Pengembangan Model Prediksi Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Barat menggunakan Data Satelit

PENGEMBANGAN MODEL PREDIKSI RISIKO
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN
BARAT MENGGUNAKAN DATA SATELIT

YADISTI EKA PUTRI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan Model
Prediksi Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Barat menggunakan
Data Satelit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Yadisti Eka Putri
NIM G24100037

ABSTRAK
YADISTI EKA PUTRI. Pengembangan Model Prediksi Risiko Kebakaran Hutan
dan Lahan di Kalimantan Barat menggunakan Data Satelit. Dibimbing oleh
RIZALDI BOER.
Frekuensi dan intensitas kejadian kebakaran hutan dan lahan dalam
beberapa dekade terakhir cenderung semakin meningkat, walaupun upaya
pencegahannya sudah banyak dilakukan. Kurang efektifnya upaya pencegahan
kebakaran salah satunya disebabkan oleh belum berkembangnya sistem
peringatan dini yang bersifat musiman.
Penelitian ini ditujukan untuk
mengembangkan model prediksi risiko kebakaran yang bersifat musiman, yaitu
informasi peringatan yang dapat diinformasikan jauh lebih awal minimal 1 sampai
3 bulan di depan. Adanya informasi yang lebih awal ini diharapkan dapat
membantu untuk melaksanakan aksi pencegahan yang lebih efektif. Metode yang

digunakan ialah membangun model pendugaan titik api berdasarkan informasi
anomali suhu permukaan laut di kawasan lautan pasifik (wilayah NIÑO 3.4) dan
sifat hujan bulanan serta musiman. Titik api digunakan sebagai indikator untuk
menunjukkan tingkat ancaman kebakaran. Model hubungan antara anomali suhu
permukaan laut/sifat hujan dan titik api dibangun untuk 7 kategori
penggunaan/penutupan lahan pada dua jenis lahan yaitu gambut dan mineral.
Besar risiko kebakaran ditentukan berdasarkan besar peluang terjadinya jumlah
titik melewati batas ambang menurut kondisi suhu permukaan laut di NIÑO 3.4.
Nilai batas ambang yang digunakan dari nilai rata-rata titik api bulanan. Model
risiko yang dibangun untuk provinsi Kalimantan Barat menggunakan data hotspot
dari tahun 2001-2013 dari satelit Modis baik Terra dan Aqua. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kepadatan titik api (hotspot) tertinggi umumnya terjadi
sekitar bulan Agustus pada jenis tutupan lahan bukan hutan yang ada di lahan
gambut. Keragaman tingkat kepadatan hotspot dari bulan Juli sampai Oktober
pada lahan ini berhubungan nyata dengan keragaman anomali SPL di kawasan
NIÑO 3.4 baik untuk jeda waktu (lag) 0 sampai 2 bulan di depan. Tingkat risiko
kebakaran tinggi terjadi apabila kondisi SPL di NIÑO 3.4 melebihi 0.5oC.
Dengan menggunakan pendekatan matriks risiko, peluang mendapatkan tingkat
kepadatan hotspot di atas nilai rata-rata melebihi 50% apabila anomali suhu
permukaan laut di NIÑO 3.4 di atas 0.5oC. Besar peluang ancaman kebakaran

pada kondisi suhu permukaan laut di NIÑO 3.4 untuk lag 0, 1 dan 2 masingmasing mencapai 63%, 54% dan 50%. Penelitian selanjutnya disarankan untuk
mengembangkan model prediksi hotspot memakai teknik regresi dua fase.
Kata kunci: Kebakaran Hutan, Matrix Risiko, MODIS, Penutupan Lahan, Titik
Api

ABSTRACT
YADISTI EKA PUTRI. Risk Prediction Model Development Forest Fires in West
Kalimantan using Satellite Data. Supervised by RIZALDI BOER.
The frequency and intensity of forest and land fires in recent decades tend to
increase, despite the prevention efforts have been made. In most cases, the
prevention efforts were not effectice since the available early warning systems is
on a daily basis or the longest is on weekly basis. The available time for the
prevention is very short. This study aimed to develop seasonal fire early warning
system, a system that can provide warning information with lead time of at least 1
to 3 month. With this system, it is expected that the preventive actions can be
implemented more effectively. The method used was to build a hotspots
prediction model based on information of sea surface temperature anomaly in the
Pacific Ocean (NIÑO 3.4 region) and monthly and seasonally rainfall. Hotspots
are used as an indicator to indicate the level of fire threat. Models that relate
hotspot and sea surface temperature anomaly/seasonal rainfall were developed for

seven land use/cover categories in two soil types, i.e. peat lands and minerals. The
level of fire risk is determined based on the probability of having number of
hotspot above threshold values under different condition of the sea surface
temperature in the NIÑO 3.4. The threshold value is the same as the monthly
average of hotspot number. The fire risk model was developed only for West
Kalimantan province using hotspot data from 2001-2013 from Terra and Aqua
satellites Modis. The results of the analysis suggested that the highest density of
hotspots generally occured around August for non-forest land cover types of peat
lands. Variability of hotspot density from July to October in this area was
significantly correlated with the variability of SST anomalies in NIÑO 3.4 region
with time lag of zero to two months. Based on risk matrix, it was found that the
probability of having hotspot above the threshold value will be more than 50% if
the the SST anomaly in NINO3.4 region was more than 0.5 oC. The probability to
have hotspot number more than threshold value when the SST anomaly at lag 0, 1
and 2 month were 63%, 54% and 50% respectively. For the future research, it is
suggested that the the development of hotspot forecasting model should use twophase regression techniques.
Keywords: Forest Fire, Hotspot, Land Cover, MODIS, Risk Matrix

PENGEMBANGAN MODEL PREDIKSI RISIKO
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN

BARAT MENGGUNAKAN DATA SATELIT

YADISTI EKA PUTRI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Pengembangan Model Prediksi Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan
di Kalimantan Barat menggunakan Data Satelit
Nama
: Yadisti Eka Putri

NIM
: G24100037

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Rizaldi Boer, MSc
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 hingga
September 2014 ini ialah kebakaran hutan, dengan judul Pengembangan Model

Prediksi Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Barat menggunakan
Data Satelit.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Rizaldi Boer, MSc
selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak ide, kritik serta saran
demi kelancaran karya ilmiah ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada
seluruh dosen Laboratorium Klimatologi yang telah banyak memberi saran dan
seluruh staf serta pengajar di Departemen Geofisika dan Meteorologi atas
bimbingan serta ilmu yang diberikan selama menjalani perkuliahan. Di samping
itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ka Eko Suryanto GFM 46 dan Ka
Rahmi Ariani GFM 44 yang telah membantu dalam konsultasi data serta
pengolahan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, mama, adik serta
seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya yang tiada batas. Tidak lupa
penulis juga berterimakasih kepada Katon Bagaskara F yang telah memberikan
motivasi serta semangat yang tiada henti selama pengerjaan karya ilmiah ini.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Tri Atmaja dan Alan Purba K serta
seluruh teman-teman Geofisika dan Meteorologi angkatan 47, teman-teman
GEMBELLE (Shailla R, Anggi R, Annisa N, Pipit PA dan Irza Arnita N) yang
selalu setia menjadi teman dikala suka maupun duka, teman-teman Kominfo
BEMKM IPB 2013, seluruh kerabat dekat di Institut Pertanian Bogor serta

seluruh anggota Laboratorium Klimatologi khususnya teman satu bimbingan
Ryco Farysca A dan Hasbi Bayhaqi atas dukungannya selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014
Yadisti Eka Putri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Kebakaran Hutan dan Lahan

