Analisis Permintaan Daging Sapi Impor Indonesia

ANALISIS PERMINTAAN DAGING SAPI IMPOR
INDONESIA

RESTI PRASTIKA DESTIARNI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Permintaan
Daging Sapi Impor Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2016


Resti Prastika Destiarni
NIM H351140151

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

RINGKASAN

RESTI PRASTIKA DESTIARNI. Analisis Permintaan Daging Sapi Impor
Indonesia. Dibimbing oleh SUHARNO dan NETTI TINAPRILLA.
Daging sapi merupakan komoditas yang diyakini permintaannya akan terus
meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan penduduk Indonesia. Hal
tersebut juga ditunjukkan dari tren konsumsi penduduk Indonesia yang meningkat
setiap tahunnya. Namun peningkatan konsumsi tersebut belum dapat dipenuhi
sepenuhnya oleh produksi lokal. Ada defisit antara konsumsi dan produksi daging
sapi di Indonesia. Padahal tingkat konsumsi daging sapi penduduk Indonesia masih
tergolong rendah sebesar 2.36 kg/kapita/tahun. Adanya defisit pemenuhan
kebutuhan daging sapi tersebut mendorong pemerintah untuk melakukan kegiatan
impor. Selain itu, Indonesia sebagai salah satu pemain global tidak bisa dilepaskan

dari kegiatan perdagangan internasional. Adanya kebijakan swasembada daging
sapi yang dilakukan pemerintah diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk
mengurangi impor daging sapi apalagi tren impor daging sapi Indonesia
menunjukkan pertumbuhan yang negatif. Terdapat tiga negara yang menguasai
pasar daging sapi impor Indonesia. Ketiga negara tersebut memiliki pangsa ratarata 84 persen. Secara tidak langsung, Indonesia menggantungkan kebutuhan
daging sapi impornya pada tiga negara tersebut. Berdasarkan hal tersebut, perlu
dilakukan analisis untuk menggambarkan keragaan permintaan daging sapi di
Indonesia sehingga dapat membantu pemerintah mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kegiatan impor daging sapi Indonesia. Tujuan penelitian ini secara
khusus antara lain: 1) Menganalisis keragaan bisnis komoditas daging sapi di
Indonesia; 2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor
daging sapi di Indonesia; dan 3) Menganalisis posisi persaingan tiga negara sumber
daging sapi impor Indonesia.
Berdasarkan keragaan produksi daging sapi di Indonesia, jumlah produksi
daging sapi di Indonesia meningkat rata-rata sebesar 3.05 persen per tahunnya
dengan sentra produksi daging sapi di Indonesia adalah Provinsi Jawa Timur.
Konsumsi daging sapi per kapita Indonesia meningkat dengan tingkat kelajuan
konsumsi sebesar 1.40 persen per tahun. Tingkat konsumsi ini diramalkan akan
meningkat sebesar 4.8 persen sampai tahun 2024 sehingga kebutuhan daging sapi
akan meningkat setiap tahunnya. Adanya fluktuasi harga daging sapi dalam negeri

berbanding terbalik dengan ketersediaan pasokan daging sapi dalam negeri. Ratarata kenaikan harga daging sapi di Indonesia mencapai 13.49 persen dan diprediksi
akan terus meningkat jika pasokan daging sapi belum stabil. Salah satu penyebab
tingginya harga daging sapi adalah panjangnya rantai pasok daging sapi dari
peternak hingga ke tangan konsumen.
Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi
impor menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap
volume impor daging sapi adalah tingkat konsumsi masyarakat Indonesia, harga
domestik, dan harga daging sapi impor. Semakin tinggi tingkat konsumsi daging
sapi di Indonesia akan menyebabkan peningkatan volume impor daging sapi
terutama jika tidak diimbangi dengan pasokan dalam negeri. Harga daging sapi

dalam negeri yang tinggi dan harga daging sapi impor yang lebih rendah akan
menyebabkan peningkatan volume impor.
Berdasarkan hasil analisis permintaan, Australia memiliki pangsa pasar
(share) terbesar di pasar daging impor Indonesia. Diikuti oleh Selandia Baru, Rest
of World (ROW), dan yang terakhir adalah Amerika Serikat dengan share terkecil.
Elastisitas pengeluaran merupakan persentase perubahan pangsa atau share ekspor
negara sebagai respon terhadap perubahan total impor Indonesia. Elastisitas
pengeluaran Australia paling elastis. Untuk elastisitas harga sendiri, nilai elastisitas
semua negara bernilai negatif. Hal ini sesuai dengan hukum permintaan yang

menyatakan bahwa ketika harga suatu komoditas meningkat, maka permintaan atau
share terhadap produk tersebut akan turun. Nilai elastisitas silang antar negara
tersebut menunjukkan bahwa komoditas ketiga negara saling bersubstitusi yang
artinya antar negara sumber impor saling bersaing.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa perlu adanya upaya perbaikan
sistem agribisnis komoditas daging sapi di Indonesia. Pemerintah dapat melakukan
diversifikasi daging untuk mengantisipasi peningkatan konsumsi daging sapi
sehingga konsumsi daging sapi yang meningkat dapat di diversifikasi pada
komoditas daging lainnya. Selain itu, diperlukan kekonsistenan kebijakan dalam
bentuk pengawasan yang diambil pemerintah untuk menjamin tidak ada oknum
yang memanfaatkan peluang dengan melakukan penyimpangan.
Kata kunci: AIDS, daging sapi, permintaan impor, regresi

SUMMARY

RESTI PRASTIKA DESTIARNI. The Demand Analysis of Indonesia Imported
Meat. Supervised by SUHARNO and NETTI TINAPRILLA.
Meat (meat of bovine) is a commodity which is believed that the demand
will increase along the increasing of Indonesian income. It is continously showed
from the increasing of consumption trend every year. However, the increasing of

that consumption has not been fulfilled yet by domestic production. There is a
deficit between Indonesia meat consumption and production. Whereas, meat
consumption rate of Indonesian is still low around 2.36 kg/capita/year. The
existence of deficit on fulfilling meat needs encourage the government to do
importing. Moreover, Indonesia as one of the global player can not be separated
from international trade activity. The existence of meat self-sufficient policy, which
is conducted by government, is expected to be one of the method to reduce imported
meat especially Indonesia imported meat trend shows a negative growth. There are
three countries which dominate Indonesia imported meat market. Those countries
have share approximately 84 percent. Indirectly, Indonesia rely on the meat needs
on those three countries. Based on those statement, it is needed to do analyzing to
describe meat demand performance in Indonesia so that it can support the
government to find out some factors which affect Indonesia importing activity on
meat. In particular, this research is aimed: 1) to analyze business performance of
meat commodity in Indonesia; 2) to analyze some factors which affect the demand
of imported meat in Indonesia; and 3) to analyze the competitive position from
those three countries as the source of Indonesia imported meat.
Based on meat production performance in Indonesia, the amount of meat
production in Indonesia increased around 3.05 percent in average per year with the
central of meat production in Indonesia is East Java Province. Meat consumption

