Konflik Penguasaan Hutan Di Kawasan Taman Hutan Raya Ir H Djuanda

KONFLIK PENGUASAAN HUTAN DI KAWASAN
TAMAN HUTAN RAYA IR H DJUANDA

RIDWAN ADINEGORO

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konflik Penguasaan
Hutan di Kawasan Tahura Ir H Djuanda adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016
Ridwan Adinegoro
NIM E14100088

ABSTRAK
RIDWAN ADINEGORO. Konflik Penguasaan Hutan di Kawasan Taman Hutan
Raya Ir H Djuanda. Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO.
Kawasan Tahura Ir H Djuanda Kabupaten Bandung direncanakan akan diperluas
dari luasan 590 ha menjadi kurang lebih 3000 ha. Hal tersebut menimbulkan
konflik antara pihak pengelola dengan masyarakat Dusun Sekejolang yang
merupakan tanah enklave. Penelitian ini bertujuan untuk memahami sistem
penguasaan tanah di Tahura Ir H Djuanda dan konflik klaim atas tanah yang
terjadi di Kawasan Tahura. Responden dalam penelitian adalah masyarakat Dusun
Sekejolang dan pengelola Tahura yang berjumlah 39 orang. Data diperoleh dari
hasil wawancara dan Focus group discussion (FGD). Analisis data menggunakan
analisis data deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara yuridis tanah di
Kawasan Tahura merupakan tanah milik Negara. Penguasaan tanah disekitar
Kawasan Tahura oleh warga Dusun Sekejolang diperoleh secara turun temurun
dan diakui oleh pemerintah keberadaannya. Konflik yang terjadi di Kawasan
Tahura antara pihak pengelola Tahura dengan warga bersifat tertutup. Aktor yang

terlibat dalam permasalahan tanah tersebut adalah Pemda, BP Tahura, Lembaga
Lembur Kuring, WALHI, LBH. Berdasarkan analisis data yaitu solusi alternatif
yang disarankan adalah melalui mediasi oleh pihak ketiga.
Kata kunci: perluasan wilayah, Taman Hutan Raya, dan Tanah enklave
ABSTRACT
RIDWAN ADINEGORO. The forest-land tenurial conflicts in Ir H Djuanda
Tahura. Supervised by DIDIK SUHARJITO.
The area of Ir H Djuanda Tahura Bandung was planned to be expanded from 590
ha to approximately more than 3000 ha. It emerges conflict between the managers
of Ir H Djuanda Tahura with the people of Dusun Sekejolang since the land they
lived it‟s on enclaved condition. The aims of this study are to understand the land
tenure system in Ir H Djuanda Tahura and also to understand the land conflict
happens in the area. The 39 respondents of this study were the people of Dusun
Sekejolang and the managers of Ir H Djuanda Tahura. Data were obtained from
interviews and focus discussion group. The data were analyzed using descriptive
method. The results shows that juridically the land inside the Tahura is belong to
the state. The land of Dusun Sekejolang people‟s were owned and managed
hereditiary and its existence is recognized by the government. The conflicts take
place in Tahura between the Tahura managers and the people are closed conflicts.
Actors involved on this issue are the local government, BP Tahura, Lembur

Kuring, WALHI, and LBH. Based on data analysis, suggested alternative solution
is through third-party mediation.
Keywords: territorial expansion, Forest Park, and enclave area

KONFLIK PENGUASAAN HUTAN DI KAWASAN
TAMAN HUTAN RAYA IR H DJUANDA

RIDWAN ADINEGORO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konflik Penguasaan
Hutan di Kawasan Taman Hutan Raya Ir H Djuanda”.
Skripsi ini disusun sebagai pelengkap/kewajiban dalam menempuh tugas
akhir pada program Sarjana Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
Dalam hal ini, saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1.
2.
3.

4.

Kedua orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan moral,
semangat, materiil, dan doanya.
Yth Bapak Prof Dr Didik Suharjito, MS selaku dosen pembimbing atas
didikan dan arahannya dalam menyelesaikan skripsi ini.
Yth Kepala Pengelola Balai Tahura Ir H Djuanda beserta jajarannya, dan

seluruh warga Dusun Sekejolang terutama Bapak RW 09/kepala Dusun
serta Keluarga besar MNH 47.
Kepada semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016
Ridwan Adinegoro

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

METODE


2

Waktu dan Lokasi Penelitian

2

Analisis Data

3

KONDISI UMUM

3

Taman Hutan Raya Ir H Djuanda

3

Sejarah Tahura


3

Kondisi Biogeografis

4

Kondisi Sosial Ekonomi di Sekitar Kawasan Tahura Ir H Djuanda

4

Sarana dan Prasarana

5

Potensi Wisata Kawasan Tahura Ir H Djuanda

5

Kebijakan Pengelolaan Tahura Ir H Djuanda


5

Desa Ciburial

5

Letak dan luas

5

Kondisi Sosial Ekonomi

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Akses atas Hutan


6

Sejarah Dusun Sekejolang

8

Sejarah Tahura Ir H Djuanda

10

Permasalahan Klaim Tanah

12

Konflik BP Tahura Ir H Djuanda dengan Warga Sekejolang

12

Aktor yang terlibat Tanah Dusun Sekejolang


12

Penetapan Enklave oleh Pihak Tahura

15

Persepsi Warga Dusun Sekejolang dan Pihak Tahura

16

Kawasan Hutan Merupakan Tempat Tinggal Warga Sekejolang

16

Kawasan Hutan Sebagai Sumber Penghasilan

17

Adat Istiadat

17

Enklave Merupakan Embrio Perambahan Hutan

18

Solusi Masyarakat Dusun Sekejolang

18

SIMPULAN DAN SARAN

19

Simpulan

19

Saran

19

DAFTAR PUSTAKA

20

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Tingkat Pendidikan di Desa Ciburial
Komposisi Penduduk berdasarkan Pekerjaan
Akses Masyarakat Pada Dua Masa Penguasaan Hutan
Sejarah Dusun Sekejolang
Sejarah Tahura Ir H Djuanda
Peran pihak-pihak yang terlibat Tanah Dusun Sekejolang
Persepsi masyarakat Dusun Sekejolang

6
6
7
8
11
13
16

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Peta Dusun Sekejolang (enklave) di kawasan TAHURA Ir H Djuanda
Pal batas yang dibuat oleh Belanda batas Dusun Sekejolang dan Tahura
Pal batas yang dibuat oleh Tahura
Makam Leluhur (Mama Dapi) sejarah bukti keberadaan Dusun
Pihak-pihak yang telibat tanah Dusun Sekejolang
Proses FGD dengan warga Dusun Sekejolang
Gerbang masuk Kp.Sekejolang
Sawen yang di pasang di rumah warga

2
9
9
10
13
14
15
18

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.

