Reformulasi Dana Alokasi Khusus Untuk Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan

REFORMULASI DANA ALOKASI KHUSUS UNTUK
PENCAPAIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL
BIDANG PENDIDIKAN

MOCHAMAD SAUQI BIMANTARA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Reformulasi Dana
Alokasi Khusus untuk Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor,Juni 2015
Mochamad Sauqi Bimantara
NIM H14110013

ABSTRAK
MOCHAMAD SAUQI BIMANTARA. Reformulasi Dana Alokasi Khusus untuk
Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan. Dibimbing oleh
BAMBANG JUANDA.
Selama satu setengah dekade berjalannya desentralisasi fiskal di Indonesia,
pelaksanaan dan formulasi pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) belum
memenuhi tujuannya yakni untuk mempercepat pertumbuhan dan pembangunan.
Oleh karena itu, DAK dengan menggunakan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
diperlukan karena lebih melihat kebutuhan yang diperlukan suatu daerah. Bidang
pendidikan merupakan salah satu dari tiga bidang utama pelayanan dasar.
Peningkatan dan pemerataan pendidikan yang baik diperlukan oleh suatu negara
untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia. Penelitian ini menganalisis
perhitungan DAK SPM dan kemudian membandingkan besaran alokasi dengan
menggunakan formula saat ini (existing) dan formula DAK SPM dengan Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, tingkat kemiskinan, dan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) daerah tersebut menggunakan analisis korelasi.
Hasil penelitian ini DAK SPM memiliki keterkaitan yang lebih kuat terhadap
PDRB per kapita, tingkat kemiskinan dan IPM dibandingkan dengan DAK
existing.
Kata kunci: Analisis Korelasi, Dana Alokasi Khusus, Formulasi Standar
Pelayanan Minimal, Pendidikan.
ABSTRACT
MOCHAMAD SAUQI BIMANTARA. Reformulation of Specific Grant for
Minimum Service Standard Achievement in Education. Supervised By
BAMBANG JUANDA.
Over one and a half decade goes by fiscal decentralization in Indonesia,
the implementation and formulation of Specific Grant (DAK) has not fullfilled its
purpose which is to accelerate economic growth and development. Therefore,
DAK using Minimum Service Standard (SPM) is required due to the region basic
needs. Education sector is one of the three main basic services sectors at the
regions. The increasing quantity and equity of education are both needed by a
country to improve a quality of human resources. This study analyzes the
calculation of DAK SPM and comparison between the amount of allocation using
existing formula and DAK SPM formula to Gross Domestic Product per capita

(GDP), poverty rate, and Human Development Index (HDI) of the region using
correlation analysis. The result of this study shows that DAK SPM has stronger
linkages to regional GDP, poverty rate, and HDI than existing DAK.
Keywords : Correlation Analysis, Education Sector, Minimum Service Standard
Formula, Specific Grant.

REFORMULASI DANA ALOKASI KHUSUS UNTUK
PENCAPAIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL
BIDANG PENDIDIKAN

MOCHAMAD SAUQI BIMANTARA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini ialah
Dana Alokasi Khusus (DAK), dengan judul Reformulasi Dana Alokasi Khusus
untuk pencapaian Standar Pelayanan Minimal untuk Bidang Pendidikan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada orang tua
penulis yakni Bapak Asep S. Muharam dan Ibu Eti Setiati, serta kakak dari
penulis M. Yogi Septiaro atas segala doa dan dukungan yang selalu diberikan.
Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku pembimbing yang telah
memberikan ilmu, arahan, bimbingan, kritik, pelajaran, saran, serta
motivasi yang sangat bermanfaat untuk penulis pada penulisan karya
ilmiah ini
2. Bapak Dr. Syamsul Hidayat Pasaribu, M.Si selaku dosen penguji utama
dan Dr. Eka Puspitawati selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas

kritik serta saran yang telah diberikan untuk perbaikan ilmiah ini.
3. Para dosen, staff, dan seluruh akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM
IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.
4. Teman-teman satu bimbingan Nia Nirmala, Ratih Ayu, dan Ina Marlina
yang telah memberikan bantuan, saran, kritik, dan motivasi kepada
penulis.
5. Sahabat-sahabat penulis Riri, Rendy, Yogo, Salma, Dian, Sarah, Silmi,
Regi, Ina, Ulin, Dody, Yusuf, Meli, Kati, Wina, Ajeng, Ogi yang telah
memberikan dukungan, dan motivasi dari ketika kuliah hingga
penyelesaian karya ilmiah ini.
6. Departemen Komunikasi dan Informasi BEM FEM 2013, Teman
Sepermainan Wirenza, Ipeh, Imu, Karat, Kanina, dan Kak Ikhsan yang
sudah memberikan saran, motivasi, dan pelajaran yang sangat berharga
kepada penulis.
7. Divisi RED HIPOTESA 2014 Raras, Dede, Lita, Syifah, Ben, Gisa, Vidy,
Inet, Dita, pimpinan HIPOTESA 2014, dan keluarga besar HIPOTESA
2014 yang telah menularkan semangat dan motivasinya kepada penulis.
8. Semua pihak yang telah membantu penyusunan karya ilmiah ini yang
tidak bisa disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Juni 2015
Mochamad Sauqi Bimantara

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

4

Ruang Lingkup Penelitian

4


TINJAUAN PUSTAKA

4

Otonomi Daerah

4

Desentralisasi Fiskal

5

Dana Perimbangan

5

Dana Alokasi Khusus

5


Standar Pelayanan Minimal

6

DAK-SPM

6

Indikator SPN Bidang Pendidikan

7

Formula Existing Penentuan Daerah Penerima DAK

9

Formula Existing Penentuan Alokasi DAK

11


Penelitian Terdahulu

12

Kerangka Pemikiran

12

METODE

13

Jenis dan Sumber Data

13

Definisi Operasional

14


Penggunaan Proksi Angka Putus Sekolah Kasar SMP

15

Formula DAK-SPM

15

Analisis Korelasi

18

HASIL DAN PEMBAHASAN

19

Hasil Perhitungan DAK SPM Menggunakan Proksi ISPN

19

Analisis Koefisien Korelasi

22

SIMPULAN DAN SARAN

25

Simpulan

25

Saran

25

DAFTAR PUSTAKA

26

LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP

81

DAFTAR TABEL
1.