per capita in Indonesia increased with the level of consumption pace around
1.40 percent per year. This consumption level was forcasted to increase reaching
4.8 percent till 2024 so that meat necessity would increase each year. The existance
of meat price fluctuation in domestic market was inversely related by the supply of
domestic meat. The increasing average of meat price in Indonesia reached 13.49
percent and was predicted to increase if the meat supply was not stable yet. One of
the causes on the high meat price was the lenght of meat supply chain from breeders
to last consumers
The result of factors analysis which was influenced imported meat demand
showed that the factors which was influenced significantly on imported meat
volume were the Indonesian consumption level, domestic price, and imported meat
price. The higher of meat consumption level in Indonesia would lead to an
increasing of imported meat volume especially if it was not balanced with domestic
supply. The more expensive of domestic meat price and the cheapest of imported
meat price would cause the increasing of import volume.
Based on the result of demand analysis, Australia had the biggest share in
Indonesia imported meat market. It was followed by New Zealand, Rest of World
(ROW), and the last was United States with the smallest share there. Expenditure
elasticity was the alteration percentage of export share as a respond on an alteration


of Indonesia total import. Australia expenditure elasticity was the most elastic. For
own price elasticity, elasticity value from all of imported source countries were
negative. It was suitable with demand law which stated that if the price of some
commodities increased, demand or share on those commodities would decrease.
Cross price elasticity among them showed the commodity from those countries
were substituted each other which was meant that there were a competition among
them.
The research result showed that it is needed an improving efforts on meat
agribusiness system in Indonesia. The Government can do meat diversifying to
anticipate the increasing of meat consumption so that the increasing of meat
consumption can be diversified on other meat commodities. Beside that, it is needed
policies consistency on supervising form which is taken by the government to
ensure that noones will take advantages on irregularities.
Keywords: AIDS, import demand, meat, regression

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS PERMINTAAN DAGING SAPI IMPOR
INDONESIA

RESTI PRASTIKA DESTIARNI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Rachmat Pambudy, MS.
Penguji Wakil Program Studi

: Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS.

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang
dipilih pada tesis ini ialah permintaan impor, dengan judul tesis yaitu Analisis
Permintaan Daging Sapi Impor Indonesia. Penyelesaian tesis ini juga tidak terlepas
dari bantuan berbagai pihak sehingga penulis ingin menyampaikan terima kasih dan
penghargaan kepada pihak-pihak terkait.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Suharno MAdev dan Dr Ir Netti
Tinaprilla MM selaku komisi pembimbing, Dr Ir Rachmat Pambudy MS selaku dosen
penguji tesis, serta Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku dosen penguji wakil program
studi dan Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis. Selain itu, terima kasih juga
penulis ucapkan kepada Program Studi Magister Sains Agribisnis IPB dan pihak terkait
yang mendukung kelancaran penulisan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada ibu dan seluruh keluarga yang telah bersabar dan senantiasa
mendoakan penulis selama menempuh pendidikan magister, khususnya selama proses

penyelesaian tesis ini. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala dukungan
dari teman-teman Magister Sains Agribisnis angkatan 5 selama menempuh pendidikan
magister.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan
pengembangan sektor peternakan khususnya komoditas daging sapi.
Bogor, Oktober 2016

Resti Prastika Destiarni

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
Manfaat
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian Komoditas Daging Sapi
Permintaan Impor
Analisis AIDS (Almost Ideal Demand System)
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengolahan Data Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Produksi Komoditas Daging Sapi Indonesia
Keragaan Konsumsi Komoditas Daging Sapi Indonesia
Keragaan Harga dan Rantai Pasok Komoditas Daging Sapi Indonesia
Keragaan Impor Daging Sapi Indonesia
Keragaan Kebijakan Komoditas Daging Sapi Indonesia
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Daging Sapi Impor
Indonesia
Tingkat Persaingan Negara Sumber Daging Sapi Impor (Australia,
Selandia Baru, dan Amerika Serikat)
Implikasi Kebijakan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vii
1
1
5
7
7
8
8
8
9
12
13
13
31
33
33
33
34
41
41
44
44
47
49
53
58
62
63
63
64
65
72
79

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Konsumsi dan defisit daging sapi 2008 – 2012
Produksi daging sapi nasional 2008 – 2012
Tren proyeksi konsumsi daging sapi 2017 – 2024
Impor komoditas daging sapi tahun 2010 – 2013
Ukuran elastisitas penawaran
Ukuran elastisitas permintaan
Jenis dan sumber data pendukung penelitian
Ukuran-ukuran elastisitas model AIDS
Hasil estimasi model faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging
sapi impor Indonesia
Hasil estimasi model posisi persaingan negara sumber daging sapi impor
Indonesia
Pangsa impor dan elastisitas pengeluaran negara sumber impor
Perhitungan elastisitas harga sendiri negara sumber impor
Perhitungan elastisitas hargasilang negara sumber impor

3
3
5
6
23
24
34
40
55
58
60
61
61

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Keseimbangan konsumen
Efek substitusi dan efek pendapatan akibat adanya perubahan harga dan
penurunan kurva permintaan Marshallian dan permintaan Hicksian
Hubungan secara umum antara fungsi permintaan Marshallian dan
Hicksian
Mekanisme terjadinya perdagangan internasional (Salvatore 1997)
Kerangka pemikiran operasional
Perkembangan populasi sapi potong di Indonesia tahun 1984 – 2014
Sentra populasi daging sapi Indonesia 2007 – 2014
Perkembangan produksi daging sapi Indonesia
Sentra produksi daging sapi Indonesia
Perkembangan konsumsi daging sapi Indonesia tahun 1993 – 2014
Perkembangan harga daging sapi Indonesia
Rantai pasok ternak daging sapi lokal
Rantai pasok ternak dan daging sapi impor
Rantai pasok daging sapi impor
Perkembangan volume impor daging sapi Indonesia
Proporsi perkembangan permintaan daging sapi impor 2000 – 2013

