Risiko Kebakaran Hutan Dan Lahan Berdasarkan Kajian Proyeksi Iklim Di Kalimantan Barat

RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN
KAJIAN PROYEKSI IKLIM DI KALIMANTAN BARAT

SYAMSU DWI JADMIKO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Risiko Kebakaran Hutan
dan Lahan berdasarkan Kajian Proyeksi Iklim di Kalimantan Barat” adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Agustus 2016
Syamsu Dwi Jadmiko
NRP G251120011

RINGKASAN
SYAMSU DWI JADMIKO. Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan berdasarkan
Kajian Proyeksi Iklim di Kalimantan Barat. Dibimbing oleh DANIEL
MURDIYARSO dan AKHMAD FAQIH
Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu bencana yang berulang
hampir setiap tahun di Sumatra dan Kalimantan. Salah satu kejadian terbesar adalah
pada tahun 1997/98 dimana kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir di seluruh
Sumatra dan Kalimantan termasuk Kalimantan Barat. Dampak yang dihadapi
akibat kebakaran hutan dan lahan terutama adalah masalah asap yang tidak hanya
mengganggu kesehatan, tetapi juga mengganggu aktivitas perekonomian
masyarakat. Kebakaran hutan dan lahan juga menyebabkan degradasi lahan dan
fungsinya. Tingginya dampak kebakaran hutan dan lahan tentunya memerlukan
tindakan untuk meminimalkan kejadian kebakaran.
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji risiko kebakaran hutan dan lahan di
Propinsi Kalimantan Barat menggunakan analisis iklim ekstrim dan analisis

kerentanan. Dalam analisis iklim ektrim, informasi data iklim hitoris dan proyeksi
diperoleh melalui dynamical downscaling menggunakan model iklim regional
RegCM4.4. Data curah hujan luaran model RegCM.4.4 untuk Kalimantan Barat
secara umum menunjukkan nilai lebih tinggi (overestimate). Oleh karena itu
diperlukan proses koreksi bias data luaran model RegCM.4.4 sebelum digunakan
dalam analisis iklim ekstrim. Proses koreksi dilakukan melalui dua tahap yaitu (1)
koreksi bias data curah hujan CHIRPS menggunakan data curah hujan observasi
dan (2) koreksi bias data luaran model RegCM4.4 menggunakan data curah hujan
CHIRPS yang sudah dikoreksi. Analisis kerentanan dilakukan dengan metode
analisis pemetaan komposit (composite mapping analysis) yang menghubungkan
hotspot dengan 11 (sebelas) indikator penentu kerentanan. Indikator mewakili
komponen tingkat keparahan dan sensitivitas, sedangkan komponen kemampuan
adaptif dianggap konstan.
Hasil analisis koreksi bias tahap pertama menunjukkan bahwa data curah
hujan CHIRPS memiliki kemiripan dengan data curah hujan observasi. Nilai faktor
koreksi untuk data curah hujan CHIRPS berkisar antara 0.82 – 1.26. Pada analisis
koreksi tahap kedua, dari simulasi koreksi bias pertama kami mendapati bahwa
koreksi bias menggunakan regresi linier yang digunakan untuk seluruh bulan tidak
memperbaiki distribusi spasial dan pola hujan. Begitu pula pada simulasi kedua
yang menggunakan regresi linier tetapi untuk setiap bulan tidak mampu

memperbaiki pola hujan spasial. Namun demikian, dengan menggunakan regresi
polynomial seperti pada simulasi ketiga dan keempat, koreksi bias menunjukkan
hasil yang lebih baik terutama dengan regresi polinomial orde 3. Lebih dari itu,
regresi polinomial orde 3 yang dikombinasikan dengan nilai intersep yang
dikembalikan pada titik (0,0) seperti pada simulasi kelima memberikan hasil yang
terbaik sehingga digunakan untuk melakukan analisis iklim dan kekeringan lahan.
Kekeringan lahan di Kalimantan Barat pada periode historis (periode tahun
1981-2005) secara umum memiliki hubungan dengan kondisi anomali hujan. Akan
tetapi kekeringan dengan intensitas kuat terjadi pada tahun El-Nino. Pada periode
proyeksi (periode tahun 2016-2040), kondisi kekeringan diproyeksikan akan terjadi
sebanyak (7) tujuh kali yaitu periode tahun 2017/2018, periode tahun 2021/2022,

periode tahun 2023/2024, periode tahun 2026/2027, periode tahun 2029/2030,
periode tahun 2033/2034 dan periode tahun 2037/2038. Periode kekeringan
diproyeksikan akan berulang setiap 2 hingga 5 tahun sekali. Periode ulang tersebut
berkaitan dengan kejadian El-Nino yang juga memiliki periode ulang 2 hingga 5
tahun.
Dari hasil analisis hujan ekstrim kering dapat diketahui bahwa tingkat curah
hujan ekstrim kering berada pada wilayah selatan dan sepanjang wilayah pantai
barat Kalimantan Barat. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh curah hujan tahunan di

Kalimantan Barat yang berkisar antara 1753 – 4861 mm. Curah hujan rendah terjadi
pada di wilayah bagian selatan dan wilayah pantai barat Propinsi Kalimantan Barat,
sedangkan curah hujan tinggi umumnya berada pada wilayah bagian timur yang
memiliki tutupan lahan hutan primer. Kondisi topografi dan tutupan lahan
mempengaruhi curah hujan. Wilayah dataran rendah yang berbatasan dengan pantai
memiliki curah hujan lebih rendah dibandingkan daratan diluar pantai. Di lain sisi,
adanya vegetasi di wilayah hutan primer mengakibatkan siklus hidrologi terjadi
pada wilayah hutan primer lebih intensif.
Pemodelan kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat
menunjukkan bahwa indikator penggunaan lahan memberikan pengaruh sebesar
24.09% dalam menentukan tingkat kerentanan. Dilihat secara keseluruhan, faktor
biofisik (ketebalan gambut, tutupan lahan dan sistem lahan) memberikan pengaruh
sebesar 49.85% dibandingkan faktor aktivitas manusia (jarak dari jalan, jarak dari
sungai dan jarak dari pusat desa/kota) sebesar 16.0% dan faktor sosial ekonomi
(Kepadatan penduduk, PDRB, luas HTI, luas HGU dan luas HPH) sebesar 34.15%.
Hasil analisis model kerentanan menunjukkan bahwa wilayah dengan tingkat
kerentanan kebakaran hutan dan lahan sangat tinggi terjadi pada tutupan lahan
berupa perkebunan dan hutan rawa sekunder. Kerentanan sangat tinggi juga terjadi
pada lahan gambut dengan ketebalan 50 – 200 cm.
Hasil analisis risiko kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat

menunjukkan bahwa pola sebaran tingkat risiko sama dengan pola sebaran tingkat
kerentanan. Wilayah yang sangat berisiko terjadi kebakaran hutan dan lahan
utamanya berada pada wilayah perkebunan dan lahan gambut yang telah dikeloka.
Pada wilayah hutan primer di bagian timur Kalimantan Barat tidak berisiko
terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan. Akan tetapi, apabila akses menuju
suatu lokasi dapat mudah dijangkau oleh masyarakat, tidak menutup kemungkinan
wilayah yang berisiko kebakaran hutan dan lahan semakin luas.
Melihat kondisi diatas menunjukkan bahwa lokasi kebakaran hutan dan lahan
berada pada lokasi yang hampir sama dalam 15 tahun terakhir. Kondisi ini
setidaknya dapat diketahui dari sebaran hotspot pada tahun 2002, 2006 dan 2009 di
Kalimantan Barat. Lokasi yang dimaksud adalah lahan perkebunan, rawa sekunder
dan lahan gambut di wilayah selatan dan sepanjang pantai barat Kalimantan Barat.
Pembukaan lahan untuk kebutuhan perkebunan dan pertanian disinyalir
mempengaruhi kondisi kebakaran hutan dan lahan. Oleh karena itu, di masa
mendatang perlu adanya pengelolaan lahan yang lebih baik oleh berbagai pihak
sehingga kebakaran hutan dan lahan dapat diminimalkan.
Kata kunci: dynamical downscaling, koreksi bias, curah hujan ekstrim kering,
pemodelan kerentanan, tingkat risiko kebakaran

SUMMARY

SYAMSU DWI JADMIKO. Forest and Land Fire Risk based on Climate Projection
Analysis in West Kalimantan. Supervised by DANIEL MURDIYARSO and
AKHMAD FAQIH
Forest and land fires have become the annual phenomena regarding disaster
in Indonesia, especially in Sumatra and Kalimantan. The biggest forest and land
fires in 1997/98 occurred nearly in the entire islands of Sumatra and Kalimantan,
including West Kalimantan Province. The main impact posed by forest and land
fires is the haze which not only impacting on human health, but also interfere with
the social-economic activities. Forest and land fire also led to land degradation and
the forest function. Understanding the level of risk of land and forest fires would
minimize the incidence of land and forest fires.
The objective of this research is to analysis of the risk of forest and land fires
in West Kalimantan Province by using extreme climate and vulnerability analysis.
The extreme climate analysis, historical climate data information and projections
are obtained through dynamical downscaling using regional climate model
RegCM4.4. Rainfall data output of RegCM.4.4 models for West Kalimantan are
generally overestimated. Bias correction process was performed before the output
of RegCM.4.4 models used in the analysis of extreme climates. Bias correction
process was done by two step: (1) bias correction for CHIRPS data by using
observation data and (2) bias correction for RegCM4.4 outputs by using corrected

CHIRPS data. Vulnerability analysis was conducted by using a composite mapping
analysis connecting the hotspot with eleven indicators of vulnerability. Indicators
represent the severity and sensitivity components, while the adaptive capability is
considered as constant.
The results of the first bias correction indicated that the CHIRPS rainfall data
has similarities with the observation data. The value of the correction factor for the
CHIRPS data ranged between 0.82 and 1.26. In the second bias correction analysis,
the first simulation of bias correction we found that the refractive correction using
linear regression were used for the all month (January to December) did not
improve the spatial distribution and rainfall patterns. Similarly, in the second
simulation which uses linear regression but for every month was not able to improve
spatial rainfall patterns. However, by using polynomial regression as the third and
forth simulation showed better results were performed especially third order
polynomial. Moreover, when the third order of polynomial regression was
combined with the value of intercept at the orogin (0.0) as fifth simulation, it gave
the best bias correction and therefore, can be further used for climate and drought
analysis.
Drought in West Kalimantan on the historical period generally had a
relationship with rainfall anomalies. However drought with strong intensity
occurred in the El-Nino years. In the projection period, the drought conditions are

projected to occur seven times for the period of 2016-2040, namely the period of
2017/2018, 2021/2022, 2023/2024, 2026/2027, 2029/2030, 2033/2034 and
2037/2038. Periods of drought were projected to be repeated in every 2 to 5 years.
This return period related to El-Nino events which had 2 to 5 years of return period.

The results of extreme dry rainfall can be seen that the very high level of the
extreme dry rainfall located in the south and along the west coast of West
Kalimantan. The condition was influenced by environmental factors such as
topography and land use. The condition is associated with annual rainfall in West
Kalimantan which ranges between 1753-4861 mm. Low rainfall occurred in the
southern region and the western coast of West Kalimantan province, while high
rainfall generally located in the eastern part of West Kalimantan which has
relatively good forest cover. A topography and land cover affect rainfall. Lowland
area bordering the beach resulted in air masses that bring moist air will flow into
the land area behind the beach. On the other hand, the vegetation in the area of
primary forest resulted in the hydrological cycle occurs in this areas.
Modelling of the vulnerability of land and forest fires in West Kalimantan
showed that the land use impact 24% in the vulnerability level. Based on all
indicators, biophysical factors (as deep of the peat, land cover and land systems)
provides 49.85% compared to the effect of human activity factor (the distance from

the road, distance from the river and the distance from the center of the village /
town) of 16% and a socio-economic factor (population density, the GDP, HTI,
HGU and HPH) amounted to 34 %. The results of the vulnerability model analysis
show that plantations areas and secondary swamp forests are highlu vulnerable,
particularly on peat depth betwen 50 to 200 cm.
The result of the risk analysis of forest and fires in West Kalimantan shows
that vulnerable areas have high risk of forest and land fires. These are the managed
plantations and peatlands. Lowland forests in the eastern part of West Kalimantan
have a low risk of forest and land fires. However, if the access to a sites was
provided, there is a possibility that the risks will be increased.
Based on the above conditions, there is a tendency that the locations of recent
forest and land fires are almost the same in the last 15 years. This condition can be
seen from the hotspot distribution at the year of 2002, 2006 and 2009 in West
Kalimantan. The location is the plantation areas, secondary land and peat land in
the south and along the west coast of West Kalimantan. Land clearing for
plantations and agriculture are allegedly affect land and forest fires. Therefore,
better land management is essentially needed in the future by the various parties so
that the condition of land and forest fires in West Kalimantan can be minimized.
Keywords: dynamical downscaling, bias correction, extreme rainfall, modelling of
vulnerability, level of fire risk


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN
KAJIAN PROYEKSI IKLIM DI KALIMANTAN BARAT

SYAMSU DWI JADMIKO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Klimatologi Terapan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Agus Buono, M.Si, M.Kom

