ANALISIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA OLEH PELAJAR Di WILAYAH KOTA METRO (Studi Perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro)

(1)

DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA OLEH PELAJAR Di WILAYAH KOTA METRO

(Studi Perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro) Reza Fahlepi

Tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar masih terjadi di Negara Republik Indonesia seperti yang pernah terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Metro dalam Putusan Perkara Pengadilan Negeri Metro Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro. Para terdakwa dijatuhi vonis oleh majelis hakim selama 2 (dua) bulan pidana penjara. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk pengkualifikasian tindak pidana Pasal 351 jo Pasal 55 KUHP dengan Pasal 170 KUHP dalam perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro dan apakah putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar di wilayah kota Metro sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang kemudian dianalisis secara analisis kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa bentuk pengkualifikasian tindak pidana Pasal 351 jo Pasal 55 KUHP dengan Pasal 170 KUHP yakni kulifikasi Pasal 170 KUHP objeknya manusia dan benda /barang, pelaku lebih dari satu yang dilakukan dalam waktu bersamaan/berdekatan dengan syarat ada kesepakatan dan kesepahaman untuk berbuat, dilakukannya di hadapan orang banyak atau publik terbuka. Pasal 351 KUHP hanya merumuskan kualifikasinya dan pidana yang diancamkan, pelaku satu orang ataupun lebih, dilakukan tidak dalam waktu yang bersamaan, tidak dibedakan dilakukan di ruang tertutup untuk umum ataupun publik terbuka. Putusan Hakim terhadap para pelaku tindak pidana dalam Perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro berpedoman pada nemesis theory (teori pembalasan) dalam pemidanaan. Tindak pidana tersebut masuk kategori penganiayaan. Secara normatif memang terjadi jumping conclusion, tetapi secara komperhensif penjatuhan hukuman pidana penjara sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan.

Saran yang diberikan penulis yaitu diharapkan Hakim dapat lebih teliti lagi dalam menjatuhkan pidana agar tidak terjadi jumping conclusion, karena itu dapat merugikan korban atau bahkan terdakwa sekalipun.


(2)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelajar sebagai tunas harapan bangsa dan negara perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, mengingat usianya yang relatif masih muda dan biasanya mempunyai harapan-harapan yang sangat kuat dan belum diimbangi dengan kontrol diri yang mantap, sehingga perilaku cenderung untuk menyimpang. Perilaku anak yang menyimpang tersebut tidak sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat sehingga timbul pelanggaran-pelanggaran yang pada akhirnya menjurus ke arah kejahatan.

Kenakalan atau kejahatan yang dilakukan oleh remaja (juvenel delinguency) dewasa ini semakin meluas dan beragam, baik frekuensi maupun dalam keseriusan kualitas kejahatan. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus yang terjadi antara lain perkelahian, pemerasan/penodongan, perkosaan, penyalahgunaan narkotika dan sebagainya.

Perilaku menyimpang yang cenderung mengarah pada kejahatan yang dilakukan oleh remaja tersebut dalam bentuk pemerasan atau penodongan digolongkan sebagai kenakalan remaja. Kenakalan remaja tersebut tampaknya telah mengganggu ketertiban, keamanan, kenyamanan masyarakat baik di kota-kota besar maupun kota-kota kecil.


(3)

Seperti yang dimukakan oleh Y. Bambang Mulyono (1986: 51), Problema kenakalan remaja bukan suatu masalah yang timbul dalam lingkup kecil, tetapi hampir terjadi baik di kota-kota besar maupun di kota-kota kecil. Sebenarnya hampir tiap negara di dunia ini mengalami atau menghadapi kenakalan remaja.

Masalah delinguency anak remaja sejauh ini seperti tersebut di atas tidak hanya terjadi di negara yang sedang berkembang, tetapi juga terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Robert Mevercic Iver dalam bukunya “The Prevention and Control Of Delinguency” menyatakan bahwa berdasarkan data statistik delikuensi anak remaja meningkat setiap tahunnya juga dinyatakan bahwa kenaikan itu cukup mencemaskan dan jika delikuensi anak remaja itu dibiarkan maka hal itu akan meningkat menjadi kejahatan remaja atau Adult Criminality (Kartini Kartono, 1992: 113).

Kenakalan remaja yang banyak terjadi akhir-akhir ini justru banyak dilakukan oleh pelajar, khususnya pelajar SMU atau sederajat yang usianya merupakan masa transisi yaitu antara 15-18 tahun. Usia transisi tersebut adalah masa pergantian antara usia remaja menuju usia dewasa atau yang lazim disebut dengan masa akhil baligh, yang merupakan masa rawan dimana masa bagi mereka mencari jati dirinya. Pada umumnya mereka ingin selalu mengetahui perkembangan zaman dan enggan dikatakan ketinggalan zaman, kampungan ataupun istilah lain yang umum digunakan kalangan remaja. Remaja justru merasa bangga apabila dikatakan jagoan, dari sana timbul keinginan untuk berbuat sesuatu dengan berbagai bentuk dan cara mereka tempuh tanpa memikirkan akibat yang


(4)

ditimbulkan sebagai konsekuensi dari perbuatannya tersebut baik bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat maupun negara.

Menurut Zakiah Daradjat (1978: 51), remaja adalah usia transisi, seorang individu telah meninggalkan usia kanak-kanak yang lemah dan penuh kebergantungan, akan tetapi belum mampu ke usia yang kuat dan penuh tanggung jawab, baik terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat. Banyaknya masa transisi ini bergantung kepada keadaan dan tingkat sosial masyarakat dimana ia hidup. Semakin maju masyarakat semakin panjang usia remaja, karena ia harus mempersiapkan diri untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat yang banyak syarat dan tuntutannya.

Memahami latar belakang tersebut tidak berarti “memanjakan” atau mencari-cari dalih untuk melindungi para remaja, melainkan bertujuan menemukan usaha preventif yang terintegrasi dan terprogram. Makna eksistensi pelajar merujuk kepada pandangan humanistik terhadap anak yaitu anak merupakan makhluk kesatuan yang bermakna dan sebagai subjek yang memiliki potensi untuk berkembang, subjek yang dapat mengembangkan rasa tanggungjawab terhadap keputusan dan perbuatannya.

Manusia adalah makhluk berkembang, kompleks, dan dinamik dalam kesatuannya dan hubungannya dengan lingkungan alam dan sekitarnya. Pandangan di atas mengimplikasikan bagaimana perilaku kita terhadap para pelajar, yaitu menciptakan situasi yang kondusif agar berkembang kearah yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga, bangsa dan negara.


(5)

Ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana penganiayaan termasuk tindak pidana yang kualifikasiannya tersebut diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Istilah lain yang digunakan untuk menyebut jenis Tindak Pidana Penganiayaan dalam bentuk pokok, dalam Pasal 351 KUHP jenis-jenis penganiayaan itu sendiri terdiri atas : 1. Penganiayaan biasa;

2. Penganiayaan ringan; 3. Penganiayaan berencana; 4. Penganiayaan berat;

5. Penganiayaan berat berencana;

6. Penganiayaan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu; 7. Turut serta dalam penyerangan dan perkelahian.

Unsur perbuatan delinquat adalah pelanggaran-pelanggaran norma masyarakat. Unsur tersebut bersifat anti sosial dari berbagai tindakan untuk mengamankan masyarakat maka para pelaku kejahatan diberi hukuman yang sesuai dengan perbuatannya dan perbuatan delinguat adalah perbuatan yang merugikan dalam segala aspeknya. Disamping itu kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa pada umumnya hampir sama dengan yang dilakukan oleh anak-anak pula. Jadi perbuatan tersebut merupakan kejahatan seperti yang dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Ketentuan Pasal 351 KUHP hanya menyebutkan kualifikasinya saja tanpa menguraikan unsur-unsurnya, dengan kata lain bahwa rumusan Pasal 351 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tersebut tidak menjelaskan perbuatan seperti apa


(6)

sebenarnya yang dimaksud. Sebagaimana kelaziman yang berlaku dalam hukum pidana, dimana terhadap rumusan tindak pidana yang hanya menyebutkan kualifikasinya biasanya ditafsirkan secara historis, maka penafsiran terhadap Pasal 351 KUHP tersebut juga antara lain ditempuh berdasarkan metode penafsiran historis.

Sehubungan dengan hal tersebut, untuk memberikan gambaran awal tentang perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 351 KUHP di atas, akan dikutipkan ketentuan dalam Pasal tersebut. Pasal 351 KUHP secara tegas merumuskan: (1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun

delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah; (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan

pidana penjara paling lama lima tahun;

(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya orang, maka yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun;

(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja; (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana.