15
16
17
18
32
41
42
43
43
44
45
45
46
47
48
49

16

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Estimasi regresi berganda
Uji asumsi klasik pada model
Hasil regresi komponen utama
Hasil uji wald
Output permintaan daging sapi impor

72
72
76
77
78

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam pemenuhan
kebutuhan manusia karena hasil produksi sektor pertanian digunakan sebagai
pemenuhan kebutuhan dasar manusia terutama dalam hal kebutuhan pangan. Sektor
pertanian dibagi menjadi beberapa subsektor antara lain subsektor tanaman pangan,
subsektor hortikultura, subsektor perkebunan, subsektor kehutanan, subsektor
perikanan (terdiri dari perikanan budidaya dan perikanan tangkap), dan subsektor
peternakan. Walaupun sektor pertanian penting terutama karena menyangkut
kebutuhan pangan, kontribusi sektor pertanian pada PDB (Produk Domestik Bruto)
nasional semakin menurun setiap tahunnya. Pada tahun 2013, kontribusi sektor
pertanian hanya 12.26 persen (BPS 2015). Selama lima tahun terakhir penurunan
kontribusi sektor pertanian rata-rata mencapai 0.3 persen. Di lain pihak, sektor yang
paling bertumbuh dengan pesat adalah sektor industri (manufaktur dan non
manufaktur).
Penurunan kontribusi tersebut berbeda dengan statistik yang ditunjukkan
berdasarkan ketenagakerjaan. Sektor pertanian mampu menyerap sekitar
34.36 persen tenaga kerja dari total angkatan kerja yang ada di Indonesia
(Kemenakertrans 2014). Hal tersebut menunjukkan bahwa penduduk Indonesia
masih menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian karena kelangsungan
dari sektor pertanian secara langsung berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan
pangan dan ketahanan pangan Indonesia.
Ketahanan pangan (Food Security) menurut Undang-undang No. 18 Tahun
2012 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai perorangan, yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan
produktif secara berkelanjutan. Ketahanan pangan menjadi perhatian negara-negara
seluruh dunia seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pemenuhan kebutuhan
pangan, energi, dan air. Terdapat tiga aspek penting yang harus dipenuhi dalam
mewujudkan ketahanan pangan, antara lain ketersediaan, akses, dan penyerapan
pangan. Salah satu sektor pertanian yang menjadi fokus dalam hal membangun
ketahanan pangan adalah subsektor peternakan.
Subsektor peternakan merupakan salah satu subsektor yang penting dalam
upaya mewujudkan ketahanan pangan. Subsektor ini diyakini memiliki potensi
sebagai penggerak utama ekonomi nasional (Daryanto 2007). Hal tersebut didasari
kepada fakta bahwa: (1) Kuantitas dan keragaman sumber daya peternakan yang
besar; (2) Industri sektor peternakan memiliki keterkaitan yang kuat dengan
industri-industri lainnya baik keterkaitan ke belakang maupun kedepan; (3) Industri
peternakan berbasis sumber daya lokal (resources based industries) dan (4)
Memiliki keunggulan, memiliki keunggulan komparatif dari segi sumber daya
ternak (Daryanto 2007), dan memiliki keunggulan kompetitif dari segi komponen
biaya tenaga kerja (Daryanto 2009).
Daging sapi merupakan salah satu produk hasil subsektor peternakan yang
menjadi objek untuk mewujudkan ketahanan pangan. Hal tersebut dapat dilihat dari

2

upaya pemerintah dengan adanya program swasembada daging sapi. Program
swasembada yang dicanangkan oleh pemerintah pada intinya didasari pada
keinginan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi nasional secara mandiri. Adanya
program swasembada ini diharapkan bahwa konsumsi daging sapi dapat dipenuhi
oleh produksi dalam negeri minimal sebanyak 90 persen (on trend), sedangkan
sisanya dapat dipenuhi dari impor (Junaidi 2013).
Program swasembada ini sudah direncanakan sejak tahun 2005, lalu
diperbarui 2010, dan terakhir 2014 dengan program yang disebut PSDS (Program
Swasembada Daging Sapi). Program Swasembada Daging Sapi 2014 merupakan
program pemutakhiran dari program swasembada daging 2005 dan 2010 yang tidak
berhasil, pemutakhiran yang dilakukan meliputi aspek program, organisasi
pelaksana, dokumen pendukung, dan pendanaan (Ashari et al 2012). Pemenuhan
pangan berasal dalam negeri disadari semakin penting sebab jika mengandalkan
impor dapat menyebabkan ketahanan pangan dalam komoditas daging sapi menjadi
lemah jika negara pengekspor tidak bersedia menjual produknya. Menurut Sunari
et al (2010), impor sapi dapat mengganggu agribisnis sapi potong lokal disebabkan:
(1) Harga daging sapi impor relatif lebih murah dibandingkan harga daging sapi
lokal dan (2) Terdapat pergeseran dari kegiatan impor sapi bakalan menjadi impor
sapi siap potong atau daging.
Daging sapi sebagai salah satu produk hasil komoditas peternakan digemari
konsumen dengan alasan pertimbangan gizi, status sosial, pertimbangan kuliner,
dan pengaruh budaya barat (Jonsen 2004), disamping itu tingkat kecernaan protein
daging sapi mencapai 95 – 100 persen dibandingkan kecernaan protein tanaman
yang hanya 65 – 75 persen (Aberle et al 2001). Daging sapi memiliki cita rasa yang
khas yang tidak bisa disubstitusi dengan daging jenis lain terutama ketika
pengonsumsiannya saat memperingati hari besar keagamaan tertentu walaupun
harganya mengalami peningkatan (Ilham 2006).
Berdasarkan RPJMN bidang pangan dan pertanian 2015 – 2019, konsumsi
daging sapi di Indonesia akan mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut
disebabkan karena semakin meningkatnya jumlah penduduk. Selain itu, kenaikan
konsumsi daging sapi juga disebabkan oleh citra produk (gengsi), cita rasa, serta
pertumbuhan industri pengolahan daging sapi, dan industri pariwisata (hotel dan
restoran).
Menurut teori ekonomi, faktor lain yang mempengaruhi konsumsi daging
sapi per kapita adalah pendapatan rumah tangga konsumen. Hasil analisis dengan
menggunakan model LA-AIDS (Linear Approximation – Almost Ideal Demand
System) memperoleh elastisitas pendapatan yang bernilai positif yaitu 1.478 yang
diinterpretasikan sebagai, setiap kenaikan pendapatan rumah tangga 10 persen,
konsumsi langsung daging sapi naik 14.78 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
daging sapi merupakan produk pangan mewah bagi rumah tangga konsumen. Maka
selanjutnya, peningkatan pendapatan masyarakat diperkirakan dapat meningkatkan
konsumsi langsung daging sapi. Konsumsi tidak langsung (untuk bahan baku
industri pengolahan, bakso, dan lain-lain) juga akan terus meningkat dengan
meningkatnya pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk (RPJMN bidang
pangan dan pertanian 2015 – 2019).

