. Analisis Permintaan Impor Garam Indonesia

ANALISIS PERMINTAAN IMPOR GARAM INDONESIA

AHMAD SYARIFUL JAMIL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Permintaan
Impor Garam Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Ahmad Syariful Jamil

NIM H351140476

RINGKASAN
AHMAD SYARIFUL JAMIL. Analisis Permintaan Impor Garam Indonesia.
Dibimbing oleh NETTI TINAPRILLA dan SUHARNO.
Garam merupakan komoditas strategis yang permintaannya akan terus
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Namun, peningkatan
kebutuhan garam domestik tersebut belum dapat dipenuhi oleh produksi garam
domestik. Produksi domestik seakan tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan garam domestik. Adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan garam
dengan produksi garam domestik mendorong pemerintah untuk melakukan impor
garam dengan tren yang positif. Lebih jauh lagi, saat ini kebijakan impor telah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam memenuhi kebutuhan garam
domestik.
Fakta tersebut memberikan gambaran bahwa Indonesia belum mampu
mengelola potensi kelautannya yang besar. Oleh karena itu, diperlukan analisis
untuk memberikan gambaran secara umum mengenai keragaan permintaan impor
garam Indonesia. Tujuan utama tersebut diakomodasi kedalam beberapa tujuan
penelitian yaitu: (1) menganalisis keragaan kebijakan impor garam di Indonesia;
(2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor garam

Indonesia; serta (3) menganalisis kerentanan permintaan impor garam Indonesia
dari perspektif negara sumber impor garam. Pendekatan ekonometri digunakan
untuk menjawab tujuan tersebut, dimana terdapat dua model perdagangan yaitu
model regresi data panel dan model Almost Ideal Demand System (AIDS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel-variabels yang berpengaruh
secara signifikan terhadap volume permintaan impor garam Indonesia yaitu:
produksi garam domestik, harga garam impor, Produk Domestik Bruto riil (PDB)
Indonesia, PDB riil negara sumber impor dan nilai tukar riil. Hanya variabel
produksi garam domestik dan harga garam impor yang memiliki hubungan negatif
terhadap permintaan impor garam Indonesia. Berdasarkan perhitungan elastisitas
menunjukkan diketahui bahwa Indonesia sangat tergantung secara spesifik
terhadap garam impor dari Australia dan India. Selain itu, garam yang berasal dari
Australia dan India saling berkomplemen sehingga akan terus mendominasi
pangsa impor garam Indonesia. Beberapa fakta tersebut menunjukkan bahwa tidak
diperlukan untuk menerapkan kebijakan tarif impor. Pemerintah sebaiknya lebih
menekankan dan fokus dalam meningkatkan produksi garam domestik. Implikasi
kebijakan yang seharusnya dapat diterapkan oleh pemerintah yaitu melakukan
sinronisasi data, upaya intensifikasi dan ekstensifikasi lahan.
Kata kunci: AIDS, permintaan impor, garam, regresi data panel


SUMMARY
AHMAD SYARIFUL JAMIL. Analysis of Salt Import Demand. Supervised by
NETTI TINAPRILLA and SUHARNO.
Salt is a commodity which has an increasing demand of Indonesian
population. However, the increasing of domestic salt necessity has not been
fullfilled yet by domestic salt production. Domestic production seemsuncapable to
make the increasing of domestic salt necessity balance. The imbalance between
salt necessity and domestic salt production pushes the government to import salt
with positive trend. Moreover, import policy has been inseparable to fullfill
domestic salt necessity.
Those facts gives an overview that Indonesia is still uncapable to manage
its big ocean potential. therefore, it is required an analysis to give a common
overview about the demand performance of salt import in Indonesia. That main
purpose is accomodated into some purposes, there are: (1) to analyze the policy
performance of salt import in Indonesia; (2) to analyze some factors which
influence the demand of salt import in Indonesia; and (3) to analyze the sensitivity
on the demand of salt import in Indonesia from salt exporter countries perspective.
Econometrics approachment is used to answer those purposes which have two
trade models, there are panel data regression model and Almost Ideal Demand
System (AIDS) model.

The research result shows that the variables which influence significantly
to demand volume of salt import in Indonesia, there are: domestic salt production,
import salt price, gross domestic product (GDP) of Indonesia, real GDP of
exporter countries, and real exchange value. There are only two variables which
have a negative relation, between domestic salt production and import salt price
with salt import demand in Indonesia. Based on elasticity calculation shows, it is
knownthat Indonesia is too dependent specifically on imported salt from Australia
and India. Beside that, salt which is originated from Australia and India are
complement each other so that they will keep dominating salt import share in
Indonesia. Those facts show that it is not needed to apply import tariff policy. The
government should put more emphasis and focus on increasing domestic salt
production. The policy implication that should be implemented by government are
to do data synchronization, land intensification and extension effort.
Keywords: AIDS, Import demand, Panel data regression, Salt

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS PERMINTAAN IMPOR GARAM INDONESIA

AHMAD SYARIFUL JAMIL

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Amzul Rifin, SP. MA
Penguji Wakil Program Studi : Dr Ir Burhanuddin, MM

Judul Tesis : Analisis Permintaan Impor Garam Indonesia
Nama
: Ahmad Syariful Jamil
NIM
: H351140476

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Netti Tinaprilla, MM
Ketua

Dr Ir Suharno, MADev
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Tanggal Ujian: 28 Agustus 2015

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul Analisis Permintaan Impor
Garam Indonesia ini dapat terselesaikan. Penyelesaian tesis ini juga tidak terlepas
dari bantuan berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin menyampaiakan terima
kasih dan penghargaan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Netti Tinaprilla, MM dan Dr Ir
Suharno, MADev selaku dosen pembimbing, Dr Amzul Rifin, SP MA dan Dr Ir

Burhanuddin, MM selaku dosen penguji tesis, serta Prof Dr Ir Rita Nurmalina,
MS selaku Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis. Selain itu, terima
kasih juga penulis ucapkan kepada Program Studi Magister Sains Agribisnis IPB
dan kepada pihak beasiswa yang telah membantu terkait pendanaan selama
perkuliahan, yaitu Beasiswa Unggulan Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar
Negeri (BU BPKLN), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak dan ibu yang
telah bersabar dan senantiasa mendoakan penulis selama ini, khususnya selama
proses penyelesaian tesis ini. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala
dukungan dari teman-teman MSA 4 khususnya mahasiswa program sinergi (fast
track) angkatan 2 selama menempuh pendidikan magister.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dalam pengembangan
pendidikan dan pengembangan sektor pertanian khususnya industri pergaraman
nasional.

