Profil Metabolit Hormon Estrogen dan Progesteron Feses selama Kebuntingan serta Pola Kelahiran Rusa Sambar (Cervus unicolor)

PROFIL METABOLIT HORMON ESTROGEN DAN PROGESTERON FESES SELAMA
KEBUNTINGAN SERTA POLA KELAHIRAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor)
TESIS
Oleh:
SUKMA ADITYA SITEPU 097040001
PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN PRORAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012
Universitas Sumatera Utara

PROFIL METABOLIT HORMON ESTROGEN DAN PROGESTERON FESES SELAMA
KEBUNTINGAN SERTA POLA KELAHIRAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor)
Tesis Oleh: Sukma Aditya Sitepu 097040001
Untuk memperoleh Gelar Magister Peternakan dalam Program Studi Ilmu Peternakan Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN PRORAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012
Universitas Sumatera Utara

Judul
Nama Mahasiswa NIM Program Studi

: Profil Metabolit Hormon Estrogen dan Progesteron Feses selama Kebuntingan serta Pola Kelahiran Rusa Sambar (Cervus unicolor)

: Sukma Aditya Sitepu : 097040001 : Ilmu Peternakan

Ketua

Menyetujui: Komisi Pembimbing
Anggota

Dr. Ir. Ristika Handarini, MP. Ketua Program Studi

Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, MS. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP.

Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS.

Tanggal Lulus : 19 Januari 2012

Universitas Sumatera Utara

Tesis ini telah diuji di Medan pada Tanggal : 19 Januari 2012 ____________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Dr. Ir. Ristika Handarini, MP. Anggota : Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, MS. Penguji : 1. Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si.
2. Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP.
Universitas Sumatera Utara

LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam tesis PROFIL METABOLIT HORMON ESTROGEN DAN PROGESTERON FESES SELAMA KEBUNTINGAN SERTA POLA KELAHIRAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) adalah benar merupakan gagasan dan hasil penelitian saya sendiri dibawah arahan komisi pembimbing. Semua data dan sumber informasi yang digunakan dalam tesis ini telah dinyatakan secara jelas dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis serta dapat diperiksa kebenarannya. Tesis ini juga belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis diperguruan tinggi lain.
Medan, Maret 2012 Sukma Aditya Sitepu NIM 097040001
Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
Sukma Aditya Sitepu, 2012. Profil Metabolit Hormon Estrogen dan Progesteron Feses selama Kebuntingan serta Pola Kelahiran Rusa Sambar (Cervus unicolor), dibawah bimbingan Dr. Ir. Ristika Handarini, MP. dan Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, MS.
Pengambilan sampel melalui metode non invasif ditujukan untuk satwa liar namun untuk ternak ternak yang masih dalam proses domestikasi metode ini masih dapat digunakan bila mengalami kesulitan dalam pengambilan sampel darah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan profil konsentrasi metabolit hormon estrogen dan progesteron feses selama masa kebuntingan, serta pola kelahiran rusa sambar (Cervus unicolor). Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan mengambil sampel feses rusa sambar (Cervus unicolor) dari 3 ekor rusa. Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi: di penangkaran rusa Universitas Sumatera Utara (USU) untuk koleksi feses selama masa kebuntingan rusa dan Laboratorium Endokrinologi Unit Rehabilitasi Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor untuk analisis hormon, mulai dari bulan Desember 2010 sampai dengan Desember 2011.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa profil hormon estrogen tidak paralel. Puncak konsentrasi hormon progesteron selama kebuntingan pada level 10,2 ng/g pada bulan ke 9. Induk rusa memakan plasentanya setelah melahirkan yang merupakan ekspansi dari naluri hewan liar untuk melindungi anak dari mangsa predator. Kata kunci: metabolit hormon, estrogen dan progesteron, kebuntingan, rusa
sambar.
Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
Sukma Aditya Sitepu, 2012. Profile of Estrogen and Progesterone Hormone Metabolites Feces during Gestation and Pattern Birth of Sambar Deer (Cervus unicolor), under supervised by Dr. Ir. Ristika Handarini, MP and Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, MS.
Sampling by non invasive methode is used for wildlife, but for the domesticating animals that are still be used when experiencing difficulties in blood sampling. The aim of this study was to observe metabolites profiles of estrogen and progesterone hormones feces during pregnancy and behavior patterns of the birth of sambar hinds (Cervus unicolor). The descriptive method used in this research and three sambar hinds used in feces sampling. This research was conducted at two locations: the first at sambar deer captivity at University of Sumatera Utara for feces sampling during pregnancy and the second location at Laboratory of Endocrinology, Rehabilitation Unit of Reproductive, Faculty of Veterinary Medicine of IPB for hormones analysis, starting form December 2010 until December 2011.
The results showed that profile of estrogen hormone did not parallel. The peak concentration of the progesterone hormone during pregnancy at 10,2 ng/g, that at month 9. After the birth, deer hinds eat her placenta which is the expression of wild animal instinct to protect the fawn from predators. Keywords: metabolit hormone, estrogen and progesterone, pregnancy, sambar

hinds.
Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
Tesis dengan judul “Profil Metabolit Hormon Estrogen dan Progesteron Feses selama Kebuntingan serta Pola Kelahiran Rusa Sambar (Cervus unicolor)” merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister di Program Studi Ilmu Peternakan Program Pasca Sarjana Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Ristika Handarini, MP. sebagai dosen ketua pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, MS. sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan proposal ini. Ucapan terimakasih kepada Kemendiknas atas pendanaan penelitian melalui Hibah Fundamental, kepada Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas hewan penelitian yaitu rusa sambar yang berada penangkaran rusa USU. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan dan memberikan dukungan moril serta materil sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan proposal ini. Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu terselesaikannya tesis ini, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Januari 2012
Penulis
Universitas Sumatera Utara