Penetapan kawasan Tahura berdasarkan SK peraturan perundangundangan
Metode snowball
Ukuran klasifikasi kesejahteraan warga Kampung Sekejolang
Daftar warga Dusun Sekejolang menurut tingkat kekayaan

23
24
25
25

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penguasaan tanah seringkali disebut sebagai penyebab utama terjadinya
beberapa konflik komunal atau konflik separatis yang penuh kekerasan. Meskipun
tidak jelas apa yang dipertaruhkan di belakang konflik „etnik‟ atau konflik
„keagamaan‟, tetapi umumnya dinyatakan dalam berbagai bentuk bahwa masalah
tanah dan masalah sumber daya alam merupakan penyebab utama konflik-konflik
tersebut (Clark et al 2004). Tanpa memahami bagaimana aturan penguasaan tanah
berlaku, maka beberapa program yang didasarkan pada sumber daya alam pun
menjadi sangat berpeluang untuk menghadapi masalah besar, yang bisa
menyebabkan terjadinya konflik di masa datang. Ada juga bahaya tertentu bahwa
program semacam itu bisa memperkecil hak orang atas sumber daya, mata
pencaharian dan keamanan (Griffiths 2007). Karena itu, dengan memahami
bagaimana tanah dan sumber daya alam dikuasai, diatur dan dibagi-bagi, dan
bagaimana bermacam aktor mengakses dan menggunakan tanah dan sumber daya
alam itu, maka harus dipahami penyebab sesungguhnya dari konflik-konflik yang
terjadi ( Freudenberger 1994).
Taman Hutan Raya (TAHURA) Ir H Djuanda yang berada di Kabupaten
Bandung menurut ketetapan UU no. 5 th 1990 merupakan Kawasan Konservasi.
Pemerintah berencana untuk mengembangkan Kawasan hutan, dengan maksud
untuk dijadikan blok perlindungan/koleksi tanaman dan bersih dari pemukiman
(UU no. 25 th 2008). Rencana pemerintah tersebut, menyebabkan konflik antara
masyarakat sekitar khususnya warga Dusun Sekejolang dengan BP Tahura. Dusun
Sekejolang adalah dusun yang berada di wilayah Desa Ciburial. Dusun Sekejolang
disebut tanah enklave dan merupakan satu-satunya dusun yang masih ada
pemukiman di dalam Kawasan Hutan Tahura Ir H Djuanda sampai saat ini. Status
tanah enklave menurut PERMENHUT Nomor : P. 44/Menhut-ii/2012 Pasal 57
Tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, dikatakan bahwa hak atas tanah yang
diterbitkan oleh pejabat berwenang sebelum diterbitkannya peta register hutan,
penunjukan parsial, Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH)/Tata
Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang merupakan lampiran dari Keputusan
Menteri Pertanian/Kehutanan tentang penunjukan areal hutan di provinsi
merupakan kawasan hutan, maka hak atas tanah diakui dan dikeluarkan
keberadaannya dari kawasan hutan.
Pentingnya penilaian penguasaan tanah sebagai hubungan hukum atau
hubungan adat, merupakan bagian dari analisis konflik dan hak kepemilikan tanah
(Peluso dan Ribot 2003), juga dibutuhkan untuk menjalankan program yang
ditujukan untuk membantu komunitas lokal untuk mewujudkan penataan sumber
daya alam lebih baik.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, adalah:
1. Memahami sistem penguasaan tanah di Tahura Ir H Djuanda oleh masyarakat
Dusun Sekejolang.

2
2. Memahami konflik klaim tanah yang terjadi di Kawasan Tahura Ir H Djuanda.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi pemerintah, sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan
pengembangan kawasan Tahura Ir H Djuanda.
2. Bagi ilmu pengetahuan, sebagai referensi untuk menambah informasi
mengenai keberadaan Tahura.
3. Bagi peneliti, sebagai sarana untuk mengaplikasikan teori yang telah di
peroleh selama masa studi.

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2014 di Kawasan
Taman Hutan Raya Ir H Djuanda, tepatnya di Dusun Sekejolang, Desa Ciburial
Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Objek kajian dalam penelitian ini
adalah masyarakat yang berada di dusun III/9 Sekejolang.

Gambar 1 Peta Dusun Sekejolang (enklave) di kawasan TAHURA Ir H Djuanda

Pengumpulan Data
Jenis dan metode pengumpulan data
Metode survei dilakukan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini.
Data primer diperoleh melalui wawancara langsung, observasi, dan FGD.
Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur dengan kajian yang
sama.
Data primer yang diperoleh melalui wawancara dengan metode snowball.
Menurut Bryman (2012) snowball sampling merupakan teknik sampling dimana
pada awalnya kelompok kecil orang-orang tertentu yang dianggap memiliki
informasi yang relevan terhadap penelitian diambil sebagai responden. Responden

3
tersebut nantinya akan mengarahkan peneliti untuk mewawancarai responden lain
yang memiliki pengalaman atau karakteristik yang relevan.
FGD dirancang untuk melakukan pengumpulan data dengan menggunakan
sebuah forum diskusi dengan tema-tema yang telah dipersiapkan. Tujuannya
untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang satu tema yang
dijadikan fokus penelitian (Idrus 2009).
Jumlah responden yang diperoleh melalui metode snowball sampling
yakni 13 responden. Sedangkan jumlah peserta FGD adalah 26 responden.
Pemilihan Contoh
Pemilihan contoh terdiri atas contoh lokasi dan contoh responden. Contoh
lokasi dalam penelitian ini adalah Dusun Sekejolang Desa Ciburial Kecamatan
Cimenyan Kabupaten Bandung. Lokasi tersebut dipilih secara purposive karena
Dusun Sekejolang merupakan tanah enklave yang rencananya akan dipindah
alihkan oleh pihak pengelola Tahura Ir H Djuanda. Responden dalam penelitian
ini terdiri atas masyarakat Sekejolang, pengelola Tahura, Lembaga Lembur
kuring, Karang Taruna Bina Mandiri. Responden tersebut ditentukan secara
purposive. Jumlah reponden dalam penelitian ini adalah 39 orang. Jumlah tersebut
ditentukan berdasarkan kepada metode pengambilan data yang dilakukan.
Responden untuk wawancara ditentukan menggunakan metode Snowball. Metode
Snowball adalah salah satu metode dalam pengambilan sample dari suatu populasi
dimana Snowball sampling ini adalah termasuk dalam tekhnik non probabilitas/
sample dengan probabilitas yang tidak sama (Sugiyono 2010). Sedangkan untuk
jumlah responden FGD ditentukan secara purposive.
Analisis Data
Hasil penelitian ini disajikan secara analisa deskriptif. Analisa deskriptif
dalam langkah-langkahnya adalah penyederhanaan data di lapangan (data kasar),
penyajian data dengan bagan dan teks, kemudian penarikan kesimpulan (Sugiyono
2010). Analisis tersebut di lakukan untuk mengetahui status penguasaan tanah
oleh masyarakat Dusun Sekejolang, permasalahan klaim tanah, konflik yang
terjadi antara Dusun sekejolang dengan BP Tahura, aktor yang terlibat masalah
Dusun Sekejolang, serta persepsi/harapan warga Dusun Sekejolang dan BP
Tahura.
KONDISI UMUM
Taman Hutan Raya Ir H Djuanda
Sejarah Tahura
Taman Hutan Raya Ir H. Djuanda dulunya merupakan sebagian areal dari
Kelompok Hutan Lindung Gunung Pulosari dan dirubah fungsinya menjadi
Taman Wisata Curug Dago dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
575/ Kpts/Um/8/1980. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1985 dan peresmiannya dilakukan pada tanggal 14 Januari 1985
bertepatan dengan kelahiran Ir H Djuanda, maka Kawasan Hutan TWA Curug
Dago secara resmi dirubah fungsinya menjadi Tahura lr H Djuanda. Tahura Ir H
Djuanda terletak di sebelah Utara Kota Bandung Berjarak ±7 km dari pusat kota.