Berdasarkan rumusan ketentuan Pasal 351 KUHP di atas terlihat, bahwa rumusan tersebut tidak memberikan kejelasan tentang perbuatan seperti apa yang dimaksudkan. Ketentuan Pasal 351 KUHP di atas hanya merumuskan kualifikasinya dan pidana yang diancamkan.

Kenakalan remaja yang berbentuk perkelahian massal yang dilakukan oleh pelajar yang kerap kali terjadi di Indonesia termasuk di Lampung merupakan bentuk kejahatan karena menyalahi ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Perundang-undangan di luar KUHP seperti Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang senjata tajam. Hal ini dapat


(7)

diketahui dari banyaknya remaja yang menggunakan senjata tajam bila melakukan pemerasan, perkelahian, pengrusakan dan penganiayaan.

Masalah kejahatan dilakukan oleh anak remaja oleh para ahli dikatakan masih berada pada usia rawan yaitu antara 13 sampai 18 tahun, nampaknya perlu penanganan khusus dan serius terutama dalam hal mencari sebab musababnya agar dapat dicari jalan pencegahannya guna menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh anak remaja.

Berbagai motif kejahatan yang dilakukan anak remaja terjadi karena hal-hal tertentu, sedangkan kualitas setiap motif berbeda-beda, suatu kejahatan yang muncul di permukaan tidak selalu berdiri sendiri, ada suatu gejala yang melatarbelakanginya, seperti berbagai kondisi psikologis maupun sosiologis yang dapat memicu timbulnya kejahatan tersebut dalam segala aspek dan kondisinya.

Berdasarkan pra survey pada Pengadilan Negeri Metro serta contoh kasus pada Pengadilan Negeri Metro dengan Nomor Perkara.29/Pid.An/2009/PN. Metro, terdakwa I Angga Satria bin Hairul Azwar, terdakwa II Damba Perdana Bin Irson Bahri, dan terdakwa III Yogi Pratama Bin Dwi Prayitno pada waktu dan tempat sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan telah melakukan atau turut melakukan penganiayaan yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit, atau luka atau dengan sengaja merusak kesehatan orang lain yaitu saksi korban FACHRIANSYAH ROBBI MAULANA Bin FAKIH MAULANA yang mana perbuatan tersebut dilakukan oleh ketiga terdakwa ketika saksi korban FACHRIANSYAH ROBBI MAULANA Bin FAKIH MAULANA bersama


(8)

dengan teman-temannya sedang menginap di tempat kost ARDI HERDIANSYAH. Selanjutnya tredakwa ARDI HERDIANSYAH langsung menampar saksi korban ke arah pipi kirinya, dan sempat mengatakan kepada mereka terdakwa I. Angga Satria bin Hairul Azwar, terdakwa II. Damba Perdana Bin Irson Bahri, dan terdakwa III. Yogi Pratama Bin Dwi Prayitno dan terdakwa Chandra untuk memukuli saksi korban. Akibat kejadian tersebut saksi korban FACHRIANSYAH ROBBI MAULANA berdasarkan visum et repertum Nomor:000/97/RSU/2008 bahwa saski korban mengalami luka-luka akibat benda tumpul. Luka akibat benda tumpul tersebut secara fisik berupa: memar di bagian belakang kepala, mengeluarkan darah dari hidung dan telinga bagian sebelah kiri, juga saksi korban tidak bisa mendengar dengan jelas, kemudian mata bagian sebelah kanan memar dan saksi korban mengalami gegerotak ringan dan sempat dirawat inap di Rumah Sakit.

Ketentuan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana atau doktrin menjelaskan penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain.penganiayaan yang biasanya terjadi tidak hanya dilakukan oleh satu orang tetapi secara bersama-sama, oleh karena itu penganiayaan yang dilakukan bersama-sama dikenakan Pasal 351 jo Pasal 55 ayat (1) Dipidana sebagai pembuat delik :

Ke-1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan

Ke-2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalah gunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.


(9)

Suatu perbuatan tindak pidana yang dilakukan 1 (satu) orang atau lebih biasanya disebut dengan pengeroyokkan/massa. Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menyebutkan bahwa :

1. Barangsiapa dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan.

2. Barangsiapa bersalah diancam:

a. Dengan Pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka.

b. Dengan Pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat.

c. Dengan Pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.

Penganiayaan yang dilakukan pelajar masih sering sekali terjadi di indonesia. Penjatuhan hukuman yang diberikan oleh hakim atas kasus penganiayaan yang dilakukan oleh remaja masih dirasakan kurang memuaskan.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dan menuangkannya kedalam skripsi yang berjudul “Analisis terhadap Tindak Pidana Penganiayaan yang Dilakukan Secara Bersama-Sama oleh Pelajar Di Wilayah Kota Metro (Studi Kasus Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro)”.


(10)

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Masalah

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah bentuk pengkualifikasian tindak pidana Pasal 351 jo Pasal 55 KUHP dengan Pasal 170 KUHP dalam perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro? b. Apakah putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang

dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar di wilayah kota Metro dalam perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian skripsi ini terbatas pada kajian bidang hukum pidana anak di Indonesia khususnya hanya terbatas pada bentuk pengkualifikasian tindak pidana Pasal 351 jo Pasal 55 KUHP dengan Pasal 170 KUHP dan putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar di wilayah kota Metro dalam perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan. Lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada analisis terhadap tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar di wilayah Kota Metro, Sedangkan ruang lingkup tempat penelitian hanya dibatasi pada Pengadilan Negeri Metro dan Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(11)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui bentuk pengkualifikasian tindak pidana Pasal 351 jo Pasal 55 KUHP dengan Pasal 170 KUHP dalam perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro.

b. Untuk mengetahui putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar di wilayah kota Metro dalam perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan.

3. Keguanaan penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum pidana, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan beberapa permasalahan tentang analisis yuridis terhadap tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar di Wilayah Kota Metro (Studi Kasus Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro).

b. Kegunaan Paktis

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dan bagi aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum


(12)

khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka penegakan hukum pidana anak Indonesia.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang menjadi kerangka acuan dan bertujuan untuk mengidentifikasikan terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1987: 125).

Penelitian ini akan membahas mengenai analisis terhadap tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar di wilayah Kota Metro, untuk mempertajam fakta tersebut sangat penting untuk mengetahui Pasal-Pasal dalam peraturan hukum yang berlaku menyangkut fakta tersebut dan teori-teori serta interprestasi para ahli-ahli hukum.

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan, larangan ini disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa saja yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 1973: 83). Dalam rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dijelaskan bahwa dalam suatu pemidanaan yaitu suatu proses pemberian sanski pidana bagi yang melanggar aturan hukum pidana sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Kesalahan yaitu suatu perbuatan yang melanggar norma (hukum) dimana tidak adanya unsur


(13)

pemaaf dan pembenar, sedangkan untuk dapat dipidananya seseorang harus terdapat kesalahan pada orang tersebut, artinya secara yuridis tidak ada alasan pemaaf seperti yang diatur dalam Pasal 44 dan 48 KUHP, maupun tidak ada alasan pembenar seperti diisyaratkan dalam Pasal 49, 50, dan 51 KUHP.

Penanggulangan kejahatan merupakan suatu upaya rasional penegakan hukum pidana melalui sarana penal (hukum pidana) yang bertujuan untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakat. Penganiayaan yang dilakukan pelajar masih sering sekali terjadi di indonesia. Penjatuhan hukuman yang diberikan oleh hakim atas kasus penganiayaan yang dilakukan oleh remaja masih dirasakan kurang memuaskan.

Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Djisman Samosir yang dikutip oleh Barda Nawawi Arif (2010: 43) menjelaskan bahwa penjatuhan hukuman yang diberikan oleh hakim atas kasus penganiayaan yang dilakukan oleh remaja dalam sistem pemidanaan terdapat beberapa teori tujuan pemidanaan yang mencakup beberapa teori antara lain:

a. Nemesis Theory(teori pembalasan)

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang melakukan kejahatan atau tindak pidana.

b. Relative Theory(teori relatif)

Menurut teori relatif suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana.

c. Combinative Theory(teori gabungan)

Teori gabungan adalah suatu kombinasi dari teori absolut dan teori relatif. Menuirut teori gabungan, tujuan pemidanaan selain membahas kesalahan


(14)

penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban, dengan ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui batas pembalasan yang adil.

