a)

b)

c)

d)

e)

Gambar 11

Perbandingan wilayah cluster antara a) CHIRPS, b) Model 1
(M1/MRI), c) Model 2 (M2/IPSL), d) Model 3 (M3/CNRM) dan e)
Rataan 3 Model. CHIRPS adalah data historical (1981-2005) dan
Model adalah hasil prediksi (2011-2035).

15
Hasil Analisis menunjukan wilayah Indonesia terbagi menjadi lima wilayah
Cluster seperti pada Gambar 10. Berdasarkan Pola curah hujan dan wilayah pola
hujan (Gambar 1), pada CHIRPS cluster 3 dan 5 termasuk pola ekuatorial,
kemudian cluster 1 dan 4 termasuk pola monsunal dan untuk cluster 2 polanya
terlihat kurang jelas, secara wilayah sebagian masuk pola dan sebagian lagi masuk
monsunal (lihat Gambar 1). Cluster 5 memiliki kuantitas rata-rata curah hujan
tertinggi dan terendah pada cluster 4. Berdasarkan hasil wilayah cluster tersebut
selanjutnya akan dianalisis perubahan pola curah hujannya per cluster.
Tabel 3 Perubahan persentase wilayah cluster pada masing-masing hasil prediksi
Cluster
1
2
3
4
5

CHIRPS
10,1
18,2
26,5
19,4
25,9

Persentase Wilayah (%)
M1
M2
17,1
16,4
26,6
27,7
12,6
12,0
19,4
19,2
24,4
24,7

M3
16,2
27,9
13,0
20,0
22,9

Rataan
16,8
26,8
12,4
19,7
24,4

Perubahan wilayah cluster yang dianalisis berdasarkan nilai rataan curah
hujan bulanan 25 tahun terlihat pada Gambar 11. Ketiga hasil prediksi (M1, M2
dan M3) memiliki wilayah dan luasan cluster yang hampir sama (lihat Tabel 3).
Antara CHIRPS dan Prediksi terlihat terjadi perubahan yang cukup signifikan
yaitu pada cluster 3, 2 dan 1. Cluster 3 memiliki nilai perubahan luasan terbesar
terutama pada wilayah Sumatra yang sebelumnya mendominasi berubah
menyempit akibat perluasan cluster 2 dan 1. Pada wilayah Kalimantan cluster 3
justru menyempit akibat perluasan cluster 5 dan 2, tetapi cluster 1 mengalami
perluasan yang mendesak cluster 5. Sementara pada cluster 4 dan 5 perubahan
yang terjadi tidak signifikan. Berbeda dengan Sumatra dan Kalimantan, pulau
Jawa, Sulawesi dan Papua tidak terjadi perubahan cluster yang berarti (hampir
sama).

Analisis Klimatologi Curah Hujan
Analisis klimatologi dilakukan untuk melihat kondisi curah hujan secara
spasial dan perubahannya secara temporal. Perubahan curah hujan Indonesia dari
segi kuantitas maupun polanya dipengaruhi oleh faktor posisi lintang (ekuator),
angin monsun dan topografi (faktor lokal). Ketiga faktor utama tersebut
menyebabkan Indonesia memiliki tiga pola curah hujan (ekuatorial, monsunal dan
lokal). Berikut ini adalah hasil klimatologi curah hujan Indonesia.

16
MAM

M3

M2

M1

CHIRPS

DJF

Keterangan dalam (mm):

Gambar 12 Perbandingan klimatologi curah hujan rata-rata musiman Indonesia
(DJF dan MAM) antara data CHIRPS, Model 1 (M1/MRI), Model 2
(M2/IPSL) dan Model 3 (M3/CNRM). CHIRPS adalah data
historical dan Model adalah hasil prediksi.

