. Pengaruh Pemimpin Terhadap Produktivitas Komunitas Waria Migran Dan Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa

i

PENGARUH PEMIMPIN TERHADAP PRODUKTIVITAS
KOMUNITAS WARIA MIGRAN DAN PERANAN WARIA
DALAM PEMBANGUNAN DESA

DITA PRATIWI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pengaruh
Pemimpin Terhadap Produktivitas Komunitas Waria Migran dan Peranan Waria
Dalam Pembangunan Desa adalah benar karya saya dengan arahan dari

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis ini kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Dita Pratiwi
NIM I34110006

iii

ABSTRAK
DITA PRATIWI. Pengaruh Pemimpin Terhadap Produktivitas Komunitas Waria
Migran dan Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa. Dibimbing oleh LALA M
KOLOPAKING
Pesantren Waria Al-Fatah di Desa Jagalan sudah berdiri sejak tahun 2008
dengan melibatkan waria migran yang datang dari berbagai daerah. Tujuan

mereka berada di Pesantren Waria adalah untuk memerbaiki kehidupan menjadi
lebih produktif. Pemimpin pesantren merupakan aktor penting dalam pendirian
dan pelaksanaan kegiatan di pesantren ini. Tujuan penelitian, yaitu:
mengidentifikasi pengaruh tingkat kepemimpinan (tingkat kemampuan, tingkat
kepribadian, dan gaya kepemimpinan) terhadap tingkat produktivitas komunitas
waria migran; menganalisis pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria
migran terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan dan
desa asal waria. Metode penelitian menerapkan pendekatan kuantitatif dengan
metode survei yang didukung data kualitatif melalui wawancara mendalam. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat kepemimpinan (tingkat kemampuan,
tingkat kepribadian, dan gaya kepemimpinan) memengaruhi tingkat produktivitas
komunitas waria migran. Tingkat produktivitas memengaruhi tingkat peranan
waria dalam pembangunan Desa Jagalan dan desa asal waria. Peranan waria
dalam pembangunan desa diwujudkan melalui sumbangan berupa uang, barang,
atau tenaga kerja yang diberikan komunitas waria migran kepada pihak Desa
Jagalan ataupun pihak keluarga di desa asal masing-masing.
Kata Kunci: pembangunan desa, pemimpin, produktivitas, waria migran

iv


ABSTRACT
DITA PRATIWI. Leaders Influence on Productivity of Migrant Transvestites
Community and Transvestites did in Rural Development. Supervised by LALA M
KOLOPAKING
Al-Fatah boarding transvestites in jagalan village had establish since 2008
involving transvestites migrants who come from different regions. Their goal was
in boarding school is to repair transvestites to be more productive. Pesantren
leaders are important actors in the establishment and implementation of activities
in these schools. Research objectives, namely: identify the effect of leadership
level (level of ability, the level of personality and leadership style) on the level of
productivity of the migrant transvestites community; analyze the effect of the
productivity level of the migrant transvestites community on the level
transvestites did in Jagalan Rural development and village of transvestites.
Quantitative research methods approach supported by survey method qualitative
data through in-depth interviews. The results showed that the level of leadership
(ability level, the level of personality and leadership style) influence the level of
productivity of the migrant transvestites community. Productivity levels affect the
level of village development and village of origin Jagalan transvestites.
Transvestites did ini rural development is realized through donations of money,
goods or labor provided to the migrant transvestites community Jagalan village or

family parties in their respective home villages.
Keywords: rural development, leader, productivity, migrant transvestites

v

PENGARUH PEMIMPIN TERHADAP PRODUKTIVITAS
KOMUNITAS WARIA MIGRAN DAN PERANAN WARIA
DALAM PEMBANGUNAN DESA

DITA PRATIWI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2015

vi

Judul Skripsi

:

Nama Mahasiswa
NIM

:
:

Pengaruh Pemimpin Terhadap Produktivitas Komunitas
Waria Migran dan Peranan Waria Dalam Pembangunan
Desa
Dita Pratiwi
I34110006


Disetujui oleh

Dr Ir Lala M Kolopaking, MS.
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah. MSc
Ketua Departemen

Tahun Lulus :

vii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan sebaik-baiknya. Skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemimpin
Terhadap Produktivitas Komunitas Waria Migran dan Peranan Waria
Dalam Pembangunan Desa” ini membahas tentang pengaruh tingkat

kepemimpinan terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran, serta
pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria migran terhadap tingkat peranan
waria dalam pembangunan Desa Jagalan dan desa asal waria. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:
1. Dr Ir Lala M Kolopaking, MS sebagai dosen pembimbing yang bijak,
senantiasa memberikan saran, arahan serta masukan yang sangat berarti
selama proses penulisan skripsi.
2. Ir Fredian Tonny Nasdian, MS dan Ir Yatri Indah Kusumastuti, Msi
sebagai dosen penguji skripsi yang memberikan saran, kritikan, dan arahan
kepada penulis untuk perbaikan penulisan skripsi.
3. Endang Sutisna dan Ibu Meriyanti orang tua tercinta, dan keluarga yang
menjadi sumber motivasi dan selalu memberikan dorongan positif serta
doa kepada penulis.
4. Mahasiswa SKPM 48 sebagai teman berdiskusi sekaligus memotivasi
penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juni 2015


Dita Pratiwi
NIM. I34110006

viii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Waria dan Komunitasnya
Kondisi dan Permasalahan Waria Migran
Definisi Pemimpin
Gaya Kepemimpinan

Produktivitas
Kegiatan Produktif Komunitas Waria Migran
Pembangunan Desa
Kesejahteraan Sosial
Kerangka Pemikiran
Hipotesis
Definisi Operasional
Tingkat Kepemimpinan
Tingkat Produktivitas Komunitas Waria Migran
Tingkat Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Penentuan Informan dan Responden
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Analisis Data Dengan Software SmartPLS 2.0
Evaluasi Model Pengukuran atau Outer Model
Uji Validitas
Uji Reliabilitas