3


Penginderaan Jauh dalam Kebakaran Hutan dan Lahan

5

Deteksi Titik Api (Hotspots) Kebakaran Hutan dan Lahan

6

METODE

8

Waktu dan Tempat Penelitian

8

Bahan

8


Alat

8

Prosedur Analisis Data

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

13

Jumlah dan Sebaran Titik Api (Hotspot)

13

Kepadatan Titik Api (Hotspot) Berdasarkan Jenis Lahan

14

Model Prediksi Peluang Titik Api (Hotspot) dengan Anomali SPL

25

SIMPULAN DAN SARAN

28

Simpulan

28

Saran

28

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

32

RIWAYAT HIDUP

43

DAFTAR TABEL
1 Beberapa penelitian yang memakai teknologi penginderaan jauh dalam
deteksi kejadian kebakaran hutan
2 Tahun penutupan lahan berdasarkan tahun data hotspot
3 Hubungan kategori penutupan lahan menurut SNI 7645:2010 dan IPCC
2006
4 Matrix peluang risiko kebakaran
5 Kepadatan titik api (hotspot) pada jenis lahan gambut dan mineral
6 Rata-rata kepadatan titik api (hotspot) berdasarkan kategori penutupan
lahan pada lahan gambut
7 Rata-rata kepadatan titik api (hotspot) berdasarkan kategori penutupan
lahan pada lahan mineral
8 Hubungan kepadatan titik api (hotspot) terhadap curah hujan pada
setiap kategori penutupan lahan pada lahan gambut
9 Hubungan kepadatan titik api (hotspot) terhadap curah hujan pada
setiap kategori penutupan lahan pada lahan mineral
10 Hubungan kepadatan titik api (hotspot) terhadap anomali SPL pada
setiap kategori penutupan lahan pada lahan gambut
11 Hubungan kepadatan titik api (hotspot) terhadap anomali SPL pada
setiap kategori penutupan lahan pada lahan mineral
12 Peluang kejadian dengan hotspot tinggi dan rendah menurut kondisi
anomali SPL berdasarkan beberapa lag pada lahan gambut
13 Peluang kejadian dengan hotspot tinggi dan rendah menurut kondisi
anomali SPL berdasarkan beberapa lag pada lahan mineral

6
9
9
11
15
21
21
23
23
24
24
26
27

DAFTAR GAMBAR
1 Prosedur analisis penelitian
2 Jumlah titik api (hotspot) tahunan di Provinsi Kalimantan Barat tahun
2001-2013
3 Rata-rata titik api (hotspot) bulanan di Provinsi Kalimantan Barat tahun
2001-2013
4 Kepadatan titik api (hotspot) di Provinsi Kalimantan Barat pada bulan
Juli-Oktober
5 Keterkaitan kepadatan titik api (hotspot) bulan Juli-Oktober terhadap
anomali SPL di Provinsi Kalimantan Barat
6 (a) Hubungan jumlah titik api (hotspot) dengan anomali SPL pada
analisis seluruh bulan (b) Hubungan jumlah titik api (hotspot) kumulatif
3 bulan dengan anomali SPL rataan 3 bulan pada analisis seluruh bulan
7 (a) Hubungan jumlah titik api (hotspot) dengan anomali SPL pada
analisis bulan Juli-Oktober (b) Hubungan jumlah titik api (hotspot)
kumulatif 3 bulan dengan anomali SPL rataan 3 bulan pada analisis
bulan Juli-Oktober
8 (a) Hubungan jumlah titik api (hotspot) dengan anomali SPL pada
analisis bulan Juli-Oktober saat lag 1 (b) Hubungan jumlah titik api

12
13
13
15
16
16

17

9
10

11

12
13

(hotspot) dengan anomali SPL pada analisis bulan Juli-Oktober saat lag
2
Keterkaitan kepadatan titik api (hotspot) bulan Juli-Oktober terhadap
anomali curah hujan di Provinsi Kalimantan Barat
(a) Hubungan jumlah titik api (hotspot) dengan anomali curah hujan
pada analisis seluruh bulan (b) Hubungan jumlah titik api (hotspot)
kumulatif 3 bulan dengan anomali curah hujan kumulatif 3 bulan pada
analisis seluruh bulan
(a) Hubungan jumlah titik api (hotspot) dengan anomali curah hujan
pada analisis bulan Juli-Oktober (b) Hubungan jumlah titik api
(hotspot) kumulatif 3 bulan dengan anomali curah hujan kumulatif 3
bulan pada analisis bulan Juli-Oktober
Kepadatan titik api (hotspot) berdasarkan kategori penutupan lahan di
Provinsi Kalimantan Barat pada bulan Juli-Oktober dari tahun 20012013
(a) Kejadian kebakaran berdasarkan anomali SPL lag 0, lag 1 dan lag 2
menurut ambang batas pada lahan gambut (b) Kejadian kebakaran
berdasarkan anomali SPL lag 0, lag 1 dan lag 2 menurut ambang batas
pada lahan mineral

17
19

19

20
22

26

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil perhitungan jumlah titik api (hotspot) pada jenis lahan gambut di
Provinsi Kalimantan Barat
2 Hasil perhitungan jumlah titik api (hotspot) pada jenis lahan mineral di
Provinsi Kalimantan Barat
3 Hasil analisis regresi hubungan kepadatan titik api (hotspot) dengan
anomali SPL dan curah hujan bulanan pada seluruh bulan
4 Hasil analisis regresi hubungan kepadatan titik api (hotspot) dengan
anomali SPL dan curah hujan bulanan pada bulan Juli-Oktober

