Perbandingan Model Identifikasi Daerah Bekas Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Barat.

PERBANDINGAN MODEL IDENTIFIKASI
DAERAH BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
DI KALIMANTAN BARAT

RIA RACHMAWATI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perbandingan Model
Identifikasi Daerah Bekas Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Ria Rachmawati
NIM E44110062

ABSTRAK
RIA RACHMAWATI. Perbandingan Model Identifikasi Daerah Bekas Kebakaran
Hutan dan Lahan di Kalimantan Barat. Dibimbing oleh ERIANTO INDRA
PUTRA dan SUWARSONO.
Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang rawan
terhadap gangguan kebakaran hutan dan lahan. Alternatif yang dapat digunakan
untuk mengukur area bekas kebakaran hutan dan lahan adalah dengan
memanfaatkan citra peginderaan jauh. Salah satu jenis citra yang dapat digunakan
adalah citra MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer).
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dua model identifikasi daerah
bekas kebakaran hutan dan lahan dengan penginderaan jauh dan menganalisis
model identifikasi yang sesuai diaplikasikan di Indonesia khususnya Kalimantan
Barat dengan menggunakan citra MODIS. Model identifikasi yang dipilih
menggunakan indeks vegetasi yaitu Normalized Difference Vegetation Index

(NDVI) dan indeks kebakaran yaitu Normalized Burn Ratio (NBR). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kedua model memiliki kemampuan yang baik
dalam mendeteksi area bekas kebakaran. Namun model NBR memiliki nilai
akurasi yang lebih tinggi yaitu sebesar 66.02% dibandingkan dengan nilai akurasi
pada NDVI sebesar 64.02%. Dengan demikian model identifikasi area bekas
kebakaran yang paling sesuai diaplikasikan untuk daerah Kalimantan Barat
dengan menggunakan citra MODIS adalah model identifikasi NBR.
Kata kunci: Area terbakar, citra MODIS, NBR

ABSTRACT
RIA RACHMAWATI. Comparison of Identification Models on Burned Area in
West Kalimantan. Supervised by ERIANTO INDRA PUTRA and
SUWARSONO.
West Kalimantan is one of the provinces in Indonesia which is vulnerable to
forest and land fires. One of alternative method that could be used to determine
the burned area is by using remote sensing images, e.g. MODIS (Moderate
Resolution Imaging Spectroradiometer) images. This research aimed to compare
two identification model of burned area of the forest and land fires by remote
sensing and to analyze the appropriate model used to be applied in Indonesia
specifically in West Kalimantan using MODIS images. This research analyze the

use of identification model by using vegetation index of Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI) and by using fire index of Normalized Burn Ratio
(NBR). The result shows that both of the models provide good capability to detect
burned area. However, NBR model has higher accuracy of 66.02% compared to
NDVI of 64.02%. Therefore, the most appropriate identification model to be used
at West Kalimantan by using MODIS image is the NBR model.
Keywords: Burned area, MODIS images, NBR

PERBANDINGAN MODEL IDENTIFIKASI
DAERAH BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
DI KALIMANTAN BARAT

RIA RACHMAWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur


DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu
wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan
Februari, April, Mei dan Juni 2015 ini ialah kebakaran hutan, dengan judul
Perbandingan Model Identifikasi Daerah Bekas Kebakaran Hutan dan Lahan di
Kalimantan Barat.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Erianto Indra Putra, SHut
MSi selaku pembimbing I dan Bapak Suwarsono, SSi MSi selaku pembimbing II.
Penghargaan penulis sampaikan kepada Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN) Deputi Penginderaan Jauh, serta lembaga NASA yang telah
membantu selama pengumpulan dan pengolahan data. Ungkapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Ayahanda Wadih, Ibunda Mariam, Kakak Robby
Kurniawan dan Adik Rizka Afriani, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan

kasih sayangnya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kakak Mirzha
Hanifah yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian, kepada Uni
Anissa Dwiyani, teman-teman Silvikultur 48 yang telah memberikan dukungan
dan semangat, serta para sahabat yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Ria Rachmawati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN


vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE


2

Waktu dan Tempat

2

Alat dan Bahan

2

Prosedur Penelitian

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Barat


7

Intensitas dan Pola Distribusi Titik Panas (Hotspot)

8

Model Identifikasi Area Bekas Kebakaran Hutan dan Lahan dengan
Penginderaan Jauh

9

Akurasi Model Identifikasi Area Bekas Kebakaran Hutan dan Lahan

12

SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan


16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

18

RIWAYAT HIDUP

19

DAFTAR TABEL

1 Rata-rata dan standar deviasi NDVI dan NBR pada saat sebelum
kebakaran (pre fire), setelah kebakaran (post fire) dan nilai perubahan
2 D-Value NDVI dan NBR pada lokasi area bekas kebakaran
3 Nilai ambang batas (threshold) deteksi area bekas kebakaran hutan
menggunakan variabel NDVI dan NBR
4 Tingkat akurasi model dalam mengidentifikasi area bekas kebakaran

11
12
13
16

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

5


6
7
8

Skema alur pengumpulan dan pengolahan data penelitian
Peta administrasi Provinsi Kalimantan Barat
Grafik intensitas hotspot bulanan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2014
Perekaman citra MODIS untuk sebagian daerah Kalimantan Barat
periode sebelum kebakaran pada tanggal 4 Februari 2014 dengan
menggunakan ER Mapper
Perekaman citra MODIS untuk sebagian daerah Kalimantan Barat
periode setelah kebakaran pada tanggal 9 April 2014 dengan
menggunakan ER Mapper
Grafik perubahan nilai rata-rata untuk model NDVI dan NBR
Hasil overlay akurasi model NDVI dari citra MODIS dan citra Landsat
8 dengan menggunakan Arc Map GIS 10
Hasil overlay akurasi model NBR dari citra MODIS dan citra Landsat 8
dengan menggunakan Arc Map GIS 10

