KAJIAN PERUBAHAN GARIS PANTAI DAERAH MUARA WAY SEKAMPUNG DAN SEKITARNYA PADA TAHUN 1959, 1987, DAN 2009 DENGAN TEKNIK INTERPRETASI CITRA DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

(1)

ABSTRACT

STUDY OF CHANGES IN ESTUARY COASTAL LINE WAY SEKAMPUNG AND ITS SURROUNDING AREA IN THE YEAR 1959, 1987, AND 2009 WITH IMAGE INTERPRETATION TECHNIQUE AND GEOGRAPHIC

INFORMATION SYSTEM (SIG) By

RENDY ARIYANTO

Coastal and marine areas have great potential for the economy of the area, but the coastal areas are the regions that are particularly vulnerable to change because the area is influenced by two areas of land and sea. Therefore the study of the change of land use, especially in coastal essential daearah and its surroundings. It aims to minimize environmental damage, since it is caused by man or nature and take environmental and sustainable policy.

This study aims to determine the changes way Sekampung coast area of the estuary and its surroundings in two periods of change in the period between the years 1959-1987 and the period between 1987-2009.

The research that uses the methods of analysis for the interpretation of images and geographic information systems (SIG) with a study of field through the technique of sampling pewakil, each use of the covered Earth / and the changes of the coastline is inspected to three repetitions in different positions. The coastline is studying changes Way Sekampung overlaying estuary area and its

surroundings from 1959, 1987, and in 2009. Detailed research is divided into four parts, namely data collection and literature, preliminary analysis at the laboratory (Computerized Registration Data and Geographic Coordinates, Analysis of Shoreline Change, digitalization, Shoreline, Integration of Data and Field Exploration Plan Preparation), field observations, and analysis of the final stage.

With the first step in the interpretation and delimitation of coast of each primary source, followed by the results of the reading of a map of costa pewakil mengoverlay in 1959 with the results of the interpretation of image pewakil coast in 1987. The same can be done according to the results of image interpretation, pewakil shoreline changes in 1987 that dioverlay the image interpretation of shoreline changes in 2009.

The results showed that: to). in the year 1959-1987 there is a change from the north shore of the estuary Way Sekampung, namely, the increase in the Mainland (sedimentation), with an area of 657,4 hectares and the changes of coastline in the South of the via estuary Sekampung happen continental accretion (sedimentation), with an area of 59,79 hectares; b) in the year 1959-1987 there has been a decrease in the direction of mainland coastline in Northern Moore Sekampung path reduction Mainland (abrasion) of 44.04 hectares is smaller than the southern area of 244.0 hectares; C). Changes from the year 1987-2009 is a mass conversion of agricultural land in Earth ponds and mangroves is 22.47%, makes the coast north of the estuary Sekampung way subtracts continental (abrasion) area of 463,2 hectares


(2)

and the coast will rise into the sea to the (sedimentation)to the North of the estuary accretion has occurred Way Sekampung of 65,03 hectares of land area.

Keywords: Coastline, Photo Interpretation, Estuary Way Sekampung, Way Sragi, Geographic Information Systems (SIG).


(3)

KAJIAN PERUBAHAN GARIS PANTAI DAERAH MUARA WAY SEKAMPUNG DAN SEKITARNYA PADA TAHUN 1959, 1987, DAN 2009 DENGAN

TEKNIK INTERPRETASI CITRA DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

ABSTRAK

Oleh

RENDY ARIYANTO

Wilayah pesisir dan laut memiliki potensi yang besar untuk bidang perekonomian tetapi daerah pesisir merupakan daerah yang sangat rentan terhadap perubahan karena wilayah tersebut dipengaruhi oleh dua daerah yaitu darat dan laut. Oleh Karena itu kajian tentang perubahan lahan khususnya di daearah pesisir dan sekitarnya sangat diperlukan. Hal tersebut dimaksudkan untuk meminimalisir terjadinya kerusakan lingkungan, baik yang disebabkan oleh manusia atau alam serta untuk mengambil kebijakan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan garis pantai daerah muara Way Sekampung dan sekitarnya pada dua periode perubahan yaitu periode antara tahun 1959 tahun 1987 dan periode antara tahun 1987 tahun 2009.

