ANALISIS BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INVESTASI ASING SEKTOR PERTANIAN DAN SEKTOR INDUSTRI DI JAWA TIMUR.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Jurusan Ilmu Ekonomi

Oleh :

SESAR FEBY RUSADI

0511010058 / FE / IE

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR


(2)

serta hidayahnya yang telah dilimpahkan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu kewajiban mahasiswa untuk memenuhi tugas dan syarat akhir akademis di Perguruan Tinggi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas Ekonomi khususnya Jurusan Ekonomi Pembangunan. Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil judul “ Analisis Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Investasi Asing Sektor Pertanian Dan Sektor Industri Di Jawa Timur”.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan dukungan, bantuan, bimbingan, serta motivasi yang sangat berharga dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP selaku Rektor Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Dr. H. Dhani Ichsanuddin Nur, MM, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur. 3. Bapak Drs. Ec. Marseto D.S, Msi, selaku Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi

Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.

4. Ibu Dra. EC. Titik Nurhidayati, selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan suatu


(3)

UPN.

6. Kedua orang tuaku yang tercinta dan adikku, yang telah memberikan support, do’a, semangat dan dorongan moral serta spiritualnya yang telah tulus, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan sebaik baiknya

7. Keluarga besar HIMIESPA terutama kepengurusan periode 2006 - 2007, yang telah memberikan dorongan motivasi untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Akhir kata yang dapat terucapkan semoga penyusunan skripsi ini dapat berguna bagi pembaca dan pihak-pihak lain yang membutuhkan, semoga Allah SWT memberikan balasan setimpal.

Wassallamualaikum Wr.Wb

Surabaya, April 2010

Penulis


(4)

DAFTAR ISI ………. iii

DAFTAR TABEL……….. vii

DAFTAR GAMBAR……….. viii

DAFTAR LAMPIRAN……….. ix

ABSTRAKSI... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah………... 1

1.2. Perumasan Masalah………... 5

1.3. Tujuan Penelitian………... 5

1.4. Manfaat Penelitian………... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu………... 7

2.2 Landasan Teori………... 10

2.2.1. Investasi ...………... 10

2.2.1.1. Definisi investasi ... 10

2.2.1.2. Teori Mengenai investasi ………... 12

2.2.1.3. Macam - Macam investasi ...……... 14

2.2.2. Pengertian Investasi Sektor Pertanian…... 15

2.2.2.1. Definisi Investasi Sektor Pertanian... 15

2.2.2.2. Ciri – Ciri Umum Pertanian... 16


(5)

2.2.4.1. Pengertian IHSG ... 20

2.2.4.2. Penentuan Harga Saham ... 23

2.2.5. PDRB... 23

2.2.5.1. Pengertian PDRB... ... 23

2.2.5.2. Kegunaan Statistik PDRB... ... 26

2.2.6. Tingkat Suku Bunga ... 28

2.2.6.1. Pengertian Tingkat Suku Bunga ... 28

2.2.6.2. Teori Tentang Tingkat Suku Bunga ... 28

2.2.6.3. Fungsi Tingkat Suku Bunga Dalam Perekonomian……… 31

2.2.7. Inflasi……… 32

2.2.7.1. Pengertian Inflasi………. 32

2.2.7.2. Jenis Inflasi……….. 34

2.2.7.3. Pengendalian Inflasi……… 37

2.2.7.4. Efek Inflasi……….. 39

2.2.7.5. Dampak Inflasi Terhadap Investasi…………. 40

2.3. Kerangka Pikir ... 41

2.4. Hipotesis ... 44


(6)

3.2.1. Jenis Dan Sumber Data……… 47

3.2.1.1. Jenis Data……….. 47

3.2.1.2. Sumber Data……….. 47

3.3. Teknik Pengumpulan Data……….. 47

3.4. Teknik Analisis dan Uji Hipotesis……….... 48

3.4.1. Asumsi Klasik……….... 48

3.4.2. Teknik Analisis……….. 51

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Obyek Penelitian………. 57

4.1.1. Kondisi Geografis di Jawa Timur... 57

4.1.2. Perkembangan Investasi di Jawa Timur... 58

4.2. Deskripsi Hasil penelitian... 60

4.2.1. Perkembangan Investasi Penanaman Modal Asing Sektor Pertanian Dan Industri... 60

4.2.2. Perekembangan IHSG... 61

4.2.3. Perkembangan PDRB... 62

4.2.4. Perkembangan Tingkat Suku Bunga Kredit... 63

4.2.5. Perkembangan Inflasi………... 64

4.3. Hasil Analisis Regresi klasik ( BLUE )... 66

4.3.1. Analisis dan Pengujian Hipotesis... 70


(7)

a. Kesimpulan... 76 b. Saran... 78 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(8)

Tabel 1. Perkembangan Investasi PMA sektor Pertanian dan

Industri... 61

Tabel 2. Perkembangan IHSG………... 62

Tabel 3. Perkembangan PDRB... 63

Tabel 4. Perkembangan Tingkat Suku Bunga Kredit Investasi ………….. 64

Tabel 5. Perkembangan Inflasi... ... 65

Tabel 6. Tes Autokorelasi ……….…... 68

Tabel 7. Tes Multikolinier ………... 68

Tabel 8. Tes Heterokedastisitas... 69

Tabel 9. Analisis Varian ( Anova ) ………… ... 72

Tabel 10. Hasil Analisis Variabel ... 73

Tabel 11. Hasil Koefisien Variabel Independen ... ... 73


(9)

Gambar 1. Kurva Marginal Efficiency of Investment ... 13

Gambar 2. Fungsi Investasi Otonom dan Terimbas ... 14

Gambar 3. Teori Klasik Tentang Tingkat Suku Bunga ... 29

Gambar 4. Teori Keynes Tentang Tingkat Bunga …... 31

Gambar 5. Demand Pull Inflation………... 35

Gambar 6. Cost Push Inflation………... ... 36

Gambar 7. Kerangka Pikir... 44

Gambar 8. Kurva Durbin Watson... . 50

Gambar 9. Kurva Uji f………. 54

Gambar 10. Kurva Uji t…………. ………. 56

Gambar 11. Kurva Statistik Durbin Watson ... 67


(10)

Lampiran 2 : Regression

Variabel Entered/Removed

Model Summary

Anova

Lampiran 3 : Coefficients

Collinierity Diagnostics

Lampiran 4 : Residuals Statitics

Nonparametric Correlations

Correlations

Lampiran 5 : Regression

Variabel Entered/Removed

Model Summary

Anova

Lampiran 6 : Coefficients

Collinierity Diagnostics

Lampiran 7 : Residuals Statitics

Nonparametric Correlations

Correlations

Lampiran 8 : Tabel Uji F Lampiran 9 : Tabel Uji T

Lampiran 10 : Tabel Durbin - Watson


(11)

x

Oleh :

Sesar Feby Rusadi

Abstraksi

Modal merupakan pendorong perkembangan ekonomi dan merupakan sumber untuk menaikan tenaga produksi yang semuanya membutuhkan kepandaian penduduknya dan mengadakan investasi dan mengolahnya, selain itu ditentukan pula adanya pendorong untuk mengadakan investasi atas dana yang diperoleh dari tabungan masyarakat maupun pinjaman luar negeri. Sehubungan dengan itu diperlukan upaya peningkatan pergerakan dana dari dalam negeri. Dalam upaya menumbuhkan perekonomian setiap negara senantiasa menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi. Sasaran yang dituju bukan hanya masyarakat kalangan swasta dalam negeri, tapi juga investor asing.

Penelitian ini menggunakan data skunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Jawa Timur mulai tahun 1994-2008. Teknik analisis yang digunakan adalah Regresi Linier Berganda dengan menggunakan alat bantu computer program Statistic Program for Social Science (SPSS) Versi 13.0 yang menunjukkan pengaruh secara signifikan antara variabel bebas dan variable terikat.

Dengan melihat hasil uji signifikasi Variabel Independen terhadap Investasi tersebut di sektor Pertanian (Y1), sektor Industri (Y2), maka ( 1 ) Dapat diketahui bahwa Variabel Inflasi (X4) merupakan Variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap Investasi. ( 2 ) Dengan melihat hasil koefesien Variable Independen Indeks Harga Saham Gabungan (X1), Produk Domestik Regional Bruto (X2),Tingkat Suku Bunga (X3) maka dapat disimpulkan bahwa sektor Industri (Y2) yang mempunyai hasil koefesien yang lebih besar dari pada sektor Pertanian (Y1) ( 3 ) Dengan melihat hasil koefesien Variabel Independen Inflasi (X4) maka dapat disimpulan bahwa sektor Industri (Y2) merupakan sektor yang paling dominan dalam meningkatkan pertumbuhan Industri di Jawa Timur.

Kata Kunci : Indeks Harga Saham Gabungan (X1), Produk Domestik Regional Bruto (X2),Tingkat Suku Bunga (X3), Inflasi (X4) terhadap Investasi Sektor Pertanian (Y1), Investasi Sektor Industri (Y2)


(12)

1.1 Latar Belakang

Langkah awal pembangunan ekonomi terletak pada investasi. Investasi atau penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan produksi. Dinamika penanaman modal mempengaruhi tinggi rendahnya pembangunan ekonomi yang mencerminkan maraklesusnya suatu pembangunan. Dalam upaya menumbuhkan pembangunan, setiap sektor senantiasa berusaha menciptakan iklim usaha yang kondusif dan pasti sehingga mampu menarik investasi yang sebesar-besarnya. Pengairan iklim investasi di Indonesia di mulai semenjak berlakunya Undang-Undang No. 1/tahun 1967 yang disempurnakan menjadi Undang-Undang No. 11/tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), Undang-Undang No. 6 / tahun 1968 yang disempurnakan menjadi Undang-Undang No. 12 / tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Investasi cenderung meningkatkan dari waktu. Walaupun demikian pada tahun-tahun tertentu sempat mengalami penurunan. (Dumairy, 1997 : 132)

Indonesia sebagai negara yang sedang membangun tentu saja sangat membutuhkan dana, dimana sumber dana ini diperoleh baik berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Untuk mempertahankan pembangunan ekonomi yang memadai, maka diperlukan dana investasi yang cukup tinggi (Anonim, 2000 : 83).


(13)

Ketertinggalan Indonesia dalam hal pemulihan ekonomi dibanding dengan Malaysia, Thailand, Korea Selatan akibat krisis ekonomi global yang melanda negara-negara di Asia, ditambah dengan adanya kondisi politik dan keamanan Indonesia yang tidak stabil sehingga berakibat pada pelarian dana keluar negeri, yang diungkap oleh Nopirin (1998 : 174) bahwa kepanikan yang terjadi di dalam negeri akan menyebabkan larinya dana keluar negeri. Hal ini membuat pemerintah berupaya meningkatkan Penanaman Modal Asing (PMA) sambil berupaya keras untuk menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan berusaha menstabilkan kondisi politik dan keamanan negara.

Dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi tidak akan lepas akan kebutuhan penanaman modal atau investasi, karena investasi adalah kebutuhan utama dalam pembangunan yang menghendaki adanya tingkat pertumbuhan. Menyadari pentingnya investasi dalam pembangunan ekonomi maka perintah berusaha meningkatkan pengeluaran serta kebijaksanaan guna mendorong sektor swasta untuk ikut dalam memperkuat tumbuhnya perekonomian. Banyaknya investasi yang direalisasikan di dalam suatu Negara yang bersangkutan, sedangkan sedikitnya investasi akan menunjukkan lambannya laju pertumbuhan ekonomi. (Rosyidi, 1991 : 10).

