Analisis Etnisitas dan Simbol-Simbol Etnik Pasangan Calon Dalam Pemilihan Gubernur Lampung Tahun 2014

(1)

ABSTRAK

ANALISIS ETNISITAS DAN SIMBOL-SIMBOL ETNIK PASANGAN CALON DALAM PEMILIHAN GUBERNUR LAMPUNG TAHUN 2014

Oleh ANTARIZKI

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran deskriptif mengenai alasan partai politik sering mencalonkan pasangan calon kepala daerah berdasarkan etnisitas Lampung-Jawa atau sebaliknya Jawa-Lampung dalam pemilihan kepala daerah di Lampung, serta untuk mendapatkan gambaran terkait simbol-simbol etnik yang dimunculkan oleh pasangan calon dalam Pemilihan Gubernur Lampung Tahun 2014. Simbol-simbol etnik yang muncul pada Pemilihan Gubernur Lampung terbagi menjadi tiga aspek simbol, yaitu (1) simbol fisik, (2) simbol bahasa, (3) simbol kebudayaan. Penelitian menggunakan tipe penelitian deskriptif melalui data kualitatif. Teknik pengumpulan data berupa wawancara, dokumentasi dan penelitian pustaka. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui alasan partai politik sering mencalonkan pasangan calon kepala daerah berdasarkan etnisitas Lampung-Jawa atau sebaliknya Jawa-Lampung dalam pemilihan kepala daerah di Jawa-Lampung salah satunya dikarenakan etnis Jawa-Lampung dan etnis Jawa memiliki ikatan emosional yang kuat dan hubungan yang harmonis baik di tingkat atas (elit) hingga tingkat bawah (masyarakat). Selain wacana etnisitas kandidat, pada pilgub Lampung tahun 2014, simbol-simbol etnik juga digunakan oleh pasangan calon dalam menarik


(2)

kopiah Lampung, pakaian adat Jawa dan pakaian adat Lampung lengkap dengan atribut adatnya masing-masing dalam kampanye politik. Selanjutnya simbol bahasa berupa pembuatan lagu kampanye yang dibuat dalam dua versi bahasa, yaitu bahasa Lampung dan bahasa Jawa. Simbol kebudayaan yaitu berupa pergelaran acara wayangan dan festival tari kreasi adat Lampung yang digelar oleh salah satu tim pemenangan pasangan calon Gubernur Lampung Tahun 2014. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa simbol bernuansa kebudayaan lebih dapat menarik simpati dan antusias masyarakat atau konstituen daripada hanya menunjukkan dan memanfaatkan simbol fisik dan simbol bahasa.


(3)

ABSTRACT

ETHNICITY ANALYSIS AND SYMBOLS ETHNIC COUPLE IN SELECTING THE GOVERNOR CANDIDATES LAMPUNG 2014

BY ANTARIZKI

This study aimed to obtain a descriptive overview reasons of political parties often nominate regional head candidates based on ethnicity or otherwise Lampung-Java Java-Lampung in local elections in Lampung, and to get an overview of related ethnic symbols raised by pairs of candidates in the election Lampung Governor in 2014. Ethnic symbols that appear on the election of Governor of Lampung is divided into three aspects of the symbol, namely (1) a physical symbol, (2) the symbol language, (3) cultural symbol. The study uses descriptive type through qualitative data. Data collection techniques such as interviews, documentation, and research libraries. Based on theresult, it can be known reasons of political parties often nominate regional head candidates based on ethnicity or otherwise Lampung-Java Java-Lampung in local election in Lampung, Lampung one of them due to ethnic and ethnic Javanese have a strong emotional bond and harmonious relationships in both the upper level (elite) to lower levels (community). In addition to the discourse of ethnicity candidate, in Lampung 2014 gubernatorial election, ethnic symbols are also used by the candidate attract


(4)

public sympathy based on ethnic, such as a physical symbol, a symbol of linguistic and cultural symbols. Physical symbol raised by pairs of candidates such as the use of blangkon, skullcap Lampung, Java custom clothing, custom clothing Lampung and complete with its custom attributes respectively in political campaigns. Further more, language symbols in the form of making a campaign song that was made in two language versions, namely Lampung language and the Java language. Cultural symbols in the form of puppet show performances and festivals custom creations Lampung held by one of the winning team mate Lampung gubernatorial candidate in 2014. The result also indicate that culture is more nuanced symbols can draw sympathy and enthusiastic communities or constituencies rather than just demonstrate and utilize symbols physical and symbolic language.


(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 09 Maret 1992, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan dari Bapak Antoni, SKM dan Ibu Yulianti, S.Pd.

Jenjang akademik penulis dimulai dengan menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 1 Rawa Laut Bandar Lampung yang diselasaikan pada tahun 2004, dilanjutkan menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Arjuna Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2007, dan dilanjutkan menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Yayasan Pembina Unila Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2010.

Tahun 2010, Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa S1 Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Nasonal (SNMPTN), yang saat itu Penulis pilih untuk melanjutkan pendidikan dan selesai ditahun 2014.


(10)

PERSEMBAHAN

Ku persembahkan karya kecil ini kepada:

Ayahanda tercinta Antoni, SKM dan Ibunda yang aku sayangi Yulianti, S.Pd, sebagai

tanda terima kasih dan baktiku. Aku tau kalian telah banyak berkorban demi anakmu,

inilah kado kecil yang dapat aku persembahkan untuk sedikit menghibur hati kalian yang

telah banyak aku susahkan.

Tidak lupa juga untuk Kakakku M. Alfian, S.T dan Adikku Nadya Putri serta Paman dan

Nenekku terima kasih karena selalu mendukungku.

Almamater tercinta Universitas Lampung

Ya Allah terima kasih atas sengala jalan yang telah kau berikan dan hamba lewati

Hamba yakin semua jalan-Mu kepada hamba punya maksud dan tujuan yang baik.


(11)

MOTO

“Bila anda ingin menusuk seseorang dengan sebilah “Pedang”, maka tusuklah dirimu sendiri

dengan sepentol “Jarum”. Jika dengan sepentol “Jarum” saja anda merasa kesakitan apalagi

orang yang ingin anda tusuk dengan sebilah „”Pedang” pasti akan jauh lebih sakit”.

(Lao Shi)

“Berpasrahlah kepada

-

Nya (Allah), maka dunia akan berpasrah kepadamu”.

(Nabi Muhammad SAW)

“Janganlah menagis sekarang (saat keadaan sulit), tapi menangislah kelak dengan tangisan

terharu (saat keadaan lapang dan jauh lebih

baik)”.


(12)

SANWACANA

Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi yang berjudul “Analisis Etnisitas dan Simbol-Simbol Etnik Pasangan Calon Dalam Pemilihan Gubernur Lampung Tahun 2014” dapat diselesaikan. Skripsi ini dibuat sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Penulis menyadari banyak kesulitan yang dihadapi dari awal pengerjaan hingga penyelesaian skripsi ini, karena bantuan, bimbingan, dorongan dan saran dari berbagai pihak terutama dosen pembimbing yang sudah memberi banyak masukan, kritik dan saran. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung. 3. Bapak Drs. Ismono Hadi, M.Si selaku Pembimbing Akademik.

4. Bapak Drs. Hertanto, M.Si, Ph.D. selaku Pembimbing Utama yang telah banyak memberikan bekal ilmu, banyak arahan, dukungan dan motivasinya


(13)

yang sangat bermanfaat sehingga dapat membantu kelancaran dalam penyelesaian skripsi ini dan dapat lulus dengan hasil yang maksimal.

5. Bapak Budi Hardjo, S.Sos, M.IP. selaku Pembimbing Kedua yang telah memberikan banyak bimbingan, motivasi dan tambahan ilmu untuk dapat menjadi mahasiswa yang lulus dengan bekal ilmu yang bermanfaat kedepannya.