Bogor, September 2015

Ahmad Syariful Jamil


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Permintaan Impor
Kajian Mengenai Model Almost Ideal Demand System (AIDS)
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Data Panel
Kerangka Pemikiran Operasional
4 METODE PENELITIAN
Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data
Model Regresi Panel Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Impor

Garam
Analisis Data Menggunakan Almost Ideal Demand System
5 GAMBARAN UMUM IMPOR GARAM INDONESIA
6 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Kebijakan Impor Garam Indonesia
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Impor Garam Indonesia
Tingkat Persaingan Impor Australia, India dan Selandia Baru
Implikasi Kebijakan Impor Garam Indonesia
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi

1
1
5
5
6
6
7
10
10
18
23
24
24
25
25
26
30
33
36
36
40
46
52
54
54
54
55
60
69
57
66

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Perkembangan produksi garam nasional tahun 2007-2011
Perkembangan kebutuhan garam nasional (dalam ton) tahun 20082011
Perkembangan volume dan nilai impor garam Indonesia tahun 20052014
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
Ukuran-ukuran elastisitas model Almost Ideal Demand System
(AIDS)
Kebijakan mengenai penetapan harga garam rakyat di titik
pengumpul
Model estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor
garam Indonesia
Nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk Masing-Masing Peubah
Bebas dalam Model FE
Hasil estimasi model faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
impor garam Indonesia yang baru
Nilai VIF untuk masing-masing faktor independen dalam model
Fixed Effect
Pengaruh spesifik individu model Fixed Effect terpilih
Hasil estimasi model tingkat persaingan diantara negara sumber
impor utama
Pangsa impor dan elastisitas pengeluaran negara sumber impor
Hasil perhitungan elastisitas harga sendiri pada sumber impor
garam Indonesia
Perbandingan harga garam dan pangsa impor garam India tahun
2010-2011
Hasil perhitungan elastisitas harga silang

2
3
3
25
32
38
41
42
43
44
44
47
48
50
51
52

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Keseimbangan konsumen
Efek substitusi dan efek pendapatan terhadap perubahan harga
Kerangka Pemikiran Operasional
Perkembangan produksi garam Indonesia tahun 2000-2014 (ton)
Perkembangan kebutuhan garam gomestik tahun 2000-2014 (Ton)
Perkembangan volume impor terhadap ketersediaan domestik
(persen)
7 Perkembangan volume impor garam (HS2501) Indonesia berdasarkan
asal impor tahun 2000-2013 (ton)
8 Grafik perkembangan harga garam domestik (harga riil dan harga
dasar) Tahun 2004-2014 (Rp/kg)
9 Perkembangan garam nasional tahun 2000-2014 (ton)
10 Perkembangan impor garam Indonesia yang berasal dari India dalam
bulan (kg) tahun 2006-2007

11
13
24
33
34
35
36
39
40
49

DAFTAR LAMPIRAN
1 Estimasi regresi data panel
2
3
4
5

Uji asumsi klasik pada model
FEM dengan transformasi
Uji asumsi pada model terpilih
Hasil sistem permintaan impor garam

61
63
65
66
68

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian sebagai sektor unggulan tidak dapat diragukan seberapa
besar kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia. Beberapa kontribusinya
dapat diamati dari penyerapan tenaga kerja, pemasok bahan baku industri,
penyedia pangan dan kontribusinya terhadap pembentukan Produk Domestik
Bruto (PDB) nasional. Peran sektor pertanian khsusnya pada pembentukan PDB
nasional menunjukkan kontribusinya yang cenderung menurun. Aviliani (2009)
menyatakan bahwa kontribusi sektor pertanian pada kisaran tahun 1998 mencapai
51.6 persen terhadap PDB nasional sedangkan industri pengolahan hanya
mencapai 8.5 persen. Kondisi tersebut terjadi pada saat masa pemerintahan Orde
Baru (Orba) yang ditunjang oleh berbagai kebijakan yang sangat mendukung
peningkatan peran sektor pertanian seperti kebijakan swasembada, bimas,
pembentukan koperasi dan lain-lain. Dominansi masa lalu sektor pertanian pada
PDB cenderung menurun, kondisi tersebut terjadi sejak tahun 1995, bahkan pada
era tahun 2000-an kontribusi sektor pertanian tidak lebih dari 15 dari total PDB
Indonesia.
Kondisi penurunan peran sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia
dikhawatirkan dapat menganggu ketahanan pangan yang sekaligus akan berimbas
pada peningkatan pengangguran dan kemiskinan, kelaparan, penurunan
produktivitas dan sebagainya. Hal ini diduga disebabkan faktor internal maupun
eksternal yang mempengaruhi sektor pertanian. Pada sisi internal penurunannya
disebabkan rendahnya insentif yang diterima oleh petani sehingga ada keengganan
peningkatan produksi komoditi pertanian. Pada sisi eksternal sektor pertanian
menghadapi ancaman yang berasal dari adanya gelombang globalisasi dan
kekuatan pasar bebas. Beberapa ancaman diantaranya adalah semakin terbukanya
pasar nasional yang menyebabkan peningkatan persaingan, semakin
meningkatnya tuntutan kebijakan pertanian yang berlandaskan pada mekanisme
pasar dan semakin berperannya selera konsumen (demand driven) dalam
menentukan aktivitas di sektor pertanian.
Permasalahan tersebut pada akhirnya akan menurunkan dayasaing yang
tercermin pada penurunan output sektor pertanian. Dalam hal ini, garam sebagai
salah satu komoditi strategis juga tidak luput dari imbas permasalahan yang
mempengaruhi sektor pertanian secara umum. Bahkan Indonesia sebagai salah
satu negara maritim yang memliki garis pantai terpanjang ke empat di dunia
belum mampu berdaulat dalam komoditi garam. Kondisi geografis yang dimiliki
Indonesia tersebut dinilai lebih dari cukup untuk dapat berdaulat atas komoditi
garam. Namun kenyataannya, dari daftar 60 negara produsen garam terbesar di
dunia, Indonesia hanya berada di urutan ke 301. Hal ini salah satunya disebabkan
belum maksimalnya penggarapan potensi lahan tambak garam di Indonesia. Pada
tahun 2011 lahan garam Indonesia mencapai 33.854,36 hektar, dengan
pemanfaatan lahan hanya mencapai 24.130,93 hektar atau sekitar 71 persen dari
total tersebut (Ihsanudin 2012).
1

http://www.merdeka.com/uang/haruskah-impor-garam-2-laut-membagi-adil-asinnya.html
(diakses 31 Desember 2014)