32
32
32
38

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebakaran hutan merupakan peristiwa yang sering terjadi di Indonesia.
Kejadian ini menjadi pusat perhatian dunia karena dampak yang ditimbulkan
sangat besar tidak hanya pada tingkat lokal tetapi juga sampai pada tingkat global.
Dampak lokal dapat berupa gangguan kesehatan yang timbulkan akibat kabut asap.
Gangguan kesehatan tersebut berupa penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan
Atas) akibat udara yang sudah tercemarkan. Dampak lokal lainnya adalah
gangguan penglihatan dan berkurangnya jarak pandang sehingga dapat
menyebabkan gangguan aktivitas masyarakat termasuk gangguan penerbangan.
Sementara itu, dampak global ialah dapat menyebabkan kenaikan konsentrasi C02
di atmosfer.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh berbagai macam
faktor. Sebagian besar kejadian kebakaran hutan di Indonesia disebabkan oleh
faktor manusia, khususnya oleh masyarakat sekitar hutan dan perusahaanperusahaan. Praktek persiapan lahan untuk penanaman yang masih menggunakan
api seringkali menjadi pemicu penyebab terjadi kebakaran hebat khususnya pada
saat terjadi kemarau panjang.. Fuller (1995) manyatakan bahwa unsur-unsur iklim
sangat berpengaruh besar terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan karena
iklim dapat mempengaruhi kondisi bahan bakar dan tingkat kemudahan terbakar.
ADB/BAPPENAS (1999) menyebutkan kebakaran hutan dan lahan yang
sering terjadi di Indonesia banyak terjadi di pulau Kalimantan dan Sumatera.
Kejadian kebakaran hutan dengan intensitas yang besar di Indonesia khususnya
pulau Kalimantan dan Sumatera mulai terekam sejak tahun 1982-1983 pada saat
terjadinya El Niño kuat. Selain tahun 1982-1983, kebakaran hebat kembali terjadi
pada tahun El Niño 1987,1991,1994 dan 1997-1998 (Bowen et al. 2001).
Kebakaran hebat kembali selalu berulang pada saat El Niño terjadi (van der Werf
2008). Kebakaran yang hebat dan sulit dikendalikan umumnya terjadi di lahan
gambut (Jayantika 2013) dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh kebakaran
ini sangat besar. Menurut Tacconi (2003), kebakaran hutan dan lahan gambut
tahun 1997-1998 yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan telah menimbulkan
kerugian ekonomi mencapai 1,62-2,7 miliar dolar.
Fenomena El Niño yang selalu menjadi pemicu terjadinya kebakaran hebat
di Indonesia, kejadiannya dapat dideteksi lebih awal. Fenomena El Niño biasanya
mulai terjadi sekitar bulan Mei yang diindikasikan dengan terjadinya kenaikan
suhu muka laut di kawasan lautan Pasifik melebihi normal. Kalau fenomena ini
sudah terjadi, biasanya akan terus berlanjut sampai berakhir siklusnya. Kenaikan
suhu muka laut di kawasan Pasifik akan berdampak pada menurunnya hujan di
wilayah Indonesia, khususnya pada musim kemarau dan awal musim hujan akan
mengalami keterlambatan dibanding normal. Oleh karena itu, penggunaan
informasi kondisi suhu muka laut di kawasan Pasifik sangat potensial untuk
memprakirakan besarnya risiko kebakaran di wilayah Indonesia, khususnya pada
wilayah yang keragaman hujannya sangat dipengaruhi oleh fenomena ini.
Indikasi terjadinya kebakaran seringkali menggunakan data hotspot (titik
api). Hingga saat ini deteksi titik api (hotspot) masih dipercaya sebagai salah satu

2
cara yang cocok dan efektif dalam menggambarkan keragaman musiman, tahunan
dan waktu terjadinya kebakaran (e,g, Sulistyowati 2004; Heryalianto 2005; Siwi
2013). Banyak penelitian menunjukkan bahwa keragaman titik api berhubungan
nyata dengan keragaman hujan (Sukmawati 2006; Boer et al. 2009; Prasasti 2012;
Jayantika 2013; Sulistyowati 2004; Siwi 2013; Samsuri 2008; Kayoman 2010).
Jumlah titik api meningkat tajam pada saat hujan pada musim kemarau lebih
rendah dari normal. Sementara itu, penelitian lain juga banyak menunjukkan
bahwa keragaman hujan di Indonesia, khususnya kejadian iklim ekstrim seperti
kekeringan juga seringkali berhubungan dengan kejadian El Niño (Kirono dan
Partridge 2002; Boer dan Subbiah 2004).
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, fenomena El Niño kejadiannya dapat
dideteksi lebih awal. Oleh karena itu, banyak Negara mengembangkan model
untuk memprakiraan peluang kejadian hujan dengan menggunakan indikator El
Niño (Kirono dan Partridge 2002). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
sifat hujan pada suatu musim tertentu dapat dijelaskan oleh keragaman anomali
suhu muka laut 2 bulan sebelumnya (disebut lag 2). Pengembangan model
prakiraan ancaman kebakaran dengan menggunakan informasi anomali suhu
muka laut diharapkan dapat meningkatkan efektifitas upaya pencegahan
kebakaran di Indonesia karena ancaman kebakaran akan dapat diketahui lebih
awal.
Pada saat ini, model ancaman kebakaran yang berkembang masih
berdasarkan pada prakiraan cuaca yang selang waktu prakiraannya hanya dalam
rentang waktu harian atau paling panjang satu minggu. Oleh karena itu sistem
informasi peringatan dini yang berbasis informasi cuaca kurang efektif digunakan
untuk upaya yang sifatnya pencegahan. Waktu yang tersedia untuk melakukan
upaya pencegahan sangat singkat. Penggunaan informasi suhu muka laut di
kawasan pasifik diperkirakan dapat menghasilkan sistem peringatan dini
kebakaran yang sifatnya musiman. Dalam hal ini. sistem peringatan dini bersifat
musiman mampu memberikan informasi akan besar tingkat ancaman bahaya
(bencana) jauh lebih awal sampai beberapa bulan di depan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kepadatan titik
api (hotspot) berdasarkan kategori penutupan lahan dan anomali suhu permukaan
laut (SPL) serta curah hujan musiman, menyusun model prediksi peluang aktivitas
kebakaran dengan anomali suhu permukaan laut (SPL) menggunakan matrix
peluang dan menentukan model prediksi jumlah titik api terbaik untuk berbagai
jenis tutupan lahan dan jenis tanah dengan menggunakan anomali suhu
permukaan laut (SPL) dan curah hujan musiman.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Kebakaran Hutan dan Lahan
Brown dan Davis (1973) menjelaskan teori segitiga api atau biasa disebut
The Fire Triangle. Segitiga api tersebut merupakan komponen penyusun untuk
terjadinya suatu kebakaran. Komponen penyusun tersebut terdiri dari bahan bakar,
sumber api (api) dan oksigen. Ketiga komponen dari segitiga api tersebut
merupakan syarat terjadinya suatu kebakaran, karena jika salah satu komponen
atau lebih tidak ada maka tidak akan terjadi suatu kebakaran. Sedangkan jika salah
satu komponen atau lebih dalam kondisi lemah, maka pembakaran akan menurun.
Brown dan Davis (1973) menjelaskan bahwa proses kebakaran merupakan
kebalikan dari proses fotosintesis. Sehingga persamaannya sebagai berikut:
Proses fotosintesis :
CO2 + H2O + Energi Matahari
(C6H12O6 )n + O
Rekasi pembakaran :
(C6H12O6 )n + O + Kindling Temperature
CO2 + H2O + Api
Adapun terdapat dua jenis faktor-faktor pendorong terjadinya kebakaran
hutan dan lahan yaitu faktor biofisik dan faktor aktivitas manusia.
a.

Faktor Biofisik

1.

Jenis Bahan Bakar
Berdasarkan potensinya dalam menimbulkan kebakaran, Hawley dan Stickel
(1948) dalam Heryalianto (2006) membagi tipe bahan bakar menjadi 7 kelompok,
yaitu :
1. Pohon hidup yang menyusun hutan
2. Semak belukar
3. Rumput tanaman yang menutupi tanah
4. Serasah dan humus
5. Dahan mati dan lumut yang terdapat dipohon hidup
6. Pohon mati yang masih berdiri
7. Sisa pembalakkan
2.