6. Ibu Dr. Ari Darmastuti, M.A selaku selaku penguji dan pembahas yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun kepada Penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

7.

Seluruh dosen Ilmu Pemerintahan Fisip Unila, terimakasih atas ilmu yang telah kalian berikan kepada penulis selama menuntut ilmu di Jurusan Ilmu Pemerintahan.

8. Staf Akademik, Staf Kemahasiswaan yang telah membantu kelancaran administrasi dan skripsi, terutama kepada Ibu F. Trisni Rahartini, S.I.P yang telah banyak sekali membantu dan mempermudah proses administrasi dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan.

9. Teristimewa kepada kedua orang tuaku, yaitu Bapak Antoni, SKM terima kasih telah menjadi ayah terbaik dan motivator terbaik bagi anaknya setelah Nabi Muhammad SAW, yang selalu mendukung apapun yang terjadi dan bekerja keras dalam mendidik untuk menjadikan Penulis menjadi manusia yang kuat, semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan dan nikmat-Nya untuk Ayah. Selanjutnya Ibunda Yulianti, S.Pd, terimakasih telah menjadi ibu yang baik dan pemberi kasih sayang terbaik setelah Allah SWT yang tak


(14)

10. Untuk kakakku M. Alfian S.T yang saat ini sedang hidup mandiri dan merantau mencari kehidupan yang lebih baik demi meningkatkan derajat dan

perekonomian keluarga, do’akan aku segera menyusul menjadi manusia yang

mandiri dan bermanfaat kedepannya. Tidak lupa untuk adikku Nadya Putri yang saat ini baru saja menempuh pendidikan di Universitas yang sama, semoga segera menyusul dan tidak lelah terhadap proses perkuliahan yang masih panjang. Semoga kita bertiga dapat membahagiaan kedua orang tua kita serta menjadi anak yang selalu berbakti kepada orang tua kita.

11.Untuk paman dan nenekku yang selalu mendukung dan mendo’akan ku

semoga do’a dan dukungan yang kalian berikan dapat meberikan jalan kesuksesan bagi Penulis.

12.Terima kasih kepada para informan dari KPU Provinsi Lampung, DPD Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Provinsi Lampung, DPD Partai Demokrat, DPD Partai Gerindera Provinsi Lampung, DPD Partai Golongan Karya Provinsi Lampung, Badan Pengawas Pemilu Provinsi Lampung, Majelis Penyeimbang ADAT Lampung (MPAL) Kota Bandar Lampung, Paguyuban Putera Jawa Keturunan Sumatera (PUJAKESUMA) serta Akademisi yang telah bersedia meluangkan waktu dan ketersediaannya untuk memberikan data-data, wawasan serta informasi yang penulis butuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.

13.Terima kasih untuk teman-teman satu “Bimbingan” yaitu Andrialius Feraera, Siawlin Ratu Ajeng, Aditya Darmawan, Dewi Astria, Alam Patria, Tano


(15)

Gupala, Ryan Maulana, Yosita Manara, Ricky Ardian, dan Dita Purnama yang selalu bertukar pendapat terkait dengan pengerjaan skripsi ini. Semoga kita selalu diberikan kelancaran dan kehidupan yang lebih baik setelah proses pembelajaran skripsi ini.

14.Teman-teman tercinta Jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan 2010 yang dari awal kita sama-sama berjuang bersama, semangat teman-teman semua, semoga Allah SWT memberikan nikmat sehat, rejeki yang berlimpah, rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, semoga kita semua kelak menjadi pemuda yang bermanfaat dan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik kedepannya Amiiin. Ingat bahwa hanya kita sendiri yang dapat merubah nasib kita sendiri dan tidak ada sedikitpun usaha yang akan menjadi sia-sia.

15.Terima kasih kepada rumah Aris Gunawansyah, rumah Prananda Genta Reza, rumah Dicky Rinaldy, kosan Prasaputra Sanjaya, kosan Dani Setiawan yang telah memberikan tempat yang sangat bermanfaat untuk saya beristirahat dan melepas lelah ketika sedang menunggu dosen atau ketika sedang menunggu mata kuliah yang masih belum jelas ada dosen atau tidak, sehingga saya mendapatkan tempat berteduh dan tidak seperti anak hilang di kampus hijau tersebut.

16.Teman-teman seperjuangan dari kita masih muda, semangat dan energik yaitu pada saat baru masuk perkuliahan yang tergabung di Grup Sekumpulan Manusia Kompak (SEMPAK): Ali Wirawan, Ryan Maulana, Dicky Rinaldy, Rangga Giri Wibowo, Prananda Genta Reza, Komang Jaka Ferdian, Prasaputra Sanjaya, Riendi Ferdian, Dani Setiawan, Aris Gunawansyah, Budi Setya Aji, Mirzan Triandana teruslah belajar dari ketidaksempurnaan yang


(16)

Semoga Allah SWT membalas kebaikan kita semua dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, 01 November 2014 Penulis


(17)

i

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRACT

DAFTAR SINGKATAN ... iii

DAFTAR TABEL ... v

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Politik ... 17

B. Tinjauan Etnis dan Etnisitas ... 19

C. Tinjauan Simbol Etnik ... 28

D. Tinjauan Partai Politik ... 30

1. Pengertian Partai Politik ... 30

2. Fungsi Partai Politik ... 30

E. Tinjauan Kepala Daerah ... 31

F. Tinjauan Pemilihan Kepala Daerah ... 34

G. Kerangka Pikir ... 37

III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 42

B. Fokus Penelitian ... 43

C. Sumber Data ... 45

D. Teknik Pengumpulan Data ... 47

E. Teknik Pengolahan Data ... 49


(18)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 53

1. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 53

1.1 Tinjauan Kepala Daerah di Lampung dalam Komposisi Etnis ... 53

1.2 Profil Kelompok Etnik Penduduk Provinsi Lampung Berdasarkan Sensus Tahun 2010 ... 56

2. Keadaan Sosial dan Budaya Masyakat Lampung ... 72

B. Hasil dan Pembahasan ... 74

1. Identitas Informan ... 74

2. Wacana Etnisitas Pasangan Calon ... 77

2.1 Identitas Etnis Pasangan Calon Dalam Pemilihan Gubernur Lampung Tahun 2014 ... 77

2.2 Alasan Partai Politik Mencalonkan Pasangan Calon Kepala Daerah Berdasarkan Etnis ... 79

3. Simbol-Simbol Etnik Pasangan Calon Dalam Pemilihan Gubernur Lampung Tahun 2014 ... 101

3.1 Simbol Fisik ... 105

3.2 Simbol Bahasa ... 111

3.3 Simbol Kebudayaan ... 116

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 126

B. Saran ... 128

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(19)

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Agama yang Dianut

Tahun 2010 ... 1

Tabel 1.2 Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Kelompok Suku Bangsa Tahun 2010 ... 2

Tabel 2.1 Fungsi Partai dalam negara demokrasi ... 35

Tabel 4.1 Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Lampung berdasarkan asal identitas etnik ... 53

Tabel 4.2 Kepala Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung berdasarkan asal identitas etnik ... 54

Tabel 4.3 Penduduk Menurut Suku Bangsa Kabupaten Lampung Barat ... 56

Tabel 4.4 Penduduk Menurut Suku Bangsa Kabupaten Tanggamus ... 57

Tabel 4.5 Penduduk Menurut Suku Bangsa Kabupaten Lampung Selatan ... 58

Tabel 4.6 Penduduk Menurut Suku Bangsa Kabupaten Lampung Timur ... 59

Tabel 4.7 Penduduk Menurut Suku Bangsa Kabupaten Lampung Tengah ... 60

Tabel 4.8 Penduduk Menurut Suku Bangsa Kabupaten Lampung Utara ... 61

Tabel 4.9 Penduduk Menurut Suku Bangsa Kabupaten Waykanan ... 62

Tabel 4.10 Penduduk Menurut Suku Bangsa Kabupaten Tulang Bawang ... 63


(20)

