PERUMUSAN KEBIJAKAN PERBURUHAN DI INDONESIA

(1)

i

SKRIPSI

PERUMUSAN KEBIJAKAN PERBURUHAN DI

INDONESIA

( Labor Policy Formulation In Indonesia)

Disusun oleh:

Adjie Muhammad Tri Wijaya Koesuma 20110510146

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS IMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

i

SKRIPSI

PERUMUSAN KEBIJAKAN PERBURUHAN DI

INDONESIA

( Labor Policy Formulation In Indonesia)

Disusun oleh:

Adjie Muhammad Tri Wijaya Koesuma 20110510146

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS IMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

ii

HALAMAN JUDUL

PERUMUSAN KEBIJAKAN PERBURUHAN DI

INDONESIA

( Labor Policy Formulation In Indonesia)

Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh :

Adjie Muhammad Tri Wijaya Koesuma 20110510146

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS IMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(4)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Dengan ini saya menyatakan bahwa Karya Ilmiah atau Skripsi ini adalah asli hasil karya saya sendiri dan Karya Ilmiah ini belum pernah diajukan sebagai pemenuhan untuk memperoleh gelar kesarjanaan Strata Satu (S1) maupun Magister (S2) dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta maupun Perguruan Tinggi lain.

Semua informasi yang dimuat dalam Karya Ilmiah ini berasal dari penulis lain baik dipublikasikan atau tidak, telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis secara benar dan semua isi dari Karya Ilmiah atau Skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya sebagai penulis.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari mendapati ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sangsi akademik sesuai aturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Yogyakarta, 26 Desember 2016 Penulis,


(5)

iv MOTTO

“REVOLUSI ADALAH PRAKTEK”

(Manifesto Nademkra)

“Berkawan dan Melawan”

(SOPINK CS)

“If it wasn’t hard, everyone would do it. It’s the hard that makes great”

(Tom Hanks)

“Orang yang hanya mementingkan diri sendiri dan tidak mau tahu tentang

orang lain, ia tidak memenuhi syarat untuk berlatih Karate-do. Karateka

yang serius berlatih adalah mereka yang sangat peduli terhadap orang lain”

(Gichin Funakoshi)

“hai anakku, dirikanlah Shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah

terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”


(6)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan skripsi ini untuk kedua Orangtuaku tercinta Ayah, Adjie Sumiar dan Mama,Tatik. Mereka yang selalu mendukungku secara lahir dan batin untuk menjadi insan yang lebih baik dan bermanfaat untuk orang yang banyak. Tak sanggup aku membalas kebaikan kalian Berdua sampai kapan pun.

Untuk saudaraku yang selalu memberi nasehat dan menjadi teman bercanda saat lagi bersama dan sangat kurindukan di saat jauh dari kalian berdua, abang saya Adjie SenoPati dan kakakku Adjie Putri Ramitha. Tak tertinggal untuk Mas Danu yang telah menjadi anggota baru di keluarga kami. Kalian berdua yang selalu kurepotkan dan membuat pekerjaan kalian terganggu atas kesalahan yang kulakukan, ku harap semoga hasil tulisan tugas akhir untuk lulus kuliah ini bisa membuat kalian tersenyum sedikiiiit saja karena jika senyum lebar yang kalian berikan itu akan membuat saya bersedih.

Untuk Guru-guru yang saya sayangi dari Guru Tk,SD, SMP, SMA (YKPP DAN MUHAMMADIYAH 7) terimakasih sedalam-dalamnya untuk kalian yang telah menjadi jembatan hingga aku bisa menginjak bangku Universitas. Untuk sahabat ku yang di kota Dumai tanpa terkecuali kalian adalah manusia-manusia yang menemani ku tumbuh bahagia. Untuk kawan kuliahku HI 2011 terutama kelas C terlalu banyak untuk kusebutkan semoga kita bisa reunian lah, Untuk kawan-kawan organisasi SOPINK yang telah memberikan pandangan yang berbeda tentang dunia. Dan Untuk Guru karate saya, Sensei Jati dan Sensei


(7)

vi

Ngatimin terimakasih telah melatih saya. Tak lupa untuk kawan-kawan yang masih setia di garis kita terimakasih banyak untuk kalian semua.

Dan yang terhormat untuk para dosen-dosen yang telah memberi ilmu yang banyak dan staf-staf umy yang bekerja dikampus UMY. Untuk Dosen pembimbing Pak Husni Amriyanto dan Pak Sugeng yang telah menguji di ujian proposal skripsi, Papak Prof. Tulus dan Bu Grace yang menjadi Dosen penguji di Sidang Pendadaran dan semua Dosen HI UMY saya ucapkan terimakasih banyak. Itu saja dari saya apabila ada salah perbuatan dan kata saya mohon maaf sebesar-besarnya. Hormat Saya, terimakasih.


(8)

vii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh.

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, Barkah serta segala kemudahan dari-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Tidak lupa sholawat serta salam selalu tercurahkan untuk penjunjung nabi kita Muhammad SAW.

Penulisan skripsi sebagai persyaratan untuk meraih gelar S1 ini tidak luput dari dukungan dan bantuan berbagai pihak sehingga dapat terselesaikan dalam waktu yang cukup singkat. Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Bapak Husni Amriyanto S.IP, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi, yang sangat banyak memberikan masukan dengan sabar selama proses penulisan karya tulisan ini.

2. Ibu Tulus Warsito, Prof, Dr, M.Si sebagai dosen penguji yang memberikan masukan yang baik guna menyempurnakan karya tulis ini.

3. Bapak Grace Lestariana S.IP, M.Si sebagai dosen penguji yang juga memberikan masukan yang menjadikan skripsi ini jauh lebih baik sebagai karya tulis yang berkualitas.

4. Ibu Kaprodi dan Sekjur, Ibu Nur Azizah dan Ibu Siti Muslikhati yang memberikan banyak kemudahan dalam kebijakannya sehingga saya dapat menyelesaikan karya ini dengan baik.


(9)

viii

5. Bapak Jumari, bapak Ayub, bapak Waluyo selaku bapak Tata Usaha Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, yang dengan baik memberikan informasi sejak awal pembuatan skripsi ini sampai dengan selesai sehingga segala urusan dan persyaratan dapat terpenuhi dengan baik. 6. Karya tulis ini merupakan karya tulis pertama yang penulis buat. Semoga

skripsi ini menjadi karya yang berkualitas dan bermanfaat serta mampu menambah ilmu bagi pembacanya. Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan skripsi ini.

Akhir kata, wabilahi taufik wal hidayah.

Wasalamu’alaikum warahmatulaahi wabarakatuh

Yogyakarta, 26 Desember 2016


(10)

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ……… ... ………i

HALAMAN JUDUL ……… ... .....…ii

HALAMAN PENGESAHAN ……… ... ……..iii

HALAMAN PERNYATAAN ……… ... …...iv

HALAMAN MOTO ……… ... ……….…..v

HALAMAN PERSEMBAHAN ……… ... ………..vi

KATA PENGANTAR……… ... ………..viii

DAFTAR ISI ……… ... ………...…x

DAFTAR GAMBAR……….……… ... …..…....xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I ... 1

A. Latar Belakang Masalah……… ... ………..1

B. Pokok Masalah……… ... ...9

C. Kerangka Pemikiran……..... ... ...9

1. Konsep Rezim Internasional……… ... .9

2. .. Konsep Kepentingan Nasional …......13

D. Hipotesis ... 15

E. Jangkuan Penulisan ... 16

F. Metode Penelitian ... 16

G. Metode Pengumpulan Data ... 16

H. Sistematika penulis ... 17

BAB II ... 19

KONVENSI ILO TERKAIT UPAH PERBURUHAN ... 19

A. Organisasi Perburuhan Internasional ... 19

B. Konvensi ILO terkait Perlindungan Upah ... 24

a. Pengertian Upah yang di Lindungi ……… ... …..25


(11)

x

D. Kebijakan Pengupahan Berkaitan dengan Konvensi Penetapan Upah

Minimum, 1970……… ... .…30

E. Kebijakan pengupahan berkaitan dengan konvensi No.95 tentang perlindungan upah 1949……… ... ...33

BAB III ... 36

PERUMUSAN KEBIJAKAN UPAH BURUH DI INDONESIA ... 36

A. Peraturan Upah Perburuhan di Indonesia ... 36

a. Regulasi Terkait Sistem Pengupahan di Indonesia ... 37

1). Mekanisme Penetapan Upah ... 38

2). Kebijakan Tentang Perlindungan Upah ... 47

B. Lima Faktor Pertimbangan Upah Minimum ... 50

BAB IV ... 58

TIDAK DIRATIFIKASI KONVENSI ILO NO.131 DAN NO.95 TERKAIT DALAM PERUMUSAN PERBURUHAN INDONESIA ... 57

A. Kepentingan Pembangunan Sumber Daya Industri ... 57

B. Kepentingan Pembangunan Sumber Daya Manusia ... 60

BAB V……… ... ……….66

KESIMPULAN……… ... ………..66

A. Kesimpulan ... 66

DAFTAR PUSTAKA……… ... …….68


(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Upaya ILO dan Pemerintah dalam Meningkatkan Kebijakan Upah

Buruh di Indonesia. ……… ... ……24

Gambar 3. Struktur Mekanisme Penetapan Upah4……… ... .…….47

Gambar 3. Sumber Data BPS (Diolah)……… ... ...62

Gambar 4. Sumber Data BPS (Diolah)……… ... …63


(13)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman Table 1 Perubahan Regulasi Upah Minimum dan Komponen kebutuhan

Hidup…… ... ...47 Table 2 Regulasi terkait kebijakan perlindungan ... ……...57


(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Komponen Kebutuhan Hidup Layak Nomor 13 Tahun 2012 .. …71

Lampiran 2. K-131, Konvensi Penetapan Upah Minimum, 1970…… ... .71 Lampiran 3. K-95, konvensi tentang perlindungan upah 1949……… ... 72 Lampiran 4. Deklarasi Mengenai Maksud dan Tujuan Organisasi

Perburuhan Internasional……… ... ….79 Lampiran5. Konvensi ILO yang di Ratifikasi oleh Indonesia… ... ……….80


(15)

(16)

