Proyeksi Perubahan Curah Hujan Ekstrim Di Indonesia Berdasarkan Skenario Representative Concentration Pathways (RCP).

PROYEKSI PERUBAHAN CURAH HUJAN EKSTRIM
DI INDONESIA BERDASARKAN SKENARIO
REPRESENTATIVE CONCENTRATION PATHWAYS (RCP)

ALVIN GUSTOMY

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Proyeksi Perubahan
Curah Hujan Ekstrim di Indonesia Berdasarkan Skenario Representative
Concentration Pathways (RCP) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Alvin Gustomy
NIM G24110065

ABSTRAK
ALVIN GUSTOMY. Proyeksi Perubahan Curah Hujan Ekstrim di Indonesia
Berdasarkan Skenario Representative Concentration Pathways (RCP). Dibimbing
oleh AKHMAD FAQIH.
Perubahan iklim mempengaruhi fenomena iklim/ cuaca di berbagai belahan
dunia yang berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan manusia, salah satunya
yaitu curah hujan ekstrim. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis intensitas dan
peluang curah hujan ekstrim pada periode tahun 1981-2005 (baseline), serta
perubahannya pada periode tahun 2011-2035 (proyeksi) di Indonesia. Proyeksi
curah hujan ekstrim dilakukan berdasarkan skenario perubahan iklim
Representative Concentration Pathways (RCP). Nilai curah hujan ekstrim
diidentifikasi menggunakan parameter Generalized Extreme Value (GEV), serta
perubahan wilayah dan peluang kejadian ekstrim dianalisis menggunakan analisis
cluster dan Probability Density Function (PDF). Berdasarkan hasil model proyeksi

curah hujan ekstrim dengan parameter GEV, secara umum terjadi peningkatan nilai
parameter lokasi (µ), dan penurunan nilai parameter skala (σ), serta proyeksi
parameter bentuk (ξ) yang cenderung negatif. Hal ini menunjukkan bahwa peluang
curah hujan ekstrim dengan intensitas tinggi diproyeksikan akan cenderung
semakin meningkat. Hasil proyeksi juga menunjukkan bahwa berdasarkan analisis
cluster dan PDF, wilayah dengan intensitas dan peluang curah hujan ekstrim yang
tinggi semakin meluas. Secara keseluruhan terdapat tren peningkatan curah hujan
ekstrim pada periode 2011-2035 dengan kecenderungan curah hujan ekstrim akan
lebih sering terjadi, lebih luas, dan meningkat intensitasnya dibandingkan periode
1981-2005.
Kata kunci: curah hujan ekstrim, perubahan iklim, skenario RCP

ABSTRACT
ALVIN GUSTOMY. Projection of Extreme Precipitation Change in Indonesia
Based on Representative Concentration Pathways (RCP) Scenario. Supervised by
AKHMAD FAQIH.
Climate change is affecting climate/weather phenomenon throughout the
world, and it has impacts on various activities in human's life. One of the weather
phenomena which is affected by climate change is extreme precipitation. The
purpose of this research is to analyze the intensity and probability of extreme

precipitation in the period of 1981-2005 (baseline), as well as their changes in the
period of 2011-2035 (projection) in Indonesia. The projection of extreme
precipitation was made based on Representative Concentration Pathways (RCP)
climate change scenario, the value of extreme precipitation was identified using
Generalized Extreme Value (GEV), and the change of area and probability of
extreme occurrences were analyzed using cluster analysis and Probability Density
Function (PDF). Based on the result of extreme precipitation projection model
using GEV parameter, in general there was an increase of location parameter's (µ)
value, a decrease in the scale parameter's (σ) value, and the projection of form
parameter (ξ) had a negative tendency. The result of projection also shows that,
based on the result of cluster analysis and PDF, the areas with high intensity and
probability of extreme precipitation are getting larger. Therefore, there is a trend of
overall increase of extreme precipitation in the period of 2011-2035 with the
tendency that extreme precipitation would occur more frequently, with higher
intensity, and affecting a larger area compared to the period of 1981-2005.
Keywords: extreme precipitation, climate change, RCP scenario

PROYEKSI PERUBAHAN CURAH HUJAN EKSTRIM
DI INDONESIA BERDASARKAN SKENARIO
REPRESENTATIVE CONCENTRATION PATHWAYS (RCP)


ALVIN GUSTOMY

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
NAMA2016
PENULIS

Judul Skripsi : Proyeksi Perubahan Curah Hujan Ekstrim di Indonesia Berdasarkan
Skenario Representative Concentration Pathways (RCP)
Nama
: Alvin Gustomy

NIM
: G24110065

Disetujui oleh

Dr Akhmad Faqih
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah curah hujan ekstrim, dengan judul Proyeksi
Perubahan Curah Hujan Ekstrim di Indonesia Berdasarkan Skenario Representative

Concentration Pathways (RCP).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Akhmad Faqih selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan pengetahuan dan waktu untuk
membimbing penulis sehingga penelitian dan penulisan tugas akhir ini dapat
diselesaikan. Kepada Ibu Dr Tania June, Msc selaku Ketua Departemen, seluruh
dosen Laboratorium Klimatologi, dan seluruh staf Departemen Geofisika dan
Meteorologi kami tak lupa ucapkan terima kasih.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Mr Michael Bell dari
IRI atas segala bantuan informasi yang kami butuhkan. Ucapan terimakasih juga
penulis sampaikan kepada Kak Enggar dan Kak Basit yang juga membantu penulis
dalam menyelesaikan tugas akhir. Teman-teman Laboratorium Klimatologi Pradit,
Rizky, Galuh, Hawa, Adit, Atu, Erika, Lutha, Lutfi, Ridwan, Lina, Afni, Udin dan
teman satu bimbingan Radini dan Taufik terima kasih atas bantuan dan dukungan
yang diberikan kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
Ayah dan Ibuku tercinta, Suroto dan Puji Astuti, atas segala doa dan kasih
sayangnya yang tulus kepada penulis. Juga kakak-kakak (Adi Bramasto dan Dimas
Andrianto) atas doa dan kesabarannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

Alvin Gustomy

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

PENDAHULUAN

1
15


Latar Belakang

1
15

Tujuan Penelitian

15
1

METODE

2

Data

2

Alat


2

Prosedur Analisis Data

2

HASIL DAN PEMBAHASAN

9

Koreksi dan Validasi Data

9

Downscalling statistik dengan CCA

11

Analisis Spasial Parameter GEV


13

Analisis Cluster Curah Hujan Ekstrim di Indonesia

17

Analisis Cluster Wilayah di Indonesia Menggunakan PDF

18

Analisis Perubahan Spasial Cluster Curah Hujan Ekstrim

20

SIMPULAN DAN SARAN

23

Simpulan


23

Saran

24

DAFTAR PUSTAKA

25

LAMPIRAN

26

RIWAYAT HIDUP

34

DAFTAR TABEL
1 Lokasi, koordinat, dan periode data curah hujan observasi
2 Kriteria intensitas curah hujan di wilayah Indonesia
3 Korelasi dan FK data curah hujan observasi dengan data curah hujan
CHIRPS tahun 1981-2005
4 Korelasi kanonik model M1, M2, dan M3
5 Nilai dugaan parameter GEV tiap cluster pada masing-masing model
6 Karakteristik cluster berdasarkan parameter GEV
7 Perbandingan jumlah cluster model