Tabel 4.12 Penduduk Menurut Suku Bangsa Kabupaten Pringsewu ... 65

Tabel 4.13 Penduduk Menurut Suku Bangsa Kabupaten Mesuji ... 66

Tabel 4.14 Penduduk Menurut Suku Bangsa Kabupaten Tulang Bawang Barat ... 67

Tabel 4.15 Penduduk Menurut Suku Bangsa Kota Bandar Lampung ... 68

Tabel 4.16 Penduduk Menurut Suku Bangsa Kota Metro ... 69


(21)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang terkenal dengan bangsa yang majemuk yang memiliki berbagai keanekaragaman budaya, bahasa, adat istiadat, agama serta suku bangsa atau etnis yang tersebar di seluruh tanah air. Kemajemukan bangsa Indonesia bahkan sudah menjadi simbol negara ini dengan semboyan bangsa ini yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk Indonesia berdasarkan sensus terhadap agama dan suku bangsa pada tahun 2010 adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Agama yang Dianut Tahun 2010

Agama Jumlah Pemeluk (jiwa) Persentase

(1) (2) (3)

Islam 207.176.162 87,18

Kristen 16.528.513 6,96

Katolik 6.907.873 2,91

Hindu 4.012.116 1,69

Budha 1.703.254 0,72

Khong hu cu 117.091 0,05

Lainnya 299.617 0,13

Tidak terjawab 139.582 0,06

Tidak ditanyakan 757.118 0,32

Jumlah 237.641.326 100


(22)

Tabel 1.2 Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Kelompok Suku Bangsa Tahun 2010

Kelompok Suku Bangsa Jumlah Persentase Ranking

(1) (2) (3) (4)

Suku asal Aceh 4.091.451 1,73 14

Batak 8.466.969 3,58 3

Nias 1.041.925 0,44 30

Melayu 5.365.399 2,27 10

Minangkabau 6.462.713 2,73 7

Suku asal Jambi 1.415.547 0,6 25

Suku asal Sumatera Selatan 5.119.581 2,16 10

Suku asal Lampung 1.381.660 0,58 26

Suku asal Sumatera lainnya 2.204.472 0,93 21

Betawi 6.807.968 2,88 6

Suku asal Banten 4.657.784 1,97 11

Sunda 36.701.670 15,5 2

Jawa 95.217.022 40,22 1

Cirebon 1.877.514 0,79 24

Madura 7.179.356 3,03 5

Bali 3.946.416 1,67 15

Sasak 3.173.127 1,34 16

Suku Nusa Tenggara Barat

lainnya 1.280.094 0,54 27

Suku asal NTT 4.184.923 1,77 12

Dayak 3.009.494 1,27 17

Banjar 4.127.124 1,74 13

Suku asal Kalimantan lainnya 1.968.620 0,83 22

Makassar 2.672.590 1,13 20

Bugis 6.359.700 2,69 8

Minahasa 1.237.177 0,52 29

Gorontalo 1.251.494 0,53 28

Suku asal Sulawesi lainnya 7.634.262 3,22 4

Suku asal Maluku 2.203.415 0,93 22

Suku asal Papua 2.693.630 1,14 19

Cina 2.832.510 1,2 18

Asing/luar negeri 162.772 0.07 31

Total 236.728.379 100

(Na’im dan Hendry. 2011: 9).

Kanekaragaman etnis bangsa ini tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia, mulai dari pulau Kalimantan dengan luas 539.460 km², Sumatera dengan luas 443.066 km², Papua dengan luas 421.981 km², Sulawesi dengan luas 180.681 km², Jawa dengan luas 138.794 km² dan pulau kecil lainnya yang tersebar di seluruh tanah


(23)

3

air. Kemajemukan etnis di Indonesia juga tersebar di berbagai provinsi di Indonesia, salah satunya adalah tersebar di Provinsi Lampung. Provinsi Lampung sendiri mempunyai keanekaragaman suku bangsa atau etnis yang sangat beragam, etnis yang ada di Provinsi Lampung di antaranya adalah etnis Jawa, Lampung, Sunda, Banten, etnis asal Sumatera Selatan, etnis Bali, Minangkabau, Cina, Bugis, Batak dan etnis lainnya yang tersebar di seluruh wilayah di Provinsi Lampung.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung tahun 2010, komposisi penduduk Provinsi Lampung dari total 7.608.405 jiwa penduduk berdasarkan sensus terhadap etnis atau suku bangsa adalah etnis Jawa 63,84%, Lampung 13,51%, Sunda 9,58%, Banten 2,27%, etnis asal Sumatera Selatan 5,47%, etnis Bali 1,38%, etnis Minangkabau 0,92%, etnis Cina 0,53%, etnis Bugis 0,28%, etnis Batak 0,69%, dan etnis lain seperti etnis asal Aceh, Jambi, Sumatera lainnya, Betawi, Papua, NTT, NTB, Kalimantan dan lain-lain sekitar 1,21% (Dokumen BPS Provinsi Lampung tahun 2010 terhadap sensus penduduk menurut suku bangsa).

Dewasa ini jika berbicara tentang etnis atau suku bangsa, maka etnis sudah masuk ke ranah politik semenjak diberlakukannya sistem desentralisasi di Indonesia dengan ditetapkannya Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya disusul juga dengan penetapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerahnya sendiri.


(24)

Berbicara masalah etnis dalam ranah politik, Provinsi Lampung sendiri termasuk salah satu wilayah di tanah air yang masih sangat kental dengan fenomena politik etnis, fenomena politik etnis yang cukup kental dirasakan di daerah Lampung sendiri adalah penggunaan etnis lokal yang biasa dikenal dengan putra asli daerah yaitu etnis Lampung sebagai etnis pribumi asli dan penggunaan etnis mayoritas di Provinsi Lampung yaitu etnis Jawa dalam ranah politik. Bahkan komposisi etnis Lampung dan Jawa sering digunakan sebagai basis strategi politik yang digunakan oleh elit lokal untuk mendapatkan dukungan suara dalam pilkada di bumi ruwa juari ini dalam satu dekade terakhir.

Pemilihan kepala daerah sacara langsung di Lampung dalam satu dekade terakhir semenjak tahun 2005 memunculkan fenomena yang cukup menarik, ketika politik etnis makin muncul, baik itu dari sisi etnisitas pasangan calon hingga simbol-simbol etnik yang dimunculkan oleh pasangan calon dalam menarik simpati dan dukungan masyarakat berbasiskan etnik. Elit politik yang akan maju dalam pilkada maupun konstituen menjadikan kesamaan etnis sebagai acuan. Elit politik yang akan maju dalam pilkada di Lampung cenderung menjadikan etnisitas sebagai sarana perekat untuk meraih dukungan. Begitu juga sebaliknya dengan konstituen atau pemilih menjadikan kesamaan etnis mereka dengan para calon kepala daerah sebagai acuan dalam memilih pemimpin mereka.

Pilkada di Lampung sendiri kuat tarikannya antara etnis Jawa sebagai etnis pendatang yang merupakan juga etnis mayoritas dan etnis asli pribumi yaitu etnis Lampung, bahkan etnisitas calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan komposisi etnik Lampung-Jawa atau sebaliknya Jawa-Lampung sering dicalonkan


(25)

5

oleh partai politik untuk untuk maju dalam pemilihan kepala daerah dalam satu dekade terakhir. Pasangan calon kepala daerah dengan komposisi etnis Lampung-Jawa atau sebaliknya Lampung-Jawa-Lampung tidak hanya sekedar sering diusung atau dicalonkan oleh partai politik saja, namun juga latar belakang etnis calon kepala daerah dengan komposisi Lampung-Jawa atau sebaliknya Jawa-Lampung juga sering terpilih menjadi walikota, bupati hingga gubernur dalam pemilihan kepala daerah di bumi ruwai jurai ini.