ABSTRACT

The level of policy influence of the ILO in Indonesia in realizing decent wages for workers in Indonesia are in a moderate. ILO efficiency in achieving the function Promoting Decent Work for All are in good level. Judging from the indicators of time spent in the implementation of services in the field is to formulate policies and programs, creating international labor standards, expanding international technical cooperation programs. The ILO's performance in creating a working relationship between the members are in a high level. Namely through the empowerment of participation and responsibility within the limits of authority. Factors supporting the ILO's performance is, among others; (1) the cooperation of the member states is quite solid, (2) the relationship of both vertical and horizontal runs either in the body of the organization and thus creating a harmonious atmosphere, (3) The division of labor is quite professional, (4) the support of member states, (5) community participation good worker. Minimum wage in many countries is inseparable from ILO policies regarding the minimum wage, as reflected in a number of ILO conventions and recommendations. One of the most important conventions with respect to minimum wages is the ILO Convention No. 131 which specifically regulate the minimum wage in developing countries, was adopted in 1970. This Convention appears in because of the fact that collective bargaining and other mechanisms in the determination of wages is not running as widely and as quickly as expected. the general criteria used in setting the minimum wage largely on the adoption of ILO convention 131 on minimum wage. This is a factor as shown in the minimum wage in Indonesia is set in the Ministerial Regulation No.17 Year 2005 and KHL revision changes in Ministerial Regulation No. 13 Year 2012. Protection of Wages Convention, 1949 (No. 95) In this Convention, the term wages means remuneration or earnings, however defined or calculated can be applied in the form of money and fixed by mutual agreement or by law or national legislation should be paid by the employment contract by written or unwritten by the employer to employees for work done or to be done or for services rendered or to be rendered. In Indonesia, the wage is the right of workers / laborers are accepted and expressed in the form of money as a reward from the employer or the employer to the worker / laborer assigned and paid by an employment agreement, agreements, or legislation, including allowances for the worker/laborer and family for a job and / or services that have been or will be made. To ensure decent wages for workers on the one hand and ensuring the continuity of business on the other side; regulations related to wage protection stipulated in Law No. 13/2003 Article 88 paragraph 2.


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia dan ILO telah menjalin kerja sama sejak Indonesia ikut bergabung menjadi anggota ILO pada 12 Juni 1950. Dengan menerapkan struktur tripartit yang unik, ILO membangun kerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan tiga konfederasi serikat pekerja Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahterah Indonesia (KSBSI) serta Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa, tugas dan tanggung jawab ILO adalah Mempromosikan Pekerjaan yang Layak untuk Semua.

Meski perekonomian Indonesia telah tumbuh sekitar 5,5 persen per tahun sejak 2000 (setelah era krisis), namun tetap muncul ke khawatiran atas melonjaknya tingkat pengangguran di negeri ini. Untuk menanggulangi dampaknya, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi tingkat pengangguran hingga 10 persen pada 2009. Target ini juga terkait dengan tujuan pengurangan kemiskinan yang lebih luas dalam bentuk yang berkelanjutan. Fokus permasalahan yang harus diselesaikan di Indonesia tentu saja tidak hanya masalah pengangguran, tapi juga kondisi kerja dan administrasi ketenagakerjaan yang


(18)

2

efektif. Mempertimbangkan prioritas pemerintah, mandat ILO serta fokus dari para konstituen, setidaknya terdapat tiga prioritas yang harus ditangani bersama, yakni:1

i. Menghentikan eksploitasi di tempat kerja.

ii. Penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan dan memulihkan mata pencaharian, khususnya bagi kaum muda. iii. Dialog sosial untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga

prioritas itu di identifikasi ILO di Indonesia melalui Program Nasional Pekerjaan yang Layak.

Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO adalah badan tripartid di bawah naumgan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terus berupaya mendorong terciptanya peluang bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif secara bebas, adil, aman dan bermartabat.2 Tujuan utama ILO adalah mempromosikan hak-hak di tempat kerja, mendorong terciptanya peluang kerja yang layak, meningkatkan perlindungan sosial serta memperkuat dialog untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang terkait dengan dunia kerja. Organisasi ini memiliki 185 negara anggota dan bersifat unik di antara badan-badan PBB lainnya karena struktur tripartit yang di milikinya menempatkan pemerintah, organisasi pengusaha dan serikat pekerja/ buruh pada posisi yang setara dalam menentukan program dan proses pengambilan kebijakan.

1 http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/documents/publication/wcms_116236.pdf. Diakses pada 11/febuari/2015.

2


(19)

3

ILO bekerja berdasarkan pedoman dari Dewan Eksekutif ILO (Governing Body), yang terdiri dari 28 wakil pemerintahan, 14 wakil pekerja/buruh dan 14 wakil pengusaha. Mereka bertugas mengambil keputusan mengenai tindakan yang akan mempengaruhi kebijakan ILO, mempersiapkan rancangan program dan anggaran, yang kemudian di serahkan kepada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional (ILC) untuk di setujui, serta memilih Direktur Jenderal. ILC mengadakan pertemuan setiap bulan Juni tiap tahunnya di Jenewa. Para delegasi di dampingi oleh para penasihat teknis. Setiap negara anggota, termasuk Indonesia, memiliki hak untuk mengirimkan empat delegasi ke ILC – dua dari pemerintah dan masing-masing satu mewakili pekerja dan pengusaha. Mereka dapat mengemukakan pendapat dan melakukan pemungutan suara secara mandiri. Hal-hal yang mendasari kerja-kerja International Labor Organization adalah pentingnya kerjasama antara pemerintah, organisasi pengusaha dan organisasi serikat pekerja dalam membina kemajuan sosial dan ekonomi.3Dialog antara pemerintah dan dua "mitra sosial" mempromosikan pembangunan konsensus dan keterlibatan demokratis mereka dengan taruhan penting dalam dunia kerja. ILO adalah satu-satunya badan "tripartit" PBB dalam hal menyatukan perwakilan pemerintah, pengusaha dan pekerja untuk bersama-sama membentuk standar buruh, kebijakan dan program. Dialog sosial dapat berarti negosiasi, konsultasi atau sekedar pertukaran informasi dan pandangan antara perwakilan pengusaha, pekerja dan pemerintah.

3


(20)

4

ILO mencoba meminimalisir permasalahan hubungan industrial yang kerap terjadi di Indonesia maupun Negara-Negara anggota lainya melalui pertemuan yang terdiri dari 185 pemerintahan, organisasi pekerja dan pengusaha di seluruh dunia yang didedikasikan untuk mewujudkan pekerjaan layak.4 Pekerjaan merupakan hal penting untuk kesejahteraan manusia. Di samping memberikan penghasilan, pekerjaan juga membuka jalan menuju perbaikan ekonomi dan sosial yang lebih luas, yang pada gilirannya memperkuat individu, keluarga dan masyarakat. Namun kemajuan ini bergantung pada pekerjaan yang bersifat layak.

Pekerjaan yang layak merupakan rangkuman dari berbagai aspirasi masyarakat dalam kehidupan pekerjaan mereka. Mereka melibatkan peluang untuk memperoleh pekerjaan yang produktif dan memperoleh penghasilan yang adil, keamanan di tempat kerja dan perlindungan sosial untuk keluarga mereka. Pekerjaan yang layak berarti prospek yang lebih baik untuk pengembangan pribadi dan integrasi sosial, serta kebebasan masyarakat dalam menyampaikan kekhawatiran mereka. Ini membutuhkan adanya kesetaraan peluang dan perlakuan bagi semua perempuan dan laki-laki. Pekerjaan yang layak pun merupakan kunci untuk mengentaskan kemiskinan. Karenanya, penciptaan pekerjaan dengan upah yang layak harus dimasukkan dalam kebijakan pembangunan.

4


(21)

5

Konvensi ILO merupakan perjanjian-perjanjian internasional, tunduk pada ratifiksi negara-negara anggota. Hingga saat ini, ILO telah mengadopsi lebih dari 180 Konvensi dan 190 Rekomendasi yang mencakup semua aspek dunia kerja. Standar-standar ketenagakerjaan internasional ini memainkan peranan penting dalam penyusunan perundangan nasional, kebijakan dan keputusan hukum dan dalam masalah perundingan bersama. Indonesia merupakan negara pertama di Asia dan ke-lima di dunia yang telah meratifikasi seluruh Konvensi pokok ILO. 5

Sejak menjadi anggota tahun 1950, Indonesia telah meratifikasi 18 konvensi.6 Konvensi ILO berpengaruh sebagai alat untuk mengikat negara anggota yang telah meratifikasi konvensi dengan tujuan agar kebijakan pengupahan di setiap negara anggota diterapkan sesuai standar ketenagakerjaan international dan ILO berupaya mengawasi penerapan standar ketenagakerjaan apabila ada pelanggaran terhadap konvensi dan rekomendasi yang telah diratifikasi oleh negara anggota. Tetapi, pemerintah di Indonesia membuat aturan pelaksananya baik dalam bentuk peraturan pemerintah, keputusan menteri maupun juga dalam bentuk peraturan menteri.7 Kebijakan ini dilakukan pemerintah untuk mewujudkan penghasilan yang dapat memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tetapi pemerintah atau badan berwenang yang berkompeten di Indonesia belum meratifikasi konvensi ILO No. 95 ini, perlindungan akan upah

5

www.ilo.org, Sekilas ILO di Indonesia. Diakses 23/April/2015.

6 Lihat pada lampiran 4 7

www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed.../wcms_210427.pdf. Diakses pada 15/maret/2016.


(22)

6

terhadap buruh di Indonesia telah cukup untuk di buktikan oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari pengertian upah oleh ILO di konvensi No.95 8pasal 1 yang dengan Pasal 30 ayat 1 UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Kebijakan pengupahan yang ada masih bertumpu pada upah minimum yang berlandaskan pada kebutuhan hidup layak buruh/pekerja lajang dengan masa kerja di bawah satu tahun. Belum mencangkup mereka yang sudah bekerja di atas 1 (satu) tahun dan berkeluarga. Perundingan kolektif sebagai alat perjuangan SB/SP untuk meningkatkan upah dan kesejahteraan buruh, perannya masih sangat terbatas; bahkan cenderung menurun kuantitas dan kualitasnya. Di sisi lain penerapan struktur skala upah masih sangat minim dan belum bersifat wajib (tidak ada sanksi formal bagi yang belum menerapkannya). Sehingga praktis upah minimum menjadi upah efektif yang berlaku pada pasar kerja formal terutama sekali di sektor industri padat karya.

Dalam persoalan penetapan upah untuk pekerja, Pemerintah bersama dengan Pengusaha dan pekerja (serikat pekerja) untuk bersama-sama menyusun peraturan ketenagakerjaan, mengawasi pelaksanaannya, meningkatkan kesadaran, serta menyusun kebijakan serta merencanakan program, ILO ingin memastikan bahwa upaya-upayanya ini di dasari pada kebutuhan para perempuan dan laki-laki yang bekerja.