3
6
9
12
17
20
22

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

16

17

Sebaran 24 titik stasiun observasi
Emisi antropogenik CO2 tahunan
Kurva sebaran nilai ekstrim
Korelasi data curah hujan observasi dengan data curah hujan
CHIRPS tahun 1981-2005
Perbandingan antara data curah hujan observasi, CHIRPS, dan
CHIRPS koreksi tahun 1981-2005
Spatial loading a) X (GCM) dan b) Y (CHIRPS) dan c) temporal
score
Scree plot a) X (GCM) dan b) Y (CHIRPS)
Skill forecast hasil downscalling statistik menggunakan metode
CCA model a) M1, b) M2, c) M3
Baseline parameter lokasi µ periode tahun 1981-2005
Proyeksi parameter lokasi µ model a) M1, b) M2, c) M3, dan d)
Rataan periode tahun 2011-2035
Baseline parameter skala σ periode tahun 1981-2005
Proyeksi parameter skala σ model a) M1, b) M2, c) M3, dan d)
Rataan periode tahun 2011-2035
Baseline parameter bentuk ξ periode tahun 1981-2005
Proyeksi parameter bentuk ξ model a) M1, b) M2, c) M3, dan d)
Rataan periode tahun 2011-2035
Perbandingan Probability Density Function (PDF) dari masing
masing model tiap cluster antara baseline dan model proyeksi.
a) PDF Cluster 1, b) PDF Cluster 2, c) PDF Cluster 3, d) PDF
Cluster 4, e) PDF Cluster 5
Perbandingan cluster berdasarkan parameter GEV Cluster dengan
curah hujan ekstrim tertinggi hingga terendah, yaitu cluster 3
(merah), 1 (jingga), 2 (kuning), 4 (hijau), dan 5 (biru)
Perbandingan distribusi cluster wilayah Indonesia. a) Baseline
(CHIRPS), b) M1, c) M2, d) M3, e) Rataan

3
4
7
9
10
11
11
12
13
14
14
15
15
16
19

21

22

DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram alir penelitian
2 Faktor koreksi curah hujan observasi dengan CHIRPS. Curah hujan
rata-rata bulanan tahun 1981-2005
3 Korelasi data curah hujan stasiun observasi dengan CHIRPS
4 Spatial loadings 5 mode model ACCESS
5 Temporal scores 5 model ACCESS
6 Scree plot X (GCM) dan Y (CHIRPS) model ACCESS
7 Spatial loadings 5 mode model EC-EARTH
8 Temporal scores 5 model EC-EARTH
9 Scree plot X (GCM) dan Y (CHIRPS) model EC-EARTH
10 Spatial loadings 5 mode model MIROC-5
11 Temporal scores 5 model MIROC-5
12 Scree plot X (GCM) dan Y (CHIRPS) model MIROC-5

26
27
27
28
29
29
30
31
31
32
33
33

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan menjadi salah satu negara yang paling
rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Akibat perubahan iklim global,
wilayah Indonesia diproyeksikan akan mengalami perubahan pola serta intensitas
curah hujan yang akan meningkatkan risiko banjir dan kekeringan pada musim
kemarau. Hal ini memberikan dampak antara lain kekeringan berkepanjangan,
banjir, serta bertambahnya frekuensi peristiwa iklim ekstrim yang mempengaruhi
kesehatan dan mata pencaharian masyarakat (BAPPENAS 2014). Resiko dampak
kerugian di masa mendatang akan dapat ditekan jika proyeksi terhadap cuaca dan
iklim ekstrim dapat dilakukan.
Proyeksi curah hujan ekstrim telah disusun oleh Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) dalam skenario emisi gas rumah kaca yang dikenal dengan
SRES. Berdasarkan skenario SRES, proyeksi perubahan curah hujan di Indonesia
menunjukkan bahwa adanya peningkatan intensitas dan peluang curah hujan pada
tahun 2050 (IPCC 2012). Namun hasil kajian tersebut diestimasi dari resolusi kasar
Global Climate Models (GCM) dan skenario lama. Pada penelitian ini, digunakan
skenario emisi terbaru yang disebut skenario Representative Concentration
Pathways (RCP). Skenario RCP disusun berdasarkan target konsentrasi emisi gas
rumah kaca yang ingin dicapai. Terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam
penelitian, yaitu teknik downscalling statistik dan Generalized Extreme Value
(GEV). Teknik downscalling statistik digunakan untuk meningkatkan resolusi
spasial dari proyeksi curah hujan. Sedangkan, GEV digunakan untuk memodelkan
curah hujan ekstrim di Indonesia yang sangat bermanfaat untuk melihat
karakteristik nilai curah hujan ekstrim (Prang 2006).
Melalui kajian proyeksi curah hujan ekstrim di Indonesia ini, diharapkan
dapat memberikan gambaran nilai dugaan curah hujan ekstrim yang dapat dijadikan
acuan pengkajian lebih lanjut untuk mengantisipasi dampak buruk akibat terjadinya
curah hujan yang dikategorikan ekstrim.
Tujuan Penelitian
1. Mengkaji hubungan antara data curah hujan CHIRPS dengan data curah hujan
observasi dengan menggunakan analisis korelasi.
2. Membandingkan perubahan spasial curah hujan ekstrim di Indonesia antara
periode proyeksi tahun 2011 sampai 2035 dan periode baseline tahun 1981
sampai 2005.
3. Membandingkan perubahan intensitas dan peluang kejadian curah hujan
ekstrim di Indonesia antara periode proyeksi tahun 2011 sampai 2035 dan
periode baseline tahun 1981 sampai 2005.

2

METODE
Data
Bahan yang digunakan dalam penelitian, meliputi:
1. Data curah hujan Climate Hazards Group Infrared Precipitation with Station
data (CHIRPS) v2p0 (Funk et al. 2014)
2. Data curah hujan harian 24 titik stasiun observasi periode tahun 1981 sampai
2005 untuk validasi data prediktor (Tabel 1).
3. Data indeks curah hujan ekstrim dari database ekstrim WCRP CLIVAR
ETCCDI luaran model GCM ACCESS, EC-EARTH, dan MIROC-5 (Sillmann
et al. 2013a, 2013b), periode tahun 1981 sampai 2005 (hindcast) dan periode
tahun 2011 sampai tahun 2035 (forecast) sebagai prediktan.

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah perangkat laptop
dengan software CPT linux versi 14.6.2, MATLAB R2014a, Surfer 10, serta
Microsoft Office Excel 2013.

Prosedur Analisis Data
Analisis data dilakukan berdasarkan diagram alir penelitian yang secara
skematis ditunjukkan pada Lampiran 1.
Sumber Data
Data CHIRPS v2.0 (Funk et al. 2014) diakses melalui website IRIDL LDEO
(http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.UCSB/.CHIRPS/.v2p0/.daily/.global/.
0p25/.prcp/). Data tersebut merupakan dataset curah hujan global yang
dikembangkan oleh Climate Hazard Group, University of California, Santa
Barbara. Hasil data curah hujan grid CHIRPS merupakan hasil gabungan data citra
satelit dengan data curah hujan stasiun in-situ dan tersedia mulai dari tahun 1981
dengan resolusi spasial 5 x 5 km atau 0.050 x 0.050 dan 25 x 25 km atau 0.250 x
0.250 ( Funk et al. 2014; Dinku 2014).
Sebagai data pembanding untuk validasi adalah data curah hujan harian
observasi yang diperoleh dari BMKG melalui website: dataonline.bmkg.go.id/.
Data observasi yang digunakan sebanyak 24 titik stasiun observasi di wilayah
Indonesia. Stasiun observasi dipilih berdasarkan kelengkapan data. Berikut
merupakan lokasi, periode, dan gambar sebaran 24 titik stasiun observasi.

