Analisis Hukum Atas Pembatasan Investasi Asing Pada Sektor Industri Jasa Perbankan Di Indonesia

(1)

ANALISIS HUKUM ATAS PEMBATASAN INVESTASI ASING PADA SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh : HENJOKO

100200105

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANALISIS HUKUM ATAS PEMBATASAN INVESTASI ASING PADA SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH: HENJOKO NIM : 100200105

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui,

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

NIP. 197501122005012002 Windha, S. H., M. Hum.

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Budiman Ginting, S. H., M. Hum. Dr. Mahmul Siregar, S. H., M. Hum.

NIP :19590511198601101 NIP. 197302202002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga Penulis bisa menyelesaikan karya tulis skripsi ini dengan baik dan benar.

Penulisan Skripsi yang berjudul: Analisis Hukum Atas Pembatasan Investasi Asing Pada Sektor Industri Jasa Perbankan di Indonesia adalah guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik tersebut, maka penulis akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.

Secara khusus, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua Penulis yang telah membesarkan, mendidik, dan mendukung Penulis hingga bisa menyelesaikan pendidikan formal Strata Satu (S1) ini.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah mengelola dan menyelenggarakan universitas sesuai dengan visi dan misi USU.


(4)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta membina tenaga pendidik dan mahasiswa di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

4. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang administrasi umum.

5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu Dekan dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan pelayanan kesejahteraan mahasiswa.

6. Ibu Windha, S. H., M. Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi dan Dosen Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala saran dan kritik yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.


(5)

7. Bapak Ramli Siregar, S.H., M. Hum., selaku Sekretaris Jurusan Departemen Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas ilmu yang telah diberikan dalam perkuliahan.

8. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., Dosen Hukum Ekonomi dan Dosen Pembimbing I. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

9. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Hukum Ekonomi dan Dosen Pembimbing II. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan, kritikan, saran, bimbingan, dan dukungan yang sangat berarti dan bermanfaat hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

10. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Dosen Wali. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan sejak baru menjadi mahasiswa sampai sekarang selesai menyelesaikan pendidikan.

11. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Kakak dan adik Penulis yang selama ini banyak mendukung dan membantu Penulis dalam proses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

13. Heriyanto, Paulina, Yuthi, Jennifer, Aziz, Timot, Diana, Herbert, dan Andi selaku teman-teman organisasi International Law Moot Court Competition


(6)

(ILMCC) Jessup Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Thanks for all memories!

14. Vellichia, Mama (Imelda), Chyntia, Jerry, dan seluruh teman di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu bersama Penulis dalam suka maupun duka pada saat menjalani masa perkuliahan

Medan, 24 Februari 2014 Penulis

Henjoko NIM: 100200105


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

ABSTRAK ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Metode Penelitian ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II ALASAN DIBENARKANNYA KEPEMILIKAN SAHAM OLEH ASING PADA SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA A. Reformasi Sektor Industri Jasa Perbankan ... 27

1. Kondisi perbankan nasional sebelum dan sesudah Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) ... 27

2. Kehancuran sektor industri jasa perbankan nasional pada tahun 1998 ... 33

3. Perbaikan sektor industri jasa perbankan pasca krisis tahun 1998 ... 37


(8)

B. Kebutuhan Akan Dana Investasi Yang Besar Dalam Rangka Pembangunan Nasional ... 41 1. Fungsi sektor industri jasa perbankan sebagai

lembaga pembiayaan ... 41 2. Peningkatan penyerapan dana masyarakat ... 47 3. Peningkatan kesejahteraan masyarakat ... 51 C. Keikutsertaan Indonesia Sebagai Anggota World Trade

Organization (WTO) ... 53 1. Liberalisasi sektor industri jasa perbankan menurut

ketentuan General Agreement on Trade in Services

(GATS) ... 53 2. Pembebasan investasi asing menurut ketentuan

Agreement on Trade-Related Investment Measures

(TRIMs) ... 60

BAB III PENGATURAN KEPEMILIKAN SAHAM OLEH

ASING PADA SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA

A. Pengaturan Kegiatan Investasi di Indonesia ... 64 1. Dasar hukum kegiatan investasi di Indonesia ... 64 2. Bidang usaha investasi di Indonesia ... 67 3. Bentuk kegiatan investasi dalam sektor industri jasa

perbankan nasional ... 70 B. Pengaturan Tentang Kepemilikan Saham Bank Umum di

Indonesia ... 73 1. Dasar hukum kepemilikan saham bank umum di

Indonesia ... 73 2. Persyaratan dan prosedur investasi dalam sektor

industri jasa perbankan ... 76 3. Peranan Bank Indonesia sebagai regulator perbankan


(9)

C. Kebijakan Pembatasan Kepemilikan Saham Bank Umum di Indonesia ... 89 1. Dasar hukum pembatasan kepemilikan saham bank

umum di Indonesia ... 89 2. Latar belakang pembatasan kepemilikan saham bank

umum di Indonesia ... 95

3. Tujuan pembatasan kepemilikan saham bank umum di Indonesia ... 97

BAB IV PEMBATASAN KEPEMILIKAN SAHAM ASING

DALAM SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA

A. Perbandingan Terhadap Pembatasan Investasi Asing dalam Sektor Industri Jasa Perbankan di Negara Lain ... 101 B. Posisi Strategis Sektor Industri Jasa Perbankan dalam

Kegiatan Ekonomi Nasional ... 104

C. Penerapan Asas Resiprokal Bagi Perbankan Nasional di Luar Negeri ... 110

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 117 B. Saran ... 119


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tabel Kronologis Tindakan Pemerintah (BPPN) di

Bidang Perbankan ... 39

Tabel 4.1 Tabel Batas Maksimum Jumlah Kepemilikan Asing


(11)

Analisis Hukum Atas Pembatasan Investasi Asing Pada Sektor Industri Jasa Perbankan di Indonesia

ABSTRAK Henjoko*1 Budiman Ginting** Mahmul Siregar***

Indonesia sebagai negara perekonomian berkembang memerlukan modal yang sangat besar dalam membiayai pertumbuhan ekonomi nasionalnya. Salah satu sumber modal tersebut ialah dari kegiatan investasi, terutama dari investor asing. Salah satu bidang ekonomi yang memperoleh kucuran modal asing ialah sektor industri jasa perbankan. Bahkan pihak asing telah memiliki peran yang cukup dominan dalam sektor perbankan. Peranan pihak asing yang cukup dominan tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai alasan sampai dibenarkannya kepemilikan saham oleh asing pada sektor industri jasa perbankan di Indonesia, hingga mengenai pengaturan kepemilikan saham oleh asing pada sektor industri jasa perbankan di Indonesia. Kemudian seiring dengan penguasaan pihak asing yang semakin dominan dalam sektor perbankan, timbul pertanyaan mengenai perlunya pembatasan kepemilikan saham asing dalam sektor industri jasa perbankan di Indonesia.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer, data sekunder, dan data tersier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan. Kemudian data yang telah terkumpul tersebut dianalisis secara normatif kualitatif.

Pembatasan investasi asing pada sektor industri jasa perbankan di Indonesia merupakan hal yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah saat ini. Sebab alasan ekonomi yang menjadi dasar dibenarkannya kepemilikan asing pada sektor industri jasa perbankan, hingga menjadi dominan seperti sekarang, tidak lagi sesuai dengan kemajuan ekonomi yang dicapai Indonesia saat ini. Oleh karenanya, perlu dilakukan perubahan pada ketentuan investasi yang sangat membebaskan investasi asing dalam sektor perbankan. Ketentuan tersebut terlalu membebaskan investasi asing hingga berakibat pada penguasaan pihak asing yang menjadi cukup dominan dalam sektor perbankan. Tindakan Bank Indonesia yang mengeluarkan peraturan tentang pembatasan kepemilikan saham pada bank umum sudah cukup tepat sebagai satu langkah awal. Walaupun tujuan utamanya untuk mencegah terjadinya dominasi satu pemegang saham pada suatu bank, Peraturan Bank Indonesia ini bisa menghentikan laju akuisisi bank nasional oleh pihak asing. Namun pemerintah masih tetap harus mengubah ketentuan lama yang sangat membebaskan kepemilikan asing dalam sektor perbankan. Sebab Peraturan Bank Indonesia tersebut sangat terkait erat dan tidak bisa dipisahkan dari

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(12)

ketentuan lama tersebut. Selain itu, ketentuan tentang batas maksimum kepemilikan asing dalam sektor perbankan harus segera dibentuk. Hal ini bercermin pada ketentuan sejenis yang dianut oleh banyak negara di dunia. Seluruh tindakan pembatasan tersebut harus segera dilaksanakan mengingat posisi sektor perbankan yang sangat strategis dalam perekonomian nasional sehingga sangat rawan untuk didominasi oleh pihak asing. Ketentuan pembatasan tersebut juga diperlukan dalam rangka untuk mewujudkan asas resiprokal bagi perbankan nasional dalam berekspansi di negara lain. Sebab ketentuan tersebut kelak bisa dijadikan sebagai alat tawar untuk mengatasi berbagai bentuk tindakan pembatasan yang dilakukan oleh berbagai negara terhadap perbankan nasional Indonesia saat melakukan ekspansi usaha. Namun dalam pembentukan ketentuan tentang pembatasan tersebut, pemerintah tetap harus memperhatikan ketentuan hukum nasional dan internasional yang berlaku di Indonesia. Sebab pemerintah Indonesia memiliki berbagai kewajiban yang tidak boleh dilanggar berkaitan dengan ketentuan hukum nasional dan internasional yang mengikat Indonesia.