6
7
9

10

10
12
14
15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Rata-rata NDVI dan NBR pada sampel area bekas kebakaran dari citra
MODIS pada saat sebelum kebakaran, setelah kebakaran dan nilai
perubahan

18

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan di Indonesia termasuk ke dalam hutan hujan tropis yang memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi. Namun, dalam kenyataannya keberadaan
hutan di Indonesia keadaannya semakin terancam karena beberapa gangguan,
seperti ilegal logging, perambahan, kebakaran hutan dan lahan serta masih banyak
lagi gangguan lainnya. Salah satu gangguan hutan yang kian mengancam adalah
kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu
gangguan hutan yang dapat menimbulkan kerugian dalam bidang ekonomi,
ekologi dan sosial baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut
Syaufina (2008) kebakaran hutan dan lahan umumnya disebabkan oleh kegiatan
manusia baik disengaja maupun karena kelalaian, seperti kegiatan pembakaran
hutan untuk pembukaan lahan. Selain itu, terjadinya kebakaran hutan dan lahan
tidak hanya disebabkan oleh perbuatan manusia melainkan ada faktor lain yang
mempengaruhinya seperti cuaca atau iklim yang sangat kering.
Beberapa wilayah Indonesia sangat rentan terhadap gangguan kebakaran
hutan dan lahan. Kalimantan merupakan wilayah di Indonesia yang rawan
terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan. Menurut Kementerian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia (2014) terdapat delapan provinsi di Indonesia yang
rawan terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan, salah satunya adalah Provinsi
Kalimantan Barat. Memperhatikan ancaman bencana kebakaran hutan dan lahan
dengan dampak-dampak cukup besar yang diakibatkan, maka diperlukan
penyediaan informasi daerah yang telah mengalami kebakaran hutan dan lahan
(area bekas kebakaran) untuk penanganan dan rehabilitasi lahan pasca kebakaran.
Pengukuran area bekas kebakaran dapat dilakukan secara langsung maupun
tidak langsung. Pengukuran area bekas kebakaran secara langsung di lapangan
memerlukan waktu yang lama terlebih jika area bekas kebakaran memiliki luas
dan wilayah yang sulit dijangkau, serta membutuhkan biaya yang relatif mahal.
Alternatif yang dapat digunakan dalam pengukuran area bekas kebakaran adalah
dengan pengukuran secara tidak langsung yang dilakukan dengan memanfaatkan
sistem penginderaan jauh, yaitu analisis data berbasis citra. Jenis citra yang
biasanya digunakan dalam sistem penginderaan jauh adalah citra Landsat-8,
SPOT-5, Ikonos, MODIS, Quickbird dan lain-lain. Salah satu jenis citra yang
sering digunakan untuk analisis terkait adalah citra MODIS (Moderate Resolution
Imaging Spectroradiometer) karena memiliki tingkat saturasi yang lebih tinggi
serta memiliki resolusi spasial dan radiometrik yang lebih baik (Cochrane 2003).
Model identifikasi yang dapat digunakan diantaranya adalah model identifikasi
area bekas kebakaran berbasis pada perubahan nilai reflektansi seperti indeks
vegetasi atau Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dan indeks
kebakaran atau Normalized Burn Ratio (NBR) (Suwarsono et al. 2013). Model
identifikasi tersebut pada awalnya dikembangkan di luar wilayah Indonesia
berdasarkan karakteristik kebakaran hutan dan lahan yang diduga berbeda dengan
karakteristik kebakaran hutan dan lahan di wilayah Indonesia sehingga akan
berpengaruh pada tingkat akurasi yang dihasilkan. Oleh karena itu, perlu adanya

2
pengembangan model identifikasi tersebut di wilayah Indonesia agar
mendapatkan tingkat akurasi yang lebih baik (Suwarsono et al. 2013).
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi area bekas kebakaran hutan
dan lahan di wilayah Indonesia khususnya Kalimantan Barat. Hasil penelitian ini
diharapkan mampu memberikan informasi area bekas kebakaran hutan dan lahan
melalui pemanfaatan penginderaan jauh sebagai acuan penanganan pasca
kebakaran hutan dan lahan bagi pemerintah setempat.
Tujuan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dua model
identifikasi area bekas kebakaran hutan dan lahan, dan menganalisis model
identifikasi area terbakar yang sesuai diaplikasikan di wilayah Indonesia
khususnya Kalimantan Barat dengan menggunakan citra MODIS.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai area
bekas kebakaraan hutan dan lahan melalui konsep penginderaan jauh sehingga
dapat dijadikan sebagai acuan penanganan pasca kebakaran.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Pengembangan, Pemanfaatan dan
Teknologi Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN), Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari, April, Mei,
dan Juni 2015.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer
dengan beberapa program seperti Ms Excel untuk pengolahan tabulasi data dan
grafik, Arc Map GIS 10 untuk pengolahan format Sistem Informasi Geografis, dan
seperangkat alat yang disediakan dari LAPAN (ER Mapper) untuk pengolahan
data citra MODIS, citra Landsat-8, dan analisis statistik untuk model identifikasi
NDVI dan NBR. Bahan yang digunakan berupa data sebaran titik panas (hotspot)
di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2014 yang diperoleh dari NASA MODIS
hotspot dataset ((http://earthdata.nasa.gov), data citra MODIS reflektansi kanal 1
hingga 7 yang bersumber dari LAPAN, dan data citra Landsat 8 yang bersumber
dari LAPAN.