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Binjai, Sumatera Utara pada tanggal 8 Desember 1986 dari Ayahanda (Alm) Ir. Keras Sitepu, M.Si. dan Ibunda Dra. Siti Robbingah sebagai anak pertama dari dua bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan formal dimuai dari SD Negeri 020267 tamat tahun 1998, SLTP Negeri 1 Binjai tamat tahun 2001 dan SMU Taman Siswa Binjai tamat tahun 2004. Tahun 2009 penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Peternakan dari Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Pengalaman kegiatan dan organisasi :
1. Anggota IMAPET (Ikatan Mahasiswa Peternakan) Universitas Sumatera Utara tahun 2004.
2. Anggota HIMMIP (Himpunan Mahasiswa Muslim Peternakan) Universitas Sumatera Utara.
3. Anggota HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Komisariat Pertanian tahun 2005.
4. Melaksanakan PKL (Praktek Kerja Lapangan) di PT. Prima Indojaya Mandiri, Brastagi Sumatera Utara. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi
Ilmu Peternakan di Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK......................................................................................................... i ABSTRACT....................................................................................................... ii KATA PENGANTAR....................................................................................... iii DAFTAR RIWAYAT HIDUP......................................................................... iv DAFTAR ISI...................................................................................................... v DAFTAR TABEL............................................................................................. vii DAFTAR GAMBAR......................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... ix

PENDAHULUAN.............................................................................................. Latar Belakang .................................................................................................... Tujuan Penelitian ................................................................................................ Kegunaan Penelitian ...........................................................................................

1 1 3 3

TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 4 Karakteristik Reproduksi Rusa Sambar Betina................................................... 4 Masa Kebuntingan Rusa Sambar Betina............................................................. 7 Sistem Peternakan Rusa Sambar......................................................................... 8 Hormon Reproduksi Ternak Betina .................................................................... 10 Hormon Yang Berperan Selama Masa Kebuntingan... ....................................... 14
Hormon Etrogen...................................................................................... 14 Hormon Progesteron.. ............................................................................. 21 Elisa (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay)... ................................................ 24 Pola Kelahiran Rusa Sambar............................................................................... 33

BAHAN DAN METODE PENELITIAN....................................................... 35 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................................. 35 Bahan dan Alat Penelitian................................................................................... 35
Bahan ...................................................................................................... 35 Alat .......................................................................................................... 36 Pelaksanan Penelitian.......................................................................................... 37 Parameter Penelitian..... ..................................................................................... 40

HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................... 41 Hormon Estrogen................................................................................................. 41 Hormon Progesteron............................................................................................ 43 Pola Kelahiran...................................................................................................... 54


KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................ 59 Kesimpulan........................................................................................................... 59 Saran..................................................................................................................... 59

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 60 LAMPIRAN....................................................................................................... 69
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL

No.
1. Hasil Paralellism Test Hormon Estrogen 2. Hasil Parallelism Test Hormon Progesteron 3. Konsentrasi Hormon Progesteron Rusa Sambar Selama Kebuntingan 4. Rataan Waktu dan Proses Kelahiran (pre dan post partum) Rusa

Hal.
41 43 45 55

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.


1. Rumus Bangun Hormon Estradiol.............................................................. 15

2. Biosintesis Hormon Estrogen...................................................................... 17

3. Rumus Bangun Hormon Progesteron......................................................... 23

4. Denah Kandang Penelitian......................................................................... 37

5. Grafik Hasil Parallelism Test Hormon Estrogen

42

6. Grafik Hasil Parallelism Test Hormon Progesteron

44

7. Grafik Rataan Profil Hormon Progesteron Feses Pada Rusa Sambar

Selama Masa Kebuntingan


47

8. Grafik Profil Hormon Progesteron Feses Secara Individual Dari 3 Ekor

Rusa Sambar Selama Masa Kebuntingan

47

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR LAMPIRAN
No. 1. Data Sampel Rusa Sambar (Cervus unicolor) 2. Data Berat Timbangan Sampel Rusa Sambar (Cervus unicolor) 3. Hasil Parallelism Test Hormon Estrogen 4. Hasil Parallelism Test Hormon Progesteron 5. Hasil Analisis Hormon Progesteron

Hal.
69 70 71 72 73

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Sukma Aditya Sitepu, 2012. Profil Metabolit Hormon Estrogen dan Progesteron Feses selama Kebuntingan serta Pola Kelahiran Rusa Sambar (Cervus unicolor), dibawah bimbingan Dr. Ir. Ristika Handarini, MP. dan Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, MS.
Pengambilan sampel melalui metode non invasif ditujukan untuk satwa liar namun untuk ternak ternak yang masih dalam proses domestikasi metode ini masih dapat digunakan bila mengalami kesulitan dalam pengambilan sampel darah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan profil konsentrasi metabolit hormon estrogen dan progesteron feses selama masa kebuntingan, serta pola kelahiran rusa sambar (Cervus unicolor). Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan mengambil sampel feses rusa sambar (Cervus unicolor) dari 3 ekor rusa. Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi: di penangkaran rusa Universitas Sumatera Utara (USU) untuk koleksi feses selama masa kebuntingan rusa dan Laboratorium Endokrinologi Unit Rehabilitasi Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor untuk analisis hormon, mulai dari bulan Desember 2010 sampai dengan Desember 2011.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa profil hormon estrogen tidak paralel. Puncak konsentrasi hormon progesteron selama kebuntingan pada level 10,2 ng/g pada bulan ke 9. Induk rusa memakan plasentanya setelah melahirkan yang merupakan ekspansi dari naluri hewan liar untuk melindungi anak dari mangsa predator. Kata kunci: metabolit hormon, estrogen dan progesteron, kebuntingan, rusa
sambar.
Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
Sukma Aditya Sitepu, 2012. Profile of Estrogen and Progesterone Hormone Metabolites Feces during Gestation and Pattern Birth of Sambar Deer (Cervus unicolor), under supervised by Dr. Ir. Ristika Handarini, MP and Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, MS.
Sampling by non invasive methode is used for wildlife, but for the domesticating animals that are still be used when experiencing difficulties in blood sampling. The aim of this study was to observe metabolites profiles of estrogen and progesterone hormones feces during pregnancy and behavior patterns of the birth of sambar hinds (Cervus unicolor). The descriptive method used in this research and three sambar hinds used in feces sampling. This research was conducted at two locations: the first at sambar deer captivity at University of Sumatera Utara for feces sampling during pregnancy and the second location at Laboratory of Endocrinology, Rehabilitation Unit of Reproductive, Faculty of Veterinary Medicine of IPB for hormones analysis, starting form December 2010 until December 2011.
The results showed that profile of estrogen hormone did not parallel. The peak concentration of the progesterone hormone during pregnancy at 10,2 ng/g, that at month 9. After the birth, deer hinds eat her placenta which is the expression of wild animal instinct to protect the fawn from predators. Keywords: metabolit hormone, estrogen and progesterone, pregnancy, sambar
hinds.
Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rusa sambar (Cervus unicolor) merupakan satwa asli Indonesia yang telah didomestikasi sebagai ternak yang dapat diambil kemanfaatannya bagi kepentingan manusia. Upaya untuk meningkatkan produksi rusa sambar harus didukung hasil-hasil penelitian guna mendapatkan data dasar bagi pengembangan populasi rusa. Bersamaan dengan dicanangkannya swasembada daging pada tahun 2002, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 404/Kpts/OT/210/62002 (tentang pedoman perizinan dan pendaftaran usaha peternakan rusa) sebagai upaya sosialisasi yang lebih luas baik bagi masyarakat maupun peneliti untuk lebih memberi perhatian pada ”minor livesstock” (babi, kelinci, burung puyuh, satwa harapan) termasuk rusa-rusa endemik Indonesia (Semiadi 2002b; Susmianto 2002; Saparjadi 2003 disitasi Handarini 2006).
Pengembangan ternak rusa secara ekonomi sangat menguntungkan karena beberapa keunggulan produk utamanya antara lain: daging rusa mempunyai nilai gizi yang terbaik karena rendah kalori dan kolesterol yang merupakan pilihan masyarakat modern. Kandungan protein daging rusa mencapai 21,1% dengan kadar lemak mencapai 7%, sedangkan daging sapi mempunyai kandungan protein 18,8% dan kandungan lemak 14% (Semiadi, 2002). Tekstur venison halus empuk dan mempunyai rasa spesifik. Velvet (ranggah muda) juga menjadi produk utama peternakan rusa untuk sebagai bahan dasar obat-obatan dan kosmetik. Produk samping dari peternakan rusa antara lain: kulit, ekor, tulang rawan, organ reproduksi, ranggah keras dimana semuanya mempunyai nilai jual tinggi di pasar Eropa dan China.
Hal yang perlu dilakukan untuk mendorong pengembangan populasi rusa adalah intensifikasi pemeliharaan rusa sebagaimana ternak yang telah didomestikasi. Peningkatan produksi dan reproduksi merupakan suatu indikator keberhasilan dari usaha peternakan rusa (Garsetiasih, 2000). Hingga saat ini pemahaman keadaan fisiologi reproduksi rusa sambar masih sangat terbatas. Beberapa pengamatan hormonal telah dilakukan Semiadi (1995) dengan cara mengambil sampling darah rusa di penangkaran rusa atau di habitat alamiahnya.
Universitas Sumatera Utara