3

Tabel 1 Konsumsi dan defisit daging sapi 2008 – 2013
Defisit
Konsumsi
Produksi
(ton)a
(ton)b
Ton
Persentase (%)
2008
395 244
222 656
172 588
43.67
2009
413 087
213 477
199 610
48.32
2010
440 774
349 967
90 807
20.60
2011
488 931
410 698
78 233
16.00
2012
544 896
425 495
119 401
21.91
2013
593 706
463 778
167 928
21.88
Laju (%)
8.51
17.95
Sumber: RPJMN Bidang pangan dan pertanian 2015 – 2019, Badan Pusat Statistik (2014) (diolah)
a
Terdiri dari konsumsi rumah tangga, penggunaan untuk industri pengolahan, dan tercecer
b
Produksi daging sapi ex sapi lokal
Tahun

Konsumsi daging sapi setiap tahunnya menghasilkan angka yang fluktuatif
dengan kecenderungan menunjukkan angka laju yang positif, artinya rata-rata
konsumsi daging sapi setiap tahunnya meningkat. Tabel 1 menunjukkan jumlah
konsumsi daging sapi yang berasal dari konsumen rumah tangga maupun industri
dan jumlah produksi daging sapi yang berasal dari sapi potong lokal. Laju produksi
yang cenderung lebih tinggi dibandingkan laju konsumsi akan berpengaruh positif
terhadap penurunan defisit pemenuhan daging sapi di Indonesia. Defisit daging sapi
terbesar terjadi pada tahun 2009 dengan persentase mencapai 48.32 persen namun
defisit tersebut berhasil menurun mencapai 21.88 persen pada tahun 2013 yang
artinya bahwa dalam waktu empat tahun dengan konsumsi yang meningkat,
pemerintah dapat menurunkan tingkat defisit mencapai 45.28 persen. Selama ini
defisit konsumsi daging sapi Indonesia dipenuhi oleh komoditas daging sapi impor.
Berdasarkan tabel terlihat bahwa produksi merupakan faktor penting dalam
mengurangi defisit yang selanjutnya akan mempengaruhi jumlah daging sapi impor
yang masuk ke Indonesia. Semakin meningkatnya produksi, akan mengurangi
defisit, dan akan mengurangi jumlah daging sapi yang diimpor oleh pemerintah.
Naik turunnya jumlah komoditas impor akan berhubungan dengan besarnya
produksi yang sanggup dilakukan oleh Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut
dapat disimpulkan bahwa hubungan antara jumlah (volume) impor dengan produksi
adalah negatif (berlawanan).
Tabel 2 Produksi daging sapi nasional 2008 – 2013
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Laju

Sapi lokal
Ton
222 656
213 477
349 967
410 698
425 495
463 778

%
56.73
52.16
80.18
84.62
84.18
85.00
17.95

Sapi impor
Ton
%
169 844
43.27
195 823
47.84
86 485
19.82
74 635
15.38
79 982
15.82
81 843
15.00
-8.95

Total
(ton)
392 500
409 300
436 452
485 333
505 477
545 621

Sumber: RPJMN Bidang pangan dan pertanian 2015 – 2019, Badan Pusat Statistik (2014) (diolah)

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa laju peningkatan produksi daging sapi di
Indonesia diiringi dengan penurunan laju impor. Pada tahun 2008 – 2013, laju
penurunan jumlah impor daging sapi Indonesia mencapai 8.95 persen. Hubungan
negatif antara volume impor dan produksi dapat dilihat berdasarkan hasil pada
Tabel 2. Pada tahun 2010, produksi daging sapi lokal meningkat hingga mencapai

4

80 persen dikarenakan adanya pembatasan impor yang diterapkan pemerintah dan
rancangan program swasembada daging sapi untuk memenuhi komoditas daging
sapi berdasarkan sumber daya lokal. Penurunan impor dapat mendorong dan
membuka peluang bagi peternak sapi lokal untuk memproduksi lebih banyak sapi
lokal.
Namun pernyataan bahwa peningkatan produksi daging sapi lokal yang
sangat cepat merupakan prestasi yang bagus memerlukan pertimbangan lebih
lanjut. Peningkatan produksi daging sapi lokal yang sangat cepat sebagai akibat dari
pembatasan impor daging sapi dapat mengancam populasi ternak sapi potong di
Indonesia jika peningkatan jumlah kelahiran hidup tidak sebanding dengan
peningkatan jumlah pemotongannya. Indikasi terancamnya populasi ternak sapi
potong antara lain adalah semakin sulit mendapatkan ternak sapi potong jantan
dengan bobot hidup 300 kg atau lebih per ekor dan meningkatnya pemotongan
ternak sapi potong betina produktif, yang berarti pemusnahan (extinction)
sumberdaya ternak sapi potong (RPJMN bidang pangan dan pertanian 2015 –
2019).
Kebijakan pembatasan impor terutama komoditas daging sapi dalam upaya
menghindari terancamnya populasi ternak sapi potong hidup harus
memperhitungkan dua hal, yaitu: (1) Kebutuhan riil daging sapi untuk konsumsi
rumah tangga, rumah makan, hotel, catering, industri pengolahan, dan lain-lain; dan
(2) Jumlah kelahiran sapi dan jumlah sapi yang tersedia untuk dipotong. Kesalahan
dalam perhitungan pemenuhan kebutuhan daging sapi akan memberikan efek
domino di pasar daging sapi Indonesia. Salah satunya adalah timbul kelangkangan
daging sapi di pasaran. Kelangkaan ini akan berpengaruh terhadap harga daging
sapi. Pada dasarnya, perhitungan kuota impor tersebut harus dilakukan secara
cermat agar tidak terjadi kekurangan stok yang menyebabkan kelangkaan dan
peningkatan harga maupun kelebihan stok yang menyebabkan pasar domestik jenuh
dan dapat menjatuhkan harga daging sapi.
Dengan adanya perdagangan internasional, Indonesia tidak mungkin
menghalangi secara absolut komoditas-komoditas yang berasal dari luar negeri
untuk masuk bersaing di pasar lokal. Indonesia tidak bisa secara absolut mengelak
dari kegiatan impor sebagai konsekuensi Indonesia sebagai salah satu pemain
global. Sunari et al (2010) menyatakan bahwa pasar daging sapi Indonesia
sebenarnya rentan terhadap pengaruh pasar global karena dipengaruhi oleh
penawaran daging sapi, konsumsi dan harga daging sapi lokal, harga riil, jumlah
induk dan pemotongan sapi lokal, serta jumlah dan harga daging sapi impor.
Apalagi saat ini Indonesia telah menandatangani perjanjian wilayah perdagangan
bebas bilateral terutama dengan negara Australia dan Selandia Baru berupa
kesepakatan Asean-Australian-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA),
dengan menyetujui kesepakatan ini maka tarif impor daging sapi maupun sapi hidup
akan dihilangkan atau dengan kata lain daging impor dapat semakin mudah masuk
ke Indonesia. Kondisi demikian memperkuat pandangan bahwa sektor peternakan
khususnya daging haruslah mengedepankan kepada sumber daya lokal.
Perdagangan bebas dapat mengancam sektor peternakan sapi potong lokal
jika tidak dapat bersaing dengan sapi impor. Simatupang (2004) memandang dalam
upaya memperoleh manfaat dari keterbukaan pasar diperlukan beberapa
persyaratan, salah satunya perlu memenuhi syarat keharusan yaitu adanya
keunggulan kompetitif dari produk yang dimiliki.