3
Prosedur Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu pengumpulan data dan pengolahan
data. Adapun uraian lengkap tahapan prosedur penelitian adalah sebagai berikut.
Pengumpulan Data
Tahapan pengumpulan data yang pertama meliputi pengunduhan data
sebaran titik panas (hotspot) wilayah Kalimantan Barat tahun 2014 yang
bersumber dari NASA. Data hotspot digunakan sebagai acuan awal dalam
mendeteksi adanya titik api sebagai indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan.
Data hotspot tersebut digunakan pula untuk menentukan periode sebelum
kebakaran, puncak kebakaran, dan periode setelah kebakaran di Kalimantan Barat
tahun 2014. Tahapan kedua adalah pengumpulan data citra MODIS daerah
Kalimantan Barat periode 2014. Data modis yang digunakan adalah data
reflektansi kanal 1 hingga 7, dengan resolusi spasial 250 meter untuk kanal 1 dan
2, dan resolusi spasial 500 meter untuk kanal 3 hingga 7. Tahapan ketiga adalah
pengumpulan data citra Landsat 8 (21 Maret 2014) yang digunakan untuk
membuat area bekas kebakaran (burned area) referensi sebagai acuan untuk
menguji tingkat akurasi informasi area bekas kebakaran. Data citra MODIS dan
citra Landsat 8 bersumber dari LAPAN.
Pengolahan Data
Penentuan periode kebakaran. Pengolahan data dimulai dari pengolahan
data hotspot bulanan tahun 2014. Intensitas hotspot dapat mengindikasi adanya
kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat selama tahun
2014. Berdasarkan pola intensitas hotspot bulanan dapat diketahui periode
sebelum kebakaran, puncak kebakaran, dan periode setelah kebakaran. Informasi
ini dapat digunakan untuk menentukan rentang waktu dari citra MODIS yang
dipilih untuk identifikasi area bekas kebakaran.
Ekstraksi variabel indeks dari citra MODIS. Variabel indeks yang
diekstraksi dari citra MODIS adalah variabel indeks vegetasi atau dan indeks
kebakaran. Indeks vegetasi yang dipilih adalah Normalized Difference Vegetation
Index (NDVI), sedangkan indeks kebakaran yang dipilih adalah Normalized Burn
Ratio (NBR). Data ini digunakan untuk mengidentfikasi area bekas kebakaran.
Menurut Nunohiro et al. (2007) terdapat korelasi yang tinggi antara kanal 2
dengan jumlah klorofil dan aktifitas vegetasi. Kanal 7 menunjukkan sifat
reflektansi dan radiasi objek. Terkait dengan kebakaran hutan, nilai kanal 2 akan
menurun dengan menurunnya jumlah klorofil dan nilai kanal 7 akan meningkat
dengan meningkatnya suhu sehingga berdasarkan sifat kedua kanal tersebut dapat
diturunkan model deteksi kebakaran hutan. Untuk menghitung nilai NDVI
diadopsi dari metode Huete et al. (1999) dan untuk menghitung nilai NBR
diadopsi dari metode Key and Benson (2002). Persamaan kedua variabel tersebut
sebagai berikut:

4
NDVI = B2 – B1
B2 + B1
Keterangan:
NDVI : Normalized Difference Vegetation Index
B1
: Reflektansi kanal 1 MODIS
B2
: Reflektansi kanal 2 MODIS
NBR = B2 - B7
B2 + B7
Keterangan:
NBR : Normalized Burn Ratio
B2
: Reflektansi kanal 2 MODIS
B1
: Reflektansi kanal 7 MODIS
Pembuatan data training sample. Pembuatan data training sample
dilakukan untuk menduga daerah bekas kebakaran hutan dan lahan berdasarkan
hasil pengamatan secara visual dari citra MODIS. Data ini digunakan sebagai
acuan dasar dalam menentukan model identifikasi area bekas kebakaran yang
paling baik.
Perhitungan tingkat kemampuan model dalam mengidentifikasi area
bekas kebakaran. Perhitungan tingkat kemampuan model berbasis nilai indeks
dalam penentuan area bekas kebakaran dilakukan dengan menghitung nilai
Normalized Distance (D). Nilai D diperoleh dari perhitungan nilai selisih antara
rata-rata nilai sampel setelah dan sebelum kebakaran dibagi dengan jumlah
standar deviasi keduanya. Nilai D > 1 menunjukkan bahwa model memiliki
kemampuan yang baik dalam membedakan area bekas kebakaran dan bukan area
bekas kebakaran, sedangkan jika D < 1 maka model tersebut mempunyai
kemampuan yang rendah. Perhitungan D juga dapat digunakan sebagai alat
verifikasi model. Untuk menghitung D digunakan persamaan sebagai berikut
(Kaufman and Remer 1994):
D = µ2 - µ1
σ2 + σ1
Keterangan:
D : Normalized Distance
µ1 : Rata-rata nilai sampel sebelum kebakaran
µ2 : Rata-rata nilai sampel setelah kebakaran
σ1 : Standar deviasi nilai sampel sebelum kebakaran
σ2 : Standar deviasi nilai sampel setelah kebakaran
Penentuan ambang batas (Thresholds) area bekas kebakaran. Nilai
ambang batas sangat menentukan tingkat akurasi informasi area bekas kebakaran
yang dihasilkan. Perhitungan nilai ambang batas dilakukan dengan rumus rata-rata
(µ) dan standar deviasi (σ) masing-masing nilai indeks yang diperoleh dari citra
MODIS untuk seluruh area bekas kebakaran referensi. Thresholds yang digunakan
untuk menentukan area bekas kebakaran menggunakan rumus µ + 2σ dan µ - 2σ.