Investasi merupakan salah satu kegiatan yang harus dilaksanakan dalam rangka menciptakan taraf hidup masyarakat. Hal ini dapat dimengerti karena investasi pada dasarnya dimaksudkan untuk menambah kapasitas produk nasional. Dengan bertambahnya kapasitas produksi nasional maka


(14)

bertambah pula kemampuan suatu perekonomian untuk menghasilkan sejumlah barang dan jasa. Dimana selanjutnya taraf hidup dan kemakmuran masyarakat akan meningkatkan karena tersedianya alat kebutuhan masyarakat bertambah. (Anonim, 2002 : 18)

Perkembangan PMA di Jawa Timur dapat mengalami pasang-surut, disini nilai investasi (PMA) dapat dijelaskan atau diuraikan dalam waktu enam tahun terakhir. Dimana pada tahun 2005 investasi yang dihasilkan sebesar 539.098 (ribu US$) dengan mendapatkan 78 proyek. Pada tahun 2006 investasi yang dihasilkan sebesar 1.467.546 (ribu US$) dengan mendapatkan 83 proyek, dengan demikian investasi mengalami kenaikan. Pada tahun 2007 investasi yang dihasilkan sebesar 855.227 (ribu US$) dengan mendapatkan 85 proyek, sehingga investasi (PMA) mengalami penurunan ditahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2008 investasi (PMA) mengalami kenaikan dengan mendapatkan 93 proyek dan dengan nilai investasi yang dihasilkan sebesar 2.676.883 (ribu US$). Jika terjadi kenaikan terus menerus pada penanaman modal atau investasi (PMA) maka pemerintah dapat memperbaiki perekonomian yang sedang goyah secara berangsur-angsur. Sedangkan penurunan investasi terjadi, disebabkan oleh berkurangnya minat investor untuk menanamkan modalnya di Jawa Timur. (BPS Propinsi Jawa Timur : 2009).

Dalam upaya untuk menarik investor untuk menanamkan modalnya di Daerah Tingkat I Jawa Timur, berbagai kebijaksanaan yang memperlonggar ketentuan-ketentuan dan menyederhanakan prosedur


(15)

penanaman modal telah ditetapkan pemerintah guna menciptakan iklim penanaman modal yang lebih baik. Ketidakstabilan perekonomian (krisis moneter) yang terjadi di Indonesia juga menjadi penyebab turunnya minat investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. (Anonim, 2002 : 20).

Tingkat Suku Bunga yang menurun atau meningkat juga akan menjadi penyebab turunnya minat investor untuk menanamkan modalnya, karena investor tidak mau berspekulasi terhadap keuntungan atau kerugian modalnya.

Perkembangan nilai inflasi juga terjadi pasang-surut, disini juga dijelaskan atau diuraikan perkembangan nilai tinggi rendahnya nilai inflasi pada lima tahun terakhir. Menurut data yang diperoleh BPS Propinsi Jawa Timur, dimana nilai inflasi pada tahun 2004 sebesar 5,92 %. Nilai inflasi pada tahun 2005 sebesar 14,12% sehingga mengalami kenaikan. Pada tahun 2006 mengalami penurunan dengan nilai inflasi sebesar 6,71 %. Sedangkan pada tahun 2007 mengalami penurunan dengan nilai inflasi sebesar 6,27%. Kenaikan terjadi pada tahun 2008 dengan nilai inflasi sebesar 9,66% (BPS Propinsi Jawa Timur : 2009)

Masalah tinggi rendahnya inflasi akan menjadi faktor penting yang menjadi pertimbangan para investor asing untuk menanamkan modalnya khususnya di Jawa Timur. Karena hal ini akan berpengaruh terhadap meningkatnya biaya produksi yang mesti dikeluarkan terutama bagi para investor. Dalam melaksanakan program pembangunan sudah tentu tidak bisa lepas dari konsekuensi pembiayaan yang cukup besar, dimana setiap


(16)

tahunnya dibutuhkan dana yang semakin meningkat, sejalan dengan bertambahnya harapan-harapan dalam upaya mencapai keadaan yang lebih baik (BPS Propinsi Jawa Timur : 2009).

Berdasarkan data tersebut diatas, maka investasi mengalami kenaikan namun masih terdapat kesenjangan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menguji seberapa besar pengaruh mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi Investasi Asing Sektor Pertanian dan Sektor Industri di Jawa Timur, terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Tingkat Inflasi, Tingkat Suku Bunga, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1) Apakah IHSG, Produk Domestik Regional Bruto, Tingkat Suku Bunga, Tingkat Inflasi berpengaruh terhadap investasi asing sektor pertanian dan investasi sektor industri di jawa timur ?

2) Faktor manakah yang paling dominan terhadap investasi asing sektor pertanian sektor industri di Jawa timur ?

3) Apakah ada perbedaan faktor – faktor yang berpengaruh terhadap investasi asing sektor pertanian dan investasi sektor industri di Jawa Timur?


(17)

1.3. Tujuan Penelitian

1) Untuk mengetahui pengaruh IHSG, Produk Domestik Regional Bruto, Tingkat Suku Bunga, Tingkat Inflasi terhadap investasi asing sektor pertanian dan sektor industri di Jawa Timur.

2) Untuk mengetahui variabel manakah yang paling dominan pengaruhnya terhadap investasi asing sektor pertanian dan sektor industri di Jawa Timur.

3) Untuk mengetahui perbedaan faktor – faktor yang berpangaruh pada investasi asing sektor pertanian dan sektor industri di Jawa Timur.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak antara lain ;

1. Sebagai bahan informasi mengenai faktor-faktor yang menentukan . investasi sektor pertanian dan sektor industri di Jawa Timur.

2. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang mengadakan penelitian berkaitan dengan masalah tersebut.

3. Sebagai bahan informasi dan pertimbangan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi penelitian yang akan datang.


(18)

2.1. Hasil Penelitian terdahulu

Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pihak yang dapat dipakai sebagai bahan masukan serta pengkajian dalam penelitian ini dilakukan oleh :

1. Kusuma (2005 : 76) dengan judul “Beberapa faktor yang mempengaruhi investasi (PMDN) di Jawa Timur”, dapat ditarik kesimpulan bahwa dari hasil diperoleh nilai Fhitung = 7,422 > dari Ftabel = 3,587. Dari pengujian hipotesis dengan uji t (parsial) di peroleh hasil bahwa variabel PDRB (thitung = - 3,914 > ttabel = -2,201) dan kurs ISD terhadap rupiah (thitung = -4,372 > ttabel = - 2,201) berpengaruh terhadap investasi (PMDN) di Jawa Timur, sedangkan variabel tingkat inflasi (thitung = 0,497  ttabel = 2,201) tidak berpengaruh terhadap investasi (PMDN) di Jawa Timur. Dari hasil penelitian dapat terlihat bahwa gejolak perubahan kurs maupun tingkat inflasi tidak menurunkan minat investor dalam berinvestasi di Jawa Timur.

2. Mastija (2005 : 90) dengan judul “Analisis faktor yang mempengaruhi invest di Jawa Timur” dapat ditarik kesimpulan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan diperoleh nilai Fhitung = 83,628 > Ftabel 3,48. Secara parsial menunjukkan bahwa


(19)

hitung 2, 484 > ttabel 2,228. Variabel inflasi tidak berpengaruh nyata terhadap investasi di Jawa Timur dengan thitung 1,527 < ttabel 2,228. Variabel tingkat suku bunga kredit tidak berpengaruh nyata terhadap invest di Jawa Timur dengan thitung 1,758 < ttabel 2,228. Variabel total ekspor berpengaruh nyata terhadap invest di Jawa Timur dengan thitung 2,521 > ttabel 2,228.

3. Kusumaningtyas (2005:154) dengan judul “Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat investasi swasta (PMA & PMDN) di Jawa Timur” bahwa dapat ditarik kesimpulan dari penelitian ini yaitu secara simultan memperoleh nilai F hitung = 5,445 > Ftabel = 3,11, sedangkan secara parsial, variabel Produk Domestik Regional bruto (X1) berpengaruh secara nyata terhadap investasi swasta (PMA & PMDN) di Jawa Timur (Y) dengan menggunakan uji –t dimana t hitung = 3,100 > t tabel = 2,145, variabel tingkat suku bunga (X2) tidak berpengaruh nyata terhadap investasi swasta (PMA & PMDN) di Jawa Timur (Y) dimana t hitung = -1,075 < t tabel = 2,145. Tingkat Inflasi (X3) tidak berpengaruh nyata terhadap investasi swasta (PMA & PMDN) di Jawa Timur (Y) dengan menggunakan uji –t dimana t hitung = 0,857 <t tabel = 2,145. Kurs valuta asing (X4) berpengaruh nyata terhadap investasi swasta (PMA & PMDN) di Jawa Timur (Y) dimana hasil t hitung = -2,783 < -t tabel = -2,145.


(20)

4. Manik (1999 : xi) dengan judul “Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing Pada Industri Manufaktur di Jawa Timur dengan Variabel “. Jumlah industri Manufaktur (X1). Tingkat nilai kurs Dollar (X2). Tingkat rasio sebesar 27,2 lebih besar dari F-tabel 4,76 berarti secara simultan ketiga variabel bebas tersebut berpengaruh secara nyata terhadap penanaman modal asing. T-hitung untuk jumlah industri manufaktur sebesar 3,667, t-hitung untuk tingkat kurs dollar sebesar 3,124 dan t-hitung untuk tingkat suku bunga deposito sebesar 0,929. Hal ini berarti bahwa secara parsial faktor-faktor jumlah industri manufaktur, tingkat kurs dollar berpengaruh secara nyata terhadap PMA, sedangkan tingkat rasio suku bunga deposito tidak berpengaruh secara nyata terhadap PMA.

5. Ramadhan (2008) dengan judul “ Analisis Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Investasi Industri Pengolahan di Jawa Timur “ bahwa dapat ditarik kesimpulan bahwa dari hasil pengujian secara simultan nili uji F yaitu diperoleh Fhitung 7,701 > Ftabel 3,48. Sedangkan secara parsial variabel jumlah tenaga kerja (X1) tidak berpengaruh terhadap Investasi Industri Pengolahan (Y) dengan menggunakan uji t dimana thitung 0,614 < ttabel 2,262 dengan tingkat bunga (X2) berpengaruh terhadap investasi Industri Pengolahan (Y) karena thitung 4,110 > ttabel 2,262. Sedangkan PDRB (X3) tidak berpengaruh terhadap Investasi Industri Pengolahan (Y) karena thitung 1,013 > ttabel -2,262. Dan dengan ekspor Industri (X4) pengolahan juga tidak berpengaruh terhadap


(21)

Investasi Industri Pengolahan (Y) karena thitung 1,995 < ttabel 2,262. Penelitian yang diteliti sekarang berbeda dengan penelitian yang terdahulu dimana terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian-penelitian yang akan dilakukan. Persamaan tersebut terletak pada variabel terikat yaitu investasi, sedangkan perbedaanya adalah waktu, tempat, masalah, dan beberapa variabel yang menjadi obyek penelitian. Perbedaan antara variabel sebagai berikut :

a. Penelitian sekarang menggunakan variabel IHSG, PDRB, Tingkat Suku Bunga, Inflasi.

b. Variabel yang digunakan pada penelitian terdahulu antara lain ekspor, kurs valuta asing, tenaga kerja, jumlah industri manufaktur.

