Analisis Permintaan Impor Minyak Kelapa Sawit Indonesia Di Eropa 4

ANALISIS PERMINTAAN IMPOR MINYAK KELAPA SAWIT
INDONESIA DI EROPA 4

TRI SUHERMAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Permintaan Impor
Minyak Kelapa Sawit Indonesia di Eropa 4 adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2016

Tri Suherman
NIM H351140271

RINGKASAN
TRI SUHERMAN. Analisis Permintaan Impor Minyak Kelapa Sawit Indonesia di
Eropa 4. Dibimbing oleh SUHARNO dan HARIANTO.
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak kelapa sawit di
dunia. Produksi minyak kelapa sawit yang sangat tinggi menjadikan Indonesia
sebagai negara produsen utama minyak kelapa sawit dunia. Salah satu mitra utama
perdagangan kelapa sawit Indonesia adalah negara-negara di kawasan Uni Eropa.
Empat negara importir terbesar minyak kelapa sawit di Uni Eropa meliputi Belanda,
Italia, Spanyol, dan Jerman, yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut Eropa 4.
Adanya peningkatan permintaan produk makanan dan kosmetik yang
menggunakan bahan baku minyak kelapa sawit serta kebijakan Uni Eropa terkait
penggunaan sumberdaya terbarukan sebesar 20 persen untuk energi dan setidaknya
10 persen untuk bahan bakar dengan target capaian tahun 2020 di kawasan Uni
Eropa semakin mendorong peningkatan kebutuhan minyak kelapa sawit di Eropa
4.
Peluang tersebut menjadi faktor pendorong bagi banyak negara untuk
memasok minyak kelapa sawit ke Eropa 4. Salah satu produsen minyak kelapa

sawit lain yang ikut bersaing dalam memasok minyak kelapa sawit ke Eropa 4 dan
juga merupakan pesaing kuat Indonesia yaitu Malaysia. Adanya persaingan dengan
Malaysia menyebabkan impor minyak kelapa sawit Indonesia di Eropa 4 cenderung
fluktuatif. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis tingkat
persaingan minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia di Eropa 4; (2)
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan minyak kelapa sawit
Indonesia di Eropa 4. Pendekatan model almost ideal demand system (AIDS)
digunakan untuk menjawab mengenai tujuan tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak kelapa sawit Indonesia dan
Malaysia bersaing di Eropa 4 dimana Indonesia memiliki pangsa pasar yang lebih
besar di Italia, Spanyol, dan Jerman, sementara Malaysia memiliki pangsa pasar
yang lebih besar di Belanda. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan
minyak kelapa sawit Indonesia di Belanda adalah harga minyak kelapa sawit
Indonesia, harga minyak kelapa Malaysia, total nilai impor, nilai tukar riil, dan
jumlah populasi di Belanda. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan
minyak kelapa sawit Indonesia di Italia adalah harga minyak kelapa sawit Malaysia,
total nilai impor, jumlah populasi di Italia, dan total impor minyak kelapa sawit
tahun sebelumnya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan minyak
kelapa sawit Indonesia di Spanyol adalah harga minyak zaitun. Sementara Faktorfaktor yang berpengaruh terhadap permintaan minyak kelapa sawit Indonesia di
Jerman adalah total nilai impor.

Kata Kunci : AIDS, Eropa 4, minyak kelapa sawit, permintaan impor

SUMMARY
TRI SUHERMAN. The Import Demand Analysis of Indonesian Palm Oil in Europe
4. Supervised by SUHARNO and HARIANTO.
Indonesia is one of the palm oil producer in the world. Production of palm oil
is very high making Indonesia a major producer of palm oil world. One of the main
trade partners of oil palm Indonesia are countries in the European Union. Four
country's largest importer of palm oil in the EU include the Netherlands, Italy,
Spain, and Germany, hereinafter in this study called the Europe 4. There is an
increasing demand for food products and cosmetics using raw materials palm oil as
well as EU policies related to the use of renewable resources by 20 percent for
energy and at least 10 percent on fuel with a target achievement in 2020 in the
European Union increasingly encourages increased need for palm oil in Europe 4.
It is a driving factor for many countries to supply palm oil to Europe 4. One
other palm oil producers who compete in the supply of palm oil products to Europe
4 and also a strong competitor Indonesia are Malaysia. Competition with Malaysia,
imports of Indonesian palm oil in Europe 4 tends to fluctuate. Therefore, the
purpose of this study were to (1) analyze the competition level of Indonesian and
Malaysian palm oil in Europe 4; (2) analyze the factors affecting demand for

Indonesian palm oil in Europe 4. Approach models almost ideal demand system
(AIDS) is used to answer regarding the purpose.
The results showed that oil palm Indonesia and Malaysia compete in Europe
4 where Indonesia has a market share in Italy, Spain and Germany, while Malaysia
has a market share in the Netherlands. Factors affecting demand for import of
Indonesian palm oil in the Netherlands is Indonesian palm oil prices, Malaysian
palm oil prices, the total value of imports, the real exchange rate, and the total
population in the Netherlands. Factors affecting demand for Indonesian palm oil in
Italy is a Malaysian palm oil prices, the total value of imports, the total population
in Italy, and total imports of palm oil in the previous year. Factors affecting demand
for Indonesian palm oil in Spain is the price of olive oil. While the factors affecting
demand for Indonesian palm oil in Germany is the total value of imports.
Keywords: AIDS, Europe 4, palm oil, import demand

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS PERMINTAAN IMPOR MINYAK KELAPA SAWIT
INDONESIA DI EROPA 4

TRI SUHERMAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Nunung Kusnadi, MS


Judul Tesis : Analisis Pemintaan Impor Minyak Kelapa Sawit Indonesia
di Eropa 4
Nama
: Tri Suherman
NIM
: H351140271

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Suharno, MAdev
Ketua

Dr Ir Harianto, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis


Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 23 November 2016

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul Analisis Permintaan Impor
Minyak Kelapa Sawit Indonesia di Eropa 4 ini dapat terselesaikan. Penyelesaian
tesis ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis
ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Suharno, MAdev dan Dr Ir
Harianto, MS selaku dosen pembimbing, Dr Ir Amzul Rifin selaku dosen evaluator
kolokium, Prof Dr Ir Utomo Kartosuwando, MS selaku dosen moderator seminar

hasil penelitian Dr Ir Nunung Kusnadi, MS selaku dosen penguji tesis, serta Prof
Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis
dan dosen penguji tesis. Selain itu, terima kasih juga penulis ucapkan kepada
Program Studi Magister Sains Agribisnis IPB.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada papa dan mama yang
telah bersabar dan senantiasa mendoakan penulis selama ini, khususnya selama
proses penyelesaian tesis ini. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala
dukungan dari teman-teman MSA 5.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Desember 2016
Tri Suherman