3
Tabel 1 Lokasi, koordinat, dan periode data curah hujan observasi
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Lokasi/ wilayah stasiun
Ahmad Yani Semarang
Babullah Ternate
Blang-bintang Acehh
Darmaga Bogor
ElTari Kupang
FransKaiseipo Biak
HajiAsan Sampit
Juanda Surabaya
Karang Ploso Malang
Kasiguncu Poso
Mutiara Palu
Ngurah Rai Bali
Paloh Kalimantan
Pangsuma Putusibau
Raden Inten Lampung
Sampali Medan
Soetha Cengkareng
Sultan Hasanudddin
Sultan Mahmud Badaruddin
Sultan Thaha Jambi
Sumbawa NTB
Supadio Pontianak
Tarakan Kalimantan
Tjilik Riwut

Bujur Lintang
Periode
110.374 -6.971 1981-2010
136.106 -1.189 1984-2010
95.425
5.525 1982-2010
106.749 -6.553 1984-2010
123.672 -10.171 1981-2010
127.379
0.833 1981-2010
112.976 -2.501 1997-2010
112.793 -7.377 1981-2010
112.597 -7.901 1988-2010
120.643 -1.418 1983-2010
119.906 -0.918 1981-2010
115.168 -8.748 1981-2010
109.325
1.808 1983-2010
112.935
0.835 1995-2010
105.175 -5.242 1981-2010
98.725
3.625 1985-2010
106.654 -6.126 1985-2010
119.568 -5.069 1981-2010
104.7 -2.897 1981-2010
103.641 -1.636 1985-2010
117.412 -8.488 1981-2010
109.405 -0.147 1981-2010
117.575
3.325 1981-2010
113.943 -2.226 1981-2010

Gambar 1 Sebaran 24 titik stasiun observasi
Data indeks curah hujan ekstrim dari database ekstrim WCRP CLIVAR
ETCCDI luaran model GCM ACCESS, EC-EARTH, dan MIROC-5
(Sillmann
et
al.
2013a,
2013b)
diakses
melalui
website:

4
http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.WCRP/.CLIVAR/.ETCCDI/.CMIP5/.rc
p45/. Data GCM yang di-download merupakan skenario yang disebut dengan RCP.
RCP merupakan skenario perkembangan emisi gas rumah kaca yang telah
mempertimbangkan faktor-faktor seperti jumlah penduduk, kegiatan ekonomi,
pemakaian energi, pola penggunaan lahan, teknologi, dan kebijakan terkait
(IPCC 2013). Skenario-skenario tersebut diberi kode RCP2.6 (skenario rendah
emisi), RCP4.5 dan RCP6.0 (skenario emisi menengah), dan RCP8.5 (skenario
tinggi emisi). Berikut merupakan gambar hubungan antara skenario-skenario ini
dengan jumlah emisi global.

Gambar 2 Emisi antropogenik CO2 tahunan
Berdasarkan gambar 2, ditunjukkan hubungan berbagai skenario dengan
konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Terlihat bahwa skenario RCP2.6
berimpitan dengan skenario konsentrasi gas rumah kaca 430-480 ppm dan 480-530
ppm, skenario RCP4.5 berarti 530-580 dan 580-720 ppm, dan seterusnya. Pada
penelitian ini, akan digunakan skenario RCP4.5 yang merepresentasikan skenario
perubahan iklim dengan emisi menengah. Parameter GCM yang digunakan adalah
data curah hujan 1-hari maksimum bulanan (Monthly Maximum 1-day
Precipitation) (mm). Berdasarkan data yang tersedia, periode data dibagi menjadi
dua bagian yaitu untuk membangun dan mengembangkan model prediksi (19812005) dan membuat prediksi (2011-2035). Resolusi pada data GCM terlalu besar
untuk dapat memberikan gambaran interaksi regional dan lokal yang akurat karena
sifat data GCM yang mencakup seluruh dunia. Penelitian ini hanya mencakup
wilayah Indonesia, maka dilakukan cropping wilayah yang dipilih sesuai dengan
lintang dan bujur Indonesia dengan koordinat kiri atas adalah 95 BT; 6 LU dan
koordinat kanan bawah adalah 141 BT; 11 LS.
Validasi data
Salah satu langkah untuk meningkatkan kualitas data adalah dengan
melakukan validasi. Validasi data dilakukan dengan membandingkan output data
curah hujan CHIRPS dengan curah hujan observasi. Validasi dilakukan
menggunakan analisis regresi. Analisis regresi adalah suatu metode sederhana
untuk memeriksa hubungan fungsional di antara beberapa variabel. Pada model

5
regresi, variabel dibedakan menjadi dua bagian, yaitu variabel respon atau variabel
bergantung (dependent variable) dan variabel penduga atau variabel bebas
(independent variable) (Nawari 2010). Variabel bergantung dinyatakan sebagai
fungsi dari variabel bebas yang dirumuskan dalam persamaan:
y = f x …(1)
Nilai y menyatakan dugaan terhadap variabel bergantung, x menyatakan variabel
penduga, dan f menyatakan nilai fungsi untuk mendekati y. Curah hujan observasi
digunakan sebagai variabel bergantung untuk menyatakan variabel penduga
CHIRPS. Berdasarkan rumus tersebut dapat diterangkan bahwa data curah hujan
observasi dan CHIRPS akan membangun nilai fungsi sedemikian rupa sehingga
data CHIRPS mendekati nilai curah hujan observasi .
Climate Predictability Tool (CPT)
Pada penelitian ini analisis downscalling statistik dilakukan dengan
menggunakan metode Analisis Korelasi Kanonik (Canonical Correlation Analysis/
CCA). Perhitungan CCA dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Climate
Predictability Tool (CPT). CPT merupakan model prediksi iklim yang menghitung
berdasarkan metode statistik. Metode statistik yang digunakan berupa CCA dan
Principal Components Regression (PCR) (IRI 2015).
CCA merupakan teknik statistik untuk menganalis hubungan antara dua
gugus peubah. Hubungan antara dua gugus peubah bisa berbentuk simetrik dan juga
tidak simetrik (Davison et al. 2012). Namun pada penerapan penerapan penelitian
ini, dua gugus peubah tersebut tidak diperlakukan secara simetrik. GCM
diperlakukan sebagai prediktor (penduga) dan CHIRPS diperlakukan sebagai
prediktan (respon). Melalui analisis ini struktur hubungan yang kompleks antara
dua gugus peubah dapat dijelaskan.
CCA digunakan untuk mencari kombinasi linear dari p peubah penduga
yang berkorelasi maksimum dengan kombinasi linear q peubah respon. Salah satu
langkah untuk meningkatkan kualitas data adalah dengan kombinasi linear q
peubah respon. Pasangan kombinasi linear antara a’x dan b’y disebut peubah
kanonik.
X = a1 x1 +a2 x2 +⋯+ap xp =a'x…(2)
Y = b1 y1 +b2 y2 +⋯+bp yp =b'y…(3)
Korelasi antara X dan Y merupakan fungsi dari a dan b, dinyatakan sebagai
berikut:
a' ∑ XYb
rXY =
… 4
√(a' ∑ XXa)(b' ∑ YYb)