2.2. Landasan Teori

2.2.1 Investasi

2.2.1.1 Definisi Investasi

Menurut Nopirin (1997; 133), investasi atau investment disebut juga penanaman modal yaitu penanaman modal baru.

Menurut Dornsbusch dan Discher (1991; 236), investasi adalah pengeluaran yang disediakan untuk meningkatkan atau mempertahankan barang-barang modal.

Investasi atau penanaman modal juga dapat diartikan sebagai pengeluaran atau perbelanjaan penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan


(22)

produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian. (Sukirno, 1995 : 107)

Jadi dapat disimpulkan bahwa investasi adalah merupakan suatu pengeluaran untuk pembelian barang-barang modal dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi. Tercapainya kapasitas produksi yang sudah ditargetkan mengakibatkan jumlah pekerjaan akan meningkat. Adanya tingkat produksi yang tinggi dapat menghasilkan surplus yang tinggi pula, sehingga dapat terhimpun dana yang lebih besar untuk investasi yang dibutuhkan. Dalam prakteknya, usaha untuk mencatat nilai penanaman modal yang dilakukan satu tahun tertentu, yang digolongkan sebagai investasi (atau penanaman modal atau pembentukan modal) meliputi pengeluaran atau pembelanjaan berikut :

a. Pembelian berbagai jenis barang modal, yatu mesin-mesin dan peralatan produksi lainnyauntuk mendirikan berbagai jenis industri dan perusahaan.

b. Pembelanjaan untuk membangun rumah tempat tinggal, bangunan kantor, bangunan pabrik dan bangunan-bangunan lainnya.

c. Pertambahan nilai barang-barang stock yang belum terjual, bahan mentah dan bahan yang masih dalam proses produksi pada akhir tahun perhitungan pendapatan nasional. (Sukirno, 2002 : 107)

Investasi pada hakikatnya merupakan penempatan sejumlah dana pada saat ini dengan harapan untuk memperoleh keuntungan di masa mendatang. Umumnya investasi dibedakan menjadi dua, yaitu :


(23)

1. Financial assets dilakukan di pasar uang, misalnya berupa sertifikat deposito, commercial paper, surat berharga pasar uang dan lainnya. Atau dilakukan di pasar modal misalnya berupa saham, obligasi, iuran, opsi dan lainnya.

2. Real assets diwujudkan dalam bentuk pembelian asset produktif,

penelitian pabrik, pembukuan pertambangan, pembukuan perkebunan dan lainnya.(Halim, 2003 : 2)

Pengertian investasi dari kedua pendapat tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa investasi atau penanam modal itu merupakan penanam modal atau pengguna uang bagi peningkatan kapasitas sistem produksi atau peningkatan asset dengan harapan modal yang ditanamkan akan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya di masa mendatang.

2.2.1.2 Teori Mengenai Investasi

Masalah investasi baik penentuan jumlah maupun kesempatan untuk melakukan investasi oleh Keynes didasarkan atas konsep Marginal Efficiency of Investment (MEI) yaitu bahwa investasi itu akan dijalankan oleh seseorang pengusaha bilamana MEI masih lebih tinggi dari pada tingkat bunga (interest). Secara garis besar, MEI ini digambarkan sebagai suatu schedule yang menurun. Schedule ini menggambarkan jumlah investasi yang terlaksana pada setiap tingkat bunga.


(24)

Gambar 1 : Marginal Efficiency of Investment Tingkat Pengembalian

Sumber : Sukirno Sadono, 1995, Pengantar Ekonomi Makro Ekonomi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 112

Sumbu tegak menunjukkan tingkat pengembalian modal dan sumbu datar menunjukkan jumlah investasi yang akan dilakukan. Pada kurva Marginal Efficiency of Investment (MEI) ditunjukkan tiga buah titik : A, B dan C menggambarkan bahwa tingkat pengembalian modal adalah R0 dan investasi adalah I0. Ini berarti titik A menggambarkan bahwa dalam perekonomian terdapat kegiatan investasi yang akan menghasilkan tingkat pengembalian modal sebanyak R0 atau lebih tinggi, dan untuk mewujudkan investasi tersebut modal yang diperlukan adalah sebanyak I0. Titik B dan C juga memberikan gambaran yang sama. Titik B menggambarkan wujudnya kesempatan untuk menginvestasi dengan tingkat pengembalian modal R1 atau lebih, dan mod al yang diperlukan adalah I1. Dan titik C menggambarkan, untuk mewujudkan usaha yang menghasilkan tingkat modal sebanyak atau lebih, diperlukan modal sebanyak I2.


(25)

2.2.1.3 Macam – Macam Investasi

Investasi menurut macamnya dibagi menjadi delapan macam yang terkelompok menjadi empat kelompok, sehingga masing-masing berisi dua. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah bahwa suatu produk barang investasi mungkin sekali memiliki atau menempati lebih dari satu macam. Di bawah ini uraian pembagian macam-macam investasi :

1. Autonamous Investment dan Induced Investment

Autonomous Investment (Investasi Otonom) adalah investasi yang besar kecilnya tidak dipengaruhi oleh pendapatan, misalnya :teknologi, kebijaksanaan pemerintah, harapan para pengusaha, dan sebagainya. Induced Investment (Investasi Terimbas) adalah investasi yang dipengaruhi oleh tingkat pendapatan. Tingkat pendapatan mempengaruhi tingkat investasi terimbas dalam hubungan searah atau positif.

Gambar 2. Fungsi Investasi Otonom dan Investasi Terimbas

0 Pendapatan 0 Pendapatan

Investasi

(Y) Investasi

I

Sumber : Rosyidi, Suherman, 1996, Pengantar Teori Ekonomi , Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal 170.


(26)

2. Publik Investment dan Private Investment

Public Investment adalah investasi yang digunakan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tingkat satu, tingkat dua, kecamatan, maupun desa. Sedangkan Private Investment adalah kebalikannya yaitu investasi yang dilakukan oleh swasta.

3. Domestic Investment dan Foreign Investment

Domestic Investment adalah penanaman modal dalam negeri sedangkan Foreign Investment adalah penanaman modal asing. Sebuah Negara yang memiliki banyak sekali factor produksi alam ( Natural Resources ) dan sumber daya manusia namun tidak memiliki cukup modal ( Capital ) sebagai factor produksi sumber-sumber di dalam Negeri yang belum termanfaatkan sepenuhnya bias digali sehingga tidak mubazir.

4. Groos Investment dan Net Investment

Gross Investment adalah total seluruh investasi yang diadakan atau dilaksanakan pada suatu ketika, dengan kata lain bahwa seluruh investasi yang dilakukan di suatu Negara atau di daerah pada periode tertentu. Sedangkan Net Investment adalah selisih antara Investasi Bruto dengan penyusutan. ( Rosyidi, 1996 : 168 – 173 )

2.2.2. Pengertian Investasi Sektor Pertanian 2.2.2.1. Definisi Investasi Sektor Pertanian

Pengertian pertanian adalah suatu proses produksi yang didasarkan atas pertumbuhan tanaman dan hewan.(Sorma, 1990 : 41)


(27)

Pertanian adalah kegiatan manusia mengusahakan tanah dengan maksud untuk memperoleh hasil tanaman ataupun hasil hewan, tanpa mengakibatkan berkurangnya kemampuan tanah yang bersangkutan untuk mendatangkan hasil selanjutya.(Banoewidjoyo, 1997)

Pertanian adalah proses produksi yang khas yang didasarkan atas proses pertumbuhan tanaman dan hewan. Dalam kata lain merupakan pengolahan perikanan, peternakan, tanaman, dan lingkungan yang memberikan suatu produk.(Hendaryono.D.P, 1997)

Pertanian merupakan industi primer yang mencakup pengorganisasian sumber daya tanah, air, mineral dan modal dalam berbagai bentuk pengolahan dari tenaga kerja untuk memproduksi dan memasarkan berbagai orang yang diperlukan oleh manusia.

Pertanian tanaman budidaya sering disebut dengan pertanian rakyat yaitu usaha pertanian keluarga, dimana memproduksi bahan makanan utama serti beras, palawija dan tanaman hortikultura seperti sayur mayur dan buah-buahan. Pertanian rakyat diusahakan di tanah-tanah sawah lading dan pekarangan, sedangkan pertanian besar dikelolah oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), suatu PTP (Perseroan Terbatas Perkebunan) mempunyai lahan yang cukup luas dan mempunyai system managemen yang baik.(Anonim, 2005 : 9)

2.2.2.2. Ciri-ciri Umum Pertanian

Dari sudut pandang yang luas sesungguhnya sektor pertanian meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan


(28)

dan perikanan. Ciri sektor pertanian di Indonesia barangkali dapat dikategorikan berdasarkan ciri spesifik sektor pertanian dalam perkonomian Indonesia. Ciri ini antara lain :

a. Pertanian Indonesia merupakan pertanian tropis, dalam artian bahwa sepanjang tahun tanaman pertanian mendapatkan sinar matahari. Oleh karenanya iklim di Indonesia tidak mengenal iklim dingin atau musim dingin, musim gugur atau musim semi. Tipe iklim yang berbeda ini akan menentukan tipe tanaman yang diusahakan oleh petani-petani di Indonesia.

b. Pertanian di Indonesia hanya mengenal musim hujan dan musim kemarau. Biasanya musim hujan diawali pada September-Oktober dan diakhiri pada Maret-April. Di awal musim hujan biasanya petani mengusahakan tanaman padi, karena irigasinya tersedia dalam jumlah yang cukup. Sebaliknya di daerah yang irigasinya tidak tersedia dalam jumlah yang memadai, diusahakan tanaman palawija, seperti kedelai, jagung, atau lainnya.

c. Pertanian di Indonesia dicirikan oleh pengusahaannya dalam luas usaha yang relatif sempit, kurang dari satu hektar. Luas usaha yang demikian dicirikan oleh adanya tanaman bahan makanan. Sebaliknya di daerah yang usaha pertaniannya dilakukan dalam jumlah yang luas, maka disitu diusahakan tanaman perkebunan seperti kopi, karet, dan sebagainya.