PROFIL DESA JAGALAN
Karakteristik Geografis
Karakteristik Ekonomi dan Pendidikan
PESANTREN WARIA AL-FATAH DESA JAGALAN
Kegiatan Pesantren Waria Al-Fatah di Desa Jagalan
PENILAIAN TERHADAP KEPEMIMPINAN, PRODUKTIVITAS,
DAN PERANAN WARIA DALAM PEMBANGUNAN DESA
Kepemimpinan Pesantren Waria Al-Fatah

ix
x
xi
1
1
2
2
3
4
4
4

5
6
7
9
10
11
12
13
14
14
14
15
16
17
17
17
17
17
18
19
19
20
21
22
22
23
25
28
32
32

ix

Kemampuan Memimpin Pesantren Waria Al-Fatah
Kepribadian Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah
Gaya Kepemimpinan Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah
Produktivitas Komunitas Waria Migran
Peran Serta Waria Migran Dalam Pembangunan Desa
Peran Serta Waria Migran Dalam Pembangunan Desa Jagalan
Peran Serta Waria Migran Dalam Pembangunan Desa Asal
PENGARUH TINGKAT KEPEMIMPINAN, TINGKAT
PRODUKTIVITAS, DAN TINGKAT PERANAN WARIA DALAM
PEMBANGUNAN DESA
Pengaruh Tingkat Kemampuan Terhadap Tingkat Produktivitas
Komunitas Waria Migran
Pengaruh Tingkat Kepribadian Terhadap Tingkat Produktivitas
Komunitas Waria Migran
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Tingkat Produktivitas
Komunitas Waria Migran
Pengaruh Tingkat Produktivitas Komunitas Waria Migran Terhadap
Tingkat Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa Jagalan
Pengaruh Tingkat Produktivitas Komunitas Waria Migran Terhadap
Tingkat Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa Asal Waria
PENUTUP
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

32
33
34
36
38
38
39

41
41
44
46
49
51
52
52
53
54
56

DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10

Uji reliabilitas kuesioner dengan SPSS 21.0
Nilai loading factor indikator setiap variabel
Pengujian validitas setiap indikator dengan t-statistik
Pengujian reliabilitas variabel berdasarkan nilai AVE, Composite
Reliability, dan Cronbachs Alpha
Luas lahan dan persentase peruntukan atau penggunaan tanah di
Desa Jagalan, tahun 2014
Jumlah dan persentase tenaga kerja menurut kelompok usia di
Desa Jagalan, tahun 2014
Jumlah dan persentase tingkat pendidikan masyarakat di Desa
Jagalan, tahun 2014
Jumlah dan persentase daerah asal waria migran, Pesantren
Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014
Jumlah dan persentase komunitas waria menurut kelompok usia
di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014
Jumlah dan presentase usaha mandiri komunitas waria di
Pesantren Waria Al-Fatah, tahun 2014

18
19
20
21
22
23
24
27
27
30

x

Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15
Tabel 16

Tabel 17
Tabel 18
Tabel 19
Tabel 20
Tabel 21
Tabel 22
Tabel 23

Tabel 24

Tabel 25

Tabel 26

Tabel 27

Penilaian atas kemampuan pemimpin komunitas waria migran di
Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014
Jumlah dan persentase tingkat kemampuan pemimpin komunitas
waria di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014
Penilaian atas kepribadian pemimpin komunitas waria migran di
Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014
Jumlah dan persentase tingkat kepribadian pemimpin komunitas
waria di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014
Penilaian atas gaya kepemimpinan pemimpin komunitas waria
migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014
Jumlah dan persentase tingkat gaya kepemimpinan pemimpin
komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa
Jagalan, tahun 2014
Penilaian atas produktivitas komunitas waria migran di Pesantren
Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014
Jumlah dan persentase tingkat produktivitas komunitas waria
migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014
Penilaian atas peranan waria migran dalam pembangunan Desa
Jagalan, tahun 2014
Jumlah dan persentase tingkat peranan waria migran dalam
pembangunan Desa Jagalan, tahun 2014
Penilaian atas peranan waria migran dalam pembangunan desa
asal, tahun 2014
Jumlah dan persentase tingkat peranan waria migran dalam
pembangunan desa asal, tahun 2014
Pengujian hipotesis pengaruh tingkat kemampuan pemimpin
terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran di
Pesantren Waria Al-Fatah
Pengujian hipotesis pengaruh tingkat kepribadian pemimpin
terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran di
Pesantren Waria Al-Fatah
Pengujian hipotesis pengaruh gaya kepemimpinan terhadap
tingkat produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria
Al-Fatah
Pengujian hipotesis pengaruh tingkat produktivitas komunitas
waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam
pembangunan Desa Jagalan
Pengujian hipotesis pengaruh tingkat produktivitas komunitas
waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam
pembangunan desa asal

32
33
33
34
34

35
36
37
38
39
40
40

41

44

46

49

51

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2

Kerangka Berfikir
Denah lokasi penelitian

13
57

xi

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6

Denah lokasi penelitian, Desa Jagalan, Kec Banguntapan, Kab
Bantul
Jadwal kegiatan penelitian
Kerangka percontohan responden
Catatan tematik
Dokumentasi penelitian
Riwayat hidup

57
58
59
60
68
69

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Desa adalah kesatuan masyarakat yang saling mengenal atas dasar
hubungan kekerabatan, kepentingan politik, sosial, ekonomi, keamanan, dan
menetap dalam suatu wilayah (Nurcholis 2011). Masyarakat desa saling
berinteraksi dalam menjalani aktivitas kehidupannya. Interaksi yang dilakukan
secara konsisten akan membentuk suatu pola kehidupan dan menghasilkan gejala
sosial berupa: norma, kelompok sosial, organisasi sosial, dan perubahan sosial
(Soekanto 2009). Tidak semua individu diterima kehadirannya oleh masyarakat
desa. Tingkah laku individu atau kelompok yang dinilai masyarakat menyimpang
atau bertentangan dengan norma-norma (mengalami patologi sosial) dapat
dijauhkan, didiskriminasi, bahkan diusir dari desa. Berbagai macam tingkah laku
patologi sosial berupa perjudian, korupsi, kriminalitas, pelacuran, dan mental
disorder (kekalutan jiwa, kekacauan serta gangguan mental). Salah satu individu
atau kelompok yang dianggap mengalami mental disorder adalah waria (Kartono
2003). Akibatnya, banyak waria yang dijauhi, didiskriminasi, bahkan diusir dari
desa.
Secara fisik waria berjenis kelamin laki-laki, namun secara tingkah laku,
tutur kata, cara berpakaian, dan bersikap seperti wanita. Direktorat Jenderal
Administrasi dan Kependudukan Kementerian Dalam Negeri mendata jumlah
waria di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 400 ribu waria, pada tahun 2008
mencapai 600 ribu waria, dan pada tahun 2013 mencapai 7 juta waria
(Kemendagri 2013). Mayoritas waria di Indonesia adalah waria migran, yaitu
mereka yang berasal dari desa pindah ke kota. Hadirnya waria di kota karena
mereka tidak diterima oleh keluarga di desa, dan menganggap peluang untuk
mendapatkan pekerjaan di kota lebih besar. Padahal kenyataannya, di kota pun
waria tetap sulit mendapatkan pekerjaan yang layak, karena sektor formal sangat
jarang memekerjakan waria (Rahmantyo 2013).
Adanya kesamaan perlakuan, kekalutan jiwa, dan kesamaan nasib membuat
waria saling berinteraksi dalam setiap aktivitas. Lambat laun para waria
membentuk suatu komunitas yang cenderung terdiri atas waria migran.
Terbentuknya komunitas waria migran tidak membuat mereka lantas keluar dari
permasalahan sosial. Komunitas waria sulit menjalani kehidupannya secara wajar.
Mereka hanya hidup di lingkungan komunitasnya saja, selain itu mereka kerap
kali mendapatkan diskriminasi dari masyarakat umum. Sebagian besar masyarakat
akan langsung menilai bahwa pekerjaan waria adalah pekerja seks, padahal tidak
semua waria berkecimpung dalam pekerjaan tersebut. Pandangan negatif
masyarakat mengenai waria perlu diubah, karena pada dasarnya waria juga
memiliki HAM sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bagian (a) yang menyatakan bahwa hak asasi
manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,
bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
Kehidupan waria dirasa kurang produktif karena tidak mendapatkan
keadilan dalam hal pekerjaan, pendidikan, ataupun pelayanan publik (Wibisono
2009). Melihat fenomena tersebut, hadirlah sesosok dari komunitas waria yang