Pagu Bidang dan Alokasi Minimum Bidang Pendidikan Tahun 2015

12

2.

Data dan Sumber Data

14

3.

Target Pencapaian Proksi ISPN

17

4.

Bobot ISPN output-outcome Bidang Pendidikan

17

5.

Hasil Pencapaian Indikator SPN

19

6.

Sepuluh Daerah Terbesar ICP

20

7.

Sepuluh Daerah dengan DAK SPM Terbesar Bidang Pendidikan

20

8.

Sepuluh Daerah dengan DAK Existing Terbesar Bidang Pendidikan

21

9.

Hasil Analisis Koefisien Korelasi

22

10. Korelasi ICP dan IKKD dengan alokasi DAK SPM

24

11. Korelasi DAK SPM dengan Bobot Berbeda

24

DAFTAR GAMBAR
1.

Indeks Gini Indonesia

2

2.

Seluruh Indikator SPM, SIPD, MDGs, dan IPM

7

3.

ISPN bidang pendidikan terpilih

8

4.

Kerangka Pemikiran

13

5.

Scatter Diagram DAK Existing dengan DAK SPM

21

6.

Scatter Diagram DAK Existing dan SPM dengan Tingkat Kemiskinan

22

7.

Scatter Diagram DAK Existing dan SPM dengan PDRB Per Kapita

23

8.

Scatter Diagram DAK Existing dan SPM dengan IPM

24

DAFTAR LAMPIRAN
Daerah Layak dan Besaran Alokasi Penerima DAK Existing Tahun
2015

28

2.

Penentuan Kelayakan DAK SPM

48

3.

Daerah Penerima dan Besaran Alokasi DAK SPM

69

1.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memberlakukan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal selama satu setengah dekade ini. Hal ini tertuai pada Undangundang Nomor 23 Tahun 2014 serta Undang-undang No. 33 Tahun 2004
mengenai perimbangan keuangan. Otonomi daerah dan pemberlakuan
desentralisasi fiskal ini bertujuan mempercepat pembangunan dan memperluas
pemerataan. Dalam mencapai tujuan tersebut maka digunakanlah instrumeninstrumen. Salah satu instrumennya adalah melalui dana perimbangan. Dana
perimbangan sendiri terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum
(DAU), serta Dana Alokasi Khusus (DAK).
DAK yang merupakan salah satu pendapatan pemerintah daerah, berfungsi
untuk membiayai kegiatan khusus bagi daerah tertentu sesuai dengan prioritas
nasional. DAK merupakan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan setiap tahunnya. Daerah penerima DAK
dan jumlah alokasi yang diterima daerah penerima DAK ditentukan berdasarkan
formula yang ditentukan oleh Departemen Keuangan setiap tahunnya. DAK yang
membiayai kegiatan khusus daerah tertentu ini juga
bertujuan untuk
mempengaruhi pola alokasi daerah yang merupakan perwujudan tugas pemerintah
di bidang tertentu. Pelaksanaan DAK di Indonesia saat ini berbentuk matching
grants dimana daerah harus menyiapkan dana pendamping sebesar 10%. Hingga
saat ini, pelaksanaan DAK di Indonesia menggunakan close-ended grants yang
berarti jumlah yang akan diterima oleh daerah sudah ditentukan dari awal untuk
satu tahun anggaran.
Sejalan dengan satu setengah dekade pemberlakuan DAK di Indonesia,
Indonesia banyak menjumpai berbagai masalah. Penentuan daerah dan jumlah
alokasi DAK yang diterima oleh daerah penerima tersebut dinilai belum efisien
dan efektif. Pada penentuan daerah, formula penentuan tersebut ditentukan
berdasarkan tiga kriteria yakni umum, khusus, dan teknis. Penentuan derah ini
ditentukan dengan cara substitutif pada ketiga kriteria tersebut. Maksudnya adalah
apabila daerah tidak lolos pada kriteria umum maka dilanjutkan pada kriteria
khusus. Apabila daerah tersebut tidak lolos juga pada kriteria khusus maka daerah
tersebut ditentukan pada kriteria yang terakhir yakni kriteria teknis. Penggunaan
ketiga kriteria ini yang bersifat substitutif membuat semakin banyak daerah yang
layak mendapatkan DAK dan menghilangkan nilai-nilai kekhususan dari DAK itu
sendiri. Kriteria teknis dalam penentuan daerah saat ini dinilai bersifat kaku
karena dilaksanakan sesuai petunjuk teknis yang diterapkan serupa untuk seluruh
daerah di Indonesia. Kemudian kriteria teknis hingga saat ini dalam penentuan
indikator teknis tersebut selalu diubah-ubah setiap tahunnya. Lainnya, menurut
penelitian yang dilakukan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS), Deutsche Gesellchaft Für Internationale Zusammenarbeit (GIZ),
dan Provincial Governance Strengthening Programme (PGSP) dalam Analisis
Perspektif, Permasalahan dan Dampak DAK Whitepaper (BAPPENAS 2011)
pola dan besaran alokasi DAK dinilai tidak signifikan dalam memberikan