(29)

d. Pertanian di Indonesia juga dicirikan oleh luasnya lahan kering dibandingkan dengan lahan sawah. Lahan kering dapat berupa tegalan, tanah dipegunungan atau padang alang-alang. Khususya di Indonesia bagian timur, persentase luas lahan kering malah lebih luas. Hal ini disebabkan karena kurangnya curah hujan didaerah itu.

e. Pertanian di Indonesia juga dicirikan oleh banyaknya penggunaan tenaga kerja manusia dan relatif sedikit penggunaan tenaga kerja mesin.

f. Pertanian di Indonesia juga dicirikan oleh kontribusinya yang relatif besar terhadap perekonomian di Indonesia. Situasi seperti ini yang mencirikan Indonesia sebagai negara agraris pada tahun-tahun yang lalu hingga sekarang.(Soekarwati, 1993 : 96) 

 

2.2.3. Pengertian Industri

2.2.3.1 Definisi Investasi Sektor Industri

Industri adalah usaha produktif terutama dalam bidang produksi atau perusahaan tertentu untuk menyelenggarakan jasa-jasa misalnya transportasi dan peralatan perhubungan yang menggunakan modal tenaga kerja dalam jumlah relatif besar. (Nisjar dan Winardi, 1997 : 181)


(30)

Industri adalah tiap usaha yang merupakan unit produksi yang membuat barang atau yang mengerjakan sesuatu barang atau bahan untuk masyarakat disuatu tempat tertentu. (Arsyad, 1992 : 57)

Menurut Undang-Undang RI No. 5 tahun 1984 pasal 1 tentang perindustrian adalah kegiatan ekonomi yang mengelola bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi dan barang jadi menjadi barang yang bernilai lebih tinggi, untuk penggunaannya termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasa industri. (Anonim, 1994 : 21)

Dalam usaha untuk menanggulangi kesulitan dan masalah ekonomi guna mensukseskan program pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, maka sector industri merupakan salah satu tulang punggung kejayaan negara. Jadi indusrti adalah suatu lokasi dimana aktifitas pengolahan bahan produk hingga menjadi barang setengah jadi atau barang jadi baik didalam kawasan yang sama atau tidak. Untuk mengetahui macam-macam industri ini dapat dilihat dari beberapa sudut pandang yaitu pengelompokan industri secara nasional dan dibagi 3 kelompok besar yaitu :

1. Kelompok industri dasar yang dibagi dua bagian, antara lain : 

a.Kelompok industri mesin dan logam dasar, seperti besi, baja, dan lain-lain. 


(31)

b. Kelompok industri kimia dasar  

Kelompok ini mempunyai misi pertumbuhan ekonomi dan teknologi yang digunakan adalah teknologi maju dan teruji yang bersifat tidak padat karya.

2. Kelompok industri hilir 

Yaitu aneka industri dengan misi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dalam memperluas kesempatan kerja dan bersifat tidak padat modal. Sedangkan teknologi yang digunakan teknologi menengah dan teknologi maju.

3. Kelompok Industri Kecil 

Yaitu kelompok industri dengan nilai pemerataan dan menggunakan teknologi sederhana serta bersifat padat karya.(Arsyad,1999 : 366)

2.2.4. IHSG

2.2.4.1. Pengertian Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)

Indeks Harga Saham Gabungan merupakan alat yang dapat menunjukkan pergerakan harga saham secara umum yang tercatat di bursa efek. Indeks inilah yang paling banyak digunakan dan dipakai sebagai acuan tentang perkembangan kegiatan di pasar modal (Pandji Anoraga dan Piji Pakarti, 2001 : 101)


(32)

Indeks Harga Saham Gabungan, merupakan merupakan seluruh saham yang tercatat di bursa. Sedangkan menurut Abdul Halim (2003 : 8) mempunyai pengertian tentang indeks harga saham, yang merupakan ringkasan dari pengaruh simultan dan kompleks dari berbagai variabel yang berpengaruh, terutama tentang kejadian-kejadian ekonomi.

Indeks Harga Saham Gabungan merupakan seluruh saham yang menggambarkan suatu rangkaian informasi histories mengenai pergerakan saham gabungan seluruh saham, sampai pada tanggal tertentu. Biasanya pergerakan saham tersebut disajikan setiap hari, berdasarkan harga penutupan di bursa pada hari tersebut. Indeks tersebut disajikan untuk periode tertentu, Dalam hal ini mencerminkan suatu nilai yang berfungsi sebagai pengukur kinerja suatu saham gabungan di bursa efek. Harga saham merupakan pencerminan fenomena ekonomi bahkan sosial politik sebagai berikut, surat berharga yang diterbitkan oleh perusahaan go public, harga saham ditentukan oleh perkembangan perusahaan penerbit. Jika perusahaan penerbit mampu menghasilkan keuntungan yang tinggi, perusahaan tersebut dapat menyisihkan bagian keuntungan itu sebagai deviden dengan jumlah tinggi pula. Pemberian deviden yang tinggi akan menarik masyarakat untuk membeli saham tersebut, akibatnya permintaan akan saham meningkat dan mendapatkan capital gain. Dengan demikian harga saham akan meningkat pula, kenaikan harga saham ini dicerminkan dalam indeks harga saham. Indeks Harga Saham Gabungan pada dasarnya harga saham individu akan tetapi


(33)

harus menjumlahkan seluruh harga saham yang ada (listing). Keuntungan perusahaan menjadi faktor yang sangat penting ditentukan oleh faktor lain seperti upah buruh secara umum, budaya masyarakat dan keadaan politik pada waktu tertentu. Semuanya itu akan berpengaruh pada harga saham, yang dicerminkan oleh harga saham.

Indeks Harga Saham Gabungan seluruh saham adalah suatu nilai yang digunakan untuk mengukur kinerja gabungan seluruh saham yang tercatat di suatu bursa efek. Maksud dari gabungan seluruh saham ini adalah kinerja saham yang dimaksudkan dalam perhitungan seluruh saham yang tercatat di bursa tersebut. Indeks Saham Gabungan menjadi gambaran umum dikarenakan Indeks Harga Saham Gabungan merupakan ringkasan dari dampak simultan dan parsial atas berbagai macam faktor yang berpengaruh, terutama fenomena ekonomi. Dewasa ini Indeks Harga Saham dijadikan statistik atas kondisi pasar terakhir (Sunariyah, 2003: 126).

Untuk mengetahui secara umum sebab indeks harga saham merupakan ringkasan dari dampak simultan dam kompleks atas berbagai macam faktor yang berpengaruh terutama fenomena-fenomena ekonomi. (Widoatmodjo, 1996: 89).

Rumus menghitung IHSG yaitu:

IHSG = 100%

0

x H Ht


(34)

Dimana:

Ht = total harga semua saham pada waktu yang berlaku H0 = total harga semua saham pada waktu dasar

2.2.4.2. Penentuan Harga Saham

Penentuan harga saham selalu menjadi pembahasan yang penting di dalam ilmu ekonomi lebih-lebih harga saham. Harga dari suatu pernyataan dalam perusahaan sebagai barang abstrak, tentu sulit diukur secara tepat. Tinggi rendahnya harga saham lebih mendekati sebagai (penilaian sesaat) yang dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain:

1. Faktor fundamental meliputi manajemen, keuntungan dan prospek perusahaan.

2. Faktor teknikal meliputi psikologis penjualan atau pembeli, kemampuan analisa efek, penawaran dan permintaan pasar

2.2.5. PDRB

2.2.5.1. Pengertian Produk Domestik Regional Bruto

Produk Domestik Bruto adalah sebagai nilai barang- barang dan jasa- jasa yang diproduksi di dalam negara tersebut dalam satu tahun tertentu. (Sukirno 2002 : 33)

Produk Domestik Bruto dapat diartikan satu persatu yaitu : produk, domestik, dan bruto. Dinamakan produk, karena yang dihitung adalah


(35)

produk barang dan jasa. Dinamakan domestik, karena batasnya adalah wilayah suatu negara, termasuk didalamnya orang- orang dan perusahaan asing. Dinamakan bruto karena mengalami penyusutan.

Produk Domestik Bruto menurut atas harga yang berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku setiap tahun.

Pengertian Produk Domestik Regional Bruto adalah suatu indikator untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah secara sektoral, sehingga dapat dilihat penyebab pertumbuhan ekonomi suatu wilayah tersebut. Selain itu PDRB juga alat ukur untuk menganalisa perubahan tingkat kemakmuran secara riil atas harga konstan.(Sukirno, 2002 : 38)

Produk Domestik Regional Bruto merupakan salah satu indikator makro ekonomi dimana dari total turunnya dapat diketahui pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi dan pendapatan perkapita suatu daerah.(Anonim, 2001)

Produk Domestik Regional Bruto menurut penggunaan adalah seluruh komponen permintaan akhir, yaitu pengeluaran konsumsi rumah tangga termasuk lembaga swasta yang tidak mencari laba, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan stock dan ekspor bersih (ekspor dikurangi impor) dalam jangka waktu tertentu. PDRB sebagai salah satu indikator pembangunan regional juga berfungsi sebagai tolak ukur dalam melihat kemakmuran suatu negara.


(36)

Cara perhitungan Produk Domestik Regional Bruto dapat digunakan melalui 3 pendekatan, antara lain :

1. Pendekatan produksi ; Produk Domestik Regional Bruto adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi disuatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Unit- unit produksi tersebut dalam penyajiannya dikelompokkan menjadi 9 sektor lapangan usaha yaitu :

a. Pertanian

b. Pertambangan dan penggalian c. Industri pengolahan

d. Listrik, gas dan air bersih

e. Bangunan

f. Perdagangan, hotel dan restoran g. Pengangkutan dan Komunikasi

h. Jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan i. Jasa lain-lain.

2. Pendekatan pengeluaran ; Produk Domestik Regional Bruto adalah penjumlahan semua komponen permintaan akhir, yaitu :

a. Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung

b. Konsumsi pemerintahan

c. Pembentukan modal tetap domestik bruto


(37)

e. Ekspor netto, (ekspor dikurangi impor). (Sukirno 2002 : 38)

3. Pendekatan pendapatan ; Produk Domestik Regional Bruto merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan. Semua hitungan tersebut sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam pengertian Produk Domestik Regional Bruto, kecuali faktor pendapatan, termasuk pula komponen penyusutan dan pajak tidak langsung netto. Jumlah semua komponen pendapatan ini menurut sektor tersebut disebut sebagai nilai tambah bruto seluruh sector atau lapangan usaha. (Sukirno 2002 : 247)

2.2.5.2. Kegunaan Statistik Produk Domestik Regional Bruto

Kegunaan statistik produk domesrik regional bruto antara lain : 1. Tingkat pertumbuhan ekonomi

Mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi regional baik secara menyeluruh maupun sektoral, dengan melihat prosentase pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan (tahun tertentu) dapat dilihat laju pertumbuhan ekonomi.

2. Tingkat kemakmuran

Mengetahui tingkat kemakmuran daerah, baik tingkat pertumbuhan maupun tingkat kemakmuran dibanding dengan


(38)

daerah lain. Tingkat kemakmuran suatu wilayah biasanya diukur dengan besarnya pendapatan perkapita penduduknya.

3. Tingkat inflasi atau deflasi

Mengetahui tingkat inflasi atau deflasi yang terjadi dalam jangka waktu tertentu (tahunan), dengan membandingkan antara PDRB atas dasar harga konstan (tahun tertentu), dapat diperoleh suatu indeks implicit yang bias menggambarkan kenaikan atau penurunan harga barang dan jasa.

4. Struktur ekonomi

Mengetahui ganbaran struktur ekonomi daerah daerah, PDRB dapat di gunakan sebagai indikator tentang komposisi struktur perekonomian suatu wilayah, yaitu dengan menyusun peranan masing- masing sektor atau lapangan usaha.

5. Potensi suatu daerah

Mengetahui potensi suatu wilayah terhadap regional secara keseluruhan maupun sektoral. Dengan melihat peranan sektoral dalam suatu wilayah Kabupaten atau peranan keseluruhan suatu wilayah terhadap wilayah propinsi bisa diketahui potensi suatu wilayah.

