ANALISIS PERUBAHAN IKLIM DAN PROYEKSI CU

ANALISIS PERUBAHAN IKLIM DAN PROYEKSI CURAH
HUJAN DAN SUHU UDARA DI WILAYAH SELAPARANG,
MATARAM, LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

Made Budi Setyawan
Stasiun Klimatologi Kelas 1 Kediri, Mataram, Lombok, NTB.
e-mail: [email protected]
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta

Abstrak
Kenaikan suhu di permukaan bumi pada abad ke–20 lebih besar daripada beberapa abad
sebelumnya. . Kejadian ini terbukti terjadi pada 140 tahun dan 100 tahun yang lalu, dengan
estimasi yang terbaik telah menunjukkan kenaikan suhu rata – rata 0,2°C. Beberapa negara
pun mengadakan berbagai konferensi untuk mengantisipasi dampak dari isu perubahan iklim
ini. Indonesia juga ikut mengantisipasi dampak tersebut dengan wilayah penelitian di
Kecamatan Selaparang yang terletak di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Untuk
menganalisis trend perubahan iklim dan proyeksi di wilayah tersebut, data yang digunakan
data curah hujan, suhu rata – rata, suhu maksimum, dan suhu minimum dari data observasi
Stasiun Selaparang tahun 1981- 2010, data historical CORDEX 1981- 2006, dan data skenario
RCP 45 dan RCP 85 dengan periode 2006 - 2050. Dalam pengolahan digunakan metode
stepwise regressi. Trend curah hujan, suhu rata – rata, suhu maksimum, dan suhu minimum di

Selaparang dari tahun 1981 hingga 2010 secara umum tidak adanya perubahan trend yang
terlalu siginifikan sehingga dapat diindikasikan perubahan iklim di Wilayah Selaparang tidak
terjadi secara siginifikan. Hasil proyeksi dari skenario RCP 45 menunjukkan kondisi curah
hujan, suhu rata – rata, suhu maksimum, dan suhu minimum di Selaparang pada umumnya
trend naik hingga tahun 2050, terkecuali parameter curah hujan yang mengalami penurunan.
Sedangkan dari RCP 85 menunjukkan hal sebaliknya, yaitu secara umum trend tiap – tiap
parameter menurun, terkecuali tren suhu rata – rata yang mengalami trend naik.
Kata kunci : Perubahan iklim, stepwise regressi, CORDEX, RCP 45, RCP 85

Abstrack
The increase in temperature of the earth in the 20th century is greater than a few centuries
earlier . This incident proved to occur in 140 years and 100 years ago, with a best estimate of
the average temperatures have risen - average of 0.2 ° C. Some countries also hold
conferences to anticipate the impact of climate change issue. Indonesia also anticipate the
impact of the research area in District Selaparang located in Mataram, West Nusa Tenggara.
To analyze trends and projections of climate change in this region, the data used rainfall

data, the average temperature , maximum temperature and minimum temperature of
observation data Selaparang Station in 1981- 2010, 1981- 2006 Cordex historical data, and
the data RCP scenarios 45 and RCP 85 with the period 2006 - 2050. In the processing of

stepwise regression method is used. Trend rainfall, the average temperature , maximum
temperature and minimum temperature in Selaparang from 1981 to 2010 in general absence
of seasonality is not too significant, with the result of climate change condition in Selaparang
Region indicated not siginificant . The projection of the scenario RCP 45 shows the rainfall,
average temperature, maximum temperature and minimum temperature in Selaparang
generally rising trend until 2050, with the exception of the parameters rainfall experienced
depression . While the RCP 85 to the contrary, that the general trend of each - each
parameter decreases, with the exception of the average temperature trend experiencing rising
trend.
Keywords: Climate change, stepwise regression, CORDEX, RCP 45, RCP 85