Di negara Indonesia, untuk memastikan upah yang layak bagi para buruh dan menjamin keberlangsungan kegiatan usaha di Indonesia, maka pemerintah

8


(23)

7

membuat serangkaian regulasi yang mengatur sistem dan mekanisme pengupahan di Indonesia. Regulasi pengupahan tersebut pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) bagian pokok, yakni:

1. Regulasi terkait mekanisme penetapan upah 2. Regulasi terkait perlindungan upah

Regulasi terkait mekanisme penetapan upah diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan sistem sebagai berikut:

1. Penetapan upah minimum di tingkat provinsi &

kabupaten/kota/kotamadya

2. Penetapan upah melalui kesepakatan/perundingan kolektif 3. Penetapan stuktur & skala upah

4. Peninjauan upah secara berkala

Regulasi terkait perlindungan upah diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 pasal 88 ayat 2 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi; Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh. Selain diatur dalam Undang-Undang, pemerintah juga membuat aturan pelaksana dalam bentuk peraturan pemerintah (perpem), keputusan menteri (kepmen) maupun juga peraturan menteri (permen). Oleh karena itu dalam penetapan Upah Minimum Regional harus berdasarkan pada hasil survey KHL (Kebutuhan Hidup Layak) yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan yang terdiri


(24)

8

dari perwakilan serikat pekerja, pengusaha, pemerintah, dan pihak netral yang berasal dari akademisi.

KHL ialah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja atau buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. KHL berisikan sejumlah komponen yang diatur dan ditetapkan dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan standar KHL sebagai dasar dalam penetapan kebijakan Upah Minimum Regional seperti yang diatur dan ditetapkan dalam pasal 88 ayat 4.

Lebih jauh mengenai ketentuan KHL, diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 17 tahun 2005 tentang Komponen dan Pentahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Namun, Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 17 tahun 2005 direvisi oleh Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2012. Adapun penambahan yang terdapat pada Standar KHL dapat dapat lampiran I. Selain penambahan 14 jenis baru KHL tersebut, juga terdapat penambahan/penyesuaian jenis kuantitas & kualitas KHL serta perubahan jenis kebutuhan.

komponen-komponen yang ada di dalam Standar KHL.9

Dari beberapa item diatas, harga-harga dari setiap barang yang menentukan harga upah minimum regional dengan kata lain angka tersebut adalah angka yang menjadi standar upah untuk hidup buruh di sesuai daerahnya, namun dalam prakteknya ketika penetapan upah yang di laksanakan oleh badan tripartid

9


(25)

9

antara pihak pekerja yang di wakili oleh serikat pekerja dengan pihak pengusaha berjalan dengan baik selama proses nya.

B. Pokok Masalah

1. Mengapa Indonesia tidak meratifikasi konvensi ILO No. 95 dan No.131

2. Mengapa Perumusan Kebijakan Perburuhan Nasional Indonesia relatif

sesuai standar ketenagakerjaan Internasional? C. Kerangka Pemikiran

1. Konsep Rezim Interasional

Rezim Internasional yang sangat kental dengan paham Neo-Liberalisme sering disebut sebagai Institutionalized Liberalism. Secara umum, ia merupakan Institusi yang merupakan hasil kerjasama negara-negara yang ingin mendistribusikan hak-hak dan kewajibannya melalui adjustment-adjustment yang kemudian bisa menghasilkan harmoni, ataupun konflik. Seperti yang biasa terjadi, Rezim Internasional biasanya memberi privilege-privilege bagi negara-negara maju (pandangan umum tentang perspektif Neo-Liberalisme). Yang merupakan Rezim Internasional misalnya, WTO, World Bank, UNDP, PBB, dan sebagainya. Rezim Internasional dibentuk untuk memfasilitasi hubungan kerjasama dalam membahas isu-isu tertentu dengan seperangkat aturan-aturan yang disepakati bersama-sama.

Kepentingan rezim timbul karena adanya ketidakpuasan akan konsep dominan dari tata aturan internasional, kewenangan, dan organisasi (Haggard & Simmons, 1987:491). Definisi rezim berbeda dengan definisi kerjasama terutama dengan


(26)

10

definisi dari institusi. Rezim merupakan contoh dari perilaku kerjasama dan upaya untuk memfasilitasi kerjasama, namun kerjasama dapat terjadi tanpa adanya rezim terlebih dahulu (Haggard & Simmons, 1987:495). Perbedaan mendasar antara rezim dengan institusi adalah cara kedua hal ini dalam memandang aktor-aktor dalam hubungan internasional terutama organisasi internasional. Rezim mengacu pada pengaruh perilaku yang ditimbulkan dari organisasi internasional pada aktor-aktor yang lainnya, terutama aktor negara. Rezim berfokus pada ekspektasi aktor, berbeda dengan institusi yang lebih melihat kepada apa yang terjadi dalam organisasi dari pada melihat pengaruh yang ditimbulkan organisasi internasional terhadap aktor-aktor lainnya (Barkin. 2006:27).

Perbedaan utama dari rezim dengan institusi terletak pada siapa yang digolongkan menjadi aktor (Barkin, 2006:36). Institusi melihat organisasi internasional sebagai aktor dan mencermati apa yang organisasi internasional lakukan. Kontras dengan rezim yang melihat aktor yang utama adalah negara yang mana merupakan sumber yang mempengaruhi politik internasional. Norma, aturan dan prosedur dalam pembuatan keputusan itu berhubungan dengan ekspektasi dan perilaku dari negara. Pembeda antara rezim dan institusi dalam mempelajari organisasi internasional adalah jika intitusi melihat apa yang terjadi di dalam organisasi tersebut sedangkan rezim melihatnya pada perilaku negara yang mempengaruhi norma serta aturan yang dianut oleh organisasi internasional yang pada akhirnya menciptakan suatu perilaku pada organisasi tersebut (Barkin, 2006:36).


(27)

11

Terdapat empat teori dalam rezim internasional, yakni teori struktural, game-theory, teori fungsional dan teori kognitif (Haggard & Simmons, 1987:498). Keempat teori tesebut kebanyakan bersifat state-centered (Haggard & Simmons, 1987:499). Teori struktural secara khusus meliputi tentang teori hegemonic stability dimana teori tersebut menerangkan bahwa keadaan internasional yang kebanyakan dipegang oleh negara-negara adikuasa sebagai pengaturnya itu mempengaruhi kerjasama. Teori ini berhubungan dengan rezim yang menciptakan dan memelihara keberadaan kekuatan yang dominan serta melemahnya rezim terhadap penyusutan negara-negara yang dianggap sebagai hegemon (Haggard & Simmons, 1987:500). Sebagai contoh dalam forum PBB jika menyelesaikan suatu isu internasional, negara Amerika Serikat mempunyai hak veto yang mempengaruhi hasil dari keputusan bersama. Sementara pendekatan game-theory menerangkan tentang bagaimana sebuah kerjasama dapat terlaksana dalam kondisi anarkis yang mana dalam keadaan tersebut, otoritas supranasional sangatlah lemah untuk menciptakan sebuah kepatuhan (Haggard & Simmons, 1987:504). Berbeda halnya dengan teori fungsional yang menjelaskan tentang perilaku atau institusi mengenai pengaruhnya (Keohane dalam Haggard & Simmons, 1987:506). Teori fungsional lebih melihat kapan rezim dibutuhkan. Berbeda dengan teori fungsional yang melihat rezim sebagai respon yang penting ataupun tidak terhadap sebuah kebutuhan, teori kognitif lebih melihat kepada bagaimana perilaku aktor yang tidak dibentuk oleh kepentingan material terlalu banyak, akan tetapi oleh peran mereka di masyarakat. Para cognitivist berpendapat


(28)

12

bahwa tidak ada national interest yang saklek dan tidak ada rezim yang benar-benar optimal (Haggard & Simmons, 1987:499). Teori kognitif merupakan percampuran dari tiga teori sebelumnya. Teori struktural, game-theory dan fungsional beranggapan bahwa kerjasama terjadi dalam penyelesaian isu-isu yang relatif jelas, sementara cognitivist beranggapan bahwa isu-isu tersebut relatif sebaliknya (Haggard & Simmons, 1987:509-510).

Berdasarkan konsep rezim internasional, perumusan perburuhan di Indonesia tidak terlepas dari konvensi ILO dimana Indonesia menjadi sebagai anggota berkewajiban dalam menerapkan konvensi di negaranya. Konvensi yang di sahkan wajib di ratifikasi oleh negara anggota tetapi tidak untuk negara yang memliki keadaan yang kurang sesuai dengan isi konvensi karena konvensi yang di buat oleh negara anggota itu bersifat umum, lahirnya konvensi berdasarkan keluhan-keluhan dari berbagai negara anggota yang dirumuskan secara bersama-sama dengan para delegasi-delegasi dari negara anggota yang lain dalam pertemuannya di konferensi perburuhan internasional setiap satu tahun sekali. Hal inilah yang menjadikan Konvensi itu bersifat umum. Maka ILO sebagai organisasi internasional tidak dapat memaksa negara anggotanya untuk meratifikasi semua konvensi yang dilahirkan tetapi negara anggota yang tidak meratifikasi di upayakan dapat melakukan perumusan perburuhan nasional mereka mengarah berdasarkan sesuai konvensi yang telah ada karna walaupun tidak meratifikasi, ILO sebagai organisasi internasional


(29)

13

akan mengawasi negara anggotanya dengan maksud meminimalisirkan terjadinya masalah-masalah di perumusan nasional negara-negara anggota.

2. Konsep kepentingan nasional

kepentingan Nasional (National Interest) adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan kebutuhan bangsa/negara atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan. Dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap dan sama diantara semua negara/bangsa adalah keamanan (mencakup kelangsungan hidup rakyatnya dan kebutuhan wilayah) serta kesejahteraan. Kedua hal pokok ini yaitu keamanan (Security) dari kesejahteraan (Prosperity). Kepentingan

nasional diidentikkan dengan ―tujuan nasional‖. Contohnya kepentingan

pembangunan ekonomi, kepentingan pengembangan dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) atau kepentingan mengundang investasi asing untuk mempercepat laju industrialisasi.