Dengan demikian maka statistik pendapatan daerah sangat bermanfaat bagi para perencana maupun pengambil keputusan, baik yang berhubungan dengan rencana pembangunan jangka pendek maupun jangka panjang. (Anonim 2004 : 3)


(39)

2.2.6. Tingkat Suku Bunga

2.2.6.1. Pengertian Tingkat Suku Bunga

Suku bunga adalah harga yang dibebankan oleh unit ekonomi yang mengalami surplus pada unit ekonomi yang mengalami defisit atas pinjaman yang diberikan dari tabungannya. (Diulio, 1993 : 42)

Suku bunga adalah harga dari meminjam untuk menggunakan daya belinya. (Puspopranoto, 2004 : 70)

Tingkat suku bunga adalah harga dari penggunaan dana yang tersedia untuk dipinjamkan (leonable fund). (Boediono, 1998 : 76)

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat suku bunga adalah harga yang dibebankan oleh unit ekonomi yang mengalami surplus ke unit ekonomi yang mengalami defisit untuk penggunaan daya beli uang dalam jangka waktu tertentu.

2.2.6.2. Teori Tentang Tingkat Suku Bunga A.Teori Klasik

Tabungan menurut teori klasik adalah fungsi dari tingkat bunga. Makin tinggi bunga makin tinggi pula keinginan masyarakat untuk

menabung. Investasi juga merupakan fungsi dari tingkat bunga. Makin tinggi tingkat bunga, keinginan untuk melakukan investasi juga semakin kecil. Alasannya, seorang pengusaha akan menambah pengeluaran investasinya apabila keuntungan yang diharapkan dari investasi lebih besar dari tingkat bunga yang harus dibayar oleh investor untuk dana investasi tersebut yang merupakan ongkos untuk penggunaan dana.


(40)

Makin rendah tingkat bunga, maka investor akan lebih terdorong untuk melakukan investasi, sebab biaya penggunaan dana juga semakin kecil. Tingkat bunga dalam keadaan seimbang akan tercapai apabila

keinginan menabung masyarakat sama dengan keinginan investor untuk melakukan investasi. Secara grafik, keseimbangan tingkat suku bunga dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 3 Teori Klasik tentang Tingkat Suku Bunga

Tabungan

i1

io Investasi i

Investasi o

Jumlah Rp

yang ditabung dan

So S1 diinvestasikan

Sumber: Norpirin, 1992, Ekonomi Moneter, Edisi Keempat, Penerbit BPFE UGM, Yogyakarta, hal72.

Keseimbangan tingkat bunga ada pada io dimana jumlah tabungan

sama dengan investasi. Apabila tingkat bunga diatas io, jumlah tabungan

melebihi keinginan investor untuk melakukan investasi. Para penabung akan saling bersaing untuk meminjamkan dananya dan ini akan menekan tingkat bunga kembali ke posisi io. Sebaliknya apabila suku bunga

dibawah io, para investor akan saling bersaing untuk memperoleh dana


(41)

kembali naik pada posisi io. Pada tingkat bunga yang sama dengan

tingkat investasi, investor bersedia meminjam dana lebih besar untuk membiayai investasinya. Keadaan ini dalam gambar, ditunjukkan dengan bergesernya kurva permintaan investasi ke kanan atas, dan keseimbangan tingkat bunga yang baru pada titik io.

(Norpin, 1992 : 70-72) B.Teori Keynes

Tingkat bunga merupakan suatu fenomena moneter. Artinya, tingkat bunga ditentukan oleh penawaran dan permintaan akan uang (ditentukan dalam pasar uang). Perubahan tingkat bunga selanjutnya akan mempengaruhi keinginan untuk mengadakan investasi. Permintaan akan uang, oleh keynes disebut ”Liquidity Preference” (permintaan uang) tergantung pada tingkat bunga. Dalam gambar, sumbu horizontal mengukur jumlah dan permintaan uang dan sumbu vertikal untuk tingkat bunga.

Tingkat bunga dalam keseimbangan (dalam gambar), apabila jumlah uang kas yang diminta sama dengan penawarannya (jumlah uang beredar). Apabila tingkat bunga dibawah tingkat keseimbangan, masyarakat menginginkan uang kas lebih banyak dengan cara menjual surat berharga yang dipegang sehingga hal ini akan mendorong harganya turun ( tingkat bunga naik). Sebaliknya, apabila tingkat bunga diatas keseimbangan, masyarakat menginginkan uang kas lebih sedikit dengan cara membeli surat berharga, hal ini akan mengakibatkan naik harga surat


(42)

berharga (tingkat bunga turun 0 sampai keseimbangan terjadi. (Nopirin, 1992 : 90-93)

Gambar 4: Teori Keynes tentang Tingkat Bunga

Tingkat

Bunga

(%)

Jumlah Uang

req

Liquidity Preference

Jumlah Uang

dan Permintaan Uang

Sumber: Norpirin, 1992, Ekonomie Moneter, Edisi Keempat, Penerbit BPFE UGM, Yogyakarta, hal72.

2.2.6.3. Fungsi Tingkat Bunga Dalam Perekonomian

Tingkat bunga mempunyai beberapa fungsi dalam perekonomian, yaitu :

1. Membantu mengalirnya tabungan berjalan kearah investasi guna mendukung pertumbuhan perekonomian.

2. Mendistribusikan jumlah kredit yang tersedia, pada umumnya memberikan dana kredit kepada proyek investasi yang menjanjikan hasil tertinggi.


(43)

3. Menyeimbangkan jumlah uang beredar dengan permintaan akan uang dari suatu Negara.

4. Merupakan alat penting manyangkut kebijakan pemerintah melalui pegaruhnya terhadap jumlah tabungan dan investasi. (Puspopranoto,2004:71)

2.2.7. Inflasi

2.2.7.1. Pengertian Inflasi

Inflasi dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan harga-harga umu mengalami kenaikan secara terus menerus dan menyeluruh.

(Yuliati, 2001 : 98)

Inflasi adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus menerus.(Raharja dan Manurung, 2000 155)

Inflasi dapat didefinisikan sebagai proses kenaiakan harga-harga yang berlaku dalam suatu perekonomian.(Sukirno, 2002 : 15)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa inflasi adalah proses kenaikan harga-harga barang umum secara terus menerus, ini tidak berarti bahwa harga-harga berbagai macam barang itu naik dengan presentase yang sama. Mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidaklah bersamaan, yang penting terdapat kenaikan harga umum secara terus menerus selama satu periode tertentu.

Laju inflasi merupakan salah satu indikator ekonomi yang penting untuk nilai keadaan perekonomian pada suatu periode waktu tertentu dan


(44)

menilai pertumbuhan ekonomi selama suatu jangka waktu tertentu. Bila sebagian besar harga diukur oleh pemerintah, maka harga-harga yang disubsidi pemerintah dan ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik adalah harga-harga resmi pemerintah tapi mungkin dalam realita ada kecenderungan harga terus naik. Inflasi yang ditutupi akan sering muncul jika pemerintah terus-menerus mensubsidi harga-harga tertentu, misalnya harga BBM (Bahan Bakar Minyak).

Sebelum tahun 1970 para ekonomi mendefinisikan inflasi sebagai suatu kenaikan dalam tingkat harga umum, tetapi sejak awal tahun 1970-an mulai dipisahk1970-an 1970-antara inflasi d1970-an tingkat harga. Suatu kenaik1970-an dalam tingkat harga atau perubahan positif dimana indeks harga konsumen semakin besar, tetapi perubahan itu tidak berlangsung terus, maka dapat dikatakan sebagai perubahan tingkat harga. Akan tetapi apabila perubahan itu berlangsung terus, maka dikatakan sebagai inflasi. Kenaikan tingkat harga yang kontinyu ini bisa terjadi pada saat-saat lebaran, natal atau hari-hari raya yang lain. Kenaikan harga seperti ini tidak dianggap sebagai suatu masalah ekonomi.

Inflasi yang merupakan suatu gejala dari harga-harga disebabkan oleh berbagai hal seperti telah dikatakan tadi bahwa harga merupakan benturan antara kekuatan supply dan kekuatan demand. Adanya perubahan harga karena adanya gangguan terhadap keseimbangan yang lama sehingga kedua kekuatan tersebut berinteraksi mencari suatu keseimbangan baru.


(45)

2.2.7.2. Jenis Inflasi

Inflasi dapat digolongkan dalam beberapa macam penggolongan antara lain (Boediono, 2001: 156-159).

a. Penggolongan Inflasi menurut parah tidaknya inflasi : 1. Inflasi Ringan

Adalah laju inflasi di bawah 10% setahun. 2. Inflasi Sedang

Adalah laju inflasi antara 10%-30% setahun. 3. Inflasi Berat

Adalah laju inflasi antara 30%-100% setahun. 4. Hiperinflasi

Adalah laju inflasi diatas 100% setahun. b. Penggolongan inflasi menurut asal dari inflasi :

1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)

Adalah inflasi yang timbul karena adanya deficit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru, panen yang gagal dan sebagainya.

2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation)

Adalah inflasi yang timbul karena kenaikan harga-harga di luar negeri atau kenaikan harga langganan berdagang, kenaikan harga yang kita impor mengakibatkan adanya kenaikan indeks biaya hidup, karena sebagian dari barang-barang yang tercakup didalamnya berasal dari impor, selain itu juga secara tidak langsung


(46)

akan menaikkan indeks harga melalui kenaikan biaya produksi atas bahan mentahnya yang harus diimpor.

c. Penggolongan inflasi menurut mekanisme timbulnya inflasi : 1. Inflasi Permintaan (Demand Pull Inflation)

Adalah inflasi yang timbul karena banyaknya permintaan akan barang-barang konsumsi oleh masyarakat.Karena permintaan masyarakat (Agregat Demand) bertambah, maka kurva agregat demand bergeser dari D1 ke D2 akibatnya tingkat kurva umum naik dari P1 ke P2

Gambar 5. Demand Pull Inflation

P 

Output   Q2

Q1

D  D

S

H  H 

0 

Sumber: Boediono, 1985, Moneter Sinopsis Pengantar Ekonomi No. 5 Edisi ke 3, BPFE-UGM Yogyakarta hal : 163.

Peningkatan pendapatan agregat menyebabkan permintaan meningkat. Perubahan ini ditunjukkan oleh pergeseran ke kanan kurva permintaan dari D1 ke D2. Pasar bergerak ke perpotongan baru dari penawaran dan permintaan. Harga equilibrium meningkat


(47)

dari P1 ke P2 dan jumlah equilibrium barang meningkat dari Q1 ke Q2

2. Inflasi Penawaran (Cost Push Inflation)

Adalah inflasi yang terjadi karena biaya produksi (Cost Inflation). Gambar 6. Cost Push Inflation

S1 S2

D H

H2 

Output  

Q4 Q3

0 

Sumber : Boediono, 1985, moneter syinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.5 edisi ke 3, BPFE-UGM Yogyakarta hal 163.

Peningkatan harga bahan menurunkan penawaran harga barang. Hal itu menyebabkan penjualan barang kurang menguntungkan sehingga memilih memproduksi lebih sedikit barang. Perubahan ini ditunjukkan oleh pergeseran ke kiri kurva penawaran dari S1 ke S2. Pasar bergerak ke perpotongan baru dari penawaran dan permintaan. Harga equilibrium meningkat dari P1 ke P2 dan jumlah equilibrium menurun dari Q1 ke Q2.