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis yang berjudul
‘Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan berdasarkan Kajian Proyeksi Iklim di
Kalimantan Barat’ merupakan tugas akhir untuk mendapatkan gelar master pada
program studi Klimatologi Terapan.
Pelaksanaan penelitian dan pembuatan tesis ini tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak dan pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Daniel Murfiyarso, M.Sc dan Dr. Akhmad Faqih, S.Si selaku
pembimbing yang telah membimbing dan memberikan banyak saran selama
penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
2. Dr. Ir. Agus Buono, M.Si, M.Kom selaku penguji yang telah memberikan
koreksi dan saran untuk penyempurnaan tesis ini.
3. Ketua Program Studi Klimatologi Terapan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor atas bantuannya.
4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi yang telah memberikan sponsorship selama perkuliahan
dan Center for International Forestry Research (CIFOR) atas bantuan
pendanaan untuk melaksanakan penelitian.
5. Center for Climate Risk and Opportunity Managemen in Southest Asia and
Pacific (CCROM-SEAP) IPB untuk fasilitas dan data pendukung dalam
penyelesaian tesis ini.
6. Seluruh Staf Departemen Geofisika dan Meteorologi dan CCROM-SEAP
atas dukungan dan bantuannya.
7. Rekan-rakan mahasiswa pascasarjana Klimatologi Terapan atas dukungan,
semangat dan kerjasamanya.
8. Ibunda Tri Sumarsih serta adik-adik penulis atas segala do’a, kasih sayang
yang tak terhingga serta semangat selama kuliah hingga penelitian. Teruntuk
Bapak Sadeli (alm) semoga penulis dapat melanjutkan semangat
pendidikannya.
Penulis menyadari keterbatasan ilmu dan kemampuan penulis sehingga masih
banyak kekurangan dalam tesis ini. Kritik dan saran akan sangat penulis hargai.
Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2016
Syamsu Dwi Jadmiko

DAFTAS ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
Kajian Perubahan Iklim
Model Iklim Regional (Regional Climate Models/RCMs)
Konsep Kerentanan dan Risiko

x
xiii
xiv
1
1
2
3
3
4
5
6

METODE
Data Penelitian dan Model Iklim Regional
Tahapan Penelitian
Simulasi Model Iklim Regional RegCM4.4
Koreksi Bias Data Curah Hujan
Analisis Iklim historis dan proyeksi di Kalimantan Barat
Analisis Standardized Precipitation Index (SPI)
Analisis Kerentanan dan Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan

8
8
11
13
13
15
16
17

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggunaan Lahan di Propinsi Kalimantan Barat
Curah Hujan CHIRPS Hasil Koreksi
Curah Hujan Luaran Model RegCM4.4
Curah Hujan Luaran Model RegCM4.4 Terkoreksi
Kondisi Iklim Propinsi Kalimantan Barat
Curah Hujan Ekstrim Kering
Kondisi Kekeringan di Kalimantan Barat
Kondisi Kebakaran Lahan di Kalimantan Barat
Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Barat
Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan

21
21
24
25
26
31
38
41
43
46
53

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

57
57
58

GLOSARI

59

DAFTAR PUSTAKA

60

LAMPIRAN

65

RIWAYAT HIDUP

69

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Nilai (a) radiative forcing dan (b) emisi CO2 dalam skenario
RCPs. GCAM 4.5 merupakan acuan dalam skenario RCP-4.5
(Moss et al. 2010).
Gambar 2 Diagram alir penelitian analisis risiko kebakaran hutan dan
lahan
Gambar 3 Ilustrasi proses koreksi data berdasarkan metode yang
dilakukan oleh Piani et al. (2010)
Gambar 4 Contoh proses transformasi curah hujan berdasarkan nilai CDF
Gamma ke CDF Normal yang digunakan pada nilai SPI
(Diadaptasi dari Lloyd-Hughes dan Saunders (2002))
Gambar 5 Perbandingan besaran luas penggunaan lahan (PL; dalam
persen) di Kalimantan Barat tahun 1990 hingga tahun 2012.
Data penggunaan lahan diperoleh dari Kementrian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2012
Gambar 6 Penggunaan lahan Propinsi Kalimantan Barat tahun 19902012. Data penggunaan lahan diperoleh dari Kementrian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2012
Gambar 7 Perbandingan curah hujan observasi dengan data CHIRPS
terkoreksi
Gambar 8 Perbandingan curah hujan luaran simulasi model RegCM4.4
tanpa koreksi (kiri) dengan curah hujan CHIRPS yang sudah
dikoreksi (kanan)
Gambar 9 Perbandingan pola hujan luaran simulasi model RegCM4.4
dengan pola hujan CHIRPS
Gambar 10 Perbandingan pola hujan antara data curah hujan CHIRPS
terkoreksi dan simulasi koreksi bias luaran model RegCM4.4
Gambar 11 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah
hujan luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan
Simulasi 1. Secara umum terlihat adanya ketidakkonsistenan
hasil koreksi bias
Gambar 12 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah
hujan luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan
Simulasi 2. Secara umum tidak menjukkan adanya perbaikan
sebaran curah hujan
Gambar 13 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah
hujan luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan
Simulasi 3. Hasil koreksi menjukkan kondisi yang hampir
sama dengan Simulasi 2
Gambar 14 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah
hujan luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan
Simulasi 4. Secara umum memiliki pola spasial yang
konsisten. Akan tetapi perlu perbaikan pada bulan JuliAgustus-September
Gambar 15 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah
hujan luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan

6
11
15

16

22

23
24

25
26
27

27

28

28

29

Simulasi 5. Hasil Simulasi 5 merupakan hasil terbaik
dibandingkan simulasi lain
Gambar 16 Nilai koefisien P1, P2 dan P3 dalam persamaan polinomial
(Y= P3*X3 + P2*X2 + P1*X + 0) pada Simulasi 5 yang
digunakan untuk mengkoreksi data curah hujan luaran model
RegCM4.4
Gambar 17 Perbandingan data curah hujan bulanan dari data CHIRPS
terkoreksi dengan data luaran simulasi RegCM4.4 yang sudah
dikoreksi (CanESM2 terkoreksi). Secara umum koreksi bias
menggunakan simulasi mampu meperbaiki data luaran
simulasi RegCM4.4
Gambar 18 Tren curah hujan tahunan historis wilayah Kalimantan Barat
tahun 1981-2005
Gambar 19 Tren curah hujan tahunan proyeksi wilayah Kalimantan Barat
tahun 2016-2040
Gambar 20 Tren curah hujan musiman periode historis tahun 1981-2005.
Musim peralihan (MAM dan SON) menunjukkan adanya tren
penurunan curah hujan sedangkan musim hujan (DJF)
menunjukkan adanya tren peningkatan curah hujan dan musim
kemarau (JJA) konstan
Gambar 21 Tren curah hujan musiman periode proyeksi tahun 2016-2040.
Secara umum di masa mendatang curah hujan musim
penghujan (DJF) dan musim peralihan penghujan ke kamarau
(MAM) menunjukkan adanya peningkatan tren. Akan tetapi
pada musim kemarau (JJA) dan peralihan musim kemarau ke
musim penghujan (SON) menunjukkan adanya penurunan tren