(13)

Analisis Hukum Atas Pembatasan Investasi Asing Pada Sektor Industri Jasa Perbankan di Indonesia

ABSTRAK Henjoko*1 Budiman Ginting** Mahmul Siregar***

Indonesia sebagai negara perekonomian berkembang memerlukan modal yang sangat besar dalam membiayai pertumbuhan ekonomi nasionalnya. Salah satu sumber modal tersebut ialah dari kegiatan investasi, terutama dari investor asing. Salah satu bidang ekonomi yang memperoleh kucuran modal asing ialah sektor industri jasa perbankan. Bahkan pihak asing telah memiliki peran yang cukup dominan dalam sektor perbankan. Peranan pihak asing yang cukup dominan tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai alasan sampai dibenarkannya kepemilikan saham oleh asing pada sektor industri jasa perbankan di Indonesia, hingga mengenai pengaturan kepemilikan saham oleh asing pada sektor industri jasa perbankan di Indonesia. Kemudian seiring dengan penguasaan pihak asing yang semakin dominan dalam sektor perbankan, timbul pertanyaan mengenai perlunya pembatasan kepemilikan saham asing dalam sektor industri jasa perbankan di Indonesia.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer, data sekunder, dan data tersier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan. Kemudian data yang telah terkumpul tersebut dianalisis secara normatif kualitatif.

Pembatasan investasi asing pada sektor industri jasa perbankan di Indonesia merupakan hal yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah saat ini. Sebab alasan ekonomi yang menjadi dasar dibenarkannya kepemilikan asing pada sektor industri jasa perbankan, hingga menjadi dominan seperti sekarang, tidak lagi sesuai dengan kemajuan ekonomi yang dicapai Indonesia saat ini. Oleh karenanya, perlu dilakukan perubahan pada ketentuan investasi yang sangat membebaskan investasi asing dalam sektor perbankan. Ketentuan tersebut terlalu membebaskan investasi asing hingga berakibat pada penguasaan pihak asing yang menjadi cukup dominan dalam sektor perbankan. Tindakan Bank Indonesia yang mengeluarkan peraturan tentang pembatasan kepemilikan saham pada bank umum sudah cukup tepat sebagai satu langkah awal. Walaupun tujuan utamanya untuk mencegah terjadinya dominasi satu pemegang saham pada suatu bank, Peraturan Bank Indonesia ini bisa menghentikan laju akuisisi bank nasional oleh pihak asing. Namun pemerintah masih tetap harus mengubah ketentuan lama yang sangat membebaskan kepemilikan asing dalam sektor perbankan. Sebab Peraturan Bank Indonesia tersebut sangat terkait erat dan tidak bisa dipisahkan dari

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(14)

ketentuan lama tersebut. Selain itu, ketentuan tentang batas maksimum kepemilikan asing dalam sektor perbankan harus segera dibentuk. Hal ini bercermin pada ketentuan sejenis yang dianut oleh banyak negara di dunia. Seluruh tindakan pembatasan tersebut harus segera dilaksanakan mengingat posisi sektor perbankan yang sangat strategis dalam perekonomian nasional sehingga sangat rawan untuk didominasi oleh pihak asing. Ketentuan pembatasan tersebut juga diperlukan dalam rangka untuk mewujudkan asas resiprokal bagi perbankan nasional dalam berekspansi di negara lain. Sebab ketentuan tersebut kelak bisa dijadikan sebagai alat tawar untuk mengatasi berbagai bentuk tindakan pembatasan yang dilakukan oleh berbagai negara terhadap perbankan nasional Indonesia saat melakukan ekspansi usaha. Namun dalam pembentukan ketentuan tentang pembatasan tersebut, pemerintah tetap harus memperhatikan ketentuan hukum nasional dan internasional yang berlaku di Indonesia. Sebab pemerintah Indonesia memiliki berbagai kewajiban yang tidak boleh dilanggar berkaitan dengan ketentuan hukum nasional dan internasional yang mengikat Indonesia.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberlangsungan suatu negara tidak dapat dilepaskan dari berjalannya kegiatan ekonomi negara tersebut. Sebab secara umum, melalui kegiatan ekonomi suatu negara dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup masyarakatnya dalam rangka mencapai kesejahteraan. Kegiatan ekonomi ini kemudian diimplementasikan oleh suatu negara dalam wujud pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan, dengan tujuan utamanya mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Pembangunan ekonomi ini sendiri, oleh banyak negara, ditempatkan pada urutan pertama dari seluruh aktivitas pembangunan.2 Sedangkan pertumbuhan ekonomi sangat jamak digunakan sebagai ukuran utama oleh banyak negara dalam mengukur tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi negara yang bersangkutan.3

Namun pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi tersebut tentu sangat tergantung pada beberapa komponen, yaitu:4

2

Sirojuzilam dan Kasyful Mahalli, Regional: Pembangunan, Perencanaan, dan Ekonomi (Medan: USU Press, 2010), hlm. 1.

(1) akumulasi modal; (2) pertumbuhan penduduk; dan (3) kemajuan teknologi. Tanpa mengesampingkan pentingnya kedua komponen lainnya, faktor modal merupakan salah satu faktor

3

Ibid., hlm. 10. 4

Lia Amalia, Ekonomi Pembangunan, Ed. Pertama (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm. 23.


(16)

yang sangat vital dalam pembangunan ekonomi nasional. Berdasarkan sumbernya, modal bisa dibagi atas dua, yaitu:5

1. Modal yang berasal dari dalam negeri (modal dalam negeri/PMDN)

Terdiri atas 3 sumber, yaitu: tabungan sukarela masyarakat, tabungan pemerintah, dan tabungan paksa.

2. Modal yang berasal dari luar negeri (modal asing/PMA)

Terdiri atas 3 sumber, yaitu: bantuan luar negeri, pinjaman luar negeri, dan penanaman modal asing.

Faktor modal ini sendiri seringkali menjadi salah satu hambatan atau kelemahan dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Indonesia sebagai negara berkembang dengan tingkat kemakmuran yang relatif rendah, memiliki kemampuan penyediaan modal yang amat terbatas.6 Hal ini tentu bisa dimengerti karena penyediaan modal dalam negeri tentu sangat berbanding lurus dengan tingkat kemakmuran masyarakatnya (tingkat pendapatan masyarakatnya).7 Oleh karena kemampuan modal dalam negeri yang cukup lemah, Indonesia sangat mengandalkan sumber modal dari luar negeri, terutama penanaman modal asing. Di samping membawa devisa yang besar, penanaman modal asing juga membawa serta teknologi dan manajemen yang lebih maju dan diperlukan oleh Indonesia.8

5

Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan, Ed. Kedua (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 304.

Hal inilah yang kemudian menandai dimulainya liberalisasi di berbagai sektor ekonomi Indonesia.

6

Ibid., hlm. 303. 7

Lia Amalia, Op. cit., hlm. 31. 8


(17)

Salah satu bidang ekonomi yang juga memperoleh kucuran modal asing ialah sektor industri jasa perbankan. Sektor perbankan di Indonesia saat ini telah mengalami sejarah liberalisasi yang cukup panjang. Berdasarkan isi Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang dikeluarkan melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No.1061/KMK.00/1988 dan SE No.21/2/BPPP, maka diberikan kemudahan yang sangat besar dalam pendirian bank baru dan pembukaan kantor cabang bank baru, baik oleh bank nasional maupun bank asing. Pakto 88 dianggap sebagai permulaan liberalisasi sektor perbankan di Indonesia, yang tentu juga menandai dimulainya gelombang besar masuknya investasi asing di dalam sektor perbankan nasional. Bahkan banyak pihak menilai Pakto 88 merupakan kebijakan pemerintah yang paling liberal dalam sejarah sektor perbankan.9

Kemudian, seiring berjalannya waktu, Indonesia juga menjadi anggota

World Trade Organization (WTO) dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing of The World Trade Organization. Konsekuensinya Indonesia juga terikat dengan General

Penerbitan Pakto 88 oleh pemerintah Orde Baru ini sendiri sangat didasari oleh alasan ekonomi, yaitu untuk meningkatkan penghimpunan dana masyarakat serta untuk menarik investasi asing melalui sektor perbankan dalam rangka membiayai pembangunan nasional. Selain itu, alasan ekonomi ini tentu juga dibarengi dengan alasan untuk memperluas jangkauan seluruh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat di luar Pulau Jawa dan tentunya daerah perdesaan, terhadap sektor industri jasa perbankan.

9

Apriyani Kurniasih, “Jejak Langkah Kepemilikan Bank di Indonesia”, http://www.infobanknews.com/2011/03/jejak-langkah-kepemilikan-bank-di-indonesia-2/ (diakses tanggal 22 November 2013).


(18)

Agreement on Trade in Services (GATS), di mana Indonesia harus membuka seluas-luasnya (liberalisasi) sektor jasa kepada pihak asing, termasuk di dalamnya sektor industri jasa perbankan nasional. Liberalisasi sektor perbankan nasional ini kemudian dipertegas oleh Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum, di mana pihak asing diperbolehkan memiliki saham bank umum di Indonesia hingga 99%. Peraturan ini sendiri diterbitkan untuk melaksanakan paket reformasi ekonomi yang diberikan oleh International Monetary Fund (IMF)10

Namun seiring berjalannya waktu, berbagai kebijakan yang diambil oleh Indonesia dalam sektor industri jasa perbankan nasional mulai menunjukkan hasil atau konsekuensi yang sifatnya negatif. Hal ini sendiri kemudian dipertegas dengan fakta bahwa paket reformasi ekonomi yang diberikan oleh IMF ternyata

, dengan tujuan utamanya untuk memperbaiki dan mereformasi sektor perbankan nasional yang telah hancur akibat krisis ekonomi tahun 1997/1998. Investasi dari pihak asing juga diharapkan membawa serta teknologi, produk, dan manajemen perbankan yang baru, serta meningkatkan efisiensi dan profesionalitas dalam sektor perbankan dan keuangan nasional. Kemudian, berbagai peraturan dalam bidang investasi, seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, memberikan perlakuan yang setara bagi investor asing dalam berinvestasi di sektor perbankan nasional.

10

Lihat Memorandum on Economic and Financial Policies (MEFP) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF) pada 15 Januari, 10 April dan 25 Juni 1998.