Sehubungan dengan hal tersebut, teori tujuan dan pedoman pemidanaan sebagaimana dikemukakan oleh Djisman Samosir yang dikutip oleh Barda Nawawi Arif (2010: 51), maka dalam usaha pembaharuan hukum pidana anak di Indonesia, pemidanaan terhadap anak/remaja merupakan salah satu masalah urgen untuk diperbaharui. Beberapa perkembangan mengenai pidana dan pemidanaan dalam usaha pembaharuan hukum pidana anak di Indonesia itu di antaranya sebagai berikut:

a. Teori Tujuan Pemidanaan

Tujuan pemidanaan dalam usaha pembaharuan hukum pidana anak di Indonesia yaitu untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna, dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

b. Teori Pedoman Pemidanaan

Pedoman pemidanaan dalam usaha pembaharuan hukum pidana anak di Indonesia yang dapat dijadikan acuan bagi hakim dalam memberikan pidana. Pedoman pemidanaan itu adalah hakim harus memperhatikan kesalahan pelaku tindak pidana, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, cara


(15)

melakukan tindak pidana, sikap batin pelaku tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana, sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana, pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan, pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban, apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana penganiayaan adalah ketentuan dalam Pasal 351 KUHP yang menjelaskan bahwa:

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah

(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun penjara.

(4) Dengan sengaja merusak kesehatan orang disamakan dengan penganiayaan. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Ketentuan Pasal 170 KUHP menjelaskan bahwa:

(1) Barangsiapa secara terang-terangan dan secara bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (KUHP 336).

(2) Barangsiapa bersalah diancam

1. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, bila dengan sengaja menghancurkan barang atau bila kekerasan yang digunakan itu mengakibatkan luka-luka;

2. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, bila kekerasan itu mengakibatkan luka berat; (KUHP 90);

3. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, bila kekerasan itu mengakibatkan kematian. (KUHP 487).

(3) Pasal 89 tidak berlaku bagi pasal ini (KUHP 336).

Menurut Mulyana W. Kusuma (1982: 104) menyatakan bahwa perkelahian massal adalah suatu bentuk prilaku yang jika dilihat korban dan bentuk prilakunya tidak


(16)

berbeda dengan tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa, timbul dalam wilayah ekologis kota dan lokasi sub kebudayaan metropolitan.

2. Konseptual

Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antar konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diinginkan atau diteliti (Soerjono Soekanto, 1987: 32).

Penulisan ini akan menjelaskan pengertian-pengertian pokok yang akan digunakan dalam penulisan dan penelitian ini sehingga mempunyai batasan-batasan yang tepat tentang istilah-istilah dan maksudnya yang mempunyai tujuan untuk menghindari kesalahpahaman dalam penulisan ini. adapun pengertian-pengertian yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini adalah:

a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 32).

b. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang atau bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan kelalaian oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan (Sudarto, 1990: 26).

c. Remaja adalah usia transisi, seorang individu telah meninggalkan usia kanak-kanak yang lemah dan penuh ketergantungan. Akan tetapi belum mampu ke


(17)

usia dewasa yang kuat dan penuh tanggungjawab, baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat (Zakiah Daradjat, 1978: 93).

d. Penganiayaan adalah suatu perbuatan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan (Soenarto Soerodibroto, 1994: 211).

e. Kota adalah sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai oleh strata sosial ekonomi yang heterogen serta corak matrialistis (R. Bintarto, 1984: 36).

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual dan sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang teori-teori hukum sebagai latar belakang pembuktian masalah dan hipotesis, umumnya yang ada kaitannya dengan masalah yang akan dibahas yang terdiri dari Pengertian Remaja, Pengertian Pelajar, Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana, Pertanggungjawaban Pidana, Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan dan Pengaturannya.


(18)

III. METODE PENELITIAN

Merupakan Bab yang menjelaskan metode yang dipakai guna memperoleh dan mengolah data yang akurat. Adapun metode yang digunakan terdiri dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisa data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi tentang pembahasan berdasarkan hasil penelitian terhadap permasalahan dalam penelitian ini adalah bentuk pengkualifikasian tindak pidana Pasal 351 jo Pasal 55 KUHP dengan Pasal 170 KUHP dalam perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro dan putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar di wilayah kota Metro dalam perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan.

V. PENUTUP

Merupakan Bab yang berisi tentang kesimpulan dari hasil pembahasan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan berdasarkan hasil penelitian serta berisikan saran-saran penulis mengenai apa yang harus kita tingkatkan dari pengembangan teori-teori yang berkaitan dengan pemasalahan dan pembahasan.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Remaja dan Pelajar dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

1. Pengertian Remaja

Kamus Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa pelajar adalah murid atau siswa. Sedangkan murid menurut Kamus Praktis Bahasa Indonesia adalah seseorang atau anak yang sedang berguru atau belajar. Menurut Zakiah Daradjat (1978: 63), anak didik yang pada sekolah lanjutan telah berada pada umur remaja yang sedang mengalami goncangan jiwa, karena pertumbuhan cepat yang terjadi pada segi dirinya, baik pertumbuhan jasmani, kecerdasan pemikiran, pribadi dan sosialnya.

Pertumbuhan seorang anak yang telah menginjak dewasa, sangat peka akan hal-hal yang terjadi disekitar lingkungannya. Pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dari seorang anak, baik pertumbuhan jasmaniah, kecerdasan pikiran, kepribadian, dan lain-lainnya yang membentuk pribadi seorang anak menjadi lebih matang. Dengan adanya tantangan dari luar dapat menyebabkan kegoncangan jiwa si anak, sehingga ia berusaha mencari jalan keluarnya sendiri, namun cara atau jalan keluar sebagai penyaluran masalah yang dihadapinya, sering mengarah padahal yang negatif. Jadi jelaslah bahwa seorang pelajar,


(20)

adalah seseorang yang sedang menginjak masa remaja. Pengertian remaja ini dapat ditinjau dari 2 macam segi yaitu:

1) Segi Hukum

Hal ini dimaksudkan untuk membedakan status seseorang yang sudah dewasa dengan yang belum dewasa. Dari Hukum yang ada di Indonesia:

a. Undang-undang Pengadilan Anak Nomor 3 tahun 1997 Pasal 1 ayat (1) : Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal yang telah berumur 8 tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah menikah.

b. Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka (2) : Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.

c. Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka (5) : Anak adalah setiap manusia yang berada dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut ada kepentingan.

d. Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 Pasal 1 : Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

2) Segi Biologis

Tinjauan dari segi biologis lebih ditekankan pada perubahan fisik seseorang. Menurut Zakiah Daradjat (1978: 62), bahwa yang dimaksud dengan remaja adalah salah satu dari umur manusia, yang paling banyak mengalami perubahan, sehingga membawanya pindah dari masa anak menuju masa dewasa.


(21)

Perubahan yang terjadi itu, melewati segi kehidupan manusia yaitu jasmani, rohani, pikiran, perasaan dan sosial. Biasanya dimulai perubahan jasmani yang menyangkut segi seksual, ini biasanya terjadi pada umur 13 dan 14 tahun. Perubahan itu disertai dan diiringi oleh perubahan-perubahan lain, yang berjalan terus sampai usia 20 tahun.

Dari berbagai tinjauan inilah maka penulis dapat menarik penjelasan bahwa pelajar atau remaja adalah orang atau anak yang telah berusia antara 13 tahun samapai umur 21 tahun, dan biasanya umur-umur seperti ini seorang remaja sedang bersekolah, dan ini biasanya berada pada jenjang sekolah lanjutan, baik lanjutan pertama ataupun pada lanjutan atas.

2. Pengertian Pelajar

Ditinjau dari segi hukum pengertian remaja di Indonesia tidak dikenal dalam sebagian Undang-undang yang berlaku. Hukum di Indonesia hanya mengenal anak-anak dan dewasa, walaupun batasan yang diberikan untuk itu bermacam-macam antara lain :

1. Undang-undang Pengadilan Anak (UU No. 3 tahun 1997) memberikan batasan orang yang di bawah 21 tahun dan belum menikah sebagai anak-anak, dipergunakan sebagai tolak ukur sejak kapan anak bisa dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan kriminal.

2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan batasan usia 18 tahun sebagai usia dewasa atau kurang dari itu apabila sudah menikah, anak


(22)

berusia di bawah 18 tahun masih menjadi tanggungan orang tua bila melanggar hukum pidana.

3. Undang-undang Kesejahteraan Anak (UU No. 4 Tahun 1979), dalam hal ini menganggap bahwa orang di bawah usia 21 tahun dan belum menikah sebagai anak-anak dan karenanya berhak mendapat kemudahan-kemudahan yang diperuntukkan bagi anak-anak.

4. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) memberikan batasan usia 21 tahun atau kurang dari itu asalkan sudah menikah untuk menyatakan kedewasaan seseorang, dibawah usia itu seseorang masih membutuhkan wali untuk melakukan tindakan hukum perdata.

Menurut Ramplein yang dikutip oleh Sudarsono (1990: 13), membagi remaja antara usia 11-21 tahun yang digolongkan menjadi :

1. Pra-pubertas, umur 10,5-13 tahun (wanita), 12-14 tahun (laki-laki). 2. Pubertas, umur 13-15,5 tahun (wanita), 14-16 tahun (laki-laki). 3. Krisis remaja, 15,5 -16,5 tahun (wanita), 16-17 tahun (laki-laki). 4. Andoselen, 16,5-17 tahun (wanita), 17-21 tahun (laki-laki).

Selanjutnya pengertian remaja menurut WHO yang dikeluarkan pada tahun 1924 memberikan definisi yang lebih bersifat konseptual dan mengemukakan 3 (tiga) kriteria yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi.

Untuk lengkapnya definisi remaja adalah suatu masa depan dimana :

1. Individu berkembang dari sifat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.


(23)

2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. (Sarlito Wirawan Sarwono, 1991: 9).

Setelah mengalami perkembangan bertahun-tahun berikutnya dan sesuai dengan bidang kegiatan WHO, yaitu kesehatan maka WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun adalah batas usia remaja, sedangkan menurut Laulla Cole yang dikutip Bambang Mulyono (1985: 15), berpandangan bahwa masa adolesence adalah sekitar umur 13 - 21 tahun yang terbagi dalam 3 (tiga) tingkatan yaitu :

1. Awal Adolesence dari umur 13 - 15 tahun. 2. Pertengahan Adolesence dari umur 16 - 18 tahun. 3. Akhir Adolesence dari umur 19 - 21 tahun.

Masa remaja dikenal dengan masa transisi, secara psikologis remaja bukan lagi tergolong anak-anak tapi juga belum masuk kategori dewasa baik fisik maupun tugas-tugas perkembangannya. Masa remaja merupakan masa penuh gejolak emosi dan ketidakseimbangan yang tercakup dalam “Strom dan Stress” dengan demikian remaja mudah terkena pengaruh oleh lingkungannya.

Menurut Singgih D. Gunarsa (1984: 82), dilihat dari segi psiologis maka ciri-ciri remaja dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Kegelisahan, pada umumnya mereka banyak keinginan tetapi tidak tersalurkan sehingga dikuasai oleh perasaan gelisah.

2. Pertentangan, biasanya terjadi antara remaja dengan orang tua sehingga menyebabkan remaja berusaha melepaskan diri dari pengaruh orang tua. 3. Berkeinginan besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahuinya,


(24)

Keinginan mencoba remaja akan berakibat negatif bila diajak untuk melakukan tindakan kriminal.

4. Keinginan mencoba sering pula diarahkan pada diri sendiri maupun terhadap orang lain.

5. Keinginan menjelajah ke alam sekitarnya. 6. Mengkhayal dan berfantasi.

7. Aktifitas kelompok

Adapun pengertian pelajar yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah para remaja yang berusia antara 15-18 tahun dan sedang menempuh pendidikan di sekolah menengah umum atau yang disamakan.

B. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur Tindak Pidana

1. Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana dan oleh karena itu memahami tindak pidana adalah sangat penting. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yang yuridis, lain halnya dengan kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis ataupun krimonologis. Istilah tindak pidana adalah terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “Strafbaar Feit “atau “Delict”. Untuk mengetahui hal ini maka akan diuraikan pendapat dari beberapa sarjana baik pengertian perbuatan pidana, tindak pidana, ataupunstrafbaar feit:

Menurut R. Soesilo (1984: 4), tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana.

Menurut Moeljatno (1973: 54), perbutan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melarang larangan tersebut.


(25)

Menurut Soedjono (1977: 15), kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hukum, tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan kaidah hukum dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Wirjono Projodikoro (1981: 50), menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

Menurut Simons yang dikutip oleh P.A.F. Lamintang (1997: 127), menjelaskan bahwa strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.

Menurut W. Mulyana Kusuma (1982: 23) peristiwa pidana ialah perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Ketentuan dalam KUHP tindak pidana digolongkan menjadi kejahatan dan pelanggaran. Penggolongan jenis-jenis delik yang ada dalam KUHP terdiri dari Kejahatan (Misdriven), disusun dalam Buku II KUHP, sedangkan Pelanggaran (Over Tredingen), disusun dalam Buku III KUHP. Undang-undang hanya memberikan penggolongan kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang jelas. Berikut adalah beberapa penjelasan mengenai kejahatan dan pelanggaran menurut para sarjana sebagai berikut:


(26)

a. Kejahatan

Kejahatan adalah “Recht Delicten” yaitu perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, dirasakan sebagai “Onrecht” sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum, (Moeljatno, 1973: 71).

Secara formal kejahatan dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang oleh negara diberi pidana. Pemberian pidana dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat perbuatan itu. Dengan patokan hukum pidana kejahatan serta pelakunya relatif dapat diketahui yaitu mereka atau barang siapa yang terkena rumusan kaidah hukum pidana memenuhi unsur-unsur delik, ia dianggap melakukan perbuatan yang dapat dihukum (Soedjono Dirjosisworo, 1984: 12).

Selanjutnya menurut Sue Titus Reid yang dikutip oleh Soerjono Soekanto (1986: 44), terhadap suatu perumusan tentang kejahatan maka yang perlu diperhatikan adalah antara lain:

a. Kejahatan adalah suatu tindakan sengaja (Omissi) dalam pengertian ini seseorang tidak dapat dihukum karena pikirannyamelainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak. Kegagalan untuk dapat bertindak dapat juga merupakan kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban hukum untuk bertindak dalam kasus tertentu, disamping itu ada niat jahat (Crimminal Intent Mens Rea).

b. Merupakan pelanggaran hukum pidana.

c. Dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang diakui secara hukum.

d. Diberikkan sanksi oleh negara sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran. Beberapa definisi kejahatan diatas pada dasarnya dapat diketahui kejahatan adalah suatu bentuk perbuatan dan tingkah laku yang melanggar hukum dan


(27)

perundang-undangan lain serta melanggar norma sosial sehingga masyarakat menentangnya. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan definisi secara tegas tentang pengertian kejahatan namun dalam kaitannya dengan kejahatan dapat kita simpulkan bahwa semua perbuatan yang disebutkan dalam Buku ke II adalah kejahatan dan perbuatan lain secara tegas dinyatakan sebagai kejahatan dalam undang-undang tertentu diluar KUHP.

b. Pelanggaran

Pelanggaran adalah “Wets Delicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat hukumnya baru dapat diketahui setelah adanya undang-undang yang menyatakan demikian (Moeljatno, 1973 : 72).

Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP ada kecenderungan untuk mengikuti pandangan kuantitatif, beberapa ketentuan KUHP yang mengandung ukuran secara kuantitatif adalah:

1. Percobaan / pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana, sedangkan kejahatan dapat dipidana.

2. Daluarsa bagi pelanggaran ditentukan lebih pendek dibanding dengan kejahatan.

3. Kewenangan menuntut pelanggaran menjadi hapus apabila telah dibayar maksimum denda dan biaya perkara sebagai sistem penebusan.

4. Dalam hal terjadi perbarengan atas pelanggaran berlaku sistem pidana kumulasi murni yang tiap-tiap pelanggaran dijatuhi pidana sendiri-sendiri. 5. Dalam hal perampasan barang karena pelanggaran hanya boleh dilakukan

apabila tidak ditentukan dengan tegas oleh undang-undang, (Bambang Poernomo, 1982 : 97).

Berdasarkan perbedaan diatas dapat diketahui bahwa kejahatan lebih berat ancaman hukumannya dibandingkan dengan pelanggaran, karena dilihat dari


(28)

sifat dan hakekat dari perbuatan itu dalam masyarakat, dimana kejahatan mempunyai dampak yang lebih buruk dibandingkan dengan pelanggaran.