Pengambilan data yang dilakukan tidak kontiniu sehingga data yang dihasilkan merupakan data parsial yang harus dilengkapi untuk mendapatkan data hormon selama masa kebuntingan rusa sambar.
Kendala untuk mendapatkan data hormon pada ternak semi domestikasi adalah metode koleksi sampelnya (Palme, 2005). Metode pengambilan sampel dapat dilakukan secara invasive (berinteraksi dengan ternak secara langsung) maupun non invasive (berinteraksi dengan ternak secara tidak langsung). Metode invasive contohnya pengambilan sampel darah, pengambilan jaringan (biopsi), smear dan sebagainya, sedangkan metode non invasive merupakan metode yang banyak dikembangkan untuk mengetahui status reproduksi ternak melalui feses atau urin. Metode non invasive telah dimulai pada sekitar tahun 1984, untuk mengetahui status reproduksi satwa liar terutama satwa langka. Metode ini cukup efektif untuk mendapatkan data tanpa harus mengetahui keberadaan ternak. Metode ini dapat juga diterapkan pada ternak domestik dimana pengambilan sampelnya terkendala pada keberlangsungan proses penelitian terutama yang dapat menurunkan cekaman stres akibat perlakuan sampling (Cockrem et al, 2005). Pengambilan sampel darah (metode invasive) lebih efektif untuk analisis hormon namun pengambilan sampel secara kontinyu selama masa kebuntingan dengan bantuan pembiusan akan menyebabkan stres dan traumatik pada rusa yang pada akhirnya berdampak pada kebuntingan itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi maka semakin banyak kemudahan yang diperoleh dalam metode analisis hormon. Untuk mengetahui profil hormon selama kebuntingan maka dilakukan dengan uji dilaboratorium menggunakan berbagai metode analisis hormon salah satunya adalah metode ELISA (Enzyme-Linked Immuno Sorbent Assay). Metode ELISA pengerjaannya relatif sederhana dan relatif ekonomis karena jenis antibodi yang digunakan hanya satu saja. Hasilnya memiliki tingkat sensitivitas yang cukup tinggi sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen walaupun kadar antigen tersebut sangat rendah dan dapat digunakan untuk berbagai macam pengujian.
Pengamatan pola kelahiran dilakukan untuk mengetahui pola kelahiran rusa sambar dengan melihat beberapa parameter yang diamati mulai terjadinya kontraksi sampai perlakuan induk terhadap anak rusa yang baru dilahirkan.
Universitas Sumatera Utara

