Aplikasi Selulosa Whiskers Bagas Tebu Sebagai Penguat Dalam Film Komposit Berbasis Pva/Mmt

APLIKASI SELULOSA WHISKERS BAGAS TEBU SEBAGAI
PENGUAT DALAM FILM KOMPOSIT BERBASIS PVA/MMT

ZAHRATUL AINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aplikasi Selulosa
Whiskers Bagas Tebu sebagai Penguat dalam Film Komposit Berbasis PVA/MMT
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016
Zahratul Aini
NIM G451130061

RINGKASAN
ZAHRATUL AINI. Aplikasi Selulosa Whiskers Bagas Tebu sebagai Penguat
dalam Film Komposit Berbasis PVA/MMT. Dibimbing oleh TUN TEDJA
IRAWADI, HENNY PURWANINGSIH dan LISMAN SURYANEGARA.
Di Indonesia, bagas tebu berpotensi sebagai sumber alternatif selulosa.
Bagas tebu merupakan hasil samping dari proses ekstraksi cairan tebu di pabrik
gula. Serat dari bagas tebu tidak dapat larut dalam air dan komposisi lignoselulosa
bagas tebu terdiri atas 52.7% selulosa, 20% hemiselulosa, dan 24.2% lignin
berdasarkan bobot kering. Hidrolisis asam dapat membuat mikroserat selulosa
mengalami pemutusan pada bagian amorfus dan meninggalkan bagian kristalin
yang disebut dengan selulosa whiskers. Kristal murni dari selulosa whiskers
memiliki tingkat kekakuan, luas permukaan, dan derajat kristalinitas yang tinggi
sehingga sangat baik diaplikasikan dalam matriks polimer dan dapat berperan
sebagai elemen penguat material.
Penambahan whiskers yang berukuran nanometer dalam komposit saat ini
sedang berkembang di dunia penelitian karena whiskers memiliki luas permukaan

yang sangat besar. Penelitian ini bertujuan menghasilkan selulosa whiskers dari
bagas tebu yang dapat diaplikasikan sebagai penguat dalam pembuatan film
komposit.
Isolat selulosa diisolasi menggunakan basa dan pemucatan peroksida
dilanjutkan hidrolisis asam pada suhu 45 °C. Selulosa whiskers dianalisis dengan
mikroskop elektron pemayaran (SEM), difraksi sinar-X (XRD), dan analisis
thermogravimetrik (TGA) pada atmosfer udara. Kemudian film komposit poli
(vinil alkohol) (PVA) dan mineral liat montmorilonit (MMT) dibuat dengan
metode cetak. Film komposit dianalisis kuat tarik, persen perpanjangan,
kristalinitas, dan degradasi termal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat
selulosa bagas tebu bisa digunakan sebagai sumber untuk mendapatkan selulosa
whiskers dan memiliki struktur dengan panjang (L) 100 nm-10 µm dan diameter
(D) 10-100 nm Film komposit berhasil diperkuat dengan selulosa whiskers
ditunjukkan dengan meningkatnya kuat tarik, kristalinitas, dan suhu degradasi
termal.
Kata kunci: selulosa whiskers, bagas tebu, film komposit, PVA, monmorilonit,
penguat

SUMMARY
ZAHRATUL AINI. Application of Cellulose Whiskers from Sugarcane Bagasse

as Reinforcement in Nanokomposit Film Based on PVA/MMT. Supervised by
TUN TEDJA IRAWADI, HENNY PURWANINGSIH and LISMAN
SURYANEGARA.
Sugarcane bagasse is abundant in Indonesia, that can be used as an
alternative source of cellulose. Sugarcane bagasse is a waste of the extraction
process liquid cane sugar. Fiber from sugarcane bagasse can not be dissolved in
water and the consist of lignocellulosic sugarcane bagasse is composed of 52.7%
cellulose, 20% hemicellulose, and lignin 24.2% based on dry weight. Acid
hydrolysis removed the amorphous and left parts of crystallinity, its called
cellulose whiskers. Pure crystals of cellulose whiskers have high levels of rigidity,
surface area and high crystallinity so it is the best way to apply in the polymer
matrix and may serve as elements of reinforcement material.
The addition of whiskers in nanometer-sized in the composite is currently
being developed in research because the whiskers have a very large surface area.
Cellulose whiskers are suitable for reinforcement the matrix of polymers. This
research aims to produce cellulose whiskers from sugarcane bagasse that could be
applied as reinforcement in the composite film.
Cellulose were isolated using alkaline and peroxide bleaching followed by
acid hydrolysis at 45 °C to produce cellulose whiskers. Cellulose whiskers were
analyzed using scanning electron microscopy (SEM), X-ray diffraction (XRD),

and Thermo gravimetric analysis (TGA) in air atmosphere. Futhermore,
composite film of poly(vinyl alcohol) (PVA) and clay of montmorillonite (MMT)
were made by casting method. Composites film were analyzed based on tensile
strength, elongation to breaks, crystallinity, and thermal degradation. The result
showed that sugarcane bagasse could be use as a source to obtain cellulose
whiskers with length (L) 0.1-10 µm and diameter (D) 10-100 nm. The hybrid film
were successfully reinforced by cellulose whiskers, indicated by increasing tensile
strength, crystallinity and thermal degradation.
Keywords: cellulose whiskers, sugarcane bagasse, composite film, PVA,
montmorillonit, reinforcement.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


APLIKASI SELULOSA WHISKERS BAGAS TEBU SEBAGAI
PENGUAT DALAM FILM KOMPOSIT BERBASIS PVA/MMT

ZAHRATUL AINI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kimia

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji diluar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Tetty Kemala, M.Si

Judul Tesis : Aplikasi Selulosa Whiskers Bagas Tebu sebagai Penguat dalam

Film Komposit Berbasis PVA/MMT
Nama
: Zahratul Aini
NIM
: G451130061

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Tun Tedja Irawadi, MS
Ketua

Dr Henny Purwaningsih, MS
Anggota

Dr Lisman Suryanegara, M.Agr
Anggota
Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Kimia

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Dyah Iswantini P, MscAgr

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 1 Februari 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahimi
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu
wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Shalawat serta salam tak lupa selalu tercurah kepada junjungan Nabi besar
Muhammad SAW, sahabat, keluarga dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Ucapan terimakasih yang tak ternilai kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta,
Asnawi Hasan dan Nurmala M.Ali, serta saudara saudari tercinta Raudhatul Idami

dan Asnawi Harun yang dengan kesabaran dan keikhlasan telah memberikan
dorongan moral, material dan doa yang tulus. Selain itu, penulis juga
menyampaikan rasa terimakasih yang dalam kepada suami tercinta Muhammad
Ridho Afifi, M.Si.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Prof Dr Tun Tedja
Irawadi, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr Henny Purwaningsih, MS dan
Dr. Lisman Suryanegara, M.Agr selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas segala
curahan waktu, bimbingan, arahan, serta dorongan moral kepada penulis. Tidak
lupa ucapan terima kasih kepada staf Laboratorium Kimia Terpadu IPB, dan
teman-teman di Departemen Kimia IPB atas bantuan dan dukungan yang
diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016
Zahratul Aini

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2

2
2

2 METODE
Bahan
Alat
Prosedur Analisis Data

3
3
3
3

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolat Selulosa dari Bagas Tebu
Selulosa Terhidrolisis dari Isolat Selulosa
Sifat Mekanik Film Komposit
Morfologi Film Komposit
Kristalinitas Film Komposit
Kurva TG/DTA Film Komposit