Penelitian menggunakan metode analisis interpretasi citra dan sistem informasi geografis (SIG) dengan survei lapang melalui teknik sampling pewakil, setiap satuan penutup/penggunaan lahan dan perubahan garis pantai dicek dalam tiga kali ulangan pada posisi yang berbeda. Penelitian ini mengoverlay perubahan garis pantai daerah muara Way Sekampung dan sekitarnya dari tahun 1959, 1987, dan tahun 2009. Secara terperinci penelitian ini dibagi kedalam empat bagian, yaitu pengumpulan data dan studi pustaka, analisis awal di laboratorium (Komputerisasi Data dan Registrasi Koordinat Geografi, Analisis Perubahan Garis Pantai, Digitasi Garis Pantai, Integrasi Data dan Pembuatan Rencana Jelajah Lapangan), pengamatan lapang, dan analisis tahap akhir.

Dengan langkah awal interpretasi dan deliniasi garis pantai pada masing-masing sumber utama yang dilanjutkan dengan mengoverlay hasil membaca peta pewakil


(4)

Rendy Ariyanto garis pantai tahun 1959 dengan hasil interpretasi citra pewakil garis pantai pada tahun 1987. Hal yang sama dilakukan pada hasil interpretasi citra pewakil perubahan garis pantai tahun 1987 yang dioverlay dengan hasil interpretasi citra perubahan garis pantai tahun 2009.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa a). Pada tahun 1959 1987 terjadi perubahan garis pantai di sebelah utara muara Way Sekampung, yaitu bertambahnya daratan (sedimentasi) seluas 657,4 Ha dan perubahan garis pantai di sebelah selatan muara Way Sekampung terjadi pertambahan daratan (sedimentasi) seluas 59,79 Ha; b). Pada tahun 1959 1987 terjadi penyusutan garis pantai ke arah daratan pada bagian utara mura Way Sekampung yang terjadi pengurangan daratan (abrasi) lebih sedikit yaitu 44,04 Ha dibanding sebelah selatan seluas 244,0 Ha; c). Perubahan dari tahun 1987 - 2009 adalah konversi besar-besaran lahan pertanian dan mangrove menjadi lahan tambak mencapai 22,47 % hal itu meyebabkan garis pantai di sebelah utara muara Way Sekampung mengalami pengurangan daratan (abrasi) seluas 463,2 Ha dan peningkatan garis pantai ke arah laut pada (sedimentasi) bagian paling utara muara Way Sekampung terjadi pertambahan daratan seluas 65,03 Ha.

Kata Kunci: Garis Pantai, Interpretasi Citra, Muara Way Sekampung, Rawa Sragi, Sistem Informasi Geografis (SIG).


(5)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Bentuk garis pantai pada tahun 1959 didominasi bentuk cembung sepanjang 11,37 Km, bentuk garis pantai pada tahun 1987 didominasi bentuk cekung sepanjang 8,44 Km, bentuk garis pantai pada tahun 2009 didominasi bentuk cekung sepanjang 14,28 Km. Hal ini dipengaruhi oleh gelombang laut, angin, dan sedimentasi yang dapat menyebabkan penambahan daratan (akresi) dan pengurangan daratan (abrasi).

2. Perkembangan dari Tahun 1959 ke Tahun 1987, peningkatan garis pantai di sebelah utara muara Way Sekampung menyebabkan pertambahan daratan (sedimentasi) seluas 657,4 Ha dan peningkatan garis pantai di sebelah selatan muara Way Sekampung menyebabkan pertambahan daratan (sedimentasi) seluas 59,79 Ha. Perubahan garis pantai dari tahun 1959 ke 1987 banyak terjadinya sedimentasi dan banyaknya lumpur yang terbawa oleh saluran irigasi ke daerah pantai yang terdapat di daerah Rawa Sragi dan sekitarnya yang di dominasi oleh daerah persawahan.