Berdasarkan beberapa pengertian dari pendapat sarjana diatas dapat diketahui bahwa tindak pidana merupakan suatu perbuatan atau kejadian tertentu yang dilakukan oleh seseorang, beberapa orang atau badan hukum yang menimbulkan suatu akibat karena melanggar peraturan perundang-undangan yang ada. Atau dapat diartikan pula tindak pidana merupakan perbuatan yang dipandang merugikan masyarakat sehingga pelaku tindak pidana itu harus dikenakan sanksi hukum yang berupa pidana atau nestapa.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Beberapa unsur yang terkandung dalam suatu tindak pidana. Unsur-unsur ini penting untuk dibuktikan melalui suatu proses sistem peradilan pidana, merupakan hal pemeriksaan dipersidangan. Apabila unsur-unsur itu salah satu di antaranya tidak terbukti, maka perbuatan itu bukanlah suatu tindak pidana atau kejahatan dan tersangka harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Untuk itu perlu kita ketahui beberapa pendapat sarjana mengenai unsur-unsur tindak pidana yaitu:

Menurut Moeljatno (1973: 63), unsur-unsur atau elemen perbuatan pidana adalah: a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan. c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. d. Unsur melawan hukum yang objektif.

e. Unsur melawan hukum yang subjektif

Sedangkan menurut M. Bassar Sudrajat (1986: 23), unsur-unsur yang terkandung dalam suatu delik adalah terdiri dari :


(29)

a. Unsur melawan hukum b. Unsur merugikan masyarakat c. Dilarang oleh aturan hukum pidana d. Pelakunya dapat diancam pidana

Menurut pendapat Tresna yang dikutip oleh Adami Chazawi (2002: 80). Tindak pidana terdiri dari unsur-unsur yakni:

a. Perbuatan/ rangkaian perbuatan (manusia)

b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, c. Diadakan tindakan penghukuman.

Lebih lanjut Moeljatno (1973: 64) membedakan unsur tindak pidana berdasarkan perbuatan dan pelaku dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu :

a. Unsur Subjektif berupa : - Perbuatan manusia

- Mengandung unsur kesalahan b. Unsur objektif, berupa :

- Bersifat melawan hukum - Ada aturannya

Berdasarkan pendapat para sarjana di atas, walaupun pendapat dari rumusan berbeda-beda namun pada hakekatnya ada persamaannya, ialah tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya (pelaku). Dalam merumuskan suatu perbuatan pidana maka perlu di ditegaskan secara jelas hal-hal yang menjadi unsur-unsurnya. Seseorang hanya dapat dipidana karena telah melakukan suatu tindak pidana, apabila jelas telah


(30)

memenuhi unsur-unsur didalamnya yaitu unsur perbuatan, melawan hukum, kesalahan, dan dapat pertanggungjawabkan.

C. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Penganiayaan serta Pengaturannya

1. Tindak Pidana Penganiayaan

Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atas luka (letsel) pada tubuh orang lain.

Adapula yang memahami penganiayaan adalah “dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan” (M. Bassar Sudrajat, 1986: 24), sedangkan dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana penganiayaan mempunyai unsur sebagai berikut :

a. Adanya kesengajaan, b. Adanya perbuatan,

c. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yaitu : 1. rasa sakit pada tubuh

2. luka pada tubuh

Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan ketiga berupa unsur objektif.


(31)

2. Tindak Pidana Penganiayaan dengan Pengaturannya

Kejahatan tindak pidana yang dilakukan terhadap tubuh dalam segala perbuatan-perbuatannya sehinnga menjadikan luka atau rasa sakit pada tubuh bahkan sampai menimbulkan kematian bila kita lihat dari unsur kesalahannya, dan kesengajaannya diberikan kualifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), yang dimuat dalam BAB XX Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 351 s/d 356.

Penganiayaaan yang dimuat dalam BAB XX Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 351s/d 355 adalah sebagai beriku:

1) Penganiayaan biasa Pasal 351 KUHP 2) Penganiayaan ringan Pasal 352 KUHP 3) Panganiayaan berencana Pasal 353 KUHP 4) penganiayaan berat Pasal 354 KUHP 5) Penganiayaan berat Pasal 355 KUHP

Penjelasan dari beberapa macam penganiayaan beserta pengaturannya tersebut diatas adalah sebagai berikut:

a. Penganiayaan biasa Pasal 351 KUHP

Pasal 351 KUHP telah menerangkan penganiayaan ringan sebagai berikut :

1. Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2. Jika perbuatan itu menyebabkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

3. Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.


(32)

5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak di pidana.

Arti sebuah penganiayaan yang merupakan suatu tindakan yang melawan hukum, memang semuanya perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh subyek hukum akan berakibat kepada dirinya sendiri. Mengenai penganiayaan biasa ini merupakan suatu tindakan hukum yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini berari bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat itu sungguh-sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan itu. yang menyebabkan rasa sakit, luka, sehingga menimbulkan kematian. Tidak semua perbuatan memukul atau lainnya yang menimbulkan rasa sakit dikatakan sebuah penganiayaan.

Oleh karena mendapatkan perizinan dari pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsi jabatannya. Seperti contoh: seorang guru yang memukul anak didiknya, atau seorang dokter yang telah melukai pasiennya dan menyebabkan luka, tindakan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai penganiayaan, karena ia bermaksud untuk mendidik dan menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Adapula timbulnya rasa sakit yang terjadi pada sebuah pertandingan diatas ring seperti tinju, pencak silat, dan lain sebagainya. Tetapi perlu digaris bawahi apabila semua perbuatan tersebut diatas telah malampui batas yang telah ditentukan karena semuanya itu meskipun telah mendapatkan izin dari pemerintah ada peraturan yang membatasinya diatas perbuatan itu, mengenai orang tua yang memukili anaknya dilihat dari ketidak wajaran terhadap cara mendidiknya.

Oleh sebab dari perbuatan yang telah melampaui batas tertentu yang telah diatur dalam hukum pemerintah yang asalnya pebuatan itu bukan sebuah penganiayaan,


(33)

karena telah melampaui batas-batas aturan tertentu maka berbuatan tersebut dimanakan sebuah penganiayaan yang dinamakan dengan “penganiayaan biasa”. Yang bersalah pada perbuatan ini diancam dengan hukuman lebih berat, apabila perbuatan ini mengakibatkan luka berat atau matinya sikorban. Mengenai tentang luka berat lihat Pasal 90 KUHP. Luka berat atau mati yang dimaksud disini hanya sebagai akibat dari perbuatan penganiayaan itu.

Mengenai tindakan hukum ini yang akan diberikan kepada yang bersalah untuk menentukan Pasal 351 KUHP telah mempunyai rumusan dalam penganiayaan biasa dapat di bedakan menjadi:

1. Penganiayaan biasa yang tidak menimbulkan luka berat maupun kematian 2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat

3. Penganiayaan yang mengakibatkan kematian

4. Penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan.

b. Penganiayaan ringan Pasal 352 KUHP

Dikategorikan penganiayaan ringan Karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Rumusan dalam penganiayaan ringan telah diatur dalam Pasal 352 KUHP sebagai berikut:

“Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.”


(34)

Melihat Pasal 352 Ayat (2) bahwa “percobaan melakukan kejahatan itu (penganiyaan ringan) tidak dapat di pidana” meskipun dalam pengertiannya menurut para ahli hukum, percobaan adalah menuju kesuatu hal, tetapi tidak sampai pada sesuatu hal yang di tuju, atau hendak berbuat sesuatu dan sudah dimulai akan tetapi tidak sampai selesai. Disini yang dimaksud adalah percobaan untuk melakukan kejahatan yang bisa membahayakan orang lain dan yang telah diatur dalam Pasal 53 ayat (1). Sedangkan percobaan yang ada dalam penganiyaan ini tidak akan membahayakan orang lain.

c. Penganiyaan berencarna Pasal 353 KUHP

Ketentuan Pasal 353 mengenai penganiyaan berencana merumuskan sebagai berikut :

1. Penganiayaan dengan berencana lebih dulu, di pidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

2. Jika perbutan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara palang lama tujuh tahun

3. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Arti di rencanakan lebih dahulu adalah: “bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang”.

Apabila kita pahami tentang arti dari di rencanakan diatas, bermaksud sebelum melakukan penganiayaan tersebut telah di rencanakan terlebih dahulu, oleh sebab


(35)

terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu (meet voor bedachte rade) sebelum perbuatan dilakukan, direncanakan lebih dulu (disingkat berencana), adalah berbentuk khusus dari kesengajaan (opzettielijk) dan merupakan alasan pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subjektif, dan juga terdapat pada pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).