2

berinisiatif untuk memerbaiki kehidupan waria menjadi lebih produktif. Sosok
tersebut diakui sebagai pemimpin komunitas waria Yogyakarta. Salah satu upaya
yang dilakukan oleh pemimpin untuk meningkatkan produktivitas komunitas
waria migran adalah mendirikan organisasi non-formal yaitu pesantren waria.
Pesantren Waria Al-Fatah adalah organisasi non-formal pemberdayaan
komunitas waria migran yang didirikan pada tahun 2008 oleh salah satu waria di
Yogyakarta yaitu Shinta Ratri. Pesantren Waria Al-Fatah terletak di Celenan RT
09, RW 02, Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Adapun kegiatan di pesantren ini selain untuk menyalurkan
ilmu-ilmu Agama Islam juga untuk membangun kemandirian, mentalitas,
kelestarian, keorganisasian, dan etika komunitas waria migran. Tujuan pesantren
waria untuk meningkatkan produktivitas komunitas waria migran melalui
selektivitas dalam memilih lapangan pekerjaan, memfasilitasi kehidupan waria
dengan memberikan modal untuk membangun usaha kecil mandiri, dan berperan
sebagai media agar para waria mendapatkan pengakuan eksistensi sebagai bagian
dari masyarakat tanpa adanya sikap diskriminasi dan marjinalisasi. Produktivitas
yang dicapai dapat berpengaruh terhadap peranan waria dalam pembangunan
desa, baik desa tempat tinggal waria (Desa Jagalan) ataupun desa asal waria.
Menurut UU No. 06 Tahun 2014 tentang Desa, pembangunan desa diartikan
sebagai upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat desa. Pembangunan desa juga bertujuan untuk
menanggulangi kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan
sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Oleh karena
itu, penulis tertarik untuk menganalisis pengaruh pemimpin terhadap
produktivitas komunitas waria migran dan peranan waria dalam
pembangunan desa.
Masalah Penelitian
Masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh tingkat kepemimpinan (tingkat kemampuan,
tingkat kepribadian, dan gaya kepemimpinan) terhadap tingkat
produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah?
2. Bagaimana pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria migran
terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan ?
3. Bagaimana pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria migran
terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan desa asal ?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi pengaruh tingkat kepemimpinan (tingkat kemampuan,
tingkat kepribadian, dan gaya kepemimpinan) terhadap tingkat
produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah.
2. Menganalisis pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria migran di
Pesantren Waria Al-Fatah terhadap tingkat peranan waria dalam
pembangunan Desa Jagalan.

3

3.

Menganalisis pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria migran di
Pesantren Waria Al-Fatah terhadap tingkat peranan waria dalam
pembangunan desa asal.
Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:
1. Bagi akademisi, hasil penelitian dapat menjadi proses pembelajaran
dalam memahami fenomena sosial di lapangan. Penelitian ini juga
dapat menjadi salah satu sumber informasi serta referensi mengenai
topik yang terkait.
2. Bagi masyarakat, hasil penelitian dapat menambah pengetahuan
mengenai kehidupan komunitas waria yang selama ini dipandang
sebelah mata, dan menambah pengetahuan mengenai keanekaragaman
kegiatan produktif untuk meningkatkan produktivitas komunitas waria,
sehingga waria dapat lebih diterima dalam kehidupan masyarakat.
3. Bagi pemerintah, hasil penelitian dapat menjadi salah satu acuan untuk
membuat kegiatan usaha ekonomi bagi komunitas waria agar hidup
mereka menjadi produktif, dan untuk acuan menyusun kebijakan
mengenai HAM bagi komunitas waria agar mereka tidak didiskriminasi
dan dimarjinalisasikan.
4. Bagi Pesantren Waria Al-Fatah, hasil penelitian dapat menjadi sumber
informasi mengenai kegiatan produktif yang dapat dilakukan oleh
komunitas waria, dan sebagai sumber informasi mengenai pemimpin
yang tepat bagi komunitas waria

