Zat Ekstraktif Kulit Kayu Mindi (Meylia azedarach Linn ) Dan Pengaruhnya Terhadap Tingkat Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura Fab) Pada Tanaman Tembakau Deli (Nicotina tobacco L)

(1)

ZAT EKSTRAKTIF KULIT KAYU MINDI (Meylia azedarach Linn) DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT MORTALITAS

ULAT GRAYAK (Spodoptera litura Fab ) PADA TANAMAN TEMBAKAU DELI (Nicotina tobacco L )

HASIL PENELITIAN

Oleh :

SUNDARI FEBRINA 031203019

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

Judul Penelitian : Zat Ekstraktif Kulit Kayu Mindi (Meylia azedarach Linn ) Dan Pengaruhnya Terhadap Tingkat Mortalitas Ulat Grayak

(Spodoptera litura Fab) Pada Tanaman Tembakau Deli (Nicotina tobacco L)

Nama : Sundari Febrina

NIM : 031203019

Program Studi : Teknologi Hasil Hutan Departemen : Kehutanan

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing :

Ketua, Anggota,

Ridwanti Batubara, S.Hut, MP Afifuddin Dalimunthe, SP, MP

NIP. 132 296 841 NIP.132 302 941

Mengetahui,

Ketua Departemen Kehutanan

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS NIP. 132 287 853


(3)

ABSTRACT

Several extract concentrations of plant Meylia azedarach sprayed ontobacco leaft seedling Spodoptera litura Fab larvae and after application the mortality they caused was 100%, but it was signifycantly different between the plants indications showed that the mortality was cause by failure during ecdysis, paralysis or feeding deficieny.

The result grained from observation using the statistical test indicated that solvent and concentration have no significant effect on larva mortality, and in phytochemical test, it indicated that Meylia azedarach contained the highest alcaloid (+) as found in mindi extract with methanol solvent.

Keywords : Meylia azedarach Linn, Spodoptera litura Fab, Nicotiana tobacco L,


(4)

ABSTRAK

Beberapa konsentrasi ekstrak tumbuhan Meylia azedarach Linn yang disemprotkan pada daun tembakau menyebabkan peningkatan mortalitas pada larva Spodoptera litura Fab dan menurunkan kerusakan daun tersebut oleh larva

Spodoptera litura L. Pada 14 hari setelah perlakuan mindi menyebabkan

mortlaitas 100%, tetapi berbeda nyata antara satu sama lain maupun antara konsentrasi yang dicoba. Terdapat indikasi bahwa mortalitas terjadi karena kegagalan sewaktu ganti kulit, lumpuh atau mati karena kurang makan.

Hasil yang diperoleh dari pengamatan yang menggunakan uji statistika diketahui bahwa pelarut dan konsntrasi tidak signifikan terhadap mortalitas larva, dan didapat pada pengujian Fitokimia didapat bahwa Meylia azedarach Linn mengandung alkoloid (+) terbanyak terdapat pada ekstrak mindi dengan menggunakan pelarut metanol.

Kata Kunci : Meylia azedarach Linn, Spodoptera litura Fab, Nicotiana tobacco L, Mortalitas, Alkoloid, Fitokimia.


(5)

RIWAYAT HIDUP

SUNDARI FEBRINA, lahir di Binjai pada tanggal 11 Februari 1985 merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Sumpeno, SH dan Syarifah Naisah, beragama Islam.

Tahun 1990 penulis memasuki Sekolah Dasar Negeri 020259 Binjai, tahun 1996 penulis memasuki Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Binjai, lulus pada tahun 1999. Tahun 1999 penulis memasuki Sekolah Menengah Umum Swasta Ahmad Yani Binjai, lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2003 penulis memasuki Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama perkuliahan penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS), penulis pernah menjadi Bendahara (HIMAS) pada tahun 2006-2007, dan menjadi anggota BKM pada tahun 2005. Penulis juga pernah menjadi asisten di laboratorium Teknologi Hasil Hutan untuk mata kuliah Mekanika Kayu pada tahun 2007. Pada tahun 2005 penulis melaksanakan Praktik Pengenalan dan Pengelolahan Hutan (P3H) di daerah Bandar Kalifah dan Tongkoh. Di akhir studi penulis mengikuti Praktik Kerja Lapangan (PKL) di HTI Toba Pulp Lestari, Tbk. sektor tele, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Tanggal 6 Juni sampai 6 Agustus 2007 dan penulis melakukan penelitian dengan judul “Zat Ekstrak Kulit Mindi (Meylia azedarach Linn) Dan Pengaruhnya Terhadap Tingkat Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura Hab) Pada Tanaman Tembakau Deli (Nicotina tobacco

L)” dibawah bimbingan Ibu Ridwanti Batubara, S.Hut, MP dan Bapak Afifuddin


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT, atas berkat, rahmat, dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan. Adapun judul penelitian penulis yaitu “Zat Ekstrak Kulit Mindi (Meylia azedarach

Linn) Dan Pengaruhnya Terhadap Tingkat Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura Fab) Pada Tanaman Tembakau Deli (Nicotina tobacco L)”.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan baik moril maupun materil, dukungan, semangat dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis dengan tulus menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada :

1. Orang tua penulis Ayahanda (Sumpeno, SH) dan Ibunda (Syarifah Naisah) atas doa yang telah diberikan, serta memberi dorongan, semangat baik moril maupun materil, dan adik-adikku (Cory Aquiningrum, Nugroho Syahputro, dan Teguh Prasetio) atas doa dan dukungannya selama ini.

2. Segenap keluarga Nek Abu Alm. H Sayed Hasan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan doa, dorongan, semangat baik moril maupun materil.

3. Ibu Ridwanti Batubara, S.Hut, MP, selaku Dosen Pembimbing Pertama dan Bapak Afifuddin Dalimunthe, SP, MP, selaku Dosen Pembimbing Kedua yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S. selaku Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.


(7)

5. Cut Nattaria dan Fitri Hayani, selaku teman satu penelitian yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Teman-teman seangkatan 2003 khususnya THH, dan lainnya teman-teman dari MNH dan BDH yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi pembaca sekalian.

Medan, Juni 2009 Penulis

Sundari Febrina NIM. 031203019


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Mindi ... 4

Kulit Kayu ... 7

Biologi Spodoptera litura ... 8

Gejala Serangan ... 10

Metode Ekstraksi dan Isolasi ... 12

Uji Fitokimia... 13

Pengendalian Hama Secara Alami ... 16

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

Bahan dan Alat Penelitian ... 19

Metode Penelitian ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Ekstraksi ... 27

Uji Fitokimia ... 28

Perkembangan Mortalitas Larva Selama 14 Hari ... 30

Uji Statistika ... 35

KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kandungan Zat Ekstraktif pada Kulit Kayu Mindi (Meylia azedarach)... 27

2. Hasil Uji Triterpenoida ... 28

4. Hasil Uji Saponin ... 28

5. Hasil Uji Flavonoida ... 29


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ulat Grayak ... 8

2. Kondisi Daun Tembakau akibat Serangan Ulat Grayak ... 11

3. Rumus Bangun Alkoloid ... 15

4.Rumus Bangun Triterpenoid ... 16

5.Serbuk Kulit Kayu Mindi ... 20

6. Proses Evaporasi ... 20

7. Pereaksi-Pereaksi yang digunakan dalam Pengujian Fitokimia ... 22

8. Perkembangan Mortalitas Ulat Dengan Pelarut Aseton ... 30

9. Perkembangan Mortalitas Ulat Dengan Pelarut Metanol ... 31

10. Perkembangan Mortalitas Ulat Dengan Pelarut Aquadest ... 32

11. Kondisi Ulat Grayak (Spodoptera litura) setelah Perlakuan ... 33


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data Pengukuran Kadar Air (Moiseture Content / MC) ... 40

2. Model Rancangan Acak Lengkap 3 X 5 dengan 3 Kali Ulangan ... 40

3. Nilai Persentase Ulat Grayak Selama 14 Hari ... 41


(12)

ABSTRACT

Several extract concentrations of plant Meylia azedarach sprayed ontobacco leaft seedling Spodoptera litura Fab larvae and after application the mortality they caused was 100%, but it was signifycantly different between the plants indications showed that the mortality was cause by failure during ecdysis, paralysis or feeding deficieny.

The result grained from observation using the statistical test indicated that solvent and concentration have no significant effect on larva mortality, and in phytochemical test, it indicated that Meylia azedarach contained the highest alcaloid (+) as found in mindi extract with methanol solvent.

Keywords : Meylia azedarach Linn, Spodoptera litura Fab, Nicotiana tobacco L,


(13)

ABSTRAK

Beberapa konsentrasi ekstrak tumbuhan Meylia azedarach Linn yang disemprotkan pada daun tembakau menyebabkan peningkatan mortalitas pada larva Spodoptera litura Fab dan menurunkan kerusakan daun tersebut oleh larva

Spodoptera litura L. Pada 14 hari setelah perlakuan mindi menyebabkan

mortlaitas 100%, tetapi berbeda nyata antara satu sama lain maupun antara konsentrasi yang dicoba. Terdapat indikasi bahwa mortalitas terjadi karena kegagalan sewaktu ganti kulit, lumpuh atau mati karena kurang makan.

Hasil yang diperoleh dari pengamatan yang menggunakan uji statistika diketahui bahwa pelarut dan konsntrasi tidak signifikan terhadap mortalitas larva, dan didapat pada pengujian Fitokimia didapat bahwa Meylia azedarach Linn mengandung alkoloid (+) terbanyak terdapat pada ekstrak mindi dengan menggunakan pelarut metanol.

Kata Kunci : Meylia azedarach Linn, Spodoptera litura Fab, Nicotiana tobacco L, Mortalitas, Alkoloid, Fitokimia.