29

30

31
32
32

32

33
Gambar 22 Distribusi spasial curah hujan periode baseline (tahun 19812005) dan proyeksi (tahun 2016-2040) di Kalimantan Barat
Gambar 23 Besaran perubahan curah hujan proyeksi (tahun 2016-2040)
dibandingkan dengan curah hujan baseline (tahun 1981-2005)
Gambar 24 Pola spasial suhu maksimum Kalimantan Barat periode
baseline (1981-2005) dan proyeksi (tahun 2016-2040)
Gambar 25 Pola spasial suhu minimum Kalimantan Barat periode baseline
(1981-2005) dan proyeksi (tahun 2016-2040)
Gambar 26 Pola spasial suhu rata-rata Kalimantan Barat periode baseline
(1981-2005) dan proyeksi (tahun 2016-2040)
Gambar 27 Tren suhu maksimum, suhu minimum dan suhu rata-rata di
Kalimantan Barat periode tahun 1981-2040
Gambar 28 Pola distribusi peningkatan suhu maksimum, suhu minimum
dan suhu rata-rata untuk proyeksi tahun 2016-2040
dibandingkan dengan periode baseline tahun 1981-2005
Gambar 29 Sebaran curah hujan ekstrim berdasarkan nilai persentil 5%
dari data curah hujan luaran model RegCM4.4 bulan Juni-JuliAgustus (JJA) periode tahun 1981-2005. Kondisi sangat
kering pada umunya terjadi pada bagian selatan Propinsi
Kalimantan Barat.

34
35
35
36
36
37

38

39

Gambar 30 Sebaran curah hujan ekstrim berdasarkan nilai persentil 10%
dari data curah hujan luaran model RegCM4.4 bulan Juni-JuliAgustus (JJA) periode tahun 1981-2005.
Gambar 31 Sebaran curah hujan ekstrim berdasarkan nilai persentil 5%
dari data curah hujan luaran model RegCM4.4 bulan Juni-JuliAgustus (JJA) periode tahun 2016-2040. Pada periode
proyeksi ini, curah hujan ekstrim kering memiliki
kecenderungan meningkat dibandingkan dengan periode
historis.
Gambar 32 Sebaran curah hujan ekstrim berdasarkan nilai persentil 10%
dari data curah hujan luaran model RegCM4.4 bulan Juni-JuliAgustus (JJA) periode tahun 2016-2040. Kondisi curah hujan
ekstrim kering tidak berbeda jauh dengan nilai persentil 5%.
Akan tetapi luasan wilayah yang sangat ekstrim kering lebih
sedikit.
Gambar 33 Time series nilai SPI dengan menggunakan skala waktu 1
bulan hingga 24 bulan periode tahun 1981-2005. Warna merah
menunjukkan nilai SPI negatif/kering, warna biru
menunjukkan nilai SPI positif/basah dan warna hijau
menunjukan nilai anomali curah hujan
Gambar 34 Time series nilai SPI dengan menggunakan skala waktu 1
bulan hingga 24 bulan periode tahun 2016-2040. Warna merah
menunjukkan nilai SPI negatif/kering, warna biru
menunjukkan nilai SPI positif/basah dan warna hijau
menunjukan nilai anomali curah hujan
Gambar 35 Jumlah hotspot bulanan di Propinsi Kalimantan Barat pada
tahun a) 2002, b) 2006 dan c) 2009. Ketiga tahun diatas adalah
periode dalam 15 tahun terakhir dengan jumlah hotspot
tertinggi dan periode tahun tersebut yang digunakan dalam
analisis kerentanan kebakaran hutan dan lahan. (Sumber
Pengolahan data hotspot MODIS (Satelit Terra dan Aqua) dari
NASA FIRMS Fire Archive dengan confidence level > 50)
Gambar 36 Hubungan antara indeks SOI dengan jumlah hotspot di
Propinsi Kalimantan Barat
Gambar 37 Persamaan regresi tiap indikator untuk faktor aktivitas
manusia antara skor dugaan dengan kelas masing-masing
indikator
Gambar 38 Persamaan regresi tiap indikator untuk faktor biofisik antara
skor dugaan dengan kelas masing-masing indikator
Gambar 39 Persamaan regresi tiap variabel untuk faktor sosial ekonomi
antara skor dugaan dengan kelas masing-masing indikator
Gambar 40 Sebaran hotspot pada tiap tingkat kerentanan kebakaran hutan
dan lahan di Kalimantan Barat
Gambar 41 Tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan
Barat
Gambar 42 Risiko kebakaran hutan dan lahan Propinsi Kalimantan Barat
berdasarkan data curah hujan ekstrim (persentil 5%) luaran

39

40

40

42

43

45
46

47
48
50
52
53

model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus periode tahun 19812005
Gambar 43 Risiko kebakaran hutan dan lahan Propinsi Kalimantan Barat
berdasarkan data curah hujan ekstrim (persentil 10%) luaran
model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus periode tahun 19812005
Gambar 44 Risiko kebakaran hutan dan lahan Propinsi Kalimantan Barat
berdasarkan data curah hujan ekstrim (persentil 5%) luaran
model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus periode tahun 20162040.
Gambar 45 Risiko kebakaran hutan dan lahan Propinsi Kalimantan Barat
berdasarkan data curah hujan ekstrim (persentil 10%) luaran
model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus periode tahun 20162040.

54

55

55

56

DAFTAR TABEL
Tabel 1

Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6

Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9

Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12

Tabel 13

Estimasi luas wilayah yang terbakar pada kejadian kebakaran
hutan dan lahan tahun 1997/98 (x 1000 ha) di wilayah Sumatra
(Sum), Jawa (Jaw), Kalimantan (Kal), Sulawesi (Sul) dan Papua
(Pap).
Jumlah hotspot dalam periode 2001-2009 di Pulau Kalimantan
Distribusi hotspot per provinsi di pulau Kalimantan
Daftar stasiun cuaca/iklim BMKG yang digunakan dalam
penelitian
Data spasial yang digunakan untuk menentukan tingkat
kerentanan
Informasi pengaturan parameter fisik yang dipilih dan
digunakan dalam simulasi RegCM4.4 di wilayah Kalimantan
Barat. Pengaturan fisik ini dapat digunakan untuk analisis
sensitivitas model RegCM4.4
Kategori kekeringan berdasarkan nilai SPI dan peluang
kejadiannya
Kelas dari indikator penentu kerentanan
Matrik risiko kebakaran hutan dan lahan. Tingkat risiko dibagi
menjadi 5 yaitu Sangat Rendah (SR), Rendah (R), Sedang (S),
Tinggi (T) dan Sangat Tinggi (ST). Kategori curah hujan
ekstrim memiliki rentang nilai (1) 0-40 mm, (2) 41-80 mm, (3)
81-120 mm, (4) 121-160 mm dan (5) 161-200 mm.
Nilai faktor koreksi antara data Observasi BMKG dengan data
CHIRPS
Distribusi hotspot MODIS per Kabupaten/Kota di Provinsi
Kalimantan Barat Tahun 2014
Nilai koefisien dan bobot penyusun skor komposit model
tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi
Kalimantan Barat
Sebaran Luas Kebakaran dengan lima kelas Model Kerentanan
Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat

3
4
4
8
9

12
17
18

20
24
44

51
52

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Luas tiap penggunaan lahan (PL) di Propinsi Kalimantan Barat
Tahun 1990-2012. Data penggunaan lahan diperoleh dari
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2012
Lampiran 2 Sebaran dan tingkat ketebalan gambut di Propinsi Kalimantan
Barat. Data diperoleh dari Balai Besar Litbang Sumberdaya
Lahan Pertanian (BBSDLP) tahun 2012

67

68

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan menjadi bencana yang sering terjadi terutama di
Kalimantan dan Sumatera. Dampak kebakaran hutan dan lahan cukup besar dan
mencakup berbagai sektor seperti sosial-ekonomi, lingkungan dan ekologi
(Suratmo et al. 2003; Varma 2003). Kajian Taconi (2003) menyebutkan bahwa
kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997/1998 mengakibatkan kerugian
ekonomi dan kabut asap yang menyebar hingga ke negara Association of Southeast
Asian Nations (ASEAN). Tingginya kerugian akibat kejadian kebakaran hutan dan
lahan sudah semestinya diantisipasi agar tidak terjadi di masa mendatang.
Kejadian Kebakaran hutan dan lahan umumnya disebabkan oleh aktivitas
manusia. Beberapa aktivitas manusia menjadi sumber utama dalam munculnya api
seperti pada saat pembukaan lahan atau konversi lahan baik untuk usaha pertanian,
perkebunan, kehutanan dan kebutuhan tempat tinggal. Selain aktivitas manusia,
faktor fisik seperti iklim juga menjadi faktor pemicu yang dominan dalam kejadian
kebakaran lahan. Fenomena iklim seperti El-Nino Southern Oscillation (ENSO)
yang berdampak pada kekeringan panjang dapat mengakibatkan kondisi lahan
mudah terbakar (Woster et al. 2012; Putra et al. 2008; Fuller dan Murphy 2006).
Analisis risiko merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
mengkaji kejadian kebakaran hutan dan lahan pada kondisi saat ini dan
kemungkinannya di masa mendatang. Risiko didefinisikan sebagai peluang
kejadian alam yang berhubungan dengan (i) peluang kejadian bahaya yang
berdampak pada bencana yang tidak diinginkan, atau (ii) peluang kejadian atau
dampak yang menggabungkan kondisi peluang kejadian bencana dengan
konsekuensinya (Downing et al. 2001; Brooks 2003; Jones and Boer 2003). Dasar
dari analisis Risiko adalah analisis kerentanan dan analisis peluang kejadian iklim
ekstrim (risk = vulnerability × climate hazard). Oleh karena itu penentuan Risiko
merupakan kombinasi dari kedua analisis tersebut di atas (Jones et al. 2004).
Konsep kerentanan umumnya digunakan dalam kajian terkait dengan
bencana dan kemudian digunakan oleh Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) dalam kajian perubahan iklim (IPCC 2001; IPCC 2007).
Kerentanan meruakan derajat atau tingkat kemudahan terkena atau
ketidakmampuan sistem dalam menghadapi dampak buruk dari perubahan iklim
termasuk keragaman iklim dan iklim ekstrim (IPCC 2007). Tingkat kerentanan dari
suatu sistem ditentukan oleh indikator penentu kerentanan yang mewakili penyebab
suatu kejadian seperti kejadian kebakaran hutan dan lahan (Adger 2006; IPCC
2007). Penentuan kerentanan umumnya dilakukan berdasarkan analisis data spasial
menggunakan sistem informasi geografi (SIG).
Kajian iklim ekstrim dalam konteks risiko ditekankan pada kemungkinan
meningkat atau menurunnya peluang kejadian iklim ekstrim seperti curah hujan
atau indeks kekeringan melebihi ambang batas yang ditentukan. Dalam analisis
kebakaran hutan dan lahan, indeks kekeringan merupakan salah satu iklim ekstrim
yang sesuai untuk dianalisis. Kekeringan lahan memiliki hubungan yang erat
dengan kejadian kebakaran lahan di Indonesia. Pada lahan yang kering, api akan
mudah menjalar dan menjadi besar sehingga akan sulit dipadamkan. Selain itu,
kombinasi suhu udara yang tinggi dan kekeringan lahan akan meningkatkan Risiko

2

kebakaran hutan dan lahan (Caesar dan Golding 2011). Kebakaran hutan dan lahan
pada tahun 1997/1998 merupakan salah satu kebakaran hutan dan lahan besar dalam
sejarah Indonesia. Pada tahun tersebut terjadi kekeringan lahan akibat terjadinya
El-Nino (Murdiyarso dan Adiningsih 2005).
Informasi data iklim historis dan proyeksi yang memiliki skala spasial dan
temporal tinggi diperlukan dalam kajian iklim pada skala regional yaitu pada
cakupan wilayah yang kecil seperti Propinsi Kalimantan Barat. Di lain sisi, luaran
model iklim global (Global Climate Models/GCMs) memiliki resolusi spasial
rendah (100-250 km skala spasial) dan bila digunakan untuk kajian pada skala
regional tidak memadai (Salathe Jr. 2003). Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan
downscaling statistik maupun dinamik seperti menggunakan model iklim regional
(Regional Climate Models/RCMs). Pemanfaatan RCMs sangat membantu untuk
memperoleh informasi iklim dengan resolusi tinggi dan lebih detil.
Luaran simulasi RCMs umumnya memiliki bias yang sistematis dan dapat
memberikan informasi yang berbeda baik secara temporal maupun spasial
dibandingkan dengan data observasi (Christensen et al. 2008; Teutschbein dan
Siebert 2010; Varis et al. 2004). Diantara faktor yang mempengaruhi adanya bias
dalam simulasi RCMs adalah pemilihan parameter fisik, data luaran GCMs yang
digunakan sebagai data initial condition/boundary condition (ICBC) dan resolusi
spasial dan temporal yang digunakan dalam simulasi. Bias pada luaran simulasi
RCMs ditandai dengan nilai yang melebihi atau kurang dari data observasi baik
secara pola spasial maupun temporal sehingga diperlukan proses koreksi bias.
Penelitian ini mengadopsi metode yang digunakan oleh Lenderink et al. (2007) dan
Piani et al. (2010). Secara spesifik metode Piani et al. (2010) digunakan untuk
memperbaiki distribusi data luaran model sehingga mendekati dengan distribusi
data observasi.
Analisis risiko yang menggabungkan informasi kerentanan dan iklim ekstrim,
diharapkan dapat dimanfaatkan untuk proses pemantauan sekaligus pencegahan
dini kebakaran hutan dan lahan. Informasi risiko yang telah dipetakan juga dapat
membantu pihak tekait untuk melakukan strategi antisipasi terhadap ancaman
kebakaran hutan dan lahan.
Tujuan

1.
2.
3.
4.
5.