Iklim dan Cuaca
Iklim dan cuaca menentukan bagaimana keadaan bahan bakar yang tersedia
di dalam hutan. Iklim dan cuaca tersebut mempengaruhi kadar air pada bahan
bakar sehingga saat bahan bakar dalam keadaan kering maka proses penyalaan api
dapat dengan mudah terjadi. Selain itu, menurut Famurianty (2011) faktor iklim
dan cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan ,yaitu suhu dan kecepatan angin
yang tinggi serta kelembaban dan curah hujan yang relatif rendah. Intensitas
curah hujan yang tinggi namun frekuensinya pendek, tidak mampu meningkatkan
kelembaban bahan bakar, sedangkan jika intensitas curah hujan rendah namun
dalam waktu yang panjang maka bahan bakar akan lebih banyak menyerap air.
Chandler et al. (1983) juga menjelaskan bahwa faktor iklim mempengaruhi
jumlah total bahan bakar yang tersedia untuk pembakaran, panjang kejadian
kebakaran serta kadar air bahan bakar yang menyebabkan penyalaan serta

4
penjalaran api. Brown dan Davis (1973) menyatakan bahwa pola, lamanya dan
intensitas musim kebakaran suatu daerah merupakan fungsi utama dari iklim
tetapi sangat dipengaruhi oleh sifat bahan bakar hutan. Selain itu, musim
kebakaran parah juga dihubungkan dengan musim kering yang berskala dan
cenderung terjadi dalam suatu siklus.
Kebakaran hutan juga didukung oleh kondisi cuaca yang ekstrem. Cuaca
ektrem tersebut ditandai kekeringan yang berkepanjangan yang disertai oleh suhu
udara yang tinggi dan kelembaban relatif yang rendah. Hal tersebut menyebabkan
kebakaran besar karena kondisi tersebut berhasil menurunkan kandungan
kelengasan bahan bakar hutan mencapai kondisi rendah yang ekstrem. Sementara
itu, kondisi kebakaran yang hebat biasanya terjadi pada siang hari yang terik dan
beberapa kebakaran dengan intensitas tertinggi juga dapat terjadi pada malam hari.
Penyebaran kebakarapun dapat terjadi sangat cepat ketika suhu maupun
kelembaban udara tidak ekstrem (Brown dan Davis 1973).
Cuaca yang ekstrem tersebut dapat disebabkan oleh penyimpangan musim
yang terjadi. Keberadaan musim seringkali mengalami pergeseran atau
penyimpangan dari kondisi normal. Penyimpangan tersebut dapat menyebabkan
dampak negatif. Salah satu penyimpangan iklim adalah fenomena El Niño
Southern Oscilation (ENSO). Peristiwa El Niño Southern Oscilation (ENSO) akan
berasosiasi dengan kejadian kemarau panjang atau biasa disebut kekeringan.
Sebagai contoh El Niño Southern Oscilation (ENSO) tahun 1997 yang
menyebabkan kebakaran hutan dengan intensitas yang cukup besar (Rajiman
2005).
3.

Topografi
Menurut Famurianty (2011) faktor topografi juga mempengaruhi bagaimana
penyalaan api sampai dengan penjalaran api. Faktor topografi antara lain
kemiringan lahan ,bentang alam dan aspek. Semakin curam kemiringan suatu
lereng, maka api akan semakin cepat penjalarannya. Hal ini disebabkan oleh aliran
angin yang biasanya menuju puncak, sedangkan udara yang terapikan akan
menambah kecepatan angin kemudian bara api akan jatuh ke bawah dan akhirnya
akan menimpa pada bahan bakar baru. Selanjutnya, bentang alam juga
berpengaruh terhadap pola angin setempat yang dapat menjadi penghalang dan
merubah aliran udara yang menyebabkan turbulensi. Faktor topografi selanjutnya
adalah aspek, aspek merupakan arah hadap lereng terhadap penyinaran matahari.
Karena lereng yang pertama kali mendapat penyinaran matahari akan
mempengaruhi cuaca setempat, seperti suhu, kelembaban dan arah angin.
4.

Pengaruh dan Perubahan Penggunaan Lahan
Pengaruh dan perubahan penggunaan lahan juga menjadi faktor yang
penting untuk analisis kepadatan titik api (hotspot). Karena jenis penutupan lahan
menentukan banyak atau tidaknya keberadaan titik api (hotspot) pada suatu
daerah. Menurut Tacconi (2003) salah satu faktor penyebab kebakaran yang
cukup menonjol adalah faktor penutupan lahan dan perubahannya. Sebagai contoh
saat kebakaran hutan tahun 1997/1998 di Indonesia diperoleh bahwa lahan
pertanian menempati urutan pertama dalam luas kawasan yang terbakar di
Sumatera. Urutan kedua adalah hutan payau dan gambut, selanjutnya diikuti oleh
lahan hutan dataran rendah, semak dan rumput, hutan tanaman dan perkebunan.

5
b.

Faktor Aktivitas Manusia
Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia selain disebabkan oleh faktor
biofisik, juga disebabkan oleh aktivitas kegiatan manusia. Menurut Prasasti
(2012) berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chokkalingan dan Suyanto
(2004) di Sumatera, berhasil mengidentifikasikan beberapa penyebab kebakaran
di lahan basah berdasarkan aktivitas manusia antara lain : penggunaan api dalam
pengelolaan lahan oleh masyarakat, pembakaran untuk pembersihan lahan oleh
perusahaan hutan dan perkebunan, pembukaan daerah transmigrasi, pembangunan
berskala besar, konversi lahan dan konflik antara perusahaan dan masyarakat.
Penginderaan Jauh dalam Kebakaran Hutan dan Lahan

Penginderaan jauh merupakan ilmu atau teknik dan seni untuk memperoleh
informasi mengenai obyek suatu daerah serta gejala-gejala alam. Hal tersebut
dapat diperoleh tanpa adanya kontak langsung dengan obyek yang dijadikan
tujuan (Lillesand et al. 2004). Sementara itu, satelit penginderaan jauh
mempunyai peranan yang sangat penting dalam identifikasi dan pemetaan
kebakaran hutan serta perekaman frekuensi kerusakan pada wilayah atau tipe
vegetasi. Penginderaan jauh juga dapat digunakan untuk memahami perilaku
kebakaran, faktor lingkungan yang berpengaruh dan faktor utama yang
mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan. Melalui satelit penginderaan jauh juga
dapat menganalisis pada skala spasial dan geografis sehingga resiko kebakaran
dapat diketahui sejak dini.
Beberapa penelitian di Indonesia tentang penggunakan teknologi
penginderaan jauh untuk memantau kejadian kebakaran hutan dan lahan telah
menghasilkan beberapa temuan penting. Sulistyowati (2004) menemukan bahwa
hubungan jumlah titik api di wilayah Ogan Komering Ilir dengan curah hujan
sangat berpengaruh nyata. Jumlah titik api meningkat tajam apabila hujan musim
kemarau mengalami penurunan jauh di bawah normal. Beberapa penelitian lain
juga menemukan hal yang sama (Sukmawati 2006; Siwi 2013; Jayantika 2013;
Kayoman 2010).
Adapun temuan penting lainnya adalah sebaran titik panas tidak lepas dari
faktor penutupan serta penggunaan lahan (Samsuri 2008; Kayoman 2010).
Jayantika (2013) menemukan bahwa jumlah titik api di kabupaten Kapuas banyak
ditemukan di penutupan lahan berjenis belukar rawa, hutan lahan kering, hutan
rawa sekunder dan perkebunan. Heryalianto (2006) juga menemukan sebaran titik
panas tertinggi di provinsi Kalimantan Barat banyak terdapat pada penutupan
berupa hutan dan perkebunan.