Dimana r merupakan matriks korelasi antara gugus peubah kanonik X dengan
gugus peubah kanonik Y; = vektor pembobot peubah kanonik X; = vektor
=
= matriks peragam peubah X; ∑
pembobot peubah kanonik Y; ∑

= matriks peragam peubah X dan peubah Y.
matriks peragam peubah Y; dan
Sehingga vektor koefisien dan yaitu:
1/2
a = ei ∑ XX

b = fi ∑ -1/2
XX

…(5)

…(6)

6
Dimana a = vektor pembobot kanonik X ke-i; b = vektor pembobot kanonik Y kei; ei = vektor ciri X ke-i; fi = vektor ciri Y ke-i; ∑ XX = matriks ragam dari peubah
X; berukuran (pxp); ∑ YY = matriks ragam dari peubah Y berukuran (qxq); i = 1,
2, …, m; m = min (p, q).
Pada penelitian ini korelasi kanonik dilakukan dengan perangkat lunak CPT,
dengan hasil berupa prediksi curah hujan 1-hari maksimum bulanan.
Teori Nilai Ekstrim
Kejadian yang dikategorikan sebagai ekstrim adalah kejadian yang jarang
terjadi namun memberikan dampak yang besar dan tidak terduga datangnya. Curah
hujan ekstrim adalah contoh kejadian yang bisa membawa dampak besar bagi
lingkungan sehingga proyeksi terjadinya kejadian ekstrim diperlukan untuk
mengetahui seberapa besar atau seberapa sering terjadi curah hujan ekstrim. Hujan
ekstrim pada penelitian ini didefinisikan dari kejadian hujan 1-hari maksimum
bulanan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG), hujan dalam sehari dibedakan menjadi
beberapa kriteria:
Tabel 2 Kriteria intensitas curah hujan di wilayah Indonesia
Kategori
Ringan
Sedang
Lebat
Sangat Lebat
Sumber: BMKG 2010.

Keterangan
5 – 20 mm/hari
20 – 50 mm/hari
50 – 100 mm/hari
>100 mm/hari

Salah satu teori yang secara khusus membahas kejadian ekstrim adalah
Teori Nilai Ekstrim (Extreme Value Theory/ EVT). EVT memberikan informasi
mengenai kejadian-kejadian ekstrim berdasarkan nilai-nilai ekstrim untuk
membentuk fungsi sebaran dari nilai-nilai ekstrim tersebut. Dalam pemodelan nilai
maksimum dari suatu peubah acak, EVT akan menyerupai teori limit pusat (central
limit theorem) dalam memodelkan jumlah peubah acak (Irfan 2011). Berdasarkan
teori ini diketahui bahwa nilai ekstrim curah hujan akan mengikuti fungsi distribusi
Generalized Extreme Value (GEV).
GEV adalah salah satu metode alternatif dalam menganalisis nilai ekstrim.
Misalkan �1 , … , �� adalah peubah acak saling bebas dan identik, maka statistik
rataan X(n) = Max{X1 ,…,Xn } konvergen pada sebaran :
x-μ -1⁄ξ
exp [-(1+ξ
) ] , ξ≠0
σ
…(7)
F(μ,σ,ε) x =
x-μ
, ξ=0
{exp [-exp(- σ )]
Dimana µ adalah parameter lokasi, � adalah parameter skala, dan ξ adalah
parameter bentuk. Fungsi distribusi ini disebut distribusi GEV (Embrechts et al.
1997; Kotz 2000).

7
Fungsi distribusi GEV akan mengikuti tiga sebaran dasar nilai ekstrim.
Ketiga bentuk sebaran yang dimaksud adalah sebaran Gumbel, Frechet, dan
Weibull, dengan masing-masing persamaan:
x-b
Gumbel: f x = exp {-exp []} ; x ≤ a...(8)
a
0
x-b -a
...(9)
Frechet: f x = {
} ;x>a
exp {a

Weibull:f x = {

exp {- [-

x-b

a

] } ;x 0 adalah parameter skala, µ adalah parameter lokasi, dan a > 0 adalah
parameter bentuk. Gambar berikut menunjukkan kurva dari ketiga sebaran nilai
ekstrim.

Gambar 3 Kurva sebaran nilai ekstrim
Ketiga sebaran ini memiliki bentuk yang berbeda, dimana parameter bentuk
ξ akan mengarahkan pada tipe sebarannya. Jika parameter ξ > 0 maka akan
mengikuti sebaran Frechet dimana grafik akan condong ke arah kiri (meninggi ke
arah kiri). Artinya nilai-nilai curah hujan cenderung berada pada kisaran minimum.
Namun fungsi distribusi akan mengikuti sebaran Weibull jika ξ < 0, maka grafik
akan condong ke arah kanan (meninggi ke arah kanan) berarti nilai-nilai curah hujan
akan cenderung berada pada kisaran maksimum (Prang 2006).
Secara umum, GEV memiliki PDF sebagai berikut:
1

1

� − µ −�
� − µ −�
[ +�
]
�� (− [ + �
] ) �≠


…(11)
�, µ, �, � = �
�−µ
�−µ
�� [−
] �� − �� [−
]
�=
{ �


Probability Density Function (PDF) adalah suatu distribusi yang
menggambarkan peluang dari sekumpulan variat yang didefinisikan oleh distribusi
GEV sebagai pengganti frekuensinya. PDF dapat menggambarkan peluang nilai
ekstrim berdasarkan sebaran peluangnya. Analisis PDF berfungsi untuk antisipasi
setiap kemungkinan yang akan terjadi.

8
Analisis Perubahan Wilayah Cluster
Analisis cluster merupakan teknik mereduksi informasi. Informasi dari
sejumlah objek akan direduksi menjadi sejumlah kelompok, dimana jumlah
kelompok lebih kecil dari jumlah objek. Objek-objek yang sama dikelompokkan
dalam satu kelompok sehingga mempunyai tingkat kesamaan yang tinggi
dibandingkan dengan objek dari kelompok lain.
Pada penelitian ini jumlah cluster ditentukan menjadi lima wilayah. Analisis
cluster dilakukan dari parameter-parameter GEV, sehingga akan diperoleh jumlah
cluster yang sesuai. Hasil tersebut kemudian dipetakan secara spasial. Gambaran
spasial cluster curah hujan ekstrim 1-hari maksimum bulanan yang diperoleh
merupakan gambaran spasial hindcast (baseline) dan forecast (proyeksi).
Perubahan wilayah cluster pada curah hujan forecast dianalisis untuk mengetahui
perubahan rentan curah hujan ekstrim 1-hari maksimum bulanan pada suatu
wilayah.

