Perumusan kebijakan pendidikan di docx

Perumusan Kebijakan Pendidikan
“Ditujukan untuk memenuhi tugas”
Mata Kuliah
Dosen
Jurusan

: Kebijakan Pendidikan
: Marhan Hasibuan , M.A
: Tarbiyah - PAI (V-A)

Di susun Oleh
Kelompok 2 ( Dua )
- Nikmatur Rada Saufi
- Rabita
- Husna Hukmanda

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM JAM’IYAH
MAHMUDIYAH TANJUNG PURA - LANGKAT
2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt karena berkat rahmat Nya
penyusunan

makalah

ini

dapat

diselesaikan.Makalah

merupakan makalah Kebijakan Pendidikan

ini

yang membahas

“Perumusan Kebijakan Pendidikan ”.Secara khusus pembahasan dalam
makalah ini diatur sedemikian rupa sehingga materi yang
disampaikan sesuai dengan mata kuliah. Dalam penyusunan

tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi.
Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan
orang tua, sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi .
oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak

dosen Marhan Hasibuan, MA mata kuliah Kebijakan

Pendidikan

yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada

kami sehingga kami termotivasi dan menyelesaikan tugas
makalah ini.
2. Orang tua, teman dan kerabat yang telah turut membantu,
membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas
makalah ini selesai.
Kami sadar, bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat
banyak kesalahan.Untuk itu kami meminta maaf apabila ada

kekurangan. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari
para pembaca guna meningkatkan kualitas makalah penulis
selanjutnya. Kebenaran dan kesempurnaan hanya Allah-lah yang
punya dan maha kuasa .Harapan kami, semoga makalah yang
sederhana ini, dapat memberikan manfaat tersendiri bagi
generasi muda islam yang akan datang, khususnya dalam bidang
Teori Belajar dan Pembelajaran

1

Tanjung Pura, September 2017

Tim Penyusun

Kelompok 2
( Dua )

DAFTAR IS

2


KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan......................................................................................1
BAB II......................................................................................................................2
PEMBAHASAN......................................................................................................2
A. Hakikat Formulasi Kebijakan.......................................................................2
B. Komponen dalam tahap Formulasi Kebijakan..............................................2
C. Proses Formulasi Kebijakan Pendidikan......................................................4
D. Aktor-aktor dalam formulasi kebijakan pendidikan.....................................9
BAB III..................................................................................................................13
PENUTUP..............................................................................................................13
A. Kesimpulan.................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................14

3


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik
merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan
hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai,
disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuantujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan tahap
formulasi. Aktivitas-aktifitas sekitar formulasi adalah interaksi peranan antar
peserta perumusan kebijakan pendidikan baik yang formal maupu yang tidak
formal. Peserta perumusan kebijakan tersebut sangat bergantung seberapa besar
para

peserta

dapat

memainkan

peranannya


masing-maisng

dalam

memformulasikan kebijakan. Dengan demikian rumusan kebijakan adalah karya
group, baik group yang menjadi penguasa formal maupun yang menjadi mitra dan
rivalnya. Mereka saling mengintervensi, Saling melobi bahkan salin mengadakan
bargaining.

B. Rumusan Masalah
1. Apa hakikat Forrmulasi Kebijakan?

2. Bagaimana komponen-komponen dalam formulasi kebijakan?

3. Bagaimana Proses Formulasi Kebijakan Pendidikan?

4. Siapa Aktor yang mempengaruhi fprmulasi kebijakan?

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui hakikat Forrmulasi Kebijakan?

1

2. Untuk mengetahui komponen-komponen dalam formulasi kebijakan?

3. Untuk mengetahui Proses Formulasi Kebijakan Pendidikan?

4. Untuk mengetahui Aktor yang mempengaruhi formulasi kebijakan?

2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Formulasi Kebijakan
Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik
merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan
hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai,
disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuantujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan tahap
formulasi.


Menurut Winarno Formulasi kebijakan sebagai suatu proses, dapat
dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan pertama adalah memutuskan
secara umum apa yang apa yang harus dilakukan atau dengan kata lain perumusan
diarahkan untuk memperoleh kesepakatan tentang suatu alternatif kebijakan yang
dipilih, suatu keputusan yang menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya.
Sedangkan kegiatan selanjutnya diarahkan pada bagaimana keputusan-keputusan
kebijakan dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan
oleh seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau
menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih. 1

1 Ali Imron, Kebijakan Pendidikan Di Indonesia: Proses, Produk, Dan Masa
Depannya, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm,14.