Tujuan Penelitian Mendapatkan profil konsentrasi metabolit hormon estrogen dan progesteron feses rusa sambar selama masa kebuntingan, serta pola kelahirannya.
Kegunaan Penelitian Profil hormon dan pola kelahiran hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk melihat fase kebuntingan dan kelahiran rusa sambar betina bagi para peneliti, kalangan akademik dan masyarakat. Hasil penelitian juga digunakan sebagai bahan penulisan tesis yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Peternakan dalam Program Studi Ilmu Peternakan, Program Pascasarjana Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Reproduksi Rusa Sambar Betina
Rusa sambar termasuk dalam kategori hewan liar dengan ukuran tubuh yang paling besar dibanding dengan spesies rusa Indonesia yang lain seperti rusa timor (Cervus timorensis), rusa bawean (Axis kuhlii), muncak (Muntiacus muntjak). Rusa sambar merupakan rusa terbesar untuk daerah tropik dengan sebaran terbanyak di Indonesia terutama di pulau Sumatera dan Kalimantan (Whitehead, 1994). Klasifikasi rusa Sambar berdasarkan tata nama ilmiah menurut Eco India (2008) sebagai berikut, kingdom: animalia, pilum: chordata, class: mamalia, ordo: artiodactyla, sub ordo: ruminantia, famili: cervidae, sub famili: cervinae, genus: cervus, spesies: C. unicolor, zoological name: Cervus unicolor. Famili cervidae merupakan kelompok kompleks terbagi atas 57 spesies dan hampir 200 sub spesies.
Rusa sambar (sambur, sambhur, Tamil: Kadaththi man) adalah nama umum untuk beberapa rusa Asia. Warna bulu rusa sambar jantan umumnya coklat dan variasinya agak kehitaman (gelap), kasar dan tidak terlalu rapat. Warna coklat semakin gelap pada rusa yang sudah tua. Perubahan warna bulu dari coklat cerah menjadi lebih gelap, khususnya pada yang jantan dominan, sering terlihat bersamaan dengan masuknya pejantan ke musim kawin (Semiadi, 2004). Ekor rusa sambar agak pendek dan tertutup bulu yang cukup panjang. Karakteristik rusa jantan mempunyai tinggi gumba mencapai 160 cm, tinggi pundak mencapai 102 – 160 cm, dengan berat badan antara 136 – 320 kg bahkan ada yang mencapai 546 kg (Nugent et al., 2001). Ada kecenderungan sub spesies rusa sambar yang berasal dari India dan Sri Lanka merupakan yang terbesar dan tertinggi (Awal et al., 1992, Lewis et al., 1990). Tinggi rusa betina mencapai 115 cm dengan berat badan 135 – 225 kg, tergantung pada sub spesies. Berat rusa sambar betina yang dipelihara di Australia dapat mencapai berat badan 228 kg (Anderson, 1984).
Rusa sambar berpotensi untuk dikembangkan karena tidak saja sebagai penghasil daging yang berkualitas (venison), tetapi juga beberapa produk untuk pengobatan tradisional Cina. Produk bahan obat tradisionil Cina yang telah diproduksi dari hasil tambahan peternakan rusa di Selandia Baru yaitu: royal deer
Universitas Sumatera Utara

velvet liqueur, dried deer antler velvet, deer horn and ginseng capsules, versatile venison jerlly, deer blood powder capsules, deer tails, dried pizzle and sinew (Bellaney, 1993). Produk peternakan rusa tersebut dihasilkan dari negara Selandia Baru diekspor ke Cina, Hongkong, USA, Taiwan, Jepang dan Australia. Nilai jual yang tinggi membuat produk rusa dapat diandalkan sebagai sumber devisa negara. Peminat produk rusa mempunyai segmen pasar tertentu dan hal ini membuka peluang untuk menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk rusa.
Bila ditinjau dari segi reproduksi, rusa termasuk satwa yang produktif, masa aktif reproduksi rusa dimulai dari umur 1,5 tahun – 12 tahun dan umur maksimum yang dapat dicapai sekitar 15 – 20 tahun (Garsetiasih dan Herlina, 2004). Rusa mampu beradaptasi pada lingkungan dengan iklim yang mempunyai empat musim (temperate) contoh di negara China (Li et al., 2001). Rusa yang hidup di daerah temperate, musim kawinnya sangat dipengaruhi oleh iklim contoh rusa white-tailed (Odocoileus virginianus). Bila rusa temperate dipindahkan ke daerah tropis maka setelah melewati masa adaptasi, maka untuk selanjutnya dapat kawin sepanjang tahun mengikuti siklus ranggah rusa jantan.
Ketika memasuki musim kawin, rusa jantan akan berkompetisi dengan pejantan lain untuk menguasai kelompok betina yang dapat dikawininya. Sifat kompetisi ini akan membentuk suatu susunan kekuatan penguasaan yang disebut hierarki, pejantan yang dapat menguasai kelompok betina disebut pejantan dominan. Sedangkan sifat rusa jantan mengumpulkan beberapa ekor betina disebut pengumpulan harem (Semiadi dan Nugraha, 2004). Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada beberapa spesies rusa tropis yaitu rusa sambar (Schroder, 1976) dan rusa totol (Hadi, 1984), pada saat musim kawin akan menunjukkan tingkah laku antara lain: mengeluarkan suara yang khas, lebih agresif, berguling-guling dan berendam dalam lumpur. Rusa sambar betina memperlihatkan estrus ditandai dengan tingkah laku yang lebih jinak dan banyak berinteraksi dengan rusa jantan.

Untuk mencapai kesuburan yang tinggi, perkawinan harus dilakukan saat rusa jantan berada pada fase ranggah keras, pada periode ini rusa jantan menghasilkan spermatozoa dengan kualitas yang tinggi (Handarini, 2006). Puncak
Universitas Sumatera Utara

musim kawin pada rusa sambar di habitat asli (di Indonesia) belum diketahui secara jelas namun pada rusa timor telah diketahui pada musim kemarau terjadi peningkatan aktivitas seluler di testes dan konsentrasi sperma (Handarini, 2006). Rusa sambar yang dipelihara di Australia mengalami puncak musim kawin pada bulan Mei sampai Juni dan September sampai November. Di New Zealand musim kawin terjadi pada bulan Mei atau awal Juni (Semiadi et al. 1994; Semiadi, 1995). Hasil penelitian Imelda (2004) memperlihatkan bahwa tingkah laku kawin rusa sambar muncul antara bulan Juni hingga Agustus.
Angka kebuntingan tertinggi pada rusa betina dicapai saat pejantan menunjukkan tingkah laku rutting dan berada pada tahap keras. Lincoln (1992) mengemukakan bahwa pada rusa merah perkawinan atau introduksi rusa jantan pada kelompok rusa betina dilakukan selama musim panas (bulan September sampai Februari), pada tahap ini ranggah velvet sudah mulai digantikan dengan ranggah keras. Pejantan sangat agresif untuk memperebutkan rusa betina dan perhatian rusa jantan secara khusus diberikan pada rusa betina yang sedang estrus. Mayoritas kebuntingan rusa betina di Scotlandia terjadi pada bulan Oktober dan kelahiran pada bulan Mei tahun berikutnya. Maka dapat dikatakan bahwa pola reproduksi berkorelasi dengan tahap pertumbuhan ranggah.
Berbagai kemungkinan penyebab rendahnya produktivitas rusa sambar, antara lain: pertama, rusa sambar betina bersifat non seasonal polioestrus artinya estrus dapat terjadi sepanjang tahun dan bila tidak bunting akan menunjukkan estrus kembali pada siklus berikutnya, sehingga dapat melahirkan sepanjang tahun (Semiadi, 2001). Menurut English (1992), bila rusa betina melahirkan pada musim dimana ketersediaan pakan terbatas, maka induk mempunyai beban yang sangat berat yaitu berkurangnya produksi air susu, pengembalian kondisi tubuh setelah melahirkan lebih lama dan lambat kembali estrus yang menyebabkan postpartum anestrus yang panjang. Pertumbuhan anak yang dilahirkan lambat dan berdampak pada peningkatan angka kematian anak (mortalitas) karena air susu tidak mencukupi kebutuhan anak (Nelson dan Wolf, 1987; English dan Mulley, 1992). Penyebab rendahnya reproduktivitas rusa yang kedua adalah karena rusa jantan mempunyai masa aktif reproduksi, yaitu pada saat ranggah luruh dan atau ranggah sedang dalam masa pertumbuhan, produksi spermatozoa
Universitas Sumatera Utara