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Koreksi dan Validasi Data
Prediksi curah hujan cukup sulit dilakukan karena memiliki keragaman tinggi
dan banyaknya permasalahan data, seperti minimnya ketersediaan data, data tidak
lengkap/ kosong, dan jumlah stasiun kurang tersebar. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, dapat digunakan data estimasi hujan dari satelit atau
turunannya yang memiliki cakupan wilayah luas, resolusi spasial dan temporal
tinggi. Penelitian ini melakukan validasi dan koreksi data curah hujan CHIRPS
terhadap data observasi di Indonesia. Gambar 4 dan Tabel 3 menunjukkan contoh
nilai korelasi dan koreksi antara curah hujan observasi dengan curah hujan CHIRPS
untuk 8 dari total 24 stasiun. Koreksi dilakukan dengan menggunakan faktor
koreksi (FK) yang berbeda untuk masing-masing stasiun. Berdasarkan gambar
tersebut, korelasi yang ditunjukkan cukup baik dengan nilai lebih dari 0.5. Namun,
terdapat beberapa wilayah dengan korelasi kurang dari 0.5. Meskipun demikian,
secara keseluruhan korelasi yang dihasilkan cukup baik sehingga digunakan untuk
mewakili wilayah tersebut.
Tabel 3 Korelasi dan FK data curah hujan observasi dengan data curah hujan
CHIRPS tahun 1981-2005
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Nama Stasiun
Blang-Bintang Aceh
Sultan Mahmud Badaruddin
Darmaga Bogor
Paloh Kalimantan
Tarakan Kalimantan
Ngurah Rai Bali
Mutiara Palu
El-Tari Kupang

FK
0.92
0.98
0.82
0.9
0.95
1.1
0.38
1.43

Korelasi
0.64
0.78
0.59
0.78
0.51
0.85
0.40
0.82

Gambar 4 Korelasi data curah hujan observasi dengan data curah hujan CHIRPS
tahun 1981-2005

10

500
400
300
200
100
0
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010

Curah Hujan (mm)

Untuk wilayah Indonesia, hasil persamaan regresi diperoleh dari gabungan
data curah hujan 24 stasiun observasi, sehingga diperoleh nilai FK.
y = 0.878 x
Dimana y adalah data curah hujan observasi dan x adalah data curah hujan CHIRPS.
Persamaan regresi menunjukkan, data curah hujan CHIRPS dikalikan faktor
koreksi sebesar 0.878 sehingga data curah hujan CHIRPS mendekati data observasi.

Bulan
Observasi

Chirps

Chirps_Koreksi

Gambar 5 Perbandingan antara data curah hujan observasi, CHIRPS, dan CHIRPS
koreksi tahun 1981-2005
Berdasakan hasil perbandingan yang dilakukan, diketahui bahwa secara
umum pola curah hujan CHIRPS dapat mengikuti pola curah hujan observasi.
Kemudian, dilakukan koreksi terhadap data CHIRPS. Hasil koreksi data CHIRPS
terhadap data observasi menunjukkan pola yang lebih baik dibandingkan sebelum
dilakukan koreksi. Perbandingan dapat dilihat pada grafik yang menunjukkan
bahwa pola data curah hujan CHIRPS koreksi semakin mendekati pola data curah
hujan observasi dibandingkan sebelum dilakukan koreksi. Sehingga, hasil analisis
data curah hujan CHIRPS dapat digunakan untuk prediksi curah hujan wilayah,
karena pola dan hasil korelasi menunjukkan ketepatan data curah hujan CHIRPS
dengan data observasi yang cukup baik.
Namun demikian, koreksi yang dilakukan pada penelitian ini masih terdapat
kelemahan. Menurut Mamenun (2014), bentuk persamaan regresi untuk penentuan
FK yang digunakan ditentukan dengan melihat pola series data curah hujan
observasi dan data curah hujan satelit di seluruh stasiun observasi, serta nilai
determinasi (R2) tertinggi yang dihasilkan pada masing-masing persamaan.
Selanjutnya dilakukan analisis statistika untuk menghitung nilai korelasi, Root
Mean Square Error (RMSE), dan relatif bias antara data curah hujan observasi,
curah hujan satelit sebelum koreksi, dan curah hujan satelit setelah koreksi. Hal
tersebut dilakukan untuk mengetahui tingkat keakuratan hasil sebelum dan sesudah
dilakukan koreksi terhadap data curah hujan satelit (Mamenun 2014). Sedangkan
pada penelitian ini, FK yang digunakan hanya satu nilai FK untuk seluruh wilayah
Indonesia. Selain itu, analisis statistika yang digunakan hanya menghitung nilai
korelasi. Agar tingkat keakuratan hasil sesudah koreksi semakin baik, penambahan
FK di masing-masing stasiun observasi dan penambahan analisis statistika dapat
dilakukan pada penelitian lanjutan.

11
Downscalling statistik dengan CCA
Downscalling statistik menggunakan perangkat lunak CPT, menghasilkan
nilai loading factor. Loading factor merupakan koefisien yang menerangkan
tingkat hubungan indikator dengan variabel terukur (curah hujan). Secara umum,
semakin tinggi loading factor akan semakin baik (Harrington 2009). Gambar 6
menunjukkan hasil loading factor secara spasial dan temporal. Secara umum,
loading factor spasial X dan Y memiliki nilai koefisien yang tinggi di pulau
Sulawesi dan Papua, dan memiliki loading factor rendah pada pulau lainnya. Selain
itu, downscalling statistik juga menghasilkan persentase keragaman (% variance)
yang disajikan dalam bentuk scree plot (Gambar 7). Pada penelitian ini, digunakan
lima komponen utama (Principal Component/ PC) CCA. Banyaknya PC terpilih
berdasarkan persen keragaman kumulatif atau ukuran yang mampu menjelaskan
keragaman total data minimum 80% yang dihasilkan metode CCA. Berdasakan
Gambar 7, lima PC telah mampu menjelaskan keragaman dari total data.

a)

b)

c)
Gambar 6 Spatial loading a) X (GCM) dan b) Y (CHIRPS) dan c) temporal score

a)
b)
Gambar 7 Scree plot a) X (GCM) dan b) Y (CHIRPS)

12
Tabel 4 menampilkan nilai korelasi kanonik tiap PC pada masing-masing
model. Korelasi kanonik adalah nilai korelasi terbesar antara dua peubah (GCM dan
CHIRPS) yang digunakan untuk model prediksi. Secara keseluruhan, hasil korelasi
kanonik cukup baik dengan nilai korelasi kanonik pada PC 1 lebih besar dari 0.8
kemudian nilai korelasi kanonik semakin berkurang pada PC selanjutnya.
Tabel 4 Korelasi kanonik model M1, M2, dan M3
Model

1
0.89
0.84
0.86

M1
M2
M3

PC
3
0.53
0.35
0.44

2
0.74
0.69
0.61

4
0.04
0.12
0.1

5
0.03
0.05
0.09

Downscalling statistik juga menghasilkan peta skill forecast dengan warna
merah berkorelasi positif, sedangkan warna biru berkorelasi negatif. Peta skill
forecast digunakan untuk melihat tingkat kehandalan model dalam memprakirakan
curah hujan ekstrim. Nilai korelasi skill forecast yang semakin mendekati nilai 1
menandakan kemampuan prediksi yang semakin baik. Model M1, M2, dan M3
(Gambar 8) memiliki korelasi positif terutama untuk wilayah pulau Sumatera, Jawa,
Sulawesi, dan Papua. Sedangkan berkorelasi negatif terutama pada pulau
Kalimantan. Berdasarkan hasil tersebut, terdapat kecenderungan peta skill forecast
berwarna merah atau mendekati nilai korelasi 1 sehingga kehandalan model dalam
memproyeksikan kejadian curah hujan ekstrim akan cenderung semakin handal.

a)

b)

c)

Gambar 8 Skill forecast hasil downscalling statistik menggunakan metode CCA
model a) M1, b) M2, c) M3