Kepentingan nasional sering dijadikan tolak ukur atau kriteria pokok bagi para pengambil keputusan (decision makers) masing-masing negara sebelum merumuskan dan menetapkan sikap atau tindakan. Bahkan setiap langkah kebijakan luar negeri (Foreign Policy) perlu dilandaskan kepada kepentingan nasional dan diarahkan untuk mencapai serta melindungi apa yang dikategorikan atau ditetapkan sebagai ‖Kepentingan Nasional‖.10 Selama negara-bangsa (nation-state) masih merupakan aktor hubungan internasional yang dominan, maka

10

T May Rudy, Study Strategis dalam transformasi sistem Internasional Pasca Perang dingin, Refika Aditama, Bandung, 2002, hal 116.


(30)

14

kepentingan nasional akan menjadi determinan utama yang menggerakkan negara-negara menjalankan hubungan internasional atau politik luar negeri.

Menurut Morgenthau: ‖Kepentingan nasional adalah kemampuan

minimum negara untuk melindungi, dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan kultur dari gangguan negara lain. Dari tinjauan ini para pemimpin negara menurunkan kebijakan spesifik terhadap negara lain yang sifatnya kerjasama atau

konflik‖. Menurut Joseph Frankel (1970) kepentingan nasional tidak bisa didefinisikan secara sempit dengan cara mengabaikan kepentingan-kepentingan moral, religi, dan kepentingan kemanusiaan yang lain seperti yang dibuat oleh Morgenthau.11 Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Nicholas Spykman bahwa kepentingan nasional juga mencakup kepentingan moral, religi, kebudayaan, dan sebagainya. Tetapi dia menambahkan bahwa untuk mengejar kepentingan-kepentingan itu tetap diperlukan power yang mencukupi.

Paul Seabury mendefinisikan konsep kepentingan nasional secara normatif dan deskriptif. Secara normatif konsep kepentingan nasional berkaitan dengan kumpulan cita-cita suatu bangsa yang berusaha dicapainya melalui hubungan dengan negara lain. Namun tidak sekedar cita-cita mengejar power saja melainkan ada juga cita-cita lainnya. Sedangkan secara deskriptif, kepentingan nasional dianggap sebagai tujuan yang harus dicapai suatu bangsa secara tetap melalui kepemimpinan pemerintah.

11


(31)

15

Dalam kepentingan nasionalnya Negara Indonesia dalam melakukan perumusan perburuhannya melalui kepemimpinan pemerintah tidak terlepas dari kebutuhan negaranya atau identiknya dengan tujuan nasional. Perumusan perburuhan di Indonesia tidak terlepas dari kepentingan pembangunan ekonomi dan kepentingan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SBM) dalam kepentingan mengundang investor asing untuk mempercepat laju industrialisasi di negara Indonesia. Kepentingan nasional ini menjadi tolak ukur atau kriteria pokok bagi para pengambil keputusan (decision makers) negara / pemerintah sebelum merumuskan dan menetapkan sikap atau tindakan. Setiap langkah dalam perumusan perburuhan di Indonesia memiliki kepentingan-kepentingan yang kompleks sehingga untuk melakukan kebijakan luar negeri (Foreign Policy) perlu dilandaskan kepada kepentingan nasional dan diarahkan untuk mencapai serta melindungi apa yang dikategorikan atau ditetapkan sebagai Kepentingan Nasional di Indonesia.

D. Hipotesis

1. Indonesia tidak meratifikasi konvensi No. 95 dan No.131 karena Kepentingan melindungi industri yang masih berkembang.

2. Perumusan kebijakan perburuhan nasional Indonesia relatife sesuai

Standar Ketenagakerjaan Internasional karena kepentingan


(32)

16 E. Jangkuan Penulisan

Agar penulisan penelitian ini tidak terlalu meluas, maka penulis membatasi jangkauan penelitian ini. Jangkauan penulisan ini adalah mengenai kebijakan-kebijakan dari ILO serta upaya pemerintah dalam membuat kebijakan berdasarkan hasil dari konvensi ILO untuk meningkatkan kebijakan pengupahan pekerja di Indonesia menjadi lebih baik. Dan juga penulis akan menggunakan data-data yang diluar dari jangkauan penulisan yang memiliki hubungan dengan pokok pembahasan dalam penulisan ini.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deduksi. Metode deduksi ini yaitu teori digunakan sebagai dasar analisa untuk memperoleh sebuah kesimpulan dari permasalahan yang di teliti. Sedangkan pendekatannya adalah bersifat deskriptif kualitatif Yaitu analisis hanya sampai pada taraf deskripsi yang menganalisa dan juga menyajikan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat di pahami dan di simpulkan. Penekannya adalah pada usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian melalui cara berfikir formal dan juga argumentatif.

G. Metode Pengumpulan Data

Penulis mencoba mengamati permasalahan tersebut secara empirik dengan menerapkan studi pustaka dan berbagai sumber yang ada seperti buku-buku


(33)

17

referensi, surat kabar, majalah, jurnal, internet, dan beberapa data pendukung lainnya dalam penulisan penelitian ini.

H. Sistematika penulis

Agar pembahasan dalam penulisan dalam penelitian ini tersistematis, maka penelitian ini akan di bagi menjadi lima bab, secara ringkas, sistematika penulisan yang dituangkan dalam lima bab.

Pada bab I ini merupakan pendahuluan yang memuat unsur-unsur metodologis yang harus di penuhi dalam penulisan karya ilmiah yang meliputi; Latar Belakang permasalahan, Pokok Masalah, kerangka Dasar/ teoritik, Hipotesis, Jangkuan Penulisan, Metode Penelitian, Metode Pengumpulan Data, dan sistematika penulisa.

Pada bab II ini penulis mencoba menjelaskan deskripsi umum ILO, yaitu gambaran umum tentang ILO dan kovensi ILO terkait dengan upah.

Pada bab III inimenjabarkan bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah Indonesia untuk menciptakansistem pengupahan sebelum meratifikasi konvensi ILO.

Bab IV ini, merupakan bab yang akan memberikan penilaian atas pengaruh kebijakan organisasi perburuhan internasional (ILO) terhadap pengupahan buruh di Indonesia setelah meratifikasi konvensi yang di buat oleh ILO berdasarkan ada fakta-fakta yang berkembang yang merupakan pembuktian atas hipotesa.


(34)

18

Bab V ini merupakankesimpulan dari seluruh penulisan pada bab-bab sebelumnya.


(35)

22

BAB II

TIDAK DIRATIFIKASI KONVENSI NO.131 dan NO. 95 TERKAIT DALAM PERUMUSSAN PERBURUHAN DI

INDONESIA

A. Konvensi ILO Terkait Perumusan Upah Buruh di Indonesia

Organisasi perburuhan internasional (ILO) merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi yang merdeka, setara, aman dan bermartabat. ILO adalah organisasi internasional yang bertanggung jawab untuk menyusun dan mengawasi standar perburuhan internasional. ILO adalah lembaga 'tripartit' bagian dari badan PBB yang menyatukan perwakilan pemerintah, pengusaha dan pekerja untuk bersama-sama membentuk kebijakan dan program mempromosikan Pekerjaan yang Layak untuk semua. ILO adalah badan global yang bertanggungjawab untuk

menyusun kebijakan Standar-Standar ketenagakerjaan Internasional.1

Bekerjasama dengan 185 Negara anggotanya, ILO berupaya memastikan bahwa Standar-Standar ketenagakerjaan ini dihormati baik secara prinsip maupun praktiknya. ILO telah berupaya dari luar untuk menetapkan metode-metode penegakan yang mungkin dapat dijalankan dan akan dapat diterima oleh

1

http://www.ilo.org/global/about-the-ilo/lang--en/index.htm. Diakses 8/November/2015.


(36)

23

Negara Anggotanya. Oleh karena itu, sebuah sistem pengawasan berdasarkan persetujuan telah berevolusi secara bertahap, dan dikenal sebagai Pengawasan Reguler.2

Dua pendekatan tambahan telah dilakukan:

i. Pemerintah-Pemerintah harus melapor kepada ILO:

 Berdasarkan langkah-langkah yang dilakukan untuk

menyerahkan standar-standar yang baru diadopsi kepada

otoritas yang kompeten, yaitu lembaga-lembaga

pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengadopsi hukum dan kebijakan, contohnya Parlemen, kementerian-kementerian pemerintah, dll; 3

 Mengenai posisi hukum dan praktek nasional mereka

sehubungan dengan Konvensi-Konvensi yang belum diratifikasi. Kadang-kadang hal ini disebut sebagai

―Prosedur Pasal 19‖;4 dan

 Mengenai langkah-langkah yang dilakukan untuk memberi

dampak pada Konvensi-Konvensi yang diratifikasi.

2

https:/unionsm.fils.wordpress.com/2012/05/mekanisme-pelaporan-pelanggaran-ilo-ib.pdf. Diakses pada 8 November 2016.

3

konstitusi ILo, Pasal 19.

4


(37)

24

Kadang-kadang hal ini disebut sebagai ―Prosedur Pasal

22‖.5

ii. Laporan-laporan pemerintah-pemerintah ini harus diperiksa secara berhati-hati dan dievaluasi mengenai keefektifannya. Sejak tahun 1927, tugas ini telah dilaksanakan, pertama-tama, oleh Committee

of Experts on the Application of Conventions and

Recommendations (CEACR), dan kemudian oleh Komite Konferensi tripartit khusus dalam sidang tahunan International Labour Conference (ILC), dimana mereka memeriksa laporan CEACR.sss

Dua prosedur lain yang tersedia untuk memeriksa tuduhan khusus mengenai pengamatan yang tidak efektif terhadap Konvensi-Konvensi yang diratifikasi dalam sebuah kasus tertentu. Kedua prosedur ini disebut sebagai Prosedur Khusus, yaitu;6

1. Prosedur Keterwakilan, dan Prosedur Pengaduan; dan

2. Prosedur Khusus tentang Kebebasan Berserikat

a) Komisi Konsiliasi Pencari Fakta tentang Kebebasan Berserikat; dan

b) Komite Badan Pengurus Kebebasan Berserikat.

5 Ibid, Pasal 22. 6

https:/unionsm.fils.wordpress.com/2012/05/mekanisme-pelaporan-pelanggaran-ilo-ib.pdf. Diakses pada 8 November 2016.


(38)

25

Semua organisasi pengusaha atau organisasi pekerja nasional atau internasional dapat mengakses prosedur ini dan boleh menyerahkan keterwakilan ke ILO.