5

Tabel 3 Tren proyeksi konsumsi daging sapi 2017 – 2024
Tahun
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024

Konsumsi
(kg/kapita/tahun)
2.88
3.04
3.20
3.36
3.52
3.68
3.84
4.00

Konsumsi Nasional
(ton)
729 910.96
774 937.66
819 964.36
864 991.05
910 017.75
955 044.45
1 000 071.14
1 045 097.84

Sumber: Roadmap Pengembangan Sapi Potong Indonesia (Kerjasama Fakultas Peternakan UGM
dan APFINDO)

Berdasarkan Tabel 3, konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia
diproyeksikan akan meningkat dengan kelajuan rata-rata 4.81 persen. Adanya
ketidakseimbangan pemenuhan dan ketersediaan daging sapi di Indonesia membuat
pemerintah harus menemukan solusi yang tepat sehingga tidak mengancam
keberadaan komoditas lokal Indonesia. Hingga saat ini, Indonesia melakukan impor
daging sapi untuk dapat menjamin pasokan daging sapi bagi masyarakatnya
sehingga dari kepastian pasokan tersebut dapat menjamin harga yang terjadi di
pasar. Kegiatan impor juga dapat digunakan Indonesia sebagai salah satu sarana
membangun dan mendukung industri peternakan untuk selanjutnya dapat
memenuhi kebutuhan daging sapi dari produksi lokal. Adanya analisis mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi Indonesia melakukan impor daging sapi dapat
dijadikan acuan untuk menemukan solusi bagi Indonesia dalam mengurangi impor
daging sapi. Perlu dipertanyakan faktor yang mendasari kegiatan tersebut selain
fakta bahwa adanya perdagangan bebas yang hampir menghapus hambatanhambatan suatu negara untuk menjual komoditasnya ke negara lain.
Pengetahuan tersebut dapat membantu pemerintah untuk menemukan solusi
yang sesuai untuk dapat memberdayakan sumber daya lokal dan meningkatkan
ketahanan pangan Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan daging sapi. Tercapainya
hal tersebut dapat menjadi tolok ukur bagi pemerintah dalam melaksanakan
swasembada pada komoditas daging sapi.

Rumusan Masalah
Indonesia melakukan kegiatan impor untuk mencukupi pasokan kebutuhan
daging sapi ketika ketersediaan daging sapi lokal belum mampu memenuhi
keseluruhan kebutuhan masyarakat Indonesia. Adanya program swasembada yang
dirancang oleh pemerintah hingga tahun 2015 belum menemukan kata berhasil.
Padahal, Indonesia merupakan negara dengan konsumsi daging yang rendah per
kapita penduduknya dibandingkan dengan standar FAO. FAO memberikan standar
konsumsi daging sapi per kapitanya yaitu 33 kg/kapita/tahun. Rata-rata konsumsi
daging sapi di Indonesia mencapai 2.36 kg/kapita/tahun. Hal tersebut nampak
sangat berbeda jika dibandingkan konsumsi daging sapi di Argentina (55
kg/kapita/tahun), Brazil (40 kg/kapita/tahun), dan Jerman (40 – 45 kg/kapita/tahun).
Sementara untuk konsumsi daging sapi di Singapura dan Malaysia rata-rata
konsumsinya adalah 15 kg/kapita/tahun.

6

Tabel 4 Impor komoditas daging sapi tahun 2010 – 2013
Tahun

Volume (ton)

Nilai (000 US$)

2010
2011
2012
2013
Total
Growth Rate (%)

90 506
65 022
39 419
48 085
243 032
(19.01)

289 506
234 266
164 887
223 032
911 691
(8.33)