4

Kondisi Biogeografis
Secara geografis berada 107°30′00” BT dan 6°52′00” LS, Berdasarkan
hasil rekonstruksi tata batas Tahura Ir H Djuanda pada tahun 2003 luasnya adalah
526,98 hektar. Secara administrasi berada di wilayah Ciburial Kecamatan
Cimenyan Kabupaten Bandung dan sebagian wilayah masuk Desa Mekarwangi,
Desa Cibodas, Desa Langensari, dan Desa Wangunharja, Kecamatan Lembang
Kabupaten Bandung Barat serta Kelurahan Dago Kecamatan Coblong Bandung.
Sebagian besar kawasan Tahura Ir H Djuanda merupakan ekosistem pinggir
sungai (Riparian ecosystem), kondisi topografi lapangan miring, dengan
kelerengan (slope) agak curam sampai dengan terjal, dengan ketinggian ± 770 dpl
sampai dengan ± 1.350 m di atas permukaan laut.
Unsur tanah yang terkandung di areal Tahura Ir H Djuanda didominasi
andosol, sebagian kecil gramosol yang peka terhadap erosi. Iklim menurut
klasifikasi Schmidt Ferguson termasuk Type B. kelembaban nisbi udara berkisar
antara 70% (siang hari) dan 9% (malam dan pagi hari). suhu berkisar antara
220ºC-240ºC (di Iembah) dan berkisar 180ºC – 220ºC (di puncak). Curah hujan
rata-rata pertahun 2.500 – 4.500 mm/tahun.
Budaya penduduk asli di sekitar Tahura Ir H Djuanda adalah suku sunda.
Upacara adat pada umumnya masih dilakukan terutama pada saat pernikahan dan
khitanan, terdapat beberapa kesenian seperti pencak silat, jaipongan, kecapi suling
dan calung. Keadaan flora terdiri dari tumbuhan tinggi dan tumbuhan rendah,
untuk tumbuhan tinggi didominasi jenis pinus (Pinus merkusii) sedangkan untuk
tumbuhan rendah didominasi oleh lumut & pakis sehingga berfungsi sebagai
laboratonium alam (arboretum). Kondisi fauna hasil inventarisasi yang telah
dilakukan pada tahun 2003 yaitu Inventarisasi Primata dan Burung, maka jenis
Fauna yang dapat ditemui yaitu jenis primata: Kera Ekor Panjang (Macaca
fascicularis) dan jenis burung : Burung Kacamata (Zoeterops palpebrosus),
Perenjak Jawa (Prinia flaviventris), Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides),
Burung Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius), Kepodang (Oriolus chinensis),
Kutilang (Plenonotus caferaurigaster). Terdapat pula Ayam Hutan (Galus-galus
banriva), Musang (Paradoxurus hermaproditus), Sero/Linsang Air (Amblonix
Cinerea), Tupai (Collosciurus notatus), dan berbagai jenis mamalia kecil Iainnya.
Kemudian terdapat jenis Insecta yaitu capung dan kupu-kupu.
Kondisi Sosial Ekonomi di Sekitar Kawasan Tahura Ir H Djuanda
Mata pencaharian atau pekerjaan penduduk sekitar kawasan Tahura Ir H
Djuanda, sebagian besar sebagai petani yaitu sebesar 936 jiwa. Sebagian lain
bekerja sebagai karyawan swasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS), wiraswasta, buruh,
pertukangan, pensiunan, dan jasa. Profil Desa Ciburial, Cibodas, Langensari,
Mekarwangi, dan Wangunharja). Alternatif untuk memperoleh penghasilan bagi
sebagian masyarakat sekitar Tahura Ir H Djuanda yang berpendidikan rendah dan
tidak mempunyai banyak keahlian adalah bekerja di Kawasan Tahura Ir H
Djuanda. Mereka bekerja sebagai penyewa senter, tukang parkir, berjualan,
pemandu wisata, tukang ojeg, dan petugas kebersihan Tahura Ir H Djuanda.
Mereka tidak memerlukan status pendidikan yang tinggi, akan tetapi mereka
hanya perlu keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan pekerjaan tersebut.

5
Sarana dan Prasarana
Tahura Ir. H. Djuanda telah membangun beberapa fasilitas berupa: Pusat
Informasi, Mushola, Lokasi Parkir, Jalan, Warung Makan, Toilet, Shelter, Tempat
Bermain Anak, Lapangan Tenis, Sarana Olahraga pull up, Jogging Track.
Potensi Wisata Kawasan Tahura Ir H Djuanda
Daya tarik wisata alam yang ada di kawasan Tahura merupakan hasil dari
gejala alam dan fenomena alam pegunungan. Beberapa potensi wisata yang
bersifat khas dari kawasan ini adalah : pemandangan alam, monumen Ir H
Djuanda, keragaman flora dan fauna, kolam pakar, goa Belanda dan Jepang, jalan
setapak (jogging track), patahan Lembang, Curug Omas, Curug Dago, Prasasti
Thailand.
Kebijakan Pengelolaan Tahura Ir H Djuanda
Pengelolaan pengunjung dimaksudkan untuk meminimalkan dampak
negatif yang ditimbulkan akibat kunjungan dan kegiatan wisatawan pada suatu
kawasan. Beberapa teknik pengelolaan pengunjung adalah: Pembatasan
Penggunaan Kawasan Pembatasan ini dimaksudkan untuk menghindari
konsentrasi pengunjung pada suatu obyek, sehingga tidak menimbulkan
kerusakan, Penyebaran Obyek, Pemusatan Lokasi Kegiatan, Penutupan Kawasan,
Pembagian Blok Pemantaatan merupakan Bagian dan kawasan Tahura Ir H
Djuanda yang dijadikan tempat pariwisata alam/kunjungan/rekreasi aktif,
Pembinaan Jumlah Pengunjung. Larangan berada di Kawasan Tahura Ir H
Djuanda diatur dalam Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Pasal 50 Setiap orang
dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. Setiap orang dilarang:
a. Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara
tidak sah, b. Merambah kawasan hutan c. Mengeluarkan, membawa, dan
mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undangundang yang berasal dan kawasan hutan tanpa izin dan pejabat yang berwenang.
Desa Ciburial
Letak dan luas
Desa Ciburial merupakan desa yang terletak di Kawasan Tahura. secara
administratif, desa ini berada di wilayah Kecamatan Cimenyan dan merupakan
desa yang berada paling utara di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. Luas
wilayah Desa Ciburial adalah ± 599.216 Ha. Dengan topografi wilayah yang
bergunung-gunung tergolong dataran tinggi karena berada pada ketinggian antara
750 s.d. 1.200 m (dpl). Suhu udara rata-rata 25°C dan curah hujan tahunan
mencapai 0,29 mm/tahun.
Jarak tempuh dari pusat Desa Ciburial ke pusat Kecamatan Cimenyan
adalah 12 Km yang dapat ditempuh dengan angkutan umum (angkot) dan ojeg.
Jarak tempuh ke pusat Kabupaten Bandung adalah 35 Km dan jarak tempuh ke
pusat Kota Bandung 10 Km.
Kondisi Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi masyarakat mayoritas penduduk Desa Ciburial berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 6.324 jiwa dan perempuan sebanyak 5.710 jiwa.
Tingkat pendidikan di Desa Ciburial secara lengkap disajikan pada Tabel 1.