(19)

tidak sesuai dengan kondisi perekonomian nasional Indonesia, bahkan cenderung justru memperburuk perkonomian nasional Indonesia yang sebenarnya sudah porak-poranda akibat krisis ekonomi tahun 1997/1998.11

Hasil riset oleh KATADATA Indonesia menunjukkan bahwa peta perbankan nasional dalam satu dasawarsa terakhir telah mengalami pergeseran signifikan. Penguasaan aset perbankan nasional oleh bank-bank milik negara dan swasta nasional kian susut. Sebaliknya, porsi penguasaan aset oleh bank-bank milik asing meningkat secara tajam. Pangsa aset bank swasta nasional tergerus sekitar 20% dari 42% pada 1998 menjadi 22% pada 2011. Begitu juga pangsa aset bank negara yang merosot 9% dari 44% menjadi tinggal 35% pada periode yang sama. Sebaliknya, pangsa bank swasta milik asing telah melonjak tajam dari hampir 0% menjadi 21%. Sedangkan pangsa aset bank asing dan bank campuran meningkat 2% dari 11% pada 1998 menjadi 13% pada 2011. Bila ditotal, maka total pangsa bank milik asing di Indonesia sudah mencapai 34%.

Salah satu konsekuensi negatif yang kemudian mulai disorot oleh beberapa pihak saat ini ialah mengenai penguasaan asing dalam sektor perbankan nasional. Penguasaan asing ini cenderung terus mengalami pertumbuhan yang kuat dan hampir mengimbangi penguasaan oleh pihak nasional. Pihak asing, dalam hal ini perbankan asing, tidak hanya bisa membuka kantor cabangnya dengan bebas di Indonesia. Namun mereka juga bisa dengan mudah mengambil alih bank nasional di Indonesia, melalui pengambilalihan saham bank nasional tersebut secara mayoritas (99%).

12

11

Deliarnov, Ekonomi Politik (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 195-198.

Walaupun

12

KATADATA Indonesia, “Peluang Asing di Perbankan Nasional”, http://www.katadata.co.id/1/2/special-report/peluang-asing-di-perbankan-indonesia/57/ (diakses tanggal 22 Februari 2014).


(20)

belum mencapai setengah (50%) dari total aset perbankan nasional, pangsa aset bank milik asing menunjukkan pertumbuhan yang sangat signifikan. Sebab dalam jangka waktu yang hanya 13 tahun, pangsa aset bank milik asing telah tumbuh dari hanya 11% pada tahun 1998 menjadi 34% pada tahun 2011.

Hal ini menimbulkan pendapat bahwa peran asing dalam sektor perbankan nasional harus dibatasi saat ini. Pertimbangannya ialah dalam rangka untuk menjaga kepentingan nasional, mengingat sektor perbankan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional, terutama dalam hal penghimpunan dana masyarakat (modal dalam negeri) dan penyaluran pinjaman (kredit). Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang sangat pesat saat ini, tentu berbanding lurus dengan kemampuan pembiayaan dalam negeri yang semakin besar, tidak lagi seperti periode 1970-1980an yang menjadi dasar liberalisasi sektor industri jasa perbankan pada saat itu. Pertimbangan lainnya ialah untuk mewujudkan asas resiprokal bagi industri perbankan nasional saat melakukan ekspansi usaha ke negara lain.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dirumuskan 3 (tiga) permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu: 1. Apa saja alasan dibenarkannya kepemilikan saham oleh asing pada sektor

industri jasa perbankan nasional?

2. Bagaimanakah pengaturan kepemilikan saham oleh asing pada sektor industri jasa perbankan di Indonesia?


(21)

3. Mengapa kepemilikan saham asing perlu dibatasi dalam industri jasa perbankan di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan penulisan

Tujuan yang ingin dicapai melalui karya tulis skripsi ini ialah:

a. Untuk mengetahui latar belakang dibenarkannya kepemilikan oleh asing dalam sektor industri jasa perbankan.

b. Untuk mengetahui pengaturan atas kepemilikan saham oleh asing pada sektor industri jasa perbankan di Indonesia.

c. Untuk mengetahui alasan perlunya pembatasan kepemilikan saham oleh asing dalam sektor industri jasa perbankan di Indonesia.

2. Manfaat penulisan a. Secara teoritis

1) Untuk menambah wawasan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalam bidang hukum investasi, terutama berhubungan dengan kegiatan investasi oleh pihak asing dalam sektor industri jasa perbankan di Indonesia.

2) Sebagai salah satu bahan kajian oleh kalangan akademisi dalam mempelajari kegiatan investasi oleh pihak asing dalam sektor industri jasa perbankan di Indonesia.


(22)

1) Untuk memberikan masukan kepada pihak pemerintah dalam melakukan penyusunan aturan tentang pembatasan kegiatan investasi oleh pihak asing dalam sektor industri jasa perbankan di Indonesia di masa yang akan datang.

2) Untuk memberikan masukan kepada pihak pemerintah dalam melakukan penyusunan aturan tentang pengaturan kegiatan investasi oleh pihak asing secara umum dalam kegiatan perekonomian nasional.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Atas Pembatasan Investasi Asing Pada Sektor Industri Jasa Perbankan di Indonesia” ini merupakan benar hasil karya sendiri, tanpa meniru Karya Tulis milik orang lain. Oleh karenanya, keaslian dan kebenaran ini dapat dipertanggungjawabkan sendiri dan telah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi secara akademik yaitu kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dalam proses menemukan kebenaran ilmu sehingga dengan demikian penulisan Karya Tulis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk kritik yang sifatnya konstruktif. Selain itu, semua informasi di dalam skripsi ini berasal dari berbagai karya tulis penulis lain, baik yang dipublikasikan ataupun tidak, serta telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis dengan benar dan lengkap.


(23)

Karya tulis skripsi ini memiliki kemiripan dengan beberapa skripsi yang sudah ditulis oleh beberapa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu:

1. Nama : Dea Rizska

NIM : 070200375

Judul : Tinjauan Yuridis Terhadap Sistem Pengembalian Uang Kembalian Pelanggan Pada Industri Retail Departemen Store Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

2. Nama : Herna Bangun

NIM : 080200017

Judul : Perlindungan Hukum Desain Industri dalam Sektor Industri Kreatif Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009

Walaupun terdapat kemiripan dengan beberapa judul di atas, namun terdapat perbedaan signifikan mengenai substansi pembahasan. Penelitian yang dilakukan dengan judul “Analisis Hukum Atas Pembatasan Investasi Asing Pada Sektor Industri Jasa Perbankan di Indonesia” secara khusus membahas tentang kegiatan investasi oleh pihak asing dalam sektor industri jasa perbankan di Indonesia, serta kaitannya dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang berlaku di Indonesia. Sedangkan kedua judul skripsi di atas


(24)

membahas tentang permasalahan di luar bidang investasi yang kemudian dikaitkan dengan ketentuan hukum internasional ataupun ketentuan hukum perbankan di Indonesia.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Perbankan

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan beserta perubahannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.13 Sedangkan bank adalah: badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan mengeluarkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.14 Pengelompokan jenis-jenis bank secara umum dilihat dari:15

a. Aspek fungsi

1) Bank sentral, adalah bank yang merupakan badan hukum milik negara yang tugas pokoknya membantu pemerintah, sebagai contoh: Bank Indonesia, People Bank of China, Bank of Japan, Bank of England,

the Reserve Bank of India, dan Bank of Korea.

13

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal I, Bab I, Pasal 1, Angka 1.

14

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal I, Bab I, Pasal 1, Angka 2.

15

Julius R. Latumaerissa, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2011), hlm. 137-138.


(25)

2) Bank umum, adalah bank yang sumber utama dananya berasal dari simpanan pihak ketiga serta pemberian kredit jangka pendek dalam penyaluran dana, sebagai contoh: BNI 46, BRI, Bank Mandiri, Bank Bukopin, BTN, BCA, Bank Mega, Bank Danamon, Bank Swadesi, Bank Permata, dan Bank Panin.

3) Bank pembangunan, adalah bank yang dalam pengumpulan danannya berasal dari penerimaan simpanan deposito serta commercial paper, sebagai contoh: Bank Jatim, Bank Maluku, Bank DKI, Bank Jabar dan Banten, Bank Papua, dan Bank NTT.

4) Bank desa, adalah kantor bank di suatu desa yang tugas utamanya adalah melaksanakan fungsi perkreditan dan penghimpunan dana dalam rangka program pemerintah memajukan pembangunan desa. 5) Bank Perkreditan Rakyat (BPR), adalah kantor bank di kota

kecamatan yang merupakan unsur penghimpun dana masyarakat maupun menyalurkan dananya di sektor pertanian dan perdesaan. b. Status kepemilikan

1) Bank milik negara, adalah bank yang seluruh modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dan pendiriannya di bawah Undang-Undang tersendiri, sebagai contoh: BNI 46, BRI, Bank Mandiri, Bank Bukopin, dan BTN.

2) Bank milik swasta nasional, adalah bank milik swasta yang didirikan dalam bentuk hukum perseroan terbatas, di mana seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia (WNI) dan/atau badan-badan


(26)

hukum di Indonesia, sebagai contoh: BCA, Bank Mega, Bank Danamon, Bank Swadesi, Bank Permata, Bank Panin, dan lain sebagainya.

3) Bank swasta asing, adalah bank yang didirikan dalam bentuk cabang bank yang sudah ada di luar negeri atau dalam bentuk campuran antara bank asing dengan bank nasional yang ada di Indonesia. Bank asing ini hanya diperkenankan menjalankan operasinya di lima kota besar di Indonesia, sebagai contoh: Citibank, HSBC, ABN Amro, Rabobank, Commonwealth, dan Bank ANZ.

4) Bank pembangunan daerah, adalah bank yang pendiriannya berdasarkan peraturan daerah provinsi dan sebagian besar besar sahmnya dimiliki oleh pemerintah kota dan pemerintah kabupaten, di wilayah yang bersangkutan, dan modalnya merupakan harta kekayaan pemerintah daerah yang dipisahkan, sebagai contoh: Bank jatim, Bank Maluku, Bank DKI, Bank Jabar dan Banten, Bank Papua, Bank NTT, dan lain-lain.

5) Bank campuran, adalah bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh asing dan pihak swasta nasional, sebagai contoh: Bank UOB Buana, Bank Hanvit Indonesia, ANZ Panin Bank, Bank Daiwa Perdania, Bank Multicolor, Bank OCBC NISP, Bank Merincorp, Fuji International Bank, Tokai Lippo Bank, dan Bank DSB Indonesia.