mencapai titik terendah dan dalam kondisi infertil (Haigh and Hudson, 1993; Dradjat, 2000; 2001; 2002; Handarini et al., 2004; 2005). Handarini (2006) melaporkan bahwa pada tahap ranggah velvet abnormalitas sperma pada rusa timor secara individu mencapai 96%.
Masa Kebuntingan Rusa Sambar Betina
Menurut Frandson (1992), menyatakan bahwa kebuntingan berarti suatu keadaan dimana embrio sedang berkembang didalam uterus seekor hewan betina. Secara visual, periode kebuntingan pada umumnya dihitung mulai dari perkawinan yang terakhir sampai terjadinya kelahiran anak secara normal. Satu periode kebuntingan adalah periode dari mulai terjadinya fertilisasi sampai terjadinya kelahiran normal (Partodihardjo, 1980). Peleburan spermatozoa dengan ovum mengawali reaksi kimia dan fisika yang majemuk, bermula dari sebuah sel tunggal yang mengalami peristiwa pembelahan diri yang berantai dan terus menerus selama hidup individu tersebut. Setelah pembuahan, yang mengembalikan jumlah kromosom yang sempurna, pembelahan sel selanjutnya bersifat mitosis sehingga anak-anak sel hasil pembelahannya mempunyai kromosom yang sama dengan induk selnya. Pertumbuhan makhluk baru terbentuk sebagai hasil pembuahan ovum oleh spermatozoa dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu: periode ovum, periode embrio dan periode fetus. Periode ovum dimulai dari terjadinya fertilisasi sampai terjadinya implantasi, sedang periode embrional dimulai dari implantasi sampai saat dimulainya pembentukan alat-alat tubuh bagian dalam. Periode ini disambung oleh periode fetus. Lamanya periode kebuntingan untuk tiap spesies berbeda-beda disebabkan oleh faktor genetik. Hewan yang tidak dalam masa estrus akan menolak untuk kawin. Hewan yang tidak bunting, periode estrus dimulai sejak dari permulaan estrus sampai ke permulaan periode berikutnya (Akoso, 1996).
Proses awal dari kebuntingan adalah fertilisasi yakni pembuahan antara ovum dan spermatozoa, yang selanjutnya berlanjut hingga penyatuan inti sel diantara keduanya. Selama beberapa hari ovum yang telah dibuahi disebut sebagai zigot atau embrio yang hidup bebas di dalam oviduct (tuba fallopii) atau uterus induk. Pada saat embrio tersebut mencapai uterus, sel tunggal ini akan mengalami
Universitas Sumatera Utara

pembelahan sel selama beberapa kali tanpa pertambahan volume sitoplasma, proses pembelahan sel tanpa pertumbuhan ini disebut cleavage (Luqman, 1999).
Gejala kebuntingan setelah pelaksanaan perkawinan, sangat penting diketahui. Rusa timor betina pada umur satu sampai dua tahun sudah dapat bereproduksi dengan lama bunting antara 7.5 bulan sampai 8.3 bulan. Bila ditangani secara intensif satu bulan setelah melahirkan rusa sudah dapat bunting lagi terutama bila dilakukan penyapihan dini pada anak yang dilahirkan. Setiap tahun rusa dapat menghasilkan anak, biasanya anak yang dilahirkan hanya satu ekor. Penangkaran rusa biasanya memiliki jumlah betina lebih banyak dibandingkan jumlah jantan karena satu ekor rusa jantan dapat mengawini beberapa betina. Rasio perkawinan rusa timor jantan dan betina 1:2 (Takandjandji, 1993) dan 1:4 menurut Garsetiasih dan Takandjandji (2007).
Bainbridge dan Jabbour (1998), melaporkan bahwa angka kebuntingan hasil kawin alam pada rusa dapat mencapai 85 – 100%, bila dilakukan inseminasi buatan angka kebuntingan yang dihasilkan hanya mencapai 50-60%. Toelihere et al (2005) tingkat keberhasilan kebuntingan dengan inseminasi buatan di penangkaran mencapai 60%.
Lama kebuntingan pada rusa sangat bervariasi karena dapat terjadi embryonic diapause, yaitu embrio berada dalam uterus beberapa waktu berdiam dan tergantung hidupnya dari uterine milk sebelum terjadi implantasi pada endometrium (Bainbridge dan Jabbour, 1998). Lama kebuntingan pada rusa timor berkisar antara 250 – 285 hari (Ariantiningsih, 2000), 217 – 277 hari (Van Mourik, 1986), 253 hari (Woodford, 1991), 236 – 262 hari (Mylrea, 1991) dan menurut Toelihere (2005) 252 – 280 hari. Sedangkan menurut Semiadi (1995) lama kebuntingan pada rusa sambar yaitu 240 hari, axis axis 238 – 242 (Mylrea, 1991) dan pada rusa merah 231 hari (Clutton-Brock et al, 1982). Interval beranak atau selang beranak sekitar satu tahun dua bulan.
Sistem Peternakan Rusa Sambar
Habitat alamiah rusa terdiri atas beberapa tipe vegetasi seperti savana yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan hijauan dan vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat untuk tempat bernaung (istirahat), kawin dan menghindarkan diri dari