Kedudukan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional sekarang tidak di ragukan lagi. Organisasi Internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) mempunyai hak-hak dan kewajiban yang di tetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan semacam anggaran dasarnya. Berdasarkan kenyataannya ini sebenarnya sudah dapat dikatakan bahwa PBB dan Organisasi Internasional semacamnya merupakan subjek hukum internasional, setidak-tidaknya menurut hukum internasional khususnya yang bersumberkan konvensi internasional tadi7. Pada awalnya organisasi internasional didirikan dengan tujuan untuk mempertahankan peraturan-peraturan agar dapat berjalan tertib dalam rangka mencapai tujuan bersama dan sebagai suatu wadah hubungan antar bangsa dan negara agar kepentingan masing-masing negara dapat terjamin dalam konteks hubungan internasioal.8

Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu. Maka untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh

7

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R.Agoes,Pengantar Hukum Internasional,PT,Alumni,Bandung,2010,hal. 101.

8

Le Roy A.bennet, International Organization; Principles and Issues, New Jersey; Prentice Hall Inc, 1997, Hal. 2-4.


(39)

26

subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internsional.9ILO memiliki peran yang sangat besar khususnya pada persoalan kebijakan penetapan upah di Indonesia.

Di sub bab ini saya akan membahas 2 konvensi ILO yang berkaitan dengan kebijakan pengupahan di Indonesia, konvensi yang pertama adalah konvensi No.95 tentang perlindungan upah 1949 dan konvensi yang kedua konvensi No. 131 tentang penetapan upah minimum 1970 yang kedua konvensi ini belum di ratifikasi oleh Indonesia hingga saat ini. Namun demikian, secara umum kriteria yang digunakan dalam kebijakan penetapan upah minimum dan Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagian besar di adopsi dari konvesi ILO 131 tentang upah minimum dan konvensi ILO 95. Hal ini sebagai mana telah di atur dalam konstitusi ILO tentang modifikasi bagi kondisi lokal yang berisfat khusus yang berbunyi: 10―Dalam merumuskan suatu Konvensi atau Rekomendasi yang pelaksanaannya bersifat umum, Konferensi tidak boleh mengabaikan negara-negara yang memiliki kondisi industrial yang sangat jauh berbeda dari negara-negara lain pada umumnya karena kondisi cuaca/ iklim, perkembangan organisasi-organisasi industrial yang belum sempurna, atau karena kondisi-kondisi lain di negara-negara yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, Konferensi wajib menyarankan modifikasi, bilamana perlu, yang diperlukan untuk mengakomodasi kondisi industrial di negara-negara tersebut.

9

Ibid, hal. 117.

10


(40)

27

Gambar 2.1 Upaya ILO dan Pemerintah dalam Meningkatkan Kebijakan Upah buruh di Indonesia.

Upaya ILO da A ggota dala Me i gkatka Kebijaka Upah

buruh di I do esia

 ko ve si No. te ta g perli du ga upah , ya g berbu yi: sesuai isi Pasal ayat , ,

.

 ko ve si No. te ta g

pe etapa upah i i u , ya g berbu yi: sesuai isi Pasal

• regulasi terkait perli du ga upah diatur dala UU No

/ ,ya g berbu yi: sesuai isi Pasal ayat ,

• UU Tahu te ta g kete agakerjaa ,ya g

berbu yi: sesuai Pasal ayat

• Per e aker No. Tahu da perubaha revisi KHL dala per e aker No Tahu , ya g berbu yi: sesuai isi pasal ayat .

B. Konvensi ILO terkait Perlindungan Upah

Setelah diadakannya sidang di jenewa oleh badan pemimpinan kantor perburuhan internasional, dan bertemu di sesinya yang ketiga puluh dua pada tanggal 8 agustus 1949, dan memutuskan untuk mengadopsi tentang perlindungan upah yang merupakan item ke-7 pada agenda sesi dan menetapkan usulan-usulan ini harus berbentuk sebuah kovensi internasional, mengadopsi pada 1 juli 1949 konvensi ini disebut sebagai Kovensi Perlindungan Upah, 1949.11 Sejak awal pendiriannya, ILO dalam berbagai kegiatannya telah mempromosikan tingkat

11

www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---.../---ilo.../wcms_149911.pdf. Diakses pada 5/Febuari/2016.


(41)

28

upah yang layak dan praktek remunerasi perburuhan yang adil sebagai pusat perhatian utama, dan telah mengadvokasi standar-standar perburuhan dengan tujuan menjamin dan melindungi hak-hak pekerja dalam hal upah. Konstitusi organisasi, ditetapkan pada tahun 1919 yang menjadi bagian XIII dari traktat perdamaian versailes (peace treaty versailles), disebut sebagai „pesyaratan

mengenai upah hidup yang layak’ sebagai salah satu perbaikan yang diperlukan

segera untuk memajukan perdamaian universal dan memerangi kerusuhan sosial, kesulitan, dan privatisasi yang berefek pada sejumlah besar orang. Peraturan tersebut di akui sebagai salah satu metode dan prinsip yang di anggap cocok untuk memandu kebijakan Negara anggota mengenai ―pembayaran upah yang layak kepada pekerja untuk memelihara standard kehidupan yang wajar

berdasarkan zaman dan Negara mereka‖. Deklarasi Philadelphia 1944 mengenai

target dan tujuan organisasi menegaskan kembali bahwa ―kemiskinan di suatu tempat merupakan sebuah bahaya bagi kemakmuran disuatu tempat‖ dan

menekankan kebutuhan bagi program-program dunia yang akan mencapai―

kebijakan mengenai upah dan perdamaian, waktu dan kondisi kerja lainnya yang di hitung untuk menjamin bagian yang adil atas buah keberhasilan bagi semua dan upah hidup minimum bagi semua pekerja dan yang membutuhkan perlindungan tersebut.12

12


(42)

29

a. Pengertian “Upah” yang dilindungi

Komite mencatat bahwa berbagai tuduhan yang di sampaikan organisasi serikat buruh penandatanganan dan jawaban dari pemerintah menunjukan sebuah mekanisme pengaturan dan legislative yang merusak konsep upah dengan mengadopsi tunjangan dan berbagai biaya (transportasi, makanan) yang di bayarkan oleh pemberi kerja, yang tidak mempengaruhi jumlah upah, dalam pengertian bagian 133 undang-undang tenaga kerja organik. Komite mencatat

bahwa organisasi serikat buruh menganggap bahwa kebijakan ―penghilangan gaji‖ merupakan pelanggaran pasal 1 konvensi No. 95 di mana hukum dan regulasi yang membuat atau meningkatkan manfaat dan tunjangan menyatakan bahwa mereka berkarateristik non-upah dan sehingga mereka tidak di pertimbangkan di dalam perhitungan tunjangan yang baik berdasarkan hukum atau kesepakatan kolektif di bayarkan kepada pekerja. Beberapa dokumen menyebutkan bahwa kuntungan-keuntungan ini tidak di anggap sebuah bagain integral dari upah dasar untuk menghitung tunjangan, biaya, dan kompensasi yang berdasarkan hukum atau kesepakatan kolektif dapat diberikan kepada pekerja selama bekerja atau pada saat berakhirnya hubungan kerja. Komite juga mencatat

bahwa pasal 1 konvensi no.95 memberikan suatu defenisi istilah ―upah‖ ―di dalam konvensi ini‖. Defenisi mungkin lebih luas dari yang terdapat dalam legislasi nasional, meskipun hal ini tidak dengan serta-merta berarti pelanggan terhadap konvensi – asalakan remunerasi atau pendapatan yang di bayarkan dapat


(43)

30

di bayarkan berdasarkan sebuah kontrak kerja oleh seorang pemberi kerja kepada pekerja, istilah dimaksud di gunakan tercakup dalam ketentuan pasal 3 sampai pasal 15 konvensi. Inilah yang dimaksud di dalam pengamatan komite para ahli tentang pemberlakuan konvensi dan rekomendasi yang mana organisasi serikat buruh terkait menyatakan: fakta bahwa keuntungan, bagaimanapun hal itu diistilahkan tidak termasuk kedalam definisi upah sebagaimana terdapat dalam legislasi nasional tidak secara lansung merupakan pelanggaran konvensi. Akan tetapi, dengan secara lugas menyebutkan bahwa tunjangan dan pembiayaan bersifat non-upah dan akibatnya hal tersebut tidak dianggap untuk tujuan perhitungan kuntungan yang berdasarkan hukum atau kesepakatan kolektif dapat diberikan kepada pekerja selama masa bekerja, hukum dan regulasi diatas berdampak diantaranya meniadakan hal tersebut dari jaminan yang diatur oleh undang-undang tenaga kerja organik dalam penerapan ketentuan-ketentuan yang relevan dari konvensi. Maka, komite meminta pemerintah untuk menyebutkan langkah-langkah yang telah diambil untuk memastikan bahwa tunjangan yang bersifat non-upah berdasarkan legislasi nasional dalam pemberlakuan konvensi No.95 tercakup oleh perlindungan dalam undang-undang tenaga kerja organik dengan membatalkan ketentuan aturan yang tidak sesuai dengan bagian 133

undang-undang tenaga kerja organik. Komite menyampaikan bahwa

pengumpulan keputusan yang menyatakan bahwa keuntungan yang diberikan berdasarkan hukum dan regulasi diatas bukanlah bersifat upah, mengurangi


(44)

31

jumlah total yang dilindungi di dalam istilah ―upah‖ sedemikian rupa sehingga menghilangkan makna dari konsep ―upah‖.