6

Tabel 1 Tingkat Pendidikan di Desa Ciburial
No.
1
2
3
4
5
6

Tingkat Pendidikan
Taman Kanak Kanak
SD
SLTP
SLTA
D1-D3
S1-S3
Jumlah

Jumlah
6.491
1.150
1.988
1.542
296
301
10.618

%
61,13
14,21
18,72
14,52
2,79
2,83
100,00

Selisih jumlah antara jumlah penduduk secara keseluruhan dengan jumlah
penduduk berdasarkan tingkat pendidikan yaitu sebanyak 1.912 orang. Jumlah
tersebut merupakan usia pra sekolah dan usia sekolah di tingkat SD serta mereka
yang tidak menyelesaikan tingkat pendidikan terendah bahkan ada yang tidak
sekolah, sehingga masih ada warga masyarakat yang buta huruf.
Komposisi penduduk berdasarkan pekerjaan yang ada di Desa Ciburial baik
di sektor formal maupun informal yang merupakan pengaruh dari tingkat
pendidikan yang dimiliki. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi Penduduk berdasarkan Pekerjaan1
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Tingkat Pendidikan
PNS
TNI/Polri
Karyawan Swasta
Pensiunan
Pedagang
Petani/Peternak
Buruh serabutan
Mengurus Rumah Tangga
Pemulung
Jumlah

Jumlah (jiwa)
202
4
813
93
292
936
286
3.126
1
5.753

%
3,51
0,07
14,13
1,62
5,08
16,27
4,98
54,34
0,01
100,00

Sektor pertanian/peternakan masih menjadi jenis pekerjaan yang dominan
Di Desa Ciburial dan pada saat yang sama di barengi oleh pesatnya perkembangan
alih fungsi tanah untuk kepentingan ekonomi non pertanian membuat jumlah
pekerja di sektor non pertanian juga mengalami kenaikan. Perubahan pola mata
pencaharian ini terjadi karena petani beralih menjadi buruh bangunan di resort
atau terserap di pembangunan resort yang saat ini massif dilakukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Akses atas Hutan
Akses masyarakat atas hutan akan dikelompok kedalam dua masa
penguasaan hutan yakni: masa ketika status hutan dikuasai oleh peran Perhutani
1

Badan Permusyawaratan Daerah tahun 2012

7
dengan fungsi kawasan hutan sebagai Taman Wisata Curug Dago dan ketika
status hutan di kuasai oleh peran BP Tahura dengan fungsi kawasan hutan sebagai
Taman Hutan Raya. Tabel 3 menjelaskan secara rinci tentang status penguasaan
tanah masyarakat.
Tabel 3 Akses Masyarakat Pada Dua Masa Penguasaan Hutan
No
1

2

Penguasaan
Hutan
Perum Perhutani

Badan Pengelola
(BP) Balai Taman
Hutan Raya

Fungsi

Akses masyarakat

Taman Wisata Dago

Akses masyarakat saat masa
kawasan hutan
berstatus
Taman
Wisata
Dago,
mendapatkan akses penuh
terhadap kawasan hutan

Taman Hutan Raya

berubahnya
pengelolaan
hutan dari Perhutani kepada
Tahura yang menjadikan
Kawasan Hutan sebagai
hutan konservasi. Kawasan
Hutan tidak dapat di akses
oleh masyarakat.

Pada awalnya penduduk Kampung Sekejolang adalah petani pemilik
tanah. Seiring dengan perkembangan dan perluasan kota, daerah-daerah
penyangga kota mengalami banyak perubahan struktur kepemilikan tanah.
Masuknya pemodal untuk kepentingan ekonomi menjadikan tanah di kawasan ini
menjadi asset yang sangat berharga. Alih fungsi tanah dan penguasaan tanah
terjadi pada awal tahun 1980. Tanah-tanah banyak di jual kepada pemodal dari
luar baik oleh individu individu maupun oleh Resort/PT. Hilangnya akses petani
terhadap kepemilikan tanah terjadi secara sistematis dan terorganisir baik
dilakukan oleh para calo-calo/perantara maupun oleh struktur pemerintahan yang
memberikan kemudahan perijinan dan peruntukan yang sebetulnya tidak sesuai
dengan tata ruang. Situasi ini menyebabkan petani pemilik tanah mengalami
degradasi kelas menjadi tunakisma/petani tidak bertanah.
Semakin kecilnya akses petani terhadap tanah telah mendorong petani
kecil dan petani tak bertanah keluar dari sektor pertanian. Hubungan antara aktor
yang mempunyai modal dan yang berperan sebagai buruh secara parallel
berhubungan dengan aktor yang mengontrol akses yang lain dan aktor yang
mempertahankan akses mereka. Penempatan akses pada bingkai kerja politikekonomi telah melengkapi model teori perubahan sosial. Hubungan sosial dan
perbedaan timbul dari kerjasama dan konflik yang mengelilingi keuntungan
dengan sebagian momen ekonomi-politik. Maka dari itu, pendekatan proses
menjadi pendekatan yang baik dalam menangkap perubahan tersebut. Analisa
proses juga merupakan proses identifikasi dan pemetaan mekanisme akses adalah
penambahan, pertahanan, dan pengendalian (Peluso et al 2003).
Salah satu upaya utuk mempertahankan kehidupan dengan cara melakukan
migrasi ke kota, menjadi buruh bangunan, pedagang keliling, buruh serabutan,
petani penggarap dan bekerja disektor informal lainnya. Pilihan ini menjadikan
mereka berada pada level subsistensi yang tidak akan mengalami perubahan yang
lebih baik dalam mata pencaharian.

8
Saat pengelolaan hutan dipegang oleh Perum Perhutani, masyarakat
mendapat akses penuh terhadap hutan untuk bisa dimanfaatkan sumber dayanya,
seperti sistem tumpang sari di wilayah Tahura yang menurut masyarakat sangat
bermanfaat dan juga masyarakat dapat memanfaatkan tumbuhan buah-buahan
yang di tanam pemerintah sebagai tumbuhan pagar pembatas antara kawasan
hutan milik pemerintah dan tanah milik warga. Perubahan pengelolaan hutan dari
Perhutani beralih kepada Tahura yang menjadikan kawasan ini sebagai hutan
konservasi, mengakibatkan hak masyarakat untuk mengakses hutan semakin
berkurang. Dampak nyata yang sangat dirasakan oleh warga adalah petani
semakin tidak memiliki akses terhadap pemanfaatan sumber daya hutan, baik
berupa mencari suluh (kayu bakar), mencari rumput untuk ternak, bertani dan
tumpang sari di sela-sela pohon. Cara pandang sektor kehutanan yang menutup
akses masyarakat sekitar hutan menunjukan bahwa sektor kehutanan masih
berpandangan Ekofasisme.
Sejarah Dusun Sekejolang
Keberadaan Dusun Sekejolang dari awal adanya dusun hingga sekarang
masih tetap diakui keberadaannya oleh pemerintah. Dapat dilihat pada Tabel 4
awal mula adanya Dusun Sekejolang hingga saat ini.
Tabel 4 Sejarah Dusun Sekejolang
Tahun

Sejarah

1945
1990

Era Kemerdekaan, hutan dalan Penguasaan Republik
Masyarakat mulai menjual tanahnya kepada para
pemodal, petani beralih menjadi buruh
Pemerintah menawarkan kompensasi Tanah kepada
warga Dusun Sekejolang
Pegawai Tahura Ir H Djuanda mengadakan sosialisasi
bibit ke desa Ciburial
250 ijin pembangunan oleh para pemodal/pengembang
yang dikeluarkan oleh Walikota dan Bupati, Alih fungsi
Desa Ciburial
Pemerintah kembali menawarkan kompensasi kepada
warga Dusun Sekejolang