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
4
5
5
5


2 TINJAUAN PUSTAKA
Perdagangan Internasional Minyak Kelapa Sawit Indonesia
Permintaan Impor di Eropa
Kajian Almost Demand Ideal System (AIDS)

6
6
8
10

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional

11
11
16

4 METODE PENELITIAN
Waktu Penelitian

Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data

18
18
19
19

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Persaingan Minyak Kelapa Sawit Indonesia dan Malaysia
di Eropa 4
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Minyak Kelapa
Sawit Indonesia di Eropa 4
Implikasi Kebijakan

23

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

43
43
44

DAFTAR PUSTAKA

45

LAMPIRAN

49

RIWAYAT HIDUP

53

23
30
41

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Permintaan minyak kelapa sawit Indonesia di Uni Eropa
Volume impor minyak kelapa sawit Eropa 4 di Uni Eropa
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
Share minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia dalam impor
Belanda
Nilai elastisitas minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia
di Belanda
Share minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia dalam impor
Italia
Nilai elastisitas minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia
di Italia
Share minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia dalam impor
Spanyol
Nilai elastisitas minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia
di Spanyol
Share minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia dalam impor
Jerman
Nilai elastisitas minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia
di Jerman
Hasil estimasi model AIDS minyak kelapa sawit Indonesia di Eropa 4

2
3
19
23
24
25
25
26
27
28
29
31

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pemikiran Operasional

18

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Hasil sistem permintaan minyak kelapa sawit Indonesia di Belanda
Hasil sistem permintaan minyak kelapa sawit Indonesia di Italia
Hasil sistem permintaan minyak kelapa sawit Indonesia di Spanyol
Hasil sistem permintaan minyak kelapa sawit Indonesia di Jerman

49
50
51
52

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit adalah komoditas tanaman penting bagi beberapa negara.
Sebagai komoditas perkebunan, kelapa sawit merupakan tanaman yang sangat
produktif yang mampu menghasilkan 7 kali lebih banyak dari minyak rapeseed
(Rapeseed oil) dan 11 kali lebih banyak dari minyak kedelai per hektar. Minyak
kelapa sawit juga tinggi dalam kualitas dan sangat serbaguna. Saat ini, minyak
kelapa sawit banyak digunakan sebagai dasar untuk berbagai produk seperti
margarin, sabun, lipstik, berbagai ragam kembang gula, minyak goreng, es krim,
pelumas industri, dan berbagai produk lainnya (Shibao 2015).
Ada beberapa negara produsen minyak kelapa sawit di dunia. Produsen
minyak kelapa sawit tersebut tersebar di berbagai wilayah baik di Asia tenggara,
Amerika selatan, maupun Afrika (Abidin 2015). Dari ketiga wilayah, Asia tenggara
menjadi kawasan yang paling banyak memproduksi minyak kelapa sawit
dibandingkan dengan wilayah lainnya. Pada tahun 2014, total minyak kelapa sawit
dunia yang berasal dari wilayah Asia tenggara tercatat sebanyak 38.4 juta ton. Total
minyak kelapa sawit dunia yang berasal dari wilayah Apmerika Selatan dan Afrika
masing-masing sebanyak 570 ribu dan 888 ribu ton (UN Comtrade 2016).
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak kelapa sawit di
dunia. Produksi minyak kelapa sawit yang sangat tinggi menjadikan Indonesia
sebagai negara produsen utama minyak kelapa sawit dunia. Minyak kelapa sawit
Indonesia turut berkontribusi sebesar 53.79 persen dari total keseluruhan minyak
kelapa sawit dunia (UN Comtrade 2016). Proporsi ini mengindikasikan bahwa
minyak kelapa sawit Indonesia menjadi dominasi dari total minyak kelapa sawit
dunia. Besarnya kontribusi minyak kelapa sawit Indonesia tidak terlepas dari
produksinya yang juga tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia (2016a),
produksi minyak kelapa sawit Indonesia telah mencapai angka 29.34 juta ton.
Sudah sejak lama kelapa sawit menjadi komoditi ekspor andalan Indonesia.
Kelapa sawit yang diproduksi di Indonesia sebagian besar diekspor dalam bentuk
Crude Palm Oil (CPO) (Ermawati dan Satya 2013). Menurut Kementerian
Keuangan (2011), ekspor CPO Indonesia pada tahun 2010 mencapai 50 persen dari
total minyak sawit yang dihasilkan oleh Indonesia. Ekspor minyak kelapa sawit
Indonesia memang sangat tinggi, oleh sebab itu komoditi ini menjadi penyumbang
devisa terbesar bagi Indonesia (Aprina 2014). Dari sembilan komoditas unggulan,
kelapa sawit menempati urutan pertama dalam ekspor Indonesia di tahun 2011
dengan nilai 17.23 dolar AS.
Ada banyak negara yang menjadi mitra perdagangan kelapa sawit Indonesia.
Salah satu mitra utama perdagangan kelapa sawit Indonesia adalah negara-negara
di kawasan Uni Eropa. Permintaan minyak kelapa sawit Uni Eropa dari Indonesia
selalu tinggi setiap tahunnya. Permintaan minyak kelapa sawit Indonesia di Uni
Eropa dapat dilihat pada Tabel 1. Permintaan minyak kelapa sawit yang tinggi di
Uni Eropa tidak terlepas dari kebutuhan bahan baku di kawasan tersebut. Hal ini
sejalan dengan adanya kegiatan produksi Industri-industri yang ada di kawasan Uni
Eropa.