Dalam beberapa kesempatan, komite dihadapkan pada situasi dimana

konsep ―upah‖ telah secara progresif dihilangkan dari artinya melalui

pemberlakuan hukum yang menyebutkan bahwa tunjangan dari pembiayaan khusus adalah bersifat non-upah, sehingga mengurangi jumlah total yang secara efektif dilindungi oleh legislasi nasional. Pada suatu kesempatan, kebijakan

―penghilangan gaji‖ ini menimbulkan sebuah pengaduan yang dibuat berdasarkan

pasal 24 konstitusi ILO yang diajukan oleh organisasi serikat buruh penandatanganan dengan tuduhan bahwa mekanisme legislative dan pengaturan yang menghilangkan konsep upah dengan mengadopsi tunjangan dan berbagai pembiayaan yang tidak dianggap sebagai upah dalam pengertian hukum merupakan pelanggaran pasal 1 konvensi. Dalam mengadopsi kesimpulan, komite trtipartit yang dibentuk untuk memeriksa pengaduan ini, dewan pimpinan menyampaikan pandangan bahwa fakta bahwa tunjangan upah bagaimana pun di istilahkan, tidak termasuk kedalam definisi upah yang terdapat dalam legislasi nasional tidak secara lansung merupakan pelanggaran terhadap konvensi sepanjang remunerasi atau pendapatan yang di bayarkan dapat dibayar berdasarkan kontrak pekerjaan oleh pemberi kerja kepada pekerja, apapun istilah yang di gunakan tercakup oleh ketentuan-ketentuan di dalam pasal 3 sampai pasal 15 konvensi. Maka dari itu komite meminta pemerintah yang terkait untuk


(45)

32

menyebutkan langkah-langkah yang diambil untuk memastikan bahwa tunjangan-tunjangan yang tidak bersifat upah berdasarkan hukum nasional, dalam pemberlakuan konvensi tercakup oleh perlindungan yang diberikan oleh hukum dan regulasi nasional tentang upah.13

C. Konvensi tentang Penetapan Upah Minimum

Pada sidang Umum Organisasi Perburuhan Internasional, Setelah disidangkan di Jenewa oleh Badan Pengurus Kantor Organisasi Perburuhan Internasional, dan setelah mengadakan sidangnya yang kelima puluh empat pada tanggal 3 Juni 1972, dan Memperhatikan syarat-syarat Konvensi Perangkat Penetapan Upah Minimum 1928, dan Konvensi Pengupahan yang Setara, 1951, yang telah diratifikasi luas, serta Konvensi Perangkat Penetapan Upah Minimum (Pertanian), 1951, dan Menimbang bahwa Konvensi-Konvensi ini telah memainkan peran yang berharga dalam melindungi kelompok-kelompok penerima upah yang kurang diuntungkan, dan Menimbang bahwa sudah saatnya untuk mengadopsi instrumen lebih lanjut untuk melengkapi Konvensi-Konvensi ini dan memberikan perlindungan bagi penerima upah dari pengupahan rendah yang tidak selayaknya, yang, meskipun berlaku umum, memberikan perhatian khusus pada kebutuhan negara-negara sedang berkembang, dan Setelah menerima beberapa usul tertentu mengenai perangkat penetapan upah dan persoalan terkait, dengan rujukan khusus pada negara-negara sedang berkembang, yang menjadi agenda sidang butir kelima, dan Setelah menetapkan bahwa usul-usul ini harus

13


(46)

33

berbentuk Konvensi Internasional, Menerima pada tanggal dua puluh dua Juni tahun seribu Sembilan ratus tujuh puluh Konvensi di bawah ini, yang dapat disebut sebagai Konvensi Penetapan Upah Minimum, 1970. 14

D. Kebijakan Pengupahan Berkaitan dengan Konvensi Penetapan Upah Minimum, 1970

Setiap anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini harus membentuk suatu sistem upah minimum mencakup seluruh kelompok penerima upah yang syarat-syarat hubungan kerjanya sedemikian rupa sehingga tercakup dalam sistem tersebut. Hanya saja konvensi ini belum di ratifikasi oleh Indonesia hingga saat ini. Sehingga penetapan upah minimum yang kita lakukan masih berbasis pada kebutuhan hidup lajang dan bukan kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya. Secara umum dapat dilihat dari kriteria yang digunakan dalam penetapan upah minimum sebagian besar di adopsi dari konvensi ILO 131 tentang upah minimum.15 Hal ini sebagaimana terlihat pada faktor pertimbangan upah minimum di Indonesia yang di atur dalam Permenaker No.17 Tahun 2005 dan perubahan revisi KHL dalam permenaker No 13 Tahun 2012. Adapun faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam penetapan upah minimum meliputi16:

14

www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/document/legaldocument/wcms_181928.pdf. Diakses pada 5/Febuari/2016.

15 Lihat pada lampiran 2 16

Pasal 6 ayat 2 Kepmenakertrans No 13 Tahuh 2012 Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.


(47)

34

nilai KHL yang diperoleh dan ditetapkan dari hasil survei;

a. produktivitas makro yang merupakan hasil perbandingan antara jumlah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan jumlah tenaga kerja pada periode yang sama;

b. pertumbuhan ekonomi merupakan pertumbuhan nilai PDRB;

c. kondisi pasar kerja merupakan perbandingan jumlah kesempatan kerja dengan jumlah pencari kerja di daerah tertentu pada periode yang sama;

d. kondisi usaha yang paling tidak mampu (marginal) yang ditunjukkan oleh perkembangan keberadaan jumlah usaha marginal di daerah tertentu pada periode tertentu.

Sejak diluncurkannya UU 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar dalam penetapan upah minimum. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 88 ayat 4 yang berbunyi: Pemerintah menetapkan upah minimum ... berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.;

Namun demikian, UU 13 tahun 2003 ini tidak sesuai dengan konvensi ILO tentang penetapan upah minimum yang diatur dalam konvensi nomor 131 pada pasal 3 dari konvesi tersebut mensyaratkan bahwa pihak yang berwenang


(48)

35

dalam menentukan upah minimum harus mempertimbangkan beberapa unsur berikut ini:17

 kebutuhan dari pekerja dan keluarganya, dengan

mempertimbangkan tingkat upah secara umum di negara bersangkutan, biaya hidup, jaminan perlindungan social dan standar kehidupan relatif dari kelompok sosial lainnya.

 Faktor ekonomi, termasuk tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat produktivitas, dan kemampuan untuk mencapai dan menjaga tingkat pekerjaan yang tinggi. (the desirability of attaining and maintaining a high level of employment).

Standar penetapan upah sesuai konvensi 131 adalah kebutuhan dari pekerja dan keluarganya, dengan mempertimbangkan tingkat upah secara umum di negara bersangkutan, biaya hidup, jaminan perlindungan sosial dan standar kehidupan relatif dari kelompok sosial lainnya. Namun di Indonesia Peraturan pelaksana terkait upah minimum diatur dalam Permenakertrans No. 01 Tahun 1999 tentang Upah minimum Juncto Kepmenakertrans No. 226/MEN/2000 tentang perubahan beberapa pasal dalam Permenaketrans No 01 tahun 1999.

17


(49)

36

Dalam peraturan ini.upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap,18berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 1(satu) tahun.19

Penetapan upah minimum sejak tahun 2006 di dasarkan pada kebutuhan hidup layak (KHL) seorang pekerja lajang. Komponen Kebutuhan Hidup layak tersebut di atur dalam Permenaker No Per-17/Men/2005 tentang komponen dan pentahapan kebutuhan hidup layak.

Penetapan upah minimum di banyak negara tidak terlepas dari kebijakan ILO berkenaan upah minimum sebagaimana tercermin dalam sejumlah konvensi dan rekomendasi ILO. Satu konvensi yang terpenting berkenaan dengan upah minimum adalah Konvensi ILO No 131 yang secara khusus mengatur upah minimum di negara-negara berkembang, diadopsi tahun 1970. Konvensi ini muncul di karenakan fakta bahwa perundingan bersama dan mekanisme lainnya dalam penentuan upah tidak berjalan seluas dan secepat yang di harapkan

E. Kebijakan pengupahan berkaitan dengan konvensi No.95 tentang perlindungan upah 1949

Badan Pimpinan telah memutuskan untuk menyertakan Konvensi No. 95 di antara konvensi yang dianggap up-to-date dan yang ratifikasinya harus

18Pasal 1 Permenakertrans No: PER-01/MEN/1999 jo. Kepmenakertrans Nomor KEP.

226/MEN/2000

19


(50)

37

didorong karena Konvensi ini terus merespon kebutuhan yang ada.20Konvensi Perlindungan Upah 1949 (No. 95), mulai berlaku pada tanggal 24 September 1952. Pada tanggal13 Desember 2002, ratifikasi terhadap Konvensi ini telah mencapai 95 ratifikasi, sehingga menjadi salah satu Konvensi ILO yang paling banyak diratifikasi, terpisah dari Konvensi dasar dan prioritas. Instrumen ratifikasi yang paling akhir didaftarkan pada tanggal 2 Agustus 2001 (Albania), sementara dalam sepuluh tahun terakhir konvensi ini telah diratifikasi oleh delapan negara anggota (Azerbaijan, Botswana, RepublikCzech, Kyrgyzstan, Republik Moldova, Saint Vincent dan Granada, Slovakia dan Tajikistan). Daftar negara yang saat ini terikat oleh peraturan Konvensi ada pada Appendix I.

Dalam konvensi ini, istilah upah berarti imbalan atau penghasilan, bagaimana pun ditentukan atau di hitung bisa dirupakan dalam bentuk uang dan ditetapkan oleh kesepakatan bersama atau oleh undang-undang atau peraturan nasional yang harus dibayarkan dengan berdasarkan kontrak kerja tertulis atau tidak tertulis oleh pengusaha kepada pekerja untuk pekerjaan yang dilakukan atau akan dilakukan atau untuk jasa yang diberikan atau yang akan diberikan.21

Di Indonesia, Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian

20

www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/document/publication/wcms_182058.pdf. Diakses pada 15/Maret/2016.

21

Organisasi Perburuhan Internasional/Kompilasi Konvensi& rekomendasi ILO di indonesia /Jakarta_10250.


(51)

38

kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Untuk memastikan upah yang layak bagi buruh di satu sisi dan terjaminnya kelangsungan usaha di sisi lain; regulasi terkait perlindungan upah

diatur dalam UU No 13/2003 Pasal 88 ayat 2 yang berbunyi: Untuk mewujudkan

penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ..., pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.

Di samping regulasi yang mengatur secara makro (dalam bentuk undang-undang), pemerintah juga membuat aturan pelaksananya baik dalam bentuk peraturan pemerintah, keputusan menteri maupun juga dalam bentuk peraturan menteri.22Kebijakan ini dilakukan pemerintah untuk mewujudkan penghasilan yang dapat memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, walaupun Indonesia belum meratifikasi konvensi ILO No. 95 ini, perlindungan akan upah terhadap pekerja di Indonesia telah cukup untuk di buktikan oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari pengertian upah oleh ILO di konvensi No.95 23pasal 1 yang dengan Pasal 30 ayat 1 UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

22www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed.../wcms_210427.pdf. Diakses pada

15/maret/2016.

23


(52)

43

BAB III

KEBIJAKAN PENGUPAHAN DI INDONESIA

A. Perumusan Kebijakan Upah Buruh di Indonesia

Dalam situasi perburuhan yang sifat dan dinamikanya semakin kompleks, upah masih tetap menjadi persoalan utama di negara berkembang seperti Indonesia1. Keadaan pasar kerja yang dualistic dengan kelebihan penawaran tenaga kerja dan mutu angkatan kerja yang rendah di satu sisi menyebabkan upah menjadi isu sentral dalam bidang ketenagakerjaan.