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak krisis melanda bangsa Indonesia sekitar tahun 1997 mengakibatkan melambungnya berbagai harga kebutuhan pangan dan sandang, termasuk sarana produksi pertanian yaitu pupuk dan pestisida kimia. Harga bahan dasar dari sarana produksi ini sebagian besar masih impor sehingga disesuaikan dengan nilai dolar. Disamping itu subsidi dari sarana produksi sedikit demi sedikit dikurangi dan akhirnya tanpa subsidi sama sekali terhadap sarana produksi. Dengan adanya hal tersebut para petani, petugas dan para ahli pertanian berusaha mencari solusi untuk memecahkan masalah pupuk dan pestisida kimiawi, dengan cara kembali ke alam yaitu menggunakan bahan alami. Pupuk menggunakan pupuk alami seperti serasah dan kotoran ternak, sedangkan untuk pestisida kimiawi dapat diganti menggunakan pestisida bahan alami (Budiyono, 2005).

Selain sebagai pestisida alami kayu juga digunakan oleh manusia sebagai bahan bangunan dan sebagai bahan baku industri disebabkan karena kayu memiliki kelebihan, yaitu mudah diperoleh diseluruh dunia, mudah dibentuk dan dikerjakan, sebagai isolator arus yang baik, dan memiliki sifat dekoratif yang baik. Disamping memiliki kelebihan, kayu juga memiliki kelemahan, yaitu mudah rusak oleh faktor-faktor biologis, mekanis dan kimia (Sastrodiharjo, 1990).

Kerusakan kayu yang disebabkan oleh faktor biologis lebih tinggi dibandingkan faktor-faktor perusak lainnya. Faktor perusak terutama hama tidak menyerang kayu karena memiliki zat ekstaktif yang bersifat racun. Zat ekstraktif paling banyak terdapat pada kulit kayu. Zat ekstraktif juga memiliki peluang sebagai pestisida alami.


(15)

Menurur Novizan (2002), perkembangan teknologi pengendalian hama terkini yang sedang berkembang disebut dengan pengendalian hama terpadu (PHT). Konsep PHT disusun berdasarkan prinsip-prinsip ekologi, seperti rantai makanan. Hubungan timbal balik antara organisme perusak tanaman (OPT) dan pemangsanya, tanaman dan lingkungan fisiknya (misalnya cuaca dan tanah), serta OPT dengan lingkungan fisiknya sangat diperhatikan.

Dalam penelitian ini menggunakan kulit kayu mindi, ulat grayak dan daun tembakau deli karena tanaman mindi kurang dikenal dan belum diketahui manfaatnya terhadap pengendalian hama penyakit tanaman dan karena hama pada tembakau deli ini belum dapat dikendalikan dalam jumlah banyak dan perkembangannya yang relatif cepat menyerang tanaman khususnya tanaman tembakau deli. Maka, diharapkan dengan adanya penelitian ini akan dapat memberikan informasi tentang manfaat kulit kayu mindi terhadap pengendalian hama penyakit tanaman dan dapat memberikan nilai tambah terhadap tanaman mindi itu sendiri.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan zat ekstraktif kayu Mindi (Meylia azedarach Linn) dan pengaruhnya terhadap tingkat mortalitas ulat grayak (Spodoptera litura Fab) pada tanaman tembakau deli (Nicotine tobacco L) berdasarkan jenis pelarut dan konsentrasi yang digunakan.


(16)

Manfaat Penelitian

1. Digunakan sebagai salah satu acuan untuk pengelolaan dan pemanfaatan lain dari kayu mindi

2. Memberikan alternatif tambahan dalam penggunaan bahan pelarut atau pestisida alami

3. Menaikkan nama kayu mindi sehingga menjadi lebih dikenal dan lebih bermanfaat.

Hipotesis

1. Zat ekstraktif kulit kayu mindi berpengaruh terhadap mortalitas ulat grayak 2. Jenis pelarut dan konsentrasi berpengaruh terhadap mortalitas ulat grayak.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Mindi (Meylia azedarach Linn)

Mindi diperkirakan dari India dan Birma. Di Jawa dikenal dengan nama Geringging atau mindi, di Karo dikenal dengan nama Renceh. Jenis tumbuhan ini termasuk jenis duku-dukuan (Budiyono, 2005). Pohon mindi atau geringging (Meylia azedarach) merupakan jenis pohon cepat tumbuh dan selalu hijau di daerah tropis dan menggugurkan daun selama musim dingin, suka cahaya, agak tahan kekeringan, toleran terhadap salinitas tanah dan subur dibawah titik beku. Pada umur 10 tahun dapat mencapai tinggi bebas cabang 8 meter dan diameter sekitar 40 cm (Djamin, 1991)

Tinggi pohon mencapai 45 m, tinggi bebas cabang 8 - 20 m, diameter sampai 60 cm. Tajuk menyerupai payung, percabangan melebar, kadang menggugurkan daun. Batang silindris, tegak, tidak berbanir, kulit batang (papagan) abu-abu coklat, beralur membentuk garis-garis dan bersisik. Pada pohon yang masih muda memiliki kulit licin dan berlentisel; kayu gubal putih pucat; kayu teras coklat kemerahan. Daun majemuk ganda menyirip ganjil, anak daun bundar telur atau lonjong, pinggir helai daun bergirigi. Bunga majemuk malai, pada ketiak daun, panjang malai 10-22 cm, warna keunguan, berkelamin dua (biseksual) atau bunga jantan dan bungan betina pada pohon yang sama. Buah bulat atau jorong, tidak membuka, ukuran 2-4 cm x 1-2 cm, kulit luar tipis, licin, berkulit kering keriput kulit dalam keras, buah muda hijau, buah masak kuning, dalam satu buah umumnya terdapat 4-5 biji. Biji kecil 3,5 x 1,6 mm, lonjong, licin, warna coklat, biji kering warna hitam (Gionar, 1976).


(18)

Tanaman mindi tumbuh pada daerah dataran rendah hingga dataran tinggi, ketinggian 0 - 1200 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata per tahun 600 - 2000 mm, dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah. Tumbuh subur pada tanah berdrainase baik, tanah yang dalam, tanah liat berpasir, toleran terhadap tanah dangkal, tanah asin dan basa (Sastrodiharjo, 1990).

Kayu teras berwarna merah coklat muda semu-semu ungu, gubal berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras. Serat lurus atau agak berpadu, berat jenis rata-rata 0,53. Penyusutan dari keadaan basah sampai kering tanur 3,3% (radial) dan 4,1% (tangensial). Kayu mindi tergolong kelas kuat III-II, setara dengan mahoni, sungkai, meranti merah dan kelas awet IV-V. Pengeringan alami, pada papan tebal 2,5 cm dari kadar air 37% sampai 15% memerlukan waktu 47 hari, dengan kecenderungan pecah ujung dan melengkung. Pengeringan dalam dapur pengering dengan bagan pengeringan yang dianjurkan adalah suhu 60-80 oC dengan kelembaban nisbi 40-80% (Sastrodiharjo, 1990).

Daunnya majemuk, menyirip ganda, tumbuh berseling dengan panjang 20-80 cm. Anak daun bentuknya bulat telur sampai lanset, tepi bergerigi, ujung runcing, pangkal membulat atau tumpul, permukaan atas daun berwarna hijau tua, bagian bawah hijau muda, panjang 3-7 cm, lebar 1,5-3 cm. Bunga majemuk dalam malai yang panjangnya 10-20 cm, keluar dari ketiak daun. Daun mahkota berjumlah 5, panjangnya sekitar 1 cm, warnanya ungu pucat, dan berbau harum. Buahnya buah batu, bulat, diameter sekitar 1,5 cm. Jika masak warnanya cokelat kekuningan, dan berbiji satu. Perbanyakan dengan biji. Biji sangat beracun dan biasa digunakan untuk meracuni ikan atau serangga. Daun dan biji mindi telah


(19)

dilaporkan dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Misalnya daun yang dikeringkan di dalam buku bisa menolak serangga atau kutu (Kartasapoetra, 1987).

Mindi termasuk tanaman tahunan tergolong kedalam famili Meliaceae, berwarna hitam, baunya tidak sedap serta rasanya pahit sekali. Biji dan daun mindi mengandung senyawa glokosida flavonoid dengan aglikon quersetin yang bersifat sebagai insektisida botanis (Nandini, 1989 dalam Sastrodihardjo, 1990).

Pada umumnya bahan aktif yang terkandung pada tumbuhan mindi berfungsi sebagai antifeedan terhadap serangga dan menghambat perkembangan serangga. Penelitian secara ilmiah mengenai potensi tumbuhan Meliaceae sudah dimulai sejak tahun 1973, ketika Volkansky melakukan penelitian dengan menggunakan ekstrak tumbuhan Melia azedarach (mindi) sebagai penolak belalang (Schistocerta gregoria) (Gionar, 1990).

Menurut Fogoone dan Lauge (1981). Kematian larva oleh ekstrak daun dan biji mindi ditandai tidak sempurnanya proses ekdisis yaitu terdapat larva yang gagal melepas kutikula lamanya, terutama pada bagian kapsul kepalanya. Larva ini kemudian mati karena gerakannya terhambat.

Tanaman mindi (Meylia azedarach) ini diklasifikasikan sebagai berikut : Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae Class : Dicotyledonae Ordo : Rutales

Family : Meliaceae Genus : Azadirachta


(20)

Kulit kayu Mindi

Pada (Sutisna, 1998) kulit kayu dan kulit akar mindi mengandung toosendanin dan komponen yang larut. Selain itu, juga terdapat alkaloid azaridine

(margosina), kaempferol, resin, tanin, n-triacontane, ß-sitosterol, dan triterpene kulinone. Kulit akar kurang toksik dibanding kulit kayu. Biji mengandung resin

yang sangat beracun, 60% minyak lemak terdiri dari asam stearat, palmitat, oleat, linoleat, laurat, valerianat, butirat, dan sejumlah kecil minyak esensial sulfur. Buah mengandung sterol, katekol, asam vanilat, dan asam bakayanat. Daun mengandung alkaloid paraisina, flavonoid rutin, zat pahit, saponin, tanin, steroida, dan kaemferol.