2
Tabel 1 Permintaan minyak kelapa sawit Indonesia di Uni Eropa
Tahun
Total Impor (juta ton)
Total Nilai (miliar US$)
2005
1.55
0.66
2006
1.80
0.83
2007
1.64
1.06
2008
1.94
1.83
2009
3.07
2.09
2010
2.95
2.25
2011
2.27
2.39
2012
2.43
2.49
2013
3.52
3.08
2014
3.77
3.20
Sumber : UN Comtrade (2016)
Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa permintaan impor minyak kelapa sawit
Indonesia di Uni Eropa cenderung mengalami peningkatan selama 10 tahun
terakhir. Lonjakan kenaikan permintaan minyak kelapa sawit Indonesia pada 10
tahun terakhir mulai terjadi pada tahun 2006 yang mencapai angka 1.80 juta ton.
Peningkatan permintaan minyak kelapa sawit Indonesia di Uni Eropa selanjutnya
juga terjadi pada tahun 2008, 2009, 2012, 2013, dan 2014. Lonjakan permintaan
minyak kelapa sawit terbesar terjadi pada tahun 2009 yang mencapai angka 3.07
juta ton, dimana sebelumnya hanya sebesar 1.94 juta ton. Data pada Tabel 1 juga
menunjukkan bahwa tingginya permintaan atas impor minyak kelapa sawit
Indonesia di Uni Eropa.
Permintaan impor yang tinggi di Uni Eropa berdampak kepada besarnya nilai
devisa yang bisa didapatkan oleh Indonesia. Pada Tabel 1 terlihat bahwa total nilai
yang didapatkan Indonesia dari perdagangan minyak kelapa sawit dengan Uni
Eropa sangatlah besar. Devisa yang didapatkan dari hasil perdagangan minyak
kelapa sawit ini juga terlihat selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya (Seperti
yang ditunjukkan Tabel 1). Pada tahun 2005 total nilai dari perdagangan yang
dilakukan oleh Uni Eropa adalah sebesar 0.66 miliar US$. Pada tahun 2014 total
nilai dari perdagangan minyak kelapa sawit di Uni Eropa meningkat menjadi 3.20
miliar US$. Hal ini menunjukkan bahwa perdagangan minyak kelapa sawit dengan
Uni Eropa memberikan keuntungan yang besar bagi Indonesia.
Minyak kelapa sawit merupakan salah satu bahan baku (raw material)
penting dalam impor Uni Eropa. Keberadaan minyak kelapa sawit dalam impor Uni
Eropa sangat penting adanya mengingat barang ini sangat dibutuhkan untuk
kegiatan industri di Uni Eropa. Minyak kelapa sawit termasuk ke dalam jenis
produk impor lemak dan minyak hewani atau nabati Uni Eropa. Produk lemak dan
minyak hewani atau nabati sendiri memiliki porsi yang besar dalam impor bahan
baku Uni Eropa. Menurut Eurostat (2016), produk lemak dan minyak hewani atau
nabati telah tercatat sebagai salah satu produk impor bahan baku yang memiliki
share terbesar selain biji logam dalam impor Uni Eropa. Brazil, Amerika, Indonesia,
dan Kanada merupakan mitra dagang utama dalam impor produk lemak dan minyak
hewani atau nabati Uni Eropa ini.
Terdapat beberapa negara importir terbesar minyak kelapa sawit di kawasan
Uni Eropa. Empat negara yang memiliki porsi impor minyak kelapa sawit terbesar
Uni eropa meliputi Belanda, Italia, Spanyol, dan Jerman. Ke empat negara ini

3
tercatat memiliki volume impor minyak kelapa sawit terbesar dari keseluruhan
impor minyak kelapa sawit Uni Eropa. Besarnya impor minyak kelapa sawit
Belanda, Jerman, Italia, dan Spanyol atas impor minyak kelapa sawit Uni Eropa
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2 Volume impor minyak kelapa sawit Eropa 4 di Uni Eropa
No.
Negara
Volume impor (juta ton)
Share (%)
1.
Belanda
2.50
36
2.
Italia
1.76
25
3.
Spanyol
1.30
18
4.
Jerman
1.20
12
5.
Lainnya
0.16
9
*
Total
6.943
100
Sumber : UN Comtrade (2016)
*) Estimasi
Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa secara keseluruhan ke empat negara
hampir menguasai pangsa impor minyak kelapa sawit di Uni Eropa. Impor minyak
kelapa sawit terbesar di Uni Eropa diduduki oleh Belanda dengan jumlah impor
sebesar 2.50 juta ton. Italia menjadi negara pengimpor minyak kelapa sawit terbesar
kedua di Uni Eropa dengan jumlah impor sebesar 1.76 juta ton. Spanyol menjadi
negara pengimpor minyak kelapa sawit terbesar ketiga di Uni Eropa dengan jumlah
impor minyak kelapa sawit sebesar 1.30 juta ton. Sementara negara pengimpor
terbesar keempat diduduki oleh Jerman dengan jumlah impor kelapa sawit sebesar
1.20 juta ton.
Jika dilihat dari jumlah share impor, ke empat negara ini memiliki share
sebanyak 91 persen dari total impor minyak kelapa sawit di Uni Eropa. Belanda
memiliki porsi impor minyak kelapa sawit terbesar di Uni Eropa dengan share
sebesar 36 persen dari total impor minyak kelapa sawit Uni Eropa. Italia memiliki
porsi impor minyak kelapa sawit sebesar 25 persen di Uni Eropa. Spanyol memiliki
porsi impor minyak kelapa sawit sebesar 18 persen di Uni Eropa. Sementara porsi
impor minyak kelapa sawit terbesar ke empat dimiliki oleh Jerman dengan nilai
sebesar 12 persen dari total impor minyak kelapa sawit Uni Eropa.
Keberadaan minyak kelapa sawit di Belanda, Italia, Spanyol, dan Jerman,
yang selanjutnya pada penelitian ini disebut dengan Eropa 4, pada umumnya
digunakan sebagai bahan baku industri untuk produk makanan dan bukan makanan.
Produk makanan yang memanfaatkan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku
diantaranya industri mentega, coklat, ice cream, dan aneka jenis roti. Sementara
produk bukan makanan yang memanfaatkan minyak kelapa sawit sebagai bahan
baku meliputi sabun, lilin, dan kosmetik. Selain untuk produk makanan dan non
makanan, minyak kelapa sawit di empat negara juga digunakan sebagai bahan
campuran untuk pembuatan bahan bakar biodiesel.
Uni Eropa pada dasarnya tidak memproduksi minyak kelapa sawit sendiri,
sehingga untuk mendapatkan bahan baku tersebut Belanda, Italia, Spanyol, dan
Jerman mesti melakukan impor dari negara lain. Ada beberapa negara yang menjadi
sumber bahan baku minyak kelapa sawit di Eropa 4. Dari negara tersebut, Indonesia
adalah salah satu mitra utama dalam sumber impor minyak kelapa sawit di Uni
Eropa. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya total impor yang dilakukan oleh ke empat

4
negara tersebut. Selain Indonesia, impor minyak kelapa sawit dalam jumlah yang
besar juga dilakukan dari Malaysia. Di Eropa 4, Malaysia merupakan pesaing kuat
dari Indonesia dalam sektor perkelapasawitan. Adanya persaingan dengan Malaysia
menyebabkan impor minyak kelapa sawit Indonesia di Eropa 4 cenderung
fluktuatif. Oleh karena itulah, peneliti ingin meneliti tentang permintaan minyak
kelapa sawit Indonesia di Eropa 4