(27)

Namun selain beberapa kelompok bank di atas, ada juga yang pembagian bank berdasarkan segi cara menetukan harga, yaitu:16

a. Bank yang berdasarkan prinsip konvensional

Mayoritas bank yang berkembang di Indonesia dewasa ini adalah bank yang berorientasi pada prinsip konvensional.

b. Bank yang berdasarkan prinsip syariah

Bank berdasarkan prinsip syariah belum lama berkembang di Indonesia. Namun di luar negeri terutama di negara-negara Timur Tengah, bank yang berdasarkan prinsip ini sudah berkembang pesat sejak lama.

Sedangkan ruang lingkup kegiatan bank umum meliputi:17 a. Menghimpun dana dari masyarakat (funding).

b. Menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit. c. Memberikan jasa-jasa lainnya.

d. Kegiatan di pasar modal. 2. Penanaman Modal (Investasi)

Beberapa pengertian investasi, yaitu:18

a. Dalam kamus istilah keuangan dan investasi digunakan istilah investment

(investasi) yang mempunyai arti: “penggunaan modal untuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke resiko yang dirancang untuk

16

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Ed. Revisi, Cet. Ketujuh (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 38-39.

17

Mandala Manurung dan Prathama Rahardja, Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia) (Jakarta: Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), hlm. 137-139.

18

Sentosa Sembiring, Hukum Investasi: Pembahasan Dilengkapi Dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Cet. Kedua (Bandung: Nuansa Aulia, 2010), hlm. 31.


(28)

mendapatkan modal. Investasi dapat pula berarti menunjuk ke suatu investasi keuangan (di mana investor menempatkan uang ke dalam suatu sarana) atau menunjuk ke investasi suatu usaha atau waktu seorang yang ingin memetik keuntungan dari keberhasilan pekerjaannya.”

b. Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, dijelaskan istilah

investment atau investasi, penanaman modal digunakan untuk: “penggunaan atau pemakaian sumber-sumber ekonomi untuk produksi barang-barang produsen atau barang-barang konsumen. Dalam arti yang semata-mata bercorak keuangan, investment mungkin berarti penempatan dana-dana (capital) dalam suatu perusahaan selama jangka waktu yang relatif panjang supaya memperoleh suatu hasil yang teratur dengan maksimum keamanan.”

c. Dalam Kamus Ekonomi dikemukakan investment (investasi) mempunyai dua makna yakni: “Pertama, investasi berarti pembelian saham, obligasi, dan benda-benda tidak bergerak, setelah dilakukan analisa akan menjamin modal yang dilekatkan dan memberikan hasil yang memuaskan. Faktor-faktor tersebut yang membedakan investasi dengan spekulasi. Kedua, dalam teori ekonomi, investasi berarti pembelian alat produksi (termasuk di dalamnya benda-benda untuk dijual) dengan modal berupa uang.”

d. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan, investasi berarti: Pertama, penanaman uang atau modal di suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan; dan Kedua, jumlah uang atau modal yang ditanam.


(29)

e. Dalam Kamus Hukum Ekonomi digunakan terminologi, investment, penanaman modal, investasi yang berarti penanaman modal yang biasanya dilakukan untuk jangka panjang misalnya berupa pengadaan aktiva tetap perusahaan atau membeli sekuritas dengan maksud untuk memperoleh keuntungan.

f. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.19

Pada dasarnya kegiatan penanaman modal diklasifikasikan atas dua kategori besar, yaitu:20

a. Investasi langsung (direct investment) atau penanaman modal jangka panjang

b. Investasi tidak langsung (indirect investment) atau penanaman modal tidak langsung (portofolio investment).

Di Indonesia, kegiatan investasi dilakukan dengan berdasarkan pada asas-asas sebagai berikut:21

a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. akuntabilitas;

19

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Bab I, Pasal 1, Angka 1.

20

Lusiana, Usaha Penanaman Modal di Indonesia, Ed. Pertama, Cet. Pertama (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), hlm. 39-41.

21

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Bab II, Pasal 3, Ayat (1), dan Penjelasannya.


(30)

d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara; e. kebersamaan;

f. efisiensi berkeadilan; g. berkelanjutan;

h. berwawasan lingkungan; i. kemandirian; dan

j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Selain itu, investasi juga dibagi atas dua macam berdasarkan sumber dananya (modal), yaitu: investasi asing dan domestik. Investasi asing merupakan investasi yang bersumber dari pembiayaan luar negeri. Sementara itu, investasi domestik merupakan investasi yang bersumber dari pembiayaan dalam negeri.22 3. Investasi Asing

Sarjana-sarjana hukum ekonomi internasional dewasa ini belum sepakat mengenai batasan atau definisi mengenai bidang hukum ini. Hal ini disebabkan karena sangat luasnya ruang lingkup serta subjek-subjek hukum ekonomi internasional.23

Namun ada beberapa ahli yang mencoba mendefinisikan istilah Hukum Ekonomi Internasional, yaitu:24

a. Schwarzenberger mendefinisikan hukum ekonomi internasional sebagai berikut: “the branch of international public law which is concerned with the ownership and exploitation of national resources, production and

22

Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, Ed. Pertama, Cet. Pertama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 11.

23

Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Ed. Pertama, Cet. Kedua (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 4.

24


(31)

distribution of goods, invisible international transactions of an economic and financial character, currency and finance, related services and organization of the entities in such activities.

b. Louis Henkin mengemukakan definisi sebagai berikut: “all the international law and international agreements governing economic transactions that cross state boundaries or otherwise have implications for more than one state, such as those involving movements of goods, funds, persons, intangibles, vessels or aircraft.

c. Seidl Hovenveldern merumuskan definisinya sebagai berikut: dalam pengertian luas, hukum ekonomi internasional adalah aturan-aturan hukum internasional publik yang secara langsung berkaitan dengan tukar-menukar ekonomi di antara subjek-subjek hukum internasional.

Pendekatan yang tidak terlalu luas dikemukakan oleh John H. Jackson, bahwa: “International Economic Law could be defined as including all legal subjects which have both an international and an economic component.”25 Seperti cabang-cabang ilmu lainnya, Hukum Ekonomi Internasional juga memiliki berbagai prinsip yang dianut di dalam berbagai ketentuannya, termasuk di dalamnya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan GATS. Prinsip-prinsip tersebut antara lain yaitu:26

a. Prinsip Standar Minimum (MinimumStandards) b. Prinsip Perlakuan Sama (IdenticalTreatment) c. Prinsip Perlakuan Nasional (NationalTreatment)

25

Ibid., hlm. 5. 26


(32)

d. Prinsip dasar atau klausul “Most-Favoured-Nation (MFN)” e. Prinsip menahan diri untuk tidak merugikan negara lain

f. Prinsip Tindakan Pengaman: Klausul Penyelamat (Safeguards and Escape Clause)

g. Prinsip Preferensi bagi Negara Sedang Berkembang h. Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai

i. Prinsip Kedaulatan Negara atas Kekayaan Alam, Kemakmuran dan Kehidupan Ekonominya

j. Prinsip Kerja Sama Internasional

Di dalam Hukum Ekonomi Internasional juga terdapat beberapa organisasi internasional yang terbentuk, salah satunya ialah WTO. WTO sebagai salah satu organisasi internasional terpenting di bidang ekonomi global yang mulai beroperasi pada 1 Januari 1995, adalah organisasi pendukung vital dalam upaya memperkuat kerjasama ekonomi dunia. WTO berdiri sebagai hasil dari Perundingan Putaran Uruguay (Uruguay Round).27

Piagam WTO sendiri memuat aturan-aturan kelembagaan beserta 4 lampiran penting. Keseluruhan perjanjian akhir perundingan Uruguay memuat 28 perjanjian dan 26.000 halaman berisi daftar tarif dan daftar jasa.28

27

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi (I), Ed. Revisi, Cet. Kedua (Bandung: BooksTerrace & Library, 2007), hlm. 10.

Keempat Annex

tersebut yaitu: Annex 1 memuat “Persetujuan-persetujuan Multilateral yang terdiri dari hasil-hasil perundingan Uruguay yang semua sifatnya “memaksa.” Annex 1 terdiri atas: (1) Annex 1a, hasil GATT 1994 sebagai hasil perubahan atas ketentuan GATT 1947, (2) Annex 1b, memuat Perdagangan Jasa (GATS), serta

28


(33)

(3) Annex 1c, memuat General Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) atau perdagangan HAKI. Annex 3 mengatur pembentukan the Trade Policy Review Mechanism (TPRM). Sedangkan Annex 4 memuat perjanjian yang sifatnya opsional (pilihan), yakni perjanjian-perjanjian

plurilateral.29

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan.30 Skripsi ini sebagai hasil penelitian tentu dihasilkan dari penerapan metodologi penelitian sebagai pertanggungjawaban ilmiah terhadap komunitas pengemban ilmu hukum.31

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.32 Penelitian hukum normatif ini sendiri mencakup:33

a. penelitian terhadap asas-asas hukum, b. penelitian terhadap sistematika hukum,

29

Ibid., hlm. 119. 30

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ketiga (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2005), hlm. 3.

31

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi: Penelitian Hukum Normatif, Ed. Revisi (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), hlm. 26.

32

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Ed. Pertama, Cet. Ketujuh (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 13-14.

33


(34)

c. penelitian terhadap tahap sinkronisasi hukum, d. penelitian sejarah hukum, dan

e. penelitian perbandingan hukum.

Penelitian hukum normatif sendiri mengacu pada berbagai bahan hukum sekunder,34 yaitu inventarisasi berbagai peraturan hukum nasional dan internasional dalam bidang perbankan dan penanaman modal (investasi), jurnal-jurnal dan karya tulis ilmiah lainnya, serta artikel-artikel berita terkait. Sedangkan penelitian deskriptif ialah penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu35, dalam hal ini kegiatan investasi asing pada sektor industri jasa perbankan nasional, mengenai alasan dibenarkannya dibenarkannya kepemilikan asing dalam sektor perbankan, pengaturan kepemilikan asing dalam sektor perbankan, serta tentang pembatasan investasi asing dalam sektor perbankan. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin36

2. Data

, tentang pembatasan investasi asing dalam sektor industri jasa perbankan di Indonesia.

Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumen (document study). Metode penelitian kepustakaan dilakukan terhadap

34

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Ed. Pertama, Cet. Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 14.