3

B. Komponen dalam tahap Formulasi Kebijakan
Sebagai suatu proses, maka tahap formulasi kebijakan terdiri atas beberapa
komponen (unsur) yang saling berhubungan secara respirokal sehingga
membentuk pola sistemik berupa input – proses – output – feedback. Menurut

Wibawa komponen (unsur) yang terdapat dalam proses formulasi kebijakan
adalah : 2
1. Tindakan.

Tindakan kebijakan adalah tindakan disengaja yang selalu dilakukan
secara terorganisasi dan berulang (ajeg) guna membentuk pola-pola tindakan
tertentu, sehingga pada akhirnya akan menciptakan norma-norma bertindak
bagi sistem kebijakan. Jika pada tahap awal tumbuhnya sistem kebijakan dan
tujuan dari sistem itu ditetapkan terlebih dahulu untuk menentukan tindakan
apa yang akan dilakukan guna mencapai tujuan tersebut, maka pada giliran
berikutnya, ketika sistem telah berjalan, norma yang terbentuk oleh pola
tindakan tadi akan mengubah atau setidaknya mempengaruhi tujuan sistem.

2. Aktor.

Orang atau pelaku yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan akan
memberikan dukungan maupun tuntutan serta menjadi sasaran dari kebijakan
yang dihasilkan oleh sistem kebijakan. Aktor yang paling dominan dalam
tahap perumusan kebijakan dengan tuntutan yang bersifat intern, dalam artian
2 Syafaruddin, Efektivitas Kebijakan Pendidikan: Konsep, Strategi, Dan Aplikasi

Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008),hlm, 44.

4

mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk menentukan isi dan memberikan
legitimasi terhadap rumusan kebijakan tersebut, disebut pembuat kebijakan
(policy maker). Sementara itu, aktor yang mempunyai kualifikasi atau
karakteristik lain dengan tuntutan ekstern, dikenal sebagai kelompokkelompok kepentingan, partai politik, pimpinan elit profesi dan lain-lain.
Untuk dapat tetap bertahan bermain di dalam sistem tersebut, mereka harus
memilik komitmen terhadap aturan main, yang pada mulanya dirumuskan
secara bersama-sama oleh semua aktor.

3. Orientasi nilai.

Proses formulasi kebijakan pada prinsipnya berhubungan dengan
proses mengidentifikasi dan menganalisis nilai-nilai yang beraneka ragam
kemudian

menentukan


nilai-nilai

yang

relevan

dengan

kepentingan

masyarakat, sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan akan mempunyai
implikasi nilai, baik secara implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu, aktoraktor yang berperan dalam formulasi kebijakan tidak hanya berfungsi
menciptakan adanya keseimbangan diantara kepentingan-kepentingan yang
berbeda (muddling through or balancing interests), tetapi juga harus berfungsi
sebagai penilai (valuer), yakni mampu menciptakan adanya nilai yang dapat
disepakati bersama yang didasarkan pada penilaian-penilaian rasional (rational
judgements) guna pencapaian hasil yang maksimal.

5

C. Proses Formulasi Kebijakan Pendidikan
Sejalan dengan pendapat Winarno, maka Islamy) membagi proses formulasi
kebijakan kedalam tahap perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda
pemerintah, perumusan usulan kebijakan, pengesahan kebijakan, pelaksanaan
kebijakan dan penilaian kebijakan sebagai berikut:3

1. Perumusan masalah kebijakan
Pada prinsipnya, walaupun suatu peristiwa, keadaan dan situasi
tertentu dapat menimbulkan satu atau beberapa problem, tetapi agar hal itu
menjadi masalah publik tidak hanya tergantung dari dimensi obyektifnya
saja, tetapi juga secara subyektif, baik oleh masyarakat maupun para pembuat
keputusan, dipandang sebagai suatu masalah yang patut dipecahkan atau
dicarikan jalan keluarnya. Oleh karena itu, suatu problem, untuk bisa berubah
menjadi problem umum tidak hanya cukup dihayati oleh banyak orang
sebagai sesuatu masalah yang perlu segera diatasi, tetapi masyarakat perlu
memiliki political will untuk memperjuangkannya dan yang lebih penting
lagi, problem tersebut ditanggapi positif oleh pembuat kebijakan dan mereka
bersedia memperjuangkan problem umum itu menjadi problem kebijakan,
memasukannya kedalam agenda pemerintah dan mengusahakannya menjadi
kebijakan publik, maka langkah pertama yang harus dilakukan oleh setiap
pembuat kebijakan adalah mengidentifikasikan problem yang akan

3 Arif Rohman,Kebijakan Pendidikan: Analisis Dinamika Formulasi dan
Implementasi, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), 85.