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Waria dan Komunitasnya
Waria berasal dari penggabungan kata wanita dan pria, yaitu seorang pria
tetapi seperti wanita (Mustikawati et al. 2013). Waria (wanita-pria) adalah lakilaki yang berbusana dan bertingkah laku menyerupai wanita (Abdullah dan Faidah
2013). Yuliani (2006) menjelaskan bahwa waria adalah individu transseksual,
yaitu individu yang terlahir sebagai lelaki namun merasa dirinya perempuan dan
hidup layaknya perempuan. Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah
penduduk terbanyak di dunia, juga memiliki jumlah waria migran terbanyak,
khususnya di perkotaan (Rahmantyo 2013). Waria migran adalah sebutan bagi
waria yang melakukan migrasi. Migrasi yaitu aktivitas perpindahan dari tempat
asal ketempat yang baru untuk mencari lingkungan hidup yang lebih baik. Pola
migrasi yang terjadi pada waria karena peluang untuk mendapatkan pekerjaan di
kota lebih besar, mengingat mayoritas waria yang tidak diterima oleh keluarganya
di pedesaan sehingga memilih untuk mencari nafkah di kota (Rahmantyo 2013).
Terdapat berbagai macam pandangan mengenai waria dalam kehidupan
bermasyarakat. Mengutip tulisan Abdullah dan Faidah (2013) yang menjelaskan
tentang waria dalam dua pandangan, berikut penjelasannya:
1. Pandangan agama, khususnya dalam Agama Islam, waria lebih tepat difahami
sebagai seorang laki-laki yang memiliki kecenderungan seksual perempuan.
Kondisi seperti ini dalam hadits dinamakan mukhannats, yaitu laki-laki yang
menyerupai perempuan. Ibn Hajar membagi mukhannats kedalam dua bagian:
Tercipta sejak dalam janin dan lelaki yang dengan sengaja memoles dirinya
serta berperilaku seperti perempuan. Menurut Ibn Hajar, jenis pertama tidak
terlaknat, tapi harus diupayakan agar waria tersebut dapat mengubah diri
menjadi lelaki sejati. Jenis kedua hukumnya dosa dan terlaknat, maka waria
pun harus mengubah diri menjadi lelaki.
2. Pandangan medis, waria disebabkan apabila dalam zygote terjadi kombinasi
tanpa mengalami pembelahan kromosom, maka janin akan mengidap
kelainan. Penyebab lainnya ketika janin berusia delapan minggu, janin
tersebut kurang mendapatkan asupan testosteron ke otak. Akibatnya sekalipun
berjenis kelamin laki-laki, maka secara kejiwaan termasuk orientasi
seksualnya, adalah perempuan. Maka waria dapat dikatakan sebagai seorang
laki-laki yang sejak dalam janin memiliki “kelainan” otak atau jiwa yang
tidak memiliki hasrat seksual sedikitpun terhadap wanita.
Pada dasarnya waria memiliki HAM sebagaimana yang tercantum dalam
UU RI No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bagian (a) yang
menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau
dirampas oleh siapapun.
Waria yang merasa memiliki kesamaan dalam berperilaku, budaya,
kebiasaan, daerah asal (desa), dan kesamaan nasib dengan waria lainnya, akan
saling berinteraksi. Interaksi yang terjalin akan semakin berpola, sehingga akan

5

menciptakan suatu kesamaan tujuan dan terbentuklah komunitas waria migran.
Terbentuknya komunitas waria migran agar mereka tidak merasa sendiri dan
mampu melakukan aktivitas secara normal seperti masyarakat lainnya. Salah satu
aktivitas yang dilakukan untuk bertahan hidup adalah bekerja. Abdullah dan
Faidah (2013) menyebutkan bahwa umumnya para waria berprofesi di bidangbidang yang biasanya dilakukan oleh wanita, seperti: salon, butik, dan bidang
kesenian. Komunitas waria migran merupakan salah satu wujud dari realitas sosial
yang terjadi. Mereka menjadi komunitas minoritas yang hidup di tengah tekanan
sosial, dimana lahirnya perilaku waria tidak terlepas dari proses/dorongan dalam
diri, bahwa fisik mereka tidak sesuai dengan kondisi psikis (Nurhidayati 2010).
Hal ini juga dijelaskan oleh Yuliani (2006), bahwa dalam kehidupan masyarakat
terdapat sekelompok manusia yang tersingkir atau sengaja dijauhi karena
karakteristik fisik yang mereka miliki, salah satunya adalah komunitas waria.
Abdullah dan Faidah (2013), menjelaskan beberapa hal yang menyebabkan
seseorang menjadi waria, yaitu: Pertama, disebabkan oleh perlakuan dan pola
asuh dari orangtua sejak kecil. Kebiasaan memakai busana dan bermain bersama
anak perempuan menjadikan anak mengalami kebimbangan identitas. Kedua,
kecenderungan psikis menyimpang dari fitrah tidak mendapat pantauan dari
orangtua, sehingga anak mengembara mencari identitas dirinya sendiri. Ketiga,
kekerasan seksual yang terjadi karena disodomi oleh saudara laki-laki
menimbulkan gejolak kejiwaan. Hubungan seksual telah memengaruhi pola pikir
dan kejiwaan untuk merubah diri menjadi waria.
Kondisi dan Permasalahan Komunitas Waria Migran
Menurut Abdullah dan Faidah (2013), dulunya waria cenderung tertutup,
namun saat ini waria lebih terbuka mengenai identitas dirinya kepada masyarakat.
Komunitas waria migran berusaha untuk hidup normal bersama masyarakat, agar
waria mendapatkan pengakuan dari lingkungan sekitarnya. Walaupun tak jarang
masyarakat yang menganggap waria sebagai perusak moral masyarakat,
penghancur kehidupan keluarga, ataupun manusia tanpa harga diri (Abdullah dan
Faidah 2013). Kerap kali para waria dikonstruksi sebagai sampah masyarakat
karena norma sosial tidak bisa menerima kehadiran waria. Komunitas waria
migran yang merupakan salah satu contoh kaum transseksual, pada kenyataannya
memang belum dapat diterima seutuhnya. Mereka masih dipandang sebelah mata,
banyak diantara mereka yang mengalami diskriminasi atau penyingkiran dalam
lingkungannya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yuliani (2006) dalam
tulisannya, bahwa kaum transseksual di bagian dunia manapun umumnya
didiskriminasi dan tidak diakui hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, maupun
budayanya oleh negara. Padahal sebenarnya mereka memiliki hak yang sama
seperti manusia lainnya. Waria sering dipandang sebagai patologis, anomali, atau
abnormal. Berbicara mengenai patologi, Kartono (2003) dalam bukunya yang
berjudul Patologi Sosial menjelaskan bahwa patologi yaitu:
“...Semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas
lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup
rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal. Semua tingkah
laku yang melanggar atau memperkosa adat-istiadat masyarakat (dan adatistiadat tersebut diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama).

6

Situasi sosial yang dianggap oleh sebagian besar dari warga masyarakat
sebagai mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya, dan merugikan orang
banyak...” (Kartono 2003:1).