35

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Ed. Pertama, Cet. Kedua (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 36.

36


(35)

data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.37 Menurut Soerjono Soekanto, data sekunder dalam penelitian hukum terdiri atas tiga bahan hukum, yaitu:38

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, konvensi atau perjanjian internasional, dan berbagai peraturan hukum nasional dan internasional yang mengikat, antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. 4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang.

5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

6) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan.

8) Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank.

37

Bambang Waluyo, Op. cit., hlm. 13-14. 38


(36)

9) Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum.

10) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

11) Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/ 8 /PBI/2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum.

12) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/4/DPNP tentang Kepemilikan Saham Bank Umum, 2013.

13) Agreement Establishing the World Trade Organization. 14) Agreement on Trade-Related Investment Measures. 15) General Agreement on Trade in Services.

16) Memorandum on Economic and Financial Policies (MEFP) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan International Monetary Fund

(IMF).

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan berbagai karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan ini.

c. Bahan hukum tersier (tertier), yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya. Selain itu, bahan tersier ini juga meliputi berbagai bahan primer, sekunder,


(37)

dan tersier di luar bidang hukum yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan, terutama dari bidang ekonomi.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh suatu kebenaran dalam penulisan skripsi, dalam hal ini digunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan menganalisis data secara sistematis melalui buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif, yaitu data-data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini meliputi:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan metode penelitian, dan sistematika penulisan.


(38)

BAB II ALASAN DIBENARKANNYA KEPEMILIKAN SAHAM OLEH ASING PADA SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA

Bab ini menguraikan tentang reformasi sektor industri jasa perbankan yang meliputi kondisi perbankan nasional sebelum dan sesudah paket kebijakan deregulasi perbankan 1988 (Pakto 88), kehancuran sektor industri jasa perbankan nasional pada tahun 1998, dan perbaikan sektor industri jasa perbankan pasca krisis tahun 1998. Kemudian tentang kebutuhan akan dana investasi yang besar dalam rangka pembangunan nasional yang meliputi fungsi sektor industri jasa perbankan sebagai lembaga pembiayaan, peningkatan penyerapan masyarakat, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Serta tentang keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO) yang meliputi liberalisasi sektor industri jasa perbankan menurut ketentuan

General Agreement on Trade in Services (GATS) dan pembebasan investasi asing menurut ketentuan Agreement on Trade-Related Investment Measures (TRIMs).

BAB III PENGATURAN KEPEMILIKAN SAHAM OLEH ASING

PADA SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA

Bab ini menguraikan tentang pengaturan kegiatan investasi di Indonesia yang meliputi dasar hukum kegiatan investasi di


(39)

Indonesia, bidang usaha investasi di Indonesia, dan bentuk kegiatan investasi dalam sektor industri jasa perbankan nasional. Kemudian tentang pengaturan kepemilikan saham bank umum di Indonesia yang meliputi dasar hukum kepemilikan saham bank umum di Indonesia, persyaratan dan prosedur investasi dalam sektor industri jasa perbankan, dan peranan Bank Indonesia sebagai regulator perbankan nasional. Serta tentang kebijakan pembatasan kepemilikan saham bank umum di Indonesia yang meliputi dasar hukum pembatasan kepemilikan saham bank umum di Indonesia, latar belakang pembatasan kepemilikan saham bank umum di Indonesia, dan tujuan pembatasan kepemilikan saham bank umum di Indonesia.

BAB IV PEMBATASAN KEPEMILIKAN SAHAM ASING DALAM

SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA

Bab ini menguraikan tentang perbandingan terhadap pembatasan investasi asing dalam sektor industri jasa perbankan di negara lain, posisi strategis sektor industri jasa perbankan dalam kegiatan ekonomi nasional, dan penerapan asas resiprokal bagi perbankan nasional di luar negeri.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini menguraikan tentang kesimpulan dan saran atas pembatasan kepemilikan saham asing dalam sektor industri jasa perbankan di Indonesia. Saran dan kesimpulan ini diharapkan bisa


(40)

memberikan pertimbangan dan referensi dalam penyusunan peraturan hukum atas pembatasan kepemilikan saham asing dalam sektor industri jasa perbankan di Indonesia.


(41)

BAB II

ALASAN DIBENARKANNYA KEPEMILIKAN SAHAM OLEH ASING PADA SEKTOR INDUSTRI JASA PERBANKAN DI INDONESIA

A. Reformasi Sektor Industri Jasa Perbankan

1. Kondisi perbankan nasional sebelum dan sesudah Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 1988)

Sektor industri jasa perbankan nasional di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang, yaitu sejak masa penjajahan Belanda, yang didominasi oleh berbagai bank asing dan bank-bank bentukan pemerintahan kolonial Belanda. Sektor ini mulai membuka lembaran baru ketika Indonesia mengumumkan kemerdekaannya sebagai suatu negara yang merdeka, mandiri, dan berdaulat penuh. Pemerintah Republik Indonesia mendirikan bank-bank milik negara sebagai penggerak pembangunan ekonomi nasional. Sebagai langkah pertama pada tanggal 19 Oktober 1945 didirikan Jajasan Poesat Bank Indonesia yang bertindak sebagai bank umum.39

Pada periode 1968-1981, pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat di atas 7 persen per tahunnya. Tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca runtuhnya orde lama hingga awal 1980-an salah satunya disebakan oleh meningkatnya nilai ekspor Indonesia terutama karena terjadinya oil boom pada

39

Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1949, Bank Indonesia Pada Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (Jakarta: Unit Khusus Museum Bank Indonesia, 2005), hlm. 156.


(42)

tahun 1970-an.40 Pendapatan per kapita Indonesia dari tahun 1970 hingga 1979 naik hingga lebih dari 5 kali lipat, yakni dari USD 80 pada tahun 1970 menjadi USD 410 pada akhir 1979. Namun memasuki dasawarsa 1980-an, perekonomian Indonesia menghadapi tantangan yang sangat berat, yaitu kelesuan ekonomi dunia dan merosotnya harga minyak dunia sejak akhir tahun 1981. Kelesuan yang terjadi pada perekonomian dunia telah mengakibatkan turunnya permintaan akan barang-barang ekspor nonmigas Indonesia. Sementara itu, penurunan harga minyak menimbulkan tekanan-tekanan berat pada neraca pembayaran dan terbatasnya sumber devisa yang dapat disediakan untuk membiayai kegiatan pembangunan, serta menurunnya penerimaan pemerintah untuk menggerakkan perekonomian.41 Laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 1982 mencapai titik terendah selama 10 tahun terakhir, yakni 2,3%. Kemerosotan ekonomi nasional tersebut cukup memukul sektor perbankan nasional, sebab pemberian kredit perbankan pada awalnya sangat tergantung pada Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI).42

Untuk mendorong perekonomian, pemerintah memiliki strategi baru. Strategi tersebut adalah mendorong sektor privat untuk lebih berkontribusi dalam perekonomian. Salah satu cara untuk mendorong sektor privat lebih produktif adalah dengan melakukan deregulasi perbankan.43

40

Dzulfian Syafrian, “Deregulasi Perbankan dan Praktek Rent-Seeking Para Tikus Orde Baru”, INDEF, Tahun 2011, hlm. 1.

Dalam periode ini, Bank Indonesia mengeluarkan tujuh paket kebijakan deregulasi, yaitu: (i) Paket

41

Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode IV: 1983-1997, Bank Indonesia Pada Masa Pembangunan Ekonomi dengan Pola Deregulasi (Jakarta: Unit Khusus Museum Bank Indonesia, 2006), hlm. 21.

42

Ibid., hlm. 22. 43


(43)

Kebijakan 1 Juni 1983 (Pakjun 1983); (ii) Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 1988); (iii) Paket Kebijakan 25 Maret 1989 (Pakmar 1989); (iv) Paket Kebijakan 1 Desember 1989 (Pakdes 1989); (v) Paket Kebijakan 29 Januari 1990 (Pakjan 1990); (vi) Paket Kebijakan Kebijakan 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991); dan (vii) Paket Kebijakan 29 Mei 1993 (Pakmei 1993). Setelah Pakmei 1993, kebijakan-kebijakan Bank Indonesia dikeluarkan tidak dalam bentuk paket, melainkan dalam bentuk peraturan-peraturan yang terpisah.44 Dari ketujuh paket kebijakan tersebut, mungkin yang paling dikenal yaitu Pakjun 1983 dan Pakto 1988. Sebab kedua paket kebijakan tersebut dianggap sebagai tonggak liberalisasi sektor industri jasa perbankan di Indonesia. Pakjun 1983 dianggap sebagai titik permulaan liberalisasi sektor industri jasa perbankan di Indonesia.45

Melalui Pakjun 1983, suku bunga perbankan yang tadinya ditetapkan oleh pemerintah kemudian dibiarkan terbentuk melalui mekanisme pasar. Kemudian ekspansi kredit perbankan yang tadinya dibatasi oleh pemerintah kemudian dibebaskan. Giro Wajib Minimum bank-bank pada Bank Indonesia yang tadinya ditetapkan 15% kemudian diturunkan menjadi 2%.46

44

Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode IV, hlm. 38.

Paket 1 Juni 1983 berisi tiga kebijakan pokok, yaitu: (1) penghapusan ketentuan pagu aktiva neto perbankan sebagai alat moneter utama dalam pengendalian moneter secara langsung sejak tahun 1974; (2) pemberian kebebasan kepada bank-bank pemerintah untuk menetapkan suku bunga deposito dan kredit, serta kebebasan dalam menetapkan

45

Sunarsip dan Suyono Salamun, “Analisis atas Deregulasi, Krisis, dan Restrukturisasi Perbankan di Indonesia”, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan RI, Tahun 2003, hlm. 5.

46

Bank Indonesia, “Sejarah Bank Indonesia: Perbankan Periode 1983-1997”, Unit Khusus Museum Bank Indonesia, Tahun 2006, hlm. 4.