13
Analisis Spasial Parameter GEV
Penelitian membagi dua periode nilai ekstrim curah hujan di Indonesia, yaitu
periode tahun 1981 sampai 2005 akan menjadi baseline (data CHIRPS) dan periode
tahun 2006 sampai 2035 sebagai proyeksi (data model). Terdapat tiga data model
GCM yang digunakan yaitu ACCESS, EC-EARTH, dan MIROC-5. Penulisan
ketiga model dalam penelitian ini, secara konsisten akan diubah menjadi M1
(ACCESS), M2 (EC-EARTH), dan M3 (MIROC-5). Untuk mendapatkan nilai
ekstrim yang representatif, hasil ketiga model digabungkan dengan cara rata-rata
dari ketiga model sehingga menjadi nilai model Rataan.
Kejadian ekstrim curah hujan di Indonesia dianalisis dengan menggunakan
parameter metode Generalized Extreme Value (GEV). GEV menghasilkan tiga
parameter, yaitu parameter lokasi µ, parameter skala σ, dan parameter bentuk ξ.
Interpretasi terhadap parameter lokasi µ menggambarkan letak titik pemusatan data
dan parameter skala σ menggambarkan pola keragaman data. Sedangkan parameter
bentuk ξ menyatakan perilaku distribusi dari fungsi peluangnya. Prang (2006)
menyatakan bahwa, jika ξ ≥ 0 maka fungsi distribusi peluangnya akan mengikuti
distribusi Frechet dimana grafik akan lebih condong di sebelah kiri, namun jika
ξ < 0 maka fungsi distribusi peluangnya akan mengikuti distribusi Weibull dimana
grafik akan lebih condong di sebelah kanan yang berarti intensitas curah hujan
ekstrim semakin meningkat.

(mm/ hari)

Gambar 9 Baseline parameter lokasi µ periode tahun 1981-2005
Gambar 9 merupakan gambaran spasial baseline dari parameter lokasi µ.
Nilai dugaan parameter lokasi µ menggambarkan letak titik pemusatan data atau
rataan atau intensitas curah hujan 1-hari maksimum bulanan yang sering terjadi.
Pada wilayah Indonesia bagian barat berkisar 20 sampai 40 mm, bagian tengah
berkisar 10 sampai 40 mm, dan bagian timur berkisar 30 sampai 60 mm. Indonesia
bagian tengah memiliki nilai dugaan parameter lokasi µ paling kecil dan parameter
lokasi µ paling besar berada di Indonesia bagian timur di wilayah Papua. Secara
keseluruhan, parameter lokasi µ wilayah Indonesia mempunyai titik pemusatan data
berkisar 10 sampai 60 mm.

14

a)

b)

c)

d)
(mm/ hari)

Gambar 10 Proyeksi parameter lokasi µ model a) M1, b) M2, c) M3, dan d) Rataan
periode tahun 2011-2035
Perbandingan antara Gambar 9 dan Gambar 10 menunjukkan peningkatan
yang cenderung terjadi pada proyeksi nilai dugaan parameter lokasi µ. Berdasarkan
Gambar 10, model M1, M2, dan M3 menunjukkan gambar yang relatif sama
sehingga menghasilkan gambar model Rataan yang sama. Nilai dugaan parameter
lokasi µ dengan titik pemusatan data Indonesia bagian barat berkisar 30 sampai 60
mm, bagian tengah berkisar 20 sampai 50 mm, dan bagian timur berkisar 40 sampai
80 mm. Peningkatan parameter µ yang terjadi berkisar 10 hingga 20 mm. Secara
umum, hampir seluruh wilayah Indonesia mengalami peningkatan nilai dugaan
parameter lokasi µ pada periode 2011 sampai 2035 dibandingkan dengan periode
tahun 1981 sampai 2005, berarti rata-rata atau curah hujan 1-hari maksimum
bulanan yang sering terjadi cenderung meningkat intensitasnya 10 hingga 20 mm.

(mm/ hari)

Gambar 11 Baseline parameter skala σ periode tahun 1981-2005
Gambar 11 merupakan gambaran spasial baseline dari parameter skala σ
yang menyatakan fungsi peluang atau pola keragaman data. Secara umum,
parameter skala σ wilayah Indonesia berkisar 20 sampai 40 mm. Nilai parameter

15
skala σ yang semakin besar menunjukkan terjadinya curah hujan yang semakin
menjauh dari titik pemusatannya atau semakin meningkatnya peluang terjadinya
kejadian curah hujan ekstrim. Selain itu,wilayah dengan parameter σ (Gambar 11)
yang memiliki nilai tinggi, juga memiliki nilai parameter µ (Gambar 9) yang tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa wilayah dengan rata-rata curah hujan 1-hari
maksimum bulanan yang tinggi memiliki pola keragaman data yang beragam.
Artinya wilayah tersebut berpotensi terjadi curah hujan yang semakin ekstrim.

a)

b)

c)

d)
(mm/ hari)

Gambar 12 Proyeksi parameter skala σ model a) M1, b) M2, c) M3, dan d)
Rataan periode tahun 2011-2035
Nilai dugaan parameter skala σ model proyeksi ditunjukkan oleh
Gambar 12. Secara umum, hasil proyeksi model parameter skala σ wilayah
Indonesia berkisar 5 sampai 25 mm. Hal ini menunjukkan terjadi penurunan
parameter skala σ pada periode 2011 sampai 2035 dibandingkan dengan periode
tahun 1981 sampai 2005. Nilai parameter σ yang semakin menurun menunjukkan
bahwa curah hujan 1-hari maksimum bulanan akan cenderung semakin mendekati
titik pemusatan data atau lebih sering terjadi pada kondisi curah hujan rata-rata.

Gambar 13 Baseline parameter bentuk ξ periode tahun 1981-2005

16
Gambar 13 merupakan gambaran spasial baseline dari parameter bentuk ξ
yang menggambarkan perilaku distribusi dari fungsi peluangnya. Sebagian wilayah
Indonesia bagian barat memiliki nilai parameter bentuk ξ < 0 dan Indonesia bagian
tengah dan timur memiliki nilai parameter bentuk ξ > 0. Hal tersebut menunjukkan
Indonesia bagian barat distribusi curah hujan 1-hari maksimum bulanan cenderung
mengikuti distribusi Weibull dimana grafik akan lebih condong di sebelah kanan
yang berarti kejadian curah hujan yang terjadi lebih sering pada kondisi maksimum.
Sedangkan, Indonesia bagian tengah dan timur distribusi curah hujan 1-hari
maksimum bulanan cenderung mengikuti distribusi Frechet dimana grafik akan
lebih condong di sebelah kiri yang berarti kejadian curah hujan yang terjadi lebih
sering pada kondisi minimum.

a)

b)

c)

d)

Gambar 14 Proyeksi parameter bentuk ξ model a) M1, b) M2, c) M3, dan
d) Rataan periode tahun 2011-2035
Gambar 14 menunjukkan hasil proyeksi model parameter bentuk ξ. Secara
keseluruhan, hasil nilai ξ proyeksi model wilayah Indonesia mempunyai nilai
parameter bentuk ξ < 0 yang berarti fungsi peluang mengikuti distribusi Weibull.
Artinya curah hujan 1-hari maksimum bulanan pada periode tahun 2011 sampai
2035 cenderung akan lebih sering terjadi pada curah hujan maksimum
dibandingkan dengan periode tahun 1981 sampai 2005.
Berdasarkan hasil analisis pola spasial distribusi GEV, secara keseluruhan
proyeksi model curah hujan ekstrim 1-hari maksimum bulanan wilayah Indonesia
mengalami peningkatan nilai parameter lokasi µ, sedangkan nilai parameter skala
σ mengalami penurunan, serta parameter bentuk ξ menjadi ξ < 0. Berdasarkan hal
tersebut diketahui bahwa pada periode 2011 sampai 2035 memiliki kecenderungan
dampak kejadian curah hujan semakin ekstrim dengan intensitas curah hujan yang
cenderung akan lebih sering terjadi pada kondisi curah hujan maksimum.