Menurut Sastrodihardjo (1990), kandungan kimia yang terdapat dalam kulit kayu mindi antara lain Alkaloid margosina, nieldenim, nimbin, nimbinin, sendanin, okhinin, okhininal, sikloeukalenol, sendanolakton, melianodiol, minyak atsiri, dan zat samak yang dapat menghambat pertumbuhan organisme perusak tanaman. Daun dan biji mindi telah dilaporkan dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Kandungan bahan aktif mindi sama dengan nimba (Azadirachta indica) yaitu azadirachtin, selanin dan meliantriol. Namun kandungan bahan aktifnya lebih rendah dibandingkan dengan mimba sehingga efektivitasnya lebih rendah pula.

Biologi Spodoptera litura F

Ulat Spodoptera litura merupakan hama yag bersifat polifag, dengan tanaman inang antara lain kangkung, bayam, tembakau, genjer dan beberapa jenis gulma (Kalshoven, 1981). Nama umum dan yang lebih dikenal ulat ini adalah ulat


(21)

grayak atau ulat tentara. Dahulu nama ilmiahnya adalah Prodenia litura dan telah digantikan dengan nama ilmiah yang sering kita kenal yaitu Spodoptera litura. Dalam beberapa tahun belakangan ini sering dilakukan pengendalian terhadap ulat grayak Spodoptera litura.

Gambar 1. Ulat Grayak

Menurut Erwin (2000) hama ini diklasifikasikan sebagai berikut : Phylum : Atrhropoda

Klass : Insekta Ordo : Lepidoptera Family : Noctudae Genus : Spodoptera

Spesies : Spodoptera litura Fab

Telur Spodoptera litura berwarna putih merata dan berbentuk bulat dengan diameter 0,5 mm. Telur berkelompok dan seperti diselimuti kain woll (Harjono, 1996). Imago betina mampu menghasilkan telur sebanyak 2000 butir. Telur diletakkan secara berkelompok sebanyak 30-400 butir/ kelompok pada permukaan bawah daun. Telur berbentuk bulat dan berwarna merah kecoklatan. Stadium telur berlangsung 2-4 hari (Sumadi, 1997).


(22)

Telur hama Spodoptera litura diletakkan dalam kelompok yang bentuknya bermacam-macam ada yang berbentuk bulat, persegi, memanjang dan lain-lain. Seekor imago betina mampu meletakkan telur sebanyak 200-300 butir/kelompok. Telur menetas setelah 3-5 hari (Sudarmo, 1997).

Larva yang baru keluar dari telur berwarna kehijau-hijauan dengan sisi samping berwarna coklat hitam (Sudarmo, 1997). Kepala larva yang baru keluar dari telur berwarna kemerahan, tubuhnya putih transparan, tetapi ruas abdomen pertama dan kedelapan berwarna kehitaman. Larva yang keluar dari telur akan memakan epidermis daun bagian bawah sehingga daun kering (Adisarwanto, 2000).

Pada siang hari larva brsembunyi dekat permukaan atau didalam tanah dan ditempat-tempat yang lembab, lalu kering pada malam hari. Stadium larva berlangsung sekitar 13-16 hari. Larva yang lebih tua berwarna keabu-abuan, pada tiap ruas abdomennya terdapat bentuk seperti bulan sabit. Pada abdomen ruas pertama bentuk tersebut besar dan kadang-kadang bersatu. Panjang larva instar terakhir dapat mencapai 50 mm (Sumadi, 1997).

Pupa berwarna coklat kemerahan berukuran 1,8-2 cm. Pupa terbentuk di dalam tanah atau pasir dengan lama stadium 9-10 hari. Larva dewasa menjelang pupa berada di dalam tanah atau lapisan bahan organik tanah dan menuju lubang kemudian berubah menjadi pupa (Sudarmo, 1997).

Pada abdomen pupa jantan, segmen terakhir dijumpai dua titik yang agak berjauhan. Titik yang ada disebelah atas adalah calon alat kelamin jantan sedangkan titik dibawahnya calon anus. Pupa betina mempunyai dua titik yang saling berdekatan (Sudarmo, 1997).


(23)

Panjang tubuh imago betina kurang lebih 17 mm, sedangkan imago jantannya kira-kira 14 mm. Warna imago abu-abu dengan tanda bintik-bintik pada bagian sayapnya (Natawigena, 1990).

Imago dewasa adalah nocturnal. Pada siang hari tinggal di tempat-tempat yang terlindung dan umumnya diam ditempat gelap. Imago hidup sekitar 5-10 hari dan populasi terjadi segera setelah menjadi imago. Imago betina mulai meletakkan telur 2-3 hari setelah menjadi imago (Natawigena, 1990).

Gejala Serangan

Sesaat setelah telur menetas ulat hidup bergerombol disekitar kelompok telur sampai pada instar ketiga dan fase ini ulat memakan daun dengan gejala transparan. Pada instar keempat ulat mulai menyebar kebagian tanaman atau tanaman disekitarnya. Biasanya serangan ini muncul 20-30 hari setelah tanam (Subandrijo, 1992).

Ulat tua memakan habis daun muda, sedangkan daun tua bila diserang akan terpisah tulang daunnya. Tanaman muda yang terserang akan terhambat pertumbuhannya dan pada serangan yang berat menyebabkan kematian pada tanaman. Gejala serangan ulat adalah timbulnya lubang-lubang tidak beraturan dan berwarna putih pada bekas gigitan. Serangan yang parah dapat menyebabkan daun-daun tinggal tulang daunnya saja (Adisarwanto, 1999).


(24)

Gambar 2. Kondisi Daun Tembakau Akibat Serangan Ulat Grayak

Pada penelitian ini digunakan tanaman tembakau yang mana tanaman tembakau ini merupakan salah satu tanaman inang Spodoptera litura. Tanaman tembakau deli yang digunakan pada saat ini masih menjadi primadona tembakau cerutu, kegunaanya lebih diutamakan untuk pembungkus cerutu, bahkan daun tembakau deli lebih terkenal sebagai pembungkus cerutu nomor satu di dunia, sehingga tetap dibutuhkan oleh pabrik penghasil cerutu berkualitas tinggi (Erwin, 2000).

Permasalahan yang sangat dirasakan pada beberapa tahun terakhir adalah rendahnya produktivitas tembakau deli, meskipun berbagai upaya telah dilakukan, volume produksi untuk lelang masih belum tercapai sesuai dengan permintaan konsumen yang berkisar 8000-10000 bal per tahunnya. Penyebab tidak terpenuhinya kebutuhan pasar tersebut cukup kompleks, antara lain akibat serangan hama dan penyakit, disamping faktor lingkungan seperti iklim, terutama curah hujan dan faktor tanah (Erwin, 2000).

Wajar jika harga jual tembakau deli cukup tinggi, namun harga yang tinggi ini tidak ada artinya bila biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan tembakau yang berkualitas baik juga cukup mahal, diantaranya biaya untuk pengendalian


(25)

hama dan penyakit. Pemeliharaan dan perawatan tanaman tembakau yang paling penting adalah pencegahan kerusakan tanaman dari serangan hama sejak dari pembibitan sampai pada saat tanaman di lapangan, karena akibat serangan hama ini akan menjadikan daun-daun tembakau tidak utuh lagi, berlubang-lubang, pecah dan bahkan daun dapat rusak keseluruhannya (Erwin, 2000).

Metode ekstraksi dan isolasi

Idealnya, jaringan tumbuhan segar, beberapa menit setelah dikumpulkan, bahan tumbuhan itu harus dicemplungkan ke dalam alkohol mendidih. Kadang-kadang, tumbuhan yang diteliti tidak tersedia dan bahan mungkin harus disediakan oleh seorang pengumpul yang tinggal didaerah lain. Dalam hal ini, jaringan yang diambil segar harus disimpan kering didalam plastik, dan biasanya akan tetap dalam keadan baik untuk dianalisis setelah beberapa hari dalam perjalanan dengan pos udara (Harbone, 1987).

Cara lain, tumbuhan dapat dikeringkan sebelum diekstraksi. Bila ini dilakukan, pengeringan tersebut harus dilakukan dalam keadaan terawasi untuk mencegah terjadinya perubahan kimia yang terlalu banyak. Bahan harus dikeringkan secepat mungkin, tanpa menggunakan suhu tinggi, lebih baik dengan aliran udara yang baik. Setelah betul-betul kering, tumbuhan dapat disimpan untuk jangka waktu lama sebelum digunakan untuk analisis. Analisis flavonoid,

alkaloid, kuinon, dan terpenoid, telah dilakukan dengan berhasil pada herbarium

yang telah disimpan bertahun-tahun (Harbone, 1987).

Pada analisis fitokimia, identitas botani tumbuhan harus dibuktikan keaslian pada tahap tertentu dalam pemeriksaan, dan ini harus dilakukan oleh ahli


(26)

yang diakui. Begitu banyak kesalahan identitas telah terjadi pada waktu lampau sehingga penentuan identitas bahan merupakan hal yang penting bila kita melaporkan senyawa baru dari suatu tumbuhan, atau senyawa yang sudah dikenal tetapi dari sumber tumbuhan baru. Identitas bahan harus tidak dapat diragukan lagi.