Perumusan Masalah
Permintaan minyak kelapa sawit di Belanda, Italia, Jerman, dan Spanyol kini
semakin meningkat. Adanya peningkatan jumlah penduduk menyebabkan
tingginya jumlah konsumsi produk berbahan baku minyak kelapa sawit di negaranegara tersebut. Peningkatan jumlah konsumsi akibat penduduk yang semakin
bertambah memaksa sejumlah industri di Belanda, Italia, Spanyol, dan Jerman
untuk juga meningkatkan produksinya. Hal ini berakibat pada peningkatan jumlah
bahan baku yang dibutuhkan untuk memproduksi produk tersebut. Industri yang
terkena dampak dari kondisi ini yaitu industri makanan dan kosmetik. Adanya
peningkatan permintaan produk makanan dan kosmetik sebagai akibat peningkatan
jumlah penduduk memaksa para pelaku industri juga meningkatkan pasokan bahan
baku mereka. Bahan baku yang dimaksud dalam hal ini adalah minyak kelapa sawit.
Hal ini akan mendorong peningkatan permintaan minyak kelapa sawit di negara
Belanda, Italia, Spanyol, dan Jerman.
Adanya kebijakan pemanfaatan sumberdaya terbarukan untuk energi dan
bahan bakar dengan target capaian tahun 2020 di Uni Eropa juga semakin
mendorong peningkatan konsumsi minyak kelapa sawit di Belanda, Italia, Spanyol,
dan Jerman. Pengembangan produk turunan minyak kelapa sawit menjadi biodiesel
yang dilakukan di kawasan Uni Eropa menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi peningkatan tersebut. Menurut hasil laporan Global Agricultural
Information Network (2013), produksi biodiesel di kawasan Uni Eropa mengalami
peningkatan yang sangat pesat. Pada tahun 2006 produksi biodiesel Uni Eropa
hanya sebesar 1,60 miliar liter, akan tetapi pada akhir 2010 produksi biodiesel
meningkat menjadi 4.26 miliar liter. Peningkatan produksi biodiesel di kawasan
Uni Eropa tidak terlepas dari konsumsi biodiesel yang semakin bertambah. Pada
tahun 2006 tercatat bahwa konsumsi biodiesel di Uni Eropa hanya sebesar 1.72
miliar liter, namun pada tahun 2010 konsumsi tersebut meningkat menjadi 5.63
miliar liter.
Adanya peningkatan permintaan produk makanan dan kosmetik yang
menggunakan bahan baku minyak kelapa sawit serta kebijakan Uni Eropa terkait
penggunaan sumberdaya terbarukan sebesar 20 persen untuk energi dan setidaknya
10 persen untuk bahan bakar transportasi dengan target capaian tahun 2020 di
negara kawasan Uni Eropa semakin mendorong peningkatan kebutuhan minyak
kelapa sawit di negara Eropa 4. Hal ini menjadi faktor pendorong bagi banyak
negara untuk memasok minyak kelapa sawit ke negara-negara tersebut. Adanya
perkiraan penggunaan minyak kelapa sawit yang semakin meningkat ke depan,
mendorong negara-negara produsen minyak kelapa sawit dunia untuk bersaing
memperebutkan posisi utama sebagai eksportir kelapa sawit di Eropa 4. Salah satu
produsen yang juga ikut bersaing dalam memasok minyak kelapa sawit ke Eropa 4

5
adalah Indonesia. Negara yang menjadi pesaing utama Indonesia dalam memasok
minyak kelapa sawit ke Eropa 4 adalah Malaysia.
Hingga saat ini, persaingan antara minyak kelapa sawit Indonesia dan
Malaysia masih terus berlanjut. Pemerintah Indonesia telah melakukan upayaupaya untuk memenangkan persaingan dengan minyak kelapa sawit Malaysia.
Pemerintah Indonesia terus berupaya guna meningkatkan permintaan negara Eropa
4 terhadap minyak kelapa sawit Indonesia. Dari pemaparan tersebut, terdapat
beberapa masalah yang ingin diteliti pada penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana tingkat persaingan minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia di
Eropa 4?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan minyak kelapa sawit
Indonesia di Eropa 4?

Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu :
1. Menganalisis tingkat persaingan minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia
di Eropa 4.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan minyak kelapa
sawit Indonesia di Eropa 4.

Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu agar menjadi
bahan evaluasi dari kinerja yang dilakukan pemerintah selama memasok minyak
kelapa sawit ke Eropa 4 serta mendapatkan informasi mengenai faktor penentu
permintaan minyak kelapa sawit Indonesia di Eropa 4 yaitu di negara Belanda,
Italia, Spanyol, dan Jerman. Selain itu, semoga penelitian ini dapat menjadi sebagai
sumber pustaka bagi penelitian-penelitian lainnya ke depan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas mengenai permintaan minyak kelapa sawit
Indonesia di Eropa 4. Negara-negara yang menjadi fokus penelitian meliputi negara
Belanda, Italia, Spanyol, dan Jerman. Ke empat negara tersebut merupakan mitra
dagang bagi minyak kelapa sawit Indonesia sekaligus menjadi importir minyak
kelapa sawit terbesar di Uni Eropa. Data yang digunakan dalam penelitian adalah
data mengenai impor minyak kelapa sawit dengan kode Hs 1511 untuk negara
Belanda, Italia, Spanyol, dan Jerman. Data lain yang digunakan dalam penelitian
adalah data nilai tukar riil, harga minyak kelapa sawit, harga barang pengganti
(rapeseed oil, sunflower oil, dan olive oil), populasi, dan GDP negara Belanda,
Italia, Spanyol, dan Jerman. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
pada tahun 1998 hingga 2015.

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Perdagangan Internasional Minyak Kelapa Sawit Indonesia
Perdagangan Internasional sudah lama terjalin sejak ribuan tahun silam yang
diawali oleh perdagangan antar kerajaan dengan wilayah perdagangan yang masih
terbatas. Perdagangan Internasional mulai berkembang pada abad 15 dan 16 Masehi
yang ditandai berkembangnya sistem pelayaran dan navigasi sehingga mampu
memperluas jalur perdagangan hingga ke Asia. Pada awal periode modern (abad
16-18 Masehi), berkembang ajaran Merkantilisme yang menerangkan
kesejahteraan suatu negara ditentukan oleh banyaknya aset atau modal yang
disimpan oleh negara yang bersangkutan dan besarnya volume perdagangan global
menjadi teramat sangat penting. Suatu negara hanya dapat meningkatkan
kekayaannya dari pengeluaran negara lainnya (Reynold 2000; Apridar 2012).
Ketergantungan ekonomi mengintensifkan kerjasama internasional antara
perusahaan, negara, dan integrasi negara. Setiap negara memiliki alasan tersendiri
untuk terlibat dalam perdagangan internasional. Secara umum, penyebab adanya
perdagangan internasional adalah kurangnya barang dalam ekonomi domestik,
kualitas barang tidak sesuai dengan kualitas barang yang dibutuhkan, diferensiasi
harga barang yang diperdagangkan secara internasional, dan personal, materi atau
preferensi spasial pembeli untuk produk asing (Madzinova 2011).
Perdagangan luar negeri merupakan salah satu sektor ekonomi yang berperan
besar dalam menunjang pembangunan ekonomi di Indonesia. Kegiatan ekspor dan
impor yang dilakukan selama ini bertujuan untuk memenuhi semua kebutuhan
pembangunan di Indonesia. Dari kegiatan ekspor Indonesia akan diperoleh sumber
dana pembangunan yang berupa devisa luar negeri. Sementara, dari kegiatan impor
Indonesia akan diperoleh bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan dalam
pembangunan.
Perdagangan Indonesia didominasi oleh perdagangan utara-selatan dan
rendah pada proporsi perdagangan selatan-selatan. Adanya perlakuan khusus dan
berbeda yang berlaku untuk negara berkembang dalam negosiasi WTO, dijadikan
Indonesia sebagai peluang untuk strategi dalam bernegosiasi (McGuire et al. 2004).
Secara umum, produk barang dan jasa impor Indonesia sebagian besar berasal dari
negara-negara maju. Sumber utama impor produk barang dan jasa berasal dari
Jepang, Uni Eropa (UE), dan Amerika. Selain sebagai tujuan impor, ketiga negara
tersebut juga merupakan daerah tujuan penting bagi ekspor Indonesia (Tambunan
2005).
Minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang sangat penting
dalam perekonomian Indonesia. Pentingnya kelapa sawit bagi ekonomi Indonesia
bukan saja dilatarbelakangi oleh pendapatan devisa negara yang besar dari sektor
minyak sawit, melainkan juga kelapa sawit merupakan komoditi penting yang
berfungsi sebagai sumber bahan makanan bagi rakyat Indonesia. Adanya
peningkatan akan konsumsi produk-produk yang berbahan baku CPO sebagai
akibat pertumbuhan produk di berbagai negara menyebabkan ekspor CPO
Indonesia juga mengalami peningkatan sehingga banyak pihak memandang ekspor
CPO memiliki propek yang cerah ke depan.