5
Pembuatan area bekas terbakar (burned area) referensi dari Citra
Landsat 8. Untuk mengetahui besaran tingkat akurasi area bekas kebakaran yang
dihasilkan oleh citra MODIS maka diperlukan data area terbakar pembanding.
Area terbakar pembanding dibuat berdasarkan interpretasi visual dengan
menggunakan citra resolusi lebih tinggi yaitu menggunakan citra Landsat 8.
Identifikasi area bekas kebakaran dari citra MODIS. Area bekas
kebakaran diidentifikasi dari citra MODIS dengan menggunakan dua model
berdasarkan nilai ambang batas yang telah diperoleh. Model identifikasi area
bekas kebakaran yang dilakukan meliputi model perubahan NDVI dan NBR.
Burned area berdasarkan model ∆NDVI, diidentifikasi dengan menggunakan
persamaan:
BA (∆NDVI) = ∆NDVI > t (∆NDVI)
NDVI2 < t (NDVI2)
∆NDVI = NDVI2 – NDVI1
Keterangan:
BA (∆NDVI) : Burned area berdasarkan perubahan NDVI
t (∆NDVI) : Nilai ambang batas burned area berdasarkan ∆NDVI
NDVI1
: NDVI sebelum kebakaran
NDVI2
: NDVI setelah kebakaran
Burned area berdasarkan model ∆NBR, diidentifikasi dengan menggunakan
persamaan:
BA (∆NBR) = ∆NBR > t (∆NBR)
NBR2 < t (NBR2)
∆NBR = NBR2 – NBR1
Keterangan:
BA (∆NBR ) : Burned area berdasarkan perubahan NBR
t (∆NBR) : Nilai ambang batas burned area berdasarkan ∆NBR
NBR1
: NBR sebelum kebakaran
NBR2
: NBR setelah kebakaran
Perhitungan tingkat akurasi hasil identifikasi area bekas kebakaran
dari citra MODIS. Tingkat akurasi area bekas kebakaran yang dihasilkan adalah
dengan membandingkan antara area bekas kebakaran dari citra MODIS dengan
area bekas terbakar referensi. Tingkat akurasi area bekas kebakaran dapat
diketahui dengan menghitung Individual Classification Success Index (ICSI) yaitu
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Koukoulas and Blackburn
2001):
ICSI = 1- Error of Omm% + Error of Comm%
Keterangan:
ICSI : Individual Classification Success Index
Omm : Ommision; area bekas kebakaran yang masuk ke kelas lain
Comm : Commision; area bekas kebakaran tambahan dari kelas lain

6
Pengunduhan data hotspot Provinsi
Kalimantan Barat tahun 2014 di
http://earthdata.nasa.gov

Pola persebaran hotspot
secara temporal (bulanan)

Pola sebaran hotspot
secara spasial

Analisis periode
pucak kebakaran

Citra MODIS
periode sebelum
kebakaran hutan

NDVI pre

Citra MODIS
periode setelah
kebakaran hutan

NBR pre

NDVI post

NBR post

Identifikasi area terbakar
(burned area)
Citra
Landsat 8

Burned area
referensi

overlay

Uji Akurasi

Model identifikasi
burned area yang sesuai

Selesai

Gambar 1 Skema alur pengumpulan dan pengolahan data penelitian

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Barat
Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat Pulau Kalimantan atau
diantara garis 2°08 LU dan 3°05 LS serta diantara 108°0 BT dan 114°10 BT pada
peta bumi. Berdasarkan letak geografis ini, maka daerah Kalimantan Barat tepat
dilalui oleh garis Khatulistiwa (garis lintang 0°) tepatnya di Kota Pontianak.
Provinsi Kalimantan Barat adalah salah satu daerah tropik dengan suhu udara
cukup tinggi serta diiringi kelembaban yang tinggi (Pemerintah Provinsi
Kalimantan Barat 2014). Batas-batas wilayah daerah Provinsi kalimantan Barat
adalah sebelah utara berbatasan dengan Serawak (Malaysia), sebelah selatan
berbatasan dengan Laut Jawa dan Kalimantan Tengah, sebelah timur berbatasan
dengan Kalimantan Timur dan sebelah Barat berbatasan dengan Laut Natuna dan
Selat Karimata (Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat 2014).
Sebagian besar wilayah Kalimantan Barat merupakan daratan berdataran
rendah dengan luas sekitar 146 807 km2. Wilayah ini membentang lurus dari
Utara ke Selatan sepanjang lebih dari 600 km dan sekitar 850 km dari Barat ke
Timur. Wilayah daratan diapit oleh dua pegunungan yaitu, Pegunungan
Kalingkang di bagian Utara dan Pegunungan Schwaner di Selatan sepanjang
berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah. Sebagian besar tutupan lahan di
Kalimantan Barat adalah hutan (42.32%) dan semak belukar (34.11%). Adapun
areal hutan terluas terletak di Kabupaten Kapuas Hulu (1 964 491 ha), sedangkan
semak belukar terluas berada di Kabupaten Ketapang (1 374 145 ha) (Pemerintah
Provinsi Kalimantan Barat 2014).