6

dipecahkan kemudian membuat perumusan yang sejelas-jelasnya terhadap
problem tersebut.4
Kegiatan ini merupakan upaya untuk menentukan identitas masalah
kebijakan dengan terlebih dahulu mengerti dan memahami sifat dari masalah
tersebut sehingga akan mempermudah dalam menentukan sifat proses
perumusan kebijakan.
2. Penyusunan agenda pemerintah
Oleh karena masalah publik yang telah diidentifikasi begitu banyak
jumlahnya, maka para pembuat keputusan akan memilih dan menentukan
problem mana yang seharusnya memperoleh prioritas utama untuk
diperhatikan secara serius dan aktif, sehingga biasanya agenda pemerintah ini
mempunyai sifat yang khas, lebih kongkrit dan terbatas jumlahnya.
Anderson (1966, 57-59) menyebutkan beberapa faktor yang dapat
menyebabkan problem-problem umum dapat masuk ke dalam agenda pemerintah,
yakni :5
a. Apabila terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok (group
equlibirium), dimana kelompok-kelompok tersebut mengadakan reaksi dan
menuntut tindakan pemerintah untuk mengambil prakarsa guna mengatasi
ketidakseimbangan tersebut.
b. Kepemimpinan politik dapat pula menjadi suatu faktor yang penting dalam
penyusunan agenda pemerintah, manakala para pemimpin politik didorong
atas

pertimbangan

keuntungan

politik

atau

keterlibatannya

untuk

memperhatikan kepentingan umum, sehingga mereka selalu memperhatikan
problem publik, menyebarluaskan dan mengusulkan usaha pemecahannya.

4 Ibid, hlm, 86
5 Ibid, hlm, 87

7

c.

Timbulnya krisis atau peristiwa yang luar biasa dan mendapatkan perhatian
besar dari masyarakat, sehingga memaksa para pembuat keputusan untuk
memperhatikan secara seksama terhadap peristiwa atau krisis tersebut,

dengan memasukkan ke dalam agenda pemerintah.
d. Adanya gerakan-gerakan protes termasuk tindakan kekerasan, sehingga
menarik perhatian para pembuat keputusan untuk memasukkannya ke dalam
e.

agenda pemerintah.
Masalah-masalah khusus atau isu-isu politis yang timbul dalam masyarakat,
sehingga menarik perhatian media massa dan menjadikannya sebagai
sorotan. Hal ini dapat menyebabkan masalah atau isyu tersebut semakin
menonjol sehingga lebih banyak lagi perhatian masyarakat dan para pembuat

kebijakan tertuju pada masalah atau isu tersebut.
3. Perumusan Usulan Kebijakan
Tahap ini merupakan kegiatan menyusun dan mengembangkan
a.

serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah, meliputi :6
Identifikasi alternatif dilakukan untuk kepentingan pemecahan masalah.
Terhadap problem yang hampir sama atau mirip, dapat saja dipakai alternatif
kebijakan yang telah pernah dipilih, akan tetapi terhadap problem yang
sifatnya baru maka para pembuat kebijakan dituntut untuk secara kreatif
menemukan dan mengidentifikasi alternatif kebijakan baru sehingga masingmasing alternatif jelas karakteristiknya, sebab pemberian identifikasi yang
benar dan jelas pada setiap alternatif kebijakan akan mempermudah proses

perumusan alternatif.
b. Mendefinisikan dan merumuskan alternatif, bertujuan agar masing-masing
alternatif yang telah dikumpulkan oleh pembuat kebijakan itu jelas
6 Ali Imron,Op.Cit, hlm, 34

8

pengertiannya, sebab semakin jelas alternatif itu diberi pengertian, maka akan
semakin mudah pembuat kebijakan menilai dan mempertimbangkan aspek
positif dan negatif dari masing-masing alternatif tersebut.
c. Menilai alternatif, yakni kegiatan pemberian bobot pada setiap alternatif,
sehingga jelas bahwa setiap alternatif mempunyai nilai bobot kebaikan dan
kekurangannya masing-masing, sehingga dengan mengetahui bobot yang
dimiliki oleh masing-masing alternatif maka para pembuat keputusan dapat
memutuskan

alternatif

mana

yang

lebih

memungkinkan

untuk

dilaksanakan/dipakai. Untuk dapat melakukan penilaian terhadap berbagai
alternatif dengan baik, maka dibutuhkan kriteria tertentu serta informasi yang
relevan.
d. Memilih alternatif yang memuaskan. Proses pemilihan alternatif yang
memuaskan atau yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan barulah
dapat dilakukan setelah pembuat kebijakan berhasil dalam melakukan
penilaian terhadap alternatif kebijakan. Suatu alternatif yang telah dipilih
secara memuaskan akan menjadi suatu usulan kebijakan yang telah
diantisipasi untuk dapat dilaksanakan dan memberikan dampak positif.
4. Pengesahan Kebijakan