Tujuan dari penelitian ini yaitu:
Melakukan simulasi model iklim regional (Regional Climate Models/RCMs).
Melakukan analisis koreksi data luaran simulasi RCMs.
Melakukan kajian iklim historis dan proyeksi di Kalimantan Barat.
Melakukan analisis kekeringan lahan di Kalimantan Barat.
Melakukan kajian kerentanan dan risiko kebakaran hutan dan lahan di
Kalimantan Barat.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB; 2015) menyatakan bahwa
kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan dimana hutan dan lahan dilanda
api yang mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan serta menimbulkan kerugian
ekonomis dan nilai lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan seringkali
menyebabkan bencana asap yang dapat mengganggu aktivitas manusia dan
kesehatan masyarakat sekitar.
Dalam dua dekade terakhir, Indonesia dilanda kejadian kebakaran hutan dan
lahan ang cukup besar yaitu tahun 1982/83, 1987, 1991, 1994 dan 1997/98 (Bowen
et al. 2001). Dari lima kejadian kebakaran hutan dan lahan tersebut, kejadian pada
tahun 1997/98 merupakan kejadian kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan
kerugian terbesar. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun tersebut terjadi hampir di
seluruh pulau Sumatra dan Kalimantan. Daerah pertanian menjadi area yang paling
luas terbakar (Tabel 1).
Tabel 1 Estimasi luas wilayah yang terbakar pada kejadian kebakaran hutan dan
lahan tahun 1997/98 (x 1000 ha) di wilayah Sumatra (Sum), Jawa (Jaw),
Kalimantan (Kal), Sulawesi (Sul) dan Papua (Pap).
Tipe Vegetasi
Sum
Jaw
Kal
Sul
Pap
Total
Hutan pegunungan
100
100
Hutan dataran rendah
383
25
2375
200
300
3283
Hutan payau dan gambut
308
750
400
1458
Semak dan rumput kering
263
25
375
100
763
HTI
72
116
188
Perkebunan
60
55
1
3
119
Pertanian
669
50
2829
199
97
3843
Total
1755
100
6500
400
1000
9755
Sumber: BAPPENAS-ADB (1999)
Penyebab utama kebakaran hutan dan lahan secara umum adalah aktivitas
manusia akibat kelalaian ataupun disengaja (Suratmo et al. 2003). Aktivitas
manusia berkaitan dengan munculnya api di lahan hutan. Pembukaan dan
penyiapan lahan dengan cara membakar dianggap masyarakat lebih murah dan
mudah dilakukan. Arianti et al. (2007) menyatakan bahwa faktor aktivitas manusia
lebih dominan dibandingkan faktor biofisik dalam kejadian kebakaran hutan dan
lahan. Bahkan Purnama dan Jaya (2007) memberikan bobot faktor aktivitas
manusia sebesar 51.4 % dalam membuat model kerentanan kabakaran hutan dan
lahan di Propinsi Riau dan sisanya merupakan bobot untuk faktor biofisik. Salah
satu faktor biofisik yang cukup dominan adalah iklim. Iklim berpengaruh besar
terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan. Iklim berpengaruh pada jumlah
bahan bakar yang tersedia, keparahan dan periode kebakaran, kemudahan terbakar
(flammability) dan penyebaran kebakaran (Chandler et al. 1983). Oleh karena itu,
informasi iklim dapat dimanfaatkan dalam analisis risiko kebakaran hutan dan
lahan.

4

Tabel 2 Jumlah hotspot dalam periode 2001-2009 di Pulau Kalimantan
Jumlah hotspot
Tahun
2001
1351
2002
12219
2003
5869
2004
10973
2005
3121
2006
16495
2007
1912
2008
1919
2009
23551
Sumber: Suwarsono et al. (2010)
Tabel 3 Distribusi hotspot per provinsi di pulau Kalimantan
Provinsi
Jumlah Hotspot
Persentase (%)
Kalimantan Tengah
40541
52.2
Kalimantan Barat
21090
27.3
Kalimantan Timur
8261
10.7
Kalimantan Selatan
7611
9.8
Sumber: Suwarsono et al. (2010)
Titik panas (hotspot) dapat menjadi representasi kejadian kebakaran hutan
dan lahan. Daerah yang memiliki jumlah hotspot tinggi memiliki potensi kejadian
kebakaran lebih besar. Oleh karena itu, hotspot banyak digunakan dalam
monitoring kejadian kebakaran hutan dan lahan. Pulau Kalimantan merupakan
salah satu wilayah yang sering terjadi kebakaran hutan dan lahan. Setiap tahun
hampir terjadi kebakaran hutan dan lahan yang dapat diidentifikasi dari jumlah
hotspot seperti pada Tabel 2. Tahun 2002, 2004, 2006 dan 2009 memiliki jumlah
hotspot yang cukup tinggi. Berdasarkan distribusi hotspot per provinsi, Kalimantan
Barat menjadi daerah dengan ancaman kebakaran terbesar kedua setelah
Kalimantan Tengah (Tabel 3). Hal tersebut mengindikasikan tingkat risiko
kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat juga tinggi.
Kajian Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan suatu kondisi dimana terjadi perubahan nilai atau
pola unsur iklim dalam skala waktu yang lama baik pada wilayah lokal maupun
global. Kajian perubahan iklim sudah dilakukan hampir seluruh negara di dunia
dalam upaya melakukan aksi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Penyebab utama perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca
(GRK) di atmosfer akibat dari aktifitas manusia seperti penggunaan bahan bakar
fosil dan deforestasi/perubahan penggunaan lahan (IPCC 2007). Secara alami GRK
mampu melindungi bumi tetap hangat pada kisaran suhu rata-rata 15ºC. Akan
tetapi, dengan semakin meningkatnya konsentrasi GRK, maka proses transfer
bahang (heat) dari bumi ke atmosfer luar terhambat yang mengakibatkan adanya
akumulasi bahang sehingga bumi menjadi lebih panas.
Perubahan iklim menimbulkan dampak yang luas dalam banyak sektor. Pada
sektor pertanian, dengan meningkatnya suhu udara dan berkurangnya curah hujan