(44)

syarat-syarat kredit nonprioritas; (3) pengurangan skim-skim KLBI sehingga hanya disediakan untuk kredit berprioritas tinggi.47 Dengan membebaskan bank-bank untuk menentukan sendiri keseimbangan tingkat bunganya masing-masing, selain mendorong efisiensi mikro dan makro sektor perbankan, juga berdampak positif bagi masyarakat. Dari data tahunan dapat dideteksi bahwa sebelum deregulasi, ternyata tingkat suku bunga riil kita selalu negatif (sebagai pengurangan antara suku bunga nominal yang diterapkan pemerintah dengan laju inflasi). Setelah platfon suku bunga dilepas, tingkat bunga riil menjadi positif, yang berarti akan mendorong masyarakat untuk menyimpan uangnya di sektor perbankan.48

Untuk mengantisipasi kemungkinan membanjirnya dana masyarakat pada perbankan maka dibuka peluang menanamkan dananya pada Bank Indonesia dengan cara membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Selanjutnya untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya mismatch antara sumber dan penggunaan dana perbankan dalam era persaingan bebas tersebut maka kepada perbankan diberi peluang mencari pinjaman melalui Pasar Uang Antar Bank dengan cara menjual Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).49

47

Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode IV, hlm. 38-39.

Selanjutnya, untuk meningkatkan pengerahan dana masyarakat guna pembiayaan pembangunan serta efisiensi dan daya saing perbankan Indonesia, pemerintah mengeluarkan Pakto 1988. Beberapa aspek penting dalam Pakto 1988 adalah: (1) kemudahan pembukaan kantor cabang, (2) kemudahan pendirian bank baru, dan (3) penurunan reserve

48

Sunarsip dan Suyono Salamun, Op. cit., hlm. 6. 49


(45)

requirement.50 Melalui ketiga aspek tersebut, diharapkan bisa tercapai beberapa tujuan utama dari Pakto 1988 sendiri, yaitu untuk lebih meningkatkan penghimpunan dana, mendorong ekspor nonmigas, meningkatkan efisiensi bank dan lembaga keuangan, meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter, dan menciptakan iklim yang lebih mendukung pengembangan pasar modal.51

Pakto 1988 ini dianggap oleh banyak pihak sebagai kebijakan perbankan yang paling liberal sepanjang sejarah perbankan nasional di Indonesia. Sebab hanya dengan modal Rp. 10 milyar, siapa saja bisa mendirikan bank baru. Selain itu, bank-bank asing lama dan yang baru masuk diizinkan membuka cabangnya di enam kota. Kemudian bentuk patungan antara bank asing dengan bank swasta nasional juga diizinkan. Dengan demikian, secara terang-terangan monopoli dana (simpanan masyarakat) oleh bank-bank milik negara dihapuskan. Bahkan, beberapa bank kemudian menjadi bank devisa karena persyaratan untuk mendapat predikat itu dilonggarkan.52

Pakto 1988 ini merupakan penyempurnaan atas Pakjun 1983 sebelumnya. Kemudian setelah pengeluaran Pakto 1988, dikeluarkan lima paket kebijakan deregulasi perbankan lainnya oleh Bank Indonesia yang merupakan pelengkap dan penyempurnaan atas Pakjun 1983 dan Pakto 1988. Kemudian dalam keterangan pers tentang Pakjan 1990, dikemukakan bahwa deregulasi yang

50

Sunarsip dan Suyono Salamun, Loc. cit., hlm. 5. 51

Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode IV, hlm. 43. 52

Edwin, “Pakto 1988 dan Dampaknya Terhadap Perekonomian”, http://businessknowledges.blogspot.com/2009/10/pakto-1988-dan-dampaknya-terhadap.html


(46)

dimulai sejak 1 Juni 1983 telah menunjukkan hasil menggembirakan sebagaimana terlihat pada hal-hal di bawah ini:53

a. Pengerahan dana masyarakat melalui bank-bank dan pasar modal meningkat pesat. Sejak Pakto 1988 dana yang dapat dihimpun oleh perbankan telah naik dari Rp. 36,9 triliun pada akhir Oktober 1988 menjadi sekitar Rp. 51,8 triliun pada akhir Desember 1989 atau naik sebesar 40,4%. Pengerahan dana masyarakat melalui pasar modal dalam kurun waktu tersebut meningkat dari Rp. 1,0 triliun menjadi Rp. 3,2 triliun atau naik sebesar 216%.

b. Peningkatan efisiensi dan pelayanan perbankan kepada perbankan kepada masyarakat dengan jaringan yang makin luas. Jumlah bank umum, bank pembangunan, dan bank tabungan yang pada akhir Oktober 1988 berjumlah 108 bank bertambah menjadi 147 bank dengan jumlah kantor naik dari 1.846 menjadi 3.293 kantor. Dalam jumlah tersebut belum termasuk unit desa BRI, yang dalam kurun waktu yang sama naik dari 2.589 kantor menjadi 2.797 kantor. Sementara itu, jumlah BPR telah naik dari 7.491 bank pada akhir Oktober 1988 menjadi 7.555 bank pada akhir Otober 1989.

c. Tingkat suku bunga dana dan kredit terus menunjukkan kecenderungan menurun, yaitu suku bunga deposito turun dari rata-rata 19,0% pada Februari 1989 menjadi rata-rata 16,7% pada Desember 1989, sedangkan

53


(47)

suku bunga kredit turun dari rata-rata sekitar 20% menjadi sekitar 18% dan diharapkan pada tahun 1990 masih akan menurun.

d. Laju inflasi serta kurs rupiah terhadap mata uang asing tetap terkendali. Dalam tahun 1989, laju inflasi dapat dipertahankan pada tingkat 5,97% sedangkan depresiasi rupiah terhadap USD adalah 4%.

2. Kehancuran sektor industri jasa perbankan nasional pada tahun 1998

Periode tahun 1997/1998 merupakan momen yang tidak akan terlupakan oleh bangsa ini dalam sejarahnya. Sebab pada periode tersebut, Indonesia mengalami pergolakan dalam negeri yang sangat mengguncang segala aspek kehidupan dalam negeri. Pergolakan itu sendiri sebenarnya bermula dari guncangan pada bidang ekonomi sebagai akibat krisis mata uang Baht-Thailand, yang kemudian merembes ke negara-negara lain di kawasan Asia, terutama Asia Tenggara. Indonesia sendiri kemudian menjadi negara terparah dalam krisis ekonomi Asia tahun 1997/1998 tersebut. Sektor perbankan sebagai salah satu bagian tak terpisahkan dari kegiatan ekonomi nasional, menjadi salah satu sektor yang paling terpukul parah oleh krisis. Ada yang menyebut periode tersebut sebagai dua tahun yang paling berat dan penuh bahaya dalam sejarah perbankan Indonesia. Hal tersebut tergambarkan dalam judul Paper IMF yang menggunakan kata-kata “two years of living dangerously”, yang disusun oleh pejabat-pejabat

International Monetary Fund (IMF).54

54

Charles Enoch, et. al., “Indonesia: Anatomy of Banking Crisis, Two Years of Living Dangerously 1997-99”, IMF Working Papers, WP/ol/52, Tahun 2001, halaman sampul.


(48)

Bahkan ada yang menganggap krisis perbankan pada periode tersebut merupakan krisis perbankan terparah yang terjadi di suatu negara pada abad ke-20, mengingat dampak langsungnya terhadap PDB dan penambahan jumlah utang negara.55 Krisis yang terjadi di Indonesia saat itu dinilai cukup mengejutkan dan membingungkan, mengingat pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata 7% per tahun selama 3 dekade, tim pembuat kebijakan ekonomi yang berpengalaman, tidak mempunyai masalah makroekonomi, dan cadangan mata uang asing yang cukup.56 Namun sebenarnya, jika ditelisik lebih jauh, krisis yang terjadi saat itu sebenarnya disebabkan oleh beberapa masalah serius pada sektor keuangan, yaitu kepemilikan silang dan manajemen silang dalam sektor keuangan, nilai tukar Rupiah yang terlalu tinggi (over valuation), dan pemberian pinjaman (kredit) yang tidak hati-hati.57

Ketiga permasalahan tersebut merupakan dampak negatif dari kebijakan deregulasi perbankan yang dimulai sejak tahun 1983. Deregulasi perbankan sebenarnya merupakan kebijakan yang cukup tepat dalam memberikan ruang gerak bagi sektor privat untuk berekspansi, terlebih kondisi Indonesia saat itu memang sedang mendapat tantangan dari resesi global. Namun sayangnya terjadi begitu banyak bias implementasi kebijakan. Alhasil, kebijakan ini mendorong terjadinya moral hazard dari sisi para pengusaha hitam. Hal ini diperparah oleh tidak adanya tindakan tegas pemerintah terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum

55

Ibid.,hlm. 8. 56

Stephen Grenville, “The IMF and the Indonesia Crisis”, IEO Background Paper, Tahun 2004, hlm. 3.

57

Hendri Saparini, “Policy Response to Overcome Crisis: A Lesson from Indonesian Case”, Makalah pada International Conference on ''Re-regulating Global Finance in the Light of the Global Crisis”, Beijing, China, 2009, hlm. 3.


(49)

yang terjadi, bahkan berkolusi dengan beberapa pejabat pemerintah saat itu.58

Ketika terjadi guncangan akibat jatuhnya nilai tukar Baht-Thailand pada Juli 1997, Indonesia ikut terseret ke dalam krisis nilai tukar yang kemudian bahkan dengan cepatnya menjelma menjadi suatu krisis perbankan.

Akibatnya terbentuk sistem perbankan lemah yang diindikasikan oleh akumulasi kredit macet (non-performing loans/NPL) dan pinjaman luar negeri jangka pendek yang sangat membengkak. Sistem perbankan yang lemah ini menyebabkan perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap guncangan eksternal.

59

Krisis nilai tukar Rupiah-Indonesia sendiri tampak jelas setelah pemerintah melalui Bank Indonesia melakukan perubahan perubahan manajemen nilai tukar dari sistem nilai tukar dari mengambang terkendali (managed floating exchange rate) ke sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate) pada tanggal 14 Agustus 1997. Rupiah mendapatkan tekanan-tekanan depresiatif yang sangat besar diawali dengan krisis nilai tukar di Thailand dan menyebar ke negara ASEAN lainnya. 60

58

Dzulfian Syafrian, Op. cit., hlm. 4.

Krisis moneter yang terjadi berakibat pada kekeringan likuiditas pada sektor perbankan dan beberapa bank kecil mulai mengalami gangguan operasional.