17
Analisis Cluster Curah Hujan Ekstrim di Indonesia
Berdasarkan analisis cluster diperoleh lima cluster dengan karakteristik tiap
cluster masing-masing model diberikan dalam Tabel 5 berikut.
Tabel 5 Nilai dugaan parameter GEV tiap cluster pada masing-masing model
Cluster
1
2
3
4
5

Cluster
1
2
3
4
5

Cluster
1
2
3
4
5

Baseline
32.5
42.0
18.4
23.1

Nilai dugaan parameter µ
M1
M2
M3
37.2
37.1
37.4
33.2
33.3
33.6
46.1
46.5
47.4
27.8
28.0
27.9
22.3
22.7
22.7

Rataan
37.2
33.3
46.4
27.9
22.6

Baseline
10.90
20.28
5.69
11.55

Nilai dugaan parameter σ
M1
M2
M3
3.10
2.95
2.68
8.91
9.11
8.91
13.91
13.87
11.86
3.39
3.16
2.97
10.09
10.41
9.76

Rataan
2.91
8.95
13.31
3.18
9.98

Baseline
-0.017
0.001
0.039
0.087

Nilai dugaan parameter ξ
M1
M2
M3
-0.331
-0.269
-0.327
-0.271
-0.307
-0.264
-0.258
-0.317
-0.281
-0.250
-0.273
-0.202
-0.224
-0.326
-0.321

Rataan
-0.307
-0.272
-0.281
-0.245
-0.285

Tabel 5 menunjukkan perbandingan nilai dugaan ketiga parameter GEV
antara baseline dengan model proyeksi yang dibagi ke dalam lima cluster. Baseline
hanya menghasilkan empat dari lima cluster, yaitu cluster 2, 3, 4, dan 5. Hal ini
terjadi karena data curah hujan CHIRPS yang digunakan sebagai baseline hanya
berada di kisaran cluster 2, 3, 4, dan 5. Nilai dugaan baseline parameter µ yang
diperoleh berkisar 18.4-42 mm, sementara parameter σ berada di sekitar
5.69-20.28 mm, serta nilai ξ > 0. Hasil parameter GEV baseline (Tabel 5)
menunjukkan cluster 3 memiliki kecenderungan terjadinya curah hujan ekstrim
lebih tinggi dibandingkan cluster 2, 4, dan 5, yang ditandai dengan parameter µ dan
σ paling besar.

18
Berdasarkan Tabel 5 model proyeksi (M1, M2, M3) hasil dugaan parameter
GEV masing-masing cluster mengalami perubahan dari baseline-nya. Ketiga model
proyeksi menghasilkan nilai dugaan parameter GEV yang relatif sama. Hal ini
berarti metode analisis cluster memiliki keakuratan dan kestabilan yang cukup baik.
Berdasarkan hasil tersebut, model proyeksi M1, M2, dan M3 pada seluruh cluster
menunjukkan peningkatan nilai parameter µ, namun terjadi penurunan pada
parameter lainnya seperti parameter skala σ dan bentuk ξ. Untuk mendapatkan nilai
yang representatif, hasil model proyeksi (M1, M2, dan M3) digabungkan menjadi
model Rataan. Model proyeksi Rataan menghasilkan nilai paramater GEV yang
tidak berbeda dengan hasil model proyeksi M1, M2, dan M3, dimana cluster 1
sampai 5 untuk nilai parameter µ juga menunjukkan peningkatan dibandingkan
baseline. Sementara, nilai parameter σ dan ξ juga mengalami penurunan
dibandingkan baseline. Semakin meningkatnya nilai parameter µ, maka rata-rata
besaran curah hujan 1-hari maksimum bulanan akan semakin meningkat
intensitasnya pada periode 2011-2035 dibandingkan periode 1981-2005.
Sedangkan, menurunnya nilai parameter σ menunjukkan pola keragaman data yang
semakin mendekati titik pemusatan data, berarti intensitas curah hujan 1-hari
maksimum bulanan cenderung lebih sering terjadi pada intensitas hujan yang
mendekati nilai parameter µ atau curah hujan rata-rata 1-hari maksimum bulanan.
Analisis data untuk semua model proyeksi mempunyai nilai parameter bentuk
ξ < 0 berarti fungsi peluangnya mempunyai titik ujung kanan yang terhingga, maka
pola distribusi akan mengikuti distribusi Weibull dimana grafik akan lebih condong
ke arah kanan. Hal ini akan memberikan kecenderungan dampak peluang kejadian
curah hujan ekstrim semakin besar (Friederichs 2007). Selain itu, semua nilai
parameter bentuk ξ berada pada kisaran -0.5 < ξ < 0.5. Hal tersebut sesuai dengan
penggunaannya dalam praktek (Prang 2006). Berdasarkan hasil tersebut, dilakukan
analisis peluang menggunakan distribusi Probability Density Function (PDF).

Analisis Cluster Wilayah di Indonesia Menggunakan PDF
Analisis cluster merupakan cara untuk menyatukan objek ke dalam
kelompok atau grup yang mempunyai sifat sama atau setiap kelompok berbeda dari
kelompok lain. Definisi kesamaan kelompok dalam studi atau penelitian ini adalah
curah hujan ekstrim atau nilai GEV. Tujuan dari teknik ini adalah melakukan
pengelompokkan berdasarkan nilai GEV sehingga objek-objek tersebut
mempunyai variasi di dalam cluster relatif kecil dibandingkan variasi antar cluster.
Hasil nilai dugaan parameter GEV tiap cluster pada masing-masing model,
digunakan untuk menggambarkan peluang nilai ekstrim berdasarkan sebaran
peluang atau distribusinya. Berikut merupakan distribusi grafik perbandingan nilai
ekstrim baseline dan model proyeksi pada tiap-tiap cluster.

0,2

Distribusi Peluang

Distribusi Peluang

19

0,15
0,1
0,05
0
0

20

40

60

80

0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0
0

100

20

Curah Hujan (mm/hari)

0,04
0,03
0,02
0,01
0
20

60

80

100

b)
Distribusi Peluang

Distribusi Peluang

a)

0

40

Curah Hujan (mm/hari)

40

60

80

0,15
0,1
0,05

100

0
0

20

Curah Hujan (mm/hari)