3. Penyusutan garis pantai di sebelah utara muara Way Sekampung menyebabkan pengurangan daratan (abrasi) seluas 463,2 Ha dan peningkatan garis pantai ke arah laut (sedimentasi) pada bagian paling utara muara Way Sekampung menyebabkan pertambahan daratan seluas


(6)

49

65,03 Ha. Perubahan garis pantai dari tahun 1987 ke 2009 banyak terjadinya abrasi pantai dikarenakan hutan mangrove sebagai penahan abrasi yang berada pada pesisir telah habis dan berubah menjadi lahan tambak.

B. SARAN

Perlu dilakukan penataan dan penanggulangan lahan khususnya di pesisir timur lampung yang telah didominasi oleh lahan tambak, dengan menanam pohon mangrove dipinggir pantai sehingga ekosistem mangrove dapat mencegah abrasi pantai.


(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Mahi (2001a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian terdapat kesepakatan umum bahwa wilayah pesisir didefinisikan sebagai suatu wilayah antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas(boundares), yaitu batas yang sejajar garis pantai(longshore)dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cros-shore). Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah.

Wilayah pesisir memiliki berbagai ekosistem, diantaranya adalah garis pantai dan daerah muara sungai (Estuaria). Garis pantai adalah batas air laut pada waktu pasang tertinggi telah sampai kedarat. Perubahan garis pantai ini banyak dilakukan oleh aktivitas manusia seperti pembukaan lahan, eksploitasi bahan galian di daratan pesisir yang dapat merubah keseimbangan garis pantai

melalui suplai muatan sedimen yang berlebihan. Dengan curah hujan yang dengan intensitas tinggi juga dapat mempengaruhi perubahan garis pantai. Sedangkan daerah muara sungai adalah salah satu bentuk antar tipe yang terjadi di pantai dan merupakan suatu tempat yang spesifik, dimana terdapat dua faktor prinsipal yang mempengaruhi suatu keadaan hidrodinamika dari estuaria : aliran air sungai dan


(8)

2

arus pasang surut dimana pada saat air pasang, air laut akan masuk dan mempengaruhi kadar salinitas serta kualitas air yang yang ada di dalam estuaria tersebut. Biasanya, daerah hilir sungai selalu dihubungkan dengan biota atau organisme yang hidup di air tawar. Ekosistem estuaria dengan mangrove yang menjadi ciri khasnya merupakan tempat yang terlindung dan dinamis tetapi kaya dengan nutrisi sehingga dapat dijumpai berbagai jenis biota. Estuaria juga berfungsi sebagai tempat pemijahan dan tempat perlindungan, dan telah digunakan sejak dulu sebagai tempat penangkapan tradisional dan akuakultur (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001).

Rusaknya hutan bakau akibat pembukaan tambak di sepanjang pesisir timur Lampung membuat abrasi pantai semakin parah. Sejumlah kecamatan di pesisir timur ini garis pantainya mundur antara 300-700 meter ke daratan. Kondisi ini diperparah besarnya gelombang akibat musim timur yang terjadi antara April-Oktober. Abrasi yang parah terjadi antara Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Timur, hingga Kecamatan Ketapang Bakauheni, Lampung Selatan. Garis pantai di desa wilayah tersebut mundur 300 meter ke daratan. Kondisi ini terjadi di Desa Margasari, Sriminosari, Muara Gading Mas, Bandar Negeri, Bandar Agung, Karya Makmur, Karya Tani, Mulyo Sari, hingga Desa Kuala Sekampung (Yudha, 2007).

Lokasi terparah berada di Kecamatan Labuhan Maringgai antara muara Sungai Way Sekampung sampai muara Sungai Way Seputih sepanjang 80 kilometer. Garis pantai di kawasan ini mundur sejauh 500 meter ke daratan. Kondisi terparah saat ini terdapat di Labuhan Maringgai. Nelayan setempat sudah


(9)

3

mengungsi ke dataran yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan abrasi menyebabkan puluhan hektare lahan tambak hilang tergerus ombak laut.