(48)

2.2.7.3. Pengendalian Inflasi

Jika perekonomian mengalami inflasi yang cukup tinggi, jika pasar keuangan efisien, maka pasar akan memasukkan inflasi yang diharapkan ke dalam tingkat keuntungan yang disyaratkan. Beberapa langka yang dapat dilakukan dalam melakukan pengendalian inflasi yang terjadi adalah sebagai berikut:

1. Pengaruh inflasi atau dis-inflasi harus dimasukkan ke dalam aliran kas, karena tingkat keuntungan yang disyaratkan biasanya sudah memasukkan inflasi yang diharapkan.

2. Jika inflasi tidak homogen di dalam suatu perekonomian akan lebih baik jika menggunakan tingkat inflasi per sektor perekonomian.

3. Perubahan harga yang tidak dikarenakan inflasi, missal karena perubahan permintan dan penawaran yang akan mempengaruhi aliran kas sebaiknya juga dimasukkan ke dalam analisis.

Seperti dikemukakan diatas bahwa kontrol Bank Indonesia atas inflasi sangat terbatas, karena inflasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Oleh karena itu, Bank Indonesia selalu melakukan assessment terhadap perkembangan perekonomian, khususnya terhadap kemungkinan tekanan inflasi. Selanjutnya respon kebijakan moneter didasarkan kepada hasil assessment tersebut. Perlu disampaikan pula bahwa pengendalian inflasi tidak bisa dilakukan hanya melalui kebijakan moneter, melainkan juga kebijakan ekonomi makro lainnya seperti kebijakan fiskal dan kebijakan di sektor riil.


(49)

Untuk itulah koordinasi dan kerjasama antar lembaga lintas sektoral sangatlah penting dalam menangani masalah inflasi ini. Sasaran akhir kebijakan moneter BI di masa depan pada dasarnya lebih diarahkan untuk menjaga inflasi. Pemilihan inflasi sebagai sasaran akhir ini sejalan pula dengan kecenderungan perkembangan terakhir bank-bank sentral di dunia, dimana banyak bank sentral yang beralih untuk lebih memfokuskan diri pada upaya pengendalian inflasi. Alasan yang mendasari perubahan tersebut adalah:

1. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi tingkat inflasi, kebijakan moneter tidak dapat mempengaruhi variable riil, seperti pertumbuhan output ataupun tingkat pengangguran.

2. Pencapaian inflasi rendah merupakan prasyarat bagi tercapainya sasaran makroekonomi lainnya, seperti pertumbuhan pada tingkat kapasitas penuh (full employment) dan penyediaan lapangan kerja yang seluas- luasnya.

3. Yang terpenting, penetapan tingkat inflasi rendah sebagai tujuan akhir kebijakan moneter akan menjadi nominal anchor berbagai kegiatan ekonomi.

Strategi yang digunakan oleh BI dalam mencapai sasaran inflasi yang rendah adalah:

- Mengkaji efektivitas instrumen moneter dan jalur transmisi kebijakan moneter.


(50)

- Menentukan sasaran akhir kebijakan moneter.

- Mengidentifikasi variabel yang menyebabkan tekanan-tekanan inflasi. - Memformulasikan respon kebijakan moneter.

Dapat ditambahkan bahwa laju inflasi yang diperoleh dari indeks harga konsumen (IHK) sebagai sasaran akhir dan laju inflasi inti (core atau underlying inflation) sebagai sasaran operasional.

2.2.7.4. Efek inflasi

Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan. Alokasi faktor produksi serta output. Dibawah ini ke tiga nya akan dibahas satu demi Satu :

a. Efek terhadap pendapatan (equity effect)

Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan ada pula yang diuntungkan. Demikian juga orang yang menempuh kekayaan dalam bentuk uang kas akan menderita kerugian karna adanya inflasi. sebaliknya pihak – pihak yang mendapatkan keuntungan dengan adanya inflasi adalah mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan dengan presentase lebih besar dari pada laju inflasi. Dengan demikian inflasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam pola pembagian kekayaan masyarakat. Inflasi seolah-olah merupakan pajak bagi seseorang dan merupakan subsidi bagi orang lain.


(51)

b. Efek terhadap Efisiensi (efficiency effect)

Inflasi dapat pula merubah pola alokasi factor – factor produksi, perubahan ini dapat terjadi melalui kenaikan permintaan karena berbagai macam barang yang kemudian mendorong terjadinya perubahan dalam produksi beberapa barang tertentu. Hal ini akan menyebabkan kenaikan produksi barang sehingga akan merubah pola produksi lebih efisien.

c. Efek terhadap output (output effect)

Efek terhadap output mempertanyakan bagaimana efek inflasi terhadap produksi. Artinya apakah akan mengakibatkan kenaikan atau menurunkan output. Inflasi dapat menyebabkan kenaikan produksi alasan nya dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan harga barang mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan pengusaha baik. Kenaikan keuntungan ini akan mendorong kenaikan produksi.dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara inflasi dengan output. Inflasi bisa dibarengi dengan punurunan output.

(Nopirin 1993 ; 32-33). 2.2.7.5. Dampak inflasi terhadap investasi

Inflasi merupakan salah satu penyakit perekonomian suatu negara. gangguan – gangguan lainnya (Sukendar, 2000 : 166)


(52)

Pada saat tingkat inflasi tinggi, maka kondisi perekonomian menjadi lesu. Hal ini secara otomstis akan berpengaruh terhadap kegairahan usaha diberbagai bidang.pelaksanaan infestasi menjadi terhambat, sehingga produksi nasional akan menurun. Menurunnya produksi secara nasional dapat menurunkan pendapatan nasional. Turunnya pendapatan nasional suatu Negara menunjukan bahwa perkembangan ekonomi Negara tersebut mengalami penurunan. Oleh karena itu, pada tingkat inflasi tinggi, maka pemerintah harus cepat tanggap dalam menentukan kebijakan dalam melakukan pengendalian tingkat inflasi.

2.3. Kerangka Pikir

Investasi merupakan salah satu unsur dalam meningkatkan kinerja ekonomi suatu negara. Investasi yang dialokasikan secara optimal dapat meningkatkan nilai tambah, yaitu berupa peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selain ketepatan dan alokasi yang optimal maka mekanisme investasi akan mewujudkan nilai tambah yang tergantung pada kondisi ekonomi yang ada di suatu negara.

Diketahui kondisi tersebut berupa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan investasi. Faktor tersebut adalah IHSG, Produk Domestik Regional Bruto, Tingkat Suku Bunga , Tingkat Inflasi. Berdasarkan pemikiran di atas maka dapat dijelaskan mengenai hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terikat sebagai berikut :


(53)

a. Hubungan IHSG dengan Investasi Sektor Pertanian dan Sektor Industri 

Pergerakan nilai indeks akan menunjukkan perubahan situasi pasar yang terjadi. Pasar yang bergairah terjadi karena transaksi aktif ditunjukkan dengan indeks harga saham mengalami kenaikan. Kenaikan indeks harga saham ini menjadi indikator bahwa keadaan perekonomian stabil. Keadaan ini menyebabkan investor tertarik untuk menanamkan modalnya. (Anoraga dan Pakarti, 2001 : 102)

b. Hubungan PDRB dengan Investasi Sektor Pertanian dan Sektor

Industri

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah suatu indikator untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah secara sektoral. Oleh karena itu perlu disadari bahwa suatu daerah yang PDRB nya tinggi maka akan semakin tinggi pula produksi barang dan jasa yang dihasilkan. Hal tersebut membuat keuntungan perusahaan akan meningkat semakin besar dan hal ini akan mendorong dilakukannya lebih banyak investasi untuk lebih memperbesar keuntungan perusahaan. Dengan kata lain apabila PDRB bertambah besar atau tinggi maka Investasi bertambah tinggi pula.


(54)

c. Hubungan Tingkat Suku Bunga Dengan Invesatasi Sektor Pertanian dan Sektor Industri

Investor akan mempertimbangkan dan membandingkan beban bunga yang harus dibayarkannya dengan harapan keuntungan yang akan diperoleh dari investasi yang dilakukannya tersebut. Apabila tingkat suku bunga tinggi, pengusaha akan menunda pinjaman tersebut sampai tingkat suku bunganya turun. Maka terdapat hubungan berkebalikan antara tingkat suku bunga dan investasi, yaitu semakin tinggi tingkat suku bunga, maka semakin rendah keinginan pengusaha untuk melakukan investasi. Sebaliknya, apabila tingkat suku bunga rendah, maka investor akan meminjan dana dari bank untuk membiayai pengeluaran investasinya dengan harapan investasi tersebut menghasilakan keuntungan yang nilainya lebih besar dari pada yang harus ditanggung oleh investor. (Suparmono, 2004 : 88)

d. Hubungan Inflasi dengan Investasi Sektor Pertanian dan Sektor Industri  

Inflasi adalah kecenderungan terjadinya peningkatan harga-harga produk secara keseluruhan. Inflasi yang rendah akan mengakibatkan pendapatan riil masyarakat meningkat sehingga daya beli masyarakat juga akan meningkat. Keadaan seperti ini akan mendorong investor untuk menanamkan modal yang lebih besar.(Tandelilin, 2001 : 214)


(55)

Gambar 7 : Kerangka pikir analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Investasi Asing Sektor Pertanian dan Sektor Industri

2.4. Hipotesis

Berdasarkan pokok-pokok permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka dapat dirumuskan hipotesis yang merupakan kesimpulan sementara terhadap permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Diduga bahwa IHSG, PDRB, Tingkat Suku Bunga, dan Inflasi

berpengaruh terhadap Investasi Asing di Sektor Pertanian dan Investasi di Sektor Industri di Jawa Timur.

2. Diduga bahwa terdapat perbedaan faktor- faktor yang dominan yang menpengaruhi Investasi Asing Sektor Pertanian dan Investasi Sektor Industri di Jawa Timur. 

IHSG (X1)      

 

PDRB (X2)

 

TINGKAT SUKU BUNGA (X3)

Ketertarikan investor untuk berinvestasi    Permintaan Barang dan Jasa INVESTASI ASING SEKTOR PERTANIAN

(Y1)

dan SEKTOR INDUSTRI    Minat Investor Untuk Investasi

(Y2)

INFLASI (X4)

 

   Daya beli masyarakat


(56)

3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Definisi operasional dan pengukuran variabel adalah pernyataan tentang definisi dan pengukuran variabel-variabel penelitian secara operasional berdasarkan teori yang ada maupun pengalaman-pengalaman empiris. Definisi operasional dan pengukuran variabel dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Variabel terikat (Dependent Variable) :

1) Yang menjadi variabel terikat (Y1) dalam penelitian ini adalah Investasi Sektor Pertanian di Jawa Timur yaitu investasi yang berasal dari luar negeri (PMA) yang tujuannya untuk memperluas dan mengembangkan usaha pertanian. Di ukur dalam ribuan dollar (ribu US$).

2) Yang menjadi variabel terikat (Y2) dalam penelitian ini adalah Investasi Sektor Industri di Jawa Timur yaitu investasi yang berasal dari luar negeri (PMA) yang digunakan untuk pembelian barang-barang modal dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi. Di ukur dalam satuan ribuan dollar (ribu US$)


(57)

b. Variabel bebas (Independent variable) terdiri dari : 1. IHSG (X1)

Suatu rangkaian informasi historis mengenai pergerakan harga saham gabungan, sampai tanggal tertentu. Indeks harga saham gabungan mencerminkan suatu nilai yang berfungsi sebagai pengukur kinerja suatu saham gabungan di bursa efek, pengukuran dinyatakan dalam point.