59

Suminto Sastrosuwito dan Yasushi Suzuki, “The Post Indonesian Banking Reform and Consolidation: It’s Impact on Competition and Performance”, Makalah pada 2011 Institutions and Economics International Conference on "Institution, Law, and Economic Development", Fukuoka, Jepang, 2011, hlm. 2.

60

Idah Zuhroh dan David Kaluge, “Dampak Perubahan Nilai Tukar Riil Terhadap Pertumbuhan Neraca Perdagangan Indonesia (Suatu Aplikasi Model Vector Autoregreesive, VAR)”, Journal of Indonesian Applied Economics, Volume 1, No.1, Tahun 2007, hlm. 59.


(50)

Krisis perbankan sendiri secara nyata mulai terjadi dengan ditandai oleh pencabutan izin usaha (likuidasi) 16 bank swasta pada 24 November 1997 oleh Menteri Keuangan dalam rangka mencegah semakin meluasnya krisis perbankan (systemic risk) dan besarnya risiko yang ditanggung masyarakat (economic cost).61 Tindakan likuidasi ini juga dilakukan sebagai salah satu hasil evaluasi dan rekomendasi IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah dengan IMF pada tanggal 31 Oktober 1997. Namun langkah tersebut dilakukan tanpa adanya persiapan yang matang, berupa pemberian jaminan umum kepada pemilik deposito atau simpanan di bank, dan bahkan jaminan yang kemudian diumumkan hanya berlaku untuk sebagian kecil depositor pada bank-bank yang ditutup.62 Hal ini juga diperparah oleh beberapa riset yang dilakukan oleh lembaga keuangan internasional menunjukkan betapa buruknya ranking perbankan Indonesia dibanding negara-negara lain di kawasan Asia Timur ataupun Tenggara.63

Akumulasi dari semua kejadian tersebut tentu sangat buruk, di mana terjadi depresiasi kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Pada pertengahan bulan Desember, masyarakat melakukan penarikan deposito secara besar-besaran (bank rush) pada hampir semua perbankan yang ada, yang nilainya diperkirakan saat itu mencapai hampir setengah dari aset sistem perbankan nasional.

64

61

Bank Indonesia, “Sejarah Bank Indonesia: Perbankan Periode 1997-1999”, Unit Khusus Museum Bank Indonesia, Tahun 2006, hlm. 2.

Selain itu, kebijakan ini juga menyebabkan terjadinya kehancuran sistem perbankan

62

Stephen Grenville, Op. cit., hlm. 9. 63

Mandala Manurung dan Prathama Rahardja, Op. cit., hlm. 358. 64


(51)

nasional dan anjloknya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika.65 Memasuki bulan Januari 1998, dampak krisis, terutama yang menyangkut sektor perbankan, ternyata semakin meluas. Saldo debet bank-bank di BI terus berlanjut.66

3. Perbaikan sektor industri jasa perbankan pasca krisis tahun 1998

Krisis perbankan yang dimulai sejak pertengahan tahun 1997 dan semakin memburuk pada awal tahun 1998, disikapi oleh pemerintah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk meredam krisis perbankan.

Berdasarkan usul IMF dalam kelanjutan negosiasi LoI II, guna memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, Pemerintah pada akhir Januari 1998 mengambil kebijakan untuk memberikan jaminan pembayaran atas kewajiban bank kepada depositor dan kreditor dalam dan luar negeri (blanket guarantee).67

65

Hendri Saparini, Op. cit., hlm. 6.

Pada saat bersamaan, Pemerintah juga membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) atau Indonesia Bank Restructuring Agency. BPPN memiliki tiga kegiatan utama, yaitu: (1) untuk melaksanakan program jaminan pemerintah, termasuk pendataan kewajiban bank, pembayaran premi, dan verifikasi klaim, (2) restrukturisasi bank melalui penutupan, penggabungan (merger), rekapitalisasi dan penjualan kepemilikan pemerintah pada bank-bank bermasalah; serta mendapatkan kembali pinjaman yang buruk dan memantau sekaligus menjual aset-aset perusahaan yang dijaminkan pada BPPN dari para pemilik bank terdahulu sebagai jaminan untuk kredit likuiditas

66

Bank Indonesia, “Perbankan Periode 1997-1999”, hlm. 2. 67

Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode V: 1997-1999, Bank Indonesia Pada Masa Krisis Ekonomi, Moneter, dan Perbankan (Jakarta: Unit Khusus Museum Bank Indonesia, 2006), hlm. 46.


(52)

darurat dari Bank Indonesia, serta (3) melakukan koordinasi dan supervisi bank-bank yang telah dibekukan atau ditutup, dalam rangka menyelesaikan seluruh proses penutupan bank-bank.68

Selain itu, melalui LoI II tersebut, kemudian juga diperkenalkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atau Bank Indonesia Liguidity Support. BLBI ini sendiri didefinisikan oleh Joseph Soedradjad Djiwandono (Gubernur BI periode 1993-1998) sebagai “a facility that central bank provides to banks suffering from a systemic liquidity mismatch to prevent the banking sector from collapsing. The liquidity support that the central bank provides actually comprises of a number of liquidity facilities to address different liquidity problems and to suit the conditions of the recipient banks.”69 Berdasarkan definisi tersebut, BLBI bisa diartikan sebagai fasilitas likuiditas yang disediakan oleh BI kepada seluruh bank nasional saat itu dalam menghadapi krisis perbankan yang terjadi. Dana yang digunakan untuk kepentingan ini juga merupakan bagian dari BLBI.70 Namun sayangnya, BLBI tersebut malah disalahgunakan oleh banyak pemilik bank untuk melanjutkan pemberian pinjaman dalam jumlah besar kepada perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan bank yang bersangkutan.71

68

Mari Pangestu, “The Indonesian Bank Crisis and Restructuring: Lessons and Implications for Other Developing Countries”, G-24Discussion Paper Series, No. 23, Centre for Strategic and International Studies, Tahun 2003, hlm. 13.

69

Joseph Soedrajad Djiwandono, Bank Indonesia and The Crisis: An Insider’s View (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2005), hlm. 167.

70

Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia V, hlm. 46. 71

George Fane and Ross H. McLeod, “Banking Collapse and Restructuring in Indonesia, 1997-2001”, Cato Journal, Volume 22, No. 2, Tahun 2002, hlm. 280.


(53)

BPPN yang diberikan kewenangan oleh pemerintah untuk melakukan penyehatan sistem perbankan nasional, kemudian melakukan berbagi tindakan yang bisa dilihat melalui tabel berikut:

Tabel 2.1 Tabel Kronologis Tindakan Pemerintah (BPPN) di Bidang Perbankan

Tanggal Diputuskan Oleh Isi Keputusan

4 April 1998 BPPN

a.Pembekuan operasi 7 bank swasta b.Pengambilan 7 bank swasta dan

BUMN oleh BPPN

21 april 1998 BPPN

3 bank BUMN (pemerintah) keluar dari daftar BPPN

4 bank swasta dan 1 BPD keluar dari daftar BPPN

22 bank swasta dan 10 BPD masih di bawah pengawasan BPPN

21 Juni 1998 BPPN 8 bank dibekukan (BBO)

7 bank diambil alih (BTO) Sumber: Dendawijaya, (2004, hal. 5-6)

Kemudian pada hari Sabtu tanggal 13 Maret 1999, pemerintah mengumumkan berbagai tindakan lanjutan terhadap bank swasta nasional dalam rangka memperbaiki kondisi industri perbankan nasional yang sedang mengalami krisis. Tindakan tersebut berupa pembekuan operasi, pengambilalihan manajemen, penentuan bank yang dapat dan tidak dapat mengikuti program rekapitalisasi. Implementasi berbagai tindakan tersebut berupa:72

a. 38 bank terkena beku operasi (BBKU), b. 7 bank diambil alih atau take over (BTO),

72

Lukman Dendawijaya, Lima Tahun Penyehatan Perbankan Nasional, Cet. Pertama (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 11-12.


(54)

c. 9 bank dapat mengikuti program rekapitalisasi, d. 73 bank tidak dapat mengikuti program rekapitalisasi, e. 1 bank belum bisa ditetapkan posisinya (Bank Ganesha)

Dalam program rekapitalisasi perbankan, pemerintah melakukan penyertaan modal pada bank-bank melalui penerbitan obligasi sehingga sebagian besar kepemilikan bank-bank tersebut berada di tangan pemerintah. Penyertaan pemerintah pada bank-bank melalui program rekapitalisasi bersifat sementara dan pada waktunya akan dijual kembali pada investor yang berminat.73 Pendanaan dalam program rekapitalisasi perbankan saat itu terpaksa ditanggung oleh pemerintah, mengingat saat itu pihak investor swasta tidak bisa diharapkan untuk menyediakan modal (dana) lagi.74 Kemudian pemerintah melanjutkan program rekapitalisasi dengan program penggabungan (merger) beberapa bank. Pertimbangannya bahwa dengan cara merger tersebut, berbagai bank dapat diselamatkan dari kesulitan kinerjanya. Sebagai hasil merger, diharapakan bank yang baru akan berkembang jauh lebih baik dibandingkan jika tidak dilakukan merger.75 Empat bank milik negara yang telah direkapitalisasi digabung menjadi Bank Mandiri, yang kemudian menjadi bank terbesar di Indonesia dengan menguasasi 30% jumlah deposito bank nasional.76 Sedangkan dalam sektor bank swasta nasional, sembilan dari tigabelas bank swasta yang diambil alih oleh BPPN kemudian digabung menjadi Bank Danamon.77

73

Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia V, hlm. 47. 74

Mari Pangestu, Op. cit., hlm. 16. 75Lukman Dendawijaya,

Op. cit., hlm. 22. 76

George Fane and Ross H. McLeod, Loc. cit., hlm. 280. 77


(55)

Sebenarnya, berbagai tindakan rekapitalisasi, penggabungan (merger), dan penutupan atas bank yang bermasalah seperti tersebut di atas mengacu pada kesepakatan antara pemerintah dengan IMF, di mana rencana ini sangat dipengaruhi oleh rencana yang diadopsi oleh Swedia saat mengatasi krisis perbankan negaranya pada periode 1991-1994.78 Sebagai tindak lanjut atas restrukturisasi perbankan nasional yang telah berjalan, pemerintah bersama dengan BI melakukan proses konsolidasi, penguatan infrastruktur, peningkatkan kehati-hatian dan peningkatan fungsi intermediasi perbankan melalui berbagai langkah seperti: perancangan Arsitektur Perbankan Indonesia (API), pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Forum Stabilisasi Sistem Keuangan (FSSK), peningkatkan peran BPR, bank umum dan perbankan syariah, serta peningkatan mutut pengelolaan bank (good corporate governance).79

B. Kebutuhan Akan Dana Investasi Yang Besar Dalam Rangka Pembangunan Nasional

1. Fungsi sektor industri jasa perbankan sebagai lembaga pembiayaan

Bank merupakan suatu badan usaha yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.80

78

George Fane and Ross H. McLeod, Loc. cit., hlm. 280.