Pendahuluan
Kenaikan suhu bumi pada abad 21 ini
dirasakan telah mengganggu aktifitas
kehidupan di belahan bumi manapun dan
berdampak nyata pada perubahan iklim
global (Budiastuti,2010). Semua ini
bermula dari revolusi industri inggris dan
seiring berjalannya waktu, negara – negara
yang lain selain Inggris melakukan

aktifitas
industri
dan
menambah
sumbangan terhadap emissi karbon yang
berada di atmosfer. Berdasarkan laporan
grup peneliti IPCC (Intergovernmental
Panel on Climate Change) yang telah
mengindikasikan
laju
dan
durasi
pemanasan pada abad ke-20 lebih besar
daripada beberapa abad sebelumnya.
Laporan tersebut juga mengindikasikan
pemanasan telah terjadi sejak dekade 1990
dan pemanasan tertinggi tahun 1998
hingga abad milenium. Kejadian ini
terbukti terjadi pada 140 tahun dan 100
tahun yang lalu, dengan estimasi yang

terbaik telah menunjukkan kenaikan suhu
rata – rata 0,2°C. Laporan ini termasuk
dengan kejadian pemanasan pada abad 20
yang terjadi akibat aktifitas manusia.
Berdasarkan skenario gas rumah kaca dan
aerosol secara global yang terkini laju
pemanasan bertambah 1,4°C hingga 5,8°C,
dari periode 1990 hingga 2010. Besarnya
nilai proyeksi menyebabkan berbagai para
ahli fokus terhadap bagaimana untuk

adaptasi, mitigasi dan menghindari
dampak dari kerusakan global dan
regional. Sedangkan untuk di Indonesia
sendiri, kondisi ini mengakibatkan
pergeseran periode hujan dan kemarau
yang tidak lagi dapat ditentukan secara
pasti dengan musim kering yang lebih
panjang dari biasanya dan dengan interval
waktu yang lebih pendek (3-4 tahun sekali

dibanding 7 tahun sekali). Lembaga
pemerintah non departemen Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) memantau peningkatan ini dan
diumumkan secara periodik melalui media
massa agar seluruh kegiatan yang
berhubungan dengan hal itu (Pertanian,
Perikanan, Peternakan, Transportasi, dan
lain-lain) benar-benar direncanakan secara
matang. Berbagai forum ilmiah tingkat
dunia diadakan secara intensif untuk
membahas penyimpangan iklim ini dan
berawal dari Konferensi Tingkat Tinggi
Bumi (Earth Summit) pada tahun 1992 di
Rio de Janeiro, Brazil yang membahas
upaya menstabilkan emisi gas rumah kaca
(GRK) ke atmosfer pada tingkat tertentu.
Perundingan terus dilakukan hingga pada
tahun 1997 di Kyoto, Konferensi para
pihak (CoP:Conference of Parties)

menelurkan sebuah tata cara penurunan
emisi GRK yang dikenal dengan Protokol
Kyoto. Emisi gas yang dihasilkan oleh
negara industri maju harus diturunkan
hingga mencapai 5,2% dari emisi GRK

tahun 1990 dan hal itu hendaknya dicapai
pada periode tahun 2008-2012. Akhir
tahun 2007 digelar kembali Conference of
Parties 13 di Nusa Penida Bali untuk
membuat pedoman negosiasi perjanjian
multilateral pengganti Protokol Kyoto.
Didalam pertemuan tersebut ditetapkan
bahwa emisi GRK harus dicapai pada
tingkat tertentu saat ekosistem mampu
beradaptasi dengan perubahan iklim
(Soemarwoto, 2001; Murdiyarso, 2002,
2003a, 2003b, Kompas, Des 2007).
Sampai pada akhirnya pada bulan
Desember 2009 diadakan KTT Bumi

untuk Perubahan Iklim (CoP 15) di
Kopenhagen Denmark dengan agenda
utama mewujudkan kesepakatan baru
penurunan emisi GRK sebagai pengganti
Protokol Kyoto yang berakhir tahun 2012.
Di dalam pertemuan tersebut negara AS
dan China berjanji menurunkan emisi
GRK sebesar 17% dan 45% dari level
2005 pada tahun 2020, dan penurunan
sebesar 26% dijanjikan oleh Indonesia.
Dari pertemuan – peretemuan ini telah
dihasilkan berbagai kebijakan di tiap – tiap
negara untuk mengontrol kondisi emisi
GRK di masing – masing negara tersebut.
WMO membangun stasiun pemantau
atmosfer atau yang lebih dikenal Global
Atmospheric Watch (GAW) di tiap – tiap
negara di dunia, termasuk Indonesia yang
terletak di Bukit Kototabang, Padang.
Walaupun Indonesia memiliki wilayah