5
5
7
11
13
14
15

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

15
15
16

DAFTAR PUSTAKA

16

RIWAYAT HIDUP

33

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Variasi perlakuan pembuatan film komposit (%)
Analisis komponen kimia (%)
Hasil hidrolisis selulosa dari berbagai laporan penelitian
Ukuran panjang dan diameter serat selulosa whiskers
Pengaruh variasi konsentrasi selulosa whiskers dalam PVA 20%
Pengaruh variasi konsentrasi montmorilonit terhadap PVA 20%
Pengaruh konsentrasi selulosa whiskers pada film komposit dengan
montmorilonit 1.5%

5
6
8
9
12
12
13

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Skema reaksi kompleks karbohidrat lignin dengan NaOH
Spektrum FTIR (a) bagas tebu dan (b) isolat selulosa
Skema reaksi pemutusan ikatan eter pada selulosa dengan asam
Morfologi selulosa whisker
Difraktogram XRD (―) selulosa whiskers dan (―) isolat selulosa
Kurva TGA (―) Isolat selulosa dan (---) selulosa whiskers
Morfologi film PVA-MMT-SW (a) samping dan (b) permukaan film
Difraktogram XRD film (a) PVA-MMT-SW dan (b) PVA-MMT
Kurva TG/DTG film komposit (a) PVA-MMT dan (b) PVA-MMT-SW

5
7
8
9
10
11
14
14
15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram Alir Penelitian
2 Spektrum FTIR Bagas Tebu dan Isolat Selulosa
3 Difraktogram XRD Isolat Selulosa
4 Morfologi serat selulosa
5 Proses hidrolisis selulosa menggunakan varian konsentrasi H2SO4
6 Difraktogram XRD selulosa whiskers
7 Kurva TG/DTG Film Komposit
8 Ketebalan Film
9 Film komposit
10 Analisis kuat tarik
11 Analisis persen perpanjangan

21
22
23
24
25
26
27
28
28
29
31

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Indonesia, bagas tebu berpotensi sebagai sumber alternatif selulosa.
Bagas tebu merupakan hasil samping dari proses ekstraksi (pemerahan) cairan
tebu di pabrik gula. Serat dari bagas tebu tidak dapat larut dalam air dan
komposisi lignoselulosa bagas tebu terdiri atas 52.7% selulosa, 20% hemiselulosa,
dan 24.2% lignin berdasarkan bobot kering (Samsuri et al. 2007). Ranby (1952)
mengatakan hidrolisis dengan menggunakan asam dapat membuat mikroserat
selulosa mengalami pemutusan pada bagian amorfus dan meninggalkan bagian
kristalin yang disebut dengan selulosa whiskers.
Samir et al. (2005) mengatakan whiskers sebagai bentuk kristal tunggal
dengan tingkat kemurnian yang tinggi dapat dibentuk dari mikrofibril. Kristal
murni ini memiliki tingkat kekakuan, luas permukaan, dan kristalinitas yang
tinggi sehingga sangat baik diaplikasikan dalam matriks polimer dan dapat
berperan sebagai elemen penguat material. Proses utama untuk menghasilkan
selulosa whiskers dari serat selulosa adalah dengan hidrolisis asam. Bagian
amorfus akan lebih mudah dihidrolisis, menyisakan bagian kristal (Habibi et al.
2010).
Ukuran dan morfologi whiskers bergantung pada sumber bahan baku
selulosa. Beberapa sumber selulosa whiskers telah diteliti di antaranya, mulberry
(Li et al. 2009), sabut kelapa (Rosa et al. 2010), bagas tebu (Teixeira et al. 2011;
Mandal & Chakrabarty 2011), kapas (Martins et al. 2011), kraft (Dash et al. 2012),
kenaf (Zaini et al. 2013), Agave (Rosli et al 2013). Karakteristik geometris dari
selulosa whiskers bergantung pada kondisi proses hidrolisis asam, seperti waktu,
suhu, konsentrasi, dan kemurnian material. Jenis asam yang digunakan dalam
tahap hidrolisis berpengaruh pada sifat permukaan whiskers. Kristal yang
dihasilkan dengan menggunakan HCl menunjukkan stabilitas koloid yang rendah,
sedangkan hidrolisis menggunakan H2SO4 akan mengalami sulfatasi pada
beberapa permukaan (Laopaiboon et al. 2010; Klemm et al. 2011).
Penambahan whiskers yang berukuran nanometer dalam komposit saat ini
sedang berkembang di dunia penelitian karena whiskers memiliki luas permukaan
yang sangat besar dan kristalinitas yang baik. Apabila whiskers dikompositkan
dan terdistribusi merata akan mengubah mobilitas molekuler dan sifat mekanik
film sehingga menghasilkan komposit dengan fleksibilitas, kekakuan, dan
ketahanan panas yang baik (Kvien & Oksman 2007).
Banyak peneliti sebelumnya menggunakan selulosa sebagai penguat dalam
film komposit. Sifat penguat (reinforcement) dari selulosa whiskers berbahan
dasar kapas terhadap PVA 30% menunjukkan bahwa penambahan selulosa
whiskers sebesar 5% meningkatkan kuat tarik selulosa whiskers yang lebih baik
sebesar 1.89 GPa dibandingkan dengan PVA murni sebesar 1.48 GPa (Jalaluddin
et al. 2011). Khan et al. (2012) meneliti sifat penguat selulosa nanokristal
berbahan baku karft dalam film berbasis kitosan. Selulosa nanokristal dengan
konsentrasi 5% mampu meningkatkan kuat tarik sebesar 25%, yaitu dari 79 MPa
menjadi 99 MPa.

2
Kefektifan selulosa whiskers sebagai penguat diujikan menggunakan matrik
poli vinil alkohol (PVA). PVA merupakan polimer sintetis yang mudah larut
dalam air, tidak berbau, tidak memiliki rasa, tidak beracun dan mudah
terdegradasi secara alami (Tang & Alavi 2011). Hal yang menyebabkan PVA
banyak digunakan sebagai bahan kemasan alternatif yang menjanjikan karena
sifatnya sangat baik dalam pembentukan kemasan, tahan terhadap minyak dan
lemak, memiliki kekuatan tarik, dan fleksibilitas tinggi.
Metode alternatif lain untuk meningkatkan barrier oksigen/air dan sifat
mekanik selulosa whiskers diperlukan penambahan senyawa anorganik ke dalam
matriks, sehingga menciptakan material campuran organik-anorganik. Di antara
material yang digunakan adalah mineral liat berupa Na-montmorilonit (MMT)
yang telah banyak digunakan sebagai pengisi berbagai matriks polimer.
Penambahan MMT dalam komposit diketahui dapat meningkatkan stabilitas
termal dan laju degradasi pada matriks (Azeredo 2009).
Pada penelitian ini selulosa diisolasi dari bagas tebu menggunakan metode
alkali dan pemucatan peroksida dilanjutkan dengan proses hidrolisis asam untuk
menghasilkan selulosa whiskers. Selanjutnya selulosa whiskers diaplikasikan
sebagai penguat dalam film. Pencirian dilakukan terhadap sifat mekanik (kuat
tarik dan persen perpanjangan), kristalinitas, dan degradasi termal.