2
Secara umum garam di Indonesia diproduksi oleh petani garam dan PT
Garam. PT Garam merupakan satu-satunya badan usaha milik negara (BUMN)
yang membidangi komoditi garam. Perusahaan yang hanya memiliki lahan
produksi di Madura tersebut menguasai lahan garam sekitar 5 130 hektar dengan
produksi pada tahun 2009 mencapai 319 000 ton atau sebesar 30 persen dari total
produksi garam nasional (Ihsannudin, 2012). Sementara itu, menurut Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2011 petani garam memiliki lahan
yang tersebar di beberapa wilayah seperti Nanggroe Aceh Darussalam (279 ha),
Jawa Barat (3 700 ha), Jawa Tengah (6 148 ha), Jawa Timur (5 184 ha), Bali (114
ha), Nusa Tenggara Timur (221 ha), Nusa Tenggara Barat (2 290 ha), Sulawesi
Tengah (18 ha) dan Sulawesi Selatan (1 513 ha). Dengan kata lain, total luas lahan
yang dimiliki oleh petani mencapai 70 persen dari total luas lahan garam
domestik.
Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi garam nasional yang diproduksi
dari luasan lahan tersebut selama lima tahun (2007-2011) mengalami fluktuasi.
Hal ini salah satunya disebabkan masih sangat tergantungnya kegiatan produksi
garam dengan kondisi alam seperti cuaca dan iklim, sehingga produksi garam
domestik cenderung berfluktuatif. Kondisi tersebut disebabkan karena seluruh
produksi garam di Indonesia berasal dari penguapan air laut di meja garam,
sehingga sangat tergantung terhadap iklim dan cuaca. Oleh karena itu, adanya
fenomena anomali iklim dimana cuaca dan iklim tidak dapat diprediksi akan
sangat mempengaruhi produksi garam nasional. Kondisi tersebut terjadi pada
tahun 2010, dimana produksi nasional hanya mencapai sekitar 30 600 ton.
Tabel 1 Perkembangan produksi garam nasional tahun 2007-2011
Tahun
2007
2008
2009
2010
2011

Produksi Garam Nasional (Ton)
1 352 400
1 031 000
1 155 000
30 600
1 113 118

Sumber: Kementerian Perindustrian 2012

Adanya fluktuasi produksi garam domestik mengindikasikan Indonesia
belum mampu mempertahankan tingkat produksinya. Bahkan menurut Sucofindo
(2012) menyatakan bahwa dari total sekitar 240 juta ton garam yang diproduksi
oleh berbagai negara di dunia, Indonesia hanya mampu memproduksi garam ratarata sebesar 1.2 juta ton per tahun. Dengan kata lain, proporsi produksi garam
Indonesia terhadap total produksi garam dunia tidak mencapai 1 persen. Kondisi
tersebut berkebalikan dengan Thailand yang hanya memiliki panjang pantai jauh
lebih pendek daripada Indonesia mampu memproduksi garam rata-rata sebesar 3
juta ton per tahun. Hal ini kontradiktif dengan kenyataan bahwa Indonesia
merupakan salah satu negara maritim dengan panjang pantai terpanjang di dunia.
Produksi garam nasional tersebut umumnya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan garam domestik. Secara umum kebutuhan garam domestik dibedakan
menjadi garam yaitu garam yang diperuntukkan untuk konsumsi (kandungan
NaCl > 94.7 persen) dan industri (kandungan NaCl > 97 persen). Berdasarkan
Tabel 2 menunjukkan kebutuhan garam di Indonesia mengalami peningkatan yang

3
terutama di sumbang oleh peningkatan garam industri Chlor Alkali Plant (CAP).
Proporsi kebutuhan garam industri untuk industri CAP saja pada tahun 2011
mencapai 55 persen atau sebesar 1 600 000 ton garam dari total kebutuhan
nasional. Industri tersebut membutuhkan garam dengan tingkat kemurnian yang
sangat tinggi yaitu memiliki kandungan NaCl lebih besar dari 97 persen.
Sementara produksi garam domestik hanya mampu memproduksi garam dengan
kandungan NaCL 80-95 persen. Dengan kata lain, produksi domestik hanya
mampu memenuhi kebutuhan garam konsumsi.
Tabel 2 Perkembangan kebutuhan garam nasional (dalam ton) tahun 2008-2011
Jenis garam
Garam konsumsi
Rumah tangga
Aneka pangan
Pengasinan ikan
Garam industri
Industri CAP
Industri non CAP
Total

Tahun
2008

2009

2010

2011

687 000
154 920
299 000

700 000
160 150
300 000

720 000
165 800
315 000

750 000
250 000
100 000

1 320 000
198 000
2 658 920

1 560 000
200 000
2 920 150

1 575 000
202 750
2 978 550

1 600 000
200 000
2 900 000

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perindustrian 2012

Ketidakseimbangan antara kebutuhan garam dengan kapasitas produksi
garam nasional mendorong pemerintah untuk melakukan impor garam. Produksi
garam Indonesia seakan tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhan garam
nasional, khususnya untuk garam industri yang hampir 100 persen kebutuhannya
dipenuhi oleh garam impor. Selain itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS) selama tahun 2006-2011 total volume impor garam tercatat mengalami
fluktuasi dengan kecenderungan semakin meningkat. Dimana berdasarkan Tabel 3
menunjukkan bahwa pada tahun 2011 impor garam Indonesia mengalami
peningkatan menjadi 2.8 juta ton.
Tabel 3 Perkembangan volume dan nilai impor garam Indonesia tahun 2005-2014
Tahun
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014*

Volume Impor Garam (Ton)
1.552.749.628
1.661.487.589
1.657.548.411
1.701.417.709
2.083.342.568
2.835.870.797
2.223.005.755
1.922.929.710
1.883.617.405

Nilai Impor Garam (Ribu Dollar)
50.571.315
56.300.047
71.448.554
91.066.878
109.245.226
146.490.557
107.957.552
88.711.470
87.317.454

*

data bulan November dan Desember belum tersedia
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015)

Besarnya jumlah impor garam Indonesia tersebut mengindikasikan
produksi garam domestik tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan

4
garam domestik. Namun apabila lebih dicermati, persoalan fenomena besarnya
impor garam tidak hanya berkaitan dengan faktor penawaran dan permintaan
semata. Hal tersebut dapat diamati dari berbagai data neraca garam nasional pada
tahun 2011, dimana kebutuhan garam domestik pada tahun tersebut sebesar 1 800
000 ton untuk garam industri dan 1 100 000 ton untuk garam konsumsi. Produksi
domestik yang mencapai 1 113 118 ton pada tahun tersebut seharusnya telah dapat
memenuhi kebutuhan garam konsumsi, sehingga kebutuhan impor garam untuk
memenuhi kebutuhan domestik hanya didasarkan pada kebutuhan garam industri.
Namun, realisasi impor garam Indonesia pada tahun tersebut mencapai 2 835 870
ton, dimana besarnya volume tersebut menunjukkan adanya kelebihan (excess)
impor sekitar 1 juta ton. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa faktor produksi
garam domestik bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi
besarnya volume impor garam Indonesia. Oleh karena itu, orientasi penggunaan
dan faktor yang mempengaruhi impor garam masih perlu untuk dipertanyakan.
Rumusan Masalah
Fenomena besarnya impor garam Indonesia juga dipengaruhi dari sisi
negara sumber impor. Hal ini disebabkan adanya dinamika hubungan tertentu
diantara negara-negara sumber impor. Australia merupakan satu-satunya negara
yang memiliki pangsa impor terbesar di pasar garam Indonesia, terutama sejak
adanya kampanye Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) pada tahun
1980an (Imran 2006). Hal tersebut dibuktikan dengan data UN Comtrade (2015)
yang menunjukkan bahwa pada tahun 1989 Australia telah memiliki pangsa impor
garam ke Indonesia sebesar 99.6 persen. Namun, kondisi dominansi Australia
terhadap pasar Indonesia mulai menghadapi persaingan dari produsen garam
dunia lainnya. Hal ini disebabkan semakin terbukanya pasar Indonesia yang
ditandai dengan ikut sertanya Indonesia dalam World Trade Organization (WTO).
Masuknya Indonesia menjadi anggota WTO menyebabkan pangsa impor garam
Australia di pasar Indonesia terus mengalami penurunan dan mulai terdapat
beberapa negara lain seperti India dan Selandia Baru yang mulai merebut pangsa
impor garam Australia.
Pada tahun 2010, Australia mengalami penurunan pangsa impor hingga
menjadi 76.9 persen, sementara pangsa India dan Selandia Baru masing-masing
meningkat menjadi 21.8 persen dan 0.05 persen (UN Comtrade 2015). Bahkan
pada tahun 2011 pangsa impor Australia turun menjadi 63 persen. Kondisi
tersebut diduga disebabkan adanya penurunan tarif bea masuk garam impor tahun
2003 sebesar 5 persen. Untuk menanggapi penurunan pangsa impornya, Australia
bersama Selandia Baru melakukan inisiasi pembentukan Free Trade Agreement
(FTA) bersama dengan ASEAN yaitu ASEAN-Australia-New Zealand Free
Trade Agreement. Hasil dari dibentuknya FTA tersebut adalah dikeluarkanya
Pearaturan Menteri Keuangan RI tahun 2013 dengan pokok tujuan adalah
penurunan tarif bea masuk impor beberapa komoditas termasuk garam
didalamnya sebesar 5 persen. Penurunan tarif bea masuk impor tersebut langsung
berpengaruh terhadap pangsa ekspor baik dari Australia maupun Selandia Baru.
Kondisi ini didasarkan pada data UN Comtrade yang menunjukkan pada tahun
2013 terjadi peningkatan pangsa ekspor Australia dan Selandia Baru masingmasing menjadi 82 persen dan 0.08 persen.

5
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa seiring dengan semakin tumbuhnya
pasar garam Indonesia terdapat kompetisi antara negara sumber impor dalam
pasar impor garam Indonesia. Dimana persaingan tersebut didominasi hanya oleh
3 negara utama yaitu Australia, India dan Selandia baru dengan rata-rata total
pangsa impor garam Indonesia mencapai 98 persen (UN Comtrade 2015). Selain
itu, dinamika persaingan tersebut juga mencerminkan bahwa produsen dalam
negeri akan menghadapi persaingan dari negara sumber impor lainnya dengan
berbagai keunggulannya baik dalam hal harga mupun kualitas. Persaingan
tersebut pada akhirnya akan menyebabkan harga garam lokal turun serta adanya
kecenderungan pengutamaan garam impor sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
garam domestik. Oleh karena itu, adanya kompetisi dalam memperebutkan pangsa
impor garam di Indonesia antara negara sumber impor tersebut dapat menjadi
sebuah isu penelitian (Solomon 2004).
Berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa dibalik kepraktisannya,
kebijakan impor memiliki dampak jangka panjang yang dapat mengurangi
kedaulatan Indonesia dalam bidang pangan khususnya garam. Selain itu, besarnya
permintaan garam Indonesia tersebut pada akhirnya menyebabkan ketergantungan
terhadap garam impor. Buruknya lagi, apabila ketergantungan tersebut bukan
hanya pada besarnya volume garam impor tetapi lebih spesifik pada
ketergantungan spesifik terhadap garam suatu negara sumber impor tertentu.
Dengan kondisi tersebut, memunculkan sejumlah pertanyaan sebagai
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Adapun pertanyaan penelitian
tersebut antara lain: (1) Bagaimana keragaan kebijakan industri pergaraman di
Indonesia?; (2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan impor
garam Indonesia?; (3) Bagaimana tingkat persaingan diantara negara sumber
impor di pasar impor garam Indonesia?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka tujuan
peneltian ini adalah:
1 Menganalisis keragaan kebijakan industri pergaraman di Indonesia
2 Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor garam
Indonesia
3 Menganalisis tingkat persaingan diantara negara sumber impor garam utama
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dengan memberikan
gambaran secara menyeluruh mengenai sisi permintaan impor garam Indonesia,
sehingga dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah dalam menyususn
kebijakan impor garam. Selain itu, diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai preferensi impor garam yang dilakukan oleh Indonesia dengan
pendekatan negara pengekspor sebagai pilihan impor.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada tujuan untuk menganalisis permintaan
impor garam Indonesia dengan mengembangkan model ekonometrika. Terdapat
dua model yang dipilih dalam penelitian ini, yaitu regresi data panel dan Almost