yang luas, hanya di Bukit Kototabang lah
yang memiliki GAW. Akan tetapi, peran
serta tiap wilayah juga diikut sertakan
dalam monitoring perubahan iklim, dalam
hal ini parameter yang dikaji adalah curah
hujan, dan suhu udara (suhu udara rata –
rata, suhu udara maksimum, dan suhu
udara minimum) di tiap – tiap wilayah.
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
merupakan salah satu wilayah Indonesia
bagian Timur yang sangat rentan terhadap
perubahan iklim (Butler dkk. 2009; GTZ.
2010). Adapun fokus wilayah adalah
perkotaan dengan difokuskan pada wilayah
Selaparang, Kota Mataram, Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Wilayah perkotaan pada

umunya berpotensi dalam penyumbang
emisi gas rumah kaca, karena kondisi
perkotaan cenderung memilki transportasi

lebih banyak dari pedesaan dan polusi
yang dihasilkan berlebih, mengingat masih
banyaknya
alat
trasnportasi
yang
menggunakan bahan bakar fosil yang
notabene penghasil gas buang yang berupa
gas rumah kaca. Bagaimanapun juga,
kajian utama yang lebih penting yaitu
kondisi trend curah hujan dan kondisi
trend suhu udara (suhu udara rata – rata,
suhu udara maksimum, dan suhu udara
minimum)

Data dan Metode
a. Data
Data yang digunakan dalam
membangun trend dan model
persamaan stepwise regressi yaitu

data observasi curah hujan, suhu
rata – rata, suhu maksimum dan
suhu minimum dari stasiun BMKG
Selaparang tahun 1981 – 2010 dan
data historical curah hujan, suhu
rata – rata, suhu maksimum dan
suhu minimum dari CORDEX
tahun 1981 – 2005. Selain itu, data
skenario RCP 45 dan RCP 85 dari
CORDEX dengan periode 2006 –
2050 digunakan sebagai prediktor
proyeksi kondisi curah hujan, suhu
rata – rata, suhu maksimum, dan
suhu
minimum
di
wilayah
Selaparang.
b. Metode
Analisis trend dibagi dalam 30

tahun dan per 10 tahunan untuk
curah hujan, suhu rata – rata, suhu
maksimum, dan suhu minimum.
Untuk mendapatkan persamaan
regressi
berganda
terbaik
digunakanlah metode stepwise
regressi.
Stepwise
Regressi
merupakan turunan dari Regressi
berganda, dimana stepwise regressi
digunakan untuk mendapatkan
persamaan regressi yang terbaik

dengan syarat eliminasi dari
ketentuan
stepwise
tersebut.
Analisis Regresi Linier Berganda
adalah suatu metode statistik umum
yang digunakan untuk meneliti
hubungan antara satu variabel
dependen (Y) dengan beberapa
variabel
independen
(X1,
X2,...,XK) (Drapper and Smith,
1992;
Hair,
Black,
Babin,
Anderson,&Tatham, 2006, P.176;
Cohen, J Cohen, West, and Aiken,
2003; Johnson, R.A. and Wichern,
D.W, 2002). Tujuan analisis regresi
berganda adalah menggunakan
nilai-nilai variabel dependen yang
diketahui, untuk meramalkan nilai
variabel dependen. Persamaan
umum dari regresi linier beganda
adalah
Y=β0 +β1 X1 +β2 X2 +L+β k X k +ε
dengan Y = variabel dependen
yang diprediksi
= parameter β0, β 1, β2, β k
= variabel independen X1, X2, L,
Xk
Jika terdapat variabel dependen Y
yang dipenuhi oleh sekumpulan
variabel X, maka agar bermanfaat
ingin
dimasukkan
sebanyak
mungkin variabel X sehingga
didapatkan keterhandalan yang
tinggi, tetapi untuk kepentingan
monitoring
seringkali
lebih
diharapkan jumlah X yang kecil,