Di sepanjang garis pantai Timur telah mengalami perubahan pemanfaatan lahan, terutama oleh petambak-petambak skala kecil sendiri atau perusahaan-perusahaan yang mengoperasikan tambak. Secara ekologis, keberlanjutan usaha tambak tersebut sangat rentan. Walaupun dalam jangka pendek usaha tambak mereka sangat menguntungkan, namun ancaman terhentinya usaha pertambakan masih besar. Pola pengembangan pertambakan udang (khusus udang windu, Penaeus monodon) yang terjadi di Lampung hampir sama dengan pola pengembangan tambak di Pantai Utara Jawa (Pantura), yaitu mengandalkan produksi satu jenis komoditi tanpa pengelolaan air yang terpadu dan mengkonversi mangrove secara besar-besaran ditambah lagi dengan pencemaran pantai (Tempo, 2007).

Penginderaan jauh adalah pengambilan informasi dari beberapa sifat objek atau fenomena, dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung atau bersinggungan dengan objek atau fenomena yang dikaji (Howard, 1996).

Empat unsur dasar dari sistem penginderaan jauh adalah target, sumber energi, alur transmisi, dan sensor. Komponen dalam sistem ini bekerja bersama untuk mengukur dan mencatat informasi mengenai target tanpa menyentuh objek atau target tersebut.

Sistem ini bekerja dengan memanfaatkan sumber energi yang mampu menyinari atau memancarkan energi elektromagnetik pada target. Pada umumnya sumber energi yang dimanfaatkan adalah matahari. Energi berinteraksi dengan target dan


(10)

4

sekaligus sebagai media untuk meneruskan informasi dari target menuju sensor. Sensor adalah sebuah alat yang mengumpulkan dan mencatat radiasi elektromagnetik. Setelah data dicatat data akan dikirim ke stasiun penerima dan diproses menjadi format yang siap dipakai diantaranya berupa citra, biasanya dipresentasikan dalam formatraster.

Pemanfaatan penginderaan jauh sebagai salah satu sumber informasi telah menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Melalui penggunaan citra akan diperoleh gambaran objek permukaan bumi dengan wujud dan posisi yang mirip dengan kenyataannya, relatif lengkap, dan dapat meliputi wilayah yang luas. Dengan adanya teknologi, objek yang terekam dalam foto udara memiliki kesan 3 dimensi. Melalui citra, dapat diketahui gejala atau kenampakan di permukaan bumi seperti kandungan sumber daya mineral suatu daerah, jenis batuan, dan lain-lain dengan cepat, yaitu melalui citra yang menggunakan sinar infra merah.Citra dapat dengan cepat menggambarkan objek yang sangat sulit dijangkau oleh pengamatan langsung (lapangan). Contohnya satu lembar foto udara meliputi luas 132 km direkam dalam waktu kurang 1 detik. Penginderaan jauh juga dapat menggambarkan atau memetakan daerah bencana alam dalam waktu yang cepat seperti daerah yang terkena gempa, wilayah banjir, dan sebagainya. Melalui penginderaan jauh dapat diperoleh data atau informasi yang cepat, tepat dan akurat. Dengan demikian perubahan garis pantai dapat terlihat dengan jelas (Meurah, 2004).

Geographic Information System (GIS) atau Sistem Informasi Geografis (SIG) diartikan sebagai sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memangggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospatial, untuk mendukung pengambilan


(11)

5

keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumber daya alam, lingkungan transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya.

Pendekatan-pendekatan kelokasian atau lebih dikenal dengan istilah pendekatan keruangan/spasial sangat penting di dalam melakukan analisis-analisis fenomena yang terjadi di bumi ini, baik itu yang sifatnya fisik maupun yang bersifat sosial kemasyarakatan seperti ekonomi, politik, lingkungan, budaya, dsb. Karena jika fenomena itu bisa ditangkap informasinya secara utuh berikut lokasi dan polanya, hal tersebut bisa membantu dalam menyelesaikan atau mencari solusi dari permasalahan terkait muka bumi. Tentunya untuk mendapatkan informasi yang utuh tersebut diperlukan satu metode yang tepat dan akurat.

Antara lain metode itu adalah pemetaan, yang bisa menggambarkan obyek-obyek di muka bumi ini ke dalam media yang lebih kecil sehingga lebih mudah dipahami. Namun pemetaan saja belumlah cukup, data-data atau informasi lainnya pun (yang terkait) perlu digambarkan atau tersaji secara lokasional pula. Sehingga peta dan data (database) nya perlu dihubungkan dengan alat yang tepat. Alat tersebut adalah GIS atau Geographical Information System yang dalam bahasa Indonesia berarti SIG atau Sistem Informasi Geografis.