6
Ideal Demand System (AIDS). Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak
dibedakannya jenis garam yang diimpor oleh Indonesia dengan kode HS 2501.
Keterbatasan tersebut didasarkan pada ketidakjelasan kode pos tarif/ HS untuk
garam konsumsi dan garam konsumsi pada Surat Keputusan Menteri Perdagangan
RI N0.58/M-DAG/PER/9/2012. Selain itu, akibat adanya keterbatasan data
mengenai kebijakan perdagangan negara sumber impor, sehingga yang dianalisis
hanya kebijakan negara pengimpor yaitu Indonesia.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Permintaan Impor
Penelitian mengenai analisis permintaan impor komoditi telah dilakukan
oleh para peneliti yang dikhususkan untuk mempelajari pemintaan impor baik di
negara maju maupun negara berkembang. Analisis permintaan tersebut umumnya
menggunakan pendekatan multi-negara seperti yang dilakukan Bahmani-Oskooee
(1998) untuk enam negara berkembang, Gafar (1998) untuk Trinidad and Tobago,
Gafer untuk 3 negara Karibian atau lebih spesifik pada satu negara yaitu Malaysia
(Mohammad and Tang 2000) dan Indonesia (Maraya 2013; Manik 2012;
Hutabalian 2009 dan Ilham 1998). Penelitian mengenai permintaan impor juga
relatif penting untuk diteliti mengingat fenomena semakin tingginya permintaan
pangan sebagai dampak atas pertumbuhan populasi penduduk khususnya di
negara berkembang dan berkurangnya suplai sebagai dampak perubahan iklim.
Selain itu, hasil dari penelitian tersebut mengenai keragaan impor memberikan
pedoman dan masukan bagi pemerintah untuk dapat menghasilkan kebijakan yang
tepat, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kedaulatan pangan suatu
negara.
Selain beragam pada penggunaan dilihat dari sisi negara yang dianalisis,
penelitian mengenai analisis permintaan impor juga beragam dalam bentuk model
estimasi. Beberapa diantaranya dapat berupa model regresi linier berganda seperti
yang dilakukan Hapsari (2007), model regresi data panel dengan penggunaan data
panel (Maraya 2013 dan Manik 2012) model persamaan simultan (Tseuoa et al
2012) dan model almost ideal demand system (AIDS) (Wan et al, 2010;
Boonsaeng et al 2010; Satyanarayana et al 1999; Andayani dan Tilley 1997; dan
Wang et al 1998). Masing-masing model tersebut diestimasi menggunakan
metode ordinary Least Square (OLS), Two Stage Least Squares (2SLS) atau dan
Three Stage Least Squares (3SLS) dan untuk model AIDS diestimasi
menggunakan metode Seemingly Unrelated Regression (SUR).
Namun menurut Chang et al (2005) terdapat beberapa kelemahan dengan
penelitian sebelumnya khususnya model yang menggunakan model regresi
standar menggunakan metode Ordinary Least Squares (OLS) untuk mengestimasi
fungsi permintaan impor. Hal tersebut disoroti, disebabkan model regresi
merupakan model umum yang paling sering digunakan untuk kasus faktor-faktor
yang mempengaruhi permintaan impor suatu komoditi khususnya di Indonesia.
Selain itu, penelitian tersebut mengasumsikan bahwa terdapat hubungan
keseimbangan antara volume impor dan variabel penjelas dalam model. Seperti

7
yang telah ditunjukkan oleh Granfer and Newbold (dalam Chang et al 2005) yang
menyatakan bahwa asumsi stasioner belum terpenuhi sebagai hasil dari metode
OLS sehingga cenderung menghasilkan regresi palsu dan inferensia statistik yang
tidak reliabel. Sehingga untuk mengakomodasi kelemahan tersebut digunakan
error correction model (ECM) seperti yang telah dilakukan oleh Mah (2000).
Maksud dimasukkannya ECM untuk dapat menyesuaikan (adjustment) untuk
melakukan koreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan
jangka panjang (Juanda 2012).
Berbagai model serta perkembangannya tersebut pada dasarnya digunakan
untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor suatu negara.
Pada umumnya para peneliti yang melakukan analisis impor menggunakan dua
variabel utama (variabel bebas) yaitu harga impor dan pendapatan negara
(Kalyoncu 2006; Chang 2005 danVegh 1941). Hal ini sejalan dengan pendapat
Chani (2011) bahwa permintaan impor merupakan suatu fungsi dari aggregate
income dan harga relatif. Sebagian besar studi tersebut menemukan hubungan
yang negatif antara volume impor dengan harga impor dan positif dengan income.
Selain itu, dampak dari pendapatan riil dan harga relatif dari permintaan impor
telah dilakukan oleh Adler (1945). Dengan menggunakan data dari periode 1922
hingga 1937, studi tersebut telah menemukan hubungan positif dan signifikan dari
pendapatan nasional sementara variabel harga tidak signifikan.
Selain itu, beragam faktor-faktor secara umum dapat dilihat dari perspektif
negara yang secara umum dapat dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal.
Beberapa faktor internal yang mempengaruhi permintaan impor yaitu GDP riil
(Manik 2012), jumlah dan luas produksi dalam negeri (Hutabalian 2009; Anggsari
2008) kebijakan perdagangan (Ilham 1998), harga komoditi domestik dan nilai
tukar (Anggsari 2008), pendapatan per kapita (Surifanni 2004), jumlah poulasi
(Purnamasari 2006), konsumsi domestik (Purnamasari 2006), cadangan devisa
(Cahyono 2009). Sementara variabel eksternal berupa harga kooditi impor dan
GDP negara pengekspor (Hutabalian 2009). Dari variabel-variabel penjelas
tersebut hanya variabel jumlah produksi, harga impor, luas produksi dan
kebijakan perdagangan (tarif dan kuota) yang memiliki pengaruh negatif terhadap
permintaan impor. Dengan kata lain apabila terjadi peningkatan misalnya pada
kebijakan tarif maka volume impor akan berkurang, begitu juga sebaliknya.
Sementara variabel-variabel lainnya menunjukkan hubungan yang positif.
Kajian Mengenai Model Almost Ideal Demand System (AIDS)
Model AIDS merupakan salah satu model yang ditujukan untuk
mengestimasi fungsi permintaan. Model AIDS tersebut pertama kali
diperkenalkan oleh Deaton dan Muelbauer (1980). Model ini merupakan
pengembangan model permintaan sebelumnya yaitu model Rotterdam dan model
Translog. Salah satu kelebihannya adalah model ini memberikan kemampuan
pendekatan orde pertama untuk sistem permintaan yang didasarkan pada proporsi
(share) anggaran yang merupakan fungsi linier dari log total pendapatan. Hal
tersebut mengakomodasi hambatan-hambatan dan teori permintaan seperti
aditivitas, homogenitas dan simetri yang dapat diuji secara statistik. Oleh karena
itu, model AIDS umum digunakan dalam pemodelan perilaku konsumen dengan
pendekatan sistem atau simultan (Deaton, 1980). Menurut Kahar (2010)