2
kontribusi terhadap beberapa indikator tujuan-tujuan pertumbuhan dan
pembangunan nasional.
Selain itu, ketimpangan Indonesia yang dilambangkan oleh indeks gini
semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan semakin
lebarnya kesenjangan pendapatan yang terjadi di Indonesia. Dimana individu yang
berpendapatan tinggi semakin kaya sedangkan penduduk yang miskin menjadi
semakin miskin.
0.42
0.40
0.38
0.36
0.34
0.32
0.30
2008

2009

2010
2011
Tahun

2012

2013

Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)

Gambar 1 Indeks Gini Indonesia
Formulasi DAK saat ini dinilai tidak efisien untuk mecapai tujuan nasional,
sehingga belum dapat mencapai tujuan yang diamanatkan (ADB 2011). Selama
berjalannya desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia hingga saat ini
Standar Pelayanan Minimal (SPM) belum dapat sepenuhnya dapat
diimplementasikan. Dokumen Grand Desain Desentralisasi Fiskal Indonesia
(DJPK 2009) menyatakan penyediaan pelayanan publik sesuai SPM merupakan
salah satu elemen utama desentralisasi fiskal yang perlu disempurnakan. Oleh
karena itu perlu adanya pengoptimalisasian formula penentuan daerah penerima
DAK dan besaran alokasi DAK.
Oleh karena itu sebagai upaya dalam perbaikan formulasi DAK
pemerintah telah menyusun rancangan revisi UU No. 33 Tahun 2004. Dimana
pada revisi tersebut tujuan pemberian DAK diberikan untuk mendanai kegiatan
khusus :
1. Kegiatan dalam rangka mendorong pencapaian SPM pelayanan dasar
pendidikan, kesehatan, dan/atau infrastruktur jalan, jembatan, sanitasi,
irigasi, dan air minum
2. Kegiatan dalam rangka pencapaian prioritas nasional
3. Kegiatan dalam rangka kebijakan tertentu yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan
Pada pasal 41 draf XX revisi UU No. 33 Tahun 2004, pemerintah
berencana mendorong pencapaian SPM melalui kebijakan fiskal. Rencana ini
kemudian mengusulkan penggunaan DAK yang di prioritaskan untuk mendanai
pencapaian SPM (DAK-SPM). DAK-SPM ini digunakan untuk mencapai SPM
pelayanan dasar di daerah. Selain itu, DAK-SPM dapat digunakan untuk kegiatan
fisik dan non fisik sehingga memberikan fleksibilitas kepada daerah untuk
mengatur sendiri kebutuhannya, kemudian DAK-SPM bersifat performance based
dimana berorientasi pada tujuan (output).
DAK-SPM ini ditujukan untuk membiayai SPM pada tiga pelayanan dasar,
yaitu pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum. Pendidikan sebagai salah satu
pelayanan dasar sangatlah penting untuk meningkatkan kesehjateraan masyarakat
daerah karena dengan adanya pelayanan dasar pendidikan maka akan tercipta pula

3
pembangunan sumberdaya manusia. Dengan tercapainya SPM ini akan
menimbulkan pemerataan pada bidang pendidikan ini mengakibatkan daerah yang
maju dan daerah yang terpelosok sama-sama mendapatkan pelayanan pada standar
yang sama.
Saat ini penyediaan data SPM di daerah masih belum lengkap (terbatas),
oleh karena itu digunakanlah proksi Indikator Standar Pelayanan Nasional (ISPN)
dimana ISPN merupakan gabungan indikator yang berasal dari SPM, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), Sistem Informasi Pembangunan Daerah
Kementerian Dalam Negeri dan Millennium Development Goals BAPPENAS.
Karena DAK digunakan untuk pencapaian SPM maka lebih sesuai menggunakan
indikator yang berbasis output-outcome. Penggunaan ISPN output-outcome
dinilai lebih valid, sederhana dan reliable. Selain itu penggunaan ISPN outputoutcome memberikan fleksibilitas kepada daerah dalam melakukan intervensi
indikator SPM mana yang diprioritaskan untuk dicapai,dan sangat terkait dengan
ISPN pada daerah tersebut (Juanda et al. 2014).
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan bahwa formula
penentuan DAK saat ini dinilai menghilangkan nilai-nilai kekhususannya karena
jumlah bidang yang dibiayai, dan jumlah daerah penerima DAK semakin banyak.
Oleh karena itu pemerintah berencana mengarahkan DAK untuk pencapaian SPM.
Penulis merangkum rumusan masalah menjadi dua poin, yakni :
1. Bagaimana Hasil Perhitungan DAK menggunakan formula DAK
pencapaian SPM bidang pendidikan ?
2. Bagaimana perbandingan besaran alokasi antara DAK Existing dan DAK
SPM bidang pendidikan serta hubungannya terhadap kondisi
perekonomian dan pembangunan daerah ?
Tujuan Penelitian
Dalam rangka optimalisasi DAK dari pusat ke daerah seperti yang sudah
dipaparkan pada latar belakang dan rumusan masalah, untuk mengurangi dan
menghilangkan kelemahan dan permasalahan yang ada. Diperlukannya
peninjauan kembali mengenai formula yang digunakan untuk merancang DAK
yang akan diterima oleh daerah. Kementerian Keuangan berencana akan
memberlakukan formula baru yakni menggunakan Standar Pelayanan Minimal
(DAK-SPM). Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis dan mengkaji penentuan daerah penerima DAK dan
besarnya alokasi yang akan diterima oleh daerah tersebut dengan
menggunakan DAK-SPM untuk DAK tahun 2015 pada bidang pendidikan.
2. Membandingkan hasil kedua formula yang digunakan yakni formula
existing dan DAK-SPM tahun 2015 untuk melihat hubungan dari kedua
formulasi terhadap kondisi perekonomian dan pembangunan manusia
daerah itu sendiri.