sehingga komprominya adalah
dipilih persamaan regresi terbaik.
Adapun prinsip persamaan regresi
terbaik adalah, semua variabel
independen yang masuk signifikan,
menghasilkan
koefisien
determinasi yang tinggi , MS
residualnya
kecil.
Metode
pencarian
secara
berurutan
(sequential search) merupakan
suatu metode untuk mengestimasi
persamaan
regresi
dengan
mempertimbangkan
variabelvariabel yang sudah didefinisikan
oleh peneliti dan secara selektif
menambah
dan
mengurangi
diantara variabel-variabel tersebut
sampai semua kriteria terpenuhi.
Pendekatan
selanjutnya
yaitu
estimasi
stepwise
dengan
penambahan forward dan eliminasi
backward.
Metode
estimasi
stepwise
dilakukan
dengan
memasukkan variabel independen
yang
mempunyai
konstribusi
terbesar
terhadap
variabel
dependen, hal ini dilakukan secara
terus menerus sampai semua
varibel
independen
yang
mempunyai konstribusi signifikan
(Brown, 1993; Kokaly and Clark,
1999; Nielsen, Stapelfeldt, and
Skibsted, 1997; Sun, Zhao, and
Yan, 1995; Wilkinson, 1979).
Tujuan dilakukan metode ini untuk
mencari model regresi terbaik.
Adapun software yang digunakan
yaitu Ms. Excel, Beam Visat, dan
Minitab

Hasil dan Pembahasan
Beberapa grafik trend curah hujan, suhu rata – rata, suhu maksimum, dan suhu minimum
dengan periode, 30 tahun, dan tiap 10 tahun :

Gambar 3.1 Trend curah hujan, suhu rata – rata, suhu maksimum, dan suhu mnimum tiap 30 tahun dan tiap 10
tahun.

Berdasarkan grafik trend curah hujan per
30 tahun dan per 10 tahun secara umum
terlihat bahwa kondisi curah hujan di
Selaparang memiliki trend curah hujan
yang cenderung turun namun tidak
signifikan, namun pada saat kondisi trend
curah hujan dibagi per 10 tahunan, dari
tahun 1981 s/d 2000 trend curah hujan
cenderung turun dan dari tahun 2001 –
2010 trend curah hujan cenderung naik.

Secara umum untuk kondisi suhu rata –
rata, suhu maksimum, dan suhu minimum
di Selaparang untuk setiap 30 tahun dan
per 10 tahun menunjukkan trend
peningkatan pada tiap tahunnya, namun
peningkatan trend suhu udara (suhu ratarata, suhu maksimum, suhu minimum)
tersebut memiliki kenaikan yang tidak
terlalu siginifikan.

Adapun perbandingan pola rata – rata per sepuluh tahunan untuk ke empat parameter (Curah
hujan, suhu rata – rata, suhu maksimum, suhu minimum) tersebut dibandingkan terhadap
normalnya.

Gambar 3.2 Perbandingan pola rata – rata per sepuluh tahunan tiap – tiap parameter dengan pola normalnya
(30 tahun).

Dari pola – pola tersebut (Gambar 3.2)
bisa diketahui apakah ada pola yang
berbeda untuk setiap rata – rata per
sepuluh tahunnya, mengingat dari gambar
sebelumnya (gambar 3.1) terlihat trend
yang tidak terlalu signifikan. Secara
umum, pola rata – rata per sepuluh tahunan

tiap – tiap parameter terhadap normalnya
(warna hitam) mengikuti pola normal,
kecuali untuk suhu maksimum, dimana
untuk periode 1981 – 1990 adanya
kecenderungan suhu yang berfluktuatif
pada periode tersebut dengan pola berbeda
dengan pola normalnya, sedangkan untuk

periode selanjutnya yaitu periode 1991 –
2000 secara pola mirip dengan normalnya.
Akan tetapi, pada tahun 2001 – 2010 suhu
maksimum rata – rata pada tahun tersebut
memiliki pola yang mirip dengan
normalnya, namun adanya kenaikan suhu
maksimum dengan rentang 0,1°C – 0,5°C
Untuk proyeksi kondisi curah hujan, suhu
rata – rata, suhu maksimum, dan suhu
minimum
di
wilayah
selaparang,
menggunakan data skenario yaitu data
RCP 45 dan RCP 85 dengan periode 2006
- 2050. Kedua data tersebut memiliki
karakteristik masing – masing. RCP 45
adalah data skenario perubahan iklim yang
merujuk dengan adanya upaya mitigasi
untuk mencegah perubahan iklim yang
mencapai ekstrim, sedangkan RCP 85
kebalikan dari RCP 45. Adapun dari