Uji fitokimia Ekstraksi

Ragam ekstraksi yang tepat sudah tentu bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi. Umumnya kita perlu membunuh jaringan tumbuhan untuk mencegah terjadinya oksidasi enzim atau hidrolisis. Mencemplungkan jaringan daun segar atau bunga, bila perlu dipotong-potong, kedalam etanol mendidih adalah suatu cara yang baik untuk mencapai tujuan ini. Alkohol, adalah pelarut serba guna yang baik untuk ekstraksi pendahuluan.

Selanjutnya bahan dapat dimaserasi dalam suatu pelumat, lalu disaring. Bila mengisolasi senyawa dari jaringan hijau, keberhasilan ekstraksi dengan

alkohol berkaitan langsung dengan seberapa jauh klorofil tertarik oleh pelarut.

Bila ampas jaringan, pada ekstraksi ulang, sama sekali tak berwarna hijau lagi, dapat dianggap semua senyawa berbobot molekul rendah telah terekstraksi. Prosedur klasik untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan keringan (galih, biji kering, akar, daun) ialah dengan mengekstraksi-sinambung serbuk bahan dengan alat Soxhlet dengan menggunakan sederetan


(27)

pelarut secara berganti-ganti, mulai dengan eter, lalu eter minyak bumi, dan

klroform (untuk memisahkan lipid dan terpenoid). Flavonoid

Menurut Harbone (1987) semua flavonoid, menurut strukturnya, merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan Primula, dan semuanya mempunyai sejumlah sifat yang sama.

Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid dapat

diekstraksi dengan etanol 70 % dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia, jadi senyawa tersebut mudah terdeteksi pada kromatogram atau dalam larutan.

Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonyugasi dan karena itu

menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak,

flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida

dan aglikon flavonoid yang manapun mungkin saja terdapat dalam satu tumbuhan dalam beberapa bentuk kombinasi glikosida. Karena alasan itu maka dalam menganalisis flavonoid biasanya lebih baik bila kita memeriksa aglikon yang terdapat dalam ekstrak tumbuhan yang telah dihidrolisis sebelum memperhatikan kerumitan glikosida yang mungkin terdapat dalam ekstrak asal. Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh tetapi beberapa kelas lebih tersebar daripada yang lainnya, flavon dan flavonol terdapat semesta, sedangkan isoflavon dan biflavonol hanya terdapat pada beberapa suku tumbuhan.

Cara yang populer untuk menelaah pola flavonoid dalam jaringan tumbuhan secara rutin ialah kromatografi kertas dua arah dari ekstrak etanol pekat


(28)

dengan menggunakan asam asetat 5%. Untuk ekstraksi, serbuk kering jaringan tumbuhan dapat diekstraksi dengan sedikit etanol 70% pada suhu kamar selama 8-24 jam, dan biasanya ekstrak ini dapat ditotolkan langsung pada pekat atau kertas kromatografi.

Alkoloid

Tumbuhan yang mengandung alkoloida tersebar sangat luas, umumnya terdapat melimpah pada tumbuhan dikotil (berkeping dua), alkoloida dalam tanaman hampir selalu terdapat dalam bentuk garam-garam ialah terikat kepada asam-asam sebagai asam oksalat, asam laktat, asam asetat, asam malat, asam tartarat dan asam sitrat.

Gambar 3. Rumus Bangun Alkoloid

Alkoloida merupakan zat padat berbentuk kristal yang tak berwarna dan tidak

mudah menguap, sebagai basa bebas senyawa alkoloida sukar larut dalam air tetapi mudah larut dalam pelarut organik seperti etanol, kloroform. Dapat menimbulkan efek fisiologis pada hewan dan manusia, karena itu sering digunakan sebagai obat-obat tradisional.

Triterpenoida

Senyawa triterpenoida yang dijumpai di alam yaitu yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan maupun hewan pada dasarnya dibedakan pada bentuk kerangka dasar yang membangun senyawa tersebut yaitu dalam bentu asiklik dan siklik,


(29)

senyawa tersebut juga dibedakan pada keadaan bebas dan terikat dengan senyawa tersebut membentuk senyawa yang lebih kompleks.

Gambar 4. Rumus Bangun Triterpenoid

Senyawa triterpenoida merupakan salah satu dari golongan senyawa

triterpenoida. Didalam senyawa triterpenoida ini terdapat dalam bentuk asiklik

dan yang berbentuk siklik.

Saponin

Pembentukan busa yang baik sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau waktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanya saponin. Bila dalam tumbuhan terdapat banyak saponin, sukar untuk memekatkan ekstrak alkohol air dengan baik, walaupun digunakan penguap putar. Karena itu, uji saponin yang sederhana ialah mengocok ekstrak alkohol-air dari tumbuhan dalam tabung reaksi dan diperhatikan apakah ada terbentuk busa dengan baik, walaupun digunakan penguap putar. Karena itu, uji tumbuhan dalam tabung reaksi dan diperhatikan apakah ada terbentuk busa tahan lama pada permukaan cairan. Saponin dapat juga diperiksa dalam ekstrak kasar berdasarkan kemampuannya menghemolisis sel darah.

Pengendalian Hama Secara Alami

Rendahnya pemahaman pengelolaan hama terpadu (PHT) sebagai faktor utama penyabab belum optimalnya peran musuh alami sebagai faktor mortalitas pada tanaman. Penyemprotan insektisida hingga saat ini dianggap sebagai sebuah keharusan dan jaminan terhadap keberhasilan budidaya tanaman, tanpa


(30)

mempertimbangkan populasi serangga hama dan peran musuh alaminya. Meskipun masih dengan mempertahankan pemahaman pentingnya penyemprotan insektisida botani ekstrak kulit mindi dan daun mindi dapat menjadi solusi cara pengendalian serangga hama yang dapat mengkonservasi musuh alami, sehingga musuh alami mendapat kesempatan berperan sebagai faktor mortalitas dalam pengendalian serangga. Insektisida botani mindi efektif dalam menekan populasi hama, aman terhadap musuh alami, dan dapat dibuat dengan tehnik ekstraksi sederhana sampai dengan teknologi tinggi.

Sementara itu, telah diketahui bahwa kandungan zat ekstraktif dalam kayu merupakan penyebab utama keawetan alami kayu yang digunakan. Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Hawley dalam Scheffer dan Cawling (1966), yang telah membuktikan bahwa :

a. Ekstrak dari kayu teras lebih bersifat racun terhadap organisme pengganggu tanaman dibandingkan dengan ekstrak dari kayu gubal,

b. Keawetan alami kayu teras mengalami penurunan yang sangat cepat setelah kayu tersebut diekstraksi dengan air panas maupun dengan pelarut netral lainnya.

Menurut (Martono, 1997) usaha penggunaan bahan nabati dapat dimulai dengan bahan-bahan ramuan obat atau empon-empon, bahan-bahan yang menimbulkan rasa gatal, pahit, langu dan tidak disukai serangga serta bahan-bahan yang memiliki racun juga bahan-bahan-bahan-bahan yang pernah dicoba ternyata mampu mengendalikan hama atau penyakit. Bahan pengendali alami yang digunakan sebaiknya mudah diperoleh dan tersedia banyak, mudah disiapkan dan


(31)

diaplikasikan atau digunakan, tidak memiliki racun yang tinggi terhadap jasad-jasad yang bukan sebagai hama dan tidak membahayakan si pengguna.

Lebih dari 2400 jenis tanaman yang masuk dalam 235 familia telah dilaporkan mengandung bahan pestisida. Penggunaan pestisida bahan alam sebagai alternatif/pengganti pestisida kimiawi, tetapi bila menggunakan berbagai teknik-teknik pengendalian termasuk menggunakan pestisida bahan alami tidak dapat mengendalikan hama maka menggunakan senjata akhir yaitu pestisida kimiawi. Bahan alami dapat berperan sebagai insektisida, pemikat, rodentisida, moluskisida, penghambat pertumbuhan, penolak dan sifat lainnya.


(32)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Polimer FMIPA USU, di Areal Perkebunan Tembakau, dan untuk melakukan uji Fitokimia dilakukan di Laboratorium Kimia Bahan Organik Universitas Sumatera Utara. Waktu pelaksanaan dilaksanakan pada bulan Maret 2008 – Maret 2009.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : blender untuk menghaluskan serbuk, saringan dengan ukuran 40-60 mesh, stoples besar (diameter ± 20 cm, tinggi ± 30 cm ), stoples kecil (diameter ± 7,5 cm, tinggi ± 13 cm), batang pengaduk untuk mengaduk larutan, labu erlemeyer, labu separator, cawan petri, rotary evaporator, timbangan, oven, camera, kantungan plastik, stoples plastik dan sprayer.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk kulit mindi (Melya azedarach), ulat grayak (Spodoptera litura), daun tanaman tembakau deli (N. tobacco), pelarut aseton, metanol, aquadest, kertas saring, aluminium foil, asam asetat,asam sulfat pereaksi Liebermann-Burchard, 1 tetes HCl 2N, 5 ml etil asetat, 5 ml eter minyak tanah, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendoff dan kertas kasa.


(33)

Metode Penelitian 1. Persiapan Bahan

Kulit batang mindi yang segar dikeringkan selama 7 hari dengan suhu kamar untuk mendapatkan kering udara, kemudian dihaluskan atau ditumbuk dengan menggunakan tumbukan atau blender, selanjutnya bahan disaring dengan saringan ukuran 40-60 mesh dan dimasukkan ke dalam kantungan plastik yang berukuran besar.