Perkataan berpikir dengan tenang, sebelum melakukan penganiayaan, si pelaku tidak langsung melakukan kejahatan itu tetapi ia masih berfikir dengan batin yang tenang apakah resiko/akibat yang akan terjadi yang disadarinya baik bagi dirinya maupun orang lain, sehingga si pelaku sudah berniat untuk melakukan kejahatan tersebut sesuai dengan kehendaknya yang telah menjadi keputusan untuk melakukannya. Maksud dari niat dan rencana tersebut tidak di kuasai oleh perasaan emosi yang tinggi, was-was/takut, tergesa-gesa atau terpaksa dan lain sebagainya.

Penganiayaan berencana yang telah dijelaskan diatas dan telah diatur dalam Pasal 353 KUHP apabila mengakibatkan luka berat dan kematian adalah berupa faktor/alasan pembuat pidana yang bersifat objektif, penganiayaan berencana apabila menimbulkan luka berat yang di kehendaki sesuai dengan (ayat 2) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi penganiayaan berat berencana (Pasal 355 KUHP), apabila kejahatan tersebut bermaksud dan ditujukan pada kematian (ayat 3) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).


(36)

d. Penganiayaan berat Pasal 354 KUHP

Penganiayaan berat dirumuskan dalam Pasal 354 yang rumusannya adalah sebgai berikut:

1. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana kerena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Perbuatan berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana yaitu pebuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larang itu dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Ketiga unsur diatas harus disebutkan dalam Undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana, seorang jaksa harus teliti dalam merumuskan apakah yang telah dilakukan oleh seorang terdakwa dan ia harus menyebutkan pula tuduhan pidana semua unsur yang disebutkan dalam Undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana.

Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik tehadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya, yaitu luka berat. Mengenai luka berat disini bersifat abstrak bagaimana bentuknya luka berat, kita hanya dapat merumuskan luka berat yang telah di jelaskan pada Pasal 90 KUHP sebagai berikut:


(37)

Luka berat berarti : Jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut seperti;

a. Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian

b. Didak dapat lagi memakai salah satu panca indra c. Mendapat cacat besar

d. Lumpuh (kelumpuhan)

e. Akal (tenaga faham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu f. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.

Ketentuan Pasal 90 KUHP di atas telah dijelaskan tentang golongan yang bisa dikatakan sebagi luka berat, sedangkan akibat kematian pada penganiayaan berat bukanlah merupakan unsur penganiayaan berat, melainkan merupakan faktor atau alasan memperberat pidana dalam penganiayaan berat.

e. Penganiayaan berat berencana Pasal 355 KUHP

Penganiyaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut :

1. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun

2. Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Bila kita lihat penjelasan yang telah ada diatas tentang kejahatan yang berupa penganiayaan berencana, dan penganiayaan berat, maka penganiayaan berat berencana ini merupakan bentuk gabungan antara penganiayaan berat (Pasal 354 ayat 1) dengan penganiyaan berencana (Pasal 353 ayat 1), dengan kata lain suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana, kedua bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena harus


(38)

terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana.

D. Ketentuan dan Unsur-Unsur Tindak Pidana dalam Pasal 170 KUHP Ketentuan Pasal 170 KUHP menjelaskan bahwa:

(1) Barangsiapa secara terang-terangan dan secara bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (KUHP 336).

(2) Barangsiapa bersalah diancam

1. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, bila dengan sengaja menghancurkan barang atau bila kekerasan yang digunakan itu mengakibatkan luka-luka;

2. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, bila kekerasan itu mengakibatkan luka berat; (KUHP 90);

3. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, bila kekerasan itu mengakibatkan kematian. (KUHP 487).

(3) Pasal 89 tidak berlaku bagi pasal ini (KUHP 336).

Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 170 KUHP ini sebagai berikut:

1. Unsur “barangsiapa”. Hal ini menunjukkan kepadaorang sebagai pelaku. 2. Unsur “di muka umum”. Perbuatan itu dilakukan di tempat dimana publik

dapat melihatnya.

3. Unsur “bersama-sama”, artinya dilakukan oleh sedikit-dikitnya dua orang atau lebih.

4. Unsur “kekerasan”, yang berarti mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil dan tidak sah. Kekerasan dalam pasal ini biasanya terdiri dari “merusak barang” atau “penganiayaan”.

5. Unsur “terhadap orang atau barang”. Kekerasan itu harus ditujukan kepada orang atau barang.


(39)

E. Jenis-Jenis Sanksi Pidana dan Tindakan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (selanjutnya disingkat UU Pengadilan Anak) antara lain telah menetapkan apa yang dimaksud anak. Undang-Undang ini berlaku lexspecialis terhadap KUHP, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, dengan adanya UU Pengadilan Anak, menjadi acuan pula dalam perumusan Konsep KUHP Tahun 2011 berhubungan dengan pidana dan tindak pidana bagi anak. Dengan demikian, tidak akan ada tumpang tindih atau saling bertentangan.

UU Pengadilan Anak menyatakan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 angka 1 UU Pengadilan Anak), yang dimaksud anak nakal adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Sehubungan dengan hal tersebut, jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan maka status anak nakal tersebut berdasarkan putusan pengadilan dapat sebagai anak pidana atau anak negara. Disebut anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Kemudian sebagai anak negara yaitu anak yang


(40)

berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LP anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Berdasarkan ketentuan UU Pengadilan Anak terhadap Anak Nakal dapat dijatuhkan pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan atau tindakan. Ketentuan dalam Pasal 23 Ayat (2) dan Ayat (3) UU Pengadilan Anak mengatur tentang pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak nakal.

1. Pidana Pokok

Pidana pokok yang dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : a. Pidana penjara,

b. Pidana kurungan, c. Pidana denda, atau d. Pidana pengawasan.

2. Pidana Tambahan

Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa :

a. Perampasan barang-barang tertentu, dan atau b. Pembayaran ganti kerugian.

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 Ayat (1) UU Pengadilan Anak tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh,

b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, atau


(41)

c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

Selain tindakan tersebut, Hakim dapat memberikan teguran dan menetapkan syarat tambahan. Teguran adalah peringatan dari hakim baik secara langsung terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang tua, wali atau orang tua asuhnya agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatannya. Syarat tambahan itu misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada pembimbing kemasyarakatan didasarkan pada penjelasan Pasal 24 Ayat (2) UU Pengadilan Anak.

Penjatuhan tindakan yang dilakukan oleh hakim dilakukan kepada anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak menurut peraturan perundang-undangan. Namun, terhadap anak yang melakukan tindak pidana, hakim menjatuhkan pidana pokok dan atau pidana tambahan atau tindakan. Pada segi usia, pengenaan tindakan terutama bagi anak yang masih berusia 8 (delapan) tahun sampai 12 (dua belas) tahun. Terhadap anak yang telah melampaui umur diatas 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Hal ini dilakukan mengingat pertumbuhan dan perkembanagn fisik, mental dan sosial anak.

Jenis tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal berdasarkan UU Pengadilan Anak Pasal 24 Ayat (1) ternyata lebih sempit (sedikit) dibandingkan dengan rumusan Konsep KUHP Tahun 2011. Rumusan pengenaan tindakan terhadap anak (Pasal 132 Konsep KUHP Tahun 2011) adalah:


(42)

a. Pengembalian kepada orang tua, wali atau pengasuhnya, b. Pengembalian kepada pemerintah atau seseorang,

c. Keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta,

d. Pencabutan surat izin mengemudi, e. Rehabilitasi

F. Teori-Teori Tentang Pidana dan Pemidanaan

Teori hukum pidana menjelaskan bahwa seseorang yang berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat dan harus diketahui pula atas apa yang diperbuat. Tidak termasuk perbuatan dengan sengaja adalah suatu gerakan yang ditimbulkan oleh reflek, gerakan tangkisan yang tidak dikendalikan oleh kesadaran.

Kesengajaan itu secara alternatif, dapat ditujukan kepada tiga elemen perbuatan pidana sehingga terwujud kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat dan kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana. Adapun teori-teori yang berkaitan dengan hal tersebut antara lain:

1. Teori Kehendak (willstheorie)

Teori kehandak yang diajarkan oleh Von Hippel dengan karanganya tentang “Die Grenze von Vorzatz und Fahrlassigkeit” menerangkan bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatn itu, dengan kata lain apabila seseorang melakukan perbuatan yang tertentu, tentu saja melakukannya itu kehendak menimbulkan akibat tertentu pula, karena ia melakukan perbuatan itu justru dapat dikatakan bahwa ia menghendaki akibatnaya, ataupun hal ikhwal yang menyertai.


(43)

2. Teori Pengetahuan/dapat membayangkan/persangkaan (voorstellingstheorie)

Teori Pengetahuan/dapat membayangkan/persangkaan yang diajarkan oleh Frank dengan karanganya tentang “Vorstelung un Wille in der Moderner Doluslehre” menerangkan bahwa tidaklah mungkin sesuatu akibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya tentu dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat membayangkan/menyangka terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai.