6
Tabel 1 Beberapa penelitian yang memakai teknologi penginderaan jauh dalam
deteksi kejadian kebakaran hutan
Judul Penelitian

Tahun

Nama Peneliti

Jenis
Penelitian

Hubungan Unsur Iklim dengan Titik
Panas (Hotspot) di Kabupaten Ogan
Komering Ilir, Propinsi Sumatera Selatan
Periode Tahun 2001-2002

2004

Sri Sulistyowati

Skripsi

Studi tentang Sebaran Titik Panas
(Hotspot) sebagai Penduga Kebakaran
Hutan dan Lahan di Propinsi Kalimantan
Barat Tahun 2003 dan Tahun 2004

2006

Setya Candra
Heryalianto

Skripsi

Hubungan antara Curah Hujan dengan
Titik Panas (Hotspot) sebagai indikator
Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan
di Kabupaten Pontianak Propinsi
Kalimantan Barat

2006

Aprilia Sukmawati

Skripsi

Model Spasial Tingkat Kerawanan
Kebakaran Hutan dan Lahan

2008

Samsuri

Tesis

Pemodelan Spasial Resiko Kebakaran
Hutan dan Lahan di Provinsi Kalimantan
Barat

2010

Langgeng Kayoman

Skripsi

Perbandingan Sumber Hotspot sebagai
Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan
Gambut dan Korelasinya dengan Curah
Hujan di Desa Sepahat, Kabupaten
Bengkalis, Provinsi Riau

2013

Rinenggo Siwi

Skripsi

Hubungan antara Titik Panas dengan
Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan
(Studi Kasus: Kabupaten Kapuas,
Provinsi Kalimantan Tengah)

2013

Merina Jayantika

Skripsi

Deteksi Titik Api (Hotspots) Kebakaran Hutan dan Lahan
Kondisi suhu yang panas karena kebakaran hutan dan lahan sering terpantau
oleh satelit sebagai titik api (hotspot). Titik api (hotspot) tersebut mendeteksi
kebakaran aktif yang didasarkan dari radiasi inframerah termal (TIR= Thermal
Infrared) yang diemisikan oleh kejadian kebakaran (Prasasti 2012). Sementara itu,
menurut Boer et al. (2009) titik api (hotspot) didefinisikan sebagai titik-titik pada
citra (pixel atau sub-pixel) yang mempunyai suhu sangat tinggi dan berhubungan
dengan active fire (kobaran api) di permukaan bumi. Menurut hukum pergeseran
Wien’s, suhu tersebut berkisar antara 400°K sampai dengan 700°K di permukaan
bumi. Suhu titik api tersebut pada citra dapat dihasilkan berdasarkan nilai suhu
kecerahannya (Temperature Brigtness = Tb).
Titik api atau hotspot dapat direkam melalui satelit NOAA-AVHRR dan
MODIS. Prasasti (2012) menyebutkan kedua satelit tersebut dapat menunjukkan
indikasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Data titik api (hotspot) dari
NOAA-AVHRR memanfaatkan data kanal 3 (kanal inframerah panjang) dengan

7
panjang gelombang 10.3-11.3 µm, sedangkan data MODIS memanfaatkan kanalkanal dengan panjang gelombang 4-11 µ m. Sementara itu, Kaufman et al. (1998)
dalam Giglio et al. (2003) menjelaskan nilai ambang batas untuk menentukan
sebuah titik api (hotspot) oleh satelit MODIS ,yaitu jika terdapat suhu lebih dari
360 K (87°C) untuk siang hari dan suhu 320 K (47°C) untuk malam hari.
Satelit NOAA-AVHRR dan MODIS memiliki kelebihan dan kelemahan
dalam menangkap obyek. Menurut Adinugroho et al. (2005) kelemahan dari
satelit NOAA-AVHRR ,yaitu sensornya tidak dapat menembus awan, asap dan
aerosol sehingga memungkinkan jumlah titik api (hotspot) yang terdeteksi pada
saat kebakaran besar jauh lebih rendah daripada yang seharusnya atau sebaliknya.
Selain itu menurut Kaufman et al. (1990) dalam Fuller (2003) algoritma dari
aplikasi data AVHRR tidak mampu menghasilkan nilai suhu permukaan yang
lebih tinggi dari 325 K. Hal tersebut dapat mengakibatkan nilai suhu maksimum
yang berada diluar sensor tidak dapat terdeteksi. Hal ini dikarenakan adanya
kejenuhan (saturasi) dalam kanal 3 (3.55-3.93 µm). Adapun kelebihan dari
MODIS dibanding NOAA-AVHRR menurut Toha (2008) diantaranya MODIS
memiliki lebih banyak spektral gelombang (resolusi radiometrik) dan lebih teliti
dalam cakupan lahan (resolusi spasial) serta tingginya frekuensi pengamatan
(resolusi temporal). Hal tersebut didukung oleh Kaufman et al. (1990) dalam
Fuller (2003) yang menyebutkan satelit MODIS memiliki posisi geolokasi lebih
baik, penggunaan metode pemrosesan data yang lebih konsisten dan informasi
yang didapat lebih cepat yaitu melalui internet. Fuller (2003) juga menyebutkan
bahwa 36 kanal yang dimiliki oleh MODIS membuat pengoreksian suhu yang
tidak benar menjadi lebih banyak dibandingkan dengan AVHRR yang hanya
memiliki 4 kanal.
Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) yang
merupakan bagian dari NASA’s Earth Observing System (EOS) mempunyai dua
jenis satelit, yaitu satelit Terra dan Aqua. MODIS dengan satelit Terra memulai
untuk merekam data pada bulan Februari 2000, sedangkan pada satelit Aqua pada
bulan Juni 2002. Perbedaan antara satelit Terra maupun Aqua terletak pada
wilayah pengamatan. Satelit Aqua menangkap obyek dari badan air sedangkan
satelit Terra menangkap obyek dari daratan.
Adapun produk-produk serta pencapaian riset yang dihasilkan dari satelit
MODIS, Toha (2008) menyebutkan bahwa satelit MODIS terbagi menjadi tiga
produk, yaitu produk pengamatan vegetasi, radiasi permukaan bumi dan tutupan
lahan. Adapun pencapaian riset dari satelit MODIS adalah dalam pendeteksian
kebakaran hutan, pendeteksian perubahan tutupan lahan dan pengukuran suhu
permukaan bumi. Contoh MODIS dalam studi active fire menurut Justice et al.
(2011c) dalam Ramachandran et al. (2011c) adalah The Fire Information for
Resource Management System (FIRMS). FIRMS berintegrasi kepada satelit
penginderaan jauh dan teknologi Geographyc Information System (GIS) untuk
mengirimkan data MODIS active fire secara alami ke seluruh dunia. FIRMS
mengirimkan deteksi MODIS active fire melalui tiga cara, yaitu pemetaan
berbasis web, pengiriman sinyal berbasiskan e-mail dan penyedia pesan singkat
(SMS).