17
SON

M3

M2

M1

CHIRPS

JJA

Keterangan dalam (mm):

Gambar 13 Perbandingan klimatologi curah hujan rata-rata musiman Indonesia
(JJA dan SON) antara data CHIRPS dan hasil prediksi berdasarkan
model. Model 1 (M1/MRI), Model 2 (M2/IPSL) dan Model 3
(M3/CNRM). CHIRPS adalah data historical dan Model adalah hasil
prediksi.
Perubahan curah hujan secara musiman (DJF, MAM, JJA dan SON)
wilayah Indonesia terlihat jelas pada Gambar 12 dan 13. Secara umum nilai curah
hujan tertinggi yakni berada pada musim DJF (penghujan) dan terendah pada
musiim JJA (kemarau), sedangkan pada musim MAM dan SON merupakan
musim peralihan. MAM mengalami penurunan curah hujan dari DJF dan SON
mengalami kenaikan curah hujan dari JJA, namun pada wilayah Sulawesi, Jawa
Timur dan Nusa Tenggara perubahannya sangat kecil. Indonesia berada di
wilayah ekuator yang memiliki iklim tropis, curah hujannya sangat dipengaruhi

18
oleh pergerakaan semu matahari yang terlihat seperti pada Gambar 14. Pergerakan
semu Matahari hanya melewati wilayah tropis (23.50LU-23.50LS), sehingga
dibandingkan dengan wilayah iklim lainnya, tropis memiliki kuantitas curah hujan
yang paling tinggi. Hal ini disebabkan radiasi matahari yang masuk ke bumi
mempengaruhi suhu bumi dan suhu akan mempengaruhi tekanan. Wilayah tropis
mendapat pancaran matahari tertinggi menjadi pusat tekanan rendah,
menyebabkan munculnya pusat-pusat konvergensi yang menyebabkan timbulnya
awan-awan konvektif, dimana jenis awan ini sangat potensial menjadi hujan.
Pusat-pusat konvergensi inilah yang disebut dengan dengan Intertropical
Convergence Zone (ITCZ) (Holton et al. 1971). Wilayah Indonesia yang dominan
terkena dampak ITCZ ini memiliki pola hujan Ekuatorial. Wilayah Indonesia juga
berada di antara dua benua dan dua samudra, sehingga pergerakan semu matahari
ini menyebabkan terjadinya angin monsun yang melewati Indonesia dan wilayah
yang dominan terkena dampak angin monsun memiliki pola hujan monsunal.
Kemudian faktor topografi (pengaruh lokal) juga mempengaruhi curah hujan
Indonesia, dan wilayah yang dominan terkena dampaknya memiliki pola hujan
lokal.

(a)

(b)

Gambar 14 Pergerakan semu Matahari (a) dan ITZC (b). Sumber : (Muhyiddin
Khazin
2008
dan
https://courseware.e-education.psu.edu/
courses/earth105new /content/lesson07/03.html).
Pada Gambar 12 dan 13 terlihat perubahan saat DJF sampai SON. Saat DJF
terlihat sebagian besar wilayah memiliki curah hujan tinggi, tetapi Sumatra bagian
utara (Aceh dan Sumatra Utara) dan Kalimantan Timur bagian utara curah
hujannya rendah. Hal ini dikarenakan wilayah tersebut masuk kategori cluster 3
dan 5 (ekuatorial). Kemudian saat MAM terjadi perubahan curah hujan yang
cukup signifikan yakni pada wilayah sekitar Nusa Tenggara dan Jawa yang
berkurang, karena wilayah ini masuk kategori cluster 4 (monsunal) yang
mengalami musim peralihan (kemarau). Sebagian Sulawesi justru mengalami
peningkatan, hal ini karena Sulawesi masuk kategori cluster 2 yang terlihat pada
grafik (Gambar 10) mengalami peningkatan. Periode JJA (Juni, Juli dan Agustus)
adalah musim kemarau hampir seluruh wilayah Indonesia (seluruh cluster)
mengalami penurunan curah hujan yang sangat signifikan. Periode SON kembali
mengalami peralihan ke musim penghujan.
Perbandingan curah hujan antara data CHIRPS (historical) dan hasil
prediksi tahun 2011-2035 (Model 1, 2 dan 3), secara umum pada DJF hasil ketiga
prediksi mengalami penurunan curah hujan, M3 mengalami penurunan yang
paling besar. Begitu juga pada bulan MAM, ketiga prediksi mengalami penurunan
curah hujan. Berbeda dengan bulan JJA yang justru mengalami pengingkatan