Menurt teori kehendak (willstheorie) adalah hal baik terhadap perbuatnnya maupun terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai, dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat dapat ditujukan kepada perbuatan, akibat dan hal ikhwal yang menyertai. Sebaliknya menurut teori pengetahuan/membayangkan/persangkaan (voorstellingstheorie) bahwa aakibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat hanya dapat ditujukan kepada perbuatan saja.

Sehubungan dengan hal tersbut, menurut Adami Chazawi (2002: 55) memberikan pendapat mengenai teori kehendak (willstheorie) sebagai berikut:

...dalam kehidupan sehari- hari seseorang yang hendak membunuh orang lain, lalu menembakkan pistol dan pelurunya meletus ke arah sasaran, maka perbuatan menembak itu dikehendaki oleh si pembuat, akan tetapi akibatnya belum tentu timbul karena meleset pelurunya, yang oleh karena itu si pembuat bukannya menghendaki akibatnya melainkan hanya dapat membayangkan/menyangka (voorstellen) bahwa akibat perbuatannya itu akan timbul. Akibat mati seperti itu tidak tergantung pada kehendak manusia, dan tepatlah alam pikiran dari voorstellingstheorie. De voorstellingstheoriedari Frank menjadi teori yang banyak penganutnya, dan untuk teori ini diikuti jalan piikiran bahwa voorstellingstheorie lebih


(44)

memuaskan karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan (gambaran) dimana seseorang untuk menghendaki sesuatu lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu, lagi pula kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (alsan pendorong untuk berbuat) dan tujuannya perbuatan.

Teori tentang hukuman atau pemidaaan menjelaskan bahwa hukuman sebaiknya didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masarakat, yang diterapkan dengan menggabungkan salah satu unsur tanpa memberatkan unsur lain sehingga tujuan hukum untuk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan hukum dapat tercapai (R. Soesilo, 1984: 37).

Sehubungan dengan hal tersebut, pada dasarnya masalah pemidanaan berhubungan erat dengan kehidupan seseorang dimasyarakat, terutama bila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan bermasyarakat yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasan. Periodisasi sekarang ini telah umum diterima pendapat bahwa yang menjatuhkan pidana adalah negara atau pemerintah dengan perantaraan alat-alat hukum pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana selalu dihadapkan dengan suatu paradoxaliteit yang oleh Hazewinkel-Suringa (R. Soesilo, 1984: 53) dilukiskan sebagai berikut:

Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjamin supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan pada pihak lain, pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.


(45)

Tujuan pemidanaan dalam ilmu hukum pidana menurut R. Soesilo (1984: 42), adalah sebagai berikut :

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. keseluruhan teori pemidanaan baik yang bersifat prevensi umum dan prevensi khusus, pandangan perlindungan masyarakat, teori kemanfaatan, teori keseimbangan yang bersumber pada pandangan adat bangsa Indonesia maupun teori resosialisasi sudah tercakup didalamnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Simons yang dikutip oleh P.A.F. Lamintang (1997: 34) menjelaskan bahwa dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus tercakup dua hal, yaitu pertama harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si pelaku dan yang kedua harus tercakup tujuan pemidanaan berupa memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat. Di dalam pemidanaan terdapat beberapa teori antara lain teori teori absolut, teori pembalasan, teori relatif, dan teori gabungan.

a. Teori Absolut atau Teori pembalasan

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang melakukan kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan atau tindak pidana yang dilakukan seseorang. Ada pemidanaan karena ada pelanggaran hukum, ini merupakan tuntutan keadilan. Jadi


(46)

dasar pembenaran dari pidana terletak dari adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri, terlepas dari manfaat yang harus dicapai.

Menurut Imanuel Kant memandang pidana sebagai ”Kategorische imperatif” yakni seseorang harus dipidana oleh hakim karena telah melakukan kejahatan, sehingga pidana menunjukkan suatu tuntutan. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat pada pendapat Imanuel Kant yang dikutip oleh Wirjono Projodikoro (1981: 11) dalam bukunya sebagai berikut:

...pidana tidak pernah dilaksnakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.

Mengenai teori pembalasan tersebut, menurut Djisman Samosir yang dikutip oleh Wirjono Projodikoro (1981: 21) memberikan pendapat sebagai berikut:

Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendiri yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak ada, karena melakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana.

b. Teori Relatif

Menurut teori relatif suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Memidana bukanlah sekedar untuk pembalasan saja tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Pembalasan itu sendiri tidak memiliki nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Menurut Johan Andreas yang dikutip oleh Wirjono Projodikoro (1981: 29) menjelaskan bahwa teori ini disebut juga sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory of


(47)

social defence). Karena teori ini juga memasyarakatkan adanya tujuan dalam pemidanaan maka sering juga disebut sebagai teori tujuan (utilitarian theory).

Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuanya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan). Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan menjadi dua istilah, yakni :

1) Prevensi/pencegahan umum (Generale Preventie)

Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Pengaruh pidana ditujukan terhadap masyarakat pada umumnya dengan maksud untuk menakut-nakuti. Artinya pencegahan kejahatan yang ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana (Wirjono Projodikoro, 1981: 33).

Menurut Johan Andreas yang dikutip oleh Wirjono Projodikoro (1981: 39) menyatakan bahwa terdapat tiga bentuk pengaruh dalam pengertian prevensi umum, yaitu :

1. Pengaruh pencegahan;

2. Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral;

3. Pengaruh untuk mendorong suatu kebiasaan perbuatan patuh terhadap hukum

2) Prevensi/pencegahan khusus (speciale preventie)

Prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana ditujukan terhadap terpidana, yang menekankan tujuan pidana adalah agar terpidana tidak mengulangi


(48)

perbuatanya lagi. Fungsinya untuk mendidik dan memperbaiki terpidana untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martbatnya. Teori tujuan pidana ini dikenal pula dengan sebutan reformationataurehabilitation theory(Wirjono Projodikoro, 1981: 41).

c. Teori Gabungan

Teori gabungan adalah suatu kombinasi dari teori absolut dan teori relatif. Menuirut teori gabungan, tujuan pemidanaan selai membahas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban, dengan ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui batas pembalasan yang adil (Wirjono Projodikoro, 1981: 46).

Sehubungan dengan hal tersebut, terhadap teori gabungan ini terdapat tiga aliran yang mempengaruhi (Moeljatno, 1973: 22-23), yakni :

1) Teori gabungan menitikberatkan unsur pembalasan, tetapi sifatnya berguna bagi masyarakat. Zeverbergen mengatakan, bahwa makna tiap-tiap pidana untuk melindungi tata hukum dan pemerintah.

2) Teori gabungan yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat. Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi tujuanya ialah melindungi kesejahteraan masyarakat. Menurut Vos, pidana berfungsi sebagai pencegahan umum.

3) Teori gabungan yang memandan sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat.

Berkenaan dengan hal di atas, Roeslan Saleh yang dikutip oleh Moeljatno (1973: 29) mengemukakan dalam bukunya yang berjudul “Suatu Reorientasi dalam


(49)

Hukum Pidana”, bahwa pidana hakekatnya terdapat dua poros yang menentukan garis-garis hukum pidana, yakni:

a). Segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan.

b). Segi pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan reksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum.


(50)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya (soerjono soekanto, 1987: 43)

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara yuridis normatif. Pendekatan normatif dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, bahan-bahan literatur lain yang menunjang dan berhubungan sebagai penelaahan hukum terhadap kaidah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

B. Sumber dan jenis data

Jenis data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara mengutip dan menelaah peraturan


(51)

perundang-undangan, pra survey pada Pengadilan Negeri Metro, teori-teori dari para ahli hukum, kamus hukum, serta internet.

1. Bahan Hukum Primer antara lain:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

c) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. d) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. e) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

f) Undang-Undamg Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dikemukakan para ahli hukum serta peraturan-peraturan pelaksanaan dari Undang-undang khususnya Rancangan Undang-undang yang berhubungan dengan penelitian penulis. Bahan hukum sekunder penelitian ini meliputi putusan Pengadilan Negeri Metro Nomor: 29/Pid.An/2009/PN.Metro, peraturan pemerintah nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan sebagainya.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari: Literatur-literatur, makalah-makalah, Internet, surat kabar dan lain-lain.