Kebijakan upah buruh yang ada masih bertumpu pada upah minimum yang berlandaskan pada kebutuhan hidup layak buruh/pekerja lajang dengan masa kerja di bawah satu tahun. Belum mencakup mereka yang sudah bekerja di atas 1 (satu) tahun dan berkeluarga. Perundingan kolektif sebagai alat perjuangan SB/SP untuk meningkatkan upah dan kesejahteraan buruh, perannya masih sangat terbatas; bahkan cenderung menurun kuantitas dan kualitasnya. Di sisi lain penerapan struktur skala upah masih sangat minim dan belum bersifat wajib (tidak ada sanksi formal bagi yang belum menerapkannya). Sehingga praktis upah minimum menjadi upah efektif yang berlaku pada pasar kerja formal terutama sekali di sektor industri padat karya.

1

www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed.../wcms_210427.pdf. Diakses pada 20/Febuari/2016.


(53)

44

Situasi tersebut mendorong SB/SP menggunakan mekanisme upah minimum untuk meningkatkan kesejahteraan buruh. Upah minimum terus meningkat setiap tahun seiring meningkatnya upah nominal kesejahteraan (upah riil) buruh di satu sisi; namun kesempatan kerja di sektor formal semakin terbatas.

A. Regulasi Terkait Sistem Pengupahan di Indonesia

Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan2. Untuk memastikan upah yang layak bagi buruh di satu sisi dan terjaminnya kelangsungan usaha di sisi lain; pemerintah membuat serangkaian regulasi yang mengatur sistim dan mekanisme pengupahan di pasar kerja.

Regulasi pengupahan ini pada dasarnya terdiri dari dua bagian besar, 3

yaitu:

 Regulasi terkait mekanisme penetapan upah

 Regulasi terkait perlindungan upah

 Regulasi terkait mekanisme penetapan upah diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan sistimatika sebagai berikut;

2Pasal 30 ayat 1 UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3

www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed.../wcms_210427.pdf. Diakses pada 20/Febuari/2016.


(54)

45

i. Penetapan upah minimum di tingkat propinsi &

kabupaten/kota (Pasal 88)

ii. Penetapan upah melalui kesepakatan/perundingan kolektif (Pasal 91)

iii. Penerapan struktur & skala upah (pasal 92 ayat 1). iv. Peninjauan Upah Secara Berkala (Pasal 92 ayat 2).

Regulasi terkait perlindungan upah diatur dalam UU No 13/2003 Pasal 88

ayat 2 yang berbunyi: “Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ..., pemerintah menetapkan

kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh”.

Di samping regulasi yang mengatur secara makro (dalam bentuk undang-undang), pemerintah juga membuat aturan pelaksananya baik dalam bentuk peraturan pemerintah, keputusan menteri maupun juga dalam bentuk peraturan menteri.

1). Mekanisme Penetapan Upah

Selama lebih dari 40 tahun sejak upah minimum pertama kali di berlakukan, Indonesia telah 3 kali menggantikan standar kebutuhan hidup sebagai dasar penetapan upah minimum. Komponen kebutuhan hidup tersebut meliputi; kebutuhan fisik minimum (KFM) yang berlaku Tahun 1969 – 1995, Kebutuhan

Hidup Minimum (KHM) yang berlaku Tahun 1996 – 2005 dan kemudian


(55)

46

Di samping itu, pengertian (definisi) upah minimum, dan istilah-istilahnya juga mengalami beberapa kali perubahan seiring perkembangan dan perubahan regulasi seperti yang di jelaskan pada tabel 2. Dibawah.

Untuk memenuhi penghasilan yang layak bagi buruh/pekerja dan terjaminnya kelangsungan hidup perusahaan, pemerintah menetapkan kebijakan yang mengatur mekanisme penetapan upah di pasar kerja. Mekanisme penetapan upah tersebut diatur dalam UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang terdiri dari:

a. Upah minimum (Pasal 88)

b. Kesepakatan Upah (Pasal 91)

c. Penerapan struktur & skala upah (pasal 92 ayat 1). d. Peninjauan Upah Secara Berkala (Pasal 92 ayat 2)


(56)

47

Table 3.1 Perubahan Regulasi Upah Minimum dan Komponen kebutuhan Hidup.

Regulasi Uraian

Defenisi Upah Minimum Jenis Upah Minimum Penetapan Upah Minimum

Peninjauan Kebutuhan

Kebutuhan Hidup layak 2006-2012

Berdasarkan Permenaker No Per-17/Men/2005 7 Kekompok Kebutuhan; 46 Komponen;, Untuk Kebutuhan Lajang

UU No 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan Pasal 88 s/d 90

UMP UMK UMSP UMSK

Gubernur Lajang,

masa kerja < 1 tahun REVISI - KEBUTUHAN HIDUP LAYAK 2013 – Sekarang

Berdasarkan Permenaker No Per-13/Men/2012 7 Kekompok Kebutuhan; 60 Komponen;, Untuk Kebutuhan Lajang

UU No 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan Pasal 88 s/d 90

UMP

UMP UMK UMSP UMSK

Gubernur Lajang, masa kerja < 1

Uraian detail tentang masing-masing mekanisme penetapan upah yang ada dibahas lebih lanjut di bawah ini.

Upah Minimum

Peraturan pelaksana terkait upah minimum diatur dalam Permenakertrans No. 01 Tahun 1999 tentang Upah minimum Juncto Kepmenakertrans No. 226/MEN/2000 tentang perubahan beberapa pasal dalam Permenaketrans No 01 tahun 1999.


(57)

48

Dalam peraturan ini. Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap, 4berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 1(satu) tahun.5

Penetapan upah minimum dilakukan di tingkat propinsi atau di tingkat kabupaten/kotamadya, dimana Gubernur menetapkan besaran upah minimum propinsi (UMP) atau upah minimum Kabupaten/Kotamadya (UMK), 6

berdasarkan usulan dari Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah 7(sekarang Dewan Pengupahan Provinsi atau Kab/Kota) dengan mempertimbangkan; kebutuhan hidup pekerja, indeks harga konsumen, pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar kerja dsbnya.

Usulan besaran upah minimum yang disampaikan oleh dewan pengupahan merupakan hasil survei kebutuhan hidup seorang pekerja lajang yang diatur tersendiri dalam peraturan menteri tenaga kerja tentang Komponen kebutuhan hidup pekerja lajang (lihat sub bab sejarah). Dalam ketentuan yang terbaru kebutuhan hidup seorang pekerja lajang diatur dalam permenakertrans No, 13 Tahun 2012 tentang komponen dan pentahapan kebutuhan hidup layak, Dalam peraturan ini, pemerintah menetapkan 7 Kelompok dan 60 komponen kebutuhan bagi buruh/pekerja lajang yang menjadi dasar dalam melakukan survei harga dan menentukan besaran nilai upah minimum.

4

Pasal 1 Permenakertrans No: PER-01/MEN/1999 jo. Kepmenakertrans Nomor KEP. 226/MEN/2000

5Pasal 13 Ayat 2 Kepmenakertrans No. 226/MEN/2000 6

Pasal 4 ayat 1 Kepmenakertrans No. 226/MEN/2000

7


(58)

49

Peninjauan terhadap besarnya Upah Minimum Propinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota diadakan 5 (lima) tahun sekali atau dengan kata lain upah minimum berlaku selama 5 tahun melalui dua tahapan (1). Pengkajian, (2). Penetapan hasil peninjauan komponen sejenis dan jenis kebutuhan hidup.8

Selain upah minimum sebagaimana tersebut tadi, Gubernur juga dapat menetapkan Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMS Propinsi) yang didasarkan pada Kesepakatan upah antara organisasi perusahaan dengan serikat pekerja/serikat buruh9. Sehingga Upah Minimum dapat terdiri dari Upah Minimum Propinsi (UMP), Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMS Propinsi), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral

Kabupaten/Kota(UMS Kabupaten/kota).10

Sekalipun terdapat beberapa ketentuan upah minimum, namun upah minimum yang berlaku bagi setiap buruh/pekerja dalam suatu wilayah pada suatu industri tertentu hanya satu jenis upah minimum.

Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.11 Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat dilakukan

penangguhan.12 Tata cara penangguhan upah minimum diatur dalam

8

Pasal 5 ayat 1dan 2 Permenakertrans No : PER-21/MEN/2016

9

Pasal 4 ayat 7 Permenakertrans No: PER-01/MEN/1999 jo. Kepmenakertrans Nomor KEP. 226/MEN/2000

10

Pasal 4 ayat 3 Permenakertrans No: PER-01/MEN/1999 jo. Kepmenakertrans Nomor KEP. 226/MEN/2000

11

Pasal 3 Permenakertrans No. 01 Tahun 1999 tentang Upah minimum Juncto Kepmenakertrans No. 226/MEN/2000 tentang perubahan beberapa pasal dalam Permenaketrans No 01 tahun 1999

12


(59)

50

Kepmenakertrans Nomor: Kep-231/Men/2003 Tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.

Permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum diajukan oleh pengusaha kepada Gubernur melalui Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum.13Permohonan penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat.