Gambar 2 Peta administrasi Provinsi Kalimantan Barat
(Sumber: Diolah dengan Arc Map GIS 10)

8
Intensitas dan Pola Distribusi Titik Panas (Hotspot)
Kebakaran hutan dan lahan dapat dipantau melalui pengamatan titik panas
melalui pemanfaatan penginderaan jauh yang diturunkan dari data berbasis citra.
Istilah titik panas (hotspot) lebih tepat digunakan dibandingkan dengan istilah titik
api (Thoha 2008). Menurut Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.12/menhutII/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan, Pasal 1 angka 9 bahwa hotspot
adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki
suhu relatif lebih tinggi dibandingkan suhu di sekitarnya. Data hotspot dapat
digunakan sebagai indikator kejadian kebakaran hutan dan lahan, namun perlu
adanya peninjauan kembali mengenai akurasinya (Hanifah 2014).
Sumber data hotspot dapat diperoleh dari beberapa lembaga diantaranya
NASA (The National Aeronaytics and Space Administration), LAPAN (Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, dan beberapa sumber lainnya. Sumber data hotspot yang memiliki
akurasi baik salah satunya adalah dari sensor satelit MODIS (Moderate Resolution
Imaging Spectroradiometer) yang diperoleh dari NASA (The National
Aeronaytics and Space Administration) (Suwarsono et al. 2013).
Citra MODIS merupakan hasil dari perekam berupa citra (imagery) oleh
sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) dari satelit
Terra/Aqua yang dioperasionalkan oleh NASA. Sensor MODIS mendeteksi suatu
objek di permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan suhu disekitarnya. Orbit Terra melintasi garis equator pada pagi hari dari
arah utara ke selatan, sementara orbit Aqua melintasi garis equator pada sore hari
dari selatan ke utara. MODIS Terra dan Aqua mengamati seluruh permukaan
bumi setiap 2 hari dan mendapatkan data dalam 36 band spektral. Citra MODIS
memiliki kelebihan yaitu lebih banyaknya spektral panjang gelombang, ketelitian
cakupan lahan yang lebih, dan lebih kerapnya frekuensi pengamatan (NASA
2014). Sensor MODIS memiliki ambang batas 320K pada siang hari dan 315K
pada malam hari. Hotspot MODIS terdeteksi pada ukuran 1 km x 1 km sehingga
setiap kebakaran yang terdeteksi diwakili oleh 1 km piksel (Chrisnawati 2008).
Sensor satelit citra MODIS memiliki aplikasi yang luas diantaranya aplikasi darat
(land), aplikasi laut (ocean) dan aplikasi atmosfer (atmosphere).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah hotspot di Provinsi
Kalimantan Barat pada tahun 2014 adalah 6 132 titik. Jumlah hotspot mengalami
dua periode puncak yaitu pada bulan Februari dan bulan Juli. Gambar 3
menunjukkan intensitas temporal titik panas di Kalimantan Barat sepanjang tahun
2014. Peningkatan titik panas terjadi mulai bulan Januari hingga mencapai
puncaknya pada bulan Februari dengan jumlah hotspot sebanyak 1 313 titik, lalu
terjadi penurunan mulai bulan Maret hingga bulan Mei. Peningkatan terjadi
kembali pada bulan Juni hingga mencapai puncaknya pada bulan Juli dengan
jumlah hotspot sebanyak 2 475 titik. Berdasarkan data sebaran temporal titik
panas (hotspot) tahun 2014, periode perekaman citra MODIS yang dipilih untuk
periode sebelum kebakaran yaitu bulan Januari, sedangkan periode setelah
kebakaran yaitu bulan April yang cukup mewakili untuk wilayah Kalimantan
Barat.

9

Gambar 3 Grafik intensitas hotspot bulanan Provinsi Kalimantan Barat tahun
2014
Model Identifikasi Area Bekas Kebakaran Hutan dan Lahan dengan
Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh yaitu penggunaan sensor radiasi elektromagnetik untuk
merekam gambar lingkungan bumi yang dapat diinterpretasikan sehingga
menghasilkan informasi yang berguna. Metode penginderaan jauh merupakan
pengukuran dan pengambilan data spasial berdasarkan perekaman sensor pada
perangkat kamera udara, scanner, atau radar. Prinsip perekaman oleh sensor
dalam pengambilan data melalui metode penginderaan jauh dilakukan
berdasarkan perbedaan daya reflektansi energi elektromagnetik masing-masing
objek di permukaan bumi. Daya reflektansi yang berbeda-beda oleh sensor akan
direkam dan didefinisikan sebagai objek yang berbeda dan dipresentasikan dalam
sebuah citra. Teknologi penginderaan jauh telah berkembang pesat beberapa saat
ini. Kelebihan teknologi penginderaan jauh adalah menyediakan fasilitas
pengidentifikasian pengukuran, dan penganalisisan karakteristik objek tanpa
melakukan kontak langsung dengan objek tersebut. Teknologi penginderaan jauh
telah diterapkan secara luas dan telah diakui sebagai alat yang ampuh dan efektif
dalam mendeteksi penggunaan lahan dan perubahan penutupan lahan (Parsa
2014).
Karakteristik suatu citra dalam penginderaan jauh adalah adanya rentang
panjang gelombang. Suatu citra memiliki resolusi yang berbeda pada setiap
panjang gelombang yang dimilikinya. Menurut Jaya (2002), resolusi citra
penginderaan jauh dibagi atas empat kategori diantaranya, resolusi spasial,
resolusi spektral, resolusi radiometrik dan resolusi temporal. Resolusi spasial
merupakan ukuran terkecil dari suatu bentuk permukaan bumi yang bisa
dibedakan dengan bentuk permukaan di sekitarnya, atau sesuatu yang ukurannya
bisa ditentukan. Resolusi spektral merupakan dimensi dan jumlah daerah panjang