8
berdasarkan model AIDS tersebut maka harga merupakan jembatan yang
menghubungkan antara sisi permintaan dan penawaran.
Menurut Deaton (1980) dalam Nugraha (2001) mengajukan beberapa
karakteristik spesifik dari model AIDS sebagai berikut, (1) model AIDS
merupakan pendekatan orde pertama terhadap sembarang fungsi sistem
permintaan, (2) dapat memenuhi aksioma perilaku pemilihan komoditi dengan
tepat, (3) dapat membuat agregasi dari konsumen tanpa menerapkan kurva engel
yang linier dan sejajar, (4) mempunyai bentuk fungsi yang konsisten dengan data
pengeluaran rumah tangga yang dimiliki, (5) mudah disetimasi (tidak perlu
menggunakan pendugaan non linier), dan (6) dapat digunakan untuk menguji
restriksi homogenitas dan simetri melalui hambatan linier terhadap parameter
tetapnya. Pada dasarnya karakteristik-karakteristik tersebut juga terdapat pada
model permintaan sebelumnya, namun masing-masing model tersebut tidak ada
yang memuat secara keseluruhan karakteristik di atas secara keseluruhan.
Berbagai kelebihan yang ditawarkan oleh model tersebut menyebabkan
model AIDS banyak digunakan dalam mengstimasi fungsi permintaan dan
sekaligus banyak dilakukan modifikasi terhadap model dasarnya. Pada dasarnya
model AIDS merupakan model non linier yang disebabkan oleh adanya
penggunaan indeks harga P pada modelnya. Model AIDS nonlinier tersebut telah
digunakan dalam penelitian Hermanto et al (1995), Rahutami (2005), Sari (2014),
Aldila (2014). Namun juga terdapat beberapa pengembangan dari model AIDS
yaitu melalui pendekatan nilai indeks P dengan mengeksploitasi hubungan
kolinieritas antar harga melalui penggunaan Indeks Stone (log P*= ΣkWk log Pk)
seperti yang telah dilakukan oleh Pratiwi (2002) Pusposari (2012), Hindawati
(2014) dan Fujii et al (1985). Dalam perkembangannya model AIDS dapat
dimodifikasi menjadi model invers atau kebalikan yang identik dengan model
AIDS (Eales dan Unnevhr 1994; Grant and Foster 2005, Dedah et al 2007 dan
Grant 2006) serta juga perngembangan model Quadratic Almost Ideal Demand
System (QUADS) dimana model ini digunakan untuk menjaga sifat-sifat positif
model AIDS dan memelihara kekonsistenan kurva Engel (ketidaklinieran kurva
Engel) dan pengaruh harga relatif dengan menambahkan bentuk kuadrat dari log
pendapatan ke dalam model AIDS (Virgantari 2012).
Menurut Wan et al (2010) secara umum terdapat dua model AIDS yaitu
model statis dan model dinamis. Model statis merupakan model yang
menganalisis model preferensi keseimbangan jangka panjang yaitu dengan kata
lain perilaku konsumen atau responden dianggap berada di dalam keseimbangan
jangka panjang atau bersifat statis. Pada kenyataannya yang terjadi sebaliknya,
dimana konsumen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang membentuk
perilaku konsumen yang berbeda. Selain itu, model AIDS statis juga tidak dapat
mengakomodasi dinamika yang terjadi dalam jangka pendek. Hal tersebut
ditambahkan oleh Eakins (2003) yang menyatakan beberapa penelitian
menunjukkan terdapat bukti bahwa untuk sebagian besar harga produk dan share
pengeluaran mempunyai unit root sehingga memungkinkan parameter yang
diestimasi palsu (spurious). Beberapa penelitian mengenai proporsi pengeluaran
konsumen umumnya merupakan penerapan model AIDS secara statis. Hal ini juga
dicirikan oleh data yang digunakan umumnya berupa data cross section. Oleh
karena itu, muncul model AIDS dinamis yang didasarkan pada pengembangan
model ekonometrika melalui teknik error correction yang diajukan oleh Engle

9
dan Grenger untuk mengakomodasi kelemahan tersebut (Wan et al 2010).
Bebebrapa penelitian yang mengaplikasikan model AIDS secara dinamis seperti
yang dilakukan oleh dengan penggunaan data time series yaitu Eakins (2003),
Hassan (2007) melalui pendekatan multi stage, Zhou, Yu and Herfeld (2014).
Dari beberapa penjelasan di atas mengenai model AIDS tersebut, model
AIDS telah banyak digunakan sebagai alat analisis penelitian yang umumnya
digunakan untuk mengestimasi parameter penelitian. Hal ini disebabkan kelebihan
yang ditawarkan model tersebut, sehingga model tersebut secara umum dapat
digunakan untuk menganalisis sistem permintaan baik mikro maupun makro
(Henneberry 2007). Penerapan secara mikro salah satunya dapat mengakomodasi
keputusan konsumen dalam menentukan seperangkat komoditi secara simultan
(nugraha, 2001). Beberapa penelitian lainnya yang pernah dilakukan oleh Dey
(2000), Nugraha (2001), Piumsonbun et al (2003), Kahar (2010), Jabarin (2011),
Jiumpanyarach (2011) dan Virgantari (2012). Beberapa penelitian tersebut
bertujuan untuk mengestimasi permintaan secara simultan dari berbagai jenis
komoditi di tingkat konsumen. Selain itu, parameter yang telah diestimasi dapat
digunakan untuk menganalisis elastisitas masing-masing komoditi yang diestimasi.
Dimana model AIDS dapat menganalisis elastisitas pengeluaran, elastisitas sendiri
dan elastisitas silang. Seperti hasil penelitian Jabarin (2011) yang menunjukkan
elastisitas pengeluaran, untuk komoditas tomat, timun dan kentang adalah barang
normal, sedangkan untuk elastisitas sendiri bersifat elastis atau responsif terhadap
harga.
Pada umumnya penelitian mengenai konsumsi dengan menggunakan
model AIDS dapat menggunakan ketiga jenis data yaitu data cross section, time
series dan panel. Penelitian yang menggunakan data cross section telah dilakukan
oleh Ramdhiani (2008), Teklu and Johnson (1987) dan Wardani (2007).
Penggunaan data time series digunakan telah dilakukan oleh Jung and Koo (2005),
Rahutami (2005) dan Deaton dan Muelbauer (1980) yang melakukan estimasi 8
kelompok komoditi yaitu makanan, pakaian, perumahan, bahan bakar, minuman
dan tembakau, transportasi dan komunikasi dan pengeluaran lainnya di British
dengan data tahun 1954-1974. Sedangkan untuk data panel telah digunakan oleh
Nurkhayani (2009) dan Yuliana (2008).
Beberapa tujuan penggunaan model AIDS lainnya adalah dapat digunakan
secara makro dimana umumnya digunakan untuk menganalisis perdagangan
internasional. Penggunaan model AIDS untuk mengestimasi persaingan antar
negara dalam suatu pasar merupakan bentuk pengembangan penggunaan model
AIDS. Hal ini didasarkan pada tujuan awal penemuan model AIDS yaitu untuk
mengestimasi permintaan secara agregat (Deaton dan Muellbauer, 1980). Secara
khusus model AIDS tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi persaingan
negara eksportir di pasar dunia (Riffin 2013; Chang & Nguyen, 2002 dan Aldila,
2014) serta mengestimasi kompetisi impor di suatu negara (Wan et al, 2010;
Boonsaeng et al 2010; Satyanarayana et al 1999; Andayani dan Tilley 1997; Lee
et al 2008; Wang et al 1998; Mutondo and Henneberry 2007; Carew et al 2004
and Isin and Miran 2009). Pada umumnya peneltian dengan tujuan menganalisis
kompetisi impor atau ekspor suatu negara menggunakan variabel dependen adalah
pangsa ekspor atau pangsa impor suatu negara ke dunia atau ke suatu negara
tujuan. Sedangkan variabel independennya umumnya berupa harga asal negara,
nilai total dunia dan tetap mengakomodasi indeks harga geometrik Stone. Selain