8

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret 2014 hingga bulan September
2014 di Laboratorium Klimatologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah sebagai berikut,
1. Digital data sebaran titik api (hotspot) Provinsi Kalimantan Barat berupa
data vektor dari satelit MODIS Terra dan Aqua hasil pemantauan NASA
National Aeronautics and Space Administration (NASA) Fire Information
Resources Management System (FIRMS) active fire periode tahun 20012013 yang diperoleh dari website : (https://earthdata.nasa.gov/data/nearreal-time-data/firms/active-fire-data#tab-content-7).
2. Data iklim Provinsi Kalimantan Barat meliputi data curah hujan harian
yang diolah menjadi curah hujan bulanan (mm/bulan) hasil pemantauan
satelit TRMM 3B42 periode tahun 2001-2013 yang diperoleh dari website:
(http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NASA/.GES-DAAC/. TRMM_
L3/. TRMM_3B42/.v7/.daily/). Metode pengolahan data satelit jadi data
hujan dapat dilihat dalam Huffman et al. (2007, 2010).
3. Data anomali suhu permukaan laut (SPL) dari NIÑO 3.4 periode tahun
2001-2013
yang
diperoleh
dari
website:
(http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/sstoi.indices).
4. Digital data penutupan penggunaan lahan (landuse cover) wilayah
Provinsi Kalimantan Barat tahun 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2011.
5. Peta dasar batas administrasi Provinsi Kalimantan Barat.
Alat
Alat yang digunakan sebagai berikut,
Seperangkat komputer.
Perangkat lunak ArcGIS versi 9.3 yang digunakan untuk pengolahan data
hotspot.
3. Perangkat lunak Minitab versi 16 untuk analisis regresi.
4. Perangkat lunak Microsoft Office 2010 sebagai perangkat lunak tambahan
untuk pengolahan data.
1.
2.

Prosedur Analisis Data
Penelitian dilakukan dalam beberapa proses tahapan. Langkah pertama yang
dilakukan adalah menyiapkan data dengan cara mengunduh pada situs-situs yang
telah ditetapkan serta menyiapkan data pendukung lainnya. Selain itu
mempersiapkan alat yang di pakai untuk pengolahan data.

9
Pengolahan Data Titik Api (Hotspot)
Data titik api (hotspot) berupa data spasial hasil pemantauan satelit MODIS
Terra maupun Aqua. Pengolahan data ini menggunakan perangkat lunak ArcGIS
versi 9.3 berdasarkan wilayah Provinsi Kalimantan Barat dan penutupan lahan
yang dipisahkan antara lahan gambut dan mineral. Berikutnya, data titik api
(hotspot) direkapitulasi di setiap bulan dan tahunnya. Adapun tahun penutupan
lahan yang ditumpang tindihkan dengan data titik api (hotspot) (Tabel 2).
Tabel 2 Tahun penutupan lahan berdasarkan tahun data hotspot
Tahun Hotspot
2001-2002
2003-2005
2006-2008
2009-2010
2011-2013

Tahun Penutupan lahan
2000
2003
2006
2009
2011

Pengolahan Kepadatan Titik Api (hotspot)
Kepadatan titik api (hotspot) diolah berdasarkan jenis lahan dan kategori
penutupan lahan di setiap bulan dan tahunnya. Berikut merupakan persamaan
penentuan kepadatan titik api (hotspot).
Kepadatan �

=

∑Hs
A

. . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (1)

Keterangan :
∑ Hs
: Jumlah hotspot
A
: Luas jenis lahan / luas penutupan lahan (Km2) (termasuk yang tidak
tertutupi hotspot)
Adapun kategori penutupan lahan sebagai berikut,
Tabel 3 Hubungan kategori penutupan lahan menurut SNI 7645:2010 dan IPCC
2006
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Kategori Penutupan Lahan
Menurut SNI 7645:2010
Hutan Lahan Kering Primer
Hutan Lahan Kering Sekunder
Hutan Mangrove Primer
Hutan Rawa Primer
Hutan Mangrove Sekunder
Hutan Rawa Sekunder
Hutan Tanaman
Belukar
Belukar Rawa
Perkebunan
Pemukiman RURAL
Pemukiman URBAN

Kode
2001
2002
2004
2005
20041
20051
2006
2007
20071
2010
2012
20123

Kategori Penutupan Lahan
Menurut IPCC 2006
Forest Land
Forest Land
Forest Land
Forest Land
Forest Land
Forest Land
Forest Land
Grass Land
Grass Land
Crop Land (Perennial)
Settlements Land
Settlements Land

10
13. Tanah Kosong
14. Rumput
15. Pertanian Lahan Kering
16. Pertanian Lahan Kering Campur
17. Sawah
18. Tambak
19. Bandara
20. Transmigrasi
21. Pertambangan
22. Rawa
23. Air
Sumber : KEMENHUT (2010)

2014
3000
20091
20092
20093
20094
20121
20122
20141
50011
5001

Other Land
Grass Land
Crop Land (Annual)
Crop Land (Annual)
Wet Land
Wet Land
Other Land
Settlements Land
Other Land
Wet Land
Wet Land

Analisis Data Curah Hujan dengan Jumlah Titik Api (Hotspot)
Data curah hujan yang dipakai pada tahap ini adalah curah hujan bulanan
normalisasi dan kumulatif 3 bulan Provinsi Kalimantan Barat dari tahun 20012013, sedangkan data jumlah titik api (hotspot) yang dipakai menyesuaikan data
curah hujannya. Tahapan ini mempelajari pola hubungan antara curah hujan dan
jumlah titik api (hotspot) berdasarkan jenis lahan dan menentukan model terbaik
antara hubungan bulanan dan kumulatif 3 bulan (analisis data seluruh bulan
maupun periode bulan Juli-Oktober) menggunakan analisis regresi.
Analisis Data Curah Hujan dengan Kepadatan Titik Api (Hotspot)
Data titik api (hotspot) yang dipakai pada tahap ini adalah data kepadatan
titik api (hotspot) bulan Juli-Oktober tahun 2001-2013, sedangkan curah hujan
yang dipakai adalah curah hujan bulanan di Provinsi Kalimantan Barat tahun
2001-2013. Kepadatan titik api (hotspot) tersebut dianalisis berdasarkan 7
kategori penutupan lahan. Tahapan ini ingin mengetahui kategori penutupan lahan
mana yang mempunyai pengaruh yang nyata atau signifikan terhadap curah hujan
bulanan menggunakan analisis regresi.
Analisis Data Anomali Suhu Permukaan Laut (SPL) (NIÑO 3.4) dengan
Jumlah Titik Api (Hotspot)
Data anomali yang dipakai pada tahap ini adalah anomali SPL bulanan dan
rataan 3 bulan tahun 2001-2013, begitu pula data jumlah titik api (hotspot) yang
dipakai adalah jumlah titik api (hotspot) bulanan dan kumulatif 3 bulan. Tahapan
ini mempelajari pola hubungan antara anomali SPL dan jumlah titik api (hotspot)
berdasarkan jenis lahan dan menentukan model terbaik antara hubungan bulanan
dan kumulatif 3 bulan (analisis data seluruh bulan maupun periode bulan JuliOktober) menggunakan analisis regresi. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan
prediksi 1 hingga 2 bulan kedepan, anomali SPL dibuatkan lag 1 dan lag 2. Data
yang digunakan merupakan analisis bulanan pada periode bulan Juli-Oktober.
Analisis Data Anomali Suhu Permukaan Laut (SPL) (NIÑO 3.4) dengan
Kepadatan Titik Api (hotspot)
Data titik api (hotspot) yang dipakai pada tahap ini adalah data kepadatan
titik api (hotspot) periode bulan Juli-Oktober tahun 2001-2013 di Provinsi
Kalimantan Barat. Kepadatan titik api (hotspot) tersebut dianalisis berdasarkan 7