GIS ini merupakan teknik berbasis komputer untuk memasukan, mengolah, dan menganalisis data-data obyek permukaan bumi dalam bentuk grafis, koordinat, dan database; di mana hasilnya bisa menggambarkan sebuah fenomena keruangan (spasial) yang bisa digunakan sebagai basis informasi untuk pengambilan keputusan di berbagai bidang (Depdiknas, 2008).


(12)

6

Mengetahui perubahan garis pantai yang terjadi pada Daerah Muara Way Sekampung dan sekitarnya pada tahun 1959, tahun 1987, dan tahun 2009.

C. Kerangka Pemikiran

Garis pantai adalah garis yang dibentuk oleh perpotongan garis air rendah dengan dataran pantai yang dipakai untuk menetapkan titik terluar di pantai wilayah laut (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001). Pada umumnya garis pantai mengalami perubahan yang diakibatkan oleh kondisi alam maupun campur tangan manusia yang mengakibatkan pantai menjadi berkurang.

Pantai menjadi berkurang merupakan akibat proses erosi pantai (abrasi) sehingga garis pantai menjadi mundur jauh dari garis pantai lama. Garis pantai secara alami berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan alam seperti adanya aktivitas gelombang, angin, pasang surut dan arus serta sedimentasi daerah delta sungai.

Namun perubahan garis pantai juga dapat meningkat dengan adanya gangguan ekosistem pantai seperti hutan bakau sebagai penyangga pantai banyak dirubah fungsinya untuk dijadikan sebagai daerah pertambakan, hunian, industri dan daerah reklamasi kemudian pembuatan tanggul dan kanal serta bangunan-bangunan yang ada di sekitar pantai.

Erosi pantai adalah proses berkurangnya garis pantai dari kedudukan garis pantai semula. Menurut Wyrtki, 2000 (dalam Tarigan, 2007), bahwa gelombang yang datang tegak lurus pantai secara terus menerus dengan waktu yang lama dapat menyebabkan pantai tererosi. Hal ini disebabkan daya tahan material dilampaui oleh kekuatan yang ditimbulkan oleh pengaruh arus dan gelombang, tidak adanya


(13)

7

keseimbangan antara lain suplai sedimen yang datang ke bagian pantai yang ditinjau dan kapasitas angkutan sedimen di bagian pantai tersebut.

Berdasarkan penelitian Tarigan (2007), jelas terlihat adanya perubahan-perubahan garis pantai disepanjang garis pantai perairan muara Sungai Cisadane (Kali Adem sampai dengan Tanjung Pasir). Umumnya disepanjang pantai Kali Adem sampai dengan pantai Tanjung Pasir, pantainya landai dan dasarnya pasir berlumpur sehingga begitu datang gelombang yang besar dari arah laut ke pantai, pantai tersebut mudah terkikis atau tererosi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari media cetak dan media elektronik tentang keadaan pantai yang berada di kepulauan Indonesia, sebagian besar telah mengalami kerusakan yang sangat parah. Penyebab kerusakan pantai lebih banyak karena ulah manusia seperti perusakan karang pantai, penebangan bakau, penambangan pasir, serta bangunan yang melewati garis pantai. Selain itu penggalian karang menyebabkan pertambahan kedalaman perairan dangkal yang semula berfungsi meredam energi gelombang, akibatnya gelombang sampai ke pantai dengan energi yang cukup besar (Cakrawala, 2006).

Kegiatan pembangunan, industri dan aktivitas manusia serta pengaruh faktor alam pada umumnya telah memberikan pengaruh negatif pada kestabilan kawasan pantai. Faktor alam yang berpengaruh tehadap kondisi pantai antara lain timbulnya gelombang dan arus, terjadinya pasang surut, terjadinya sedimentasi dan abrasi yang berpengaruh pada berubahnya garis pantai serta kondisi sungai yang bermuara di perairan tersebut. Aktivitas manusia yang berpengaruh terhadap kondisi pantai antara lain adalah pembangunan, reklamasi dan pengerukan dasar perairan untuk tujuan komersial yang berlebihan. Berkembangnya wisata bahari


(14)

8

dibeberapa daerah pantai juga mendorong terjadinya perubahan kondisi alam menjadi lingkungan buatan dengan dibangunnya beberapa fasilitas penunjang yang diperlukan. Penggunaan lahan tidak memperhatikan upaya konservasi dan tidak memperhatikan lingkungan juga telah mempercepat terjadinya erosi.

