Al Ma’soem
1. Al Ma’soem
Kalau kita pergi ke Bandung, coba perhatikan dengan seksama pernahkan kita membaca plang Al Ma’soem?
Lebih jelas lagi ketika kita sudah di ujung jalan tol padaleunyi atau di daerah cileunyi sampai ke Rancaekek, kita akan sering membaca plang Al Ma’soem baik itu apotek, pom bensin, sekolah dari mulai SD, SMP, SMA sampai dengan AKBID, perusahaan LPG, bahkan air minum kemasan sekalipun ada.
TENTU kita bertanya, sejak kapan dan bagaimanakah keluarga Ma’soem bisa sukses mengelola bisnisnya? Dari sejumlah narasumber “PR”, terungkapkan H. A. Ma’soem merintis TENTU kita bertanya, sejak kapan dan bagaimanakah keluarga Ma’soem bisa sukses mengelola bisnisnya? Dari sejumlah narasumber “PR”, terungkapkan H. A. Ma’soem merintis
H. Ma’soem memulai usaha tersebut dari beternak bebek dan membuka usaha toko kelontongan. Dari toko itulah, usaha jual beli bahan bakar minyak (BBM) PT Ma’soem bermula. Di situ pula dengan bermodal dua tangki,
H. Ma’soem mulai berdagang minyak tanah.
Nasib usaha ini sangat baik, karena permintaan minyak tanah ke tokonya berkembang pesat. Semula hanya penjaja, H. Ma’soem kemudian menjadi agen yang dipercaya membeli langsung ke BPM (Baatafache Petro-leum Mijhn) atau kini dikenal sebagai Pertamina. Usahanya H. Ma’soem berkembang hingga pada 1958.
Selanjutnya, H. Ma’soem mendirikan SPBU pertamanya di daerah Dangdeur Rancaekek Bandung pada ta-hun 1963, H. Ma’soem dipercaya mengangkut solar dan minyak diesel untuk keperluan projek PLTA Jati-luhur dan pabrik-pabrik Selanjutnya, H. Ma’soem mendirikan SPBU pertamanya di daerah Dangdeur Rancaekek Bandung pada ta-hun 1963, H. Ma’soem dipercaya mengangkut solar dan minyak diesel untuk keperluan projek PLTA Jati-luhur dan pabrik-pabrik
Tidak semua ekspansi usahanya berjalan mulus. Pada 1964 misalnya, H. Ma’soem merambah bisnis tekstil yang memproduksi kain sarung, namun kurang berkembang baik. Selain itu, ia juga membuka usaha jual beli kendaraan ke Singapura dan Hong Kong. Usaha tersebut gagal dan ditutup. Meski gagal, H. Ma’soem pantang menyerah.
Dia membangun pabrik es di daerah Jawa barat, dari Limbangan, Rancaekek, Jatiwangi, hingga Cikajang dan Padalarang. Ia juga mendirikan toko sepatu di Cirebon dan Alun-alun Kota Bandung. Semua ini gagal dan ditutup, kecuali pabrik es yang ada di Dangdeur Rancaekek.
Pendamping setia
Tatkala masih hidup, H. Ma’soem sempat menuturkan kepada “PR” perihal kesetiaan istrinya mendampingi bisnisnya. “Ibu (begitu menyebut istrinya -red.) setia mendampingi saya. Saat sukacita maupun dukacita ketika berusaha dagang ini,” tutur H. Ma’soem saat itu.
Demikian halnya saat masih hidup, Hj. Siti Aisyah pun sempat menuturkan perannya kepada “PR”. Dikemukakannya, ”Ibu mah sekadar ketitipan karunia dari Allah SWT., antara lain anak-anak. Ibu membesarkan anak -anak dan bantu-bantu sedikit apa yang bisa Ibu lakukan ketika Bapak dagang.”
Sungguh, pernyataan sederhana dari pasangan suami istri inilah, rupa-rupanya yang patut dicermati tatkala menelaah kesuksesan bisnis Grup Ma’soem.
Di dalam Grup Ma’soem, almarhum Hj. Siti Aisyah Ma’soem (79) sempat diamanahkan sebagai Komisaris Utama PT Ma’soem, Ketua Pembina Yayasan Pendidikan Al Ma’soem, anggota Dewan Syariah BPRS PNM Al Ma’soem.