11
kategori penutupan lahan, sedangkan SPL yang dipakai adalah anomali SPL bulan
Juli-Oktober dari NIÑO 3.4 tahun 2001-2013. Tahapan ini ingin mengetahui
kategori penutupan lahan mana yang mempunyai pengaruh yang nyata atau
signifikan terhadap anomali SPL bulanan menggunakan analisis regresi.
Analisis Peluang Kejadian Titik Api (Hotspot) Berdasarkan Kondisi Anomali
SPL
Data titik api (hotspot) yang digunakan adalah jumlah titik api (hotspot)
dari periode bulan Juli-Oktober tahun 2001-2013 yang dibedakan antara lahan
gambut dan mineral. Berikutnya anomali SPL yang digunakan merupakan SPL
dari NIÑO 3.4 yang diambil dari bulan Juli-Oktober tahun 2001-2013. Adapun
tahap awal penentuan analisis peluang, yaitu menentukan ambang batas jumlah
titik api (hotspot) dan anomali SPL. Ambang batas jumlah titik api (hotspot)
didapatkan dari nilai rata-rata (mean) seluruh tahun kejadian kebakaran, dalam hal
ini rata-rata kebakaran seluruh tahun yang dipakai. Dalam hal ini, apabila
diprakiraan peluang jumlah titik api di atas batas rata-rata maka berarti tingkat
ancaman terjadinya kebakaran tinggi. Sementara itu ambang batas anomali SPL
yaitu sebesar 0.5°C hal ini karena jika anomali suhu permukaan laut berada dan
diatas suhu tersebut berarti sudah mengindikasikan kejadian El Niño.
Setelah penentuan ambang batas jumlah titik api (hotspot) dan anomali SPL,
selanjutnya disusun matriks peluang risiko kebakaran seperti yang ditunjukkan
oleh Tabel 4. Matrik peluang tersebut digunakan untuk mengetahui banyak
kejadian yang jumlah titik api melebihi nilai ambang batas (threshold) untuk
kondisi suhu muka laut di atas dan di bawah 0.5°C pada 0, 1 dan 2 bulan
sebelumnya. Besar kecilnya nilai peluang ini akan menggambarkan tingkat risiko
kebakaran apabila kondisi anomali suhu muka laut pada 0, 1 atau 2 bulan
sebelumnya sudah diketahui.
Tabel 4 Matrix peluang risiko kebakaran
Matrix Peluang
High Fire
Low Fire

High NIÑO 3.4
N(1,1)
N(0,1)

Low NIÑO 3.4
N(1,0)
N(0,0)

Keterangan:
N(1,1) menunjukkan banyak kejadian (bulan) yang jumlah hotspot di atas nilai rata-rata (High
Fire) pada saat SPL di atas 0.5°C (High NINO3.4).
N(1,0) menunjukkan banyak kejadian (bulan) yang jumlah hotspot di atas nilai rata-rata (High
Fire) pada saat SPL di bawah 0.5°C (Low NINO3.4).
N(0,1) menunjukkan banyak kejadian (bulan) yang jumlah hotspot di bawah nilai rata-rata (Low
Fire) pada saat SPL di atas 0.5°C (High NINO3.4).
N(0,0) menunjukkan banyak kejadian (bulan) yang jumlah hotspot di bawah nilai rata-rata (Low
Fire) pada saat SPL di bawah 0.5°C (Low NINO3.4).

Adapun persamaan untuk menduga peluang risiko kebakaran berdasarkan kondisi
anomali SPL dari NIÑO . ialah sebagai berikut
Peluang High Fire saat High NIÑO . =

N ,

N , +N ,

........................(2)

12
Peluang � � �� � �� ���ℎ NIÑO . = N

Peluang ���ℎ �� � �� � � NIÑO . = N
Peluang � � �� � �� � � NIÑO . =



N

,

……..….....……(3)

,

………..….……(4)

,

+N ,

,

+N ,

N

N ,

, +� ,

………….......….(5)

Mulai

Data curah hujan
bulanan TRMM 3B42
tahun 2001-2013

Curah hujan
Anomali

Curah hujan
Bulanan

Data hotspot harian
NASA FIRMS active
fire tahun 2001-2013

Data anomali SPL
bulanan dari NIÑO
3.4 tahun 2001-2013

Data hotspot di overlay
berdasarkan wilayah
Kalimantan Barat

Anomali SPL
(Lag 0,Lag1 dan Lag 2)

Data hotspot direkap
berdasarkan bulanan dan
menurut jenis lahan serta
penutupan lahan
Melihat hubungan antara
kepadatan hotspot
berdasarkan jenis lahan
dengan data anomali

Buat analisis regresi
berdasarkan bulanan
maupun kumulatif 3
bulan serta mencari
model terbaik
Melihat hubungan antara
kepadatan hotspot
berdasarkan penggunaan
penutupan lahan dengan
CH

Kepadatan hotspot
berdasarkan Jenis lahan
gambut dan mineral

Hotspot berdasarkan jenis
lahan gambut dan mineral

Kepadatan hotspot
berdasarkan penggunaan
penutupan lahan

Melihat hubungan antara
kepadatan hotspot
berdasarkan jenis lahan
dengan data anomali

Buat analisis regresi
berdasarkan bulanan
maupun kumulatif 3
bulan serta mencari
model terbaik
Melihat hubungan antara
kepadatan hotspot
berdasarkan penggunaan
penutupan lahan dengan
CH

Model prediksi peluang
resiko kebakaran hutan

Selesai

Gambar 1 Prosedur analisis penelitian

13

HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah dan Sebaran Titik Api (Hotspot)
Berdasarkan pengolahan data titik api (hotspot) hasil pemantauan dari satelit
MODIS Terra maupun Aqua, titik api dari tahun 2001-2013 di Provinsi
Kalimantan Barat memiliki keragaman baik pada lahan gambut maupun mineral.
Berikut merupakan hasil dari pengolahan data titik api (hotspot) berdasarkan
tahunan dan bulanan pada lahan gambut dan mineral yang tersajikan pada gambar
berikut.