4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan memberikan
pertimbangan kepada kementerian atau lembaga terkait untuk menetapkan
kebijakan fiskal yang lebih sesuai dengan kondisi saat ini agar dapat mencapai
sasaran pembangunan, pemerataan dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini juga
diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan bagi masyarakat umum
serta dapat dijadikan sumber rujukan untuk penelitian lain yang terkait dengan
DAK.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini gambaran umum mengenai perhitungan DAK
formula saat ini (existing) yakni formula tahun 2015 dan tahun-tahun sebelumnya,
dan formula DAK-SPM dengan data untuk tahun 2015. Penelitian ini mencakup
seluruh daerah kabupaten/kota di Indonesia. Penelitian ini hanya dibatasi pada
bidang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)
yang merupakan pelayanan dasar di daerah. Karena permasalahan keterbatasan
data pencapaian SPM menyebabkan formulasi berdasarkan indikator SPM
mengalami kendala dalam penerapannya. Juanda et al (2014) merekomendasikan
penggunaan ISPN. ISPN merupakan proksi indikator SPM yang datanya tersedia.
Pada penelitian ini penulis menggunakan ISPN yang menggunakan indikator
output-outcome.

TINJAUAN PUSTAKA
Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014). Daerah diberikan kewenangan yang
lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuan
otonomi daerah ini adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada
masyarakat, mempermudah pemantauan dan pengontrolan oleh masyarakat terkait
penggunaan dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD), dan menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong
timbulnya inovasi. Dengan adanya kewenangan daerah tersebut, daerah
diharapkan lebih mampu untuk menggali sumber-sumber keuangan khususnya
untuk memenuhi kebutuhan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui
Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Sutedi 2009).
Kewenangan otonomi luas adalah kekeluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter, dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang
lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Kebijakan otonomi
daerah yang lahir dengan tujuan untuk menyelamatkan pemerintahan dan
keutuhan negara, membebaskan pemerintah pusat dari beban yang tidak perlu,

5
mendorong kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah dan masyarakat
daerah dalam meningkatkan kesehjateraan daerahnya (Haris 2005).
Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme penyaluran dana
dari APBN dalam kaitan dengan kebijakan keuangan negara, yaitu untuk
mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan dan memberikan stimulus
terhadap aktivitas perekonomian masyarakat, maka dengan kebijakan
desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan
keuangan antardaerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan
pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom (Rahayu 2010).
Selain itu, definisi lainnya desentralisasi fiskal adalah varian dari
pelaksanaan desentralisasi yang ditempuh oleh suatu negara. Didefinisikan
sebagai devolusi (penyerahan) tanggung jawab fiskal dari pemerintah pusat
kepada tingkatan pemerintahan yang ada dibawahnya, sub national level of
government, seperti negara bagian, daerah, provinsi, distrik, dan kota. Tanzi
(2004) menyatakan bahwa desentralisasi fiskal harus diimbangi dengan
kemampuan daerah untuk membiayai sejumlah pengeluaran yang dialihkan
kepadanya dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi dengan jalan memberikan
kewenangan untuk menarik pajak yang telah dialihkan kepadanya, menarik pajak
yang telah ditetapkan kepadanya dalam (Rahayu 2010).
Desentralisasi Fiskal memiliki makna dalam bentuk pemberian otonomi di
bidang keuangan (sebagai sumber penerimaan) kepada daerah-daerah merupakan
suatu proses untuk mengintensifikasikan peranan dan sekaligus pemberdayaan
daerah dalam pembangunan.
Dana Perimbangan
Intergovernmental transfers atau dikenal dengan istilah dana perimbangan
di Indonesia terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH, Revenue Sharing), DAU, dan
DAK. Dana Alokasi Umum adalah yang terbesar dari ketiga jenis dana
perimbangan tersebut, diikuti oleh DBH dan kemudian yang terkecil adalah DAK.
Namun DAK hingga saat ini menunjukan trend peningkatan, terutama akibat dari
pemindahan Dana Dekonsentrasi (Dekon) dan/atau dana dalam rangka Tugas
Pembantuan (TP).
Dana Perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal
dari APBN yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan kewenangan
pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah,
yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesehjateraan masyarakat yang
semakin baik (Supriady et al. 2003).
Dana Alokasi Khusus
Berikut adalah regulasi atau dasar hukum yang dijadikan dasar untuk
pengelolaan DAK secara umum (perencanaan, penetapan, program dan kegiatan,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi DAK) :
i. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