10
gelombang yang sensitif terhadap sensor. Resolusi radiometrik merupakan ukuran
sensitif sensor untuk membedakan aliran radiasi yang dipantulkan oleh permukaan
bumi, sedangkan resolusi temporal merupakan frekuensi suatu sistem merekam
suatu areal yang sama.
Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dapat diaplikasikan untuk
mengidentifikasi daerah bekas kebakaran hutan dan lahan. Pada penelitian ini,
identifikasi daerah bekas kebakaran hutan dan lahan menggunakan dua model
identifikasi yaitu model identifikasi Normalized Difference Vegetation Index
(NDVI) dan model identifikasi Normalized Burn Ratio (NBR). Model identifikasi
tersebut diterapakan pada citra MODIS dengan nilai reflektansi kanal 1 hingga 7.
Mencermati data citra MODIS yang memiliki karakteristik baik, maka dapat
diketahui bahwa data dari citra MODIS dapat digunakan untuk mengetahui
daerah-daerah yang telah mengalami kebakaran hutan dan lahan. (Suwarsono
2012).

Gambar 4 Perekaman citra MODIS untuk sebagian daerah Kalimantan Barat periode
sebelum kebakaran pada tanggal 4 Februari 2014 dengan menggunakan ER Mapper

Gambar 5 Perekaman citra MODIS untuk sebagian daerah Kalimantan Barat periode
setelah kebakaran pada tanggal 9 April 2014 dengan menggunakan ER Mapper

11
Dalam pengaplikasiannya, NDVI menggunakan reflektansi kanal 1 dan 2,
sedangkan NBR menggunakan reflektansi kanal 2 dan 7. Data citra MODIS yang
digunakan adalah data dari bulan Januari hingga April 2014 dengan
mengkombinasikan tanggal sebelum kebakaran dan setelah kebakaran. Tanggal
terbaik yang diambil sebagai sampel adalah tanggal 4 Februari 2014 sebagai
perekaman periode sebelum kebakaran dan 9 April 2014 sebagai perekaman
periode setelah kebakaran.
Peristiwa kebakaran hutan dan lahan akan berdampak pada peningkatan
nilai reflektansi spektrum panjang gelombang tampak, dari spektrum warna biru,
hijau hingga ke merah (MODIS kanal 1, 3 dan 4). Peningkatan juga terjadi pada
spektrum panjang gelombang infamerah pendek (MODIS kanal 6 dan 7). Selain
itu kejadian kebakaran hutan dan lahan berakibat pada penurunan nilai reflektansi
spektrum panjang gelombang infamerah dekat (MODIS kanal 2 dan 5). Nilai
NDVI dan NBR juga mengalami penurunan akibat kejadian kebakaran hutan dan
lahan (Suwarsono et al. 2013). Berdasarkan perhitungan nilai NDVI dan NBR
dapat diketahui nilai rata-rata dan nilai standar deviasi periode sebelum kebakaran
(pre fire), periode setelah kebakaran (post fire), dan nilai perubahan. Hasil
tersebut tertera pada Tabel 1.
Tabel 1

Rata-rata dan standar deviasi NDVI dan NBR pada saat sebelum
kebakaran (pre fire), setelah kebakaran (post fire) dan nilai perubahan
Variabel
Nilai
Pre fire
Post fire
Perubahan
NDVI
Mean
0.671
0.507
-0.164
SD
0.015
0.042
0.027
NBR
Mean
0.653
0.234
-0.418
SD
0.023
0.065
0.043

Tabel 1 memperlihatkan bahwa nilai variabel NDVI mengalami penurunan
nilai sebesar 0.164, sedangkan untuk variabel NBR mengalami penurunan sebesar
0.418. Kondisi ini terjadi karena kejadian kebakaran hutan dan lahan
mengakibatkan hilangnya sebagian atau keseluruhan vegetasi yang tumbuh di
permukaan lahan. Pada saat sebelum terjadi kebakaran hutan dan lahan, nilai
NDVI dan NBR relatif tinggi, namun setelah adanya kejadian kebakaran hutan
dan lahan dalam rentan waktu yang relatif singkat terjadi perubahan pada lahan
menajdi lahan terbuka yang menyisakan bekas-bekas kebakaran seperti arang atau
abu.

12

Gambar 6 Grafik perubahan nilai rata-rata untuk model NDVI dan NBR
Akurasi Model Identifikasi Area Bekas Kebakaran Hutan dan Lahan
Tingkat kemampuan model NDVI dan NBR dalam mengidentifikasi area
bekas kebakaran
Untuk mengetahui tingkat kemampuan suatu variabel sebagai indikator
dalam mendeteksi area bekas kebakaran, digunakan pendekatan nilai Distance (Dvalue) (Kaufman dan Remer 1994). Nilai D > 1 menunjukan bahwa variabel
tersebut memiliki kemampuan yang baik dalam mendeteksi area bekas kebakaran,
sebaliknya jika D < 1 menunjukkan bahwa variabel tersebut memiliki kemampuan
yang kurang baik dalam mendeteksi area bekas kebakaran (Suwarsono 2012).
Hasil perhitungan nilai D dari 24 lokasi sampel area bekas kebakaran,
menunjukkan bahwa variabel dari NDVI dan NBR bernilai baik karena
memberikan nilai lebih dari 1. Namun demikian, NBR memiliki kemampuan yang
relatif lebih tinggi dibandingkan NDVI karena memiliki D-Value yang lebih
tinggi. D-Value dari masing-masing variabel dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 D-Value NDVI dan NBR pada lokasi area bekas kebakaran
Variabel
D-Value
NDVI
3.19
NBR
8.23
Hasil dari Tabel 2 menunjukkan bahwa variabel NBR memiliki nilai D
sebesar 8.23 dan variabel NDVI memiliki nilai D sebesar 3.19. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa kedua variabel, baik NDVI maupun NBR memiliki
kemampuan yang baik dalam mendeteksi area bekas kebakaran.
Nilai ambang batas (threshold) NDVI dan NBR dari citra MODIS untuk
mendeteksi area bekas kebakaran
Pada pembahasan sebelumnya, telah dibahas bahwa model identifikasi NBR
memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mendeteksi area bekas kebakaran,
meskipun NDVI juga mampu mendeteksi area bekas kebakaran dalam tingkatan