5

dimasa mendatang akan menyebabkan produksi pertanian berkurang akibat banjir
dan kekeringan (Nara et al. 2014). Pola tanam juga akan mengalami keterlambatan
akibat perubahan pola hujan dan irigasi (Seung-Hwan et al. 2013). Chavas et al.
(2009) menambahkan bahwa tanpa adanya peningkatan pemupukan, di masa
mendatang produksi lima tanaman pertanian (canola, jagung, kentang, beras, dan
gandum) akan mengalami penurunan sebesar 2.5-12% akibat perubahan iklim.
Perubahan iklim juga mempengaruhi siklus hidrologi dimana pada musim kemarau
akan lebih kering dan banjir akan lebih sering terjadi pada musim penghujan. Kajian
Leng et al. (2015) menyebutkan bahwa akibat perubahan iklim di masa mendatang
kekeringan akan lebih parah, berkepanjangan dan sering terjadi terutama pada
musim kemarau. Begitu pula kejadian banjir yang diproyeksikan akan lebih sering
terjadi. Perubahan iklim juga mempengaruhi kebakaran akibat cuaca, perilaku
kebakaran dan emisi karbon akibat kebakaran (de Groot et al. 2013). Bahaya
kebakaran hutan dan lahan yang dianalisis menggunakan beberapa indek kebakaran
hutan secara umum menunjukkan tren peningkatan akibat meningkatnya suhu
udara dan perubahan pola hujan (Wastl et al. 2012).
Di Indonesia, kajian perubahan iklim pada skala regional telah dilakukan
sejak tahun 1990-an. Analisis dilakukan menggunakan data observasi historis
ataupun analisis data model (Faqih et al. 2013; Sarah dan Tohari 2009; Susandi et
al. 2008; Susandi 2006). Laporan IPCC (2013) menyatakan bahwa akibat
perubahan iklim, suhu di wilayah Indonesia diproyeksikan akan mengalami
peningkatan sebesar 0.8°C apabila menggunakan skenario emisi terendah dan
peningkatan 4.0°C apabila menggunakan skenario emisi tertinggi. Curah hujan
mengalami perubahan dari -20% hingga 20% dimana musim kemarau mengalami
penurunan curah hujan dan musim penghujan mengalami peningkatan curah hujan.
Model Iklim Regional (Regional Climate Models/RCMs)
Kajian perubahan iklim banyak dilakukan menggunakan RCMs dalam proses
dynamical downscaling untuk memperoleh informasi iklim yang lebih detil pada
kondisi saat ini maupun proyeksinya di masa mendatang. Salah satu RCMs yang
dapat digunakan adalah Regional Climate Model version 4.4.5 (RegCM4.4).
RegCM4.4 merupakan model iklim regional yang dikembangkan oleh International
Centre for Theoretical Physics (ICTP), Trieste, Italy. RegCM4.4 merupakan RCMs
yang biasanya digunakan untuk tujuan dynamical downscaling dari data model
iklim global (Global Climate Model/GCMs) yang memiliki resolusi spasial rendah
menjadi data iklim yang memiliki resolusi tinggi.
Kajian proyeksi iklim menggunakan model RegCM4.4 memerlukan skenario
perubahan iklim. IPCC telah mengembangkan dua buah skenario yaitu Special
Report on Emissions Scenarios (SRES) dan Representative Concentration
Pathways (RCPs). RCPs merupakan skenario terbaru yang digunakan oleh IPCC
dalam penyusunan laporan kelima IPCC (Fifth Assessment Report/AR5) dan
skenario tersebut yang digunakan dalam penelitian ini. RCPs didasarkan pada
besarnya nilai radiative forcing pada tahun 2100. Ada empat skenario RCPs yaitu
RCP-2.6, RCP-4.5, RCP-6.0, dan RCP-8.5 yang masing-masing merepresentasikan
besarnya radiative forcing di tahun 2100 yaitu 2.6 W/m2, 4.5 W/m2, 6.5 W/m2, dan
8.5 W/m2 (Gambar 1). Namun dalam kajian ini hanya akan digunakan satu skenario
RCPs yaitu RCP-4.5. Besarnya radiative forcing tersebut juga setara dengan

6

peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer pada tahun 2100 (Moss et al. 2010).
Skenario RCP-4.5 telah memasukkan nilai emisi GRK historis dan informasi
tutupan lahan untuk mencapai target nilai radiative forcing yang diinginkan. Target
tersebut juga diupayakan melalui penggunaan energi alternatif dan penyimpanan
karbon oleh permukaan. RCP-4.5 bertujuan untuk menjaga kestabilan radiative
forcing pada tahun 2100. Namun demikian bukan berarti emisi GRK, konsentrasi
GRK dan sistem iklim akan stabil. Pada RCP-4.5 besarnya radiative forcing akan
stabil mulai tahun 2080-2100, tetapi emisi dan konsentrasi GRK tetap akan
bervariasi. Penggunaan RCP-4.5 dalam model iklim dimaksudkan untuk melihat
respon sistem iklim dalam menstabilkan besarnya radiative forcing dari faktor
antropogenik (Thomson et al. 2011).

Gambar 1 Nilai (a) radiative forcing dan (b) emisi CO2 dalam skenario RCPs.
GCAM 4.5 merupakan acuan dalam skenario RCP-4.5 (Moss et al.
2010).
Dalam simulasi RegCM4.4, terdapat parameter fisik yang dapat ditentukan
oleh pengguna sesuai dengan kebutuhan. Pengguna dapat melakukan studi
sensitivitas melalui pemilihan parameter fisik yang sesuai lokasi kajian dengan
luaran model terbaik. Beberapa parameter fisik yang dapat dipilih seperti skema
konveksi untuk awan (Cumulus Convection scheme), skema fluks lautan (Ocean
Flux scheme) dan skema lapisan perbatas (Boundary Layer scheme) (Giorgi et al.
2013).
Konsep Kerentanan dan Risiko
Kerentanan merupakan suatu konsep yang sudah cukup banyak digunakan
dalam kajian yang berkaitan dengan bencana. Dalam perkembangan saat ini,
konsep kerentanan juga digunakan dalam kajian dampak perubahan iklim. Dalam
laporan IPCC yang ketiga (IPCC Third Assessment Report), kerentanan
didefinisikan sebagai derajat atau tingkat kemudahan terkena atau ketidakmampuan
suatu sistem untuk menghadapi dampak buruk dari perubahan iklim, termasuk
keragaman iklim dan iklim ekstrim. Kerentanan merupakan fungsi dari karakter,
besaran, dan laju variasi iklim yang berhubungan langsung dengan sistem baik dari
segi sensitifitas dan kapasitas adaptifnya (IPCC 2007). Oleh karena itu, kerentanan