Sebagai buktinya dimulai pada tahun 2005 Pilkada Kota Bandar Lampung pasangan calon kepala daerah Jawa-Lampung yaitu Eddy Sutrisno yang beretnis Jawa dan Kherlani yang berdarah Lampung berhasil terpilih menjadi walikota di Kota Bandar Lampung. Pilkada Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2010 komposisi etnis Jawa-Lampung yaitu, pasangan Pairin yang beretnis Jawa dan Mustafa yang beretnis Lampung yang dicalonkan oleh Partai Golongan Karya (Golkar) berhasil menjadi kepala daerah Lampung Tengah setelah bersaing dua putaran dalam Pilkada Kabupaten Lampung Tengah. Pilkada Kabupaten Pesawaran tahun 2010 komposisi etnis Lampung-Jawa, yaitu Aries Sandy yang berdarah Lampung dan Musiran yang beretnis Jawa berhasil terpilih menjadi kepala daerah Kabupaten Pesawaran.

Pilkada Kabupaten Lampung Timur komposisi etnis Jawa-Lampung, yaitu pasangan Satono yang beretnis Jawa dan Erwin Arifin yang beretnis Lampung berhasil memenangkan Pilkada Kabupaten Lampung Timur pada tahun 2010, pada Pilkada Kabupaten Lampung Selatan komposisi etnis Lampung-Jawa, yaitu pasangan yang dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)


(26)

dan Demokrat yaitu Rycko Menoza yang beretnis Lampung dan Eki Setyanto yang beretnis Jawa berhasil memenangkan pemilihan kepala daerah di Lampung Selatan pada tahun 2010. Pilkada Pringsewu lagi-lagi pasangan calon kepala daerah dengan latar belakang etnis Jawa-Lampung yaitu pasangan Sujadi yang beretnis Jawa dan Handitya yang beretnis Lampung yang dicalonkan oleh PDIP ini berhasil menjadi pemenang pada Pilkada Pringsewu tahun 2011.

Sampai pada tingkat provinsi, yaitu pada pemilihan gubernur tahun 2008 yang lalu dimenangkan oleh komposisi etnis Lampung-Jawa yaitu Sjachroedin ZP yang merupakan putra asli daerah beretnis pribumi dan Joko Umar Said yang merupakan etnis Jawa. Hal di atas membuktikan bahwa fenomena politik etnis berupa komposisi etnis Lampung-Jawa atau Jawa-Lampung masih sangat dominan menguasai sistem politik di Lampung, terutama pada saat pilkada, maka tidak heran jika banyak partai politik di Lampung yang lebih cenderung mengusung calon kepala daerah berdasarkan etnis Lampung-Jawa atau sebaliknya Jawa-Lampung dalam pemilihan kepala daerah.

Pemilihan Gubernur (Pilgub) Lampung tahun 2014 kemarin lagi-lagi terdapat dua pasangan calon kepala daerah dengan komposisi etnik Lampung-Jawa maupun Jawa-Lampung yang diusung oleh partai politik dari empat pasangan calon kepala daerah yang akan maju dalam Pilgub Lampung tahun 2014, pasangan tersebut yaitu, M. Alzier Dianis Thabranie dan Lukman Hakim yang merupakan pasangan calon kepala daerah dengan latar belakang etnik Lampung-Jawa yang dicalonkan oleh Partai Golkar dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dimana M. Alzier


(27)

7

Dianis Thabranie yang merupakan putra asli daerah beretnis Lampung serta wakilnya Lukman Hakim yang berdarah Jawa.

Pasangan selanjutnya adalah M. Ridho Ficardo dan Bachtiar Basri yang merupakan pasangan calon kepala daerah dengan latar belakang etnis Jawa-Lampung yang dicalonkan oleh Partai Demokrat dan partai koalisi lainnya, dimana M. Ridho Ficardo merupakan etnis Jawa keturunan dari darah sang ayah serta wakilnya yang beretnis Lampung yaitu Bachtiar Basri. Pasangan lainnya adalah pasangan dengan komposisi etnis Lampung-Lampung, yaitu Berlian Tihang dan Mukhlis yang merupakan pasangan calon kepala daerah dengan latar belakang etnis Lampung-Lampung dan pasangan Herman H.N. dan Zainudin yang juga berlatar belakang komposisi etnis Lampung-Lampung.

Salah satu Calon Gubernur Lampung 2014 yaitu, M. Alzier Dianis Thabranie yang diusung oleh Partai Golkar dan Hanura bahkan secara jelas menginginkan dipasangkan dengan calon kepala daerah yang berasal dari suku Jawa, seperti yang dikutip dari berita online bahwa: Ketua DPD I Partai Golkar Lampung Alzier Dianis Thabrani memastikan maju dalam pemilihan gubernur mendatang. Ia mengatakan akan menggandeng calon wakil gubernur dari suku non Lampung. "Kalau wakil semua tergantung istikharoh, tetapi yang pasti orang Jawa, karena saya berasal dari Lampung," ujar Alzier seusai menutup acara Musyawarah Luar Biasa DPD II Partai Golkar Lampung Selatan di kantor DPD I Partai Golkar, Kamis (24/1/2013). (http://lampung.tribunnews.com/2013/01/24/alzier-cari-calon-wakil-gubernur orang-jawa, diakses tanggal 03-03-2014).


(28)

Padahal bila ditinjau lagi, etnik di Provinsi Lampung tidak hanya berasal dari etnis Lampung dan etnis Jawa saja tetapi masih banyak terdapat suku atau etnik lainnya yang menempati wilayah Provinsi Lampung ini, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa etnis Jawa dan Lampung adalah etnis mayoritas di Provinsi Lampung ini. Keinginan Alzier untuk menggandeng suku Jawa sebagai pasangan calon wakil gubernurnya tentu bukan tanpa alasan, sebab mayoritas penduduk Provinsi Lampung sekitar 63% adalah masyarakat dengan etnik atau suku Jawa. Hal ini diindikasikan menjadi salah satu strategi politik Alzier untuk mendapatkan dukungan suara dari masyarakat etnis Jawa di Lampung.

Pemilihan Gubernur (Pilgub) Provinsi Lampung tahun 2014, tidak dapat dipungkiri bahwa etnisitas kandidat menjadi salah satu kekuatan yang cukup efektif dan diperhitungkan sebagai basis kekuatan partai politik maupun calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk mengumpulkan dukungan masyarakat Lampung dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). Bila melihat ke belakang pada pilkada di kabupaten, kota, sampai tingkat provinsi di Lampung, etnisitas dengan komposisi koalisi Lampung-Jawa atau sebaliknya Jawa-Lampung masih dianggap ideal sebagai pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dapat menarik simpati masyarakat Lampung pada umumnya, sebab mayoritas masyarakat Lampung adalah masyarakat dengan etnis Jawa dan Lampung.

Sejak lama sudah muncul perhatian akademik mengenai pemilihan umum (pemilu) dan prilaku voting pada masyarakat yang “terbagi-bagi”. Banyak sarjana yang merasa khawatir bahwa pemilihan umum pada masyarakat yang terbagi-bagi


(29)

9

secara etnis akan menghasilkan pemilu sensus, yang menjauh dari demokrasi. Dengan kata lain, pemilu seperti itu cenderung menciptakan blok-blok yang tegas batas-batasnya yang menjauh dari akomodasi antar-etnis (Horowitz dalam Ishiyama dan Marijke Breuning, 2013, 367).