13
yang lebih rendah. Perhitungan nilai ambang batas (threshold) dilakukan dengan
menghitung nilai rata-rata (µ) dan nilai standar deviasi (σ) masing-masing
variabel. Threshold yang digunakan untuk menentukan area bekas kebakaran
dalam penelitian ini adalah µ + 2σ dan µ - 2σ.
Hasil perhitungan terhadap 24 sampel area bekas kebakaran, menghasilkan
nilai ambang batas (threshold) untuk pendeteksian area bekas kebakaran dengan
menggunakan variabel NDVI dan NBR. Nilai ambang batas (threshold) dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3

Nilai ambang batas (threshold) deteksi area bekas kebakaran
menggunakan variabel NDVI dan NBR
Variabel
Post fire
Perubahan
NDVI
0.590
-0.110
NBR
0.365
-0.333

Tingkat akurasi model identifikasi area bekas kebakaran hutan dan lahan
Nilai akurasi area bekas kebakaran untuk model NDVI dan NBR didapatkan
dari nilai ambang batas yang digunakan sebagai persyaratan. Persayaratan tersebut
tertera dibawah ini:
Persyaratan untuk model identifikasi NDVI:
Syarat 1 NDVI : NDVI2 = 0.590
Syarat 2 NDVI : ∆NDVI = -0.110
Dimana, NDVI2 = Nilai NDVI setelah kebakaran
∆NDVI = Perubahan nilai NDVI sebelum dan setelah kebakaran
Persyaratan untuk model identifikasi NBR:
Syarat 1 NBR : NBR2 = 0.365
Syarat 2 NBR : ∆NBR = -0.333
Dimana, NBR2 = Nilai NBR setelah kebakaran
∆NBR = Perubahan nilai NBR sebelum dan setelah kebakaran

14

Gambar 7 Hasil overlay akurasi model NDVI dari citra MODIS dan citra Landsat
8 dengan menggunakan Arc Map GIS 10
Keterangan:
: Burned area NDVI dari citra MODIS

: Burned area NDVI dari citra Landsat 8

15

Gambar 8 Hasil overlay akurasi model NBR dari citra MODIS dan citra Landsat
8 dengan menggunakan Arc Map GIS 10
Keterangan:
: Burned area NBR dari citra MODIS

: Burned area NBR dari citra Landsat 8

Hasil perhitungan tingkat akurasi pada kedua model dalam mengidentifikasi
area bekas kebakaran menunjukkan bahwa model NBR memiliki tingkat akurasi
lebih tinggi dibandingkan model NDVI. Nilai akurasi NBR sebesar 66.02%,
sedangkan nilai akurasi NDVI sebesar 64.02%. Hasil tersebut dapat terlihat pada
Tabel 4. Berdasarkan hasil perhitungan, dapat diketahui bahwa model identifikasi
area bekas kebakaran yang paling sesuai diaplikasikan untuk daerah Kalimantan
Barat dengan menggunakan citra MODIS adalah model identifikasi NBR.

16
Tabel 4 Tingkat akurasi model dalam mengidentifikasi area bekas kebakaran
Model
NDVI
NBR

Komisi (ha)
228.968
83.187

Terkoreksi (ha)
951.453
884.884

Omisi (ha)
305.686
372.254

Jumlah (ha)
1486.11
1340.33

Akurasi (%)
64.02
66.02

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, model NDVI dan NBR pada dasarnya
memiliki kemampuan yang baik dalam mendeteksi area bekas kebakaran hutan
dan lahan di Provinsi kalimantan Barat. Namun, model NBR lebih memberikan
nilai D yang tinggi (8.23) dibandingkan model NDVI (3.19), selain itu model
NBR memberikan nilai akurasi sebesar 66.02% dan model NDVI memberikan
nilai akurasi 64.02%, sehingga model identifikasi area bekas kebakaran yang
paling sesuai diaplikasikan di Provinsi Kalimantan Barat dengan menggunakan
citra MODIS adalah model NBR.
Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait dengan model identifikasi area
bekas kebakaran dengan menggunakan citra MODIS di berbagai daerah di
wilayah Indonesia sebagai informasi mengenai area kebakaran hutan dan lahan
sehingga dapat mempermudah dalam penanganan pasca kebakaran hutan dan
lahan.

DAFTAR PUSTAKA
Chrisnawati G. 2008. Analisa sebaran titik panas dan suhu permukaan daratan
sebagai penduga terjadinya kebakaran hutan menggunakan sensor satelit
NOAA/AVHRR dan EOS Aqua-Terra /MODIS. [skripsi]. Depok (ID):
Universitas Indonesia.
Cochrane MA. 2003. Fire science for rainforest. Nature. 421: 913-919.
Hanifah M. 2014. Analisis hubungan curah hujan dengan distribusi dan
kemunculan titik panas (hotspot) untuk deteksi dini di Provinsi Kalimantan
Timur. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Huete A, Justice C, Leeuwen VW. 1999. Modis vegetation index (MOD 13)
Algorithm Theorical Basis Document. Virginia (US): University of Virginia,
Departemen of Environmental Science, Charlottesville.
Jaya INS. 2002. Penginderaan Jauh Satelit untuk Kehutanan. Bogor (ID): Insitut
Pertanian Bogor.