7

ditentukan berdasarkan tiga komponen yaitu tingkat keterpaparan, tingkat
sensitifitas dan kapasitas adaptif. Dua komponen utama mengindikasikan dampak
sedangkan kapasitas adaptif menyatakan sejauh mana dampak dapat dihindari.
Tingkat keterpaparan menunjukkan derajat, lama dan atau besar peluang
suatu sistem untuk kontak dengan goncangan atau gangguan. Tingkat sensitifitas
merupakan kondisi internal dari sistem yang sangat dipengaruhi oleh kondisi
manusia dan lingkungannya. Kondisi manusia meliputi tingkatan sosial seperti
populasi, lembaga, struktur ekonomi dan sebagainya. Kondisi lingkungan meliputi
kondisi biofisik seperti tanah, air, iklim, mineral dan struktur dan fungsi ekosistem.
Kedua faktor tersebut menentukan kemampuan adaptif suatu sistem yang juga
sangat dipengaruhi oleh keragaman iklim. Kemampuan adaptif menunjukkan
kemampuan dari suatu sistem untuk melakukan penyesuaian (adjustment) terhadap
perubahan iklim sehingga potensi dampak negatif dapat dikurangi dan dampak
positif dapat dimaksimalkan (Adger 2006).
Risiko didefinisikan sebagai peluang kejadian alam yang berhubungan
dengan (i) peluang kejadian bahaya yang berdampak pada bencana yang tidak
diinginkan, atau (ii) peluang kejadian atau dampak yang menggabungkan kondisi
peluang kejadian bencana dengan konsekuensinya (Downing et al. 2001; Brooks
2003; Jones and Boer 2003). Tingkat Risiko dapat ditentukan oleh peluang kejadian
bencana (iklim ekstrim) yang dapat menimbulkan bencana dan dampak yang
ditimbulkan oleh kejadian tersebut. Dampak yang ditimbulkan oleh suatu bencana
ditentukan oleh tingkat kerentanan. Oleh karena itu, Risiko dapat dihitung
berdasarkan hubungan antara kerentanan dengan peluang kejadian bencana (risk =
hazard × vulnerability) (Jones et al. 2004). Konsep Risiko ini banyak digunakan
untuk menilai tingkat bahaya suatu wilayah baik kondisi saat ini ataupun proyeksi
akibat perubahan iklim.

8

METODE
Data Penelitian dan Model Iklim Regional
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data iklim observasi
BMKG, Data curah hujan The Climate Hazards Group InfraRed Precipitation with
Stations (CHIRPS; Funk et al. 2014; Funk et al. 2015), data Global Climate Model
(GCM) Coupled Model Intercomparison Project Phase 5 (CMIP5) Canadian
Centre for Climate Modelling and Analysis (CCCma) second-generation Earth
System Model (CanESM2; Arora dan Boer 2010), data titik api (hotspot), data
spasial ketebalan gambut, data spasial tutupan lahan, data spasial sistem lahan, data
spasial jaringan sungai, data spasial jaringan jalan, data spasial titik pusat
desa/kecamatan/kabupaten (pusat pemerintahan), data spasial kepadatan penduduk,
data pendapatan daerah (Produk Domestik Regional Bruto/PDRB), data spasial
sebaran Hutan Tanaman Industri (HTI), data spasial sebaran Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) dan data spasial sebaran Hak Guna Usaha (HGU) di Kalimantan
Barat.
Data iklim observasi meliputi data curah hujan dan suhu udara. Data curah
hujan observasi digunakan sebagai data untuk analisis iklim historis dan untuk
proses koreksi terhadap data curah hujan CHIRPS berdasarkan titik stasiun yang
ada. Data iklim observasi yang digunakan diperoleh dari delapan stasiun
meteorologi/klimatologi BMKG yang ada di Kalimantan Barat (Tabel 4).
Tabel 4 Daftar stasiun cuaca/iklim BMKG yang digunakan dalam penelitian
No.
Nama Stasiun
Lintang
Bujur
Elevasi
Meteorologi/Klimatologi*
1 Stasiun Maritim Pontianak
-0.030
109.34
4
2 Stasiun Susilo Sintang
0.060
111.47
31
3 Stasiun Rahadi Usman Ketapang
-1.800
109.97
9
4 Stasiun Pangsuma Putusibau
0.840
112.93
43
5 Stasiun Paloh
1.740
109.30
15
6 Stasiun Nanga Pinoh
-0.420
111.47
40
7 Stasiun Supadio Pontianak
-0.140
109.45
3
8 Stasiun Siantan Pontianak*
0.075
109.19
2
Data curah hujan CHIRPS merupakan data curah hujan yang dikeluarkan oleh
U.S. Geological Survey, Amerika. Data curah hujan CHIRPS awalnya hanya
tersedia untuk wilayah daratan Afrika dan digunakan untuk peringatan dini
kekeringan. Namun demikian saat ini sudah tersedia hampir untuk seluruh wilayah
daratan bumi. Data curah hujan CHIRPS merupakan gabungan dari data curah
hujan yang dihitung dari satelit dan data curah hujan stasiun. Gabungan data
tersebut kemudian di-regridding dengan resolusi spasial 0.05º (sekitar 5 km x 5 km)
dengan periode tahun 1981 sampai saat ini dan resolusi waktu harian (Funk et al.
2014; Funk et al. 2015). Data curah hujan CHIRPS diperoleh dari website berikut:
http://chg.geog.ucsb.edu/data/chirps/. Data curah hujan CHIRPS dalam penelitian
ini digunakan sebagai tambahan data curah hujan observasi untuk memperoleh
informasi curah hujan dengan sebaran yang merata di seluruh wilayah Propinsi
Kalimantan Barat. Hal tersebut dilakukan mengingat sebaran stasiun

9

meteorologi/klimatologi tidak menyebar merata dimana sebagian besarnya berada
di bagian barat Propinsi Kalimantan Barat. Data curah hujan CHIRPS yang sudah
dikoreksi menggunakan data curah hujan observasi juga digunakan untuk
melakukan proses koreksi bias terhadap luaran simulasi RCMs.
Data CanESM2 digunakan sebagai Initial Condition and Boundary Condition
(ICBC) dalam simulasi RCMs. Model CanESM2 merupakan salah satu model yang
dikembangkan oleh Canadian Centre for Climate Modelling and Analysis
(CCCma) dan merupakan gabungan model CanCM4 dan siklus karbon terrestrial
berdasarkan Canadian Terrestrial Ecosystem Model (CTEM) dengan adanya
pertukaran karbon tanah dan atmosfer (Arora dan Boer 2010).
Dalam penentuan tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan, informasi
data titik api (hotspot) sangat dibutuhkan karena merupakan informasi lokasi dari
kebakaran hutan dan lahan. Data titik api diperoleh dari Fire Information for
Resource Management System (FIRMS) yang merupakan hasil ekstraski dari satelit
MODIS dengan algoritma deteksi titik api oleh Giglio et al. (2003). Data dapat
diperoleh dari website pusat data NASA (http://earthdata.nasa.gov/data/near-realtimedata/firms).
Penentuan tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan dibutuhkan data
spasial yang merupakan indikator penentu kerentanan. Data spasial yang digunakan
meliputi komponen tingkat keterpaparan, tingkat sensitivitas dan kapa