Hal ini sangat terkait erat dengan fungsi perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan, yaitu mempercepat penyaluran dana dari Surplus Spending Unit (SSU) ke Deficit Spending Unit (DSU). Fungsi ini dikenal sebagai fungsi perantara financial

79

Bank Indonesia, “Sejarah Bank Indonesia: Perbankan Periode 1999-2005”, Unit Khusus Museum Bank Indonesia, Tahun 2008, hlm. 7.

80

Frianto Pandia, dkk., Lembaga Keuangan, Cet. Pertama (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hlm. 10.


(56)

(financial intermediation).81 Fungsi ini kemudian diwujudkan oleh perbankan melalui kegiatan usahanya yang paling pokok, yaitu membeli uang dengan cara menghimpun dana dari masyarakat luas. Kemudian menjual uang yang berhasil dihimpun dengan cara menyalurkan kembali kepada masyarakat melalui pemberian pinjaman atau kredit.82 Sedangkan dalam rangka mendukung kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana adalah memberikan jasa-jasa lainnya. Kegiatan ini ditujukan untuk memperlancar kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana.83

Dalam praktek dalam dunia usaha, salah satu faktor yang menunjang dalam kegiatan suatu perusahaan adalah modal. Suatu perusahaan dapat membelanjai pengembangan usahanya dengan menggunakan modal sendiri, atau dapat pula sebagian atau seluruh modal dibelanjai dari pihak lain dalam bentuk pinjaman. Pinjaman berjangka waktu tertentu umunya dikenal dengan istilah kredit.84

81

Ibid., hlm. 1.

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan

82

Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Ed. Pertama, Cet. Ketujuh (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 29.

83 Ibid. 84

Faisal Afiff, dkk., Strategi dan Operasional Bank, Cet. Pertama (Bandung: PT Eresco, 1996), hlm. 88.


(57)

pemberian bunga.85 Pemberian kredit ini juga sesuai dengan fungsi utama perbankan Indonesia, yaitu sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.86

Tujuan kredit secara umum yaitu:87

a. Membantu perkembangan kegiatan ekonomi sesuai dengan kebijaksanaan dan program pemerintah dengan tetap mendasarkan pada persyaratan bank secara teknis dan wajar.

b. Mencari keuntungan yang layak bagi bank.

c. Membantu perluasan pemanfatan jasa-jasa bank lainnya, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip kredit itu sendiri.

Sedangkan fungsi kredit sendiri bagi masyarakat, antara lain dapat:88

a. menjadi motivator dan dinamisator peningkatan kegiatan perdagangan dan perkonomian;

b. memperluas lapangan kerja bagi masyarakat; c. memperlancar arus barang dan arus uang;

d. meningkatkan hubungan internasional (L/C, CGI, dan lain-lain); e. meningkatkan produktivitas dana yang ada;

f. meningkatkan daya guna (Utility) barang; g. meningkatkan kegairahan berusaha masyarakat; h. memperbesar modal kerja perusahaan;

85

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal I, Bab I, Pasal 1, Angka 11.

86

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bab II, Pasal 3.

87

Ruddy Tri Santoso, Mengenal Dunia Perbankan, Ed. Kedua, Cet. Pertama (Yogyakarta: Andi Offest, 1996), hlm. 111.

88

Malayu S. P. Hasibuan, Dasar-Dasar Perbankan, Cet. Kesembilan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), hlm. 88.


(1)

Bank Indonesia. 2013. “Statistik Perbankan Indonesia”. Volume 11 No. 12. Tahun 2013.

Enoch, Charles, et. al. 2001. “Indonesia: Anatomy of Banking Crisis, Two Years of Living Dangerously 1997-99”. IMF Working Papers, WP/ol/52. Tahun 2001.

Fane, George and Ross H. McLeod. 2002. “Banking Collapse and Restructuring in Indonesia, 1997-2001”. Cato Journal, Volume 22 No. 2. Tahun 2002.

Grenville, Stephen. 2004. “The IMF and the Indonesia Crisis”. IEO Background Paper. Tahun 2004.

Nasution, Bismar. “Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, (Medan: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 17 April 2004).

Pangestu, Mari. 2003. “The Indonesian Bank Crisis and Restructuring: Lessons and Implications for Other Developing Countries”. G-24 Discussion Paper Series, No. 23. Centre for Strategic and International Studies. Tahun 2003.

Saparini, Hendri. 2009. “Policy Response to Overcome Crisis: A Lesson from Indonesian Case”. Makalah pada International Conference on ''Re-regulating Global Finance in the Light of the Global Crisis”. Beijing, China. 2009.


(2)

Sastrosuwito, Suminto dan Yasushi Suzuki. 2011. “The Post Indonesian Banking Reform and Consolidation: It’s Impact on Competition and Performance”. Makalah pada 2011 Institutions and Economics International Conference on "Institution, Law, and Economic Development". Fukuoka, Jepang. 2011.

Setiawan, Sigit. 2012. “Analisis Keterbukaan Dan Daya Saing Sektor Perasuransian Indonesia Di ASEAN”. Policy Paper Kebijakan Fiskal 2012 Seri 1. IPB Press. Tahun 2012.

Sitompul, Zulkarnain. 2006. “Industri Perbankan dan Iklim Investasi”. Universitas Nasional. Tahun 2006.

Sitompul, Zulkarnain. 2008. “Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi Perbankan Relevansinya dengan Kebijakan Single Presence Policy”. Jurnal Hukum Bisnis. Volume 27 No. 2. Tahun 2008.

Sitompul, Zulkarnain. 2003. “Pembatasan Kepemilikan Bank”. Jurnal Hukum Bisnis. Volume 22 No.6. Tahun 2003.

Sitompul, Zulkarnain. 2004. “Upaya Penyehatan atau Mengejar Setoran”. Pilars N0.09/Th. VII/01-07. Tahun 2004.

Sitompul, Zulkarnain. 1998. “World Trade Organization, International Monetary Fund dan Perubahan Sistem Perbankan”. Pro Justitia, Tahun XVI, No. 4. Tahun 1998.

Sunarsip dan Suyono Salamun. 2003. “Analisis atas Deregulasi, Krisis, dan Restrukturisasi Perbankan di Indonesia”. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan RI. Tahun 2003.


(3)

Syafrian, Dzulfian. 2011. “Deregulasi Perbankan dan Praktek Rent-Seeking Para Tikus Orde Baru”. INDEF. Tahun 2011.

Zuhroh, Idah dan David Kaluge. 2007. “Dampak Perubahan NIlai Tukar Riil Terhadap Pertumbuhan Neraca Perdagangan Indonesia (Suatu Aplikasi Model Vector Autoregreesive, VAR)”. Journal of Indonesian Applied Economics. Volume 1 No.1. Tahun 2007.

C. Bahan Ajar

Rajagukguk, Erman. “TRIMs dan Investasi”. Materi Kuliah 1: Pendahuluan. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Rajagukguk, Erman. “Hukum Investasi dan Pasar Modal”. Materi Kuliah 3: Pasal 12 s/d Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Siregar, Mahmul. “Hukum Perdagangan Internasional”. Bahan Kuliah Program Studi Ilmu Hukum. Medan: Sekolah Pascasarjana USU.

D. Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.


(4)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum.

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/8/PBI/2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum.

Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.


(5)

Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Republik Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/4/DPNP tentang Kepemilikan Saham Bank Umum, 2013.

GATT Secretariat. Agreement Establishing the World Trade Organization. GATT Secretariat. Agreement on Trade-Related Investment Measures. GATT Secretariat. General Agreement on Trade in Services.

IMF. Memorandum on Economic and Financial Policies (MEFP) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF).

E. Internet

Budiwiyono, Eko. “Kebijakan Konsolidasi dan Kinerja Perbankan Indonesia”, http://www.infobanknews.com/2011/12/kebijakan-konsolidasi-dan-kinerja-perbankan-indonesia/. (diakses tanggal 5 Januari 2014).

Damuri, Yose Rizal. “Perbankan Indonesia: Habis Manis Sepah Dibuang”, http://www.csis.or.id/post/perbankan-indonesia-habis-manis-sepah-dibuang. (diakses tanggal 5 Januari 2014).

Edwin. “Pakto 1988 dan Dampaknya Terhadap Perekonomian”,


(6)

Indonesia, KATADATA. “Peluang Asing di Perbankan Nasional”,

http://www.katadata.co.id/1/2/special-report/peluang-asing-di-perbankan-indonesia/57/. (diakses tanggal 22 Februari 2014).

Kurniasih, Apriyani. “Jejak Langkah Kepemilikan Bank di Indonesia, http://www.infobanknews.com/2011/03/jejak-langkah-kepemilikan-bank-di-indonesia-2/. (diakses tanggal 22 November 2013).

Kurniasih, Apriyani. “Kepemilikan Asing di Mancanegara Tak Sebebas Indonesia”, http://www.infobanknews.com/2011/09/kepemilikan-asing-di-mancanegara-tak-sebebas-indonesia/. (diakses tanggal 22 Februari 2014).

Reuters. “FACTBOX - Ownership restrictions on banks in Asia”, http://in.reuters.com/article/2011/08/02/idINIndia-58571120110802. (diakses tanggal 22 Februari 2014).

Rowter, Kahlil. “Dampak Pembatasan Kepemilikan Bank”,