Gambar 5. Serbuk Kulit Kayu Mindi

2. Ekstraksi Kulit Kayu

Gambar 6. Proses Evaporasi

Serbuk kayu mindi yang telah kering diambil sebanyak 500 gram, masing-masing diekstrak dengan pelarut aseton, metanol dan aquadest dengan metode perendaman pada suhu ruangan selama 2 hari dengan perbandingan tinggi serbuk


(34)

dan pelarut 1:3 dalam stoplest, campuran ini diaduk dengan selang waktu 2 jam dengan menggunakan spatula, hasil ekstraksi tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring, hasil saringan residu tersebut di masukkan ke dalam botol dan direndam kembali selama 2 hari. Kegiatan perendaman dan penyaringan ini diulang sebanyak 3 kali. Hasil masing-masing ekstraksi tersebut kemudian dievaporasi sampai volumenya 100 mililiter. Diambil 10 mililiter, kemudian dievaporasi sampai kering setelah itu baru dioven untuk mengetahui kadar ekstraknya.

Kadar ekstrak =

raksi ebelumekst ingserbuks

Bobot

ingekstrak Bobot

ker

ker

X 100 %

3. Pembuatan Konsentrasi Larutan untuk Penyemprotan

Tahap selanjutnya setelah melakukan ekstraksi bertahap dan diperoleh padatan ekstraktif yang dilakukan adalah pengeringan oven pada suhu 35oC adalah pembuatan konsentrasi larutan zat ekstraktif dengan menggunakan pelarut aseton, metanol dan aquadest.

Masing-masing hasil ekstraksi (aseton, metanol, dan aquadest) dibuat 5 taraf konsentrasi larutan bahan penyemprotan ekstraktif, yaitu : 0, 1, 2, 3, 4%. Penentuan konsentarsi larutan berdasarkan volume semprot.

4. Penyemprotan pada ulat grayak (S. litura) yang telah diinfeksi pada tanaman tembakau

Pada tahap penyemprotan ini sebelum dilakukan aplikasi penyemprotan ulat grayak (S. litura) sebanyak 50 ekor dan daun tembakau diletakkan pada stoples dan dibiarkan selama 1 hari, setelah 1 hari dilakukan penyemprotan


(35)

dengan larutan dan konsentrasi larutan yang berbeda berdasarkan masing-masing pelarut (aseton, metanol, dan aquadest) yang dibuat 5 taraf konsentari yaitu : 0, 1, 2, 3, 4 %.

5. Perhitungan Ulat grayak yang mati

Perhitungan ulat grayak yang mati dilakukan setiap dua hari setelah dilakukan penyemprotan, dan diamati selama 14 hari. Perhitungan nilai mortaslitas dilakukan setiap dua hari setelah penyemprotan dengan menggunakan rumus Schneider- Orelli yaitu :

Ki =

50

Mi

X 100 %

Ki = Persen kematian ulat grayak pada contoh uji Mi = Jumlah mortalitas ulat grayak pada contoh uji.

(Hennarti Purba)

6. Uji Fitokimia

Adapun prosedur pengujian fitokimia yang dilakukan adalah :

Gambar 7. Pereaksi-pereaksi yang Digunakan dalam Pengujian Fitokimia. a. Pengujian Triterpenoida

Sebelum melakukan uji triterpenoida sebaiknya kita menyiapkan larutan pereaksi Liebermann-Burchard. Sebanyak 20 bagian asam asetat anhidrat


(36)

dicampurkan dengan 1 bagian asam sulfat pekat, setelah selesai melakukan pelarutan maka kita melakukan pengujian triterpenoida yaitu :

Sebanyak 1 gr serbuk dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, kemudian disaring, lalu filtrat diuapkan dalam cawan penguap, dan pada sisanya ditambahkan 2 tetes peraksi Liebermann-Burchard (20 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat). Apabila terbentuk warna merah atau merah ungu menunjukkan adanya triterpenoida.

b. Pengujian Saponin

Sebanyak 0,5 gr serbuk dimasukkan dalam tabung reaksi kemudian tambahkan air panas 10 ml kemudian didinginkan. Kocok kuat-kuat selama 10 detik bila terdapat senyawa saponin akan terbentuk buih stabil kurang lebih 10 menit, dengan ketinggian buih 1-10 cm dan buih tidak hilang jika ditambahkan 1 tetes HCl 2N.

c. Pengujian Flavonoid

Sebanyak 0,5 gr serbuk disaring dengan 10 ml metanol, direfluks selama 10 menit, kemudian disaring, filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling. Setelah dingin ditambahkan 5 ml eter minyak tanah, dikocok hati-hati, didiamkan. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40oC. sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, kemudian disaring. Filtrat digunakan untuk uji flavonoida dengan cara :

1. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan sampai kering, sisanya dilarutkan dalam 1-2 ml etanol 95 % lalu ditambahkan 0,5 gr serbuk seng dan 2 ml asam klorida 2N. Didiamkan selama 1 menit, kemudian


(37)

ditambahkan 10 tetes asam klorida pekat, jika dalam 2-5 menit terjadi perubahan warna merah intensif menunjukan adanya flavonoida.

2. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan sampai kering, sisanya dilarutkan dalam 1 ml etanol 95 % lalu ditambah 0,1 gr magnesium dan 10 tetes asam kolorida pekat. Jika terjadi perubahan warna jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya flavonoida.

d. Pengujian Alkaloid

Serbuk ditimbang sebanyak 0,5 gr, kemudian ditambah 1 ml asam klorida 2N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut :

1. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Mayer, akan terbentuk endapan menggumpal berwarna putih / kuning.

2. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Dragendoff, akan terbentuk warna merah / jingga.

3. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam.

Alkoloida (+) jika terjadi endapan / kekeruhan paling sedikit 2 reaksi dari 3 percobaan diatas.

Analisa Data

Analisa data dilakukan untuk mengetahui perbedaan pengaruh perlakuan pelarut dan perbedaan konsentrasi dengan menggunakan statistik Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan menggunakan 2 faktor yaitu :


(38)

Faktor 1 : jenis pelarut (P) yang digunakan terdiri dari : P1 = aseton

P2 = metanol P3 = aquadest

Faktor 2 : Konsentrasi (K) bahan pelarut yang dibuat menjadi 5 taraf terdiri dari :

K1 = 0% K4 = 3%

K2 = 1% K5 = 4%

K3 = 2%

Dengan ulangan sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 45 satuan percobaan Kombinasi perlakuan yang dibuat adalah sebagai berikut :

P1K1 P1K2 P1K3 P1K4 P1K5 P2K1 P2K2 P2K3 P2K4 P2K5 P3K1 P3K2 P3K3 P3K4 P3K5

Model analisa yang digunakan dalam percobaan ini adalah :

Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + Σijk

Yijk = nilai pengamatan bahan pelarut ke-i, dengan konsentrasi ke-j, dan pada ulangan ke-k

μ = rata-rata umum

αi = pengaruh akibat jenis pelarut ke-i

βj = pengaruh akibat konsentrasi larutan ke-j

(αβ)ij = pengaruh interaksi antara jenis pelarut ke-i dengan konsentrasi ke-j

Σijk = pengaruh acak (galad) percobaan bahan pelarut ke-i dan konsentrasi larutan ke-j serta pada ulangan ke-k

i = pelarut ekstrak

j = taraf konsentrasi ekstraktif


(39)

Hipotesis yang digunakan adalah : 1. Pengaruh utama pelarut ekstrak

H0 = Pelarut ekstrak tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas ulat grayak

H1 = Pelarut ekstrak berpengaruh nyata terhadap mortalitas ulat grayak 2. Pengaruh utama taraf konsentrasi ekstrak

H0 = Taraf konsentrasi zat ekstraktif tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas ulat grayak

H1 = Taraf konsentrasi zat ekstraktif berpengaruh nyata terhadap mortalitas ulat grayak

Untuk mengetahui pengaruh faktor perlakuan terhadap mortalitas ulat grayak dilakukan analisis keragaman dengan kriteria uji jika F hitung ≤ F tabel maka H0 ditolak. Untuk mengetahui taraf perlakuan mana yang berpengruh nyata diantara faktor perlakuan (taraf konsentrasi ekstrak dan pelarut ekstrak) maka pengujian dilanjutkan dengan menggunakan uji beda Duncan.


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Zat Ekstraksi

Kandungan zat ekstraktif pada kulit kayu Mindi yang diteliti rata-rata

berkisar 3,27 %, dengan kadar air serbuk sebelum di ekstrak 23,63 %. Dapat diketahui bahwa kandungan zat ekstraktif tertinggi diperoleh dari jenis pelarut Metanol, dan yang terendah diperoleh dari jenis pelarut Aquadest. Secara lengkap kandungan zat ekstratif dari jenis kulit kayu Mindi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1. Kandungan Zat Ekstraktif pada Kulit Kayu Mindi (Meylia azedarach L )

Ekstrak Berat padatan (gram)

Persentase Padatan Ekstraktif terhadap Serbuk Kayu

(%)

Aseton Metanol Aquadest

16,15 17,7 15,23

3,23 3,54 3,04 Rata-rata 3,27

Kandungan zat ekstraktif yang dapat diekstrak dari dalam kayu tergantung dari berbagai macam faktor yaitu jenis pelarut, berat serbuk, ukuran serbuk, dan kadar air serbuk. Namun karena dalam pelaksanaan penelitian menggunakan jenis kulit kayu yang sama, berat serbuk yang sama, ukuran serbuk sama, kadar air serbuk dalam kondisi yang sama. Maka satu-satunya faktor yang membedakan adalah jenis pelarut yang digunakan.

Jenis pelarut yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai fungsi yang berbeda. Meskipun jenis pelarut yang digunakan dalam penelitian ini merupakan


(41)

jenis pelarut netral yang sering digunakan untuk memfraksi zat kimia pada tanaman, yaitu Aseton yang sering digunakan untuk mengekstraksi serbuk kayu untuk pestisida alami, begitu juga dengan Metanol, dan Aquadest.