6
ii. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
iii. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan
iv. Petunjuk Teknis yang ditetapkan oleh Menteri Teknis terkait
v. Permendagri Nomor 20 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan
Dana Alokasi Khusus di daerah
vi. Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS, Menteri Keuangan, dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 0239/M.PPN/11/2008, SE 1722/MK
07/2008, 900/3556/SJ tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemantauan
Teknis Pelaksanaan dan Evaluasi Pemanfaatan DAK.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 DAK
didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional. DAK Indonesia termasuk kelompok transfer bersyarat, yang
digolongkan sebagai matching requirement dimana daerah harus menyiapkan
dana pendamping sebesar 10%. Lebih jauh lagi DAK di Indonesia termasuk
dalam kelompok close-ended matching grants, yang berarti jumlah yang akan
diterima oleh daerah sudah ditentukan dari awal untuk satu tahun anggaran.
DAK dapat dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk
membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya
dana dalam APBN. Maksud dari daerah tertentu adalah daerah-daerah yang
mempunyai kebutuhan yang bersifat khusus. DAK digunakan khusus untuk
membiayai investasi pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan
prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang. DAK dapat
membantu biaya pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu
untuk periode terbatas, tidak melebihi tiga tahun (Supriady et al. 2003).
Standar Pelayanan Minimal
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005, Standar
Pelayanan Minimal (SPM) merupakan ketentuan tentang jenis dan mutu
pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh
setiap warga secara minimal. SPM ditetapkan oleh pemerintah dan diberlakukan
untuk seluruh pemerintahan daerah propinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota. Penerapan SPM oleh pemerintahan daerah merupakan bagian dari
penyelenggaraan pelayanan dasar nasional. SPM disesuaikan dengan
perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan
daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang
bersangkutan.
DAK-SPM
DAK-SPM merupakan jenis bantuan spesifik digunakan oleh pemerintah
pusat untuk pencapaian SPM, misalnya untuk bidang pelayanan pendidikan,
kesehatan dan infrastruktur. Urusan tersebut telah didesentralisasikan ke daerah,

7
sehingga bantuan spesifik ditujukan untuk mempengaruhi pola belanja daerah
agar menunjang pencapaian SPM tersebut, misalnya penggunaan yang spesifik
dan mensyaratkan dana pendamping (Juanda 2013).
Pelaksanaan kebijakan DAK-SPM memiliki tujuan untuk mempercepat
pemerataan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik pada
tingkat standar tertentu. Instrumen SPM yang bersifat standarisasi lebih bernuansa
pemerataan pelayanan antar daerah, secara substantif. Sehingga untuk pemerintah
daerah yang masih memberikan pelayanan dibawah stadar, penerapan SPM berarti
upaya mendorong peningkatan derajat pelayanan baik secara kualitas maupun
kuantitas.
Indikator SPN Bidang Pendidikan
Penggunaan data indikator SPM saat ini sulit dilakukan, karena masih
banyaknya daerah yang belum melengkapi data pencapaiannya. Oleh karena itu.
(Juanda et al. 2014) menyarankan penggunaan proksi indikator SPN (ISPN).
Proksi ISPN ini dipilih berdasarkan metode expert judgement dimana dipilih
berdasarkan empat kriteria :
1. Bersumber dari (i) IPM BPS , (ii) Millenium Development Goals
(MDGs) BAPPENAS, (iii) Pelayanan Publik Sistem Informasi
Pembangunan Daerah (SIPD) Kementerian Dalam Negeri, dan (iv) SPM
Kementerian dan lembaga terkait.
2. Keterwakilan indikator SPM
3. Ketersediaan data
4. Terdiri dari indikator (i) input process, (ii) output outcome, dan (iii)
input process output outcome
SPM pada bidang pendidikan memiliki 27 indikator, kemudian setelah
digabungkan dengan IPM, MDGs, dan SIPD ditotalkan menjadi sebanyak 53
indikator terdiri dari input, process, output, outcome seperti yang ditunjukan pada
Gambar 2.

Sumber : Juanda et al. 2014

Gambar 2 Seluruh Indikator SPM, SIPD, MDGs, dan IPM

8
Kemudian berdasarkan metode expert judgement yang dilakukan oleh
(Juanda et al. 2014), Gambar 3 merupakan indikator ISPN terpilih berdasarkan
empat kategori yang sudah disebutkan sebelumnya.

Sumber : Juanda et al. 2014

Gambar 3 ISPN bidang pendidikan terpilih
Indikator input-process dan output-outcome :
1. Angka Melek Huruf (%)
2. Rata-rata Lama Sekolah (Tahun)
3. Angka Partisipasi Murni SD/MI dan SMP/MTs (%)
4. Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar (%)
5. Angka Melek Huruf 15-24 tahun (%)
6. Rasio Ketersediaan sekolah/penduduk usia sekolah SD/MI
7. Rasio Ketersediaan sekolah/penduduk usia sekolah SMP/MTs
8. Rasio Guru terhadap SD/MI
9. Rasio Guru terhadap SMP/MTs
10. Angka Putus Sekolah SMP
11. Guru SD/MI yang berkualifikasi S1/D-IV dan bersertifikasi
12. Guru SMP/MTs yang berkualifikasi S1/D-IV dan bersertifikasi
Indikator Output-Outcome :
1. Rata-rata Lama Sekolah (Tahun)
2. Angka Partisipasi Murni SMP/MTs (%)
3. Angka Melek Huruf usia 15-24 tahun (%)
4. Angka Putus Sekolah SMP/MTs (%)
Penggunaan Indikator Output-Outcome dipilih pada penelitian ini karena
indikator tersebut datanya valid, sederhana dan dapat dipertanggungjawabkan.
Serta memberikan fleksibelitas kepada daerah untuk menentukan indikator
prioritas dalam pencapaian SPM daerah tersebut.