Perumusan Masalah
Secara spesifik permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
1. Kesesuaian hasil isolat selulosa bagas tebu dengan referensi.
2. Karakteristik dan pencirian selulosa whiskers dari bagas tebu.
3. Kemampuan selulosa whiskers berperan sebagai penguat dalam pembuatan
film komposit.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menghasilkan selulosa whiskers dari bagas tebu
yang dapat diaplikasikan sebagai penguat dalam pembuatan film komposit.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai adalah tersedianya informasi penggunaan
selulosa whiskers yang diperoleh dari bagas tebu untuk diaplikasikan sebagai
penguat dalam pembuatan film komposit.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup tahapan penelitian yang dikerjakan, yaitu isolasi dan
pencirian selulosa dari bagas tebu dilanjutkan hidrolisis asam dan pencirian
selulosa whiskers menggunakan variasi konsentrasi asam sulfat. Pembuatan film

3
komposit berbasis PVA/MMT dengan selulosa whiskers sebagai penguat matriks.
Pencirian film komposit berupa sifat mekanik (kuat tarik dan perpanjangan
hingga putus), kristalinitas, analisis termal, dan morfologi film.

2 METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2015 hingga Desember 2015
bertempat di Laboratorium Kimia Terpadu Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB).
Metode penelitian terdiri atas beberapa tahap yaitu isolasi selulosa bagas tebu,
hidrolisis isolat selulosa menjadi selulosa whiskers, Pencirian selulosa whiskers
menggunakan SEM, XRD, DTA. Selanjutnya diaplikasikan pada pembuatan film
nanokomposit dan pencirian film berupa sifat mekanik film (kuat tarik dan
perpanjangan), morfologi film, analisis kristalinitas, dan degradasi termal.

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagas tebu yang
diperoleh dari pabrik gula Bungamayang Lampung utara, NaOH (pellet, Merck),
H2O2 30% (Merck), H2SO4 98% (PT SMART Lab Indonesia), Akuades, kertas pH,
Polivinil Alkohol (PVA) (bratachem, Indonesia) dengan berat molekul 20 000,
Na-montmorilonit.

Alat
Alat-alat yang digunakan adalah seperangkat alat gelas (pyrex), magnetic
stirrrer (IKAMAG), differential thermogravimetric (Shimadzu DTG-60,
BATAN), sentrifugator (Suprema 21, Biomaterial LIPI Cibinong),
spektrofotometer FTIR (IR Prestige-21 Shimadzu), SEM (EVO MA 10, LabFOR
MABES Polri), XRD (Shimadzu XRD-7000, Indocement).

Prosedur Analisis Data
Isolasi Selulosa Bagas Tebu
Isolasi selulosa bagas tebu dilakukan dengan proses delignifikasi dan
pemucatan merujuk pada Purwaningsih (2012). Sampel bagas tebu dikeringkan
dan dihaluskan hingga berukuran 100 mesh. Sebanyak 6 g sampel bagas tebu
dilarutkan dalam 400 mL aquades kemudian disonikasi selama 30 menit,
campuran disaring dengan pencucian tiga kali kemudian residu dikeringkan pada
suhu 50 °C hingga bobotnya konstan (A). Sebanyak 5 g sampel A ditambahkan 95
mL larutan NaOH 4% dipanaskan dengan suhu 80 °C selama 4 jam. Campuran
disaring dengan bantuan vakum. Residu yang diperoleh dicuci dengan aquades
hingga pH filtratnya tidak berubah, kemudian dikeringkan pada suhu 50 °C
hingga bobotnya konstan (B). Sebanyak 20 g sampel B ditambahkan 500 mL

4
larutan H2O2 5% dan dipanaskan dalam penangas air bersuhu 70 °C yang dijaga
konstan selama 3 jam kemudian campuran disaring dan endapan dicuci dengan
aquades hingga pH netral. Perlakuan dengan larutan peroksida di ulang kembali 2
kali dengan penambahan waktu berturut-turut 3 jam dan 2 jam. Setelah itu,
campuran disaring dan endapan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan dalam
oven bersuhu 60 °C.
Pencirian Selulosa
Pencirian selulosa meliputi penetapan kadar hemiselulosa, α-selulosa, lignin,
dan analisis gugus fungsi dari spektrum FTIR.
Hidrolisis Selulosa (Dash et al. 2013)
Sebanyak 5 g selulosa bagas tebu yg telah dimurnikan dilarutkan dalam 100
mL H2SO4 dengan variasi konsentrasi 4 M, 6 M, 8 M, 10 M dan 12 M pada 45 °C,
diaduk selama 40 menit. Selanjutnya ditambahkan 500 mL akuades dingin untuk
menghentikan reaksi. Sebagian dari asam sulfat akan hilang dari suspensi dengan
disentrifugasi pada 12 000 rpm selama 10 menit. Hasil sentrifugasi dilanjutkan
dengan dialisis menggunakan membran dialisis hingga mencapai pH 6-7. Hasil
suspensi disonikasi selama 5 menit. Suspensi dimasukkan dalam lemari pendingin.
Pencirian Selulosa Whiskers
Analisis termal dilakukan untuk melihat suhu degradasi sampel dengan
TG/DTA, kristalinitas whiskers dianalisis dengan XRD, dan morfologi dari
selulosa whiskers yang terbentuk dilihat dengan SEM.
Pembuatan Film Komposit (Spoljaric et al. 2014)
Pembuatan komposit dilakukan dengan metode cetak. Sejumlah larutan
montmorilonit 1% dan larutan PVA 20% di aduk dengan kecepatan tinggi selama
40 menit, disonikasi selama 10 menit untuk memaksimalkan pendispersian
molekul montmorilonit. Sejumlah selulosa whiskers 5% ditambahkan ke dalam
campuran PVA-MMT dan akuades ditambahkan hingga volume mencapai 20 mL,
kemudian diaduk dengan kecepatan tinggi selama 3.5 jam. Campuran dilanjutkan
dengan sonikasi selama 20 menit, kemudian film dicetak pada kaca mika dan
dikeringkan pada suhu ruang hingga film mengelupas dengan sendirinya. Tabel 1
merupakan variasi perlakuan film komposit yang ditentukan secara numerik.

5
Tabel 1 Variasi perlakuan pembuatan film komposit (%)
Sampel

PVA

SW

MMT

A
B
C
D
E
F
G
H
I

10
10
10
10
10
10
10
10
10

0
7.5
15
0
0
7.5
7.5
15
15

0
0
0
7.5
15
7.5
15
7.5
15

Pencirian Film Komposit
Film komposit dicirikan sifat mekaniknya berupa kuat tarik dan persen
perpanjangan hingga putus, ketebalan film menggunakan mikrometer sekrup,
pengaruh termal dengan TG/GTA, analisis kristalinitas selulosa whiskers dalam
film komposit menggunakan XRD, dan morfologi permukaan film dengan SEM.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolat Selulosa dari Bagas Tebu
Berbagai metode isolasi selulosa yang telah dipublikasikan mengatakan
adanya kesulitan yang cukup tinggi untuk mendapatkan selulosa murni (Sun et al.
2004), sehingga yang diperoleh adalah selulosa dalam bahan kasar berupa αselulosa. α-selulosa merupakan selulosa yang tidak larut dalam larutan NaOH.
Perlakuan dengan basa (NaOH) dapat memutuskan ikatan ester antara lignin dan
selulosa melalui reaksi hidrolisis. Pada tahap awal isolasi selulosa menggunakan
larutan NaOH untuk memutuskan ikatan antara lignin dengan selulosa dan
menghilangkan hemiselulosa. Purwaningsih (2012) melaporkan larutan NaOH
dapat menghilangkan lignin sebesar 60%. Gambar 1 menyajikan skema reaksi
kompleks karbohidrat lignin dengan basa. Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa
NaOH mampu memutuskan ikatan ester anatara selulosa dengan lignin.