Sumber: BPS 2014

Sejak tahun 2010, pertumbuhan impor daging sapi Indonesia menunjukkan
pertumbuhan yang negatif dengan penurunan volume impor mencapai 19 persen
(berdasarkan Tabel 4). Hal tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia dapat
memberdayakan sumber daya lokal untuk memenuhi kebutuhan daging sapi dalam
negeri. Terkait dengan penurunan volume impor, perlu dilakukan analisis untuk
mengetahui faktor apa yang paling signifikan mempengaruhi penurunan impor
sehingga Indonesia dapat menemukan solusi berdasarkan faktor tersebut. Terlebih
adanya peningkatan taraf hidup penduduk Indonesia akan membuat konsumsi
daging sapi diramalkan juga akan meningkat.
Sebelumnya telah dibahas bahwa subsektor peternakan merupakan salah
satu penggerak ekonomi nasional karena berbasis sumber daya lokal. Dengan
adanya penurunan komoditas daging sapi impor maka sumber daya lokal sebagai
pembangun perekonomian negara dapat lebih berperan. Indonesia melakukan
kegiatan impor pada dasarnya untuk memenuhi pasokan daging sapi sehingga
ketersediaan daging sapi di pasar lokal tetap aman. Namun kegiatan impor jika tidak
terkendali akan menimbulkan dampak negatif.
Dampak negatif yang terjadi dari kegiatan impor yang erat kaitannya
dengan globalisasi adalah (1) menghambat pertumbuhan sektor industri (2) sektor
keuangan semakin tidak stabil (3) memperburuk prospek pertumbuhan ekonomi.
Kondisi semakin meningkatnya impor daging sapi akan membuat perkembangan
usaha perternakan rakyat menjadi terdesak sehingga perlu adanya proteksi dari
pemerintah untuk mengurangi besarnya impor. Selain proteksi, untuk mengurangi
impor dapat dilakukan dengan peningkatan produksi daging sapi lokal. Hal yang
harus diperhatikan adalah beberapa tahun belakangan ini Indonesia yang memiliki
penduduk keempat terbesar di dunia telah menjadi target pasar dunia. Hasilnya
adalah Indonesia sedang mengalami food trap yaitu kecenderungan mengimpor
bahan pangan.
Tiga negara terbesar yang melakukan ekspor daging sapi ke Indonesia
adalah Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat (USA). Ketiga negara
tersebut memiliki rata-rata total pangsa pasar untuk ekspor komoditas daging sapi
sebesar 84 persen. Australia menduduki posisi pertama dalam hal jumlah ekspor
daging sapi ke Indonesia diikuti Selandia Baru dan Amerika Serikat. Adanya
Asean-Australian-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) membuat
perdagangan antara Indonesia dengan negara tersebut menjadi lebih terbuka dan
hambatan perdagangan semakin menipis. Selain itu, Indonesia dalam melakukan
impor daging sapi menerapkan sistem basis negara yaitu Indonesia akan
mendatangkan daging sapi dari negara yang terindikasi bebas dari penyakit ternak.
Amerika Serikat merupakan negara yang diindikasi ternaknya bebas dari penyakit

7

mulut dan kuku (PMK) ataupun antrax yang biasa terjadi pada ternak sapi. Adanya
perjanjian perdagangan bebas terutama antara Australia, Selandia Baru, dan
Indonesia sebagai salah satu negara di ASEAN membuat masuknya daging sapi
impor akan semakin mudah dalam tahapannya karena berdasarkan perjanjian
tersebut akan terjadi reduksi tarif komoditas impor.
Indonesia bisa mendapat masalah baru terkait dengan komoditas daging sapi
jika tren penurunan volume impor tidak konsisten. Terutama kebijakan impor
daging sapi Indonesia saat ini masih berpusat pada tiga negara yaitu Australia,
Amerika Serikat, dan Selandia baru. Hal tersebut akan merugikan Indonesia jika
ketergantungan komoditas sudah spesifik mengacu pada suatu negara.
Jika pada tahun 1970-an Indonesia yang diwakili oleh Provinsi Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur mampu melakukan ekspor daging sapi,
diharapkan saat ini Indonesia berada di jalur keberhasilan dalam melaksanakan
program swasembada daging sapi yang telah direncanakan sejak tahun 2005. Jika
Indonesia tidak bisa melakukan penekanan jumlah impor daging sapi akan
berakibat pada terganggunya sistem agribisnis sapi potong di Indonesia.
Berdasarkan pemaparan tersebut memunculkan beberapa pertanyaan yang
menjadi permasalahan untuk dianalisis. Adapaun pertanyaan penelitian, yaitu:
1. Bagaimana keragaan bisnis komoditas daging sapi di Indonesia?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi permintaan daging sapi impor di
Indonesia?
3. Bagaimana posisi persaingan tiga negara sumber daging sapi impor pasar
Indonesia?
Tujuan
1.
2.
3.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
Menganalisis keragaan bisnis komoditas daging sapi di Indonesia
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor daging sapi
di Indonesia
Menganalisis posisi persaingan tiga negara sumber daging sapi impor
Indonesia

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan informasi
bagi pengembangan agribisnis sapi potong yang menghasilkan produk daging sapi
di Indonesia untuk semua pelaku agribisnis dari hulu hingga hilir dan memberikan
pandangan terhadap pihak terkait mengenai permasalahan perdagingan sapi di
Indonesia sehingga dapat merumuskan kebijakan yang lebih baik terkait dengan
pengembangan komoditas daging sapi sebagai suatu sistem agribisnis. Selain itu,
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai preferensi daging sapi impor
yang dilakukan oleh Indonesia dengan pendekatan negara pengekspor sebagai
pilihan impor.

8

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan model ekonometrika
untuk menentukan faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi impor dan
menentukan posisi persaingan negara pengekspor daging sapi ke Indonesia. Negara
pengimpor daging sapi adalah Indonesia sedangkan negara pengekspor adalah
Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Ketiga negara tersebut dipilih
karena jumlah produk ekspor daging sapi yang masuk ke Indonesia memiliki
jumlah yang besar dibandingkan dengan ekspor dari negara-negara lainnya (rest of
world). Lingkup penelitian ini meliputi analisis permintaan impor komoditas
daging sapi dengan kode SITC Rev 1 0111 (Meat of bovine animals, fresh, chilled,
and frozen). Implikasi kebijakan yang dianalisis merupakan kebijakan yang
diterapkan di Indonesia sebagai negara pengimpor.

TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian Komoditas Daging Sapi
Daging sapi merupakan salah satu hasil output dari sapi potong. Sapi potong
sendiri merupakan komoditas yang tercantum dalam dokumen revitalisasi pertanian
sehingga wajar komoditas ini menjadi salah satu komoditas yang diharapkan untuk
dapat mencapai swasembada (Ilham 2006). Adanya wacana mewujudkan
swasembada daging sapi di Indonesia membuat penelitian tentang komoditas
daging sapi berkembang dengan topik penelitian yang saling berkaitan diantaranya
analisis kebijakan; analisis permintaan dan penawaran; dan dinamika ketersediaan
dan harga serta jaminan keamanan komoditas daging sapi. Analisis yang digunakan
dalam melakukan penelitian tentang komoditas daging sapi dapat berupa analisis
deskriptif, simulasi model dinamis, maupun analisis statistika. Pada umumnya
analisis deskriptif dan simulasi model dinamis dilakukan untuk menganalisis
dampak kebijakan terutama kebijakan dalam mewujudkan swasembada daging sapi
dan analisis sosial ekonomi pencapaian swasembada daging sapi.
Berdasarkan penelitian Ilham (2006), Atmakusuma et al (2014), dan
Pulungan (2014), untuk dapat mewujudkan swasembada daging sapi diperlukan
dukungan dari berbagai pihak, tidak hanya adanya kebijakan dari pemerintah pusat
namun dari pihak peternak, swasta, asosiasi, perguruan tinggi, DPR/DPRD, dan
pemerintah daerah baik lintas subsektor maupun departemen. Program ini sangat
penting untuk mendapat dukungan berupa program pembibitan dan pengendalian
penyakit yang berkelanjutan. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk
mewujudkan swasembada adalah dengan membatasi impor yang masuk ke
Indonesia dan memberdayakan produksi lokal. Namun, penerapan pembatasan
impor harus dilakukan secara cermat sehingga tidak menimbulkan gejolak baik
secara ekonomi maupun politik. Salah satu sumber daging sapi impor Indonesia
adalah Australia. Adanya kebijakan pembatasan impor salah satunya dengan kuota
akan memiliki dampak tersendiri terhadap hubungan perdagangan antara kedua
negara. Namun sebenarnya, pengurangan kuota impor daging sapi oleh pemerintah
Indonesia tidak berpengaruh terhadap hubungan politik kedua Negara, namun iklim
politik dalam negeri yang bergejolak akibat kelangkaan daging dipasar, begitu juga