7
Indonesia memiliki pasar minyak kelapa sawit yang luas baik di tingkat
Asean, Asia, Eropa, Afrika, hingga Dunia. Indonesia memang tercatat sebagai salah
satu produsen CPO dunia. Namun sejak tahun 2008 Indonesia mampu menjadi
produsen CPO terbesar di dunia (Sulistyanto dan Akyuwen 2011). Hal ini terlihat
dari jumlah volume ekspor CPO Indonesia yang telah melewati para pesaingnya.
Meskipun menjadi produsen CPO terbesar di dunia, Indonesia sampai saat ini
belum mampu menjadi price maker pada komoditi CPO di dunia.
Industri CPO nasional memiliki kunggulan komparatif dalam perdagangan
internasional. Hasil perhitungan yang dilakukan oleh Herianto (2008) dengan
menggunakan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) didapatkan nilai
sebesar 45 yang berarti terdapat komperatif pada industri CPO Indonesia. Nilai
tersebut juga menggambarkan bahwa CPO Indonesia memiliki daya saing di pasar
dunia meskipun daya saingnya masih rendah jika dibandingkan dengan negara
Malaysia dan Papua New Guinea. Penelitian serupa pada pasar yang berbeda juga
dilakukan oleh Sari (2010) yang mendapatkan hasil dimana Industri CPO Indonesia
juga memiliki keunggulan komparatif di pasar Asean.
Selanjutnya, penelitian Hagi et al. (2012) menyimpulkan bahwa Indonesia
dan Malaysia memiliki penampilan ekspor yang kuat di pasar Eropa. Hasil
perhitungan RCA yang dilakukan didapatkan nilai lebih dari 1 pada masing-masing
negara, baik Indonesia maupun Malaysia, yang berarti produk minyak sawit kedua
negara memiliki daya saing di pasar Eropa. Rasio net ekspor dan total perdagangan
minyak sawit yang dihasilkan dari penelitian juga menunjukkan bahwa Indonesia
dan Malaysia merupakan negara net eksportir minyak sawit bagi Eropa.
Ekspor CPO Indonesia yang selama ini dilakukan ternyata mendatangkan
keuntungan bagi Indonesia, terlebih lagi dengan adanya peningkatan permintaan
CPO dari pasar dunia. Penelitian Rifin (2010) menunjukkan hasil dimana produk
minyak sawit Indonesia bersifat komplementer dengan produk minyak sawit
Malaysia. Perdagangan internasional atas CPO Indonesia menghasilkan
keuntungan yang lebih banyak terhadap Indonesia dibandingkan dengan Malaysia
dari peningkatan pendapatan dunia yang dicerminkan dari nilai elastisitas
pendapatan Indonesia yang lebih tinggi dari Malaysia.
Adanya pertumbuhan ekspor CPO Indonesia selama ini dilatarbelakangi oleh
adanya kenaikan permintaan dunia akan CPO yang dipengaruhi oleh faktor
pertambahan populasi dan pendapatan. Indonesia memiliki volume ekspor CPO
yang terus mengalami peningkatan yang semula 3.7 juta ton menjadi 9.3 juta ton,
akan tetapi mengalami penurunan pada market share CPO dunia. Market share
Indonesia di pasar dunia secara garis besar masih belum kuat dimana pada awalnya
share CPO Indonesia sebesar 72.61 persen turun menjadi 53.71 persen. Market
share CPO Indonesia sebagian besar dipengaruhi oleh market size, sedangkan
sisanya dipengaruhi oleh distribusi dan daya saing CPO Indonesia (Susanto 2010).
Peningkatan ekspor CPO Indonesia tidak terlepas dari adanya kinerja yang
baik. Kinerja ekspor yang selalu membaik pada tahun terakhir memacu
pertumbuhan ekspor yang lebih besar dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya.
Penguatan ekspor CPO Indonesia tidak hanya terlihat pada peningkatan volume
ekspor, namun juga terlihat dari nilai ekspor yang menyentuh angka 17.4 miliar
US$ pada akhir 2014. Nilai ekspor pada 2014 mengalami peningkatan yang jauh
lebih besar dibandingkan pada tahun 2000 (Badan Pusat Statistik 2016b). Hasil
penelitian Sasmi (2013) menyebutkan dengan adanya kinerja dan daya saing yang

8
baik, maka diperkirakan ekspor CPO Indonesia di pasar Internasional akan
memiliki prospek yang juga baik. Tambunlertchai (2009) mengungkapkan bahwa
peningkatan kinerja ekspor ini juga tidak dapat dipisahkan dari kebijakan
pemerintah mengenai promosi ekspor dan kehadiran investor asing.
Kinerja ekspor produk minyak kelapa sawit yang baik ini juga terlihat di
Eropa. Berdasarkan hasil penelitian, Ermawati dan Saptia (2013) menyimpulkan
bahwa pada produk CPO Indonesia telah dipandang oleh kompetitor sebagai
pesaing kuat dalam memperebutkan pasar minyak sawit di Belanda. Akan tetapi
berbeda dengan produk PKO, Indonesia memiliki posisi yang lemah karena daya
saing produk PKO yang lemah di Belanda. Dengan demikian, terlihat bahwa hanya
produk CPO Indonesia yang memiliki daya saing kuat di Belanda.