Gambar 1 Skema reaksi kompleks karbohidrat lignin dengan NaOH

6
Pada umumnya proses delignifikasi menggunakan natrium klorit (NaClO2)
dalam suasana asam. Penggunaan natrium klorit tidak ramah lingkungan karena
penggunaan klorin dan senyawa turunannya dapat menghasilkan beberapa
senyawa lain yang terklorinasi sehingga menyebabkan masalah yang serius
terhadap lingkungan. H2O2 merupakan senyawa oksidator kuat sehingga dapat
digunakan pada proses pemucatan (bleaching) dan delignifikasi. H2O2 lebih
mudah terurai jika dilarutkan dalam media basa menghasilkan anion peroksida
dan air, seperti reaksi dibawah ini.
H2O2 + HO- → HOO- +H2O
Anion peroksida (HOO-) merupakan spesiaktif yang berperan penting dalam
penghilangan gugus kromofor lignin. Anion peroksida bersifat nukleofilik kuat
yang akan menyerang gugus etilena dan karbonil pada molekul lignin dan
mengubahnya menjadi spesi yang tidak mengandung kromofor. Perlakuan dengan
H2O2 dalam media basa juga dapat meningkatkan pH reaksi sehingga dapat
digunakan untuk melarutkan sebagian besar hemiselulosa, selain berfungsi
sebagai pereaksi pada proses delignifikasi dan pemucatan (Sun et al. 2000).
Analisis komponen kimia pada isolat selulosa dari bagas tebu adalah salah
satu indikator keberhasilan tahap isolasi. Evaluasi keberhasilan isolasi ditandai
dengan meningkatnya kandungan α-selulosa, dan adanya penurunan terhadap
kandungan lignin dan hemiselulosa secara signifikan. Hasil isolasi dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2 Analisis komponen kimia (%)
Kandungan
Air
Hemiselulosa
α-selulosa
Lignin

Bagas Tebu

Isolat Selulosa

8.05
23.72
46.68
22.59

4.15
5.38
88.37
0.19

Purwaningsih
(2012)

Sun et al.
(2004)

77.47
0.96

92.8
3.86

Keberhasilan tahap delignifikasi pada proses isolasi selulosa dievaluasi
berdasarkan penurunan kandungan lignin pada isolat selulosa dari 22.59%
menjadi 0.19%. Hal ini disebabkan lignin yang terdapat dalam sampel telah hilang
saat proses delignifikasi, sehingga menaikkan kadar α-selulosa sebesar 88%.
Selain itu, keberhasilan tahap ini juga dapat dipantau dari hasil spektroskopi
inframerah ditunjukkan pada Gambar 2. Spektrum FTIR bahan baku bagas tebu
menunjukkan adanya serapan pada 1508 cm-1mengindentifikasi vibrasi karboksil
lignin dan cincin lignin dan serapan untuk vibrasi gugus asetil ester pada bilangan
gelombang 1705 cm-1, hal ini didukung dengan tingginya kandungan lignin
sebesar 22.59% (Liu et al. 2006). Setelah perlakuan alkali pada bagas tebu,
serapan khas untuk senyawa lignin semakin berkurang dan semakin besar pita
pada bilangan gelombang pada 1103-1033 cm-1 yang menunjukkan gugus C-O-C
yang terdapat pada cincin piranosa selulosa dan munculnya serapan khas untuk
selulosa pada 898 cm-1 yang cukup tajam. Serapan ini menandakan telah
terbentuknya ikatan β-glikosida antara senyawa glukosa pada selulosa. Adanya

7
serapan pada bilangan gelombang 1425-1317 cm-1 menunjukkan vibrasi tekuk
gugus C-H2 dan serapan 2885 cm-1 mengidentifikasi vibrasi ulur gugus C-H (Khan
et al. 2012), vibrasi gugus O-H ulur berada pada serapan 3300 cm-1 dan pada
bilangan gelombang 1201 cm-1 diprediksikan vibrasi gugus O-H tekuk pada
bidang selulosa, serapan 1161 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur gugus C-O (Sun et
al. 2004).

Transmitan (%)

1705

1508

3300

1425

2885

898
1317

4000

3500

3000

2500

2000

a

1500

1103-1033

1000

b
500

-1

Bilangan gelombang (cm )

Gambar 2 Spektrum FTIR (a) bagas tebu dan (b) isolat selulosa

Selulosa Terhidrolisis dari Isolat Selulosa
Morfologi Permukaan
Hasil isolat selulosa telah dihidrolisis menggunakan H2SO4 dengan
beberapa variasi konsentrasi, sehingga dapat memutuskan ikatan eter pada rantai
selulosa. Mekanisme yang dapat dijelaskan pada proses hidrolisis dengan
protonasi dari asam menyerang gugus eter pada selulosa, sehingga memutuskan
rantai molekul menjadi bagian kecil selulosa. Gambar 3 menjelaskan skema reaksi
pemutusan ikatan eter pada selulosa.
Hidrolisis selulosa dilakukan pada suhu 45 °C selama 40 menit.
Penambahan selulosa dilakukan sedikit demi sedikit kedalam larutan H2SO4, hal
ini menyebabkan tidak homogen atau seragam ukuran serat yang terbentuk dalam
satu perlakuan. Produk selulosa whiskers yang dihasilkan dari penambahan serbuk
selulosa di awal memiliki ukuran serat yang lebih kecil dibandingkan dengan
ukuran serat pada penambahan selulosa terakhir. Hal ini bisa disebabkan oleh
selisih waktu penambahan sehingga lamanya waktu hidrolisis menjadi berbeda.

8
Transfer ion
positif
OH

OH

CH2OH
O

OH
O

H

Protonasi

O
OH

O

O

+ H2O

O
CH2OH

OH

OH
OH

O
OH

O
CH2OH

O
OH

+ H3O+

H2O

OH

CH2OH
O
+

O

C O

O
OH

O
CH2OH

OH

OH

CH2OH
O
OH + HO

O

+

OH

+ H3O+

O

CH2OH
O

O
OH

H

CH2OH

Terbentuknya
Ion karbonium

OH

Gambar 3 Skema reaksi pemutusan ikatan eter pada selulosa dengan asam
Perlakuan hidrolisis dengan konsentrasi asam rendah tidak mengubah
morfologi serat selulosa, hal ini menandakan bahwa penggunaan konsentrasi asam
rendah (4, 6, dan 8 M) pada isolat selulosa tidak mampu memutuskan rantai
selulosa hingga berukuran nano (Lampiran 4). Penggunaan konsentrasi asam yang
terlalu pekat (12 M) memutuskan seluruh rantai karbon pada selulosa sehingga
meninggalkan residu karbon berwarna hitam (Lampiran 5).
Pengukuran morfologi suspensi selulosa terhidrolisis menggunakan
mikroskop biasa. Selulosa terhidrolisis yang dihasilkan dengan konsentrasi H2SO4
10 M tidak terlihat pada mikroskop biasa, sehingga menggunakan SEM.
Morfologi serat
selulosa terhidrolisis dengan konsentrasi H2SO4 10 M
menunjukkan sebagian serat telah berukuran nanometer (lingkar kuning),
disebabkan konsentrasi H2SO4 10 M mampu memotong bagian amorfus pada
selulosa. Pada hakikatnya penggunaan konsentrasi H2SO4 10 M belum sempurna
memutuskan rantai selulosa hingga berukuran nano, sehingga masih ada serat
yang berukuran panjang mencapai ± 9 µm. Gambar morfologi serat selulosa
terhidrolisis H2SO4 10 M disajikan pada Gambar 4. Perbandingan ukuran panjang
dan diameter serat yang diperoleh dengan acuan penelitian yang lain
menggunakan bahan baku berbeda ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil hidrolisis selulosa dari berbagai laporan penelitian
Acuan
Li et al. (2009)
Rosa et al. (2010)
Teixeira et al. (2011)
Martins et al. (2011)
Dash et al. (2012)
Zaini et al. (2013)
Rosli et al. (2013)
Peneliti