40

60

80

100

Curah Hujan (mm/hari)

d)
Distribusi Peluang

c)
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0
0

20

40

60

80

100

Curah Hujan (mm/hari)

e)
Gambar 15 Perbandingan Probability Density Function (PDF) dari masing masing
model tiap cluster antara baseline dan model proyeksi. a) PDF
Cluster 1, b) PDF Cluster 2, c) PDF Cluster 3, d) PDF Cluster 4,
e) PDF Cluster 5
Berdasarkan Gambar 15, grafik PDF model proyeksi curah hujan cenderung
mengalami peningkatan dari baseline-nya. Peningkatan terjadi pada peluang dan
intensitas curah hujan yang beragam di masing-masing cluster. Ketiga model
proyeksi cluster 1 sampai cluster 5 menghasilkan grafik dengan peluang dan curah
hujan yang relatif sama. Hal ini menunjukan bahwa hasil ketiga model memiliki
keakuratan dan kestabilan yang juga cukup baik. Pada cluster 1, tidak terdapat
grafik PDF baseline. Hal ini dikarenakan, baseline tidak memiliki parameter GEV
yang digunakan untuk membentuk grafik PDF sehingga hanya terdapat grafik PDF
model proyeksi. Pada cluster 1, peluang tertinggi berkisar 0.14 dengan rata-rata
curah hujan 37 mm sedangkan peluang dan rata-rata curah hujan cluster 4 berkisar
0.14 dan 28 mm. Pada cluster 2, 3, 4, dan 5 terlihat bahwa grafik model proyeksi
lebih condong ke kanan dengan puncak grafik yang lebih tinggi dibandingkan
baseline. Hal ini mengindikasikan kondisi curah hujan yang terjadi akan cenderung

20
semakin ekstrim dan semakin sering terjadi. Pada cluster 2, peluang tertinggi dan
curah hujan rata-rata baseline sekitar 0.03 dan 32 mm sedangkan model proyeksi
peluang dan curah hujan rata-rata semakin meningkat menjadi sekitar 0.05 dan
33 mm. Cluster 4 menunjukkan peluang tertinggi baseline dan curah hujan rata-rata
baseline sekitar 0.07 dan 18 sedangkan peluang dan curah hujan rata-rata model
proyeksi meningkat menjadi sekitar 0.15 dan 28 mm. Terakhir, cluster 5 juga
menunjukkan peluang dan curah hujan rata-rata yang semakin meningkat, dimana
pada baseline sekitar 0.03 dan 23 mm sedangkan model proyeksi sekitar 0.04
dan 23 mm.
Secara keseluruhan, wilayah pada cluster 3 cenderung memiliki curah hujan
1-hari maksimum bulanan lebih ekstrim dibandingkan cluster lainnya. Hal ini
terlihat dari intensitas curah hujan model proyeksi berada di sekitar 20 sampai
80 mm disertai puncak grafik atau peluang yang semakin meningkat dibandingkan
baseline-nya. Sedangkan, cluster 5 memiliki kecenderungan memiliki curah hujan
1-hari maksimum bulanan lebih rendah dibandingkan cluster lainnya. Cluster 5
memiliki intensitas curah hujan yang sering terjadi berada di sekitar 5 sampai
40 mm. Berdasarkan distribusi grafik PDF tersebut diketahui bahwa terjadi
kecenderungan peningkatan distribusi intensitas dan peluang curah hujan dari
baseline periode 1981-2005 ke model proyeksi periode tahun 2011-2035. Hal ini
memungkinkan terjadinya perubahan wilayah cluster dengan curah hujan yang
tinggi semakin meluas yang kemudian akan dianalisis secara spasial.

Analisis Perubahan Spasial Cluster Curah Hujan Ekstrim
Analisis cluster bertujuan untuk mengelompokkan wilayah Indonesia
berdasarkan kriteria tertentu sehingga objek-objek tersebut mempunyai variasi di
dalam cluster relatif kecil dibandingkan variasi antar cluster. Berdasarkan hasil
analisis cluster, kemudian cluster tiap grid dipetakan secara spasial untuk melihat
perubahannya. Sebelum melihat perubahan cluster secara spasial, karakteristik
masing-masing cluster diidentifikasi terlebih dahulu dengan cara rata-rata dari
parameter GEV tiap cluster pada masing-masing model (Tabel 6). Berikut
merupakan karakteristik masing-masing cluster.
Tabel 6 Karakteristik cluster berdasarkan parameter GEV
Cluster
1
2
3
4
5

ξ
-0.307
-0.272
-0.281
-0.245
-0.285

σ
2.91
8.95
13.31
3.18
9.98

µ
37.2
33.3
46.4
27.9
22.6

21
0,14

Distribusi Peluang

0,12
0,1
0,08
0,06
0,04
0,02
0
0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Curah Hujan (mm/hari)
Cluster 1

Cluster 2

Cluster 3

Cluster 4

Cluster 5

Gambar 16 Perbandingan cluster berdasarkan parameter GEV. Cluster dengan
curah hujan ekstrim tertinggi hingga terendah, yaitu cluster 3 (merah),
1 (jingga), 2 (kuning), 4 (hijau), dan 5 (biru)
Berdasarkan Tabel 6 dan Gambar 16, diketahui bahwa cluster dengan curah
hujan ekstrim tertinggi berada pada cluster 3 sedangkan cluster dengan curah hujan
ekstrim terendah berada pada cluster 5. Hal ini disebabkan, cluster 3 memiliki nilai
parameter µ dan σ tertinggi yaitu 46.4 mm dan 13.31 mm sehingga curah hujan
yang terjadi cenderung akan lebih ekstrim dibandingkan cluster lainnya. Begitu pun
dengan cluster 5 yang memiliki nilai parameter µ terendah yaitu 22.6 mm sehingga
curah hujan pada cluster 5 cenderung lebih rendah dari cluster lainnnya.
Selanjutnya dilakukan analisis cluster secara spasial untuk melihat perubahan
cluster yang terjadi.
Gambar 17 menunjukkan pola spasial curah hujan ekstrim 1-hari maksimum
bulanan yang telah dikelompokkan menjadi lima cluster. Pada baseline
(Gambar 17a), cluster yang terbentuk hanya cluster 2, 3, 4, dan 5 atau cluster yang
berwarna kuning, merah, hijau, dan biru, dimana warna biru sebagian besar
mendominasi wilayah Indonesia dengan jumlah cluster tertinggi dibanding cluster
lainnya (Tabel 7). Hal ini berarti, sebagian besar wilayah Indonesia memiliki curah
hujan ekstrim 1-hari maksimum bulanan yang cenderung rendah.
Hasil proyeksi pola spasial cluster curah hujan ekstrim menunjukkan
terjadinya perubahan cluster secara spasial. Model proyeksi M1, M2, dan M3
menghasilkan hasil proyeksi spasial yang relatif sama. Hal ini menunjukkan
keakuratan dan kestabilan model yang cukup baik. Secara umum, cluster 3 atau
berwarna biru semakin menyempit dan cluster dengan warna jingga, merah, dan
hijau atau cluster 1, 3, dan 4 semakin meluas. Selain itu, model proyeksi juga
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah cluster pada cluster 1, 3, dan 4
dibandingkan cluster 5 yang mengalami penurunan jumlah cluster. Wilayah
berwarna biru memiliki karakteristik curah hujan 1-hari maksimum bulanan lebih
rendah dibandingkan cluster lainnya. Sedangkan, cluster berwarna hijau dan jingga
memiliki karakteristik curah hujan 1-hari maksimum bulanan yang cukup tinggi
dan cluster berwarna merah memiliki karakteristik curah hujan 1-hari maksimum
bulanan yang tertinggi. Sehingga wilayah cluster berwarna hijau, jingga, dan merah

22
cenderung memiliki dampak peluang kejadian ekstrim lebih besar dibandingkan
cluster berwarna biru. Berdasarkan hal tersebut, wilayah dengan curah hujan
ekstrim 1-hari maksimum bulanan dengan karakteristik peluang terjadinya kejadian
ekstrim yang tinggi memiliki kecenderungan semakin meluas.
Tabel 7 Perbandingan jumlah cluster model
Cl