Latar belakang etnis calon kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan strategi politik yang sering dipakai oleh partai politik maupun elit lokal di Lampung untuk mendapatkan perhatian dan dukungan dari masyarakat dengan etnis yang sama, biasanya etnis mayoritas dan etnis asli daerah atau pribumi di daerah pemilihan dijadikan target oleh partai politik maupun calon kepala daerah sebagai senjata untuk menerapkan politik identitas etnis. Latar belakang calon kepala daerah dengan komposisi etnis Lampung-Jawa atau Jawa-Lampung sering digunakan dalam menerapkan politik identitas etnis di bumi ruwai jurai ini, walaupun terdapat komposisi etnis pasangan calon kepala daerah Jawa-Jawa serta Lampung-Lampung juga yang masih sangat diperhitungkan dalam pilkada di daerah Lampung ini.

Pemanfaatan etnisitas calon kepala daerah memang bisa efektif bisa juga tidak, hal ini tentu tergantung pada kualitas calon kepala daerah masing-masing dan cara kerja calon kepala daerah tersebut dalam menarik hati dan simpati masyarakat. Tapi hal yang cukup menarik adalah bahwa identitas etnik dalam kehidupan sehari-hari semakin memudar, namun dalam ranah politik, identitas dan simbol-simbol etnik justru dimunculkan kembali dan sangat dibutuhkan, bahkan sering menjadi senjata politik yang cukup diperhitungkan terutama di daerah-daerah yang masih kental dengan nuansa yang masih bersifat etnis. Berdasarkan latar


(30)

belakang permasalahan di atas, maka akan dilakukan penelitian mengenai

“analisis etnisitas dan simbol-simbol etnik pasangan calon dalam pemilihan

Gubernur Lampung tahun 2014”.

Ada beberapa penelitian lain berupa skripsi dan jurnal penelitian mengenai politik identitas etnis dalam proses pemilihan kepala daerah. Tetapi, penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut meskipun sama-sama penelitian tentang politik identitas etnis dalam pemilihan kepala daerah. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya antara lain:

1. Skripsi Dedi Firmansyah tahun 2010 dengan judul “Peran Politik Etnis Dalam

Pilkada” (Studi Atas Pilgub Provinsi Bengkulu Tahun 2005), Fakultas Syari’ah

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Perbedaan skripsi Dedi Firmansyah dengan penelitian ini adalah, pertama skripsi ini membahas tentang para kandidat atau elit lebih cenderung memilih pasangannya berdasarkan representasi yang ada di Bengkulu, yaitu seperti etnis Serawai-Jawa, Rejang-Jawa, dan Serawai-Melayu dalam pemilihan kepala daerah. Dalam penelitian ini, masalah yang diteliti adalah etnisitas pasangan calon kepala daerah berdasarkan etnik Lampung-Jawa atau Jawa-Lampung sering diusung oleh partai politik dalam menghadapi pemilihan kepala daerah di Lampung dan juga untuk mengetahui simbol-simbol etnik yang dimunculkan oleh pasangan calon dalam Pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014.

Kedua, teori yang digunakan dalam skripsi Dedi Firmansyah adalah teori Islam dan etnisitas dalam perspektif politik Melayu karangan Hassin Mutalib tahun


(31)

11

1996. Dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori etnis dan etnisitas karangan John Ishiyama dan Marijke Breuning tahun 2013.

Ketiga, metode penelitian yang digunakan dalam skripsi Dedi Firmansyah adalah menggunakan penelitian field research atau penelitian lapangan, yaitu penelitian dengan data yang dioperoleh dari kegiatan lapangan. Teknik pengumpulan data ini adalah berupa studi lapangan dan studi kepustakaan. Berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara, dokumentasi, dan penelitian pustaka.

2. Skripsi Frensi Riastuti tahun 2009 dengan judul “Simbol-Simbol Etnik Dalam

Pemilihan Kepala Daerah Lampung” (Studi Pada Suksesi Pemilihan Kepala

Daerah Lampung), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung.

Pertama skripsi Frensi Riastuti ini membahas tentang penggunaan simbol-simbol etnik dalam pemilihan kepala daerah Lampung periode 2009-2014. Selain itu juga penelitian ini membahas tentang keterwakilan etnik khususnya etnik Jawa dan Lampung. Isu koalisi etnik ini didasarkan pada isu putra daerah serta jumlah etnik Jawa yang lebih dominan dibandingkan dengan etnik Lampung sehingga koalisi diantara dua etnik diprediksi akan sangat mempengaruhi jumlah suara dalam pilkada (Riastuti, 2009: 7). Sedangkan penelitian ini, masalah yang diteliti adalah etnisitas pasangan calon kepala daerah berdasarkan etnik Lampung-Jawa atau Jawa-Lampung sering diusung oleh partai politik dalam menghadapi pemilihan kepala daerah di Lampung dan juga untuk mengetahui simbol-simbol etnik yang


(32)

dimunculkan oleh pasangan calon dalam Pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014.

Kedua, teori yang digunakan dalam skripsi Frensi Riastuti adalah teori antropologi simbolik yang dikemukakan oleh Victor Turner dan Clifford Geertz dengan pendekatan teori primordial, teori situasional dan teori relasional, serta pendekatan interaksionalisme simbolik dari Joel M. Charon. Dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori etnis dan etnisitas karangan John Ishiyama dan Marijke Breuning tahun 2013. Ketiga, metode penelitian yang digunakan dalam skripsi Frensi Riastuti adalah menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data ini adalah berupa wawancara, dokumentasi dan penelitian pustaka. Berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara dan penelitian pustaka.

3. Tulisan Muhtar Haboddin tahun 2012 dengan judul “Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal”, Jurnal Studi Pemerintahan, volume 3.

Perbedaan tulisan Haboddin dengan penelitian ini adalah pertama, di dalam tulisan ini Haboddin membahasa masalah politik identitas dan etnisitas yang terjadi di Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Irian Jaya. Pasca pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999, gerakan politik identitas semakin jelas wujudnya. Bahkan, banyak aktor politik lokal maupun nasional secara sadar menggunakan isu ini dalam power-sharing. Di Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Irian Jaya yang secara nyata menunjukkan betapa


(33)

13

ampuhnya isu ini digunakan oleh aktor-aktor politik, ketika berhadapan dengan entitas politik lain (Haboddin, 2012: 110).

Berbeda dengan penelitian ini yang membahas etnisitas pasangan calon kepala daerah berdasarkan etnik Lampung-Jawa atau Jawa-Lampung sering diusung oleh partai politik dalam menghadapi pemilihan kepala daerah di Lampung dan juga untuk mengetahui simbol-simbol etnik yang dimunculkan oleh pasangan calon dalam Pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014.

Kedua, teori yang digunakan dalam tulisan Haboddin adalah teori politik perbedaan menurut Donald Morowitz dalam Haboddin (2012: 112) adalah politik identitas memberikan garis yang tegas siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak. Sedangkan dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori etnis dan etnisitas karangan John Ishiyama dan Marijke Breuning tahun 2013. Ketiga, metode penelitian yang digunakan dalam tulisan Haboddin adalah dengan menggunakan metode studi pustaka. Sedangkan dengan penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara, dokumentasi dan penelitian pustaka.

4. Tulisan Nyarwi Ahmad tahun 2008 dengan judul “Politik Identitas dan

Etnisitas” Jurnal Lingkaran Survei Indonesia.