17
Kaufman YJ, Remer LA. 1994. Detection of forests fire using mid-IR reflectance:
an application for aerosol studies. IEEE Transactions on Geoscience and
Remote Sensing, 32.672-683.
[KLH RI] Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2014. Lokakarya
pencegahan kebakaran hutan dan lahan menuju masyarakat peduli api
[Internet].
[diunduh
2015
Jun
01].
Tersedia
pada:
http://www.menlh.go.id/lokakarya-pencegahan-kebakaran-hutan-dan-lahanmenuju-masyarakat-peduli-api-mpa/.
Koukoulas S, Blackburn GA. 2001. Intoducing New Indices for Accuracy
Evaluation of Classified Images Representing Semi-Natural Woodland
Environments. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing, 67(4),
499-510.
Nunohiro E, Katayama K, K J Mackin, dan J G Park. 2007. Forest and field fire
search system using MODIS data. Journal of Advanced Computational
Intelligence and Intelligent Informatics. 11(8): 1043 – 1048.
Parsa IM. 2014. Studi komparasi beberapa teknik analisis citra Landsat
multiwaktu untuk pemetaan lahan sawah (studi kasus TanggamusLampung). Jakarta (ID): Prosiding Seminar nasional penginderaan jauh
2014.
[Pemprov Kalbar] Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. 2014. Sekilas
Kalimantan Barat [Internet]. [diunduh 2015 Juni 3]. Tersedia pada:
http://www.kalbarprov.go.id/profil.php?id=9.
Suwarsono. 2012. Daerah bekas kebakaran hutan dan lahan (burned area) di
Kalimantan. [Tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Suwarsono, Rokhmatuloh, Waryono T. 2013. Pengembangan model identifikasi
daerah bekas kebakaran hutan dan lahan (burned area) menggunakan citra
MODIS di Kalimantan. J Penginderaan Jauh. 10(2): 93-112.
Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia; Perilaku,
Penyebab, dan Dampak Kebakaran. Malang (ID): Bayumedia Publishing.
Thoha AS. 2008. Penggunaaan data hotspot untuk monitoring kebakaran hutan
dan lahan di Indonesia. [karya tulis]. Medan (ID): Departemen Kehutanan,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

18

LAMPIRAN
Lampiran 1 Rata-rata NDVI dan NBR pada sampel area bekas kebakaran dari
citra MODIS pada saat sebelum kebakaran, setelah kebakaran dan
nilai perubahan
No. Sampel
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Pre fire
NDVI
NBR
0.743
0.692
0.731
0.610
0.704
0.719
0.773
0.721
0.620
0.604
0.756
0.725
0.578
0.646
0.475
0.495
0.736
0.721
0.574
0.588
0.749
0.700
0.678
0.564
0.745
0.754
0.623
0.659
0.545
0.580
0.665
0.733
0.733
0.606
0.721
0.761
0.739
0.640
0.508
0.659
0.636
0.650
0.683
0.544
0.677
0.600
0.708
0.695

Post fire
NDVI
NBR
0.516
0.191
0.437
0.233
0.633
0.605
0.441
0.457
0.548
0.335
0.633
0.605
0.437
0.023
0.305
0.080
0.470
0.278
0.396
0.265
0.628
0.327
0.461
0.028
0.618
0.323
0.674
0.366
0.535
0.195
0.622
0.331
0.481
0.172
0.412
0.100
0.392
0.146
0.518
0.182
0.490
0.011
0.462
0.049
0.509
0.143
0.551
0.180

Perubahan
∆NDVI ∆NDVI
-0.227
-0.501
-0.294
-0.377
-0.071
-0.115
-0.332
-0.264
-0.072
-0.269
-0.123
-0.120
-0.140
-0.623
-0.170
-0.415
-0.266
-0.443
-0.178
-0.323
-0.121
-0.373
-0.217
-0.536
-0.127
-0.431
0.051
-0.293
-0.010
-0.385
-0.043
-0.402
-0.252
-0.434
-0.308
-0.661
-0.347
-0.493
0.009
-0.476
-0.146
-0.640
-0.221
-0.495
-0.168
-0.457
-0.157
-0.515

19

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 21 Januari 1993 sebagai anak
kedua dari pasangan Wadih dan Mariam. Penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bekasi
pada tahun 2011, dan pada tahun tersebut penulis dinyatakan diterima di
Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB melalui jalur Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri Undangan (SNMPTN Undangan).
Selama studi di IPB, penulis sempat menjadi asisten praktikum untuk
mata kuliah Silvika tahun 2013 dan mata kuliah Silvikultur tahun 2014. Penulis
aktif dalam kegiatan lembaga kemahasiswaan Fakultas Kehutanan IPB, seperti
Himpunan Profesi Departemen Silvikultur Tree Grower Community (TGC)
sebagai sekretaris divisi Communication and Information pada periode 2012/2013
dan sekretaris divisi Human Resources Development pada priode 2013/2014.
Tahun 2013 penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan di
Pangandaran dan Gunung Sawal, Jawa Barat. Tahun 2014 penulis melaksanakan
Praktik Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan KPH Cianjur.
Tahun 2015 penulis melaksanakan Praktik Kerja Profesi di PT Timah (Persero)
Tbk, Kepulauan Belitung.
Penulisan karya ilmiah untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan berupa
skripsi yang berjudul Perbandingan Model Identifikasi Daerah Bekas Kebakaran
Hutan dan Lahan di Kalimantan Barat, penulis dibimbing langsung oleh Dr
Erianto Indra Putra, SHut Msi dan Suwarsono, SSi MSi.