Permintaan Impor di Eropa
Beberapa penelitian telah mengungkapkan tentang permintaan Impor di
Eropa. Berdasarkan hasil penelitian Imbs dan Mèjean (2010), dapat disimpulkan
bahwa terdapat elastisitas pada kegiatan impor dan ekspor barang dari Uni Eropa.
Hasil perhitungan menunjukkan adanya elastisitas harga pada impor Uni Eropa
terhadap produk dari beberapa negara. Elasititas terbesar terdapat pada produk yang
berasal dari negara maju seperti Perancis, Amerika Serikat, Spanyol, Jepang,
Australia, dan Italia. Indonesia juga memiliki nilai elastisitas yang sama dengan
Australia yaitu diatas 1.5 yang berarti produk Indonesia di Uni Eropa bersifat elastis.
Penelitian elastisitas permintaan di Uni Eropa juga dilakukan oleh beberapa
peneliti lain. Niemi (2004) melakukan penelitian mengenai elastisitas berbagai
produk pertanian di pasar Uni Eropa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak
kelapa sawit di pasar Uni Eropa memiliki elastisitas harga baik dalam jangka
pendek atau jangka panjang. Yulismi dan Siregar (2007) meneliti mengenai
elastisitas harga untuk komoditi minyak kelapa sawit Indonesia di pasar Cina, India,
dan Uni Eropa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia memiliki nilai
elastisitas pendapatan diatas 1 untuk komoditi kelapa sawit di pasar Cina, India, dan
Uni Eropa.
Jamil (2015) mengemukakan bahwa penelitian mengenai permintaan impor
relatif penting untuk diteliti mengingat fenomena semakin tingginya permintaan
sebagai dampak atas pertumbuhan populasi penduduk khususnya di negara
berkembang dan berkurangnya suplai sebagai dampak perubahan iklim. Penelitian
permintaan dapat menghasilkan sesuatu mengenai keragaan impor yang
memberikan pedoman dan masukan bagi pemerintah untuk dapat menghasilkan
kebijakan yang tepat. Terbentuknya kebijakan yang tepat pada akhirnya mampu
meningkatkan kedaulatan di suatu negara.
Othman et al. (2004) menggunakan model persamaan tunggal permintaan
impor untuk menganalisis permintaan minyak kelapa sawit Malaysia pada pasar
Uni Eropa dan Amerika Serikat selama tahun 1980-1995. Hasil analisis
memperlihatkan bahwa harga minyak kelapa sawit dan minyak kedelai sangat
mempengaruhi impor minyak kelapa sawit Malaysia di Uni Eropa dan Amerika
Serikat. Talib dan Darawi (2002) menganalisis pasar minyak kelapa sawit Malaysia
selama 1970-1990 dengan menggunakan pendekatan two-stages least square
(2SLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspor minyak kelapa sawit Malaysia

9
dipengaruhi oleh populasi penduduk, aktivitas ekonomi, harga minyak kelapa sawit,
dan harga minyak kedelai.
Secara umum banyak pendekatan yang digunakan oleh para peneliti untuk
mengungkapkan mengenai permintaan impor. Model analisis yang digunakan
biasanya bermacam-macam seperti model regresi linier berganda (Hapsari 2007),
model regresi data panel (Maraya 2013; Sugito dan Harmadi 2014; Baithi 2016),
model persamaan simultan (Tseoua et al. 2012; Pasaribu dan Daulay 2013), dan
model almost ideal demand system (AIDS) (Rifin 2010; Wan et al. 2010; Bonsaeng
et al. 2010; Jamil 2015). Beberapa peneliti memiliki sudut pandang masing-masing
dalam mengkaji pendekatan-pendekatan yang ada. Namun berbagai model dan
perkembangannya pada dasarnya digunakan untuk melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan impor suatu negara (Jamil 2015). Pada umumnya para
peneliti yang melakukan analisis impor menggunakan dua variabel utama yaitu
harga impor dan pendapatan negara (Chand et al. 2005; Kalyonchu 2006; Jamil
2015).
Minyak kelapa sawit merupakan komoditi yang penting bagi Uni Eropa.
Europe Economics (2014) melaporkan bahwa aktivitas ekonomi downstream di Uni
Eropa sangat ditentukan oleh impor minyak kelapa sawit Uni Eropa. Pada tahun
2012, sekitar 5.4 miliar euro impor minyak sawit ke EU-27 dihasilkan dari
kontribusi tidak langsung PDB Uni Eropa sebesar 2.7 miliar euro atau jika diinduksi
maka besarnya dari PDB adalah 5.4 miliar euro, kontribusi tidak langsung dari
pendapatan pajak sebesar 1.2 miliar euro atau jika diinduksi maka besarnya PDB
bertambah menjadi 2.6 miliar euro dari penghasilan pajak, kontribusi tidak
langsung terhadap kepegawaian dari 67 000 pekerjaan atau jika diinduksi menjadi
117 000 pekerjaan.
Impor kelapa sawit di Uni Eropa sebagian besar didominasi oleh negara
Belanda. Pada tahun 2012, lebih dari 1.2 miliar euro impor kelapa sawit dilakukan
oleh Belanda. Meskipun menjadi impotir terbesar, negara Belanda tidak turut
berkontribusi besar dalam GDP Uni Eropa. Negara penyumbang GDP terbesar di
Uni Eropa justru dilakukan oleh anggota lain yang meliputi Italia, Spanyol, Jerman,
Perancis, dan Inggris. Negara importir terbesar minyak kelapa sawit di Uni Eropa
lainnya meliputi Italia, Jerman, Inggris, dan Spanyol. Produk minyak kelapa sawit
Uni Eropa sebagian besar berasal dari Malaysia dan Indonesia.
Permintaan impor yang tinggi tidak terlepas dari konsumsi produk yang juga
tinggi. Gerasimchuk dan Koh (2013) menyatakan bahwa saat ini Uni Eropa
merupakan salah satu konsumen kunci dari minyak kelapa sawit global. Share
konsumsi minyak kelapa sawit Uni Eropa telah menunjukkan adanya kenaikan
untuk konsumsi yang semula hanya 12 persen meningkat menjadi 15 persen dari
total konsumsi minyak kelapa sawit global. Peningkatan ini telah menyamai India
dan Indonesia sebagai negara pengkonsumsi minyak sawit terbesar dunia. Selama
tahun 2006-2012, negara EU-27 telah meningkatkan penggunaan minyak kelapa
sawitnya sebanyak 40 persen dari 4.5 juta ton menjadi 6.5 juta ton. Peningkatan ini
sejalan lurus dengan adanya peningkatan minyak kelapa sawit pada sektor energi
dan non-energi seperti untuk produksi pangan.