Menurut Arsyad (2000), tanah yang terangkut oleh proses erosi akan diendapkan ke tempat yang lain dimana aliran air mulai melambat atau bahkan terhenti seperti di dalam sungai, waduk, dan saluran irigasi. Dengan demikian, kerusakan yang ditimbulkan oleh peristiwa erosi terjadi di dua tempat yaitu pada tempat dimana terjadi erosi dan pada tempat tujuan ahir tanah yang tersebut diendapkan. Daerah muara adalah salah satu tujuan proses fenomena erosi tersebut dimana material-material dari proses erosi tersebut diendapkan. Bahan-bahan endapan tersebut dapat menyebabkan daerah muara mengalami pendangkalan sehingga dapat menyebabkan terganggunya ekosistem yang ada pada daerah muara tersebut.

Lingkungan pantai merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan, karena daerah tersebut menjadi tempat bertemunya dua kekuatan, yaitu berasal dari daratan dan lautan. Perubahan lingkungan pantai dapat terjadi secara lambat hingga sangat cepat, tergantung pada iimmbbaanngg dadayyaa antara topografi, batuan dan sifat-sifatnya dengan gelombang, pasang surut dan angin. Perubahan pantai terjadi apabila proses geomorfologi yang terjadi pada suatu segmen pantai melebihi proses yang biasa terjadi. Perubahan proses geomorfologi tersebut sebagai akibat dari sejumlah faktor lingkungan seperti faktor geologi, geomorfologi, iklim, biotik, pasang surut, gelombang, arus laut dan salinitas.

Keseimbangan antara sedimen yang dibawa sungai dengan kecepatan pengangkutan sedimen di muara sungai akan menentukan berkembangnya dataran


(15)

9

pantai. Apabila jumlah sedimen yang dibawa ke laut dapat segera diangkut oleh ombak dan arus laut, maka pantai akan dalam keadaan stabil. Sebaliknya apabila jumlah sedimen melebihi kemampuan ombak dan arus laut dalam pengangkutannya, maka dataran pantai akan bertambah. Selain itu aktivitas manusia yang memanfaatkan pantai untuk berbagai kepentingan juga dapat merubah morfologi pantai menjadi rusak apabila pengelolaannya tidak memperhatikan kelestarian lingkungan.


(1)

sekaligus sebagai media untuk meneruskan informasi dari target menuju sensor. Sensor adalah sebuah alat yang mengumpulkan dan mencatat radiasi elektromagnetik. Setelah data dicatat data akan dikirim ke stasiun penerima dan diproses menjadi format yang siap dipakai diantaranya berupa citra, biasanya dipresentasikan dalam formatraster.

Pemanfaatan penginderaan jauh sebagai salah satu sumber informasi telah menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Melalui penggunaan citra akan diperoleh gambaran objek permukaan bumi dengan wujud dan posisi yang mirip dengan kenyataannya, relatif lengkap, dan dapat meliputi wilayah yang luas. Dengan adanya teknologi, objek yang terekam dalam foto udara memiliki kesan 3 dimensi. Melalui citra, dapat diketahui gejala atau kenampakan di permukaan bumi seperti kandungan sumber daya mineral suatu daerah, jenis batuan, dan lain-lain dengan cepat, yaitu melalui citra yang menggunakan sinar infra merah.Citra dapat dengan cepat menggambarkan objek yang sangat sulit dijangkau oleh pengamatan langsung (lapangan). Contohnya satu lembar foto udara meliputi luas 132 km direkam dalam waktu kurang 1 detik. Penginderaan jauh juga dapat menggambarkan atau memetakan daerah bencana alam dalam waktu yang cepat seperti daerah yang terkena gempa, wilayah banjir, dan sebagainya. Melalui penginderaan jauh dapat diperoleh data atau informasi yang cepat, tepat dan akurat. Dengan demikian perubahan garis pantai dapat terlihat dengan jelas (Meurah, 2004).

