Untuk mewujudkan suatu putusan yang memenuhi rasa keadilan, kebenaran dan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Berdasarkan Penjelasan Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 2004

menerapkan dan menegakkan hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang- undangan. Dalam praktek hakim dan aparat pelaksanaan lembaga peradilan menjumpai suatu perkara tidak selamanya harus secara legalistik formal diselesaikan berlandaskan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi harus ditempuh melalui kebijakan peradilan dapat menyangkut administrasi peradilan dan kebijakan mengadili oleh Hakim. Kebijakan Peradilan demikian berlandaskan kepada hal-hal sebagai berikut:

1. Untuk mewujudkan suatu putusan yang memenuhi rasa keadilan, kebenaran dan

bermanfaat adakalanya harus diterapkan suatu prinsip bahwa hakim bukanlah sekedar mulut atau corong undang-undang;

2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman di dalam Pasal 10 ayat 1 dinyatakan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”;

3. Berdasarkan Penjelasan Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 2004

yang telah diubah menjadi Undang-undang No.3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang pada intinya menyatakan hakim berkewajiban menggali, mengikuti dan memahami rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; Realisasi dari ketentuan pada angka 2 dua dan 3 tiga hakim dalam memeriksa dan memutus perkara dalam kondisi tertentu harus menemukan sendiri hukum rechtsvinding atau menciptakan hukum rechtsschepping; Dalam sambutan Ketua Mahkamah Agung pada Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI dengan Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama Ibukota Provinsi di Makasar tanggal 2-6 September 2007, ada beberapa prinsip kebijakan peradilan yang harus dipegang teguh setiap hakim, yaitu: 1. Kebijakan mengadili harus mengandung tujuan yang tidak bertentangan dengan asas hukum umum terutama asas keadilan; 2. Kebijakan mengadili harus dapat menunjukkan penerapan hukum yang ada tanpa suatu diskresi, akan menimbulkan pertentangan secara nyata dengan rasa keadilan, terutama rasa keadilan pencari keadilan; 3. Kebijakan mengadili tidak boleh mencederai asas dan norma konstitusi. Asas dan norma konstitusi adalah batas yang tidak dapat dilampaui; 4. Kebijakan mengadili tidak boleh mencederai hak-hak asasi pencari keadilan; 5. Kebijakan mengadili dimaksudkan menemukan keseimbangan antara kepentingan pencari keadilan dan kepentingan masyarakat; 6. Walaupun ada diskresi, putusan hakim harus semata-mata didasarkan pada fakta yang diketemukan di persidangan dan tetap memutus menurut hukum. Hakim dilarang melakukan kriminalisasi terhadap hal-hal yang tidak diatur atau sesuatu yang samar-samar diatur dalam atau berdasarkan peraturan perundang- undangan. Jangankan melakukan kriminalisasi, memperluas pengertian suatu perbuatan pidana sangat terlarang dilakukan hakim. Salah satu yang sekarang acapkali menimbulkan rasa gundah yaitu longgarnya batas kesalahan yang timbul dari suatu beleid dengan perbuatan yang dapat dipidana. Hakim harus berhati-hati jangan sampai melakukan kriminalisasi terhadap suatu beleid yang tunduk pada rezim hukum yang berbeda, kecuali suatu beleid merupakan suatu tindakan sistematis yang dilakukan dengan sadar sebagai bagian dari suatu perbuatan pidana. Beberapa pandangan Mahkamah Agung mengenai kebijakan mengadili pada pokoknya menyangkut, yaitu: 1. Penerapan Pasal 45A Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 yang telah diubah menjadi Undang-undang No.3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Pertama : Tentang perbedaan pendapat perhitungan jumlah hari antara Pengadilan dengan pemohon kasasi. Kedua : Permohonan kasasi atas putusan praperadilan wajib diteruskan ke Mahkamah Agung. 2. Peninjauan Kembali PK putusan pidana oleh Penuntut Umum; 3. Pidana uang pengganti dalam perkara Korupsi; 4. Perkara illegal logging; 5. Perkara PHI; 6. Mediasi dan Arbitrase; 7. Bantuan Hukum oleh LBH atau Biro Hukum Pemerintah; 8. Tentang Sita Jaminan; 9. Tentang bantuan melaksanakan putusan atau bantuan lain. Terdapat kebijakan peradilan lainnya, seperti : a. Terhadap putusan pelanggaran perkara Pilkada yang menurut ketentuan Pengadilan Negeri merupakan peradilan tingkat pertama dan terakhir, namun Jaksa Penuntut Umum mengajukan Kasasi. Mengingat situasi dan kondisi keamanan di daerah, berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung; b. Penasehat Hukum terdakwa mengajukan kasasi terhadap putusan sela Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang menolak Eksepsi tentang kompetensi absolut. KUHAP tidak mengatur upaya hukum kasasi demikian dan perkara tetap dilanjutkan pemeriksaan, akan tetapi melihat situasi tertentu berkas perkara seadanya dikirim ke Mahkamah Agung. Terhadap kebijakan peradilan tersebut, termasuk hasil rumusan Rakernas dan Rakerda, Pengadilan Negeri Banda Aceh secara terus menerus mensosialisasikan kepada para Hakim, PaniteraSekretaris, dan para Panmud, agar dijadikan pedoman dan dilaksanakan dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan kewenangannya masing- masing. Apabila menghadapi persoalan kebijakan peradilan yang lain akan diberdayakan kegiatan konsultasi dan diskusi, baik dikalangan intern aparat Pengadilan Negeri Banda Aceh maupun ekstern secara vertikal dengan lembaga pengadilan lain.

B. Visi dan Misi