2008
Masa
Kemerdekaan
Republik
Indonesia

2010
2012

2014Sekarang

Sesuai Tabel 4 Jauh sebelum adanya taman hutan raya Ir H Djuanda,
nenek moyang masyarakat Dusun Sekejolang sudah berada di dalam hutan,
bahkan sebelum Belanda menguasai Kawasan Bandung Utara. Ketika masa
penjajahan, Belanda juga mengakui tempat tersebut sebagai Dusun2. Tahun 1912
penjajah Belanda mulai menjajah ke wilayah Bandung Utara termasuk di Tahura
Ir H Djuanda. Penjajahan tersebut berdampak kepada masyarakat lokal karena
masyarakat dijadikan tenaga kerja paksa oleh Belanda sampai tahun 1942.
Penderitaan yang dialami oleh masyarakat lokal pun tidak berhenti sampai disitu
saja karena penjajahan dilanjutkan oleh Jepang hingga tahun 1945. Bukti yang
mendukung bahwa Dusun Sekejolang sudah ada sebelum Tahura Ir H Djuanda
didirikan, yaitu dengan adanya pal batas yang dibuat oleh Belanda untuk batas
2

Wawancara bersama Bapak Ihik (sesepuh Dusun Sekejolang)

9
wilayah antara Dusun Sekejolang dan kawasan hutan milik pemerintah kolonial
Belanda yang luasnya ± 7,8 Ha (Gambar 2).

Gambar 2 Pal batas yang dibuat oleh Belanda batas Dusun Sekejolang dan Tahura
Pal batas tersebut telah berdampingan dengan pal batas yang dibuat oleh
pemerintah pihak Tahura. Hal ini disebabkan karena pal batas yang di buat
Belanda sudah semakin rapuh dan rawan akan terjadinya pemindahan pal
(pelebaran luasan) oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Maka dari itu, pihak
Tahura membuat peraturan tegas terhadap beberapa pelanggaran yang terjadi di
kawasan hutan pemerintah.

Gambar 3 Pal batas yang dibuat oleh Tahura
Bukti lain yang menunjukkan bahwa masyarakat memiliki tanah di Dusun
Sekejolang adalah adanya SPPT, PBB, Sertifikat Hak Milik (SHM), dan Berita
Acara Tata Batas (BATB) serta adanya makam leluhur Dusun Sekejolang yang
masih terpelihara dengan baik. Wasiat nenek moyang Dusun Sekejolang adalah
Dusun Sekejolang sebagai pangebetahen (tempat tinggal yang nyaman) untuk
kehidupan generasi selanjutnya, jikalau sampai suatu ketika ada yang
menginginkan tanah Dusun Sekejolang, maka kewajiban seluruh warga untuk
tetap mempertahankannya3. Bisa di lihat pada Gambar 4 mengenai legenda
Dusun, pendiri Dusun yang makamnya dikeramatkan oleh masyarakat adalah
Mamah Dapi, Mamah dedeh, Aki Tari, Aki Adis, Aki Karmanta, Aki Idi.

3

Wawancara bersama Bapak Mamad (tetua dan tokoh masyarakat Dusun Sekejolang)

10

Gambar 4 Makam Leluhur (Mama Dapi) sejarah bukti keberadaan Dusun
Pada tahun 1945 Indonesia dalam era kemerdekaan, hutan dalam
penguasaan RI. Semasa kemerdekaan, rata-rata masyarakat Desa Ciburial
berprofesi sebagai petani. Merasa kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-harinya, pada tahun 1990 sebagian masyarakat terutama yang berprofesi
sebagai petani menjual tanahnya kepada para pemodal yang datang ke wilayah
Desa Ciburial, pemodal melihat wilayah desa tersebut merupakan tanah yang
memiliki prospek yang bagus kedepannya kelak. Para petani yang sudah menjual
tanahnya kepada para pemodal lalu beralih profesi menjadi buruh4. Pada tahun
2008 Giliran Pemerintah yang menawarkan kompensasi tanah kepada masyarakat
yang masih ada di Desa Ciburial terutama di Dusun Sekejolang, karena Dusun
Sekejolang merupakan tanah yang berada di tengah-tengah kawasan hutan milik
negara sehingga disebut tanah enklave.
Pemerintah melakukan kompensasi terhadap tanah Dusun Sekejolang
bermaksud untuk memperluas Kawasan Tahura yang luasnya 590 Ha menjadi
±3.000 Ha. Penawaran dari pemeritah dirasa kurang sesuai dari harga yang telah
ditentukan oleh masyarakat Sekejolang, maka praktek kompensasi tanah ditunda.
Pada tahun 2010 pegawai Tahura mengadakan Pelatihan dari program pemerintah
berupa cara penanaman bibit Jabon. Pelatihan tersebut bermaksud agar para
masyarakat memiliki kemampuan lain selain yang di tekuni para masyarakat saat
ini seperti : bertani, beternak, buruh lepas. Pada tahun 2012 Bupati dan Walikota
Bandung mengeluarkan 250 ijin mendirikan bangunan kepada para pemodal untuk
perhotelan, restorant, café dan rumah makan di daerah Desa Ciburial. Melihat
keadaan Bandung Utara yang semakin banyaknya bangunan, maka pada tahun
2014 Pemda kembali menawarkan kompensasi tanah kepada masyarakat Dusun
Sekejolang agar perluasan kawasan lindung dapat terealisasi dan mencegah
terjadinya pelebaran mendirikan bangunan oleh para pemodal. Dalam prakteknya,
Pemerintah masih menemui jalan buntu karna belum ada kesepakatan dengan
warga Sekejolang.
Sejarah Tahura Ir H Djuanda
Awal mula nama Tahura Ir H Djuanda di Kota Bandung sejak jaman
penjajahan Belanda merupakan Hutan Lindung Gunung Pulosari. Dapat dilihat
pada Tabel 5 Sejarah adanya Tahura Ir H Djuanda.

4

Wawancara bersama Ibu Hena (ketua PKK Dusun Sekejolang)

11
Tabel 5 Sejarah Tahura Ir H Djuanda
Tahun
1912-1942
1945
1960
Masa
Penjajahan
Belanda
dan Jepang

1963
1965
1980
1985
2003 – Sekarang

Keterangan
Tanah dalam penguasaan belanda
Era kemerdekaan, hutan dalam Penguasaan
Republik
Perintisan Hutan Gunung Pulosari menjadi
Kebun Raya Rekreasi
Hutan ditetapkan sebagai kawasan lindung
melalui Djawatan Kehutanan
Hutan dikuasai oleh Perhutani Jawa Barat
Penetapan Taman Wisata Curug Dago
(TWA) seluas 590 Ha
Menteri Kehutanan merubah TWA menjadi
Tahura melalui Kepres dan membentuk balai
pengelola Tahura
Sepenuhnya dikelola oleh Pemda melalui
Dinas Kehutanan Jawa Barat