9
Formula Existing Penentuan Daerah Penerima DAK
Sesuai pada Pasal 40 Undang-undang 33 tahun 2004 DAK ditetapkan
dengan mengikuti tiga kriteria, yakni kriteria umum, khusus, dan teknis. Kriteria
umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah
dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan dan karakteristik daerah. Sedangkan kriteria teknis
ditetapkan oleh kementerian negara atau departemen teknis.
Kriteria Umum
Didefinisikan sebagai kemampuan APBD untuk membiayai pembangunan
daerah, yakni Kemampuan Keuangan Daerah (KKD) sebagai selisih antara
Penerimaan Umum Daerah (PUD) dan Belanja Pegawai Daerah (BPD).
Penerimaan Umum Daerah terdiri dari DAU, PAD, DBH, dan dikurangi dengan
Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi.
KKD = �
−2 - � −2
KKD = [
+

+
(
(1)
−2
−2
−2 –
−2 )] – � −2

Selanjutnya menerjemahkan KKD ke dalam bentuk Indeks Fiskal Netto
(IFN/IKKD) dan kemudian menetapkan daerah yang memenuhi kriteria umum
merupakan daerah dengan IFN yang ditetapkan setiap tahun. Untuk tahun 2015,
yang memenuhi kriteria umum adalah daerah dengan IFN kurang dari satu dan
selanjutnya dikategorikan dengan kategori IFN Tinggi, Sedang, Rendah dan
Rendah Sekali. Apabila daerah termasuk pada IFN tinggi maka daerah tersebut
tidak mendapatkan DAK dan tidak masuk terhadap perhitungan selanjutnya.
(2)
IKKD = � =
KKDi : Kemampuan Keuangan Daerah daerah ke-i
IFNi : Indeks Fiskal Netto daerah ke-i
Setelah mendapatkan IFNi dan membuang daerah dengan IFNi kategori
tinggi kemudian IFNi di standarisasi kembali dengan membagi IFNi dengan rataratanya setelah daerah IFN tinggi dibuang.
Kriteria Khusus
Kriteria khusus diformulasikan ke dalam Indeks Karakteristik Wilayah
(IKW), yang sering disebut juga Indeks Kewilayahan. Kecuali untuk daerah yang
telah dispesifikasi oleh undang-undang mengenai otonomi khusus yakni Provinsi
Papua dan Papua Barat. IKW terdiri dari Indeks Daerah Tertinggal (IDT), Indeks
Daerah Perbatasan (IDP), dan Indeks Daerah Pesisir Kepulauan (IDPK) dimana
untuk mendapatkan indeks dari indikator masing-masing adalah dengan indikator
suatu daerah tersebut harus membaginya dengan rata-rata indikator tersebut.
Contohnya adalah daerah tertinggal suatu daerah harus dibagi dengan rata-rata
daerah tertinggal seluruh indonesia. Untuk lebih jelasnya dapat disederhanakan
dengan rumus berikut :


=
, � =
, � =
(3)
=

IDTi
IDPi

(

+

(


� +



+ �+ � )

)

: Indeks Daerah Tertinggal daerah ke-i
: Indeks Daerah Perbatasan daerah ke-i



(4)

10
IDPKi : Indeks Daerah Pesisir Kepulauan daerah ke-i
IKWi : Indeks Karakteristik Wilayah daerah ke-i
Daerah dapat dikatakan layak menerima DAK melalui kriteria khusus ini
adalah daerah dengan otonomi khusus yakni Papua dan Papua Barat serta daerah
dengan besaran Indeks Fiskal Wilayah lebih dari satu. IFW sendiri merupakan
komponen dari penjumlahan IFNi dan IKWi.

= 0,5 � + 0.5
(5)
IFWi : Indeks Fiskal Wilayah daerah ke-i
Kriteria Teknis
Kriteria teknis ini ditetapkan oleh kementerian teknis yang bersangkutan
dalam hal penelitian ini maka yang digunakan berasal dari kementerian
pendidikan. Kementerian teknis menyusun kriteria teknis ke dalam indikatorindikator kegiatan yang kemudian diserahkan kepada Menteri Keuangan. Kriteria
teknis mencakup standar kualitas atau kuantitas konstruksi serta perkiraan manfaat
lokal dan nasional yang menjadi indikator dalam perhitungan teknis. Untuk
penentuan teknis tahun 2015 berikut bobot yang digunakan untuk bidang
pendidikan :
Sub Bidang Pendidikan SD/SDLB
Indeks Teknis (IT) Sub Bidang Pendidikan SD/SDLB untuk Pemda
Kab./Kota ditentukan berdasarkan indikator-indikator teknis sebagai berikut:
1) Rehab Ruang Kelas Rusak Sedang
bobot 17%
2) Rehab Ruang Kelas Rusak Berat
bobot 10%
3) Rehab Ruang Kelas Rusak Total
bobot 5%
4) Kebutuhan Ruang Kelas Baru
bobot 8%
5) Kebutuhan Rumah Dinas Guru
bobot 2%
6) Kebutuhan Ruang Guru
bobot 7%
7) Jamban/WC
bobot 5%
8) Kebutuhan Perpustakaan
bobot 16%
9) Kebutuhan Alat Pendidikan
bobot 30%
Jumlah perhitungan indikator teknis dan bobot tersebut kemudian
dikalikan dengan faktor pengali berdasarkan Angka Partisipasi Murni (APM),
dengan nilai sebagai berikut:
APM > 95% nilai 1
APM < 95% nilai 2
Sub Bidang Pendidikan SMP/SMPLB
IT Sub Bidang Pendidikan SMP/SMPLB untuk Pemda Kab./Kota
ditentukan berdasarkan indikator-indikator teknis sebagai berikut:
1) Rehab Ruang Belajar Rusak Berat
bobot 12%
2) Rehab Ruang Belajar Rusak Sedang
bobot 12%
3) Kebutuhan Ruang Kelas Baru
bobot 20%
4) Kebutuhan Ruang Perpustakaan
bobot 7%
5) Kebutuhan Ruang Laboratorium IPA
bobot 7%
6) Kebutuhan Ruang Laboratorium Komputer
bobot 2%
7) Kebutuhan Ruang Laboratorium Bahasa
bobot 2%
8) Kebutuhan Ruang Guru
bobot 4%
9) WC Guru
bobot 1,5%
10) WC Siswa
bobot 1,5%