19
curah hujan dan pada bulan SON nilai curah hujan prediksi dari ketiga model
tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Analisis Perubahan Pola Curah Hujan
Perubahan Curah hujan per Cluster
Prediksi menunjukan terjadinya perubahan luasan wilayah cluster,
selanjutnya akan dianalisis perubahan pola curah hujan per cluster dengan dua
asumsi, yakni terjadi dan tidak terjadi perubahan luasan wilayah cluster.
400
350
300
250
200
150
100
50
0

400
350
300
250
200
150
100
50
0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Cluster 1

Cluster 2
400
350
300
250
200
150
100
50
0

400
350
300
250
200
150
100
50
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Cluster 3

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Cluster 4

400
350
300
250
200
150
100
50
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Cluster 5
Gambar 15

Perbandingan perubahan pola curah hujan rata-rata bulanan (25
tahun) per cluster antara data CHIRPS historical (baseline) dan tiga
hasil prediksi berdasarkan model. Model 1 (M1/MRI), Model 2
(M2/IPSL) dan Model 3 (M3/CNRM).

20
Perbandingan pola curah hujan CHIRPS dan hasil prediksi telihat pada
Gambar 15, tidak hanya luasan wilayahnya yang berubah pola curah hujannya
juga mengalami perubahan. Semua hasil prediksi tersebut menggambarkan
perubahan yang signifikan. Pada semua cluster ketiga hasil prediksi menunjukan
nilai yang hampir sama (berhimpit). Pada wilayah cluster 1 dan 4 hasil
prediksinya hampir sama yakni menunjukan perubahan signifikan pada bulan
kering (bulan 6-10) yang mengalami peningkatan dan bulan 12 yang mengalami
penurunan curah hujan. Hasil prediksi pada cluster 2 dan 5 hampir sama, terjadi
perubahan yang signifikan yakni fluktuasi curah hujan menjadi sangat kecil (curah
hujan antar musim hampir sama). Prediksi pada cluster 3 menunjukan perubahan
yang berarti kecuali pada bulan 1, 3, 4 dan 10. Umumnya terjadi peningkatan
curah hujan kecuali pada bulan 11 dan 12.
400
350
300
250
200
150
100
50
0

400
350
300
250
200
150
100
50
0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Cluster 1

Cluster 2
400
350
300
250
200
150
100
50
0

400
350
300
250
200
150
100
50
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Cluster 3

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Cluster 4

400
350
300
250
200
150
100
50
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Cluster 5
Gambar 16 Perbandingan perubahan pola curah hujan rataan bulanan (25 tahun)
per cluster dengan asumsi jika wilayah cluster tidak berubah.

21
Perbandingan pola hujan CHIRPS dan tiga hasil prediksi dengan asumsi
wilayah cluster tidak berubah (sama seperti CHIRPS) pada masing-masing cluster
terlihat hasilnya pada Gambar 16. Hasil tersebut sebagai pembanding dengan hasil
sebelumnya (Gambar 15). Pada cluster 1 dan 4 hasilnya sama dengan hasil
sebelumnya yakni menunjukan perubahan signifikan pada bulan kering (bulan 610) yang mengalami peningkatan dan bulan 12 yang mengalami penurunan curah
hujan. Sementara pada cluster 2, 3 dan 5, hasil prediksinya cukup berbeda
walaupun secara nilai rataan memiliki kecenderungan hasil prediksi yang masih
sama. Perbedaan tersebut karena ketiga cluster mengalami perubahan luasan yang
signifikan (lihat Gambar 11). Berdasarkan nilai rataan prediksi pada cluster 2, 3
dan 5 ini menunjukan hasil yang masih mirip dengan hasil sebelumnya (Gambar
15).
Perubahan Curah Hujan Indonesia
Setelah dibahas mengenai perubahan curah hujan pada masing-masing
cluster, selanjutnya akan dianalisis untuk seluruh wilayah Indonesia (rataan semua
cluster) untuk mengetahui secara umum perubahan pola curah hujan secara
keseluruhan wilayah Indonesia. Data yang dibandingkan adalah data CHIRPS
(base line tahun 1981-2005) dan tiga hasil prediksi model (tahun 2011-2035).
350
CHIPRS

M1

M2

M3

Curah hujam (mm)