Geographic Information System (GIS) atau Sistem Informasi Geografis (SIG) diartikan sebagai sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memangggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospatial, untuk mendukung pengambilan


(2)

keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumber daya alam, lingkungan transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya.

Pendekatan-pendekatan kelokasian atau lebih dikenal dengan istilah pendekatan keruangan/spasial sangat penting di dalam melakukan analisis-analisis fenomena yang terjadi di bumi ini, baik itu yang sifatnya fisik maupun yang bersifat sosial kemasyarakatan seperti ekonomi, politik, lingkungan, budaya, dsb. Karena jika fenomena itu bisa ditangkap informasinya secara utuh berikut lokasi dan polanya, hal tersebut bisa membantu dalam menyelesaikan atau mencari solusi dari permasalahan terkait muka bumi. Tentunya untuk mendapatkan informasi yang utuh tersebut diperlukan satu metode yang tepat dan akurat.

Antara lain metode itu adalah pemetaan, yang bisa menggambarkan obyek-obyek di muka bumi ini ke dalam media yang lebih kecil sehingga lebih mudah dipahami. Namun pemetaan saja belumlah cukup, data-data atau informasi lainnya pun (yang terkait) perlu digambarkan atau tersaji secara lokasional pula. Sehingga peta dan data (database) nya perlu dihubungkan dengan alat yang tepat. Alat tersebut adalah GIS atau Geographical Information System yang dalam bahasa Indonesia berarti SIG atau Sistem Informasi Geografis.

GIS ini merupakan teknik berbasis komputer untuk memasukan, mengolah, dan menganalisis data-data obyek permukaan bumi dalam bentuk grafis, koordinat, dan database; di mana hasilnya bisa menggambarkan sebuah fenomena keruangan (spasial) yang bisa digunakan sebagai basis informasi untuk pengambilan keputusan di berbagai bidang (Depdiknas, 2008).


(3)

Mengetahui perubahan garis pantai yang terjadi pada Daerah Muara Way Sekampung dan sekitarnya pada tahun 1959, tahun 1987, dan tahun 2009.

C. Kerangka Pemikiran

Garis pantai adalah garis yang dibentuk oleh perpotongan garis air rendah dengan dataran pantai yang dipakai untuk menetapkan titik terluar di pantai wilayah laut (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001). Pada umumnya garis pantai mengalami perubahan yang diakibatkan oleh kondisi alam maupun campur tangan manusia yang mengakibatkan pantai menjadi berkurang.

Pantai menjadi berkurang merupakan akibat proses erosi pantai (abrasi) sehingga garis pantai menjadi mundur jauh dari garis pantai lama. Garis pantai secara alami berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan alam seperti adanya aktivitas gelombang, angin, pasang surut dan arus serta sedimentasi daerah delta sungai.

Namun perubahan garis pantai juga dapat meningkat dengan adanya gangguan ekosistem pantai seperti hutan bakau sebagai penyangga pantai banyak dirubah fungsinya untuk dijadikan sebagai daerah pertambakan, hunian, industri dan daerah reklamasi kemudian pembuatan tanggul dan kanal serta bangunan-bangunan yang ada di sekitar pantai.

Erosi pantai adalah proses berkurangnya garis pantai dari kedudukan garis pantai semula. Menurut Wyrtki, 2000 (dalam Tarigan, 2007), bahwa gelombang yang datang tegak lurus pantai secara terus menerus dengan waktu yang lama dapat menyebabkan pantai tererosi. Hal ini disebabkan daya tahan material dilampaui oleh kekuatan yang ditimbulkan oleh pengaruh arus dan gelombang, tidak adanya


(4)

keseimbangan antara lain suplai sedimen yang datang ke bagian pantai yang ditinjau dan kapasitas angkutan sedimen di bagian pantai tersebut.