Uji Fitokimia

Hasil pengujian fitokimia yang dilakukan dengan beberapa pengujian dengan ekstrak kulit kayu mindi (Meylia azedarach Linn) diperoleh hasil seperti pada Tabel 2, 3, 4, dan 5.

Tabel 2. Hasil Uji Triterpenoida

No. Pelarut Hasil Reaksi Indikator Senyawa Hasil Pengujian

1. Metanol Coklat kehitaman Merah atau merah

ungu

-

2. Aseton Coklat muda Merah atau merah

ungu

-

3. Aquades kuning Merah atau merah

ungu

-

Keterangan: - = tidak ada, + = ada

Hasil pengujian Uji Triterpenoida, pada ekstrak dengan pelarut Metanol, Aseton, dan Aquadest diperoleh hasil tidak adanya zat triterpenoida.

Tabel 3. Hasil Uji Saponin

No. Pelarut Hasil Reaksi Indikator Senyawa Hasil Pengujian

1. Metanol Tidak ada busa Buih/busa -

2. Aseton Ada sedikit busa Buih/busa +

3. Aquades Tidak ada busa Buih/busa -

Keterangan: - = tidak ada, + = ada sedikit ++ = ada sedang +++ = ada banyak

Hasil pengujian Uji Saponin, pada ekstrak dengan pelarut Metanol, Aseton dan Aquadest yaitu tidak ditemukannya Zat Saponin. Pada pelarut ekstrak dengan Aseton terdapat sedikit Zat Saponin.


(42)

Tabel 4. Hasil Uji Flavonoida

No. Pelarut Pereaksi Hasil Pengamatan Hasil Pengujian

1. Metanol FeCl3 (1%) Endapan biru tua -

MG-HCl (encer) Larutan coklat muda -

2. Aseton FeCl3 (1%) Larutan coklat kehijauan -

MG-HCl (encer) Larutan coklat muda -

3. Aquades FeCl3 (1%) Endapan abu-abu -

MG-HCl (encer) Endapan putih kekuningan -

Keterangan: - = tidak ada, + = ada sedikit ++ = ada sedang +++ = ada banyak

Hasil pengujian Flavonoida pada ekstrak yang menggunakan pelarut Aseton, Metanol, dan Aquadest diperoleh tidak adanya zat Flavonoida.

Tabel 5. Hasil Uji Alkaloida

No. Pelarut Pereaksi Hasil Pengamatan Hasil Pengujian

1. Metanol Bouchardart Endapan coklat +++

Meyer Endapan putih kekuningan ++

Dragendorff Endapan merah

kecoklatan

+++

2. Aseton Bouchardart Endapan coklat +++

Meyer Endapan putih kekuningan +

Dragendorff Endapan merah

kecoklatan

+++

3. Aquades Bouchardart Endapan coklat +++

Meyer Endapan putih kekuningan +

Dragendorff Endapan merah

kecoklatan

+++

Keterangan: - = tidak ada, + = ada sedikit ++ = ada sedang +++ = ada banyak

Hasil pengujian Alkoloida pada ekstrak yang menggunakan pelarut Aseton, Metanol, dan Aquadest terdapat sedikit-banyak Zat Alkoloida. Dengan dilakukannya uji identifikasi zat kimia dalam kulit kayu Mindi dapat disimpulkan bahwa zat kimia yang ditemukan dalam kulit kayu Mindi adalah zat alkoloida. Zat ini ditemukan pada setiap jenis pelarut dalam jumlah yang dominan banyak. Zat Alkoloida bersifat aktif terhadap larva, yang menghasilkan aroma yang tidak enak sehingga mengakibatkan mortalitas larva yang tinggi, disamping itu dengan


(43)

adanya zat alkoloida ini menyebabkan penurunan aktifitas konsumsi bagi larva sehingga mengakibatkan larva mati karena kelaparan, dan alkoloida ini berpengaruh pada terlambatnya larva berubah menjadi instar berikutnya yaitu berupa pupa.

Perkembangan Mortalitas Larva Selama 14 Hari

a. Perkembangan Mortalitas Larva pada Pelarut Aseton

Data yang diperoleh dari hasil pengujian dapat diketahui bahwa perkembangan kematian larva yang menggunakan ekstrak aseton terjadi pada hari kedua setelah perlakuan, kemudian dapat dilihat bahwa pada setiap hari pengamatan berikutnya mortalitas ulat grayak semakin banyak, dengan kematian larva mencapai 100% untuk konsentrasi 4% pada perlakuan selama 10 hari setelah aplikasi, sedangkan untuk konsentrasi 0%, 1%, 2%, dan 3% kematian larva terjadi pada hari ke-14. Hal ini dapat disebabkan karena semakin banyak ekstrak yang disemprotkan maka semakin besar pula perkembangan mortalitas larva. Perkembangan mortalitas larva pada pelarut aseton dapat dilihat pada Gambar 8.

Perkembangan Mortalitas Ulat Grayak pada Pelarut Aseton 0 20 40 60 80 100 120

2 4 6 8 10 12 14

Hari Aplikasi M or tal it as U lat 0 1 2 3 4


(44)

b. Perkembangan Mortalitas Larva pada Pelarut Metanol

Data yang diperoleh dari hasil pengujian dapat diketahui bahwa perkembangan kematian larva yang menggunakan ekstrak metanol terjadi pada hari ke-2 setelah perlakuan, kemudian dapat dilihat pada Gambar 9. Untuk pelarut metanol dengan konsentrasi 4% kematian larva mencapai 100% telah terjadi pada hari ke-12, sedangkan untuk konsentrasi 0%, 1%, 2%, dan 3% kematian larva terjadi pada hari ke-14. Perkembangan mortalitas larva pada pelarut metanol dapat dilihat pada Gambar 9.

Perkembangan Mortalitas Ulat Grayak pada Pelarut Metanol 0 20 40 60 80 100 120

2 4 6 8 10 12 14

Hari Aplikasi M or tal it as U lat 0% 1% 2% 3% 4%

Gambar 9. Perkembangan Mortlitas Ulat Grayak Pada Pelarut Metanol

c. Perkembangan Mortalitas Larva pada Pelarut Aquadest

Data yang diperoleh dari hasil pengujian dapat diketahui bahwa perkembangan kematian larva yang menggunakan ekstrak aquadest terjadi pada hari ke-2 setelah perlakuan, tetapi untuk konsentrasi 0% terjadi pda hari ke-4, kemudian dapat dilihat bahwa pada setiap dua hari pengamatan berikutnya mortalitas ulat grayak semakin banyak, dengan kematian larva mencapai 100% untuk konsentrasi 3% dan 4% sudah terjadi pada hari ke-12, untuk konsentrasi 2%


(45)

terjadi pada hari ke-14 kematian larva mencapai 100%, sedangkan pada konsentrasi 0% dan 1% kematian larva tidak mencapai 100% untuk pelarut aquadest. Dan perkembangan mortalitas larva pada pelarut aquadest dapat dilihat pada Gambar 10.

Perkembangan Mortalitas Ulat Grayak Pada Pelarut Aquadest 0 20 40 60 80 100 120

2 4 6 8 10 12 14

Hari aplikasi M or tal it as U lat 0% 1% 2% 3% 4%

Gambar 10. Perkembangan Mortalitas Ulat Grayak Pada Pelarut Aquadest

Berdasarkan hasil pengujian pada penelitian ini diduga bahwa jenis kulit kayu Mindi ini mengandung zat ekstraktif yang bersifat racun. Hal ini dibuktikan setelah melakukan uji fitokimia, dari hasil uji fitokimia yang dilakukan menunjukkan adanya zat alkoloid (+) yang bersifat racun terhadap serangga dan organisme lainnya.

Selanjutnya yang membuktikan hal tersebut, setelah hasil yang diperoleh dari masing-masing jenis pelarut selanjutnya diuji sifat toksisitasnya melalui pengujian terhadap tingkat mortalitas ulat grayak ( S. Litura) pada daun tembakau deli (N. tobacco).

Mortalitas larva menunjukkan bahwa mortalitas larva S. litura terjadi mulai hari ke-2 sampai hari ke-14 setelah aplikasi. Ekstrak mindi dengan pelarut


(46)

Aseton cepat memberikan efektifitas peracunan (terhadap mortalitas larva), ekstrak Mindi dengan konsentrasi yang rendah juga memberikan efek peracunan hal ini disebabkan faktor konsumsi larva, banyaknya daun yang dikonsumsi pada perlakuan, sehingga mortalitasnya lebih cepat. Hal ini juga didukung oleh penelitian (Purba, 1996) mortalitas terus mengalami kematian sampai 12 hari setelah aplikasi, dengan konsentrasi mindi yang lebih banyak menyebabkan mortalitas larva yang lebih banyak.

Jika diamati dari ketiga jenis pelarut yang digunakan, ekstrak Mindi dengan Aquadest menunjukkan tingkat mortalitas larva yang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat mortalitas ekstrak Mindi dengan Metanol dan Aseton. Jadi dapat disimpulkan bahwa ekstrak mindi dengan Metanol lebih banyak larva yang mati dan lebih cepat kematiannya, sedangkan dengan ekstrak Aseton mortalitas larva lebih rendah dibandingkan pelarut Metanol sedangkan yang terendah dengan menggunakan ekstrak Aquadest

Gambar 11. Kondisi Ulat Grayak (Spodoptera litura) setelah Perlakuan Hal ini dapat disebabkan karena kandungan senyawa Mindi yang mengandung alkoloida yang terbanyak pada ekstrak Mindi dengan Metanol. Adanya senyawa yang bersifat racun didalam ekstrak dengan aroma yang tidak enak menyebabkan larva mengurangi konsumsi makannya. Semakin banyak


(47)

konsentrasi ekstrak yang diberikan, menyebabkan mortalitas larva terus meningkat. Selain alkoloida dengan adanya senyawa aglikon quersetin didalam kulit kayu mindi yang menyebabkan aroma yang tidak enak.