Perbedaan tulisan Nyarwi Ahmad dengan penelitian ini adalah pertama, dalam tulisan Ahmad adalah membahas tentang posisi etnis yang terjadi di Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan Bangka Belitung. Dalam Pilkada Kalimantan Barat, faktor etnis tampak memainkan peran penting. Pemilih cenderung memilih kandidat yang berasal dari etnis yang sama. Peran ini berkurang dalam


(34)

pelaksanaan Pilkada di Sulawesi Selatan dan Bangka Belitung. Di dua provinsi ini, sentimen etnis pemilih relatif kecil (Ahmad 2008: 1). Sedangkan dalam penelitian ini masalah masalah yang diteliti adalah etnisitas pasangan calon kepala daerah berdasarkan etnik Lampung-Jawa atau Jawa-Lampung sering diusung oleh partai politik dalam menghadapi pemilihan kepala daerah di Lampung dan juga untuk mengetahui simbol-simbol etnik yang dimunculkan oleh pasangan calon dalam Pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014.

Kedua, teori yang digunakan dalam tulisan Ahmad adalah menggunakan teori politik etnisitas dari Posner dkk dalam Ahmad (2008: 28). Sedangkan teori dalam penelitian ini adalah teori etnis dan etnisitas (Ishiyama, J dan Marijke Breuning 2013: 361). Ketiga metode yang digunakan dalam tulisan Ahmad adalah dengan menggunakan metode penarikan sampel dengan menggunakan data survey oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara dan penelitian pustaka.

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini mengangkat beberapa permasalahan yaitu:

1. Mengapa partai politik sering mencalonkan pasangan calon kepala daerah berdasarkan etnisitas Lampung-Jawa atau sebaliknya Jawa-Lampung dalam menghadapi pemilihan kepala daerah di Lampung ?

2. Bagaimanakah simbol-simbol etnik pasangan calon yang muncul dalam pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014?


(35)

15

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui alasan partai politik mencalonkan pasangan calon kepala daerah berdasarkan etnisitas Lampung-Jawa atau sebaliknya Jawa-Lampung dalam menghadapi pemilihan kepala daerah di Jawa-Lampung.

2. Untuk mengetahui simbol-simbol etnik pasangan calon yang muncul dalam pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

1.1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmiah dalam perkembangan teori politik maupun teori sosial, khususnya dalam bidang politik yang menyangkut tentang pemanfaatan etnisitas pasangan calon dan penggunaan simbol-simbol etnik dalam menghadapi pemilihan kepala daerah.

1.2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti berikutnya dalam permasalahan yang menyangkut tentang politik etnis dalam pemilihan kepala daerah sehingga penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian berikutnya.

2. Manfaat Praktis

2.1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui alasan partai politik sering mencalonkan pasangan calon kepala daerah


(36)

berdasarkan etnisitas Lampung-Jawa atau sebaliknya Jawa-Lampung dalam menghadapi pemilihan kepala daerah di Lampung.

2.2. Untuk mendeskripsikan fenomena penggunaan identitas etnis dalam wujud simbol-simbol etnik yang digunakan oleh pasangan calon sebagai strategi politik dalam menghadapi pemilihan kepala daerah di Lampung. 2.3. Memberikan sumbangsih pemikiran bagaimana menjadi masyarakat untuk hidup berpolitik yang baik dan demokratis tanpa melihat perbedaan agama, bahasa, budaya maupun etnis.


(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Politik

Asal mula kata politik itu sendiri berasal dari kata polis yang berarti negara kota, dengan politik berarti ada hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan, kewenangan, perilaku pejabat, legalitas kekuasaan dan akhirnya kekuasaan (Syafiie 2010: 11). Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis (Budiardjo, 2012: 15).

Politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha mendamaikan perbedaan-perbedaan di antara anggota-anggotanya. Politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemenkan peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama (Heywood dalam Budiardjo, 2012: 16).

Ossip K. Fletcteim dalam Fundamental of Political Science menegaskan bahwa ilmu politik adalah ilmu sosial yang khusus mempelajari sifat dan tujuan dari negara sejauh negara merupakan organisasi kekuasaan, beserta sifat dan tujuan


(38)

dari gejala-gejala kekuasaan lain yang tidak resmi yang dapat mempengaruhi negara. Menurut Robbert A. Dahl ilmu politik, untuk selanjutnya akan dianggap pelajaran tentang negara, maksud dan tujuan negara, lembaga yang mlaksanakan tujuan tersebut, hubungan antarnegara dengan warga negaranya, serta hubungan antar negara, dan juga apa yang dipikirkan warganya (Syafiie, 2010: 10).

Menurut Johan K. Bluntschili ilmu politik adalah ilmu yang memperhatikan masalah kenegaraan, yaitu yang berusaha keras untuk mengerti dalam paham kondisi situasi negara, yang bersifat penting dalam berbagai bentuk manifestasi pembangunan. Menurut Raymond ilmu politik adalah ilmu yang membahas negara, hal tersebut berlaku baik antar seseorang dengan orang lain yang paling ujung sekalipun disentuh hukum, hubungan antar perorangan, ataupun kelompok orang-orang dengan negaranya, serta hubungan negara dengan negara (Syafiie, 2010: 10).

Dari uraian teori di atas, dapat disimpulkan bahwa politik adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang aspek yang bersifat kenegaraan, dimana aspek yang dipelajari berfokus pada kekuasaan, dimana kekuasaan dijadikan sebagai objek dalam mengatur tingkah laku manusia dan alat untuk membuat kebijakan dalam kehidupan bernegara. Politik sangat erat kaitannya juga dengan memperebutkan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan, namun perlu diingat juga bahwa kekuasaan itu tidak hanya diperebutkan dan dipertahankan saja, melainkan juga harus dijalankan dengan benar dalam kehidupan bernegara demi kehidupan masyarakat yang lebih baik.


(39)

19

B. Tinjauan Etnis dan Etnisitas

Dari sudut pandang etimologis, etnis berasal dari bahasa Yunani, ethnos yang diterjemahkan sebagai bangsa (nation) atau suatu komonitas manusia yang memiliki bahasa atau kebudayaan yang sama. Pada esensinya kelompok etnis itu didasarkan pada keyakinan subjektif tentang suatu komunitas bersama (Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 361). Identitas etnis adalah kategori sosial dimana “eligibilitas” keanggotaannya ditentukan oleh garis keturunan (Chandra dalam Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 363).

Sementara banyak dari pandangan awal mengenai kelompok etnis sebagai natural (kerapkali mencampur etnisitas dengan ras, misalnya ras Jerman, ras Inggris), tokoh besar sosiolog Jerman pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, Max Weber berpendapat bahwa kelompok etnis itu artifial dan dikonstruksi secara sosial. Pada esensinya kelompok etnis itu didasarkan pada keyakinan subjektif tentang suatu komunitas bersama. Keyakinan inilah yang menciptakan kelompok, dan motivasi untuk membentuk kelompok itu berasal dari hasrat untuk meraih kekuasaan politik (Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 361).

Etnisitas mengalami perubahan terus-menerus dan bahwa keanggotaan suatu kelompok etnis sering dinegosiasikan dan dinegosiasikan kembali, tergantung pada perjuangan politik di antara kelompok-kelompok. Sejak itu banyak ahli ilmu sosial yang mencatat fleksibilitas batas-batas kelompok etnis. Joan Vincent 1974 (dalam Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013:362) juga mencatat bahwa batas-batas etnis sering bersifat cair dan bergerak mirip air raksa (Barth dalam Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 361).