Sesuai Tabel 5 Pada masa kolonial Belanda, Tahura Ir H Djuanda
sebelumnya merupakan Hutan Lindung Gunung Pulosari yang dibangun oleh
pemerintah Hindia-Belanda. Perintisan hutan ini sudah dilakukan sejak tahun
1912 yang telah dijadikan kawasan hutan oleh Belanda bersamaan dengan
pembangunan terowongan aliran sungai Cikapundung (sekarang disebut Gua
Belanda). Pembangunan Gua Belanda menggunakan tenaga kerja para romusha
Indonesia yang sebagian tenaga kerjanya berasal dari Dusun sekejolang.
Peresmian hutan lindung itu sendiri baru dilakukan pada tahun 1942.
Sejak kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, status kawasan
hutan lindung menjadi kawasan hutan Negara yang dikelola oleh Djawatan
Kehutanan sampai tahun 1965. Kawasan Hutan Gunung Pulosari dirintis sebagai
kebun raya rekreasi pada tahun 1960 oleh Mashudi (Gubernur Jawa Barat) dan Ir
Sambas Wirakusumah (Administratur Bandung Utara dan merangkap sebagai
Direktur Akademi Ilmu Kehutanan). Pada tahun 1963, sebagian kawasan hutan
lindung tersebut mulai dipersiapkan sebagai Hutan Wisata dan Kebun Raya.
Untuk tujuan tersebut, kawasan Tahura mulai ditanami dengan tanaman koleksi
pepohonan yang berasal dari berbagai daerah. Kerjasama pembangunan Kebun
Raya Hutan Rekreasi tersebut melibatkan Botanical Garden Bogor (Kebun Raya
Bogor).
Pada tanggal 23 Agustus 1965, kawasan tersebut telah diresmikan oleh
Gubernur Mashudi sebagai Kebun Raya Hutan Rekreasi Ir H Djuanda yang
dikelola oleh Dinas Kehutanan yang dulunya instansi ini bernama Djawatan
Kehutanan Provinsi Jawa Barat), pada tahun itu pula pengelolaan dari Dinas
Kehutanan diserahkan ke Perum Perhutani Jawa Barat. Pada tahun 1980, Kebun
Raya/Hutan Wisata yang merupakan bagian dari komplek Hutan Gunung Pulosari
ini ditetapkan sebagai Taman Wisata Curug Dago yang memiliki luas 590 ha dan
telah ditetapkan oleh SK. Menteri Pertanian Nomor : 575/Kpts/Um/8/1980
tanggal 6 Agustus 1980.

12
Tahun 1985, Soedjarwo selaku Menteri Kehutanan mengusulkan untuk
mengubah status Taman Wisata Curug Dago menjadi Taman Hutan Raya.Usulan
tersebut kemudian diterima Presiden Soeharto yang kemudian disahkan melalui
Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1985 tertanggal 12 Januari 1985. Peresmian
Taman Hutan Raya Ir H Djuanda dilakukan pada tanggal 14 Januari 1985 yang
bertepatan dengan hari lahirnya pahlawan nasional Ir H Djuanda. Tahura Ir H
Djuanda merupakan Taman Hutan Raya pertama di Indonesia. Untuk menjamin
suksesnya pengelolaan Tahura Ir H Djuanda, Menteri Kehutanan melalui Surat
Keputusan Nomor : 192/Kpts-II/1985 membentuk Badan Pembina Taman Hutan
Raya Ir H Djuanda yang diketuai oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam (PHPA)5. Tahun 2003 bahwa Perum Perhutani sebagai Badan
Pelaksana Pengelolaan dan Pembangunan Taman Hutan Raya Ir H Djuanda dan di
kelola sepenuhnya oleh Pemda.
Permasalahan Klaim Tanah
Konflik BP Tahura Ir H Djuanda dengan Warga Sekejolang
Sejak perubahan fungsi Kawasan Hutan menjadi Kawasan Konservasi,
Warga Dusun Sekejolang mulai merasa terancam dari segi ekonomi, sosial dan
budaya adat istiadatnya. akses menuju kawasan hutan sudah perlahan-lahan
ditutup bagi masyarakat sehingga hubungan antara BP Tahura dan warga
Sekejolang mengalami konflik. Satu-satunya akses terbuka bagi masyarakat
Sekejolang menuju Kawasan Hutan sangat berpengaruh terhadap kemampuan
untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu dari adanya hak (property right) (Peluso
et al 2003).
Hak yang dimiliki warga untuk masih tetap mengakses kawasan hutan,
dengan cara sistem pengelolaan kawasan hutan yang masih sistem tumpang sari.
Para petani yang masih melakukan kegiatan sistem tumpang sari sudah mulai
terusik dengan keberadaan monyet ekor panjang yang sengaja di lepas oleh pihak
BP Tahura yang selalu merusak perkebunan warga5. Perlakuan BP Tahura ini
yang menyebabkan salah satu konflik. Konflik yang terjadi merupakan konflik
yang bersifat tertutup (laten), adanya tekanan yang tidak dirasakan langsung dan
belum sepenuhnya berkembang (terjadi ketegangan persaingan dalam
memperebutkan SDA yang terbatas) (Boedhi 2002). Tidak terbukanya rencana
perluasan kawasan Tahura yang dilakukan oleh BP Tahura terhadap masyarakat
dan pembuatan peraturan mengenai status tanah, serta perbedaan persepsi
merupakan inti dari masalah ini6.
Aktor yang terlibat Tanah Dusun Sekejolang
Pihak-pihak yang terkait dengan masalah konflik tanah Dusun Sekejolang,
baik dari pihak masyarakat maupun Tahura dapat dilihat pada Gambar 5.

5

Wawancara bersama Bapak Roni dan Bapak Asep (pegawai pengelola Tahura Ir H
Djuanda)
6
Wawancara bersama Bapak Rohiyana (ketua RT 01 Dusun Sekejolang)

13
Desa Ciburial
KTMB

LBH

Sekejolang
L.Kuring
Tahura Ir H DJuanda

Walhi

BP Tahura

Pemda

Gambar 5 Pihak-pihak yang telibat tanah Dusun Sekejolang
Peranan para pihak baik dalam urusan atau di luar urusan masalah tanah
Dusun Sekejolang tercantum pada Tabel 6.
Tabel 6 Peran pihak-pihak yang terlibat Tanah Dusun Sekejolang
Pihak
Pemda
Lembur
Kuring
Karang
Taruna Bina
Mandiri
WALHI

LBH

BP Tahura

Peran
Pengendalian kawasan
sesuai Perda
Pertahanan
tanah
tempat tinggal
Pemberdayaan
Masyarakat
Mendukung
mempertahankan
tanah
Mendukung
mempertahankan
tanah
Mengelola
kawasan
hutan

Aktif/pasif dalam
masalah tanah Dusun
Sekejolang
Pasif

Kontribusi terhadap
Dusun Sekejolang

Aktif

Diserahkan kepada pihak
pengelola Tahura
Membentuk
kelompok
penentang pemerintah
Membantu
mempertahankan Dusun
Sekejolang
Program intevensi

Aktif

Program intervensi

Aktif

Penawaran
tanah

Aktif
Aktif

kompensasi

Sesuai Tabel 6 bahwa pihak yang berada di luar kawasan Tahura Ir H
Djuanda seperti Pemda berperan dalam penetapan Perda pengendalian kawasan
yang diserahkan sepenuhnya melalui Balai Pengelola Tahura Ir H Djuanda. Untuk
saat ini, Pemda belum terjun langsung untuk menyelesaikan masalah tanah
masyarakat yang ada berada di kawasan hutan negara.
Lembaga-lembaga KTMB (Karang Taruna Bina Mandiri), Paguyuban Cinta
Lembur Kuring, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), LBH Jabar
(Lembaga Bantuan Hukum Jawa Barat) yang terlibat langsung (aktif) dalam
mempertahankan Dusun Sekejolang. Lembur Kuring berperan membentuk
kelompok penentang pemerintah (Advokasi) yang diantaranya Lembur kuring
yang beranggotakan Masyarakat Dusun Sekejolang itu sendiri yang dibantu oleh
lembaga WALHI dan LBH Jabar. Lembaga yang berperan aktif dalam
mempertahankan Dusun Sekejolang, mengadakan program intervensi untuk
menyusun strategi agar masyarakat memiliki kekuatan/hak atas tanah tempat
tinggal mereka saat pemerintah mulai datang kembali ke dusun Sekejolang untuk

14
mengambil alih tanah mereka7. Dapat dilihat pada Gambar 6 proses FGD bersama
anggota Paguyuban Lembur Kuring (warga Dusun Sekejolang).