Pada Aquadest dengan konsentrasi 0% didapat hasil pupa cacat sebanyak 5-6 pada hari ke-2 dan semakin meningkat dengan bertambahnya hari aplikasi sampai hari ke-12. Hal ini menyebabkan mindi dengan konsentrasi yang lebih tinggi akan menyebabkan perkembangan larva abnormal. Menurut Fagoone dan Lauge (1981) dalam Hennarti Purba (1996) senyawa Quersetin pada tanaman mindi menyebabkan tidak sempurnanya proses eksidisis atau pergantian instar sehingga larva melepas kutikulanya lama, terutama pada bagian kepala.

Gambar 12. Kondisi Ulat Grayak setelah Aplikasi dengan Pelarut Metanol

Uji Statistika

Hasil pengamatan dengan menggunakan uji statistika diperoleh bahwa dengan menggunakan 3 jenis pelarut yang berbeda yaitu aseton, metanol dan dengan menggunakan aquadest maka menghasilkan pengaruh yang tidak berbeda nyata secara signifikan, begitu juga dengan jenis konsentrasi yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perkembangan mortalitas ulat grayak.


(48)

0 50 100 150 200 250 300 % M or tal it as

0 1 2 3 4

Konsentrasi (% ) Mortalitas Ulat Grayak

As eton Metanol Aquades t

Gambar 13. Persentase Mortalitas Ulat Grayak

Kandungan senyawa Mindi yang mengandung alkoloida yang terbanyak pada ekstrak Mindi dengan Metanol. Adanya senyawa yang bersifat racun didalam ekstrak dengan aroma yang tidak enak menyebabkan larva mengurangi konsumsi makannya. Semakin banyak konsentrasi ekstrak yang diberikan, semakin tinggi mortalitas larva. Selain alkoloida, adanya senyawa aglikon

quersetin didalam kulit kayu mindi yang menyebabkan aroma yang tidak enak

(Purba, 1996).

Menurut Gionar (1990) dalam Purba (1996) bahan aktif yang terkandung pada tumbuhan Mindi berfungsi sebagai antifeedan terhadap serangga dan menghambat perkembangan serangga. Ekstrak Mindi dengan jenis pelarut Metanol, Aseton dan Aquadest merupakan insektisida yang dapat digunakan untuk menghambat perkembangan larva S. litura dan konsentrasi yang diberikan pada insektisida ini sangat mempengaruhi cepat lambatnya mortalitas larva yang terjadi.

Mortalitas larva ditandai dengan perubahan warna tubuh larva menjadi kecoklatan dan tidak adanya kemampuan larva melepas kutikulanya yang mengakibatkan terganggunya pertumbuhan larva. Jumlah larva yang mati tidak sama pada tiap perlakuan namun terlihat ukuran tubuhnya cenderung menjadi


(49)

mengecil. Kematian larva lainnya ditandai dengan gagalnya proses ganti kulit, kelaparan dan mengecilkan ukuran tubuh dan berwarna gelap pada bagian anusnya.

Larva biasanya mengalami 8-9 instar dengan lama stadia 49-51 hari (Desmier de Chenon,1982) dalam Purba (1996). Pupa terbentuk sebelum larva selesai mengalami pergantian instar. Ini bisa disebabkan karena lingkungan sekitarnya tidak mendukung bagi pergantian instar sehingga larva terpaksa mempercepat perubahan. Hasil pengamatan larva tidak berubah bentuk menjadi pupa, sehingga ukuran tubuh larva menjadi kecil, tidak sesuai dengan ukuran normalnya, terdapat warna hitam dibagian abdomennya hal ini tejadi karena larva memakan daun tembakau yang sudah disemprotkan dengan ekstrak Aseton, Metanol, dan Aquadest yang memberikan sifat peracunan pada larva tersebut.


(50)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Kandungan zat ekstraktif kulit kayu mindi pada pelarut Aseton 3,23%, pelarut Metanol 3,54%, dan pelarut Aquadest 3,04%.

2. Hasil penelitian diperoleh adanya zat Alkoloida yang bersifat racun terhadap larva (S. litura Fab).

3. Pengaruh pelarut dan interaksi tidak signifikan terhadap mortalitas larva sedangkan konsentrasi signifikan terhadap mortalitas larva pada penelitian ini.

Saran

Dalam penelitian ini yang menggunakan ekstrak dari kulit kayu mindi sudah menunjukkan hasil yang baik, perlu dilakukan penelitian lanjutan di lapangan yang menggunakan bahan yang sama yang sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku pestisida alami.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. 2000. Meningkatkan Produksi Kacang Tanah di Lahan Sawah dan Lahan Kering, Penebar Swadaya. Jakarta.

Djamin, H.A. 1985. Pengendalian Hama Secara Hayati. FP UISU Medan

Djamin, A. Dan C.U. Ginting. 1991. Sifat Biologi dan Kandungan Kimia

Azadirachta indica sebagai sumberPestisida Botanis. Buletin Manggar Pusat

Penelitian Perkebunan Bandar Kuala.

Erwin, M.S. 2000. Hama dan Penyakit Tembakau Deli. Balai Penelitian Tembakau Deli, PTPN II Persero. Medan

Faagoone, I. Dan Lauge. 1981. Effects of Azadirachtin and of a.Neem on Food Utilization by Crocidolomia binotalis Proc. 2nd Int. Neem Conf.

Ranischolzhausen

Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun cara Modern Menganalisis Tumbuhan, ITB. Bandung

Hennarti, Purba. 1996. Efikasi Ekstrak Nimba (Azadirachta indica A. Juss) Dan Mindi (Meylia azedarach Linn) Terhadap Setothosa asigna van Eeka Pada Kelapa Sawit Di Laboratorium. Fakultas Pertanian USU. Medan

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crot in Indonesia. Revised and Trannslated by P.A.Van der Laan. PT Ichtisar Baru. Jakarta

Kartasapoetra, H.G. 1987. Hama Tanaman dan Perkebunan. Bina Aksara Jakarta. Natawigena. 1990. Entomologi Pertanian, Orba Sakti, Bandung.

Novizan. 2002. Petunjuk Pemakaian Pestisida, Agro Media Pustaka. Jakarta. Sastrodihardjo. 1990. Memanfaatkan Pproduk alami dari Nimba, Mindi dan Kulit

Jambu Mete dalam Proteksi Tanaman. Kongres I HPTI, Jakarta.

Suharto Budiyono. 2005. Bahan Alami Pengendalian Hama. Bidang Bina PTPH

D.I.Yogyakart

Sudarmo, S. 1987. Pengendalian Hama dan Penyakit Tembakau. Kanisius Yogyakarta.


(52)

Sumadi, W. 1997. Pengendalian Hama Tanaman Pangan dengan Mengenali Jenis Serangga Hama, Aneka. Solo.

Sutisna, et. Al, 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan di Indonesia, Pusat Diklat pegawai dan SDM Kehutanan, Yayasan PROSEA. Bogor.


(53)

Lampiran 1. Data pengukuran Kadar Air (Moiseture Content / MC)

Ulangan Berat awal (gram)

Berat Kering Oven (gram)

MC (%) Rataan (%) 1 2 3 4 5 30,28 30,11 29,48 29,40 27,79 23,14 23,48 22,50 22,63 20,59 23,57 22,02 23,67 23,02 25,90 23,63

Lampiran 2. Model rancangan acak lengkap 3 X 5 dengan 3 kali ulangan

Pelarut (P)

Konsentrasi (K)

Ulangan

1 2 3

Aseton (P1) K0 K1 K2 K3 K4

P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4

P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4

P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4 Metanol (P2) K0

K1 K2 K3 K4

P2K0 P2K1 P2K2 P2K3 P2K4

P2K0 P2K1 P2K2 P2K3 P2K4

P2K0 P2K1 P2K2 P2K3 P2K3 Aquadest (P3) K0

K1 K2 K3 K4

P3K0 P3K1 P3K2 P3K3 P3K4

P3K0 P3K1 P3K2 P3K3 P3K4

P3K0 P3K1 P3K2 P3K3 P3K4


(54)

Lampiran 3 : Nilai Persentase Ulat Grayak Selama 14 Hari

NILAI PERSENTASE ULAT GRAYAK

JENIS PELARUT

(P) ULANGAN

KONSENTRASI

(K) TOTAL

RATA-RATA

0% 1% 2% 3% 4%

ASETON

(P1) 1 46 100 100 100 100 446 89.2

2 52 100 100 100 100 452 90.4

3 62 100 100 100 100 462 92.4

TOTAL 160 300 300 300 300 1360 272

METANOL

(P2) 1 46 100 100 100 100 446 89.2

2 52 100 100 100 100 452 90.4

3 62 100 100 100 100 462 92.4

TOTAL 160 300 300 300 300 1360 272

AQUADEST

(P3) 1 46 92 100 100 100 438 87.6

2 52 100 100 100 100 452 90.4

3 62 100 100 100 100 462 92.4

TOTAL 160 292 300 300 300 1352 270.4

TOTAL 480 892 900 900 900 4072 814.4

Analisis Sidik Ragam Mortalitas Ulat Grayak

SK JK DB KT F Hitung F

Tabel Perlakuan

K 15536.355 4 3884.089 2680.074* 2.69

P 2.844 2 1.422 0.098 3.22

KxP 11.378 8 1.422 0.098 2.27

Galad 434.666 30 14.489 Ket * Diterima (ada beda nyata)


(55)

(56)

