Negosiasi Hak atas Tempat Tinggal Melalui Pengelolaan Kampung Kumuh di Kota Malang
5.Negosiasi Hak atas Tempat Tinggal Melalui Pengelolaan Kampung Kumuh di Kota Malang
Malang menjadi salah satu kota yang masih berupaya untuk memperbaiki dan membenahi permukiman informal atau kumuh. Dari data yang diperoleh berdasarkan Surat Keputusan Walikota Malang Nomor 188.45/86/35.73.112/2015 tahun 2015 adalah 608.6 Ha. Jika dibandingkan dengan keseluruhan luas wilayah Kota Malang (11,606 Ha), maka luas wilayah kumuh Kota Malang adalah 5.53 %( http://dpupr.malangkota.go.id/menuju-malang-kotaku-kota- tanpa-kumuh/ ). Di Kota Malang, dari total 57 kelurahan setengah diantaranya yaitu masih terdapat
29 kelurahan masuk dalam kategori permukiman kumuh. Kelurahan tersebut itu antara lain ada di Kelurahan Jodipan, Polehan, Sukun, Kota Lama, Tulusrejo, Ciptomulyo, dan Bandulan ( http://suryamalang.tribunnews.com )
Di antara kampung-kampung kumuh tersebut berlokasi di kawasan yang dekat dengan area DAS sungai di sekitar Kota Malang. Hal ini menambah posisi warga kampung kumuh menjadi lebih riskan untuk pindahkan, karena ada larangan untuk mendirikan bangunan di sempadan sungai. Menurut Peraturan Pemerintah No 38/2011 tentang Sungai, pasal 17 dan pasal 22 menegaskan bahwa jarak 10-15 m dari tepi sungai dilarang untuk dibangun permukiman sebagai bentuk perlindungan sempadan sungai (http://p2t.jatimprov.go.id). Lebih lanjut, Perda Kota Malang No.4 Tahun 2011 tentang rencana tata ruang wilayah Kota Malang dalam pasal 48 menegaskan bahwa penataan permukiman lingkungan di bantaran Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, Sungai Metro, Sungai Amprong dengan secara bertahap memindahkan bangunan pada wilayah sempadan sungai yang dinyatakan sebagai daerah yang rawan bencana, ke sub wilayah Malang Timur dan Tenggara, mengadakan penataan lingkungan permukiman atau peremajaan lingkungan permukiman dengan pola membangun tanpa menggusur terhadap kawasan permukiman yang tidak dinyatakan sebagai kawasan rawan bencana, meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dengan pola penghijauan kota terhadap kawasan permukiman yang berada di wilayah luar dari sempadan sungai ( http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/ ).
Meskipun berada pada kawasan yang dianggap ilegal dan ada kemungkinan untuk direlokasi ada beberapa kelompok warga kampung kumuh yang mencoba mendefinisikan ulang kampungnya. Sebagai contoh, warga yang tinggal di kawasan Kampung Jodipan yang terletak di pinggir Sungai Brantas. Warga tersebut telah berulang kali mendapatkan informasi bahwa kampungnya akan digusur oleh pemerintah Kota Malang. Baik melalui media maupun datangnya perwakilan aparat pemerintah untuk melakukan survey awal pemindahan kampung. Menurut para warga, ancaman penggusuran Kampung Jodipan adalah sebuah isu yang memang sudah diwacanakan sejak lama oleh pemerintah. Sebelum kepemimpinan Abah Anton (Walikota Malang saat ini) wacana penggusuran itu sudah ada, seperti yang dikatakan oleh Mas Yaris dan Bu Yani:
“ Bolak-balik melebu koran, mau digusur, kumuh opo wes itungane elek. Mek ini teko sana tanah irigasi maksute gurung onok surat-surate termasuk omahku iki irigasi, wes ngono tok diukur-ukur tok, terus pindah walikotane yo ngono wacana tok, kalo sampe digusur yo sini nentang”(Wawancara dengan Mas Yaris, 25/5/2017)
“iya mas dulu sempat mau digusur, katanya kita udah disiapkan rusun, disini mau dibuat homestay katanya kan mau dijadiin tempat wisata tapi ya kita warga gak mau kan udah lama juga tinggal disini, lebih enak disini mas kita wes kerasan” jelas Bu Ana (Wawancara dengan Bu Yani, 4/4/2017).
Di tengah upaya pemerintah yang ingin mengatasi permukiman kumuh di sekitar sempadan sungai, masyarakat Kampung Jodipan kedatangan sekelompok mahasiswa yang berinisiatif untuk merubah keadaan sekitar di kampung tersebut menjadi lebih baik. Mereka adalah kelompok mahasiswa Gusypro (Guys of Public Relation) Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah yang ditugaskan untuk membuat sebuah kegiatan (event) dengan kerja sama bersama real client. Menurut hasil diskusi dengan dosen pembimbing praktikum, alasan pemilihan perusahaan tersebut didasari atas beberapa hal. Pertama PT. Indana
SERI STUDI KEBUDAYAAN 1: “PLURALISME, MULTIKULTURALISME, DAN BATAS-BATAS TOLERANSI”
merupakan perusahaan yang berasal dari Kota Malang dan merupakan salah satu perusahaan besar. Namun perusahaan itu belum cukup dikenal di wilayah Kota Malang. Dengan kerjasama antara mahasiswa dan CSR perusahaan tercetuslah kegiatan pewarnaan Kampung Jodipan. Lokasi Kampung Jodipan dipilih karena memiliki lansekap yang menarik bila dilihat dari jembatan Sungai Brantas dan wilayah tersebut memiliki sebuah lapangan yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai tempat dilaksanakannya sebuah event. Selain itu, kelompok ini memiliki tujuan untuk melakukan proses inisiasi dalam pengelolaan permukiman kumuh.