Bahan dasar
Mulberry
Sabut Kelapa
Bagas tebu
Kapas
Kraft
Kenaf
Agave
Bagas tebu

[H2SO4]
64%
64%
6.5 M
6.5 M
64%
65%
60%
10 M

Panjang
400-500 nm
126-266 nm
200-310 nm
500-1000 µm
150-300 nm
100-500 nm
170-500 nm
0.1-10 µm

Diameter
20-30 nm
4-7 nm
2-6 nm
25-27 µm
4-8 nm
2-5 nm
8-15 nm
10-200 nm

9

Gambar 4 Morfologi selulosa whisker
Tabel 4 menjelaskan bahwa semakin besar konsentrasi asam yang
digunakan maka semakin kecil ukuran serat selulosa. Hasil yang diperoleh peneliti
menunjukkan bahwa hidrolisis menggunakan konsentrasi H2SO4 10 M dapat
menghilangkan bagian amorfus pada serat selulosa sehingga bentuk yang
diperoleh layak disebut sebagai whiskers. Akan tetapi diameter selulosa
terhidrolisis masih lebih besar dari standar. Standar ukuran whiskers adalah
panjang berkisar 100-600 nm dan diameter 2-20 nm (Siro & Plackett 2010).
Ukuran selulosa whiskers berbeda dengan nanoserat selulosa yang memiliki
panjang >1000 dan diameter 10-40 nm.
Tabel 4 Ukuran panjang dan diameter serat selulosa whiskers

a
b

Konsentrasi H2SO4
4 Ma
6 Ma
8 Ma
10 Mb

Panjang
> 100 µm
45-200 µm
30-80 µm
0.1-10 µm

Diameter
> 20 µm
5-18 µm
4-10 µm
10-200 nm

pengukuran dengan mikroskop biasa/konvensional
pengukuran dengan SEM

Kristalinitas
Selulosa terdiri atas dua bagian yaitu amorfus dan kristal. Bagian amorfus
akan lebih mudah dihidrolisis, menyisakan bagian kristal. Proses kimia dimulai
dengan penghilangan ikatan antar polisakarida pada permukaan serat selulosa
diikuti dengan pecah dan rusaknya bagian amorfus sehingga melepaskan bagian
kristal selulosa (Habibi et al. 2010). Penentuan derajat kristalinitas dilakukan
untuk melihat keteraturan penempatan atom-atom dalam unit sel dan kisi kristal.
Derajat kristalinitas merupakan besaran yang menyatakan banyak kandungan

10
kristal dalam suatu material dengann membandingkan luasan kurva kristal dengan
total luasan amorfus dan kristal (Purnama 2006). Derajat kristalinitas dapat
dihitung dengan metode Segal et al. (1959), yaitu
% kristalinitas =

Ikristalin
Ikristalin Iamorfus

× 100

Intensitas

Evaluasi keberhasilan hidrolisis selulosa whiskers dapat dilihat dari pola
difraksi sinar-X pada Gambar 5. Difraktogram selulosa whiskers memperlihatkan
dua puncak utama pada 2θ =12.2°, d = 7.15 Ǻ dengan hkl = 100, dan 2θ = 22.04°,
d = 4.427 diperoleh struktur kristal dengan hkl = 020. Menurut Klemm et al.
(2005) karakteristik selulosa memperlihatkan dua puncak utama, yaitu 2θ = 12.5°,
dan 2θ =22.5°. Derajat kristalinitas selulosa whiskers yang diperoleh pada
penelitian ini sebesar 86.7% meningkat 15% dari kristalinitas isolat selulosa bagas
tebu. Hal ini serupa dengan penelitian yang telah dilakukan Teixeira et al. (2011)
menggunakan bahan baku berupa bagas tebu, difraktogram selulosa whiskers
menunjukkan dua puncak pada 2θ =12.3° dan 2θ = 22.6°, dengan derajat
kristalinitas 87.5%.
Perubahan pada intensitas puncak difraksi menunjukkan terjadi perubahan
struktur kristal atau keteraturan rantai molekul selulosa. Bagian kristal meningkat
dengan menurunnya puncak pada bagian amorfus sehingga perubahan struktur
kristal dari isolat selulosa membentuk kristal baru. Pada kasus difraktogram
selulosa whiskers menunjukkan puncak doublet pada intensitas puncak utama
hampir pada intensitas yang sama (I22.04/I19.95 ~0.99). Hasil serupa juga dilaporkan
oleh Mandal dan Chakrabarty (2011) yang menggunakan isolat selulosa bagas
tebu sebagai bahan baku pembuatan nanoselulosa menghasilkan tingkat intensitas
mendekati 0.93.

b
a

5

10

15

20

25

30

35

2 (derajat)

Gambar 5 Difraktogram XRD (―) selulosa whiskers dan (―) isolat selulosa

11
Kurva TGA
Thermogravimetric Analysis (TGA) merupakan teknik analisis untuk
menentukan stabilitas termal suatu material dan fraksi komponen volatil dengan
menghitung perubahan berat yang dihubungkan dengan perubahan suhu.
Gambar 6 menunjukkan kurva TGA isolat selulosa bagas tebu dan selulosa
whiskers. Isolat selulosa mengalami penurunan bobot tahap awal pada suhu 27305 °C sebanyak 10% sesuai dengan suhu dekomposisi residu hemiselulosa, tahap
kedua menurun dratis hingga suhu 374 °C menunjukkan suhu depolimerisasi
selulosa, dan kehilangan massa sebesar 80%. Tahap terakhir massa berkurang 6%
hingga suhu 500 °C diduga kerusakan lebih lanjut dari selulosa membentuk residu
karbon. Isolat selulosa terdegradasi pada suhu 344 °C. Suhu degradasi ini tidak
jauh berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan, yaitu 340 °C (Liu et al.
2006), 343 °C (Mandal & Chakrabarty 2011), 270 °C (Teixeira et al. 2011).
Pada tahap ini, degradasi termal pada selulosa whiskers berjalan lebih
rendah dari suhu isolat selulosa, diduga adanya gugus sulfat dapat mengurangi
stabilitas termal pada kristal selulosa (Roman & Winter 2004). Suhu degradasi
selulosa whiskers mulai pada suhu 200.4 °C dan maksimum 324.6 °C. Suhu
degradasi pada penelitian lain yang menggunakan bagas tebu sebagai baku
menunjukkan bahwa nanoselulosa mulai terdegradasi pada suhu 249 °C dan
345 °C menandakan telah rusaknya struktus kristal (Mandal & Chakrabarty 2011).