(40)

Etnisitas dapat dipersempit atau diperluas batas-batasnya sesuai dengan kebutuhan spesifik mobilisasi politik. Itulah sebabnya mengapa keturunan kadang-kadang menjadi penanda (marker) etnisitas dan kadang-kadang tidak, tergantung pada situasi politik (Ronald Cohen dalam Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 362). Identitas etnis tidaklah bersifat imajinasi belaka dan sepenuhnya cair, namun ada karakter-karakter objektif yang membatasi identitas (Greenfeld dalam Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 362). Perbandingan politik modern menggunakan etnisitas sebagai konsep yang mencakup atribut-atribut, merujuk kepada konsep etnisitas sebagai istilah yang memiliki pengertian luas yang mencakup berbagai kelompok yang dibedakan berdasarkan warna kulit, bahasa, agama; yang meliputi suku, ras, nasionalitas dan kasta (Horowitz dalam Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 362).

Etnisitas adalah konsep budaya yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktik budaya. Terbentuknya suku bangsa bersandar pada penanda budaya yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang dalam konteks hostoris, sosial dan politis tertentu yang mendorong rasa memiliki yang paling tidak, sebagian didasarkan pada nenek moyang mitologis yang sama. Etnisitas dibentuk oleh cara kita berbicara tentang identitas kelompok dan mengidentifikasikan diri dengan tanda dan simbol yang membangun etnisitas. Etnisitas adalah konsep yang berhubungan dengan kategori identifikasi diri dan askripsi sosial (Barker, 2004: 201).

Etnisitas sebagai salah satu kategori dalam sosiologi politik berkembang seiring dengan perubahan pola politik identitas. Dalam tatanan rezim politik yang bersifat tertutup, etnisitas secara sengaja dicoba untuk dieliminasi dari panggung arena


(41)

21

politik. Kendati demikian, etnisitas dalam kadar tertentu terus bermain dalam politik identitas dalam panggung kekuasaan secara laten. Sementara itu, dalam tatanan rezim politik yang bersifat terbuka, etnisitas justru nampak terus mengalami penguatan,mendapatkan ruang ekspresi yang semakin luas. Bahkan etnisitas seringkali menjadi dasar legitimasi sejarah sosial politik maupun struktur politik pada level lokal atau daerah (Lampe, 2010: 300).

Kelompok etnis dianggap sebagai kelompok yang anggotanya memiliki warisan cultural dan sosial yang sama yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, rasa memiliki kelompok etnis ini dapat dipengaruhi oleh cara di mana kelompok-kelompok dominan di dalam masyarakat merespon terhadap kelompok tersebut (Rose dalam Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 361). Gerakan politik etnis pada awal perkembangan masih sangat sederhana, perbedaan fisik merupakan senjata tersendiri. Orientasi gerakan politik etnis kala itu adalah untuk kekuasaan, penguasaan wilayah, penguasaan sumber-sumber ekonomi bahkan penguasaan manusianya (kelompok etnis lain). Pada era politik modern, politik etnis mengikuti arah perkembangannya, muatan-muatan ideologis muncul. Kesadaran etnis kemudian menjadi besar dan menjelma menjadi suatu kesadaran suku dan wilayah yang lebih luas mengarah kepada bangsa. Muncul kemudian negara etnis (ethno-national) (Abdilah S, 2002: 203).

Ketika usai masa imperialisme dan kolonialisme, kesadaran etnis atau nasionalisme banyak yang bermunculan bersamaan dengan maraknya kemerdekaan sebagai tanda berakhirnya Perang Dunia II. Akan tetapi, kemudian politik identitas etnis menjadi wacana perbedaan lain dalam konteks postmodern.


(42)

Politik postmodern menjadi arena pertarungan politik bagi persaingan dan perjuangan identitas-identitas. Dalam wacana postmodern, konsep etnis mengacu pada kelompok atau individu yang mempunyai cirri dan penampilan asing, unik , dan marginal. Dalam hal ini politik identitas etnis beraksi dalam artikulasi-artikulasi kebudayaan (Abdilah S, 2002: 203).

Identitas etnis melibatkan pandangan subjektif dan objektif berupa sub-perangkat dari kategori-kategori identitas, di mana eligibilitas keanggotaanya ditentukan oleh atribut-atribut yang dikaitkan dengan, atau diyakini berkaitan dengan garis keturunan atau dengan kata lain kategori sosial di mana egibilitas keanggotaannya ditentukan oleh atribut berbasis keturunan (Chandra dalam Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 362). Atribut-atribut itu mencakup sebagai berikut:

“Unsur-unsur yang diperoleh secara genetik (misalnya, warna kulit, gender, tipe rambut, warna mata, tinggi badan, dan ciri-ciri fisik), atau melalui pewarisan budaya dan sejarah (misalnya, nama, bahasa, tempat kelahiran dan asal usul orang tua dan nenek moyang), atau diperoleh dan disandang sepanjang hayat sebagai penanda suatu warisan (misalnya, nama keluarga, atau nama suku atau marga). Selanjutnya, termasuk pula atribut-atribut yang diyakini terkait dengan keturunan, yang berarti atribut-atribut yang terkait dengan mitos-mitos dan diasosiasikan dengan keturunan, tak soal apakah sosialisasi itu benar-benar ada atau tidak dalam kenyataan. Oleh karena itu, definisi ini meliputi elemen subjektif dan objektif (Chandra dalam Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 362)”.

Pendekatan pertama (primordialisme) secara umum memandang identitas etnis sebagai “bawaan lahir” (innate) dan alamiah (natural) dalam konteks tertentu. Berbagai variasi primordialisme, termasuk primordialisme esensialis dan primordialisme kekerabatan. Primordialisme esensialis mengatakan bahwa etnisitas adalah fakta biologi alamiah, dan oleh sebab itu etnisitas mendahului masyarakat manusia. Literatur primordialis kekerabatan mengemukakan bahwa


(43)

23

kelompok etnis adalah perluasan komunitas kekerabatan berdasarkan hubungan darah (Anthony Smith dalam Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 363).

Salah satu pendekatan ini ditawarkan oleh Clifford Geertz, yang mengemukakan bahwa identitas etnis tidak sepenuhnya berdasarkan “hubungan ikatan darah,” tetapi ikatan etnis (ethnic ties) dan ikatan kelompok (group bonding) adalah proses natural (karena ciri-ciri objektif rasial dan fisik membantu terbentuknya ikatan sosial). Ikatan etnis merepresentasikan ikatan sosial permanen yang melestarikan diri sendiri (self-sustaining) yang tidak rentan terhadap manipulasi manusia (Geertz dalam Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 363). Selanjutnya, perspektif situasional (juga dikenal sebagain pendekatan konstruksionis atau instrumentalis) mengemukakan bahwa identitas etnis dikonstruksi secara sosial.

Definisi kelompok, identifikasi batas-batasnya, kerap kali dinegosiasikan, dan bagaimana batas-batas ini diredefinisikan akan bergantung pada situasi dan lingkungan spesifik yang dihadapi oleh setiap kelompok. Manusia mengaitkan dirinya pada kelompok-kelompok, dan kekuatan-kekuatan dari keterkaitan untuk mempengaruhi kehidupan dan aktivitas manusia (Burke dan Reitzers dalam Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 363).

Pendekatan instrumentalis menyatakan bahwa identitas etnis adalah konstruksi sosial yang memandang terciptanya identitas adalah sebagai produk manipulasi simbol-simbol kebudayaan dan kekerabatan oleh para pelaku politik untuk mendapatkan keuntungan politik. Pendekatan ini memandang bahwa etnisitas adalah sebagai hasil dari strategi politik, biasanya untuk mencapai tujuan yang


(44)

lain, seperti kekuasaan politik, akses ke sumber daya, dan meningkatkan status dan kekayaan (Cohen 1974 dalam Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 363).