Sebagai suatu proses kolektif, pengesahan kebijakan merupakan proses
penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang
diakui dan diterima (comforming to recognized principles or accepted
standards). Landasan utama untuk melakukan pengesahan adalah variabel-

9

variabel sosial seperti sistem nilai masyarakat, ideologi negara, sistem politik
dan sebagainya.7

Proses pengesahan suatu kebijakan biasanya diawali dengan kegiatan
persuasion dan bargaining (Andersson; 1966, 80). Persuasion diartikan
sebagai “Usaha-usaha untuk meyakinkan orang lain tentang sesuatu kebenaran
atau nilai kedudukan seseorang, sehingga mereka mau menerimanya sebagai
milik sendiri”. Sedangkan Bergaining diterjemahkan sebagai “Suatu proses
dimana dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan atau otoritas
mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya sebagian tujuan-tujuan yang tidak
mereka sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat
diterima bersama meskipun itu tidak terlalu ideal bagi mereka”. Yang
termasuk ke dalam kategori bargaining adalah perjanjian (negotiation), saling
memberi dan menerima (take and give) dan kompromi (compromise). Baik
persuasion maupun bargaining, kedua-duanya saling melengkapi sehingga
penerapan kedua kegiatan atau proses tersebut akan dapat memperlancar
proses pengesahan kebijakan.

D. Aktor-aktor dalam formulasi kebijakan pendidikan
Orang-orang yang terlibat dalam perumusan kebijakan negara tersebut
sebagai aktor perumusan kebijakan negara. Orang orang yang terlibat dalam
perumusan kebijakan pendidikan disebut sebagai aktor perumus kebijakan
pendidikan. Sebutan lain bagi aktor adalah partisipasi, peserta perumusan
kebijakan pendidikan. Oleh karena kebijakan pendidikan mempunyai tingkatantingkatan (nasional, umum, khusus, dan teknis), maka para aktor perumusan
kebijakan di setiap tingkatan-tingkatan tersebut berbeda.8

7 Arif Rohman,Op.Cit, hlm, 42
8 Ibid, hlm, 43

10

Aktor-aktor perumusan kebijakan negara dapat digolongkan menjadi:
aktor utama perumusan kebijakan pendidikan dan aktor non utama. Aktor utama
lazim disebut aktor resmi dan aktor struktural. Sebaliknya selain aktor utama
disebut sebagai aktor non utama, tidak resmi dan non struktural.

Yang termasuk aktor utama dalam perumusan kebijakan pendidikan antara lain:

1. Legislatif
Legislatif sering dimaksudkan sebagai pembentuk perundang-undang
dan perumus kebijakan dalam suatu sistem politik. Para perumus kebijakan
tersebut mempunyai sebutan yang berbeda-beda pada kebanyakan negara. Ada
yang disebut parlemen, ada yang disebut DPR, MPR.
2. Eksekutif
Yang dimaksud dengan eksekutif adalah pelaksana undang-undang.
Sungguh pun sebagai pelaksana, eksekutif juga berperan dalam perumusan
kebijakan. Selain alasan-alasan yang dikemukakan di atas, ada alasan lain
mengapa eksekutif juga berperan dalam perumusan kebijakan. Yaitu, bahwa
agar kebijakan yang dibuat atau dirumuskan oleh legislatif dapat dilaksanakan
sesuai dengan faktor kondisional dan situasional, eksekutif biasanya
merumuskan kembali kebijakan yang dibuat oleh legislatif dalam bentuk
kebijakan jabaran.
3. Administrator
Administrator tertinggi masing-masing departemen di negara-negara
merdeka umumnya memegang peranan penting dalam merumuskan kebijakan
departemennya, oleh karena mereka lebih tahu banyak tentang apa-apa ynag
harus mereka kelola. Administrator departemen tersebut (dalam hal ini adalah
Menteri) dikenal sebagai pembantu eksekutif, membidangii masing-masing