9

dengan pemerintahan Australia yang mendapat tekanan dari para peternak karena
Indonesia merupakan salah satu negara tujuan ekspor daging sapi Australia.
Untuk menganalisis tren harga daging sapi studi kasus daging sapi eceran
di dalam negeri, penelitian kementerian perdagangan (2013) menggunakan analisis
regresi berganda dengan metode OLS. Pada dasarnya permintaan daging sapi akan
meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk sehingga keberlanjutan
pasokan sangat diperlukan untuk menstabilkan harga. Permasalahannya adalah
produksi daging sapi belum berkesinambungan, sistem pendataan yang belum
sempurna, dan sistem distribusi yang belum tertata baik. Faktor-faktor yang
mempengaruhi harga daging sapi dari sisi permintaan antara lain permintaan dan
penawaran daging sapi lokal, permintaan dan penawaran daging sapi impor, selera,
dan hari besar keagamaan, sedangkan dari sisi penawaran antara lain harga daging
sapi dalam negeri dan impor, jumlah produksi lokal, jumlah populasi, tingkat upah,
suku bunga, dan harga riil sapi. Berdasarkan sisi permintaan, faktor yang paling
mempengaruhi harga daging sapi adalah permintaan daging sapi sedangkan
berdasarkan sisi penawaran adalah harga daging sapi dalam negeri.
Penelitian Ilham (1998) dengan menggunakan pendekatan simultan metode
three stage least squares (3SLS) memaparkan bahwa penawaran daging sapi dari
peternakan rakyat dipengaruhi oleh selisih harga daging sapi, dan penawaran dari
industri peternakan rakyat; penawaran dari industri peternakan rakyat dipengaruhi
oleh harga daging sapi, harga bakalan impor, dan tingkat suku bunga; impor daging
sapi dipengaruhi oleh tarif impor; permintaan daging sapi dipengaruhi oleh harga
daging sapi dan harga ikan; dan harga daging sapi domestik dipengaruhi oleh harga
daging sapi impor, harga ternak sapi, dan penawaran sapi domestik.
Penelitian-penelitian sebelumnya menggambarkan tentang tren harga,
permintaan, dan penawaran daging sapi dalam negeri. Permintaan impor daging
sapi juga berperan dalam pemenuhan permintaan dalam negeri. Indonesia dalam
memenuhi kebutuhan daging sapi yang semakin meningkat mengandalkan
penawaran impor dari negara lain salah satunya adalah Australia. Dengan
menggunakan pendekatan Error Correction Model (ECM), faktor yang
mempengaruhi impor daging sapi Indonesia dalam jangka panjang adalah harga
daging sapi impor, harga daging domestik, nilai tukar rupiah, GDP (gross domestic
product), dan krisis ekonomi Indonesia 1997 sedangkan dalam jangka pendek,
hanya harga daging sapi domestik yang tidak berpengaruh.

Analisis Permintaan Impor
Komoditas pertanian merupakan komoditas yang penting bagi hajat hidup
suatu negara dan masyarakatnya karena komoditas pertanian memenuhi berbagai
macam kebutuhan baik kebutuhan industri maupun rumah tangga. Komoditas
pertanian digunakan sebagai bahan baku maupun bahan siap pakai dalam konsumsi.
Dalam memenuhi kebutuhannya, suatu negara memproduksi sendiri komoditas
pertaniannya. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa tidak semua komoditas pertanian
dapat dihasilkan secara mandiri. Ada beberapa hal yang mempengaruhi suatu
negara tidak bisa berproduksi sendiri, antara lain tidak adanya sumber daya, baik
sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang mampu untuk
memproduksinya; keadaan iklim dan kondisi geografis yang kurang mendukung