Universitas Sumatera Utara

predator. Habitat yang paling disukai oleh rusa terutama jenis Cervus timorensis adalah hutan sampai ketinggian 2.600 m di atas permukaan laut kecuali Cervus unicolor yang sebagian besar aktivitas hariannya dilakukan di daerah payau dan padang rumput (Garsetiasih dan Mariana, 2007). Daerah-daerah payau di Kalimantan dan Sumatera saat ini telah berkembang menjadi wilayah perkebunan kelapa sawit dan rusa sambar mampu bertahan dengan baik dengan habitat barunya (Semiadi, 2004).
Kehidupan satwa dipenangkaran berbeda dengan habitat alaminya. Dari hasil-hasil pengamatan membuktikan bahwa rusa sambar mempunyai adaptasi yang tinggi dengan lingkungannya sehingga mudah untuk ditangkarkan. Rusa di penangkaran dicirikan dengan: adanya peningkatan nutrisi, bertambahnya persaingan intraspesifik untuk memperoleh makanan, berkurangnya pemangsaan oleh predator alami, berkurangnya penyakit dan parasit serta meningkatnya kontak dengan manusia (Grier dan Burk, 1992). Selain itu penangkaran juga dapat meningkatkan produktifitas dan reproduksi rusa sambar karena dengan penangkaran, maka pengukuran-pengukuran terhadap nilai satuan produksi dan reproduksi satwa yang didomestikasi dapat dilakukan. Salah satu strategi pengembangan populasi rusa di penangkaran adalah memahami sifat reproduksinya. Namun saat ini pengetahuan yang mendalam mengenai biologi reproduksi dari rusa tropik yang ditangkarkan pada habitat aslinya masih sangat terbatas.
Pelestarian secara in situ dari keanekaragaman genetik ternak rusa pada kondisi agroekosistem setempat dapat dikembangkan melalui apa yang dikenal dengan on-farm conservation by management. Kendala yang mungkin akan dihadapi adalah peningkatan potensi tekanan silang dalam, penyakit, kontaminasi dari kelompok atau galur lain dan perubahan yang terjadi karena seleksi alam. Sistem ini secara tidak langsung banyak dilakukan di Indonesia, namun kurangnya penanganan manajemen zooteknis menjadi faktor kendala utama. Jika aplikasi teknologi dan manajemen agribisnis diterapkan di habitat rusa tersebut berkembang serta dikemas dalam ecoagriculture park maka pengembangan rusa yang bersinergi dengan pengembangan habitat akan memberikan prospek yang cukup menjanjikan. Pengembangan ternak rusa di Taman Safari Bogor adalah
Universitas Sumatera Utara

salah satu contoh pengembangan secara ex situ yang dipadukan dengan ecoagriculture park serta aplikasi teknologi yang sudah cukup baik. Kalaupun ada yang masih perlu dikembangkan adalah manajemen sistem produksi berkelanjutan terutama program pemuliaan atau reproduksi. Karena ada kemungkinan jika tidak dikelola secara baik maka frekuensi alelik (melalui migrasi atau aliran gen, mutasi, random genetik drift dan seleksi) akan mempengaruhi keragaman genetik.
Pelestarian sumberdaya genetik ternak secara in situ dan ex situ seringkali gagal karena kurang perhatian dan keterlibatan masyarakat serta swasta dalam pengelolaan ternak dan lingkungan. Kebijakan pewilayahan ternak dan metode penangkaran seringkali tidak berjalan dan tidak berkembang karena kurangnya rekayasa sosial ekonomi masyarakat di lingkungan penangkaran. Pengaruh sosioekonomi masyarakat sangat penting sehingga perlu dilakukan pengembangan manajemen partisipasi masyarakat sekitar penangkaran.
Hormon Reproduksi Ternak Betina
Siklus reproduksi merupakan suatu rangkaian kejadian biologis kelamin yang berlangsung secara sambung menyambung hingga terlahir generasi baru dari suatu mahluk hidup. Siklus reproduksi dapat dibagi menjadi beberapa tahapan seperti pubertas, estrus, musim kelamin atau saat yang tepat untuk inseminasi, kebuntingan dan kelahiran. Siklus reproduksi hewan ruminansia dapat dilihat dengan menentukan kandungan hormon progesteron dan estrogen, yaitu hormon steroid yang berperan sangat penting dalam menjaga kebuntingan (Senger, 1999).
Pola reproduksi pada ternak merupakan faktor yang sangat penting dalam upaya meningkatkan produksi dan populasi ternak. Tingkat konsentrasi hormon progesteron pada hewan ruminansia dapat digunakan untuk mempelajari pola reproduksi pada individu hewan, apakah status hewan tersebut sedang dalam kondisi estrus normal, anestrus atau bunting. Tingkat konsentrasi hormon progesteron dapat juga membantu melihat keberhasilan dari inseminasi buatan (lB) ataupun kelainan reproduksi dari hewan (Wiryosuhanto, 1992).
Menurut Scanlon dan Sanders (2003) bahwa hormon yang berperan dalam sistem reproduksi betina, yaitu:
Universitas Sumatera Utara

GnRH (Gonadotropin-releasing hormone)
Merupakan suatu neurohormon peptida yang disekresikan hipotalamus sebagai central nervus system dengan target organ kelenjar hipofisis anterior untuk mensekresikan FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone). Hormon GnRH terdiri atas 10 asam amino meskipun prekursornya terdiri atas 92 asam amino. Inaktivasi GnRH dilakukan dengan proteolisis. Pengaturan sekresi FSH dan LH dilakukan berdasar frekuensi sekresi GnRH sebagai umpan balik dari esterogen. Bila frekuensi sekresinya rendah maka akan mempengaruhi sekresi FSH dan bila frekuensinya tinggi maka akan memacu sekresi LH (memberikan feed back positif pada hormon LH).
Follicle Stimulating Hormone (FSH) FSH memacu pertumbuhan folikel menjadi folikel matang (dewasa) yang
disebut dengan folikel de Graff. Folikel de Graff melepaskan inhibin yang menghambat sekresi FSH (feed back negatif terhadap FSH). FSH merupakan hormon glukoprotein yang tiap monomernya terikat dengan gugus gula. Komponen gula mayoritas terdiri atas: frukosa, galaktosa, manosa, galaktosamin, glukosamin dan asam sialik. Komponen protein terdiri atas dua rantai yaitu rantai α yang terdiri atas 52 asam amino dan berperan sebagai protein struktural dan rantai β yang terdiri atas 118 asam amino yang merupakan sisi aktif dan berikatan dengan reseptor FSH.
Esterogen Esterogen memacu perkembangan ciri kelamin sekunder, perkembangan
endometrium uterus, meningkatkan kadar High-Density Lipoprotein (HDL) serta menurunkan kadar Low-Density Lipoprotein (LDL). Esterogen merupakan hormon steroid yang disintesis dari kolesterol. Sumber kolesterol utama didapat dari LDL dan asetyl Co-A. Sintesis esterogen dilakukan di folikel, korpus luteum dan plasenta. Pemacu sekresi dan produksi diinisiasi oleh FSH dan LH. Karena merupakan hormon steroid, esterogen mampu masuk ke dalam sel dan berikatan dengan reseptornya yang berada dalam sitoplasama. Struktur esterogen terdiri atas
Universitas Sumatera Utara