10
Kajian Almost Ideal Demand System (AIDS)
Almost Ideal Demand System (AIDS) merupakan salah satu model yang
digunakan untuk mengestimasi fungsi permintaan. Model AIDS pertama kali
diperkenalkan oleh Angus Deaton dan John Muellbauer pada tahun 1980. Model
ini merupakan pengembangan dari model fungsi permintaan Rotterdam dan
Translog sebelumnya. Deaton dan Muellbauer (1980) berpendapat bahwa kedua
model permintaan Rotterdam dan Translog ini telah banyak digunakan untuk
menguji homogenitas dan simetri pembatasan teori permintaan. Oleh karena itu,
akhirnya Deaton dan Muellbauer mengusulkan suatu model baru yang lebih umum
dan sebanding dengan model permintaan sebelumnya dimana memiliki kelebihan
yang lebih dari kedua model sebelumnya.
Salah satu kelebihan model AIDS ini adalah memberikan kemampuan
pendekatan orde pertama untuk sistem permintaan yang didasarkan pada proporsi
(share) anggaran yang merupakan fungsi linier dari log total pendapatan (Jamil
2015). Model AIDS secara umum digunakan untuk permodelan perilaku konsumen
dengan pendekatan sistem atau simultan (Deaton dan Muellbauer 1980). Terdapat
beberapa karakteristik spesifik dari model AIDS yaitu (1) model AIDS merupakan
pendekatan orde pertama terhadap sembarang fungsi sistem permintaan, (2) dapat
memenuhi aksioma perilaku pemilihan komoditi dengan tepat, (3) dapat membuat
agregasi dari konsumen tanpa menerapkan kurva engel yang linier dan sejajar, (4)
mempunyai bentuk fungsi yang konsisten dengan data pengeluaran rumah tangga
yang dimiliki, (5) mudah disetimasi (tidak perlu menggunakan pendugaan non
linier), dan (6) dapat digunakan untuk menguji restriksi homogenitas dan simetri
melalui hambatan linier terhadap parameter tetapnya. Pada dasarnya karakteristikkarakteristik tersebut juga terdapat pada model permintaan sebelumnya, namun
masing-masing model tersebut tidak ada yang memuat secara keseluruhan
karakteristik di atas secara keseluruhan (Deaton dan Muellbauer 1980; Nugraha
2001; Jamil 2015).
Ada berbagai kelebihan tersebut menyebabkan model AIDS banyak
digunakan dalam mengstimasi fungsi permintaan dan sekaligus banyak dilakukan
modifikasi terhadap model dasarnya. Pada dasarnya model AIDS merupakan model
non linier yang disebabkan oleh adanya penggunaan indeks harga P pada modelnya.
Namun juga terdapat beberapa pengembangan dari model AIDS yaitu melalui
pendekatan nilai indeks P dengan mengeksploitasi hubungan kolinieritas antar
harga melalui penggunaan Indeks Stone (log P*= ΣkWk log Pk).
Secara umum, terdapat dua model AIDS yaitu model statis dan model dinamis
(Wan et al. 2010). Model statis merupakan model yang menganalisis model
preferensi keseimbangan jangka panjang atau dengan kata lain perilaku konsumen
atau responden dianggap berada di dalam keseimbangan jangka panjang atau
bersifat statis. Model statis ini memiliki beberapa kekurangan yang diantaranya
hanya mengakomodasi dinamika yang terjadi dalam jangka panjang atau dengan
kata lain tidak dapat mengakomodasi dinamika dalam jangka pendek (Wan et al.
2010), beberapa penelitian menunjukkan bukti bahwa untuk sebagian besar harga
produk dan share pengeluaran mempunyai unit root sehingga memungkinkan
parameter yang diestimasi palsu (spurious) (Eakins 2003), penelitian dengan model
statis ini dicirikan dengan menggunakan data cross section. Adanya kekurangan
tersebut maka muncul model dinamis. Model ini didasarkan pada pengembangan

11
ekonometrika melalui teknik error correction yang diajukan oleh Engle dan
Grenger untuk mengakomodasi kelemahan pada model statis (Wan et al. 2010;
Jamil 2015).
Secara umum, model AIDS dapat digunakan untuk menganalisis sistem
permintaan baik mikro maupun makro (Mutondo dan Henneberry 2007). Penerapan
secara mikro salah satunya dapat mengakomodasi keputusan konsumen dalam
menentukan seperangkat komoditi secara simultan (Nugraha 2001). Beberapa
peneliti lain seperti Dey (2000), Kahar (2010), dan Jiumpanyarach (2011) juga
menggunakan model AIDS untuk mengestimasi permintaan secara simultan di
tingkat konsumen. Parameter yang diestimasi juga dapat digunakan untuk
menghitung elastisitas baik elastisitas pengeluaran, elastisitas sendiri, maupun
elastisitas silang. Perhitungan elastisitas dengan menggunakan parameter hasil
pengolahan AIDS pernah dilakukan oleh Rifin (2010), Jabarin (2011), dan Jamil
(2015).
Penggunaan model AIDS secara makro umumnya digunakan untuk
menganalisis perdagangan internasional. Penggunaan model AIDS untuk
mengestimasi persaingan antar negara dalam suatu pasar merupakan bentuk
pengembangan model AIDS. Adanya penggunaan model AIDS secara makro ini
didasarkan pada tujuan awal penemuan model AIDS oleh Deaton dan Muellbauer
yaitu untuk mengestimasi permintaan secara agregat. Secara khusus model AIDS
tersebut juga dapat digunakan untuk mengestimasi persaingan negara eksportir di
pasar dunia (Rifin 2013; Chang dan Nguyen 2002; Aldila 2014) dan mengestimasi
kompetisi impor di suatu negara (Mutondo dan Henneberry 2007; Wan et al. 2010;
Boonsaeng 2010; Jamil 2015). Beberapa penelitian sebelumnya yang bertujuan
menganalisis kompetisi ekspor atau impor suatu negara, secara umum
menggunakan pangsa ekspor atau pangsa impor suatu negara ke negara/wilayah
tujuan sebagai variabel dependen dan harga asal negara, nilai total dunia, serta
indeks harga geometri Stone sebagai variabel independennya (Rifin 2010; Jamil
2015). Beberapa penelitian lainnya menambahkan variabel dummy sebagai variabel
independen (Wan et al. 2010; Sari 2014). Penelitian yang menggunakan model
AIDS juga pada umumnya dapat menggunakan berbagai jenis data yaitu data cross
section, time series, dan panel

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional merupakan perdagangan antarnegara yang
memiliki kesatuan hukum dan kedaulatan yang berbeda dengan kesepakatan
tertentu dan memenuhi kaidah-kaidah baku yang telah ditentukan dan diterima
secara internasional. Terjadinya perdagangan internasional dilatarbelakangi oleh
adanya upaya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri serta mendapatkan
keuntungan yang lebih. Pada dasarnya semua kebutuhan penduduk dapat dipenuhi
oleh para produsen di negerinya sendiri, akan tetapi ketika jumlah kebutuhan
semakin banyak dan beraneka ragam seiring dengan perkembangan jumlah