300
250
200
150
100
50
0
1

2

3

4

5

6
7
Bulan

8

9

10

11

12

Gambar 17 Perbandingan data curah hujan rata-rata bulanan (25 tahun) antara
data historical CHIRPS (base line) dan hasil prediksi berdasarkan
model (M1, M2 dan M3) wilayah Indonesia
Gambar 17 menunjukan proyeksi perubahan curah hujan menggunakan tiga
hasil prediksi model. Terlihat perubahan yang cukup signifikan pada bagian yang
beri tanda panah yakni pada bulan 6 sampai 9 (kemarau) dan 2, 12 (penghujan).
Berdasarkan prediksi tersebut memberi gambaran bahwa Indonesia untuk 30
tahun kedepan akan mengalami kenaikan rata-rata curah hujan saat musim
kemarau sebaliknya saat musim hujan mengalami penurunan. Sementara pada
bulan-bulan peralihan musim perubahannya kecil (berhimpit).

22
Laporan Second National Communication (SNC; MoE 2010) berdasarkan
skenario SRES A2 dan B1 (periode 2025 dan 2050) memproyeksikan bahwa saat
DJF dan MAM, sebagian besar model sepakat akan terjadi penurunan curah hujan
di sebagian besar wilayah Indonesia kecuali wilayah monsunal (Jawa, Nusa
Tenggara dan Papua). Kemudian saat JJA dan SON menunjukan akan terjadi
peningkatan curah hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia, kecuali wilayah
monsunal.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Hasil pendugaan CHIRPS wilayah Indonesia sudah cukup baik yakni
terlihat dari nilai rataan korelasi 24 stasiun (r=0.715) dan plot data yang mampu
mengikuti pola data observasi. Berdasarkan cluster analysis wilayah Indonesia
terbagi menjadi lima daerah cluster, masing-masing cluster memiliki karakter
curah hujan yang berbeda-beda. Hasil analisis klimatologi menunjukan bahwa
perubahan curah hujan rata-rata yang cukup besar terjadi pada musim JJA dan
DJF, sementara pada MAM dan SON perubahannya kecil. Pada analisis curah
hujan per cluster, terjadi perubahan curah hujan yang cukup besar pada semua
cluster. Sementara analisis curah hujan Indonesia menunjukkan hasil bahwa
perubahan signifikan terjadi pada musim kemarau dan penghujan, dimana
proyeksi menunjukan Indonesia akan mengalami kenaikan curah hujan rata-rata
saat musim kemarau dan saat musim hujan mengalami penurunan.

Saran
Validasi data CHIRPS membutuhkan lebih banyak data stasiun BMKG dan
menggunakan koreksi data per wilayah cluster sehingga akan didapat data
CHIRPS yang lebih valid. Prediksi curah hujan sebaiknya menggunakan model
yang lebih banyak, untuk mendapatkan gambaran rentang ketidakpastian proyeksi
curah hujan di masa depan. Saran untuk penelitian selanjutnya terkait skenario
perubahan iklim jangka pendek yakni kajian mengenai perubahan parameter lain
seperti suhu menggunakan titik stasiun dan data model yang lebih banyak.