11
11) Rumah Dinas Guru
12) Alat IPA
13) Alat IPS
14) Alat Matematika
15) Alat PJOK
16) Alat Bahasa
17) Laporan DAK

bobot 3%
bobot 5%
bobot 2%
bobot 2%
bobot 4%
bobot 5%
bobot 10%

Kemudian untuk menentukan apakah daerah tersebut layak atau tidak
menurut kriteria teknis, digunakannya Indeks Fiskal Wilayah Teknis (IFWT1)
yang merupakan gabungan komposisi dari IFW dan Indeks Teknis (IT). Setelah
distandarisasi kembali daerah dikatakan layak apabila IFWTi1 lebih besar dari
satu.
1

= 0,5 �
+ 0,5
(6)
Formula Existing Penentuan Alokasi DAK

Besaran alokasi DAK untuk tahun 2015 untuk masing-masing daerah yang
sudah ditentukan dalam tahap sebelumnya sesuai dengan Peraturan Perundangundangan mempertimbangkan ketiga kriteria. Oleh karena itu, dasar penentuannya
tetap menggunakan indeks dengan unsur ketiga kriteria tersebut dengan proporsi
yang berbeda. Setelah daerah ditentukan layak menerima DAK baik menurut
kriteria umum, khusus, maupun teknis kemudian menurut bidangnya daeah
tersebut dilihat kembali Indeks Teknis per bidangnya. Apabila indeks teknis lebih
besar dari 0 (nol) maka daerah tersebut berhak mendapatkan alokasi pada bidang
dengan IT tersebut. Sebaliknya, apabila IT tidak lebih besar dari nol maka daerah
tersebut tidak mendapat alokasi pada bidang tersebut. Kemudian daerah yang
mendapat alokasi tersebut dihitung kembali dengan IFWTnya namun dengan
proporsi yang berbeda dengan formula penentuan daerah penerima DAK, yakni
sebagai berikut :
2

= 0,2 � + 0,8
(7)
Setelah mendapatkan nilai IFWT2 tersebut kemudian nilainya
distandarisasi kembali sehingga rata-ratanya sama dengan satu. Kemudian IFWT2
yang didapatkan dikalikan dengan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) sehingga
mendapatka bobot DAK per daerah per bidang (BD).
2
= �
(8)
Selanjutnya setelah mendapatkan BD, dengan membagi BD dengan
jumlah BD yang ada pada bidang tersebut dan mengalikannya dengan Pagu
Bidang dan dikurangi dengan jumlah daerah penerima (N) yang sudah dikalikan
dengan Alokasi Minimal (AM) yang sudah ditentukan oleh kementerian teknis,
maka akan didapatkan Alokasi DAK per Bidang (ADB). Pagu bidang dan AM
yang sudah ditentukan sebelumnya, untuk bidang pendidikan dapat dilihat pada
Tabel 1 .
=(

) x Pagu Bidang – (Jumlah Daerah Penerima x AM) (9)

12

Tabel 1 Pagu Bidang dan Alokasi Minimum Bidang Pendidikan Tahun 2015
No Sub Bidang
Pagu Bidang (Rp)
Alokasi Minimal (Rp)
1.
SD/SDLB
3.514.455.000.000
3.000.000.000
2.
SMP/SMPLB
2.510.325.000.000
2.500.000.000
Total Pagu
6.024.700.000.000
Sumber : DJPK 2015

Setelah mendapatkan ADB untuk masing-masing bidang maka dengan
menambahkan ADB seluruh bidang pada suatu daerah, akan mendapatkan besaran
alokasi DAK pada daerah tersebut.
Penelitian Terdahulu
Wibowo, et al (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Apakah DAK
Benar-benar Spesifik? : Kasus Provinsi di Indonesia, 2003-2010” menggunakan
analisis statistik untuk menganalisis kespesifikan DAK. Penelitian ini
menggunakan alokasi DAK 33 provinsi di Indonesia tahun 2003 hingga 2009.
Sesuai dengan evaluasi yang dilakukan selama 2003-2010 esensi dari spesifikasi
tenggelam oleh adanya esensi pemerataan kapasitas fiskal baik itu secara
horizontal maupun vertikal. Padahal yang lebih memiliki fungsi ini adalah DAU
dan DBH. Hasil penelitian ini mengatakan bahwa pola dan besaran alokasi selama
bertahun-tahum ini tidak berkontribusi secara signifikan terhadap tujuan dari
adanya DAK untuk pembangunan nasional.
Juanda, et al (2014) pada laporan akhir “Kajian Atas Indikator Standar
Pelayanan Nasional (ISPN) di Bidang Layanan Publik Dasar yang Relevan
Dengan Pengalokasian DAK” merumuskan indikator ISPN bagi pemerintah pusat
yang ditujukan untuk mendorong daerah agar dapat mencapai target SPM.
Penggunaan indikator output-outcome dinilai lebih cocok, karena penggunaan
indikator ini relatif sederhana, valid, realibel, serta memberikan fleksibilitas dalam
melakukan intervensi indikator mana yang diprioritaskan untuk dicapai dan sangat
terkait dengan indikator indikator output-outcome di daerah tersebut.
Kerangka Pemikiran
Setelah satu setengah dekade pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal, pelaksanaan dan pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) dinilai tidak
memberikan dampak yang signifikan terhadap pembangunan dan pertumbuhan
nasional. Hal ini dikarenakan formulasi DAK saat ini yang menghilangkan nilainilai khusus yang ada pada DAK. Oleh karena itu dicanangkannya formulasi
dengan pencapaian Standar Pelayananan Minimal. Formulasi DAK-SPM meliputi
penentuan daerah dan penentuan alokasi. Karena keterbatasan data SPM seluruh
daerah maka digunakannya proksi Indikator Standar Pelayanan Nasional (Juanda
et.al 2014).