2. Produk Domestik Regional Bruto (X2)

Adalah total nilai barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat di wilayah Jawa Timur dalam jangka waktu satu tahun. PDRB ini dinyatakan dalam jutaan rupiah (juta Rp.).

3. Tingkat Suku Bunga (X3)

Adalah tingkat balas jasa yang diterima bank di Jawa Timur atas penggunaan sejumlah dana oleh investor dan harus di bayar dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Tingkat suku bunga diukur dalam satuan persen (%).

4. Inflasi (X4)

Adalah kondisi perekonomian yang ditandai dengan kenaikan harga barang-barang secara umum dan terus-menerus disebabkan oleh turunnya nilai mata uang pada suatu periode tertentu. Variabel ini dinyatakan dalam satuan persen (%).

   


(58)

3.2. Teknik Penentuan Sampel

Dalam penulisan ini data yang digunakan adalah data berkala (Time Series Data) yaitu data dari tahun ke tahun selama selama 15 tahun sejak tahun 1994 sampai 2008.

3.2.1. Jenis dan Sumber Data 3.2.1.1. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan dari instansi-instansi atau lembaga yang ada hubungannya dalam penelitian ini.

3.2.1.2 Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari : a. Kantor Badan Penanaman Modal (BPM) cabang Surabaya.

b. Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) cabang Surabaya. c. Kantor Bank Indonesia (BI) cabang Surabaya.

 

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data, dalam penelitian ini dilakukan dengan cara : a. Studi kepustakaan (Library Research)

yaitu teknik pengumpulan data dengan telaah atau studi dari berbagai laporan kegiatan penelitian, buku-buku atau literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini.

   


(59)

b. Studi lapangan (Field Research)

yaitu suatu pengamatan dan pencatatan sistematis dan teratur dilapangan mengenai obyek yang sedang diteliti untuk memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Studi lapangan dilakukan dengan cara :

- Dokumentasi, yaitu mencatat dan mengambil data berupa laporan-laporan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dengan menggunakan alat berupa kamera, komputer, dan perekam suara.

 

3.4 Teknik Analisis dan Uji Hipotesis

3.4.1. Teknik Analisis Linier Berganda dengan Asumsi Klasik BLUE (Best Linier Unbiased Estimated)

Persamaan regresi diatas harus bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimated) artinya pengambilan keputusan melalui Uji F dan Uji T tidak boleh bias. Sifat dari BLUE (Best Linier Unbiased Estimated) itu sendiri adalah :

a. Best : Pentingnya sifat ini bila diterapkan dalam uji signifikan buku terhadap  dan 

b. Linier : Sifat ini dibutuhkan untuk memudahkan dalam penafsiran.

   


(60)

c. Unbiased : Nilai jumlah sampel sangat besar penaksir parameter diperoleh dari sampel besar kira-kira lebih mendekati nilai parameter sebenarnya.

d. Estimated : e diharapkan sekecil mungkin

Untuk menghasilkan keputusan yang BLUE, maka yang harus dipenuhi oleh regresi linier berganda, yaitu :

1. Autokorelasi

Didefinisikan sebagai korelasi yang terjadi antara anggota observasi yang terletak berderetan secara series dalam bentuk waktu (jika datanya time series) atau korelasi antara tempat yang berderet atau berdekatan kalau datanya cross sectional (Sudrajat, 1998: 213).

Asumsi pertama dalam regresi linier adalah ada atau tidaknya autokorelasi yang dilihat dari besarnya nilai Durbin Watson, untuk mengetahui ada tidaknya gejala autokorelasi maka perlu dilihat table kriteria pengujian Durbin Watson (Uji DW)

   


(61)

Gambar 8. Kurva Statistik Durbin Watson

Tidak ada  Autokorelasi Positif 

dan Negatif   

Ada  Autokorelasi 

Negatif 

dL  dU 2 4‐dU 4‐dL 

Daerah  Keragu‐ Daerah 

Keragu‐

Ada  Autokorelasi 

Positif 

4

Sumber : Gujarati, Damodar, 1999, Ekonometrika Dasar, Erlangga, Jakarta, Halaman 216.

Ketentuan Uji Durbin Watson

Nilai d Kesimpulan

0 < d < dL Ada autokorelasi positif

dL  d  dU Tidak ada kesimpulan dU < d < 4-dU Tidak ada autolorelasi

4-dU  d  4-dL Tidak ada kesimpulan 4-dL < d < 4 Ada autokorelasi negatif

Sumber : Gujarati, Damodar, 1999, Ekonometrika Dasar, Erlangga, Jakarta, Halaman 217.

   


(62)

2. Heteroskedastisitas

Adalah gejala dimana variasi tidak sama/tidak homogen. Hal ini bisa diketahui berdasarkan pengujian korelasi rank spearman.

Koefisien Rank Spearman:

Rs = 1 - 6

) 1 ( 2 

N N

di

Keterangan :

d = Selisih dalam rank spearman antara resudual dengan variabel bebas k1.

N = Jumlah pengamatan ...(Sudrajat, 1988 : 198)

3. Multikolinieritas

Adalah adanya hubungan yang sempurna antara semua / beberapa variabel eksplanatory dalam model regresi yang dikemukakan. Untuk mengetahui adanya multikolinieritas dapat dilihat dengan kolinieritas sering ditandai dengan nilai R2 yang tinggi, koefisien korelasi sederhananya tinggi, nilai f hit tinggi (significant). (Sudrajat, 1988: 167).

3.4.2. Teknik Analisis

Dalam penulisan skripsi ini pembahasannya menggunakan model linier berganda. Data diolah dengan menggunakan statistic dalam bentuk persamaan untuk menentukan pada hubungan antara variabel dependent

   


(63)

dengan variabel independen, sehingga dapat diformulasikan sebagai berikut:

Y = f (X1, X2, X3, X4) ...[Sudrajat, 1998; 127]

Model fungsional tersebut diatas akan ditetapkan pada model regresi berganda baik yang linier maupun non linier, seperti rumus dibawah ini :

Y = 0 + 1 X1+ 2 X2+ 3 X3+ 4 X4+  ... [Sudrajat, 1998; 79].

Dimana :

Y1 = Investasi Sektor Pertanian Y2 = Investasi Sektor Industri

X1 = IHSG

X2 = PDRB

X3 = Tingkat Suku Bunga X4 = Inflasi

0 = Konstanta 1- 4 = Koefisien regresi

i = Pengamatan

 = Variabel Pengganggu

Untuk mengetahui apakah model linier berganda tersebut cukup banyak digunakan dalam pembuktian selanjutnya dan untuk mengetahui

   


(64)

sampai sejauh mana variabel bebas mampu menjelaskan variasi atau keeratan variabel terikat maka perlu untuk diketahui nilai R2 (Koefisien determinasi) dengan menggunakan rumus :

Total JK

gresi JK

R2  Re

Dimana :

R2 = Koefisien determinasi

JK Regresi = Jumlah Kuadrat Regresi

JK Total = Jumlah Kuadrat Total

Karakteristik utama R2adalah :

a. Nilai R2 n negative, merupakan rasio dan jumlah kuadrat

b. Nilai berkisar antara 0 dan 1 atau 0 R 1

1. Apabila R sama atau mendekati nol, maka tidak ada hubungan antara variabel X dan variabel Y.

2. Apabila R sama atau mendekati 1, maka terjadi kecocokan sempurna antara garis regres dengan kelompok data hasil observasi.

Selanjutnya untuk mengetahui hubungan secara simultan antara variabel bebas dan variabel terikat maka digunakan hipotesis sebagai berikut:

   


(65)

a. Uji F

Disebut juga uji beda varians yaitu pengujian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan atau pengaruh dari variabel bebas secara simultan atau serempak terhadap variabel terikat, dengan kriteria sebagai berikut H0 : 1 =2=3=4= 0

(Tidak ada pengaruh secara simultan antara variabel independent {X1, X2, X3, X4 terhadap variabel dependen {Y}).

Hi : 1 = 2 = 3 = 4  0

(terdapat pengaruh secara simultan antara variabel independent {X1, X2, X3, X4}, terhadap variabel dependent {Y}).

Gambar 9. Distribusi Daerah Penerimaan / Penolakan Variabel Bebas (X) Secara Simultan terhadap Variabel Terikat (Y).

Daerah penolakan  H

Daerah penerimaan Ho

tab

Sumber : Sudrajat, MSW, 1998, Mengenal Ekonometrika Pemula, Cetakan Kedua CV Armiko Bandung, hal 94

H0 diterima jika F hitung F table.

H0 ditolak jika F hitung > F table.

   


(66)

Fhitung =

Galat KT

gresi KT Re

(Sudrajat, 1988:94)

Dimana :

KT = Kuadrat Tengah (Means of Square = MS).

Galat = Error = Residual.

Kaidah pengujiannya :

1. Apabila Fhitung > Ftabel maka Ho ditolak dan Hi diterma, artinya variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat.

2. Apabila Fhitung < Ftabel, maka Ho diterima dan Hi ditolak, yang berarti secara simultan variabel bebas tidak berpangaruh terhadap variabel terikat.

b. Uji t

Yaitu pengujian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pengaruh dari masing-masing variabel bebas dan secara parsial atau individu atau secara terpisah terhadap variabel terikat dan kriteria sebagai berikut :

Ho : i = 0 (tidak ada pengaruh) Hi : i  0 (ada pengaruh)

   


(67)

   

Gambar 10. Distribusi Daerah Penerimaan / Penolakan Variabel Bebas (X) Secara Parsial terhadap Variabel Terikat (Y).

Daerah  Penerimaan  Ho Penolakan Ho 

Daerah  

Penolakan Ho 

Daerah  

t tab  

‐t tab  

Sumber : Sudrajat, MSW, 1998, Mengenal Ekonometrika Pemula, Cetakan Kedua, CV Armiko Bandung, hal 94

thitung =

) ( i

i

Se

(Sudrajat, 1988:122)

Dengan derajat kebebasan sebesar n-k-1 dimana :

 = koefisien Regresi Se = Standart Error

n = Jumlah Sampel

k = Jumlah Parameter

i = Variabel bebas

Kaidah pengujian :

a. Apabila t hitung > t table maka Ho ditolak dan Hi diterima, berarti ada pengaruh antara variabel bebas dengan variabel terikat.

b. Apabila t hitung  t tabel maka Ho diterima dan Hi ditolak, berarti tidak ada pengaruh antara variabel bebas dengan variabel terikat.


(68)

4.1. Deskripsi Obyek Penelitian 4.1.1 Kondisi Geografis di Jawa Timur

Jawa Timur terletak antara 110.54 dan 115.57 BT , 5.37 dan 8.48 LS. Dengan luas daratan mencapai 46.712,80 km2 dan terbagi dalam 37 wilayah Kabupaten/Kota. Menurut kondisi geografisnya, Jawa Timur dibagi menjadi 3 bagian : dataran tinggi (lebih 100 meter di atas permukaan laut), sedang (45-100 meter), dan rendah (di bawah 45 meter) Jumlah penduduk Jawa Timur berdasarkan sensus bulan Juni 2000 mencapai 34.525.588 jiwa terdiri dari 16.980.594 jiwa laki-laki dan 17.544.944 jiwa perempuan, dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 720 jiwa/km2.