10
itu beberapa penelitian menggunakan variabel independen kebijakan yang di
aproksimasi menggunakan dummy (Wan et al; Sari 2014 dan Rosiana 2014).
Dimana hasil dari estimasi parameter variabel tersebut dapat digunakan untuk
menghitung beberapa elastisitas seperti elastisitas pengeluaran, sendiri dan silang.
Sama halnya pada kasus penggunaannya untuk mengestimasi permintaan
konsumen, untuk tujuan perdagangan dapat juga digunakan perbedaan model
statis dan dinamis.

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Teori Permintaan
Teori permintaan merupakan teori yang menerangkan karakteristik dari
permintaan konsumen terhadap suatu komoditas yang sekaligus mencerminkan
hubungannya terhadap harganya. Lipsey et al (1995) mendefinisikan permintaan
sebagai jumlah komoditi yang diminta oleh konsumen pada harga tertentu. Pada
dasarnya permintaan menunjukkan hubungan multivariate yaitu hubungan antara
beberapa variabel (harga komoditas, pendapatan, selera, populasi, harga
komoditas terkait dan faktor-faktor lainnya) yang mempengaruhi satu variabel
(jumlah yang diminta). Hubungan tersebut secara fungsional disebut sebagai
fungsi permintaan yang dinyatakan sebagai berikut:
Qx = f ( Px, I, S, Pop, Py, U)
Keterangan:
Qx = jumlah komoditas X yang diminta
I = tingkat pendapatan
Px = harga komoditas X
S = selera
Pop = populasi
Py = harga komoditas terkait (substitusi atau komplemen)
U = faktor lainnya
Pengaruh dari variabel-variabel terhadap jumlah yang diminta dapat
ditelaah satu per satu, dengan menganggap variabel lannya tetap atau cateris
paribus. Salah satu hubungan unik ditunjukkan oleh hubungan antara harga
komoditi terhadap jumlah yang diminta yang disebut sebagai hukum permintaan.
Hukum permintaan tersebut menunjukkan hubungan negatif yaitu jika suatu harga
komoditi semakin rendah maka jumlah yang diminta akan semakin besar,
sebaliknya adanya peningkatan harga maka akan menurunkan jumlah yang
diminta oleh konsumen. Hubungan antara jumlah yang diminta sebagai respon
terhadap perubahan harga dapat dinyatakan sebagai kurva permintaan yang
memiliki kemiringan (slope) negatif. Kurva permintaan yang dibangun tersebut
dapat memiliki respon yang berbeda terhadap variabel penjelas. Respon tersebut
dapat berupa pergerakan sepanjang kurva atau pergeseran kurva. Pergerakan titik

11
sepanjang kurva hanya terjadi akibat perubahan harga, sedangkan pergeseran
kurva terjadi akibat adanya perubahan variabel lain selain harga komoditi itu
sendiri.
Teori Utilitas
Pada dasarnya permintaan timbul karena konsumen memerlukan manfaat
dari komoditi yang dibeli. Manfaat tersebut secara ekonomi disebut sebagai
utilitas (utility). Dengan kata lain, permintaan suatu komoditas merupakan
penurunan dari utilitas yang diberikan oleh komoditi tersebut yang secara grafis
ditunjukkan oleh kurva indiferen. Kurva indiferen merupakan kurva yang
menghubungkan keseimbangan konsumsi dua jenis barang yang mempunyai
tingkat kepuasan yang sama. Kurva indiferen menggambarkan tingkat kepuasan
yang sama sepanjang kurva tersebut, menyebabkan kurva indiferen tidak dapat
saling berpotongan satu sama lain. Selain itu, semakin jauh dari titik nol
mencerminkan utilitas konsumen tersebut semakin tinggi. Konsumen memiliki
keinginan untuk memaksimumkan utilitasnya namun dengan cara yang rasional.
Rasionalitas konsumen dicerminkan dengan batasan anggaran (garis anggaran)
yang dimiliki oleh masing-masing konsumen. Seacara grafis kedua konsep
tersebut ditunjukkan sebagai berikut:
Garis anggaran

Komoditi Y

Keseimbangan Konsumen

Kurvaa indiferen
A

Komoditi X

0

Gambar 1 Keseimbangan konsumen
Sumber: Varian 2010

Gambar 1 menunjukkan dua jenis kurva yaitu kurva indiferen dan garis
anggaran dimana keduanya memiliki slope yang negatif. Kurva indiferen
menunjukkan kombinasi dari komoditi X dan Y yang menghasilkan kepuasan
yang sama bagi konsumen. Dengan kata lain, masing-masing kurva indiferen di
atas merupakan tingkat kepuasan konsumen, dimana semakin jauh dari titik asal
maka konsumen tersebut memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Sedangkan
kendala yang dihadapi oleh konsumen ditunjukkan oleh garis anggaran. Seorang
konsumen berada dalam keseimbangan atau mencapai utilitas maksimum apabila
kurva indiferen bersinggungan dengan garis anggaran (pada titik A).