persamaan stepwise regressi dari tiap - tiap
parameter yang didapat dari data hsitorical
CORDEX dengan data observasi stasiun
meteorologi Selaparang dan persamaan ini
untuk memproyeksikan kondisi iklim di
wilayah Selaparang untuk 50 tahun ke
depan. Berikut persamaannya dan lokasi
prediktor :
Pr(curah hujan) = 24,14 – 0,61X1 + 0,58X5
+ 1,84X11 + 1,26X32 – 0,87X43
Tar(suhu rata – rata) = 26,93 + 1,288X26 –
1,181X32 +1,467X29 – 1,43X27 + 0,942X10

0,92X8
Tmax(suhu maksimum) = 27,6 + 1,379X26
– 1,895X17 + 0,623X33
Tmin(suhu minimum) = -0,9728 – 3,40X9
+ 4,42X5 – 2,64X10 + 2,46X4

Gambar 3.3 Lokasi Selaparang (titik warna merah) dan prediktor (warna biru)

Tiap – tiap titik prediktor (warna biru)
memiliki empat paramter yaitu curah
hujan, suhu rata –rata, suhu maksimum,
dan suhu minimum. Dengan memasukkan

data RCP 45 dan RCP 85 ke dalam
persamaan di atas, maka hasil proyeksinya
pada gambar 3.4

Gambar 3.4 Proyeksi curah hujan, suhu rata – rata, suhu maksimum, dan suhu minimum di Selaparang

Berdasarkan hasil proyeksi data RCP 45
dan RCP 85 untuk curah hujan, kedua
model skenario baik RCP 45 maupun 85
menunjukkan trend proyeksi yang
cenderung turun dengan laju penurunan
curah hujan dari RCP 45 yaitu -6,456 mm
pertahun dan RCP 85 yaitu -10,481
pertahun, namun untuk skenario RCP 85
tahun 2046 hingga 2050 proyeksi
menunjukkan terjadinya penurunan curah
hujan yang siginifikan. Untuk proyeksi
suhu rata – rata dari tahun 2010 hingga
2050 kenaikan suhu rata – rata yang
terjadi tidak terlalu siginifikan, kecuali
untuk RCP 45 kondisi trend proyeksi pada
tahun 2010- 2045 tidak terlalu siginifikan
kenaikan suhu rata – rata tersebut, namun
pada tahun 2046 – 2050 terjadi
peningkatan suhu rata – rata yang begitu

meningkat tajam hingga penghujung tahun
2050. Sedangkan untuk proyeksi suhu
maksimum dan suhu minimum, terlihat
pada tahun 2010 – 2045 dari data skenario
RCP 45 dan RCP 85 menunjukkan pola
yang mirip, namun dari tahun 2046 hingga
2050 dari RCP 85 menunjukkan adanya
proyeksi suhu maksimum dan suhu
minimum yang mengalami penurunan
tajam, akan tetapi penurunan tersebut
kembali naik secara siginifikan pada
penghujung tahun 2050.

Kesimpulan
Berdasarkan berbagai analisis dalam
penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa
dari analisis trend curah hujan, dan suhu
udara (suhu rata – rata, suhu maksimum,