Mengacu pada penjelasan mengenai patologi, waria yang dipandang sebagai
patologis seharusnya dapat “disembuhkan” dengan adanya perbaikan-perbaikan
tingkah laku yang dianggap bertentangan atau melanggar kehendak masyarakat
pada umumnya, namun untuk melakukan perbaikan tentu sangat sulit bagi para
waria. Sebagai masyarakat normal, seharusnya kita dapat saling menghargai
kondisi yang terjadi pada diri komunitas waria migran. Karena pada kenyataannya
mereka ingin jati dirinya diakui, mereka butuh pekerjaan untuk menopang
hidupnya, butuh interaksi dengan masyarakat dalam aktivitas sosial, dan butuh
pengakuan dari masing-masing budaya.
Komunitas waria migran kerap kali menjadi sebuah persoalan dengan
berbagai kontradiksi di lingkungan masyarakat. Hal ini karena masyarakat pada
umumnya hanya mengetahui dua identitas gender sebagai struktur psikologis dari
dua jenis kelamin, yaitu maskulin bagi laki-laki, dan feminin bagi perempuan.
Berbagai kontradiksi yang terjadi mengakibatkan waria sering dihadapi dengan
kondisi konflik. Konflik yang terjadi tentu bersifat kompleksitas dan memiliki
dinamika. Menurut Eliana dan Colonne (2005), konflik yang dihadapi komunitas
waria terbagi menjadi dua, yaitu konflik dirinya dengan masyarakat
(interpersonal) dan konflik dalam dirinya sendiri (intrapersonal). Waria juga dapat
mengalami konflik psikologis. Hal ini dijelaskan oleh Nurhidayati (2010) bahwa
konflik psikologis dapat mengakibatkan waria mempresentasikan perilaku yang
jauh berbeda dengan laki-laki normal, tetapi tidak juga sebagai wanita normal.
Perilaku berbeda inilah yang menjadi salah satu faktor adanya diskriminasi
terhadap waria di kalangan masyarakat. Keberadaan mereka (komunitas waria)
kerap kali dianggap sebagai masalah dalam hal dimensi sosial, kultural, dan
keagamaan dalam sebuah masyarakat (Nurhidayati 2010).
Berbagai macam permasalahan yang dihadapi oleh komunitas waria migran
untuk tetap bertahan hidup di lingkungannya. Mustikawati et al. (2013) dalam
tulisannya menjelaskan mengenai masalah pokok komunitas waria, sebagai
berikut:
1. Masih banyaknya waria yang berprofesi sebagai PSK (Penjaja Seks
Komersial), sehingga menimbulkan stigma dalam masyarakat.
2. Masih sering waria yang mengalami perlakuan kasar terutama dari pihak
aparat (Satpol PP).
3. Masih sering terjadi diskriminasi terhadap waria dalam memperoleh lapangan
pekerjaan.
Definisi Pemimpin
Mengutip tulisan Soekanto (2009) yang menjelaskan bahwa pemimpin
merupakan seseorang yang mampu memengaruhi orang lain (pengikutnya atau
yang dipimpinnya), sehingga bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki
pemimpin tersebut. Kemampuan dan kepribadian merupakan dua hal penting yang
harus dimiliki seorang pemimpin untuk memengaruhi pengikutnya. Hal ini
diperkuat oleh Kiswanto (2010) yang menjelaskan bahwa pemimpin merupakan
sosok yang memiliki kemampuan dalam membimbing, mengelola, memerintah

7

dan memotivasi bawahannya, serta sosok yang memiliki kepribadian tegas,
berani, agresif, dan mengayomi. Apabila pemimpin memiliki kemampuan dan
kepribadian tersebut, maka pengikut atau bawahan yang dipimpin akan
menghormati dan patuh terhadap perintah serta tugas yang diberikan. Kemampuan
dan kepribadian dapat dilihat dari cara pemimpin melakukan komunikasi baik
langsung ataupun tidak langsung terhadap pengikutnya. Apabila komunikasi
berjalan dengan baik, maka akan meningkatkan kinerja pengikut/bawahan secara
kualitas maupun kuantitas. Hal ini diperkuat oleh Kiswanto (2010) yang
menyatakan bahwa kinerja karyawan dipengaruhi oleh kemampuan, kepribadian,
dan cara komunikasi pemimpin. Pada kehidupan sosial, terdapat berbagai macam
kelompok, komunitas, ataupun perusahaan yang masing-masing memiliki
pemimpin. Satiawan dan Sutanto (2000) menjelaskan bahwa seorang pemimpin
perusahaan merupakan sosok yang seharusnya dapat memberikan kepuasaan
kepada para pekerjanya untuk memperoleh tujuan yang diinginkan oleh
perusahaan.
Berlandaskan berbagai literatur, maka dapat disimpulkan bahwa pemimpin
adalah sosok yang mampu memengaruhi orang lain atau pengikutnya, dengan
kemampuan, kepribadian, dan cara komunikasi yang ia miliki. Kemampuan
pemimpin berupa membimbing, mengelola, memerintah, dan memotivasi
pengikutnya. Kepribadian pemimpin berupa tegas, berani, agresif, dan ayom
(mengayomi). Cara komunikasi pemimpin berupa komunikasi langsung dan tidak
langsung yang berjalan dengan baik.
Gaya Kepemimpinan
Kepemimpinan menjadi faktor penting dalam organisasi ataupun
perusahaan. Wahjosumidjo (1987) menjelaskan bahwa kepemimpinan efektif
akan menghasilkan efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan produktif, serta
memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam bekerja bagi seluruh
pegawainya, sehingga akan meningkatkan produktivitas dari perusahaan atau
organisasi tersebut. Pemimpin memiliki gaya kepemimpinan tersendiri yang
digunakan untuk memengaruhi perilaku pengikut atau bawahan agar tujuan yang
dikehendaki tercapai. Wahjosumidjo (1987) menjelaskan teori Likert bahwa
terdapat empat gaya kepemimpinan dalam proses pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah, berikut penjelasannya:
1. Gaya kepemimpinan direktif: Pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan berkaitan dengan seluruh pekerjaan menjadi tanggungjawab
pemimpin dan ia hanya memberikan perintah kepada bawahan untuk
melaksanakannya. Pemimpin menentukan semua standar bawahan dalam
menjalankan tugas. Pemimpin melakukan pengawasan kerja yang ketat.
Pemimpin memberikan ancaman dan hukuman kepada bawahan yang tidak
berhasil melaksanakan tugas-tugas yang telah ditentukan. Hubungan dengan
bawahan rendah, tidak memberikan motivasi kepada bawahan untuk dapat
mengembangkan dirinya secara optimal, karena pemimpin kurang percaya
terhadap kemampuan bawahan.
2. Gaya kepemimpinan konsultatif: Pengambilan keputusan dan pemecahan
masalah dilakukan oleh pemimpin setelah mendengarkan keluhan dari
bawahan. Pemimpin menentukan tujuan dan mengemukakan berbagai
ketentuan yang bersifat umum setelah melalui proses diskusi dan konsultasi