10

untuk dilakukannya proses produksi suatu komoditas pertanain; dan lebih besarnya
permintaan yang terjadi dari sisi konsumen sehingga produksi belum dapat
mencukupi semua kebutuhan konsumsi masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan
produksi tersebut, pemerintah memiliki berbagai cara, salah satunya dengan impor.
Impor merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Adanya
permintaan impor dari suatu negara merupakan bentuk perdagangan internasional
yang terjadi antara dua negara (bilateral) maupun banyak negara (multilateral).
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, para peneliti mulai
menunjukkan ketertarikan untuk menganalisis permintaan impor yang dilakukan
suatu negara. Penelitian-penelitian tersebut antara lain mencakup analisis
permintaan impor dengan pendekatan multinegara yang dilakukan pada enam
negara berkembang (Yunani, Korea, Singapura, Afrika Selatan, Pakistan, dan
Filipina) (Bahmani-Oskooee 1998); analisis permintaan impor yang dilakukan
berdasarkan kelompok negara seperti negara Amerika Latin dan Karibia (Ozturk
and Acaravci 2009), dan negara-negara di Asia Timur (Kim and Lee 2014); analisis
permintaan impor yang dilakukan pada dua negara saja seperti Amerika Serikat dan
Sri Lanka (Emran and Shilpi 2010), Amerika Serikat dan China (Rifin 2013), atau
Jepang dan Korea Selatan (Mutondo and Henneberry 2007); serta analisis
permintaan impor yang spesifik dilakukan hanya pada satu negara saja seperti
Amerika (Sulgham and Zapata 2006. Babula 2014), Jamaika (Hibbert et al 2012),
Swiss (Feleke and Kilmer 2007), Indonesia (Andayani and Tilley 1997. Rifin 2010.
Permani 2013. Rifin 2013), dan Jepang (Chang 2000. Chang and Nguyen 2002.
Miljkovic and Jin 2006).
Analisis permintaan impor yang melibatkan banyak negara (contoh: enam
negara yang dianalisis) cenderung mempertimbangkan bahwa negara tersebut
memiliki keadaan ekonomi yang serupa dan merupakan negara yang sedang
berkembang. Begitupun dengan analisis impor kelompok negara. Pada analisis
permintaan impor dua negara dilakukan berdasarkan kesamaan pasar impor.
Penentuan negara tersebut berdasarkan pada kemiripan pasar komoditas impor yang
dihadapi. Contohnya pada analisis permintaan impor yang melibatkan Amerika
Serikat dan China dengan komoditas pilihan yaitu kelapa sawit yang didatangkan
dari Indonesia. Amerika Serikat dan China merupakan pengimpor kelapa sawit
terbesar bagi pasar kelapa sawit Indonesia. Sedangkan pada analisis permintaan
impor satu negara dilakukan untuk melihat secara spesifik permintaan impor yang
terjadi dan pasar impor yang dihadapi di negara tersebut.
Penelitian mengenai permintaan impor lebih banyak berkutat menggunakan
model-model dan estimasi ekonometrika. Ekonometrika merupakan sebuah ilmu
untuk mempelajari analisis kuantitatif dari fenomena ekonomi yang dapat
menerjemahkan permasalahan ekonomi dengan pendekatan statistik. Ekonometrika
membutuhkan pemahaman multidisipliner karena mencakup teori ekonomi,
matematika ekonomi, statistika ekonomi, dan matematika statistika. Secara umum,
yang dikaji dalam ekonometrika lebih spesifik pada, (1) menduga hubunganhubungan ekonomi; (2) mengkonfrontasi teori ekonomi dengan fakta (data
empiris), dan menguji hipotesis yang berkaitan dengan perilaku ekonomi; (3)
melakukan peramalan perilaku peubah-peubah ekonomi (Juanda 2009). Analisis
permintaan impor dianalisis menggunakan beberapa model dan pendekatan, antara
lain model regresi linear dengan metode OLS (ordinary least square) (Raswatie
2008. Septiana 2011); an autoregressive distribution lag (ARDL) (Constant and

11

Yue 2010. Binuomote et al 2012. Grullon 2012); vector autoregressive (VAR)
(Babula 2014), dan vector error correction model (VECM) (Permani 2013.
Tirmazee and Naveed 2014); dan terakhir adalah an almost ideal demand system
(AIDS) dengan metode SUR (seeminly unrelated regression) (Oyinho et al 2013.
Rifin 2013); dan ada juga yang menggunakan data panel dinamis (Ozturk and
Acaravci 2009).
Model regresi linear metode OLS merupakan model yang paling umum
digunakan untuk dapat menggambarkan hubungan antara suatu variabel bebas
dengan variabel terikatnya. ECM (error corrrection mechanism) merupakan model
yang memasukkan penyesuaian untuk melakukan koreksi ketidakseimbangan
jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang. Pada umumnya, model
dengan ECM digunakan untuk menunjukkan model yang dinamis dengan syarat
variabelnya berkointegrasi. Kointegrasi merupakan hubungan jangka panjang antar
variabel yang tidak stationer dan menghasilkan kombinasi linear sehingga tercipta
kondisi yang stationer. Peubah yang saling berkointegrasi mempunyai hubungan
jangka panjang. VAR (vector autoregressive) merupakan sebuah n-persamaan (nequation) dengan n-variabel (n-variabel) yang masing-masing variabel dijelaskan
oleh nilai lag-nya sendiri, serta nilai saat ini dan masa lampaunya (current and past
values). Dengan demikian, dalam konteks ekonometrika modern VAR termasuk ke
dalam multivariate time series analysis. Metode VAR memerlukan data yang
stationer dan berkointegrasi. VECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi
karena data tidak stationer namun berkointegrasi sehingga sering disebut sebagai
sistem VAR bagi deret stationer yang memiliki hubungan kointegrasi namun tidak
stationer (Juanda dan Junaidi 2012). Data panel merupakan analisis regresi dengan
menggunakan dua macam data yaitu data cross section dan time series (Juanda and
Junaidi 2012).
Berbagai model yang berkembang pada dasarnya digunakan untuk melihat
faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor suatu negara. Umumnya para
peneliti yang melakukan analisis impor menggunakan dua variabel utama (variabel
bebas) yaitu harga impor dan pendapatan negara (Kalyoncu 2006). Hal ini sejalan
dengan pendapat Chani (2011) bahwa permintaan impor merupakan suatu fungsi
dari aggregate income dan harga relatif. Sebagian besar studi tersebut menemukan
hubungan yang negatif antara volume impor dengan harga impor dan positif dengan
income.
Beragam faktor yang secara umum mempengaruhi permintaan impor
berdasarkan perspektif negara dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal.
Beberapa faktor internal yang mempengaruhi permintaan impor yaitu GDP riil
(Manik 2012); kebijakan perdagangan (Ilham 1998); harga komoditas domestik,
jumlah dan luas produksi dalam negeri (Uzonos and Akcay 2009); nilai tukar,
investasi, cadangan devisa dan suku bunga (Septiana 2011); pendapatan per kapita
dan inflasi (Ozturk and Acaravci 2009); tarif impor (Raswatie 2008); jumlah
populasi dan konsumsi domestik (Purnamasari 2006). Sementara variabel eksternal
berupa harga komoditas impor (Binuomote et al 2012) dan GDP negara pengekspor
(Hutabalian 2009). Dari variabel-variabel penjelas tersebut hanya variabel jumlah
produksi, harga impor, luas produksi dan kebijakan perdagangan (tarif dan kuota)
yang memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan impor. Dengan kata lain
apabila terjadi peningkatan misalnya pada kebijakan tarif maka volume impor akan
berkurang.

12

Analisis AIDS (Almost Ideal Demand System)
Model AIDS merupakan salah satu model yang bertujuan untuk
mengestimasi fungsi permintaan. Model AIDS tersebut pertama kali diperkenalkan
oleh Deaton dan Muellbauer (1980). Model ini merupakan pengembangan dari
model permintaan yaitu, model Rotterdam dan model Translog. Kelebihannya
adalah model ini memberikan kemampuan pendekatan orde pertama untuk sistem
permintaan yang didasarkan pada proporsi (share) angg