suhu minimum) di Selaparang pada
periode 30 tahun (1981 – 2010) dan
periode 10 tahun (1981 – 1990, 1991 –
2000, 2001 – 2010) secara umum
mengalami perubahan trend yang tidak
terlalu
signifikan
dan
cenderung
pergerakan trend melambat. Dengan ini
dapat dinyatakan indikasi perubahan iklim
di wilayah Selaparang selama periode 30
tahun tidak begitu siginifikan. Untuk
proyeksi curah hujan dan suhu udara (suhu
rata- rata, suhu maksimum, suhu
minimum) di Selaparang untuk 50 tahun
mendatang (2011 – 2050) dari RCP 45
proyeksi curah hujan cenderung menurun
hingga tahun 2050 dan secara umum
proyeksi suhu udara (suhu rata – rata, suhu
maksimum, suhu minimum) mengalami
kenaikan hingga tahun 2050. Sedangkan
dari RCP 85 wilayah Selaparang hingga 50
tahun mendatang diproyeksikan secara
umum mengalami trend yang menurun,
kecuali untuk suhu rata – rata yang
mengalami trend cenedrung naik serta
proyeksi yang memiliki kecenderungan
turun tajam dari RCP 85 untuk curah
hujan, suhu maksimum dan suhu minimum
pada umumnya diproyeksikan terjadi pada
tahun 2046 hingga 2050.

Referensi
Braun, W.J and Murdoch, D.j. (2007). A
First Course in Statistical Programming
with R. Cambridge University Press, New
York.
Brown, C. E. (1993). Use of Principle
Component, Correlation and Stepwise
Multiple
Regression
Analyses
to
Investigate
Selected
Phisical
and
Hydraulic Properties of Carbonate-Rock
Aquifers. Journal of Hydrology, 147(1-4),
169-195.
Budiastuti, S.
PERUBAHAN

2010. FENOMENA
IKLIM
DAN

KONTINYUITAS
PRODUKSI
PERTANIAN : SUATU TINJAUAN
PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA.
Butler, J., Kirono, D.G.C., Katzfey, J., and
Nguyen, K. (2009) : Climate Adaptation
Strategies for Rural Livelihoods in West
Nusa Tenggara Province. CSIRO_AusAID
report, 2009.
Cohen, J.,Cohen, P., West, S.G., and
Aiken, L.S. (2003). Applied Multiple
Regression/Correlation Analysis for The
Behavioral Sciences. Third Edition.
Lawrence Elbaum Associates, Mahwah :
New Jersey.
Drapper and Smith. (1992). Analisis
Regresi Terapan. PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Hair, J.F., Anderson, R.E, Black, W.C.,
Babin, B.J., and Tatham,R.L, (2006).
Multivariate Data Analysis. Sixth edition.
Prentice Hall International : UK
IPCC. The Science of Climate Change,
Contribution of Working Group I to the
Third Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate
Change [M]. Cambridge: Cambridge
University Press, 2001.
Johnson, R.A. and Wichern, D.W. (2002).
Applied Multivariate Statistical Analysis.
Fifth edition, Prentice Hall Inc. Upper
Saddle River : NJ.
Kokaly, R.F. and Clark, R.N. (1999).
Spectroscopic Determination of Leaf
Biochemistri Using Band-Depth Analysis
of Absorption Features and Stepwise
Multiple Linear Regression. Remote
Sensing of Environment, 67(3), 267-287.
Lembang,
REGRESI

F.K. 2011.
BERGANDA

ANALISIS
DENGAN

METODE
HBAT

STEPWISE

PADA

DATA

Nielsen, B. R., Stapelfeldt, H., and
Skibsted, L.H. (1997). Early Prediction of
The Shelf-Life of Medium-Heat Whole
Milk Powders Using Stepwise Stepwise
Multiple Regression and Principal
Component Analysia. International Dairy
Journal, 7(3), 341-348.
Murdiyarso, D. 2003a. CDM: Mekanisme
Pembangunan Bersih. Seri Perubahan
Iklim. Penerbit Buku Kompas. Jakarta
Murdiyarso, D. 2003b. Protokol Kyoto,
Implikasi Bagi Negara Berkembang. Seri
Perubahan Iklim. Penerbit Buku Kompas.
Jakarta
Soemarwoto, O. 1999. Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Soemarwoto, O. 2001. Atur Diri
Sendiri.Paradigma
Baru
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup.
Gadjah
Mada
University Press. Yogyakarta.
Sun, Y.X., Zhao, G.C., and Yan,W. (1995).
Age Estimation on The Female Sternum
by Quantification Theory I and Stepwise
Regression Analysis. Forensic Science
International, 74(1-2), 57-62.
Wilkinson, L.(1979). Test of Significant in
Stepwise
Rregression.
Psychological
Bulletin, 86(1),168-174.