8

dengan para bawahan. Penghargaan dan hukuman diberikan kepada bawahan
dalam rangka memberikan motivasi kepada bawahan. Hubungan dengan
bawahan baik.
3. Gaya kepemimpinan partisipatif: Pemimpin dan bawahan sama-sama terlibat
dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah atau dengan kata lain
apabila pemimpin akan mengambil keputusan, dilakukan setelah adanya
saran dan pendapat dari bawahan. Pemimpin memberikan keleluasaan
bawahan untuk melaksanakan pekerjaan. Hubungan dengan bawahan terjalin
dengan baik dan dalam suasana yang penuh persahabatan serta saling
mempercayai. Motivasi yang diberikan kepada bawahan tidak hanya
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan ekonomis, melainkan juga
didasarkan atas pentingnya peranan bawahan dalam melaksanakan tugastugas organisasi.
4. Gaya kepemimpinan delegatif: Pemimpin mendiskusikan masalah-masalah
yang dihadapi dengan bawahan, selanjutnya mendelegasikan pengambilan
keputusan dan pemecahan masalah dengan bawahan. Bawahan mempunyai
hak untuk menentukan langkah-langkah bagaimana keputusan dilaksanakan
dan hubungan dengan bawahan rendah.
Pemimpin tidak selalu menerapkan satu gaya kepemimpinan dalam
menghadapi bawahannya. Perpaduan keempat gaya kepemimpinan dapat
digunakan sesuai dengan kondisi yang sedang terjadi supaya motivasi karyawan
tetap terjaga dengan baik saat bekerja. Satiawan dan Sutanto (2000) juga
menjelaskan mengenai gaya kepemimpinan yang dikembangkan oleh Rensis
Likert, sebagai berikut:
1. Otoritatif dan eksploitif: Semua keputusan yang berhubungan dengan
pekerjaan dan memerintah para bawahan dilakukan oleh pemimpin. Standar
dan metode pelaksanaan juga secara kaku ditetapkan oleh pemimpin.
2. Otoritatif dan benevolent: Pemimpin tetap menentukan perintah-perintah,
tetapi memberi bawahan kebebasan untuk memberikan komentar terhadap
perintah-perintah tersebut. Bawahan juga diberi berbagai fleksibilitas untuk
melaksanakan tugas-tugas mereka dalam batas dan prosedur yang telah
ditetapkan.
3. Konsultatif: Pemimpin menetapkan tujuan-tujuan dan memberikan perintah
setelah hal-hal itu didiskusikan dahulu dengan bawahan. Bawahan dapat
membuat keputusan mengenai pelaksanaan tugas. Penghargaan lebih
digunakan untuk memotivasi bawahan daripada ancaman hukuman.
4. Partisipatif: Sistem yang paling ideal, tujuan dan keputusan kerja dibuat oleh
kelompok. Pemimpin secara formal membuat keputusan, dimana keputusan
tersebut merupakan pertimbangan saran dan pendapat dari para anggota
kelompok. Pemimpin tidak hanya memberikan penghargaan tetapi juga
memberikan hal yang dibutuhkan dan penting bagi karyawannya.
Hasil dari berbagai literatur menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan dapat
diidentifikasi melalui dua sudut pandang. Pertama, Wahjosumidjo (1987) yang
menjelaskan empat gaya kepemimpinan dalam proses pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah, yaitu: gaya kepemimpinan direktif, konsultatif, partisipatif,
dan delegatif. Kedua, Satiawan dan Sutanto (2000) menjelaskan empat gaya
kepemimpinan yang dikembangkan oleh Rensis Likert, yaitu: otoritatif dan
eksploitif, otoritatif dan benevolent, konsultatif, dan partisipatif. Penulisan skripsi

9

ini menggunakan konsep Wahjosumidjo (1987) yaitu: gaya kepemimpinan
direktif, konsultatif, partisipatif, dan delegatif. Gaya kepemimpinan digunakan
sebagai salah satu indikator untuk mengukur variabel tingkat kepemimpinan.
Produktivitas
Pada suatu organisasi, produktivitas adalah hasil dari anggota organisasi
berupa barang atau jasa. Kamuli (2012) dalam tulisannya menjelaskan bahwa
produktivitas selalu diarahkan dalam hal melakukan atau memanfaatkan sesuatu
agar mencerminkan prinsip efektivitas dan efisiensi. Efisiensi apabila yang
dilakukan mempertimbangkan aspek biaya, sarana prasarana, sumber daya
(manusia dan material), dan waktu sehemat mungkin. Efektif bila pemanfaatan
berbagai aspek tersebut tepat sasaran atau mencapai tujuan yang diinginkan.
Artinya, produktivitas merupakan pendayagunaan sumber daya manusia secara
efektif dan efisien, ketepatan atau kesesuaian penggunaan metode, atau cara kerja
dibandingkan dengan alat dan waktu yang tersedia dalam rangka mencapai tujuan.
Produktivitas adalah penilaian secara sistematis terhadap individu atau kelompok
yang berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan dalam suatu pekerjaan/kegiatan
(Almigo 2004).
Produktivitas kerap kali mengalami penurunan karena adanya permasalahan
dalam bekerja. Permasalahan produktivitas merupakan suatu indikasi bahwa
peranan kepemimpinan dan manajemen sebagai pengelola sumber daya manusia
diperlukan (Almigo 2004). Permasalahan yang kerap terjadi yaitu pemimpin
terkadang memberikan penilaian kerja yang sering mengikuti unsur subyektivitas.
Hal ini akan berdampak pada buruknya pengelolaan sumber daya manusia,
akibatnya suatu organisasi akan mengalami kesulitan dalam meningkatkan kinerja
dan produktivitas menurun. Hal yang terlebih penting perlu diperhatikan adalah
produktivitas sumber daya manusia. Menurut Kamuli (2012), produktivitas
sumber daya manusia dapat dilihat dari berbagai perolehan, berikut
penjelasannya:
1. Pendapatan yaitu hasil kinerja setelah seseorang menyelesaikan pekerjaannya.
Macam-macam pendapatan antara lain adalah uang, barang, pujian, atau
kepuasan.
2. Pendidikan yaitu kemampuan seseorang dalam melaksanakan pendidikan
formal ataupun non-formal. Pendidikan formal berupa SD, SMP, SMA, D3,
S1, dst. Pendidikan non formal berupa pesantren atau kursus/pelatihan.
3. Kesehatan yaitu kemampuan seseorang memelihara dirinya sedini mungkin
dari serangan penyakit-penyakit, dan kemampuan hidup bersih dengan
menjaga lingkungan, serta hidup sehat dengan menjaga pola makan.
4. Kebutuhan hidup pokok yaitu kemampuan seseorang dalam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari yang penting dimiliki setiap manusia berupa
sandang (pakaian), pangan (makanan), papan (rumah/tempat tinggal), dan
pengakuan dari masyarakat.
Mengacu dari berbagai literatur, dapat disimpulkan bahwa produktivitas
adalah hasil kerja seseorang berupa barang atau jasa dengan menggunakan prinsip
efektivitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan. Artinya, seseorang dikatakan
produktif apabila ia telah menghasilkan suatu barang atau jasa dan memiliki
kemampuan yang lebih. Produktivitas sumber daya manusia dapat dilihat dari