23

DAFTAR PUSTAKA
Aldrian E, Dwi Susanto R. 2003. Identification of three dominant rainfall regions
within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int. J.
Climatol. (23) : 1435 – 1452.
Boer R. dan I. Las. 2003. Sistem Produksi Padi Nasional Dalam Perspektif
Kebijakan Iklim Global. Hlm 215-234. Dalam Bambang S. et al. (Ed).
Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi: Buku Dua. Prosiding
Pertemuan Ilmiah Bagian Proyek Litbang Tanaman Padi, 2003. Sukamandi.
Boer R. 2009. Sekolah Lapang Iklim Antisipasi Risiko Perubahan Iklim. Bogor
(ID): Geomet FMIPA-IPB dan PERHIMPI.
Candradijaya A, Kusmana C, Syaukat Y, Syaufina L, Faqih A. 2014. Pemanfaatan
Model Proyeksi Iklim dan Simulasi Tanaman dalam Penguatan Adapatsi
Sistem Pertanian Padi Terhadap Penurunan Produktivitas akibat perubahan
Iklim.: Studi Kasus di Kabupaten Sumedang. Informatika Pertanian 23.2:
159-168.
Clarke L, Edmonds J, Jacoby H, Pitcher H, Reilly J, Richels R. 2007. Scenarios
of Greenhouse Gas Emissions and Atmospheric Concentrations. Sub-report
2.1A of Synthesis and Assessment Product 2.1 by the U.S. Climate Change
Science Program and the Subcommittee on Global Change Research.
Department of Energy, Office of Biological & Environmental Research,
Washington, 7 DC, USA, 154 pp.
Department of Geoscience. 2015. Precipitation and the Inter Tropical
Convergence Zone (ITCZ). [Terhubung Berkala]. [diakses 13 agustus 2015].
Tersedia
pada:
https://courseware.education.psu.edu/courses/earth
105new/content/lesson07/03.html.
Hamada JI, Yamanaka MD, Matsumoto J, Fukao S, Winarso PA, Sribimawati T.
2002. Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and
their link to ENSO. Japan Meteor Soc 80: 285-310.
Holton JR, Wallace JM, Young JA. 1971. On boundary layer dynamics and the
ITCZ. J. Atmos. Sci. 28: 275–280.
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Climate Change 2007;
The Physical Science Basis. Sumary for Police Makers. Intergovermental
Panel on Climate Change, Geneva.
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2013. Near-term Climate
Change: The Phisical Science Basis. Contribution of Working Group 1 to
The Fifth Assessment Report of The Intergovernmental Panel on Climate
Change. Cmbridge University press, Cambridge, UK and New York, NY,
USA.
Kang H, Kyong-Hee A, Chung-Kyu P, Ana L, Kornrawee S. 2007. Multimodel
output statistical downscaling prediction of precipitation in the philippines
and thailand. Geophysical Research Letters Vol. 34. L15710
Khazin, Muhyiddin. 2008. Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta
(ID): Buana Pustaka.
Mason SJ. 2008. Climate Predictability Tool. First Session of South-Eastern
Europe Climate Outlook Forum; 2008 Juni 11-12; Zagreb (HR), Kroasia.

24
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2011. Sidik Peubah Ganda dengan Menggunakan
SAS. Bogor (ID): Departemen Statistika FMIPA-IPB
Miftahudin, Andriani R, Setiawan I, Mulsandi A. 2013. Penerapan analisis
korelasi kanonik pada kajian enso dalam identifikasi hubungan fitur iklim.
Jurnal Natur Indonesia 15 (1) : 36-44
[MoE] Ministry of Environment. 2010. Indonesia Second National
Communication under the United Nation Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC), edited by M. o. Environment, Republic of
Indonesia.
Meehl G A et al. 2013c. Climate change projections in CESM1(CAM5) compared
to CCSM4. J. Clim. doi:10.1175/JCLI-D-12-00572.1.
Murdiyarso, D. 2003. Konvensi Perubahan Iklim. Jakarta (ID): Penerbit Buku
KOMPAS.
Pramudia A. 2006. Musim Hujan di Sentra Produksi Padi Sudah Berubah. Jakarta
(ID): Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.
Pricope N, Husak G, Lopez-Carr D, Funk C, Michaelsen J. 2013. The ClimatePopulation Nexus in the East African Horn: emerging degradation trends in
rageland and pastoral livelihood zones. Global Environmental Change
23:1525:1541.
Sillmann J, Kharin V, Zhang X, Zwiers F, Bronaugh D. 2013. Climate extremes
indices in the CMIP5 multimodel ensemble: Part 1. Model evaluation in the
present climate, J. Geophys. Res. Atmos., 118, 1716-1733,
doi:10.1002/jgrd.50203.
Swingedouw D, Mignot J, Labetoulle S, Guilyardi E, Madec G. 2013.
Initialisation and predictability of the AMOC over the last 50 years in a
climate model. Clim. Dyn. doi:10.1007/s00382-012-1516-8.
Van Vuuren D, Edmonds J, Kainuma M, Thomson A, Hibbard K, George C. 2011.
The Representative Concentration Pathways: An Overview. Climatic
Change, 109 (1-2), 5-31.
Zorita E, Von Storch V. 1999. The analog method as a simple statistical
downscaling technique: comparison with more complicated methods.
Journal of Climate. 12: 2474-2489.

25

LAMPIRAN
Lampiran 1 Korelasi data CHIRPS dan Observasi 24 stasiun BMKG
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14