0

100

200

300

400

500

Suhu (°C)

Gambar 6 Kurva TGA (―) Isolat selulosa dan (---) selulosa whiskers

Sifat Mekanik Film Komposit
Kekuatan tarik adalah gaya tarik atau tarikan maksimum yang dapat dicapai
sampai film dapat tetap bertahan sebelum putus. Pengukuran kuat tarik dilakukan
untuk mengetahui besarnya gaya yang diperoleh untuk mencapai tarikan
maksimum pada setiap satuan luas area film untuk meregang dan memanjang.

12
Panjang putus atau proses perpanjangan merupakan perubahan panjang
maksimum pada saat terjadi peregangan hingga sampel film terputus.
Selulosa whiskers memiliki kristalilnitas yang tinggi. Banyaknya jumlah
konsentrasi selulosa whiskers yang ditambahkan dalam pembuatan film, dapat
mengakibatkan film menjadi regas sehingga menurunkan nilai kuat tarik yang
diberikan (Jalaluddin et al. 2011). Hal serupa dapat dilihat pada Tabel 5 yang
menunjukkan pengaruh penambahan konsentrasi selulosa whiskers dalam PVA
20%. Kemudian, kemampuan film untuk meregang semakin meningkat dengan
penambahan konsentrasi selulosa whisker. Cheng et al. (2009) menggunakan
PVA 10% dan 1% suspensi berbagai jenis serat selulosa diantaranya, serat
selulosa murni dan mikrokristalin selulosa. Hasil yang diperoleh bahwa film yang
dibuat dengan menggunakan mikrokristalin mampu menaikkan kuat tarik sebesar
110 MPa dari PVA murni 95 MPa.
Tabel 5 Pengaruh variasi konsentrasi selulosa whiskers dalam PVA 20%
Sampel
PVA
PVA + SW 7.5%
PVA + SW 15%

Perpanjangan (%)
99.89
126.21
137.40

Kuat tarik (MPa)
7.87
6.21
5.38

Oleh karena rendahnya kuat tarik yang diberikan dengan penambahan
selulosa whiskers, dilakukan penambahan pengisi dalam film. Secara umum
kegunaan montmorilonit sebagai barrier oksiden dan air serta meningkatkan
stabilitas panas film komposit. Untuk melihat efek penambahan montmorilonit
secara mekanik dilakukan uji kuat tarik dan daya regang film. Tabel 6 menyajikan
pengaruh penambahan montmorilonit terhadap PVA 20%. Hasil penelitian
menunjukkan terjadinya peningkatan nilai kuat tarik yang signifikan seiring
bertambahnya jumlah konsentrasi yang diberikan. Kemampuan film meregang
semakin kecil seiring bertambahnya konsentrasi montmorilonit yang digunakan.
Arjmandi et al. (2015) meneliti pengaruh montmorilonit dalam PLA. Hasil yang
diperoleh bahwa dengan konsentrasi montmorilonit 5% mampu meningkatkan
kuat tarik, namun seiring bertambahnya konsentrasi montmorilonit yang
ditambahkan dalam film kembali menurunkan nilai perpanjangan film.
Tabel 6 Pengaruh variasi konsentrasi montmorilonit terhadap PVA 20%
Sampel
PVA
PVA + MMT 7.5%
PVA + MMT 15%

Perpanjangan (%)
99.89
85.03
58.43

Kuat tarik (MPa)
7.87
8.43
9.44

Penggunaan montmorilonit 7.5% mampu meningkatkan kuat tarik film
seiring dengan meningkatnya konsentrasi selulosa whiskers yang ditambahkan
pada film dapat dilihat pada Tabel 7. Hal ini diduga selulosa whiskers mampu
membatasi penyebaran montmorilonit supaya tidak terjadi aglomerasi. Penelitian
serupa telah dilakukan oleh Spoljaric et al. (2014) menggunakan PVA 5%,

13
selulosa nanofiber (SNF) 1.1%, dan variasi penambahan konsentrasi mineral liat
monmorilonit (MMT). Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut bahwa
banyaknya jumlah konsentrasi montmorilonit yang ditambahkan dalam film
komposit mampu meningkatkan kuat tarik, namun menurunkan daya regang film.
Film komposit yang memiliki kuat tarik dan daya regang yang bagus adalah
pada komposisi 7.5% montmorilonit dan 15% selulosa whiskers. Kuat tarik yang
dihasilkan dari penelitian ini masih rendah dibandingkan penelitian yang telah
dilaporkan. Perbedaan komposisi dan konsentrasi bahan-bahan yang digunakan
dalam pembentukan film komposit serta metode yang digunakan diduga sebagai
salah satu penyebab rendahnya kuat tarik yang dihasilkan.
Tabel 7

Pengaruh konsentrasi selulosa whiskers pada film komposit dengan
montmorilonit 1.5%

Sampel
PVA + MMT 7.5%
PVA + MMT 7.5% + SW 7.5%
PVA + MMT 7.5% + SW 15%

Perpanjangan (%)
85.03
69.39
93.02

Kuat tarik (MPa)
8.43
16.25
17.51

Morfologi Film Komposit
Permukaan film komposit yang telah dibuat dapat dilihat morfologi
permukaan dengan menggunakan SEM. Hasil analisis morfologi permukaan
komposit PVA-MMT-SW. ditunjukkan pada Gambar 7. Pada Gambar 7a dilihat
dari samping permukaan film, panah merah menunjukkan adanya selulosa
whiskers dan 7b permukaan film dari atas. Montmorilonit dengan konsentrasi
selulosa whiskers yang lebih banyak akan membentuk interaksi antara matriks
dalam film komposit (Arjmandi et al. 2015).
Montmorilonit merupakan mineral liat yang memiliki interaksi-interaksi
intermolekul sehingga sangat mudah teraglomerasi. Adanya selulosa whiskers
yang tersebar dalam permukaan film dapat menjadi pembatas montmorilonit tidak
teraglomerasi lebih besar, sehingga dapat tersebar secara merata. Hal ini terbukti
dari pengukuran kuat tarik saat PVA-MMT tanpa selulosa whiskers, nilai kuat
tariknya lebih kecil daripada dengan adanya selulosa whiskers. Penambahan
selulosa whiskers dapat meningkatkan nilai kuat tarik, karena pendispersian
montmorilonit lebih tersebar secara merata. Pengamatan morfologi yang lebih
jelas dapat menggunakan Transmission Electron Microscopy (TEM).

14

(a)
(b)
Gambar 7 Morfologi film PVA-MMT-SW (a) samping dan (b) permukaan film

Kristalinitas Film Komposit

Intensitas

Kristalinitas pada film komposit ini dipengaruhi penambahan selulosa
whiskers. Kristalinitas film dapat dilihat pada pola difraktogram yang tersedia
pada Gambar 8 menunjukkan selulosa whiskers membuat film memiliki puncak
kritalinitas pada 2θ = 19.08° dengan d-spacing (d) = 4.65 Å diperoleh bentuk
kristal dengan hkl = 220. Jika dibandingkan dengan pola difraksi film dengan
hanya PVA-MMT. Informasi pendukung untuk puncak kristalinitas dari
montmorilonit berada pada 2θ = 7.64° (Spoljaric et al. 2014).
Fasa kristalin pada selulosa whiskers memberikan kekuatan, kekakuan dan
kekerasan. Disisi lain fasa kristalin juga dapat menyebabkan polimer komposit
menjadi lebih regas. Penggunaan PVA berguna untuk mengurangi kekakuan pada
film komposit, sehingga adanya pergeseran puncak pada difraktogram film PVAMMT-SW. Tingginya puncak pada kurva film komposit PVA-MMT-SW
menandakan besarnya kristalinitas. Oleh karena itu film ini memiliki daya tahan
panas yang baik. Hal ini didukung dengan hasil analisis pengukuran daya termal
film.