Gambar 2 Jumlah titik api (hotspot) tahunan di Provinsi Kalimantan Barat tahun
2001-2013

Gambar 3 Rata-rata titik api (hotspot) bulanan di Provinsi Kalimantan Barat
tahun 2001-2013
Jumlah titik api (hotspot) berdasarkan tahun pada lahan gambut dan mineral
di Provinsi Kalimantan Barat dari tahun 2001-2013 (Gambar 2) memiliki pola
yang serupa pada setiap tahunnya. Jumlah titik api (hotspot) tertinggi pada lahan
gambut terdapat pada tahun 2006, disusul tahun 2009 dan 2002 dengan masingmasing jumlah titik api (hotspot) sebesar 3616, 3513, dan 1896 titik (Lampiran 1).
Jumlah titik api (hotspot) tertinggi lainnya pada lahan mineral terdapat pada tahun
2006, 2002 dan 2009 dengan jumlah titik api (hotspot) berturut-turut adalah
10028, 9167 dan 8561 titik (Lampiran 2).
Tahun 2002, 2006, 2009 dan 2012 merupakan tahun dimana titik api
(hotspot) mengalami kenaikan yang sangat signifikan pada lahan gambut dan
mineral. Hal ini ternyata disebabkan tahun 2002, 2006, 2009 dan 2012 merupakan
tahun dimana sedang terjadinya peristiwa El Niño. KLH (2014) menjelaskan
bahwa tahun 2006, 2009 dan 2012 merupakan tahun dimana terjadinya El Niño di

14
Indonesia. Saat kejadian El Niño, terdapat kenaikan titik api atau hotspot di
Provinsi rawan kebakaran. El Niño juga dapat memperluas kebakaran hutan
karena kekeringan yang panjang dan peningkatan suhu udara.
Selanjutnya, rata-rata titik api (hotspot) berdasarkan bulan pada lahan
gambut dan mineral di Provinsi Kalimantan Barat selama 13 tahun (Gambar 3)
memiliki pola yang serupa pada setiap bulannya. Kenaikan rata-rata titik api
(hotspot) tertingi terjadi pada bulan Agustus kemudian menurun hingga bulan
Desember dan mulai mengalami kenaikan kembali saat bulan Mei. Selain bulan
Agustus, rata-rata titik api (hotspot) tertinggi lainnya terjadi pada bulan September
dan Oktober. Adapun nilai rata-rata titik api (hotspot) pada lahan gambut saat
bulan Agustus, September dan Oktober berturut-turut adalah 492, 273 dan 162
titik (Lampiran 1), sedangkan nilai rata-rata titik api (hotspot) pada lahan mineral
saat bulan Agustus, September dan Oktober berturut-turut adalah 2621, 1073 dan
291 titik (Lampiran 2). Berbeda halnya pada bulan Desember, bulan Desember
merupakan bulan yang memiliki rata-rata titik api (hotspot) terendah pada lahan
gambut dan mineral dengan nilai rata-rata bulanan berturut-turut 2 dan 4 titik
(Lampiran 1 dan Lampran 2).
Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, bulan Juli, Agustus,
September dan Oktober dimana rata-rata titik api (hotspot) mengalami kenaikan
dan penurunan secara signifikan menjadi acuan analisis selanjutnya. Kenaikan
dan penurunan rata-rata titik api (hotspot) pada bulan-bulan tertentu tidak lepas
dari beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor musim kering dan musim basah.
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Kayoman (2010) data titik api
(hotspot) dalam lima tahun terakhir, yaitu tahun 2004, 2005, 2006, 2007 dan 2008
kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat terjadi pada bulan Agustus dan
September. Bulan-bulan tersebut, kegiatan pembersihan lahan dengan cara
membakar dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan maupun perusahaan
perkebunan dan kehutanan.
Kondisi cuaca yang sangat kering dan rendahnya jumlah curah hujan sangat
mempengaruhi luas hutan dan lahan yang terbakar. Hal ini juga didukung oleh
Putra dan Hadiwijoyo (2012) yang menyebutkan bahwa jika curah hujan tinggi
maka jumlah titik api (hotspot) akan semakin rendah, sebaliknya jika curah hujan
rendah maka titik api (hotspot) akan semakin banyak. Tinggi dan rendah jumlah
titik api (hotspot) tersebut dipengaruhi oleh tingginya suhu yang terdeteksi oleh
satelit akibat curah hujan yang rendah. Massal et al. (2014) menjelaskan bahwa
data titik api (hotspot) yang direkam melalui satelit dapat mendeteksi suhu
permukaan tanah yang lebih tinggi dari normal. Data tersebut dapat menunjukkan
kemungkinan terjadinya kebakaran.
Kepadatan Titik Api (Hotspot) Berdasarkan Jenis Lahan
Jumlah Kepadatan Titik Api (Hotspot) pada Lahan Gambut dan Mineral
Jumlah kepadatan titik api (hotspot) berdasarkan jenis lahan di Provinsi
Kalimantan Barat memiliki keragaman di setiap bulannya. Karena kepadatan titik
api (hotspot) di Provinsi Kalimantan Barat sangat bergantung pada luasan jenis
lahan baik yang tertutupi titik api (hotspot) maupun yang tidak. Kepadatan titik
api (hotspot) tersebut merupakan hasil pembagian jumlah titik api (hotspot) tiap
bulan dengan luas jenis lahan baik gambut maupun mineral yang didapatkan

15
melalui Geographyc Information System (GIS) atau Sistem Informasi Geografis
(SIG). Berikut merupakan tabel jumlah kepadatan titik api (hotspot) pada lahan
gambut dan mineral bulan Juli-Oktober tahun 2001-2013.
Tabel 5 Kepadatan titik api (hotspot) pada jenis lahan gambut dan mineral
Bulan
Rata-rata titik api (hotspot)
Luas (Km2)
Kepadatan titik api
(hotspot)(Hs/Km2)

Juli
Agustus
September
Oktober
Juli
Agustus
September
Oktober

Jenis Lahan
Gambut
Mineral
130
299
492
2612
273
1073
162
291
20145.94
211824.72
0.0065
0.0014
0.0244
0.0123
0.0136
0.0051
0.0081
0.0014

Gambar 4 Kepadatan titik api (hotspot) di Provinsi Kalimantan Barat pada bulan
Juli-Oktober
Berdasarkan kepadatan titik api (hotspot) menurut jenis lahan (Tabel 5)
kepadatan titik api (hotspot) dari bulan Juli-Oktober mengalami keragaman. Bulan
Agustus mempunyai kepadatan titik api (hotspot) tertinggi pada lahan gambut dan
mineral berturut-turut sebesar 0.0244 dan 0.0123 Hs/Km2 . Sedangkan, kepadatan
titik api (hotspot) terendah pada lahan gambut dan mineral terjadi pada bulan Juli
sebesar 0.0014 Hs/Km2 ,meskipun terdapat bulan Oktober pada lahan mineral
yang juga memiliki kepadatan titik api (hotspot) terendah sebesar 0,0014 Hs/Km2.
Berdasarkan hasil tersebut kepadatan titik api (hotspot) pada lahan gambut
lebih tinggi daripada lahan mineral (Gambar 4) meskipun jumlah titik api
(hotspot) lahan mineral lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh luasan lahan mineral
di Provinsi Kalimantan Barat lebih besar daripada lahan gambut. Selain itu, hal
yang menyebabkan kepadatan titik api (hotspot) lahan gambut lebih tinggi
daripada lahan mineral adalah jenis penutupan la