Lampiran 4. Perkembangan Mortalitas Ulat Grayak Pada Pelarut Aseton

Konsentrasi

/ Hari 2 4 6 8 10 12 14

0% 20 44 62,67 76 88 96,67 100

1% 25,33 48,66 68,66 84,66 93,32 99,98 100

2% 25,33 51,33 71,99 87,32 93,98 99,98 100

3% 28 53,33 72,66 86,66 97,12 99,78 100

4% 32,66 55,99 74,65 87,31 99,97 112,63 0

Lampiran 5. Perkembangan Mortalitas Ulat Grayak Pada Pelarut Metanol

Konsentrasi

/ Hari 2 4 6 8 10 12 14

0% 29.33 52 72 85.33 92 97.33 100

1% 25.33 45.99 57.32 73.99 80.65 93.31 100

2% 30.66 51.32 68.65 81.98 89.31 93.31 100

3% 28.66 53.99 67.32 79.32 91.32 95.32 100

4% 28 48 64 78.66 86.66 100 0

Lampiran 6. Perkembangan Mortalitas Ulat Grayak Pada Pelarut Aquadest

Konsentrasi

/ Hari 2 4 6 8 10 12 14

0% 2.67 9.34 18.67 27.34 38.67 48 53.33

1% 34 54 65.33 75.33 83.33 87.99 97.32

2% 26.66 47.32 58.65 71.98 81.98 91.31 100

3% 30 55.33 72.66 85.99 95.32 99.98 100


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. 2000. Meningkatkan Produksi Kacang Tanah di Lahan Sawah dan Lahan Kering, Penebar Swadaya. Jakarta.

Djamin, H.A. 1985. Pengendalian Hama Secara Hayati. FP UISU Medan

Djamin, A. Dan C.U. Ginting. 1991. Sifat Biologi dan Kandungan Kimia Azadirachta indica sebagai sumberPestisida Botanis. Buletin Manggar Pusat Penelitian Perkebunan Bandar Kuala.

Erwin, M.S. 2000. Hama dan Penyakit Tembakau Deli. Balai Penelitian Tembakau Deli, PTPN II Persero. Medan

Faagoone, I. Dan Lauge. 1981. Effects of Azadirachtin and of a.Neem on Food Utilization by Crocidolomia binotalis Proc. 2nd Int. Neem Conf.

Ranischolzhausen

Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun cara Modern Menganalisis Tumbuhan, ITB. Bandung

Hennarti, Purba. 1996. Efikasi Ekstrak Nimba (Azadirachta indica A. Juss) Dan Mindi (Meylia azedarach Linn) Terhadap Setothosa asigna van Eeka Pada Kelapa Sawit Di Laboratorium. Fakultas Pertanian USU. Medan

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crot in Indonesia. Revised and Trannslated by P.A.Van der Laan. PT Ichtisar Baru. Jakarta

Kartasapoetra, H.G. 1987. Hama Tanaman dan Perkebunan. Bina Aksara Jakarta. Natawigena. 1990. Entomologi Pertanian, Orba Sakti, Bandung.

Novizan. 2002. Petunjuk Pemakaian Pestisida, Agro Media Pustaka. Jakarta. Sastrodihardjo. 1990. Memanfaatkan Pproduk alami dari Nimba, Mindi dan Kulit

Jambu Mete dalam Proteksi Tanaman. Kongres I HPTI, Jakarta.

Suharto Budiyono. 2005. Bahan Alami Pengendalian Hama. Bidang Bina PTPH

D.I.Yogyakart

Sudarmo, S. 1987. Pengendalian Hama dan Penyakit Tembakau. Kanisius Yogyakarta.


(2)

Sumadi, W. 1997. Pengendalian Hama Tanaman Pangan dengan Mengenali Jenis Serangga Hama, Aneka. Solo.

Sutisna, et. Al, 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan di Indonesia, Pusat Diklat pegawai dan SDM Kehutanan, Yayasan PROSEA. Bogor.


(3)

Lampiran 1. Data pengukuran Kadar Air (Moiseture Content / MC)

Ulangan Berat awal (gram)

Berat Kering Oven (gram)

MC (%) Rataan (%) 1 2 3 4 5 30,28 30,11 29,48 29,40 27,79 23,14 23,48 22,50 22,63 20,59 23,57 22,02 23,67 23,02 25,90 23,63

Lampiran 2. Model rancangan acak lengkap 3 X 5 dengan 3 kali ulangan

Pelarut (P)

Konsentrasi (K)

Ulangan

1 2 3

Aseton (P1) K0 K1 K2 K3 K4

P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4

P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4

P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4 Metanol (P2) K0

K1 K2 K3 K4

P2K0 P2K1 P2K2 P2K3 P2K4

P2K0 P2K1 P2K2 P2K3 P2K4

P2K0 P2K1 P2K2 P2K3 P2K3 Aquadest (P3) K0

K1 K2 K3 K4

P3K0 P3K1 P3K2 P3K3 P3K4

P3K0 P3K1 P3K2 P3K3 P3K4

P3K0 P3K1 P3K2 P3K3 P3K4


(4)

Lampiran 3 : Nilai Persentase Ulat Grayak Selama 14 Hari

NILAI PERSENTASE ULAT GRAYAK

JENIS PELARUT

(P) ULANGAN

KONSENTRASI

(K) TOTAL

RATA-RATA

0% 1% 2% 3% 4%

ASETON

(P1) 1 46 100 100 100 100 446 89.2

2 52 100 100 100 100 452 90.4

3 62 100 100 100 100 462 92.4

TOTAL 160 300 300 300 300 1360 272

METANOL

(P2) 1 46 100 100 100 100 446 89.2

2 52 100 100 100 100 452 90.4

3 62 100 100 100 100 462 92.4

TOTAL 160 300 300 300 300 1360 272

AQUADEST

(P3) 1 46 92 100 100 100 438 87.6

2 52 100 100 100 100 452 90.4

3 62 100 100 100 100 462 92.4

TOTAL 160 292 300 300 300 1352 270.4

TOTAL 480 892 900 900 900 4072 814.4

Analisis Sidik Ragam Mortalitas Ulat Grayak

SK JK DB KT F Hitung F

Tabel Perlakuan

K 15536.355 4 3884.089 2680.074* 2.69

P 2.844 2 1.422 0.098 3.22

KxP 11.378 8 1.422 0.098 2.27

Galad 434.666 30 14.489 Ket * Diterima (ada beda nyata)


(5)

(6)

Lampiran 4. Perkembangan Mortalitas Ulat Grayak Pada Pelarut Aseton Konsentrasi

/ Hari 2 4 6 8 10 12 14

0% 20 44 62,67 76 88 96,67 100

1% 25,33 48,66 68,66 84,66 93,32 99,98 100

2% 25,33 51,33 71,99 87,32 93,98 99,98 100

3% 28 53,33 72,66 86,66 97,12 99,78 100

4% 32,66 55,99 74,65 87,31 99,97 112,63 0

Lampiran 5. Perkembangan Mortalitas Ulat Grayak Pada Pelarut Metanol Konsentrasi

/ Hari 2 4 6 8 10 12 14

0% 29.33 52 72 85.33 92 97.33 100

1% 25.33 45.99 57.32 73.99 80.65 93.31 100

2% 30.66 51.32 68.65 81.98 89.31 93.31 100

3% 28.66 53.99 67.32 79.32 91.32 95.32 100

4% 28 48 64 78.66 86.66 100 0

Lampiran 6. Perkembangan Mortalitas Ulat Grayak Pada Pelarut Aquadest Konsentrasi

/ Hari 2 4 6 8 10 12 14

0% 2.67 9.34 18.67 27.34 38.67 48 53.33

1% 34 54 65.33 75.33 83.33 87.99 97.32

2% 26.66 47.32 58.65 71.98 81.98 91.31 100

3% 30 55.33 72.66 85.99 95.32 99.98 100


Dokumen yang terkait

Tanggap Pertumbuhan dan Produksi Tembakau Deli (Nicotiana tabacum L.) terhadap Pemberian Vermikompos pada Beberapa Tingkat Pemberian Air

1 39 90

Pemanfaatan Zat Ekstraktif Kulit Mindi (Melia azedarach Linn.) sebagai Bahan Pengawet Alami Untuk Mengendalikan Serangan Fungi Schizophyllum commune pada Kayu Karet (Hevea brasiliensis)

2 47 49

Pengaruh B. chitinosporus dan B. thuringiensis Terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) (Lepidoptera: Noctuidae) Pada Tanaman Tembakau Deli

3 30 77

Uji Efektivitas Granulosis Virus (Gv) Terhadap Ulat Grayak Spodoptera spp. (Lepidoptera: Noctuldae) Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) Di Lapangan

1 61 69

Pengendalian Hama dan Penyakit pada Persemaian Tanaman Tembakau Deli (Nicotiana tobaccum L.) dengan Pemanfaatan Zat Ekstraktif Daun Mindi (Melia azedarach Linn.)

1 47 77

Pemanfaatan Zat Ekstraktif Daun Mindi (Melia azedarach Linn.) Pada Pengendalian Fungi Schizophyllum commune

3 50 49

Pengaruh Biopestisida Dalam Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) Pada Tanaman Tembakau Deli (Nicotiana tabacum L.) Di Rumah Kasa

0 42 47

Uji Efektivitas Pestisida Nabati Terhadap Hama Spodoptera litura (Lepidoptera : Noctuidae) Pada Tanaman Tembakau (Nicotiana tabaccum L.)

2 34 58

Efektivitas Beauveria Bassiana (Bals.) Vuill Terhadap Spodoptera litura F (Lepidoptera: Noctuidae) Pada Tanaman Kelapa Sawit

0 47 43

Patogenisitas Beauveria Bassiana Pada Spodoptera Litura Fabricius (Lepidoptera : Noctuidae) Pada Tanaman Kelapa Sawit

2 66 42