empat rantai cincin (A-D) dimana perbedaan gugus fungsional menentukan jenis esterogen. Esterogen paling umum antara lain:
1. Estriol (C18H24O3) ditandai dengan adanya 2 gugus hidroksil di cincin D dan disekresikan hanya selama kebuntingan di plasenta.
2. Estradiol (C18H24O2) merupakan jenis yang paling aktif dan paling umum ditemui saat pubertas hingga menopause (17β-estradiol). Ciri khusus struktur ditunjukan oleh adanya 1 gugus hidroksil di cincin D. Estradiol disintesis dari testosteron dengan enzim aromatase. Estradiol juga diproduksi dari estron sulfat (derivat estron) yang direaksikan dengan enzim reduktase 17β-hidroksisteroid.
3. Estrone disintesis dari androstenedione (derivat progesteron) yang dibantu enzim aromatase. Ciri khusus struktur adalah adanya 1 gugus keton pada cincin D.
Luteinizing hormone (LH) Fungsi utama LH adalah: memacu ovulasi, proses perubahan folikel
menjadi korpus luteum dan menyiapkan endometrium untuk implantasi. Sekresi LH diatur oleh GnRH. Luteinizing hormone merupakan glikoprotein yang terdiri atas dua rantai dimana rantai α terdiri atas 92 asam amino sama seperti FSH dan rantai β yang terdiri atas 121 asam amino yang berfungsi sebagai sisi aktif yang berikatan dengan reseptor LH.
Progesteron Hormon progesteron merupakan hormon steroid yang disintesis dari
pregnenolone (derivat dari kolesterol). Progesteron merupakan prekursor esterogen dan androgen. Progesteron dihasilkan oleh korpus luteum induk, plasenta dan kelenjar adrenal. Fungsi hormon progesteron adalah untuk mempersiapkan uterus bila terjadi kebuntingan, menurunkan respon imunitas maternal yang dapat mengganggu kesehatan janin, menurunkan kontraksi otot uterus selama kebuntingan, menghambat proses laktasi selama kebuntingan.
Oxytocyn Hormon oksitoksin merupakan neurohormon peptida 9 asam amino (Cys-
Tyr-Ileu-Glu-Asp-Cys-Pro-Leu-Gly) yang dihubungkan secara siklik oleh
Universitas Sumatera Utara

jembatan disulfida. Oksitosin bertugas mempersiapkan kelahiran dan laktasi (memacu sekresi susu).
Prolactine
Fungsi hormon prolactin untuk menstimulasi kelenjar mammae dan produksi susu. Strukturnya berupa rantai tunggal polipeptida yang terdiri atas 199 asam amino. Molekul dipadatkan dan dimanfaatkan oleh tiga ikatan sulfida.
Relaxin
Hormon relaxin dihasilkan oleh corpus luteum, ovarium, plasenta dan korion. Hormon ini berfungsi untuk relaksasi tulang pubis, relaksasi servik dan relaksasi otot uterus untuk persiapan kelahiran. Struktur hormon relaksin berupa heterodimer dua rantai asam amino (masing masing sejumlah 24 dan 29 asam amino) yang dihubungkan oleh jembatan disulfida.
Dua hormon steroid yang dihasilkan oleh ovarium yaitu hormon estrogen dan progesteron. Secara normal hormon estrogen dihasilkan oleh sel granulose dan sel teka dari folikel de Graaf di ovarium. Hormon ini mendorong munculnya gejala estrus secara klinis dapat ditandai dengan adanya warna kemerahan, bengkak dan hangat pada alat kelamin luar disertai keluarnya lendir yang kental dan jernih menggantung pada alat kelamin luar, induk tidak tenang dan bersifat homoseksual (diam bila dinaiki oleh betina lain) atau suka menaiki ternak betina lain yang sedang estrus (Hardjopranjoto, 1995).
Proses pertumbuhan dan perkembangan folikel ovari sangat bergantung kepada kehadiran FSH dan LH, karena kedua hormon tesebut sangat essensial dalam sintesa estrogen sedangkan bila LH secara tunggal tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan folikel Level hormon reproduksi bersifat fluktuatif sesuai dengan pola reguler dan tetap, pola tersebut merupakan hasil interaksi dari sejumlah organ dengan hormon (Bindon dan Piper, 1982).
Selama kebuntingan, pertumbuhan dan perkembangan uterus dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi hormon progesteron dan estradiol, selanjutnya kehadiran hormon-hormon tersebut berperan merangsang pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu guna mempersiapkan sumber makanan (produksi susu) bagi anak yang akan dilahirkan (Manalu, dan Sumaryadi, 1995a). Sumber
Universitas Sumatera Utara