Masyarakat Kampung Jodipan sebagai pihak yang menerima kegiatan CSR tidaklah menjadi pihak yang pasif. Mereka memiliki peran dan juga daya tawar untuk mewujudkan kegiatan pengecatan ini. Sebagai warga yang dianggap tinggal di kawasan kumuh, masyarakat Jodipan berupaya untuk secara swadaya memperbaikai fasilitas di lingkungannya, termasuk di dalamnya ruang terbuka yang juga berfungsi sebagai lapangan bulu tangkis. Meskipun kelompok mahasiswa memilih kawasan Jodipan secara acak, tetapi unsur fasilitas umum yaitu ruang terbuka menjadi indikator lain terpilihnya kampung jodipan sebagai tempat pelaksanaan event. Perwakilan masyarakat Jodipan yang diwakili oleh Ketua RW juga mampu mengubah rencana awal pengecatan yang akan dilakukan pada lingkup satu RT menjadi tiga RT. Permintaan ini merupakan syarat yang diajukan oleh Ketua RW kepada pihak yang mengintervensi (Guyspro dan PT. Indana) landscape Kampung Jodipan. Dengan pengecatan yang dilakukan dalam skala yang lebih besar Kampung Jodipan memiliki daya tarik untuk wisatawan.
Meskipun kegiatan pengecatan ini belum selesai dilaksanakan banyak orang yang sudah berkunjung ke kampung Jodipan. Program pengecatan Kampung Jodipan harus sedikit tertunda, karena pada saat proses pengecatan sudah terselesaikan sekitar 50% harus terbentur oleh waktu yang berdekatan dengan Hari Raya Idul Fitri tahun 2016. Hal tersebut mengharuskan proses pengecatan untuk dihentikan sejenak selama satu minggu. Ketika program pengecatan tersebut belum terselesaikan sepenuhnya, beberapa orang mulai berdatangan mengunjungi Kampung Jodipan. Orang-orang tersebut tertarik akan beragam warna pada dinding dan atap rumah warga di Kampung Jodipan yang terlihat dari Jembatan Sungai Brantas. Salah satu yang membuat kampung ini mulai didatangi adalah munculnya foto-foto kampung warna-warni yang tersebar di beberapa media sosial. Setelah sempat terhenti, proses pengecatan Kampung Jodipan kembali dilakukan dengan total waktu kurang lebih sekitar 3 bulan.
Event peresmian pada Bulan Agustus menjadi tonggak awal pengakuan Kampung Jodipan sebagai Kampung Tematik dan tujuan wisata. Dalam kegiatan ini pihak Guyspro dan PT. Indana mengundang stake holder terkait untuk menyaksikan hasil akhir kegiatan pengecatan atas kerja sama yang dirajut oleh sektor privat dan perguruan tinggi. Kehadiran aparat Pemerintah kota Malang yang dihadiri langsung oleh Walikota Anton memperlihatkan ada lampu hijau dari pemerintah untuk mengakui keberadaan kampung yang dulu dianggap kumuh. Walikota pun angkat bicara terkait dengan isu normalisasi permukiman di sungai Brantas bahwa Kampung Jodipan tidak akan digusur karena permukiman ini telah ditata menjadi lebih baik. Seperti yang dipaparkan ketua RW 2, “Iya dulu sempat mau digusur mas tapi waktu peresmian Kampung Warna-warni Abah Anton sendiri yang bilang kalo disini ga akan digusur” (Wawancara, 11/4/2017).
Kampung Jodipan saat ini dianggap sebagai aset wisata oleh Pemkot Malang. Walikota Malang berambisi untuk memperkenalkan Kampung Jodipan sebagai ikon baru Kota Malang dan beliau berencana mengundang Walikota Se-Indonesia pada tahun 2017. Wakil Walikota Malang, juga memberi tanggapan tentang berubahnya Kampung Jodipan, “Ini sudah jadi program. Bagus kalau sudah diinisiasi para mahasiswa dengan bantuan CSR (Corporate Social Responsibility). Mudah-mudahan, tren pembenahan ini akan menjadi viral yang kemudian meningkatkan kesadaran
wilayah masing-masing”, suryamalang.tribunnews.com). Meskipun pada saat ini belum ada pihak pemerintah yang
M Ismanto & I Martias ~ Kewargaan Multikultural dan Cultural Politics
menyatakan secara jelas tentang perubahan status kumuh di Kampung Jodipan, namun Tedy Soemarna dari pihak DPKP Kota Malang secara tidak langsung mangatakan, “fisiknya yang berubah (Kampung Jodipan), tingkat ekonominya meningkat, karena apa, karena jadi kampung wisata” (Wawancara, 13/6/2017).
Saat ini pemerintah memberikan dukungan dengan Membangun infrastruktur yang mendukung pengembangan kampung wisata di Jodipan. Kegiatan tersebut antara lain membangun taman serta mendirikan jembatan berbahan kaca yang menghubungkan dua kampung yang terletak di pinggir Brantas. Meskipun terkesan tidak konsisten dengan kebijakan yang diterapkan serta tidak memberikan kepastian legalitas wilayah permukiman, kehadiran Pemerintah Kota Malang memberi peluang kepada masyarakat Jodipan untuk mendapat hak warga negara untuk memiliki tempat tinggal meskipun berada di kawasan zona abu-abu.