12
penduduk selera maka produsen perlu melakukan pembelian dari luar negeri
(Putong 2003).
Menurut Murni (2013), perdagangan internasional timbul karena adanya
motivasi dari konsep pemikiran kaum merkantilisme pada abad ke 17. Kebijakan
mekantilisme menekankan tolak ukur untuk kemakmuran suatu negara berdasarkan
pada banyaknya logam mulia (emas) yang dapat dikumpulkan oleh negara tersebut.
Hal ini hanya bisa dikumpulkan bila negara selalu mampu menciptakan surplus
perdagangan. Oleh sebab itu negara harus melakukan ekspor, impor, dan berupaya
mengoptimalkan surplus perdagangan. Para penganut merkantilisme berkeyakinan
bahwa perdagangan internasional mempunyai efek multiplier terhadap peningkatan
produk nasional, konsumsi, dan kesempatan kerja.
Secara umum terdapat tiga faktor yang menjadi alasan bagi negara melakukan
perdagangan internasional. Faktor pertama adalah masalah keterbatasan
sumberdaya. Setiap negara memiliki sumberdaya berbeda-beda baik itu
sumberdaya alam, sumberdaya manusia, maupun sumberdaya modal. Hal ini
berdampak pada kondisi ketersediaan produk yang berbeda, baik kualitas maupun
kuantitas serta jenis produk di setiap negara. Faktor kedua adalah masalah
pembiayaan dalam menghasilkan produk spesialisasi dan efisiensi. Kedua hal ini
mendorong terjadinya economies of scale karena dalam proses produksi berlaku
prinsip increasing return to scale yang artinya pertambahan skala tingkat
pengembalian dari kegiatan produksi semakin besar sehingga biaya produksi
semakin menurun. Efisiensi produksi sendiri dipengaruhi oleh teknologi dan
kombinasi penggunaan sumberdaya. Faktor ketiga adalah masalah preferensi.
Produk yang ada di suatu negara pada umumnya memiliki perbedaan pada kualitas
dan atribut bukan harga. Oleh karena itu, Pemilihan produk yang akan dikonsumsi
oleh masyarakat di suatu negara sangat bergantung pada selera dan tingkat
pendapatan masyarakat (McConell dan Brue 2005; Murni 2013).
Secara umum, teori tentang perdagangan internasional yang dikemukakan
oleh beberapa ahli ekonomi dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu
teori klasik dan teori modern. Teori-teori yang termasuk teori klasik antara lain teori
absolut advantage yang dikemukakan oleh Adam Smith dan teori comparative
advantage yang dikemukakan oleh David Ricardo. Teori yang termasuk ke dalam
teori modern yaitu teori yang dikemukakan oleh Heckser dan Ohlin. Salah satu teori
modern yaitu teori proportion factor (Murni 2013).
Keunggulan mutlak (absolut advantage) merupakan keunggulan yang
diperoleh oleh suatu negara baik karena keunggulan atau kelebihan alamiah
(sumber daya alam) negaranya maupun karena kelebihan sumber daya manusianya
sehingga produksi menjadi lebih efisien dibandingkan dengan negara lainnya
(Putong 2003). Menurut Adam Smith, suatu negara akan melakukan perdagangan
dengan negara lain apabila masing-masing negara terdapat keunggulan secara
mutlak dalam menghasilkan barang. Teori keunggulan absolut ini didasarkan pada
“Labor theory of value” yang menyatakan nilai suatu barang diukur dengan
banyaknya tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan suatu barang (Murni
2013).
Keunggulan komparatif merupakan keuntungan yang dimiliki oleh suatu
negara dalam menghasilkan produk dibandingkan dengan negara lainnya karena
perbandingan harga produk yang dihasilkan lebih efisien (Putong 2003). Suatu
negara akan melakukan pertukaran/perdagangan dengan negara lainnya dalam

13
bentuk yaitu (1) ekspor apabila produk tersebut dapat dihasilkan dengan biaya lebih
murah, dan (2) impor apabila produk tersebut dihasilkan sendiri memerlukan
ongkos yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain (Murni 2013).
Pada teori proportion factor, Heckscher dan Ohlin menganggap bahwa
perbedaan dalam jumlah faktor produksi yang dimiliki setiap negara akan
menimbulkan perbedaan dalam opportunity cost untuk menghasilkan suatu produk.
Konsep ini merupakan perluasan dari teori keunggulan komparatif yang
dikemukakan Ricardo. Pada teori ini Heckscher dan Ohlin menyatakan keberadaan
keunggulan komparatif suatu negara bergantung pada proporsi faktor produksi yang
dimiliki negara tersebut dimana apabila suatu negara memiliki tenaga kerja lebih
besar daripada barang modal maka dapat dikatakan bahwa harga tenaga kerja lebih
murah daripada harga barang mesin. Kondisi ini akan mengarahkan kegiatan
produksi di negara tersebut bersifat labor intensif dimana untuk dapat menghemat
biaya produksi maka dilakukan pengalihan penggunaan barang modal ke tenaga
kerja. Sebaliknya, jika suatu negara memiliki tenaga kerja lebih sedikit dari barang
modal, maka biaya tenaga kerja akan lebih mahal. Kegiatan produksi akan bersifat
capital intensif dimana untuk dapat menghemat biata produksi maka diutamakan
menggunakan barang modal daripada tenaga kerja (Murni 2013).

Permintaan Impor
Kegiatan impor merupakan kegiatan ekonomi membeli produk luar negeri
untuk keperluan atau dipasarkan di dalam negeri. Menurut Murni (2013), impor
dapat berupa (1) sesuatu yang dapat dilihat secara fisik (visible import), (2) sesuatu
yang tidak dapat dilihat (invisible import) diantaranya jasa perbankan, asuransi, dan
kerja pariwisata perjalanan ke luar negeri, (3) modal yaitu dapat berupa investasi
asing masuk ke dalam negeri dalam bentuk aset fisik atau deposito bank. Pada
dasarnya impor suatu negara dilatarbelakangi adanya kesenjangan antara kebutuhan
dan produksi dalam negeri akan produk tertentu. Dimana cenderung produksi dalam
negeri tidak mampu memasok kebutuhan dalam negeri. Namun seiring dengan
semakin terintegrasinya pasar suatu negara telah memicu perkembangan latar
belakang impor dipilih sebagai alternatif pilihan untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri.
Permintaan impor suatu negara merupakan selisih konsumsi domestik
dikurangi produksi domestik dan dikurangi stok pada akhir tahun lalu. Secara
matematik, fungsi permintaan impor dapat digambarkan sebagai berikut (Labys
dalam Komarudin 2005) :
Mt = Ct - Qt - St-1
Dimana :
Mt = Ju