utama penghasil hormon yang berkaitan dengan reproduksi seperti estrogren dan progesteron berasal dari folikel. Hewan-hewan betina sejak lahir ovariumnya dilengkapi oleh ratusan ribu folikel, namun selama hidupnya hanya sebagian kecil saja yang berhasil diovulasikan.
Hormon yang Berperan selama Masa Kebuntingan Hormon Estrogen
Estradiol merupakan estrogen primer yang dihasilkan oleh ovarium. Sebagaimana androgen, estrogen beredar didalam sistem sirkulasi darah melalui pengikatannya dengan protein. Secara kimiawi hormon estrogen terdiri atas 18 atom karbon dengan inti steroid cyclopentano perhydro phenanthrene (gonane dengan 17 karbon atom) sedang atom karbon yang ke 18 tertaut pada karbon nomor 13 dari inti tersebut (Gambar 1). Berdasarkan jumlah atom karbonnya, maka hormon estrogen merupakan hormon steroid yang paling sedikit jumlah atom karbonnya. Hormon estrogen merupakan produk sintesa kimiawi paling akhir dari seluruh hormon steroid yaitu hormon progesteron dan testosteron. Secara kuantitatif hormon estrogen dalam cairan tubuh, sekitar 100 sampai 1000 kali lebih sedikit dibanding dengan hormon progesteron.
Hormon FSH dan testosteron menstimulasi sel sertoli yang nantinya dapat mensistesis kolestrol sehingga menghasilkan hormon progesteron dan hormon estrogen. Hormon FSH menstimulasi sintesis protein dan membantu aktivitas sel granulosa dalam pertumbuhan folikel. Sel dalam ovarium yang menghasilkan hormon estrogen yaitu sel granulose, sementara itu korpus luteum dan plasenta juga menghasilkan hormon progesteron.
Universitas Sumatera Utara

OH OH

Cholestrol

CO

Enzymatic Conversion

Pregnenolone

CH3 CO

Enzymatic Conversion

O O

Progesterone
OH Enzymatic Conversion
Testosterone
OH Enzymatic Conversion

Estradiol
OH Gambar 1. Rumus bangun hormon estradiol (Senger, 1999).
Hormon steroid berada dalam molekul nukleus yang menghasilkan cyclopentanoperhydrophenanthrene. Hormon steroid disintesis dari kolestrol menjadi beberapa bagian yang lebih sederhana dengan bantuan enzim. Langkah

Universitas Sumatera Utara

pertama kolestrol akan disintesis menjadi hormon pregnenolone kemudian disintesis lebih lanjut menjadi hormon progesterone (Gambar 2). Progesteron akan disintesis menjadi testosteron dan didapat dipecah lagi oleh enzim menjadi estrogen (Hafez dan Hafez, 2000).
Secara alami hormon estrogen dihasilkan oleh folikel yang sedang berkembang, terutama di dalam sel sel granulosa folikel de Graff. Jika folikel de Graff mencapai ukuran maksimum sampai sesaat sebelum terjadi ovulasi, maka dalam waktu yang bersamaan jumlah sel sel teca interna mencapai maksimal. Estrogen merupakan hormon steroid yang berperan dalam merangsang perkembangan saluran kelamin betina, merangsang pelepasan Gn-RH dari hipotalamus dan LH dari hipofisis yang berperan dalam pematangan dan ovulasi folikel de Graff dan mensensitifkan sel sel granulosa untuk berespons terhadap gonadotropin dan merangsang proliferasi serta diferensiasi sel sel tersebut (Whittier et al., 1986).
Estrogen dari teka interna dalam folikel pada ovarium, dapat mengumpan balik secara positif dan dapat pula secara negatif. Jika kadar estrogen rendah maka FSH disintesa dan bila estrogen tinggi kadarnya maka sintesa FSH terhenti, ini adalah umpan balik negatif. Sebaliknya dengan LH, estrogen merupakan perangsang positif. Semakin tinggi kadar estrogen, pelepasan LH makin dipercepat. Hal ini terjadi pada proses ovulasi. Folikel de Graff yang tumbuh menghasilkan estrogen. Semakin besar folikel semakin tinggi kadar estrogennya dan semakin tinggi pula kadar LH yang diperlukan untuk terjadinya ovulasi.
Hormon estrogen mempunyai fungsi fisiologis yang paling luas dibandingkan semua hormon steroid yang ada dalam darah. Estrogen mempengaruhi susunan syaraf pusat untuk menginduksi tingkah laku estrus pada betina. Hormon estrogen mempunyai peran dalam proses ovulasi melalui umpan balik positif terhadap LH, mempengaruhi uterus untuk dapat meningkatkan endometrium dan miometrium melalui hiperplasia dan hipertrofi sel, perkembangan sifat kelamin sekunder, merangsang pertumbuhan dan perkembangan kelenjar mammae, selanjutnya estrogen mempunyai efek negatif dan positif terhadap hipotalamus dan pelepasan FSH dan LH (Jabour et al. 1993; McG Agro et al. 1994).
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Biosintesis hormon estrogen (Murray et all, 1990).
Estrogen mempunyai banyak fungsi, pertama adalah merubah sifat sekresi yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis anterior. Estrogen berpengaruh pada otak yang ada hubungannya dengan tingkah laku estrus atau berahi. Estrogen juga mengontrol perubahan pada alat kelamin betina, produksi mucus, merubah aktifitas metabolisme uterus untuk menerima spermatozoa dan zigot. Estradiol yang diproduksi dari aktifitas gelombang folikel selama fase folikuler, menginisiasi luteolisis. Hal ini dimediasi dari pembentukan reseptor oksitosin didalam endometrium ternak yang sudah diinisiasi terlebih dahulu oleh hormon progesteron selama tujuh hari (Anonimous, 1996).
Hormon estrogen dapat disekresikan oleh hewan betina dan hewan jantan. Pada hewan betina, hormon estrogen disintesa dan dibebaskan dalam sirkulasi darah oleh ovarium, plasenta dan adrenal korteks. Pada hewan jantan oleh testes dan adrenal korteks. Hormon estrogen tidak ditimbun dalam kelenjar endokrin,
Universitas Sumatera Utara

tetapi sekresinya terus berlangsung secara berkesinambungan namun efek biologik dalam jangka pendek.
Estrogen merupakan hormon steroid yang berperan dalam: 1) merangsang perkembangan saluran kelamin betina, 2) merangsang pelepasan Gn-RH dari hipotalamus dan LH dari hipofisis, yang berperan dalam pematangan dan ovulasi ovum dari folikel de Graaf dan 3) mensensitifkan sel-sel granulosa untuk memberikan respon terhadap gonadotropin dan merangsang proliferasi serta diferensiasi sel-sel granulosa. Konsentrasi estrogen di dalam daerah meningkat seiring pertumbuhan folikel dominan gelombang pertama dan ketiga dalam siklus estrus (Kaneko et al., 1995), sedangkan pada gelombang kedua ditemukan konsentrasi estrogen yang rendah. Rendahnya konsentrasi hormon estrogen pada gelombang folikel kedua disebabkan oleh tingginya konsentrasi progesterone pada pertengahan f