Gambar 6 Proses FGD dengan warga Dusun Sekejolang
Pada saat melakukan FGD, sampai saat ini persoalan Tahura dengan warga
Sekejolang belum menemui titik temu terkait pembebasan tanah enklave, pihak
Tahura mengacu pada Perda pasal 11 ayat (1) dan (2) nomor 25 Tahun 2008
menyebutkan bahwa tanah enklave yang berada di kawasan Tahura Ir H Djuanda/
kawasan pemerintah wajib di bebaskan oleh pemerintah daerah dan Pasal 33 UU
nomor 2 Tahun 2012 tentang pembebasan tanah memberikan harga
(mencakup tanah, bangunan, tanaman dan benda yang berkaitan
Rp.500.000/
dengan tanah). Sementara warga menilai harga tanah di wilayah KBU sudah
cukup tinggi, sehingga warga merasa wajar apabila menuntut dengan harga jual
sebesar Rp.1000.000/ . Apabila tanah hanya di hargai ≤ Rp.500.000/
maka
warga merasa keberatan karena sama saja pemerintah membunuh warga dusun
sedangkan tanah di luar sana harganya bisa lebih besar,dan belum tentu ketika
warga pindah ke tempat tinggal yang baru, mereka bisa lebih nyaman/sejahtera
dari ini. Di sisi lain warga sudah mulai terganggu/dirugikan dengan keberadaan
monyet-monyet ekor panjang yang merusak perkebunan warga tapi para warga
tetap bertahan karna tanah Sekejolang merupakan tanah turun temurun dari nenek
moyang warga dusun. Sehingga pihak warga mengharapkan kepada pihak
Tahura/pemerintah agar bisa lebih bijak dalam menyelesaikan persoalan ini8.
Didalam forum diskusi ini, disampaikan pula oleh beberapa warga bahwa
sebelumnya warga Sekejolang pernah berdiskusi bersama pihak warga yang di
wakili oleh lembaga Lembur Kuring, pihak WALHI JABAR dan LBH Kota
Bandung, menurut WALHI “bahwa wilayah KBU mengalami perubahan fungsi
sekitar 70 %, KBU yang luasnya mencapai 38.000 hektar yang terdiri dari hutan
produksi 15.700 hektar, hutan konservasi dan cagar alam hampir 3.000 hektar dan
hutan lindung lebih dari 7.200 hektar, Tahura Ir H Djuanda hanya seluas ±590
hektar. Adapun luas tanah areal perkebunan campuran serta hortikultura mencapai
8.000 hektar. Sementara pemukiman, penduduk, apartemen dan hotel dan lainnya
mencapai 4.000 hektar. Hutan yang rusak 70% mencapai 27.000 hektar, hutan
yang masih utuh 30% yaitu 11.000 hektar. Walhi mengajukan gagasan
moratorium ijin pembangunan di sekitar kawasan KBU. Walhi mendukung
perluasan Tahura tapi tidak mendukung penggusuran warga Sekejolang.
7
8

Hasil diskusi bersama Bapak Untung Aji (wakil ketua organisasi Lembur Kuring)
Hasil diskusi bersama Bapak Rohiyana (ketua RT 01 Dusun Sekejolang)

15
Kesepakatan penguasaan tanah yang diatur dalam undang-undang itu bisa berubah
jika para aktornya memandang persoalan dengan cara berbeda-beda. Sayangnya
Keputusan DPR no IX/2001 tentang Reforma Tanah dan Manajemen Sumber
Daya Alam yang diharapkan bisa memecahkan masalah tumpang tindihnya
hukum dan interpretasi itu tidak berhasil mendorong para aktor untuk
mewujudkan kesatuan penataan penguasaan tanah (Galudra et al 2006).
Sementara pihak LBH Kota Bandung mengemukakan bahwa pihak
Tahura/pemerintah tidak bisa begitu saja melakukan pencabutan hak tanah
masyarakat. Rakyat juga termasuk kepentingan umum, dimana Negara memiliki
kewajiban untuk melindungi terhadap hak-hak kepemilikan warga seperti hak atas
kepemilikan tanah. Hal ini sudah ditetapkan oleh ajaran HAM bahwa
penyelenggara Negara sesungguhnya memilki kewajiban untuk a) menghargai hak
asasi manusia rakyatnya; b) melindungi hak asasi manusia rakyatnya; c)
memenuhi hak asasi manusia rakyatnya (Hansen 2000:6-7). Hak atas pemukiman
adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak bisa begitu saja di cabut. Dalam
banyak kasus agraria yang terjadi adalah keberpihakan negara kepada kelompok
pemodal. Hak memiliki tanah dalam konteks hukum agraria adalah kepemilikan
secara turun temurun dan nilai sosial tanah. Dalam kasus perluasan Tahura, pihak
LBH menilai ada proses yang keliru dalam setiap tahapan kebijakan publik
dengan tidak melakukan konsultasi publik (melibatkan masyarakat)9.
Berbagai cara yang dilakukan oleh masyarakat Sekejolang untuk tetap
mempertahankan tanah mereka, seperti menggunakan organisasi masyarakat
untuk dijadikan alat pertahanan dan penguatan hak atas tanah. Cara-cara yang
digunakan oleh organisasi-organisasi setempat yaitu memperbanyak kegiatankegiatan yang sifatnya berkenaan dengan adat istiadat dan pengembangan
kesenian. Sehingga, terkesan Dusun tersebut memiliki ciri khas tersendiri sebagai
satu-satunya dusun yang masih tersisa di dalam kawasan hutan (Firman 2014).
Dapat dilihat bukti keberadaan Dusun Sekejolang adanya gerbang masuk yang
dibuat oleh para anggota Karang Taruna Mandiri pada Gambar 7.

Gambar 7 Gerbang masuk Kp.Sekejolang
Penetapan Enklave oleh Pihak Tahura
Masyarakat menilai bahwa penetapan enklave merupakan upaya untuk
melakukan pengusiran secara halus agar warga secara perlahan merasa tidak
nyaman dan selanjutnya memutuskan untuk pindah tempat tinggal10. Keputusan
9

Hasil diskusi bersama anggota Lembur Kuring
Ungkapan Bapak Lala saat FGD (warga RT 03 Dusun Sekejolang)

10

16
pelepasan tanah enklave yang dilakukan oleh pihak Tahura menurut masyarakat
dilakukan secara tidak transparan karena masyarakat tidak pernah ikut serta untuk
dialog permasalahan klaim tanah dan pihak Tahura pun tidak melakukan
sosialisasi terhadap rencana pemindah alihan fungsi tanah. Secara tiba-tiba
masyarakat baru mengetahui bahwa ada 6 rumah milik warga sudah di ukur dan
dalam proses penetapan harga untuk pelepasan hak kepemilikan tanah. Apabila ke
6 rumah tersebut sampai pindah ke tangan pihak Tahura, maka akses jalan menuju
Dusun Sekejolang akan ditutup yang otomatis perekonomian di dusun tidak akan
berjalan lagi, karena posisi ke 6 KK ini berada di awal jalan masuk menuju Dusun
Sekejolang. Maka dari itu warga yang lain sangat melarang keras warga yang
menjual tanahnya ke pihak tahura dengan harga yang belum di sepakati dengan
seluruh masyarakat Dusun Sekejolang11.
Persepsi Warga Dusun Sekejolang dan Pihak Tahura
Persepsi terhadap hutan dan kehutanan sangat dipengaruhi oleh pandangan
hidup, adat istiadat, dan kebiasaan serta ketergantungan terhadap hutan dan
kehutanan. Masyarakat mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi
terhadap hutan, baik dari hasil hutan berupa kayu untuk bahan bangunan, kayu
bakar, tanah usaha dan lain-lain (Suharjito dan Darusman 1998).
Tabel 7 Persepsi masyarakat Dusun Sekejolang
Bahasan
Kawasan Hutan/Tahura