10

kemampuannya dalam memeroleh pendapatan, melaksanakan pendidikan,
memelihara kesehatan, dan memenuhi kebutuhan hidup pokok.
Kegiatan Produktif Komunitas Waria Migran
Kegiatan produktif adalah segala aktivitas yang dapat meningkatkan
produktivitas sumber daya manusia, dalam hal ini adalah komunitas waria migran.
Mengutip tulisan Kamuli (2012) bahwa produktivitas sumber daya manusia dapat
dilihat dari perolehan pendapatan, pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan
kebutuhan hidup pokok. Beberapa kegiatan yang dapat meningkatkan
produktivitas adalah bekerja, melaksanakan pendidikan, sosialisasi dengan
masyarakat, memerhatikan lingkungan tempat tinggal, dan hidup bersih.
Berdasarkan kegiatan-kegiatan tersebut diatas, kegiatan yang dianggap paling
mampu meningkatkan produktivitas adalah bekerja. Permasalahan yang dihadapi
waria salah satunya adalah sulit mendapat pekerjaan. Hal ini sesuai dengan
penjelasan Mustikawati et al. (2013) yang mengatakan bahwa sebagian besar
perusahaan formal ataupun masyarakat yang memiliki usaha tidak mau
memberikan pekerjaan kepada waria, penolakan ini menimbulkan masalah sosial
di kalangan mereka.
Sulitnya waria mendapatkan pekerjaan menjadi fokus untuk melakukan
kegiatan produktif bagi komunitas waria migran, berikut penjelasannya:
1. Menurut Mustikawati et al. (2013), kegiatan pemberdayaan ekonomi berbasis
masyarakat melalui life skill education bagi komunitas waria migran.
Pemberdayaan ini dilakukan agar waria memiliki: 1. Keterampilan dan jiwa
kewirausahaan sehingga mampu mengembangkan diri dan berkarya untuk
mendapatkan tambahan penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya; 2.
Memiliki pengetahuan dan keterampilan serta sikap kemandirian dalam
berwirausaha sesuai dengan kebutuhan pasar; 3. Memiliki motivasi dan etos
kerja yang tinggi dalam menjalankan kegiatan kewirausahaan. Pemberdayaan
ekonomi melalui life skill education layak dilakukan sebagai usaha bagi
komunitas waria migran. Kegiatan ini dapat dikatakan sebagai salah satu
kegiatan produktif bagi komunitas waria migran. Seiring berjalannya kegiatan
pemberdayaan ekonomi ini, mulai terlihat bahwa wirausaha yang banyak
digemari oleh waria adalah tata boga dan tata rias. Pemberdayaan ekonomi
komunitas waria melalui life skill education berpengaruh positif terhadap
peningkatan semangat kewirausahaan dan peningkatan kemampuan/
keterampilan waria. Kegiatan pemberdayaan seperti ini mampu membantu
komunitas waria mendapatkan sumber penghasilan yang halal dengan
berwirausaha, walaupun usaha yang dilakukan memerlukan proses yang
cukup lama dengan hasil yang tidak terlalu tinggi, setidaknya dengan
kegiatan ini komunitas waria mendapatkan langkah awal dalam memerbaiki
pekerjaannya.
2. Menurut Abdullah dan Faidah (2013), kegiatan produktif bagi komunitas
waria migran adalah kegiatan keagamaan, seperti: pengajian dan
pembentukan kelompok sholawat yang dilaksanakan bersama masyarakat
sekitar. Pengajian dan kelompok sholawat ini akan menciptakan interaksi
antara waria dengan masyarakat, sehingga waria dapat diterima di
lingkungannya.

11

3.

Menurut Abdullah dan Faidah (2013), kegiatan bakti sosial bagi komunitas
waria migran seperti santunan anak yatim piatu, sumbangan bagi korban
bencana, dan kegiatan gotong royong bersama masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis pustaka yang dilakukan, kegiatan produktif bagi
komunitas waria migran terdiri atas: pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat
melalui life skill education, kegiatan keagamaan dan kegiatan bakti sosial.
Pembangunan Desa
Menurut UU No. 06 Tahun 2014 tentang Desa, pembangunan desa diartikan
sebagai upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat desa. Pembangunan desa juga bertujuan untuk
menanggulangi kemiskinan melalui:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar
2. Pembangunan sarana dan prasarana desa
3. Pengembangan potensi ekonomi lokal
4. Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Pembangunan desa di Indonesia, sebagaimana yang disampaikan Aenilah et
al. (2013), awalnya menggunakan istilah pembangunan masyarakat yang diartikan
sebagai suatu proses dan metode program kelembagaan dan gerakan yang
mencakup mengikutsertakan masyarakat sebagai basis dalam menanggulangi
masalah-masalah yang dihadapi bersama, mendidik dan melatih masyarakat
dalam proses demokrasi untuk mengatasi masalah secara bersama, dan
mengaktifkan kelembagaan serta menyediakan fasilitas untuk transfer teknologi
pada masyarakat.
Pembangunan desa dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan. Pembangunan desa mengedepankan kebersamaan,
kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan perdamaian dan keadilan
sosial (UU No. 06 Tahun 2014). Perencanaan program atau kegiatan guna
pembangunan desa mengikutsertakan masyarakat desa, dalam hal ini masyarakat
yang dilibatkan adalah masyarakat Desa Jagalan. Penyusunan perencanaan
program atau kegiatan ini disusun dengan adanya musyawarah antar pemerintah
desa dengan masyarakat. Musyawarah dilaksanakan untuk menetapkan prioritas,
program, kegiatan, dan kebutuhan pembangunan desa berdasarkan penilaian
terhadap kebutuhan masyarakat desa yang meliputi peningkatan kualitas dan
akses terhadap pelayanan dasar, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan
lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumberdaya lokal yang tersedia,
pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif, pengembangan dan
pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi, dan peningkatan
kualitas ketertiban dan ketentraman masyarakat desa berdasarkan kebutuhan
masyarakat desa (UU No. 06 Tahun 2014). Keseluruhan pembangunan desa
dilaksanakan oleh pemerintah desa dengan melibatkan seluruh masyarakat desa
dengan semangat gotongroyong.
Kesejahteraan sosial juga menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan
dalam kehidupan masyarakat. Kesejahteraan sosial akan diulas dalam UU No. 11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Kesejahteraan sosial juga mengulas
mengenai penanggulangan kemiskinan yang tidak jauh berbeda dengan
penanggulangan kemiskinan di pembangunan desa.