(52)

C. Penentuan Narasumber

Narasumber dalam penelitian ini diperlukan untuk memberikan informasi dan pengetahuan secara jelas yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian. Pemilihan narasumber dengan pertimbangan bahwa narasumber tersebut dapat mewakili institusinya sehingga dapat memberikan informasi mengenai permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini. Informasi yang diberikan oleh narasumber berdasarkan pengetahuan dan pengalaman, sehingga penelitian ini memperoleh sumber informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaranya. Adapun narasumber sebagai bahan hukum penunjang dalam penelitian ini adalah 2 (dua) orang akademisi/dosen bagian hukum pidana fakultas hukum Universitas Lampung.

D. Metode Pengumpulan dan Pengelolaan data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data digunakan cara dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan digunakan untuk memperoleh data skunder melalui serangkaian kegiatan studi kepustakaan dengan cara menelaah, mencatat dan mengutip buku-buku dan beberapa ketentuan-ketentuan serta literatur lain yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan diteliti atau dibahas dengan cara mempelajari dokumen-dokumen yang ada hubungan dengan permasalahan.


(53)

2. Pengelolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan yaitu dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas.

b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasikan atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterpretasikan data.

d. Interpretasi data, yaitu memberikan pendapat atau pandangan secara teoritis terhadap suatu data.

E. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Data yang telah diperoleh, lalu diolah kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu dilakukan dengan menggambarkan data yang dihasilkan dalam bentuk uraian kalimat atau penjelasan. Dari analisis data tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan yang bersifat khusus yang


(54)

merupakan jawaban dari permasalahan berdasarkan hasil penelitian dan selanjutnya diberikan beberapa saran.


(55)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Bentuk pengkualifikasian tindak pidana Pasal 351 jo Pasal 55 KUHP dengan Pasal 170 KUHP dalam perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro yakni Pasal 170 KUHP mengatur tentang sanksi hukum bagi para pelaku kekerasan terhadap orang atau barang di muka umum. Bila dikualifikasikan berbeda pengertian ataupun tujuan yang dimaksudkan Pasal 170 KUHP dengan Pasal 351 dan 55 KUHP. Objek dari perlakuan para pelaku dalam Pasal 170 KUHP ini bukan saja haruslah manusia tetapi dapat saja berupa benda atau barang.

Rumusan ketentuan Pasal 351 KUHP menunjukkan bahwa dalam rumusan tersebut tidak memberikan kejelasan tentang perbuatan seperti apa yang dimaksudkan tetapi hanya merumuskan kualifikasinya dan pidana yang diancamkan. Pasal 170 KUHP pelaku adalah lebih dari satu, sedangkan dalam Pasal 351 KUHP, pelaku adalah satu orang, ataupun dapat lebih dari satu orang dengan catatan dilakukan tidak dalam waktu yang bersamaan. Seseorang dapat saja mendapat perlakuan kekerasan dari dua orang atau lebih tetapi para pelaku tidak melakukannya bersama-sama atau tidak sepakat dan


(56)

sepaham untuk melakukan kekerasan itu, maka hal ini sudah memasuki ranah Pasal 351 KUHP. Pasal 170 dilakukan oleh para pelaku dalam waktu yang bersamaan ataupun dalam waktu yang berdekatan dengan syarat ada kesepakatan dan kesepahaman untuk berbuat tindakan kekerasan tersebut terhadap orang atau barang. Kualifikasi yang paling mendasar Pasal 170 dengan Pasal 351 KUHP adalah dilakukannya tindakan itu di hadapan orang banyak atau di ruang publik terbuka, sedangkan pada Pasal 351 hal ini tidak dibedakan, apakah dilakukan di ruang tertutup untuk umum ataupun di ruang publik terbuka. Ancaman hukuman Pasal 170 KUHP lebih berat daripada Pasal 351 KUHP.

2. Putusan Hakim terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar di wilayah Kota Metro dalam Perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro dalam kerangka tujuan pemidanaan yakni hakim berpedoman pada nemesis theory (teori pembalasan) dalam pemidanaan, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang melakukan kejahatan atau tindak pidana. Tujuan pemidanaannya tidak hanya untuk membuat seseorang merasa jera dengan hukuman pidana yang dijatuhkan, melainkan agar para terdakwa menyadari atas kejahatan yang dilakukan. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Metro yang memeriksa dan mengadili perkara ini berdasarkan keyakinan dengan alat bukti yang cukup, para terdakwa dijatuhi pidana penjara masing-masing selama 2 (Dua) bulan. Secara normatif memang terjadi jumping conclusion, tetapi secara komperhensif penjatuhan hukuman pidana penjara masing-masing selama 2 (Dua) bulan


(57)

sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan karena hakim memiliki alasan-alasan tertentu dalam menjatuhkan hukuman pidana penjara.

B. Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan analisis yuridis terhadap tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar di wilayah Kota Metro (Studi Kasus Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro) sebagai berikut:

1. Hakim harus lebih teliti lagi dalam menerapkan sanksi pidana dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menerapkan sanksi pidana (jumping conclusion) sesuai dengan tujuan pemidanaan. Dalam hal ini kentuan Pasal 170 KUHP dinilai lebih tepat diterapkan dalam pemidanaan.

2. Majelis Hakim dapat menjatuhkan vonis dengan ancaman pidana yang lebih tepat, sebagaimana yang terdapat dalam konsep tujuan pemidanaan.


(1)

RIWAYAT HIDUP

Reza Fahlepi dilahirkan di Bukit Kemuning 19 Januari 1991, yang merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Hi. Nurdin, S.E. dan Ibu Hj. Siti Aminah, S.Pd.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak PGRI Bukit Kemunig pada tahun 1996, Sekolah Dasar Negeri 2 Bukit Kemunig pada tahun 2002, penulis melanjutkan studinya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Bukit Kemunig pada tahun 2005 dan Sekolah Menengah Atas 1 Bukit Kemunig pada tahun 2008. Dengan mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa akhirnya penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada Tahun 2008.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan. Selain itu, pada Tahun 2011 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tanggal 31 Juni samapi 9 Agustus 2011 yang dilaksanakan di Kelurahan Gunung Katun Tanjungan Kecamatan Tulang Bawang Barat.


(2)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNYA, maka dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payahku,

aku persembahkan sebuah karya ini kepada :

Papa dan Mama yang kuhormati, kusayangi, dan kucintai

Terima kasih untuk setiap pengorbanan kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do’a demi keberhasilanku

Kakakku Fareza Nurmiati dan Adikku Fengky Rihardo yang senantiasa menemaniku dengan keceriaan dan kasih sayang

Guru-guruku

Semoga ilmu yang telah kalian berikan dapat berguna bagiku dan menjadi ladang amal bagimu

Sahabat-sahabatku yang selalu hadir menemaniku dalam suka maupun duka


(3)

MOTTO

Kunci sukses adalah kegigihan untuk memperbaiki diri, dan kesungguhan untuk mempersembahkan yang terbaik dari hidup ini.

“ Keberhasilan tak akan ada tanpa adanya usaha dan do’a ”

Jenius adalah 1 % inspirasi dan 99 % keringat, maka tidak ada yang dapat menggantikan kerja keras; dan keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan

bertemu dengan kesiapan. (Thomas Alfa Edison)


(4)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamien. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT,

Rabb seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : ANALISIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA OLEH PELAJAR DI WILAYAH KOTA METRO (Studi Kasus Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro).

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(5)

3. Bapak Prof. Kadri Husin, S.H., M.H. selaku Pembimbing Pertama yang telah memberikan saran dan meluangkan waktunya sehingga proses penyelesaian skripsi dapat berjalan dengan baik.

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini. 5. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. dan Ibu Dona M., S.H., M.H. sebagai

Pembahas Pertama dan Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Shafruddin, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H. dan Bapak Rinaldi Amrullah, S.H., M.H. yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara demi penelitian skripsi ini.

8. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.

10. Papa Hi. Nurdin, S.E. dan mama Hj. Siti Aminah, S.Pd. tercinta atas kasih sayang, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti keberhasilanku.

11. Saudara-saudaraku: Adin, Yuk Tia, Anggi, Gery, beserta seluruh keluarga besarku terimakasih atas dukungan dan do’a yang selam ini telah diberikan.


(6)

12. Sahabat-sahabatku: Juli, Bambang, Feby, Danang, Anton, Adi, My best Friend Liders JM, Lili, Ira, Desi, Eka, Suci, Jumai, Maya, Elva, Gema, Yuki, Dira, Queen, Tia, Citra, Sari, Ria, Lucky, Inez, Meliza, Putri, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.

13. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 1 Mei 2012 Penulis