13

Otonomi Daerah dan
Desentralisasi Fiskal
Dana Perimbangan

DAU

DAK

DBH

Tidak mencapai tujuan yang
diamanatkan dan memudarkan nilai
kekhususannya dengan formula saat
ini

Formula Lama
Penentuan Daerah

DAK-SPM
Penentuan Daerah

1. Kriteria Umum
2. Kriteria Khusus
3. Kriteria Teknis
Penentuan Alokasi

Penentuan Alokasi

Pelayanan Dasar

Kesehatan
Perimban
Pendidikan

Pekerjaan
Umum

Penggunaan Proksi ISPN
output-outcome

Gambar
4 Kerangka Pemikiran
METODE

METODE
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari
505 kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Data sekunder tersebut adalah data
cross section pada tahun 2013 karena untuk menentukan DAK tahun t digunakan
formulasi 2 tahun sebelumnnya. Alat analisis yang digunakan oleh peneliti adalah
Microsoft Excel 2007 dan SPSS 20. Sumber dan data yang digunakan dijelaskan
pada Tabel 2.

14
Tabel 2 Data dan Sumber Data
No
1.
2.

Tahun
2013
2013

Sumber
Badan Pusat Statistik RI
Badan Pusat Statistik RI

2012/2013

6.

Data
Rata-rata Lama Sekolah
Angka Melek Huruf 1524 Tahun
Angka Partisipasi Murni
(APM) Tingkat SMP
Angka Putus Sekolah
(APTS) Tingkat SMP
Daerah Penerima dan
besaran alokasi DAK
Pendapatan Asli Daerah

7.

Dana Bagi Hasil

2013

8.

Dana Alokasi Umum

2013

9.

Belanja Pegawai Negeri
Sipil Daerah
Tingkat Kemiskinan
Produk Domestik
Regional Bruto per
Kapita

2013

Kementerian Pendidikan
RI
Kementerian Pendidikan
RI
Kementerian Keuangan
RI
Kementerian Keuangan
RI
Kementerian Keuangan
RI
Kementerian Keuangan
RI
Kementerian Keuangan
RI
Badan Pusat Statistik RI
Badan Pusat Statistik RI

3.
4.
5.

10.
11.

2012/2013
2015
2013

2013
2013

Terdapat 14 daerah yang merupakan daerah otonom baru pada tahun
2012/2013 pada data APM dan APTS tidak tersedia. Oleh karena itu penulis
menggunakan data daerah induk untuk menggantikan ketidaktersediaan data
tersebut.
Definisi Operasional
Rata-rata Lama Sekolah
1
�15+
RLS =

=1 (
�+15
P+15 : Jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas
Angka Melek Huruf 15-24 Tahun

AMH =

15−24



Angka Partisipasi Murni SMP

�=

Angka Putus Sekolah SMP



=



− )

15−24



ℎ�




13−15
13−15

13 − 15 ℎ
ℎ �
13 − 15 ℎ





100%

x 100%








%

15

Penggunaan Proksi Angka Putus Sekolah Kasar SMP
Dikarenakan penulis tidak menemukan data Angka Putus Sekolah (APTS)
SMP, maka penulis menggunakan proksi Angka Putus Sekolah Kasar (APTSK)
SMP. Dimana penulis mendapatkan jumlah penduduk usia 13-15 yang tidak
bersekolah lagi dengan menyelishkan jumlah penduduk usia 13-15 dan jumlah
murid SMP usia 13-15 tahun. Kemudian jumlah penduduk usia 13-15 yang tidak
bersekolah lagi tersebut dibagi dengan jumlah murid SMP usia 13-15.



=



13 − 15 ℎ

ℎ �

13 − 15



100%

Formula DAK-SPM
Pada penentuan alokasi formula DAK-SPM pada penelitian ini
menggunakan proksi ISPN indikator output-outcome . Secara keseluruhan proksi
ISPN bidang pendidikan memiliki sebanyak 53 indikator sehingga terlalu
kompleks bila dijadikan indikator alokasi DAK-SPM. Karena ISPN bidang
pendidikan sangat diperlukan, maka digunakannya indikator output-outcome yang
lebih sederhana. Sehingga terpilihlah empat indikator output-outcome ISPN
pendidikan yakni sebagai berikut :
1. Angka Putus Sekolah (APTS) Tingkat SMP tahun 2013
2. Angka Partisipasi Murni (APM) Tingkat SMP tahun 2013
3. Angka Melek Huruf (AMH) 15-24 tahun 2013
4. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) tahun 2013
Juanda et. al (2013) pada kajian mengenai mekanisme DAK untuk
pembiayaan SPM, disamping memberikan rekomendasi mekanisme penyaluran
DAK-SPM, dan Gambaran umum mengenai perhitungan alokasi DAK-SPM.
Tahapannya adalah sebagai berikut :
1. Alokasi ditentukan oleh Indeks Kemampuan Keuangan Daerah
(IKKD)/Indeks Fiskal Netto (IFN) dan Indeks Celah Pencapaian SPM
(IPSPM). Suatu daerah layak mendapatkan alokasi bila IKKD dibawah ratarata nasional (IKKD