12

Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material,
spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Pelaku
penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah individu, kelompok, lembaga
kesejahteraan sosial, dan masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial. Salah satu upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial adalah
dengan adanya pemberdayaan sosial. Pemberdayaan sosial merupakan semua
upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah
sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (UU
No.11 Tahun 2009).
UU No. 11 Tahun 2009 pada pasal 12 menjelaskan bahwa pemberdayaan
sosial dimaksudkan untuk memberdayakan seseorang, keluarga, kelompok, dan
masyarakat sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri dan
meningkatkan peran serta lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan
sumber daya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Pemberdayaan sosial
dapat dilakukan melalui: peningkatan kemauan dan kemampuan; penggalian
potensi dan sumber daya; penggalian nilai-nilai dasar; pemberian akses; dan
pemberian bantuan usaha. Pemberdayaan sosial dilakukan dalam bentuk:
diagnosis dan pemberian motivasi; pelatihan keterampilan; pendampingan;
pemberian stimulan modal, peralatan usaha, dan tempat usaha; peningkatan akses
pemasaran hasil usaha; supervisi dan advokasi sosial; penguatan keserasian sosial;
penataan lingkungan; dan bimbingan lanjut.
Kesejahteraan sosial juga membahas mengenai penanggulangan
kemiskinan. Pada UU No 11. Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Bab IV
dijelaskan bahwa penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan, program,
dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok dan/atau
masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan
tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan. Penanggulangan
kemiskinan ditujukan untuk: meningkatkan kapasitas dan mengembangkan
kemampuan dasar serta kemampuan berusaha masyarakat miskin; memperkuat
peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang
menjamin penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar;
mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang
memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya
dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara
berkelanjutan; dan memberikan rasa aman bagi kelompok masyarakat miskin dan
rentan.
Penanggulangan kemiskinan dilaksanakan dalam bentuk: penyuluhan dan
bimbingan sosial; pelayanan sosial; penyediaan akses kesempatan kerja dan
berusaha; penyediaan akses pelayanan pendidikan dasar; penyediaan akses
pelayanan perumahan dan pemukiman; dan/atau penyediaan akses pelatihan,
modal usaha, dan pemasaran hasil usaha. Pelaksanaan penanggulangan
kemiskinan dalam UU Tentang Kesejahteraan Sosial tidak jauh berbeda dengan
UU Tentang Pembangunan Desa. Pelaksanaan penanggulangan kemiskinan dalam
penelitian ditujukan untuk komunitas waria migran yang menjadi anggota di
Pesantren Waria Al-Fatah.

13

Kerangka Pemikiran
Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi pengaruh tingkat
kepemimpinan (tingkat kemampuan, tingkat kepribadian, dan gaya
kepemimpinan) terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran di
Pesantren Waria Al-Fatah; (2) menganalisis pengaruh tingkat produktivitas
komunitas waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan
Desa Jagalan; dan (3) menganalisis pengaruh tingkat produktivitas komunitas
waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan desa asal.
Menurut Soekanto (2009) pemimpin adalah seseorang yang mampu memengaruhi
pengikutnya untuk bertingkah laku sesuai kehendak pemimpin. Untuk itu, peran
pemimpin sangat penting dalam meningkatkan produktivitas komunitas waria
migran. Peran pemimpin dalam penelitian ini dilihat dari tingkat kepemimpinan
yang diukur dari tingkat kemampuan, tingkat kepribadian, dan gaya
kepemimpinan.
Tingkat kepemimpinan memengaruhi tingkat produktivitas komunitas waria
migran. Tingkat produktivitas diukur dari perolehan pendapatan, pemenuhan
kebutuhan hidup pokok, pemeliharaan kesehatan, dan peningkatan pendidikan
(Kamuli 2012). Tingkat produktivitas didukung oleh berbagai jenis kegiatan
produktif yang diukur secara kualitatif. Kegiatan tersebut mencakup
pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat melalui life skill education
(Mustikawati et al. 2013), kegiatan keagamaan dan kegiatan bakti sosial
(Abdullah dan Faidah 2013).
Tingkat produktivitas komunitas waria migran memengaruhi tingkat
peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan dan desa asal waria. Tingkat
peranan waria dalam pembangunan desa diukur dari pemenuhan kebutuhan dasar
rumah tangga, pembangunan sarana dan prasarana desa, mengembangkan potensi
ekonomi lokal, dan memanfaatkan sumber daya lokal berkelanjutan (UU No. 06
Tahun 2014). Kerangka analisis ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan saling
memengaruhi antar variabel.
Tingkat kepemimpinan

Tingkat produktivitas komunitas
waria migran (Y1)

 Tingkat kemampuan (X1)
 Tingkat kepribadian (X2)
 Gaya kepemimpinan (X3)
Jenis kegiatan
produktif
komunitas waria
migran

 Tingkat peranan waria
dalam pembangunan Desa
Jagalan (Y2.1)
 Tingkat peranan waria
dalam pembangunan desa
asal (Y2.2)

Keterangan :
: Memengaruhi
: Memengaruhi tapi tidak diukur

Gambar 1 Kerangka berfikir

14

Hipotesis
1.

2.
3.

Diduga terdapat pengaruh antara tingkat kepemimpinan (tingkat kemampuan,
tingkat kepribadian, dan gaya kepemimpinan) terhadap tingkat produktivitas
komunitas waria migran.
D