Berdasarkan penelitian Tarigan (2007), jelas terlihat adanya perubahan-perubahan garis pantai disepanjang garis pantai perairan muara Sungai Cisadane (Kali Adem sampai dengan Tanjung Pasir). Umumnya disepanjang pantai Kali Adem sampai dengan pantai Tanjung Pasir, pantainya landai dan dasarnya pasir berlumpur sehingga begitu datang gelombang yang besar dari arah laut ke pantai, pantai tersebut mudah terkikis atau tererosi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari media cetak dan media elektronik tentang keadaan pantai yang berada di kepulauan Indonesia, sebagian besar telah mengalami kerusakan yang sangat parah. Penyebab kerusakan pantai lebih banyak karena ulah manusia seperti perusakan karang pantai, penebangan bakau, penambangan pasir, serta bangunan yang melewati garis pantai. Selain itu penggalian karang menyebabkan pertambahan kedalaman perairan dangkal yang semula berfungsi meredam energi gelombang, akibatnya gelombang sampai ke pantai dengan energi yang cukup besar (Cakrawala, 2006).

Kegiatan pembangunan, industri dan aktivitas manusia serta pengaruh faktor alam pada umumnya telah memberikan pengaruh negatif pada kestabilan kawasan pantai. Faktor alam yang berpengaruh tehadap kondisi pantai antara lain timbulnya gelombang dan arus, terjadinya pasang surut, terjadinya sedimentasi dan abrasi yang berpengaruh pada berubahnya garis pantai serta kondisi sungai yang bermuara di perairan tersebut. Aktivitas manusia yang berpengaruh terhadap kondisi pantai antara lain adalah pembangunan, reklamasi dan pengerukan dasar perairan untuk tujuan komersial yang berlebihan. Berkembangnya wisata bahari


(5)

dibeberapa daerah pantai juga mendorong terjadinya perubahan kondisi alam menjadi lingkungan buatan dengan dibangunnya beberapa fasilitas penunjang yang diperlukan. Penggunaan lahan tidak memperhatikan upaya konservasi dan tidak memperhatikan lingkungan juga telah mempercepat terjadinya erosi.

Menurut Arsyad (2000), tanah yang terangkut oleh proses erosi akan diendapkan ke tempat yang lain dimana aliran air mulai melambat atau bahkan terhenti seperti di dalam sungai, waduk, dan saluran irigasi. Dengan demikian, kerusakan yang ditimbulkan oleh peristiwa erosi terjadi di dua tempat yaitu pada tempat dimana terjadi erosi dan pada tempat tujuan ahir tanah yang tersebut diendapkan. Daerah muara adalah salah satu tujuan proses fenomena erosi tersebut dimana material-material dari proses erosi tersebut diendapkan. Bahan-bahan endapan tersebut dapat menyebabkan daerah muara mengalami pendangkalan sehingga dapat menyebabkan terganggunya ekosistem yang ada pada daerah muara tersebut.

Lingkungan pantai merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan, karena daerah tersebut menjadi tempat bertemunya dua kekuatan, yaitu berasal dari daratan dan lautan. Perubahan lingkungan pantai dapat terjadi secara lambat hingga sangat cepat, tergantung pada iimmbbaanngg dadayyaa antara topografi, batuan dan sifat-sifatnya dengan gelombang, pasang surut dan angin. Perubahan pantai terjadi apabila proses geomorfologi yang terjadi pada suatu segmen pantai melebihi proses yang biasa terjadi. Perubahan proses geomorfologi tersebut sebagai akibat dari sejumlah faktor lingkungan seperti faktor geologi, geomorfologi, iklim, biotik, pasang surut, gelombang, arus laut dan salinitas.

Keseimbangan antara sedimen yang dibawa sungai dengan kecepatan pengangkutan sedimen di muara sungai akan menentukan berkembangnya dataran


(6)

pantai. Apabila jumlah sedimen yang dibawa ke laut dapat segera diangkut oleh ombak dan arus laut, maka pantai akan dalam keadaan stabil. Sebaliknya apabila jumlah sedimen melebihi kemampuan ombak dan arus laut dalam pengangkutannya, maka dataran pantai akan bertambah. Selain itu aktivitas manusia yang memanfaatkan pantai untuk berbagai kepentingan juga dapat merubah morfologi pantai menjadi rusak apabila pengelolaannya tidak memperhatikan kelestarian lingkungan.