Berdasarkan letak geografis, kondisi sosio-kultur, potensi alam dan infrastruktur, maka Jawa Timur dibagi 4 bagian:

Bagian Utara dan Pulau Madura, merupakan daerah pantai dan dataran rendah serta daerah pegunungan kapur yang relatif kurang subur.

 Bagian Tengah merupakan daerah dataran rendah dengan perbukitan dan

gunung-gunung berapi yang relatif subur.

Bagian Selatan-Barat (Daerah Mataraman) merupakan daerah pegunungan

dengan gunung-gunung berbatu dan kapur yang relatif kurang subur.


(69)

 Bagian Timur, karena posisinya sebagai penghubung dengan Pulau Bali dan Indonesia bagian timur, maka industri dan perdagangan merupakan sektor yang potensial untuk dikembangkan.

4.1.2. Kondisi Perkembangan Investasi di Jawa Timur

Menigkatnya pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur dipastikan akan tetap bertahan, setidaknya hingga dua tahun mendatang. Kini pertumbuhan ekonomi Jawa Timur meningkat lebih tinggi dibandingkan nasional, yakni 5,01% dan nasional 4,50%. Dengan telah dioperasikannya jembatan Suramadu memudahkan arus transportasi ke Madura. Untuk itu para investor yang akan menamkan modal ke Jawa Timur ditarik untuk investasi ke Madura, pengalihan ini dikarenakan potensi Madura masih terbuka. Keoptimisan ini didukung dengan bangkitnya sejumlah industri kecil yang menjadi penggerak utama perekonomian, serta tumbuhnya investasi di Jawa Timur. Investasi di Jawa Timur saat ini berada di kisaran Rp 200-225 triliun, ini masih kurang Rp 50 triliun lagi sampai akhir 2009. Pada 2010, idealnya lebih dari Rp 300 triliun. Menurutnya sejumlah investor sudah berinvestasi ke Jawa Timur. Apalagi dengan dibangunnya jembatan Suramadu diyakini akan ikut menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2010 ini sudah ada investor dalam negeri yang melakukan penjajakan untuk berinvestasi di Bangkalan Madura.

Meski demikian masih ada beberapa hal yang menghambat investasi, dan tentunya segera dibenahi, yakni memperbarui Peraturan Daerah (Perda) di


(70)

kabupaten/kota. Perda kabupaten/kota dinilainya menghambat masuknya investor. Perda yang menghambat investasi ini, di antaranya kewajiban untuk investor memperbaharui izin investasi setiap 5 tahun sekali. ”Pemerintah Provinsi Jawa Timur punya kewenangan untuk melakukan pembaruan pada peraturan daerah yang ada di Jawa Timur. Ini karena selama tahun 2009 lalu, investasi di Jawa Timur mengalami penurunan. Bahkan hingga akhir November, investasi yang masuk 114 perusahaan. Sebanyak 84 perusahaan dari Penanaman Modal Asing (PMA) dan 30 perusahaan dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)

Jumlah tersebut lebih rendah dari realisasi investasi yang masuk Jawa Timur di tahun 2008 sebanyak 93 PMA dengan total investasi sebesar 2,58 miliar dollar AS dan 35 PMDN dengan total investasi sebesar Rp 19,93 triliun. Sedangkan pada 2008 jumlah investasi PMA mencapai 93 projek, dan PMDN mencapai 35 proyek. Data investasi 2009 ini belum keseluruhan masuk ke BPM. Saat ini BPM masih menunggu data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pusat. Terkait perizinan, untuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mengurus izin hanya membutukan waktu 16 hari, namun untuk Penanaman Modal Asing (PMA) izinnya perlu waktu agak lama yaitu 78 hari karena masih terkait dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di Jakarta dan instansi terkait. Untuk pelayanan perijinan investasi, Jawa Timur saat ini berada diperingkat pertama, disusul Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan nilai investasi dan jumlah perusahaan berada di peringkat tiga setelah


(71)

Jawa Barat dan Banten. Jumlah nilai investasi hingga Desember 2009 untuk Penanam Modal Asing (PMA) 1,415 miliar dollar AS, sedangkan untuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mencapai Rp 9,5 triliun.

4.2. Deskripsi Hasil Penelitian

Deskripsi hasil penelitian ini memberikan gambaran tentang data- data serta perkembangan Investasi Penanaman Modal Asing persektor Pertanian, dan Industri sehingga dapat mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi terhadap perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan, Produk Domestik Regional Bruto, Tingkat Suku Bunga, dan Inflasi.

4.2.1. Perkembangan Investasi Penanaman Modal Asing Sektor Pertanian dan Industri

Perkembangan Investasi Penanaman Modal Asing sektoral Pertanian, dan Industri, dari tahun ke tahun mengalami fluktuatif. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1 yang menjelaskan bahwa pada tahun 1994 sampai 2008, Investasi Penanaman Modal Asing sektoral Pertanian terbesar pada tahun 2007 sebesar Rp. 45.267 juta dan Investasi Penanaman Modal Asing sektoral Pertanian yang terendah yaitu pada tahun 2000 sebesar Rp. 369 juta, Perkembangan sektor Pertanian terbesar terjadi pada tahun 1997 sebesar 1692 % dan terendah sebesar -98,65 % terjadi pada tahun 1999, Investasi Penanaman Modal Asing sektoral Industri terbesar pada tahun 1995 sebesar Rp.8.323.763 juta dan


(1)

4.3.3. Pembahasan

Dengan melihat hasil uji signifikasi Variabel Independen terhadap Investasi Penanaman Modal Asing tersebut di 2 sektor ( Pertanian, dan Industri) maka dapat diketahui bahwa Variabel Inflasi merupakan Variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap Investasi Penanaman Modal Asing hal ini disebabkan karena dengan turunnya inflasi maka harga barang – barang dan jasa akan turun yang mengakibatkan daya beli masyarakat meningkat karena secara riil pendapatan masyarakat akan meningkat, sehingga permintaan barang dan jasa meningkat yang akan mengakibatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar atau meningkat.

Dengan melihat hasil koefesien Variabel Independen Indeks Harga Saham Gabungan, Produk Domestik Regional Bruto, dan Tingkat Suku Bunga yang didapat di tabel atas maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa Sektor Industri yang mempunyai hasil koefesien yang lebih besar dari pada Sektor Pertanian, hal ini menunjukan bahwa Sektor industri merupakan sektor yang paling dominan dalam meningkatkan Investasi sektoral di Jawa Timur hal ini disebabkan karena banyak pembinaan terhadap para pelaku UKM ( usaha mikro dan kecil ) yang berupa pendampingan dan pembinaan manajemen usaha dan perluasan peran dan fungsi perbankan untuk memudahkan memperoleh kredit dari lembaga perbankan yang juga diharapkan Kredit Usaha Rakyat dapat mempermudah UKM dalam mengakses permodalan perbankan, menggerakan sektor produktifitas


(2)

maupun meningkatkan penyerapan Pendapatan Industri Kecil dan pertumbuhan ekonomi.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan pada bab IV, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Setelah dilakukan uji statistik untuk mengetahui pengaruh secara simultan antara variabel bebas Indeks Harga Saham Gabungan (X1), Produk Domestik

Regional Bruto (X2), Tingkat Suku Bunga (X3) dan Inflasi (X4) berpengaruh

secara simultan dan nyata terhadap Investasi Penanaman Modal Asing persektor Pertanian, dan Industri (Y) diperoleh F hitung > F tabel maka Ho ditolak dan Hi diterima, yang berati bahwa secara keseluruhan faktor-faktor variabel bebas berpengaruh secara simultan dan nyata terhadap Investasi Penanaman Modal Asing persektor Pertanian, dan Industri (Y) .

2. Dengan melihat hasil uji signifikasi Variabel Independen terhadap Investasi Penanaman Modal Asing tersebut di 2 sektor ( Pertanian, dan Industri) maka dapat diketahui bahwa Variabel Inflasi merupakan Variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap Investasi Penanaman Modal Asing hal ini disebabkan karena dengan turunnya inflasi maka harga barang – barang dan jasa akan turun yang mengakibatkan daya beli masyarakat meningkat karena secara riil pendapatan masyarakat akan meningkat, sehingga permintaan


(4)

barang dan jasa meningkat yang akan mengakibatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar atau meningkat.

3. Dengan melihat hasil koefesien Variabel Independen Indeks Harga Saham Gabungan, Produk Domestik Regional Bruto, dan Tingkat Suku Bunga yang didapat di tabel atas maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa sektor Industri yang mempunyai hasil koefesien yang lebih besar dari pada sektor Pertanian, hal ini menunjukan bahwa sektor Industri merupakan sektor yang paling dominan dalam meningkatkan Investasi sektoral di Jawa Timur hal ini disebabkan karena banyak pembinaan terhadap para pelaku UKM ( usaha mikro dan kecil ) yang berupa pendampingan dan pembinaan manajemen usaha dan perluasan peran dan fungsi perbankan untuk memudahkan memperoleh kredit dari lembaga perbankan yang juga diharapkan Kredit Usaha Rakyat dapat mempermudah UKM dalam mengakses permodalan perbankan, menggerakan sektor produktifitas maupun meningkatkan penyerapan Pendapatan Industri Kecil dan pertumbuhan ekonomi.

4. Dengan melihat hasil koefesien Variabel Independen Indeks Harga Saham Gabungan yang didapat di tabel atas maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa sektor industri yang mempunyai hasil koefesien yang lebih besar dari pada sektor pertanian merupakan sektor yang paling dominan dalam meningkatkan Investasi sektoral di jawa timurhal ini disebabkan karena banyak pembinaan terhadap para pelaku UKM ( usaha mikro dan kecil ) yang berupa pendampingan dan pembinaan manajemen usaha dan


(5)

perluasan peran dan fungsi perbankan untuk memudahkan memperoleh kredit dari lembaga perbankan yang juga diharapkan Kredit Usaha Rakyat dapat mempermudah UKM dalam mengakses permodalan perbankan, menggerakan sektor produktifitas maupun meningkatkan penyerapan Pendapatan Industri Kecil dan pertumbuhan ekonomi.

5. Dengan melihat hasil koefesien variabel dependen yang didapat di tabel diatas maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa sektor industri mempunyai hasil koefesien yang lebih besar dari pada sektor pertanian, dapat dilihat dari ketiga variable independen hanya satu yang signifikan yaitu Produk Domestik Regional Bruto pada sektor industri dan untuk sektor pertanian dari ketiga variable independen ada dua yang signifikan yaitu Indeks Harga Saham Gabungan dan Tingkat Suku Bunga.

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka berikut ini diketahui beberapa saran sebagai bahan pertimbangan sebagai berikut :

1. Pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dapat memberikan proses perizinan agar yang tidak rumit agar lebih banyak lagi Investor maupun pengusaha untuk menanamkan modalnya dan memperoleh modal dengan mudah.


(6)

2. Pemerintah membuat kebijakaan moneter agar menjaga perkembangan ekonomi makro tetap stabil agar banyak investor yang masuk untuk menanamkan modalnya.

3. Diadakannya pelatihan manajemen pengelolahan di sektor pertanian sesering mungkin oleh perusahaan / pemerintah untuk mengembangkan atau meningkatkan SDM serta potensi yang dimiliki oleh pengusaha.