a

b

5

10

15

20

25

30

2derajat)

Gambar 8 Difraktogram XRD film (a) PVA-MMT-SW dan (b) PVA-MMT

15
Kurva TG/DTA Film Komposit
Analisis termal dilakukan untuk mengetahui intensitas tahanan termal
sampai pada suhu berapa panas berpengaruh terhadap bahan film komposit. Sifat
termal dilakukan karena memiliki peran yang penting untuk menentukan sifat
mekanik bahan yang digunakan dalam film komposit pada sistem kemasan. Suatu
film komposit layak disebut tahan panas atau stabil terhadap panas, harus tidak
terurai di bawah suhu 400 °C dan dapat mempertahankan sifat-sifatnya yang
bermanfaat pada suhu terdekat dengan suhu dekomposisi. Stabilitas panas
merupakan fungsi dari energi ikatan. Ketika suhu meningkat ke titik yang
membuat energi getaran menimbulkan putusnya ikatan, maka film komposit akan
terurai (Feng et al. 2001)
Film PVA-MMT mulai terdekomposisi pada suhu 349 °C disajikan pada
Gambar 9a. Gambar 9b menunjukkan film PVA-MMT-SW akan mulai
terdekomposisi pada suhu 366.6 °C dan terdekomposisi maksimal pada suhu
454.7 °C. Hal ini menunjukkan selulosa whiskers mampu meningkatkan suhu
dekomposisi dan montmorilonit mampu menjaga stabilitas termal pada film
komposit.

PVA-MMT .tad T GA
PVA-MMT .tad DrT GA

TGA
%

DrT GA
mg/min

PVA-NSS-MMT .tad T GA
PVA-NSS-MMT .tad DrT GA

TGA
%

DrT GA
mg/min

100.00

100.00

2.00
2.00

90.00

80.00
0.00

80.00

0.00

70.00

60.00

349.37x0C
-0.82x0mg/min

0
366.61x
C
0
-2.03x
mg/min

-2.00

0
454.69x
C
0
-1.24x
mg/min

60.00

-2.00

-4.00

40.00
-4.00

100.00

200.00

300.00
Temp [C]

400.00

100.00

500.00

200.00

(a)

300.00
Temp [C]

400.00

500.00

(b)

Gambar 9 Kurva TG/DTG film komposit (a) PVA-MMT dan (b) PVA-MMT-SW

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Selulosa dari bagas tebu telah berhasil diisolasi dengan perlakuan alkali dan
pemucat peroksida. Kadar α-selulosa pada isolat sebesar 88% dan sisa kadar
lignin sebesar 0.19%. Hasil hidrolisis selulosa menggunakan H2SO4 10 M
memiliki bentuk whiskers dengan ukuran panjang 0.1-10 µm dan diameter 10-100
nm. Film komposit mampu diperkuat oleh selulosa whiskers dibuktikan dengan
memiliki kristalinitas yang lebih baik dari pada tanpa selulosa whsikers. Bukti

16
selanjutnya meningkatnya daya tahan film terhadap panas sebesar 366 °C,
dibandingkan dengan film tanpa selulosa whiskers sebesar 349 °C.

Saran
Saran yang diberikan pada penelitian selanjutnya, yaitu pembuatan selulosa
whiskers dilakukan dengan konsentrasi H2SO4 11 M atau 11.5 M, dan optimasi
waktu pengadukan serta suhu yang digunakan. Dalam proses pembuatan film
komposit, perlu ditambahkan perbandingan antara selulosa whiskers dengan
montmorilonit lebih banyak, sehingga lebih mudah memastikan pengaruh yang
diberikan. Film komposit untuk kemasan perlu di lakukan uji permeabilitas uap
air.

DAFTAR PUSTAKA
Aguilar R, Ramized J, Garrote G, Vazquez M. 2002. Kinetic study of acid
hydrolysis of sugarcane bagasse. Journal Food Engineer. 55:309-318
Arjmandi R, Hassan A, Eichhorn SJ, Haafiz MKM, Zakaria Z, Tanjung FA. 2015.
Enhanced
ductility
and
tensile
properties
of
hybrid
montmorillonite/cellulose nanowhiskers reinforced polylactic acid
nanocomposites. Journal of Materials Science 50:3118–3130.
Doi:10.1007/s10853-015-8873-8
Azeredo HMC. 2009. Review: Nanocomposites for food packaging applications.
Food
Research
International
42:1240–1253.
Doi:10.1016/j.foodres.2009.03.019
Cheng Q, Wang S, Rials TG. 2009. Poly(vinyl alcohol) nanocomposites
reinforced with cellulose fibril isolated by high intensity ultrasonication.
Composites: Part A 40:218-224. Doi:10.1016/j.compositesa.2008.11.009
Dash R, Foston M, Ragauskas AJ. 2013. Improving the mechanical and thermal
properties of gelatin hydrogels cross-linked by cellulose whiskers.
Carbohydrate Polymers 91:638– 645. Doi: 10.1016/j.carbpol.2012.08.080
Eichhorn SJ, Dufresne A, Aranguren M, Marcovich NE, Capadona JR, Rowan SJ,
Weder C, Thielemans W, Roman M, Renneckar S et al. 2010. Review:
current international research into cellulose nanofibres and nanocomposites.
Journal of Materials Science 45:1–33. Doi:10.1007/s10853-009-3874-0
Feng D, Caulfield DF, Sanadi AR. 2001. Effect of compatibilizer on the structure
property relationships of kenaf-fiber/polypropylene composites. Polymer
Composites 22(4):506-517. Doi:10.1002/pc.10555
Folarin, O.M., Sadiku E.R., and Mayti, A. 2011. Polymer-noble metal
nanocomposites: Review. International Journal of the Physical Sciences.
6(21) : 4869-4882
Habibi Y, Lucia LA, Rojas OJ. 2010. Cellulose Nanocrystals: Chemistry, SelfAssembly,
and
Applications.
Chemical
review
6:3479-3500.
Doi:10.1021/cr900339w