12
Permintaan Marshallian dan Hicksian
Secara umum teori ekonomi menyatakan bahwa permintaan konsumen
dibedakan menjadi dua jenis yaitu permintaan marshallian dan Hicksian.
Permintaan Hicksian atau disebut juga sebagai compensated demand merupakan
permitaan yang hanya mengakomodasi efek substitusi akibat dari perubahan harga.
Permintaan Marshallian atau uncompensated demand merupakan permintaan yang
mengakomodasi efek substitusi dan efek pendapatan akibat perubahan harga.
Kedua konsep permintaan tersebut dapat dijelaskan oleh dua mekanisme sebagai
berikut:
1. Mekanisme perubahan harga terhadap kurva indiferen dan garis anggaran
Menurut Varian (2010) pengaruh perubahan harga terhadap keseimbangan
kepuasan konsumen secara konseptual dapat dianalisis dengan memisahkan
efek pendapatan dan substitusi. Pengaruh perubahan harga terhadap jumlah
yang diminta secara grafis digambarkan pada gambar 2. Gambar 2
menunjukkan bahwa konsumen berada dalam titik keseimbangan (titik A),
dimana kurva indiferen bersinggungan dengan garis anggaran. Apabila terdapat
penurunan harga x, maka hal tersebut membuat daya beli meningkat dan
sekaligus menyebabkan garis anggaran bergerser serta menghasilkan
keseimbangan konsumen baru yaitu pada titik B. Kondisi perubahan
keseimbangan tersebut merupakan efek total yang terjadi akibat perubahan
harga. Pengaruh total tersebut dapat dipecah menjadi dua efek yaitu dari A ke
C merupakan efek substitusi dan dari C ke B merupakan efek pendapatan.
2. Teori dualitas
Konsumen akan memaksimumkan utilitasnya dari suatu komoditi yang
dikonsumsi secara rasional dengan memperhatikan kendala yang dihadapi yaitu
anggarannya. Kondisi tersebut dapat dianalisis dengan dua pendekatan yaitu
dengan memaksimumkan utilitas terhadap kendala anggaran dan
meminimumkan anggaran dengan kendala utilitas yang ingin dicapai oleh
konsumen. Fungsi permintaan yang diturunkan dengan memaksimumkan
fungsi utilitas disebut sebagai fungsi permintaan Marshallian yang merupakan
fungsi dari harga barang dan pendapatan. Sebaliknya fungsi permintaan lain
yang diturunkan dari proses minimisasi fungsi anggaran dengan kendala tingjat
kepuasan tertentu disebut sebagai fungsi permintaan Hicksian. Fungsi
permintaan hicksian merupakan fungsi dari harga barang dan utilitas.

13
Garis anggaran

Komoditi Y

Kurvaa indiferen

A

B
C

0

Komoditi X

Gambar 2 Efek substitusi dan efek pendapatan terhadap perubahan harga
Sumber: Varian 2010

Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional diartikan sebagai transaksi dagang antara
subjek ekonomi negara yang satu dengan subjek negara yang lain. Subjek
ekonomi yang dimaksud adalah penduduk yang terdiri dari warga negara,
perusahaan swasta dan perusahaan negara ataupun pemerintah yang dapat
digambarkan dari neraca perdagangan. Perdagangan internasional merupakan
salah satu aspek penting dalam perekonomian suatu negara (Salvatore 1998). Hal
ini disebabkan dengan adanya perdagangan internasional, perekonomian akan
meningkat dan tercipta hubungan atau kerjasama yang saling menguntungkan
diantara negara yang melakukan perdagangan. Pada hakikatnya perdagangan
internasional merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat suatu negara. Pada umumnya suatu negara melakukan
perdagangan didasarkan pada beberapa alasan seperti hasrat ingin menguasai,
kebijakan pemerintah dan perbedaan sumberdaya yang dimiliki.
Faktor yang pertama adalah hasrat ingin mengusai tersebut diartikan
sebagai keinginan suatu negara untuk menciptakan negaranya menjadi negara
yang kuat tanpa menghiraukan mitra dagangnya. Konsep ini merupakan konsep
perdagangan perdagangan pra klasik yang disebut sebagai teori merkantilisme.
Pembentukan negara yang kuat diperoleh ketika suatu negara memiliki surplus
neraca perdagangan. Oleh karena itu, kegiatan ekspor-impor diletakkan sebagai
lokomotif utama yang dipacu oleh suatu negara. Dimana keuntungan negara yang
kuat dapat secara langsung merugikan negara lain (zero sum game). Selain itu,
cara untuk mendapatkan keunggulan tersebut umumnya melalui penjajahan.
Secara umum dalam sektor perdagangan luar negeri, kebijakan merkantilis
berpusat pada dua ide pokok (Salvatore 1998), yaitu:
Pemupukan logam mulia. Logam mulia dianggap identik dengan
kemakmuran. Pemilikan logam mulia berarti kemakmuran dan juga kekuasaan.

14
Merkantilisme juga menganjurkan akumulasi emas, karena emas dianggap sebagai
kekayaan negara yang sebenarnya. Pada tingkat analisa yang lebih canggih, ada
alsan-alasan yang lebih rasional. Dengan emas, raja dapat melengkapi serdaduserdadu, membeli persediaan-persediaan dan mempertahankan angkatan laut yang
diperlukan untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dan memperoleh kolonikoloni. Lebih banyak emas berarti lebih banyak mata uang emas dalam sirkulasi
dan lebih besar aktivitas perekonomian. Untuk mengakumulasikan emas, negara
harus mendorong ekspornya dan membatasi/melarang impor, dengan demikian
merangsang produksi nasional dan memperluas lapangan kerja.
Mempertahankan kelebihan nilai ekspor atas nilai impor. Bagi negaranegara yang tidak memiliki tambang-tambang logam mulia sendiri, sumber logam
mulia adalah kelebihan nilai ekspor atas nilai impor. Karena itu suatu negara
wajib berusaha untuk memperoleh suatu neraca perdagangan yang
menguntungkan (favourable balance of trade). Untuk memperoleh neraca
perdagangan yang menguntungkan, ekspor harus didorong, sedangkan impor
harus dibatasi. Ekspor logam mulia harus dilarang, karena tujuan utama
perdagangan luar negeri ini adalah untuk memperoleh tambahan logam mulia.
Faktor kedua menurut Markussen (1995) adalah kebijakan yang
diberlakukan oleh pemerintah dapat mendorong atau bahkan dapat menghambat
perdagangan internasional. Salah satu instrumen yang umumnya digunakan oleh
pemerintah adalah kebijakan hambatan perdagangan yang dapat secara langsung
dapat menghambat perdagangan internasional. Kebijakan pajak dan subsidi yang
diterapkan oleh pemerintah kepada komoditas atau produk ekspor dapat
mendorong adanya perdagangan internasional khususnya ekspor. Kebijakan pajak
konsumsi yang dikenakan ke konsumen dapat menyebabkan berkurangnya
konsumsi domestik yang pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan ekspor.
Selain itu, kebijakan-kebijakan yang diterapkan tersebut dapat menimbulkan efek
distorsi pa