-

Tahura

Solusi

-

Persepsi
Tempat tinggal
Sumber penghasilan
Adat istiadat
Enklave sebagai embrio perambahan
hutan
Masyarakat tetap bertahan
Ganti rugi yang layak
Adanya sosialisasi pembebasan tanah
yang transparan

Kawasan Hutan Merupakan Tempat Tinggal Warga Sekejolang
Masyarakat Dusun Sekejolang memaknai tempat mereka tinggal sebagai
lembur kuring semenjak nenek moyang mereka. Pembangunan Goa Belanda dan
Goa Jepang adalah bukti bahwa nenek moyang warga sudah ada bahkan mereka
menjadi tenaga Kerja Romusha untuk membangunnya. Orang tua salah satu tokoh
sesepuh dusun sering bercerita bahwa ada semacam wangsit atau tutur dari tetua
dusun bahwa jika suatu ketika Dusun Sekejolang akan di ambil oleh pihak lain,
maka setiap masyarakat dusun harus mempertahankan12. Pihak BP Tahura dan
warga Dusun Sekejolang, keduanya sama-sama memiliki klaim atas tanah. Pihak
warga Dusun Sekejolang memiliki bukti adanya girik yang dikeluarkan oleh
permerintah agraria pada tahun 1800-an serta adanya SPPT/PBB. Pihak Tahura Ir
H Djuanda memiliki bukti melalui SK dari pemerintah. Keberadaan Dusun
Sekejolang di kawasan hutan menyebabkan pemerintah mengeluarkan Perda pasal
11
12

Wawancara bersama Bapak Untung Aji (wakil ketua organisasi Lembur Kuring)
Pendapat Bapak Mamad saat FGD (warga Dusun Sekejolang)

17
11 ayat (1) dan (2) tentang tanah enklave. Pemerintah menyatakan bahwa tanah
enklave wajib dibebaskan untuk dijadikan blok perlindungan/koleksi tanaman.
Bagi pihak Tahura itu adalah tanah enklave, namun bagi masyarakat tetap akan
dipertahankan karena sebagai tanah warisan nenek moyang kecuali ada
kesepahaman harga yang sesuai dengan harapan warga Dusun Sekejolang.
Kawasan Hutan Sebagai Sumber Penghasilan
Keuntungan bagi para Masyarakat Dusun Sekejolang bahwa tempat untuk
mencari nafkah merupakan tanah pertanian milik sendiri (bukan tanah sewaan).
Sumber penghasilan warga Dusun Sekejolang di tentukan oleh pekerjaan di sektor
pertanian dan non pertanian. Pekerjaan di sektor pertanian sangat di pengaruhi
oleh musim. Contohnya pada saat musim tanam tiba, buruh tani banyak yang
bekerja. Pada umumnya, buruh tani bekerja dari pagi hingga sore hari, upah yang
diberikan rata-rata Rp 40.000/hari untuk laki-laki, dan Rp 20.000/hari untuk buruh
perempuan, dimana buruh perempuan hanya bekerja dalam waktu setengah hari.
Karena sifatnya di pengaruhi oleh musim, pada saat tidak terjadi musim tanam,
para buruh tani bekerja di bidang yang sifatnya off farm employment seperti kerja
serabutan, kerja bangunan, kuli bangunan. Konsekuensinya adalah di tuntut untuk
mempuyai skill yang lain selain kemampuan untuk bertani.
Selain bertani, warga umumnya memiliki kemampuan untuk menjadi tukang
bangunan, dan diberi upah rata-rata Rp 50.000 /hari. Pekerjaan bangunan banyak
dilakukan di Resort yang sedang memasuki tahapan pembangunan konstruksi,
sehingga banyak membutuhkan kuli bangunan.
Adat Istiadat
Penyebab warga tetap bertahan dengan tempat tinggalnya, yaitu kehidupan
di Dusun yang sebagian besar penduduknya beragama Islam dan umumnya masih
memegang erat adat istiadat Sunda. Warga mendiami tanah Dusun Sekejolang
melalui jalan yang telah di lalui oleh para tetua mereka. Jadi, tanah dimana warga
Sekejolang berdiri hingga saat ini, telah dihubungkan dengan jalan yang dilalui
oleh nenek moyang. Dengan demikian, tanah tersebut memiliki tradisi dan
sejarah, karena telah menjadi simbolik keberadaan komunitas lokal beserta
budayanya (Ikanubun 1971: 45). Beberapa ajaran leluhur yang masih dilakukan
dalam ritual sehari-hari, yaitu: membakar kemenyan, Jumat Kliwonan dan yang
paling utama yaitu tradisi adat ruwatan/hajat buruan. Hajat tersebut dimaksudkan
untuk menjauhkan malapetaka bagi Dusun Sekejolang dan ingin menjalin
silaturahmi antar warga. Acara adat di awali dengan berkumpulnya warga,
kemudian berlanjut ke mata air sambil membawa sesaji untuk nadran ke makam
leluhur Dusun Sekejolang, setelah itu memandikan anak kecil yang belum baligh
oleh sesepuh kampung di tempat pemandian air doa. Pemandian tersebut
bermaksud untuk menjauhkan anak-anak kecilterhadap hal-hal yang negatif.
Pada acara puncak yaitu pembagian kias/sawen yang lebih dikenal dengan
sebutan tolak bala. Sawen itu biasanya di pasang di pintu-pintu rumah tiap warga.
Sawen terbuat dari rumput palias, bawang merah, dan beberapa daun lainnya yang
diikatkan pada tusuk sate. Ujung tusuk sate tersebut ditancapkan cabe pinit (cabe
kecil). Berikut Gambar 8 sawen yang diikatkan pada tusuk sate :

18

Gambar 8 Sawen yang di pasang di rumah warga
Masih banyak warga yang menjalankan aliran kebatinan Sunda Kawitan.
Kesenian tradisional yang sampai saat ini masih dilestarikan dengan baik yaitu
kesenian calung. Calung menjadi suatu identitas/ikon dalam setiap acara di Dusun
Sekejolang, seperti untuk pernikahan, hajatan, khitanan, dll. Sedangkan untuk
kesenian tradisional lainnya contohnya keseniaan sisingaan, permainan
tradisional, jejangkungan, dll.
Enklave Merupakan Embrio Perambahan Hutan
Dalam konstruksi Tahura keberadaan masyarakat di dalam kawasan hutan
merupakan hal yang illegal. Satu satunya jalan adalah mengeluarkan masyarakat
keluar dari kawasan hutan, karena kalau di biarkan penduduk dalam enklave akan
terus berkembang dan menambah tekanan terhadap Tahura. Pandangan kehutanan
yang sentralististis menempatkan keberadaan warg