Siti Aisyah wafat di Paviliun Parahyangan RSHS Bandung, hari Jumat 9 November 2007 atau bertepatan dengan 28 Syawal 1428 H pukul 9.20 WIB. Jenazahnya dimakamkan pada sore harinya pukul 15.20 WIB di pemakaman keluarga Ma’soem di Dangdeur Rancaekek. Almarhumah selain Siti Aisyah wafat di Paviliun Parahyangan RSHS Bandung, hari Jumat 9 November 2007 atau bertepatan dengan 28 Syawal 1428 H pukul 9.20 WIB. Jenazahnya dimakamkan pada sore harinya pukul 15.20 WIB di pemakaman keluarga Ma’soem di Dangdeur Rancaekek. Almarhumah selain
Ihwal peran Siti Aisyah dalam perkembangan usaha H. Ma’soem dituturkan oleh Prof. K.H. A. Mansur Suryanegara, Drs, M.B.A., Ph.D. (sejarawan). Dikemukakannya, di masa hidupnya Ibu Hj. Siti Aisyah tidak pernah meminta istana yang mewah, emas berlian yang melimpah kepada suaminya.
Almarhumah Siti Aisyah, ungkap Ahmad Mansur, hanya meminta tempat tinggal yang sederhana, tepatnya di Dangdeur-Rancaekek Bandung. Akan tetapi, bisa kita lihat sekarang, Yayasan Pendidikan Al Ma’soem yang berdiri megah yang banyak menghasilkan siswa siswi dan mahasiswa yang berprestasi serta berahlaqul karimah. Usahanya, ternyata menyerap banyak tenaga kerja baik di lingkungan Rancaekek maupun wilayah lain di Jawa Barat.
“Usaha H. Ma’soem dan istrinya tercatat dalam sejarah sebagai tokoh pengusaha yang sukses membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Ya, itulah buah dari kesederhanaan dan pandai mengelola kekayaan milik keluarga,” kata Ahmad Mansur saat ditemui pers di tengah-tengah acara pemakaman almarhumah Hj. Siti Aisyah, baru-baru ini.
Hal senada dikemukakan Nanang Iskandar,”Saya ingat kata-kata dari almarhum Bapak H. Ma’soem kepada putra putrinya. Beliau bilang, mun tea mah urang ayeuna boga rajakaya, eta teh lantaran Ema bisa ngaturna kalawan hemat, kukumpul rejeki saeutik-saeutik, tepi ka ahirna ngagunduk kawas ayeuna (kalaulah kita punya kekayaan, tidak lain karena Ema/ibu Hj. Siti Aisyah) mampu mengatur melalui cara berhemat, menghimpun rezeki sedikit demi sedikit, sehingga bisa terkumpul seperti sekarang ini). Itulah yang dikatakan ayah saya kepada anak-anaknya.”
Selain itu, menurut Nanang, ayahnya menganggap ibu sebagai mitra hidup yang sama-sama punya kewajiban dengan peran masing-masing. Tugas suami dan istri dalam kehidupan berumah tangga sering diibaratkannya dengan bermain ganda pada bulu tangkis. Antara pemain yang satu dan kawan Selain itu, menurut Nanang, ayahnya menganggap ibu sebagai mitra hidup yang sama-sama punya kewajiban dengan peran masing-masing. Tugas suami dan istri dalam kehidupan berumah tangga sering diibaratkannya dengan bermain ganda pada bulu tangkis. Antara pemain yang satu dan kawan
“Ibu Hj. Siti Aisyah Ma’soem ibarat pabeasan (lumbung padi) ucap ayah saya. Hal tersebut mengandung makna bahwa istri harus pandai- pandai menyimpan serta mengelola kekayaan milik keluarga. Bagaimana caranya agar tidak terhambur-hamburkan, sehingga tidak terjadi defisit,” kata Nanang.
Almarhumah Siti Aisyah — yang kelahiran Tasikmalaya 11 April 1928 — ini adalah anak dari pasangan K.H. Masduki dan Hj. Sa’adah. Siti Aisyah lahir di lingkungan pesantren dan hal itu berdampak pada kepribadi-annya. Siti Aisyah setia menemani suaminya selama 58 tahun. Dari pernikahannya dengan H. Masoem, Siti Aisyah memperoleh titipan dari-Nya berupa 9 anak. Mereka itu adalah H. Nanang Iskandar Ma’soem, S.E., M.S., Hj. Erna Nuriah Ma’soem (almarhumah),
H. Koko Tahkik Ma’soem., Hj. Elli Rosmini Ma’soem., H. Entang Rosadi Ma’soem, S.H, M.H., Hj. Imas Dedah Ma’soem., Dr. H. Dadang Mohammad Ma’soem, Ir., M.Sc.E., H. Ceppy
Nasahi Ma’soem, Ir., M.S., dan Hj. Yuyun Yuhana Ma’soem, S.H. (Achamd Setiyaji/”PR”)***