Kesepakatan Upah (Perundingan Upah)

Di samping penetapan upah minimum yang dilakukan pemerintah melalui undang-undang, penetapan upah dapat juga dilakukan melalui kesepakatan. Penetapan melalui kesepakatan ini biasanya dilakukan bagi pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 tahun sebagaimana diatur dalam ketentuan:14 “Peninjauan besarnya upah pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan

atas kesepakatan tertulis antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha”. Kesepakatan tertulis yang dimaksud merupakan hasil perundingan antara seorang pekerja atau serikat buruh/serikat pekerja dengan pengusaha terkait syarat dan kondisi kerja termasuk di dalamnya besarnya upah. Bentuk kesepakatan tertulis antara seorang buruh/pekerja dengan pengusaha tertuang dalam perjanjian kerja. Hal ini sesuai dengan ketentuan bahwa perjanjian kerja dibuat berdasarkan

13Pasal 90 Ayat 1 UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 14

Pasal 13 ayat 3 Permenakertrans No: PER-01/MEN/1999 jo. Kepmenakertrans Nomor KEP. 226/MEN/2000


(1)

77

Lampiran 3. K-95, konvensi tentang perlindungan upah 1949 Pengertian “upah” yang dilindungi:

Komite mencatat bahwa berbagai tuduhan yang disampaikan organisasi serikat buruh penandatangan dan jawaban dari pemerintah menunjukkan sebuah mekanisme pengaturan dan legislatif yang merusak konsep upah dengan mengadopsi tunjangan dan berbagai pemberian biaya (transportasi, makanan) yang dibayarkan oleh pemberi kerja, yang tidak mempengaruhi jumlah upah, dalam pengertian bagian 133 Undang-Undang Tenaga Kerja Organik. (...) Komite mencatat bahwa organisasi serikat buruh menganggap bahwa kebijakan ―penghilangan gaji‖ merupakan pelanggaran Pasal 1 Konvensi No. 95, di mana hukum dan regulasi yang membuat atau meningkatkan manfaat dan tunjangan menyatakan bahwa mereka berkarakteristik non-upah dan sehingga mereka tidak diperimbangkan di dalam penghitungan tunjangan yang, baik berdasarkan hukum atau kesepakatan kolektif, dibayarkan kepada pekerja. Beberapa dokumen menyebutkan bahwa keuntungan-keuntungan ini tidak dianggap sebuah bagian integral dari upah dasar untuk menghitung tunjangan, biaya, dan kompensasi yang, berdasarkan hukum atau kesepakatan kolektif, dapat diberikan kepada pekerja selama bekerja atau pada saat berakhirnya hubungan kerja. Komite juga mencatat bahwa Pasal 1 Konvensi No. 95 memberikan suatu defi nisi istilah ―upah‖ ―di dalam Konvensi ini‖. Defi nisi ini mungkin lebih luas dari yang terdapat dalam legislasi nasional, meskipun hal ini tidak dengan serta-merta berarti pelanggaran terhadap Konvensi – asalkan remunerasi atau pendapatan yang dibayarkan, dapat dibayar berdasarkan sebuah kontrak kerja oleh seorang pemberi kerja kepada pekerja, istilah apapun yang digunakan, tercakup dalam ketentuan Pasal 3 sampai Pasal 15 Konvensi. Inilah yang dimaksudkan di dalam pengamatan Komite Para Ahli tentang Pemberlakuan Konvensi dan Rekomendasi, yang mana organisasi serikat buruh terkait menyatakan: fakta bahwa keuntungan, bagaimanapun hal itu diistilahkan, tidak termasuk ke dalam defi nisi upah sebagaimana terdapat dalam legislasi nasional tidak secara langsung merupakah pelanggaran Konvensi. (...) Akan tetapi, dengan secara lugas menyebutkan bahwa tunjangan dan pembiayaan bersifat non-upah dan akibatnya, hal tersebut tidak dianggap untuk tujuan penghitungan keuntungan yang, berdasarkan


(2)

78

hukum atau kesepakatan kolektif, dapat diberikan kepada pekerja selama masa bekerja, hukum dan regulasi di atas berdampak, di antaranya, meniadakan hal tersebut dari jaminan yang diatur oleh Undang-Undang Tenaga Kerja Organik dalam penerapan ketentuanketentuan yang relevan dari Konvensi. Maka, Komite meminta Pemerintah untuk menyebutkan langkahlangkah yang telah diambil untuk memastikan bahwa tunjangan, yang bersifat non-upah berdasarkan legislasi nasional, dalam pemberlakuan Konvensi No. 95, tercakup oleh perlindungan dalam Undang- Undang Tenaga Kerja Organik, dengan membatalkan ketentuan atau aturan yang tidak sesuai dengan bagian 133 Undang-Undang Tenaga Kerja Organik. (...) Komite menyampaikan bahwa pengumpulan keputusan yang menyatakan bahwa keuntungan yang diberikan berdasarkan hukum dan regulasi di atas bukanlah bersifat upah, mengurangi jumlah total yang dilindungi di dalam istilah ―upah‖ sedemikian rupa sehingga menghilangkan makna dari konsep ―upah‖.

Sumber: Laporan Komite yang dibentuk untuk memeriksa pengaduan yang dibuat atas dasar pasal 24 Konstitusi yang menduga


(3)

79

Lampiran 4. Konstitusi ILO

Tentang Deklarasi Mengenai Maksud dan Tujuan Organisasi Perburuhan Internasional

1. Konferensi menegaskan kembali prinsip-prinsip mendasar yang menjadi dasar Organisasi dan terutama, bahwa:

a) buruh bukanlah barang dagangan;

b) kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan berserikat adalah pentingbagi

kemajuan yang berkesinambungan;

c) kemiskinan yang ada di mana pun menyimpan bahaya yang mengancam kemakmuran

yang ada di mana pun;

d) perang melawan kekurangan harus diteruskan dengan gigih di setiap bangsa, dan dengan

upaya internasional yang terpadu dan terusmenerus di mana wakil-wakil pekerja dan pengusaha, menikmati status yang sama dengan status yang dimiliki pemerintah, bersama-sama bergandeng tangan dalam diskusi bebas dan pengambilan keputusan yang demokratis dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan bersama.

BAB I – ORGANISaSI PASAL 1

Suatu organisasi yang bersifat permanen dengan ini didirikan untuk mencapai tujuan tujuan yang dikemukakan dalam Mukadimah Konstitusi ini dan tujuan-tujuan yang dikemukakan dalam Deklarasi mengenai Maksud dan Tujuan Organisasi Perburuhan Internasional, yang ditetapkan di Philadelphia pada tanggal 10 Mei 1944, yang naskahnya dilampirkan dalam Konstitusi ini.


(4)

80

Lampiran 5. Konvensi ILO yang di Ratifikasi oleh Indonesia 1. Konvensi No: 19 (1925).

 tentang Perlakuan yang Sama bagi Pekerja Nasional dan Asing dalam hal Tunjangan Kecelakaan Kerja (Equality of Treatment for National And Foreign Workers as Regards to Workmen’s Compensation for Accident).

 dibuat pada tahun 1925 dan diratifikasi pada tahun 1927 dan dinyatakan berlaku

bagi Indonesia dengan Indonesia staatsblad 1929 No: 53 2. Konvensi No: 27 (1929).

 tentang Pemberian Tanda Berat Pada Pengepakan Barang-Barang Besar yang

Diangkut Dengan Kapal (The Marking at The Weight On Heavy Packages Transported By Vessels)

 dibuat pada tahun 1929 dan diratifikasi pada tahun 1933 Nederland staatsblad 1932 No: 185, Nederland staatblad 1933 No: 34 dan dinyatakan berlaku untuk Indonesia dengan Indonesia staatblad 1933 No: 117.

3. Konvensi No: 29 (1930).

 tentang Kerja Paksa atau Kerja Wajib (Forced or Compulsory Labour)

 dibuat pada tahun 1930 dan diratifikasi pada tahun 1933 (Nederland staatsblad 1933 No: 26 jo 1933 No: 236) dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Indonesia staatsblad 1933 No: 261

4. Konvensi No: 45 (1935).

 tentang Memperkerjakan Perempuan di Bawah Tanah dalam Berbagai Macam

Pekerjaan Tambang (The Employnment of Women on Underground Work in Mines of All Kind).

 dibuat pada tahun 1935, diratifikasi pada tahun 1937 (Nederland staatsblad 1937 No: 15) dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Indonesia Staatsblad 1937 No: 219 5. Konvensi No: 69 (1946).

 tentang Sertifikasi Juru Masak Kapal (Certification of Ship’s Cook)

 dibuat pada tahun 1946 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No: 4 tahun 1992 6. Konvensi No: 81 (1947).

 tentang Inspeksi Ketenagakerjaan (Labour Inspection)


(5)

81 7. Konvensi No: 87 (1948).

 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berorganisasi (Freedom of

Association and Protection of Right to Organize)

 dibuat pada tahun 1948 dan diratifikasi pada tahun 1998 8. Konvensi No: 88 (1948).

 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja (Institute for Employment Service)

 dibuat pada tahun 1948

9. Konvensi No: 98 (1949).

 tentang Penerapan Azas-azas Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama (The

Aplication of The Principles of The Right to Organize and to Bargain Collectively)

 dibuat pada tahun 1949 dan diratifikasi dengan Undang-undang nomor 18 tahun 1956

tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No: 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar dari pada Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama (Lembaran Negara No: 42 tahun 1956)

10.Konvensi No: 100 (1951).

 tentang Pengupahan yang Sama bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (Equal Remuneration for Men and Women Workers for Work of Equal Value)

 dibuat pada tahun 1951 dan diratifikasi dengan Undang-undang nomor 80 tahun 1957

tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No: 100 mengenai Pengupahan bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (Lembaran Negara No: 171 tahun 1957)

11.Konvensi No: 105 (1957).

 tentang Penghapusan Kerja Paksa (Abolition of forced labour)  dibuat pada tahun 1957 dan diratifikasi pada tahun 1999 12.Konvensi No: 106 (1957)

 tentang Istirahat Mingguan dalam Perdagangan dan Kantor-kantor (Weekly Rest In Commerce and Offices)

 dibuat pada tahun 1957 dan diratifikasi dengan Undang-undang nomor 3 tahun 1961


(6)

82

Istirahat Mingguan dalam Perdagangan dan Kantor-kantor (Lembaran Negara No: 14 tahun 1961)

13.Konvensi No: 111 (1958)

 tentang Diskriminasi dalam Kerja dan jabatan (Discrimination in Respect of Employment and Occupation)

 dibuat pada tahun 1958 dan diratifikasi pada tahun 1999 14.Konvensi No: 120 (1964).

 tentang Kebersihan di Tempat Dagang dan Kantor (Hygiene in Commerce and

Offices)

 dibuat pada tahun 1964 dan diratifikasi dengan Undang-undang nomor 3 tahun 1969

tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No: 120 Mengenai Hygiene dalam Perdagangan dan Kantor-Kantor (Tambahan Lembaran Negara No: 2889 tahun 1969)

15.Konvensi No: 138 (1973)

 tentang Batas Usia Minimum untuk Bekerja (Minimum Age for Admission to

Employment)

 dibuat pada tahun 1973 dan diratifikasi pada tahun 1999 16.Konvensi No: 144 (1976)

 tentang Konsultasi Tripartit untuk Mempromosikan Pelaksanaan Standar

Perburuhan Internasional (Tripartite Consultations to Promote the Implementation of International Labour Standards)

 dibuat pada tahun 1976 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No: 26 tahun

2006

17.Konvensi No: 182 (1999)

 tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (Elimination of

the Worst Forms of Child Labour)

 dibuat pada tahun 1999 telah diratifikasi pemerintah pada tahun 2000 18.Konvensi No: 185

 tentang Dokumen Identitas Pelaut (Seafarers’ Identity Documents/SID)  diratifikasi pada tahun 2008