17
Jalaluddin A, Araki J, Gotoh Y. 2011. Toward “strong” green nanocomposites:
polyvinyl alcohol reinforced with extremely oriented cellulose whiskers.
Biomacromolecules 12:617–624. Doi:10.1021/bm101280f .
Kanmani, P and Rhim J.W. 2014. Physicochemical properties of gelatin/silver
nanoparticle antimicrobial composite films. Food Chemistry. 148:162-169
Kargarzadeh H, Sheltami RM, Ahmad I, Abdullah I, Dufresne A. 2014. Cellulose
nanocrystal: A promising toughening agent for unsaturated polyester
nanocomposite. Polymer. Doi: 10.1016/j.polymer.2014.11.054
Khan A, Khan RA, Salmieri S, Tien CL, Riedl B, Bouchard J, Chauve G, Tan V,
Kamal MR, Lacroix M. 2012. Mechanical and barrier properties of
nanocrystalline cellulose reinforced chitosan based nanocomposite films.
Carbohydrate Polymers 90:1601– 1608. Doi:10.1016/j.carbpol.2012.07.037
Klemm D, Heublein B, Fink HP, Bohn A. 2005. Cellulose: Fascinating
biopolymer and sustainable raw material. Polymer Science 44:3358-3393
Doi: 10.1002/anie.200460587
Kvien I dan Oksman K. 2007. Orientation of cellulose nanowhiskers in polyvinyl
alcohol. Applied Physics A: Materials Science and Processing 87:641-643.
Doi: 10.1007/s00339-007-3882-3
Laopaiboon P, Thani A, Leelavatcharamas V, Laopaiboon L. 2010. Acid
hydrolysis of sugarcane bagasse for lactic acid production. Bioresource
Technology 101(3):1036-1043. Doi:10.1016/j.biortech.2009.08.091
Li R, Fei J, Cai Y, Li Y, Feng J, Yao J. 2009. Cellulose whiskers extracted from
mulberry: A novel biomass production. Carbohidrate polymers 76:94-99.
Doi:10.1016/j.polymer.2007.03.062
Liu CF, Ren JL, Xu F, Liu JJ, Sun JX, Sun RC. 2006. Isolation and
characterization of cellulose obtain from ultrasonic irradiated sugarcane
bagasse. Journal of Agriculture Food Chemistry 54(16):5742-8.
Mandal A dan Chakrabarty D. 2011. Isolation of nanocellulose from waste
sugarcane bagasse (SCB) and its characterization. Carbohydrate Polymers.
86:1291– 1299. Doi:10.1016/j.carbpol.2011.06.030
Martin MA, Teixera EM, Correa AC, Ferreira M, Mattoso LHc. 2011.
Characterization of cellulose whisker from commercial cotton fiber. Journal
of Materials Science 46: 7858 – 7864. Doi: 10.1007/s10853-011-5767-2
Paul DR dan Robeson LM. 2008. Polymer nanotechnology: Nanocomposites.
Polymer, 49:3187–3204.
Peresin MS, Vesterinen AH, Habibi Y, Johansson LS, Pawlak JJ,Nevzorov AA,
Rojas OJ. 2014. Crosslinked pva nanofibers reinforced with cellulose
nanocrystals: water interactions and thermomechanical properties. Applied
Polymer Science 1-12.DOI: 10.1002/APP.40334
Purnama EF. 2006. Pengaruh suhu reaksi terhadap derajat kristalinitas dan
komposisi hidroksiapatit dibuat dengan media air dan cairan tubuh buatan
(synthetic body fluid) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Purwaningsih H. 2012. Rekayasa biopolimer dari limbah pertanian berbasis
selulosa dan aplikasinya sebagai material separator [disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor
Rosa MF, Medeiros ES, Malmonge JA, Gregorski KS, Wood DF, Mattoso LHC,
Glenn G, Orts WJ, Imam SH. 2010. Cellulose whiskers from coconut husk
fibers: Effect of preparation conditions on their thermal and morphological

18
behavior.
Carbohydrate
Polymers
81:83-92.
Doi:
10.1016/j.carbpol.2010.01.059
Ranby BG. 1952. The Mercerization of Cellulose: II. A phase transition study
with X-ray diffraction. Acta Chemical Scandinavica 119-127.
Roman M dan Winter WT. 2004. Effect of sulfate groups from sulfuric acid
hydrolysis on the thermal degradation behavior of bacterial cellulose.
Biomacromolecules 5:1671-1677. Doi:10.1021/bm034519
Rosli NA, Ahmad I, Aggbdullah I, 2013. Isolation and characterization of
cellulose nanocrystals from agave angustifolia fibre. BioResources 8(2):
1893-1908.
Rowell RM. 2005. Handbook of wood chemistry and wood composites. Florida:
CRC Pr
Samir MAS, Alloin F, Dufresne A. 2005. Review of recent research into celluloic
whiskers, their properties and their application in nanocomposite field.
Biomacromolecules 6:612-626. Doi:10.1021/bm0493685
Samsuri M, Gozan M, Mardias R, Baiquni M, Hermansyah H, Wijanarko A,
prasetya B, Nasikin M. 2007. Pemanfaatan selulosa bagas untuk produksi
etanol melalui sakarifikasi dan fermentasi serentak dengan enzim xylase.
Makara Teknologi 11:17-24
Segal L, Creely JJ, Martin AE, Conrad CM. 1959. An empirical method for
estimating the degree of crystallinity of native cellulose using the x-ray
diffractometer.
Textile
Research
Journal
29
(10):786-794.
Doi:10.1177/004051755902901003
Siro I, Plackett D. 2010. Microfibrillated cellulose and new nanocomposite
materials: a review. Springer science 17:459-494. Doi:10.1007/s10570-0109405-y
Spoljaric S, Salminen A, Luong ND, Lathinen P, Vartiainen J, Tammelin T,
Seppala J. 2014. Nanofibrillated cellulose, poly(vinyl alcohol),
montmorillonite clay hybrid nanocomposites with superior barrier and
thermomechanical properties. Polymer Composites. Doi: 10.1002/pc.2259
Sun JX, Sun XF, Zhao H, Sun RC. 2004. Isolation and characterization of
cellulose from sugarcane bagasse. Polymers Degradation and Stability
84:331-339. Doi:10.1016/j.polymdegradstab.2004.02.008
Sun RC, Tomkinson J, MaPL, Liang SF. 2000. Comparative study of
hemicelluloses from rice straw by alkali and hydrogen peroxide treatment.
Carbohydrate polymers 42:111-122.
Tang X dan Alavi S. 2011. Recent advances in starch, polyvinyl alcohol based
polymer blends, nanocomposites and their biodegradability. Carbohydrate
polymers 85: 7-16. Doi:10.1016/j.carbopol.2011.01.030
Teixeira EM, Bondancia TJ, Teodoro KBR, Correa AC, Marconcini JM, Mattoso
LHC. 2011. Sugarcane bagasse whiskers: extraction and characterizations.
Industrial Crops and Products 33:63–66. Doi:10.1016/j.indcrop.2010.08.009
Wang N, Ding E, Rongshi C. 2007. Thermal degradation behaviors of spherical
cellulose nanocrystals with sulfate groups. Polymers 48:3486-3493.
Doi:10.1016/j.polymer.2007.03.062
Winarno FG dan Fernandez IE. 2010. Nanoteknologi bagi industri pangan dan
kemasan. Bogor (ID) : M-Brio Pr.

19
Zaini LH, Jonoobi M, Tahir PMd, Karimi S. 2013. Isolation and characterization
of cellulose whiskers from kenaf (Hibiscus cannabinus L) bast fibers.
Biomaterials and Nanobiotechnology 4:37-44.Doi:104236/Jbnb.2013.41006

20

LAMPIRAN

21
Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian

Delignifikasi
dan pemucatan

Bagas tebu

Isolat selulosa
bagas tebu

Pencirian
dengan FTIR

Hidrolisis selulosa dengan berbagai varian H2SO4

Pencirian dengan
SEM, XRD dan DTA

Selulosa
Whiskers (SW)

Aplikasi sebagai penguat dalam film komposit berbasis PVA/MMT

Film Komposit

Pencirian Film komposit dengan sifat mekanik (kuat tarik dan
perpanjangan), morfologi (SEM), kristalinitas (XRD), dan
termal (DTA)

22
Lampiran 2 Spektrum FTIR Bagas Tebu dan Isolat Selulosa
a. Spektrum FTIR Bagas Tebu

b. Spektrum FTIR Isolat Selulosa Bagas tebu

23
Lampiran 3 Difraktogram XRD Isolat Selulosa

24
Lampiran 4 Morfologi serat selulosa
a. H2SO4 4 M

b. H2SO4 6 M

c. H2SO4 8 M

25
Lampiran 5 Proses hidrolisis selu