11

bidang yang didepartemenralisasikan. Dengan sendirinya, ia mempunyai
kewenangan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan
departemennya, sering kali juga berasal dari usulan departemennya. Dengan
demikian, secara meterial administrator tersebut mempunyai kewenangan
untuk merumuskan, meskipun secara legalitas yang menetapkan adalah jajaran
yang berada di atasnya: legislatif dan eksekutif.9
4. Partai politik
Yang dimaksud dengan partai politik adalah sekelompok orang yang
terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan pemerintah agar dapat
melaksanakan program-programnya dan menempatkan anggota-anggota
lainnyadalam jajaran pemerinyah. Partai politik berusaha memperoleh
kekuasaan dengan dua cara, ialah secara sah dan secara tidak sah. Adapun
fungsi partai politik adalah: sebagai wahana pendidikan politik, sosialisasi
politik, pemilihan pemimpin-pemimpin politik, pemaduan pemikiranpemikiran politik, memperjuangkan kepentingan rakyat, melakukan tata
hubungan politik, mengkritik rezim yang berkuasa, membina opini
masayarakat, mengusulkan calon, memilih pejabat-pejabat yang akan
diangkat, bertanggung jawab atas pemerintah, menyelesaikan perselisihan dan
menyatukan pemerintahan.10
5. Interest group
Interest group atau kelompok kepentingan adalah suatu kelompok yang
beranggotakan orang-orang yang mempunyai kepentingan sama. Kelompok
ini berusaha mempengaruhi pengurus kebijakan formal. Kelompok ini
9 Ace Suryadi dan H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1993 ) hlm.40
10 Ibid, hlm, 43

12

berusaha agar kepentingan kelompoknya dapat terakomodasi dalam kebijakan
yang dirumuskan oleh para perumus formal.
6. Organisasi masa
Organisasi massa adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai citacita dan keinginan yang sama. Sifat organisasi in adalah non politis.
Organisasi ini dapat berdiri atau independen dan dapat juga berafilisasi
denbgan organisasi politik tertentu.
7. Perguruan tinggi

Perguruan tinggi adalah suatu lembaga di mana para elit akademikus
berada. Dalam penyusunan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan,
umumnya tidak pernah dikesampingkan. Ia memegang peranan penting,
meskipun tidak berada dalam jajaran peserta perumusan kebijakan formal.
Sebab, harapan-harapan, aspirasi-aspirasi dan masukan-masukan yang berasal
dari masyarakat lewat berbgai macam saluran, umunya dimintakan
pendapatnya kepada perguruan tinggi.

8. Tokoh perorangan

Tokoh perorangan dapat berasal dari berbagai bidang: agama, politik,
ekonomi, pendidikan, budaya, seni dan teknologi.

Karena kapasitas

pribadinya, tokoh perorang dapat saja memberikan gagasan-gagasan, pikiranpikiran yang brilian bagi penyusunan kebijakan. Oleh karena tokoh
perorangan ini umumnya langsung berhubungan dengan para perumus

13

kebijakan formal, mereka dapat langsung menyampaiakan gagasan dan
sumbangan pikiran.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aktivitas-aktifitas sekitar formulasi adalah interaksi peranan antar peserta
perumusan kebijakan pendidikan baik yang formal maupu yang tidak formal.
Waran perumusan kebijakan tersebut sangat bergantung seberapa besar para
peserta dapat memainkan peranannya masing-maisng dalam memformulasikan
kebijakan. Dengan demikian rumusan kebijakan adalah karya group, baik group
yang menjadi penguasa formal maupun yang menjadi mitra dan rivalnya.

Proses formulasi kebijakan kedalam tahap perumusan masalah kebijakan,
penyusunan agenda pemerintah, perumusan usulan kebijakan, pengesahan
kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian kebijakan.
Sebagai suatu proses, maka tahap formulasi kebijakan terdiri atas beberapa
komponen (unsur) yang saling berhubungan secara respirokal sehingga
membentuk pola sistemik berupa input – proses – output – feedback

14

DAFTAR PUSTAKA
Imron, Ali .2008.Kebijakan Pendidikan Di Indonesia: Proses, Produk, Dan Masa
Depannya .Jakarta: Bumi Aksara,
Syafaruddin, 2008.Efektivitas Kebijakan Pendidikan: Konsep, Strategi, Dan
Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif.Jakarta: Rineka
Cipta,
Rohman, Arif .2012.Kebijakan Pendidikan: Analisis Dinamika Formulasi dan
Implementasi.Yogyakarta: Aswaja Pressindo,
Suryadi, Ace dan H.A.R Tilaar, 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu
Pengantar, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

15