Dalam perspektif situasional, beberapa subteori berupaya menjelaskan bagaimana identitas etnis dibentuk dan dibentuk ulang. Beberapa sosiolog, misalnya, berargumen bahwa identitas etnis dapat muncul atau dimunculkan kembali (resurgent). Orang-orang yang percaya pada adanya kebangkitan identitas etnis menerima gagasan identitas tradisional atau nenek moyang dapat muncul kembali sebagai akibat dari historis khusus (Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 363). Sikap kedudukan atas nama posmodernitas dalam kebudayaan baik bentuk apologi maupun stigmatisasi pada suatu ketika dan pada waktu yang sama secara eksplisit maupun implisit merupakan sikap mental politik atas kapitalisme multinasional. Politik identitas dalam konteks itu mempunyai makna yang selaras, yaitu politik perbedaan (politic of diffence). Situasi posmodernitas adalah situasi keanekaragaman entitas-entitas perbedaan (Michael Daer dalam Abdilah S, 2002: 19).

Ada beberapa faktor mengapa tarikan politik identitas etnis semakin kuat dalam sistem pemilihan kepala daerah diantaranya adalah, menguatnya fenomena etnosentrisme dalam pemilihan kepala daerah secara langsung yang acapkali melanggar aturan main dari tata cara demokrasi. Awal kemunculan hal ini sangat mudah ditebak dimana para calon kepala daerah ataupun calon anggota legislatif yang bertarung dalam sebuah kontestasi politik sangat mengagungkan simbol-simbiol identitas yang dijadikan sebagai vote getter (Sarumpaet, 2012: 52-59).


(45)

25

Selanjutnya, ketidakmampuan partai politik di daerah untuk menjalankan fungsi sebagai mana mestinya terkhusus dalam hal civic education dan political recruitment. Ada kesan bahwa partai politik hanya berfungsi sebagai kendaraan untuk meloloskan kandidat tertentu dalam momen pilkada. Partai politik justru mencari elit-elit politik dari kalangan selebritis ataupun menggunakan elit politik di daerah yang memiliki basis jejaring-jejaring kekerabatan primordial dari paguyuban-paguyuban kelompok tertentu tanpa menghiraukan kualitas dan kapabilitasnya kepemimpinannya (Sarumpaet, 2012: 52-59).

Persoalan etnisitas dan politik identitas hingga saat ini nampak terus menimbulkan berbagai persoalan di beberapa negara, termasuk mereka yang telah menganut sistem demokrasi. Etnisitas dan politik identitas nampak mendapatkan perhatian penting dari berbagai kalangan. Pertama, dari kalangan akademisi dan peneliti, persoalan identitas dan politik identitas masih cenderung dianggap sebagai salah satu persoalan mendasar dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Bahkan politik etnisitas dan politik identitas sempat memicu menguatnya berbagai konflik sosial di Indonesia (Ahmad, 2008: 23-30).

Dalam banyak hal, bahkan konflik sosial tersebut semakin sulit diuraikan dari berbagai arus kepentingan ekonomi-politik dan seringkali terus hadir menyertai peristiwa politik lokal dan nasional. Kedua, di kalangan partai politik dan elit politik, keberadaan politik etnisitas dan politik identitas nampak masih dipandang penting sebagai salah satu medium dalam arena mobilisasi politik (political tools), membangun jaringan politik (political networking), membangun koalisi-koalisi politik, dan membangun jaringan lobi politik. Hingga saat ini, bahkan nampak


(46)

masih sulit dihindari bagi kalangan partai politik dan elit politik untuk dapat membangun sistem kepartaian modern yang mampu lepas dari politik etnisitas dan politik identitas (Ahmad, 2008: 23-30).

Ketiga, di kalangan birokrasi dan jajaran eksekutif, politik etnisitas dan politik identitas juga nampak terus mewarnai wajah birokrasi nasional dan lokal. Politik etnisitas dan politik identitas dalam hal ini terus berkembang, baik secara laten dan manifest dan seringkali sangat menentukan dalam berbagai arena pengambil kebijakan hingga implementasi kebijakan (Ahmad, 2008: 23-30).

Keempat, di kalangan budayawan, politik etnisitas dan politik identitas bahkan nampak lekat dan bahkan menjadi domain utama dalam arena kebudayaan. Pada konteks ini, etnisitas dianggap cenderung sulit terpisahkan dari identitas kebudayaan. Namun dalam konteks ini yang lebih ditonjolkan adalah aspek identitas kebudayaan dibandingkan aspek etnisitas/suku. Kelima, di kalangan publik, politik etnisitas dan politik identitas nampak terus hadir di lingkungan sosial, lingkungan politik dan juga lingkungan ekonomi-politik. Kesadaran publik setelah kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sempat memunculkan isu kedaerahan, termasuk di dalamnya isu putra daerah dan etnis asli atau etnis pribumi dan etnis pendatang, etnis terbesar dan etnis minoritas (Ahmad, 2008: 23-30).

Arena politik etnisitas dan politik identitas nampak terus berkembang pasca reformasi. Berbagai kekhawatiran nampak terus disuarakan oleh beberapa kalangan akademisi maupun peneliti, kalangan politisi, elit politik dan para tokoh politik akan berbagai resiko kegagalan pengelolaan seiring dengan menguatnya


(47)

27

politik etnisitas dan politik identitas (Ahmad, 2008: 23-30). Studi komprehensif terbaru tentang identitas etnik dilakukan Pusat Arkeologi, Universitas Amsterdam. Studi yang melibatkan berbagai ilmuan dari beragam latar belakang disiplin ilmu ini menyimpulkan bahwa konstruksi identitas etnik sering berhubungan dengan pertanyaan kekuasaan, agama, hokum, dan gender. Oleh karena itu konstruksi identitas etnik selalu dibangun dalam hubungannya dengan sistem politik, dengan politik yang mendefinisikan etnik, bukan sebaliknya (Sjaf, 2014: 33).

Isu etnisitas atau identitas etnis memang sering dimunculkan kembali oleh elit lokal maupun elit politik dalam satu dekade terakhir pada saat pemilihan kepala daerah di Provinsi Lampung baik di tingkat kabupaten, kota, hingga pada tingkat provinsi sekalipun sebagai salah satu basis strategi politik untuk mendapatkan simpati masyarakat. Bahkan identitas etnis sering dimunculkan kembali oleh para kandidat dalam hampir setiap pertarungan pemilihan kepala daerah untuk menarik masyarakat pribumi atau yang biasa dikenal dengan isu putra daerah sampai mencari simpati dari masyarakat mayoritas di bumi ruwa jurai ini.

Sehingga tidak heran jika dalam setiap pemilihan kepala daerah di Lampung, etnis Lampung sebagai etnis pribumi dan etnis Jawa sebagai etnis mayoritas di Provinsi Lampung ini selalu menjadi perhatian utama elit lokal dan elit politik. Bahkan komposisi etnis pasangan calon kepala daerah dengan komposisi etnis Jawa-Lampung atau sebaliknya Jawa-Lampung-Jawa sering menjadi kombinasi yang diusung oleh partai politik untuk maju dalam hampir setiap pertarungan pemilihan kepala daerah di tanah Lampung ini, sebab dalam satu dekade terakhir komposisi pasangan calon kepala daerah dengan latar belakang etnis Jawa-lampung atau


(48)

sebaliknya Lampung-Jawa masih mendominasi dalam setiap pertarungan pemilihan kepala daerah di tanah Lampung ini.

C. Tinjauan Simbol Etnik

Simbol-simbol etnik dibedakan menjadi dua macam, yaitu simbol prentasional dan simbol diskursif. Simbol Presentasional adalah simbol yang cara penangkapannya tidak terlampaui membutuhkan intelektual. Sedangkan simbol diskursif adalah simbol yang cara penangkapannya cenderung menggunakan intelektual dan mempunyai sistem yang tidak dapat diabaikan dan dibangun oleh unsur-unsur menurut perhubungan tertentu yang kemudian baru dapat dipahami maknanya (Susanne dalam Riastuti 2009: 12). Simbol-simbol etnik dalam proses pemilihan kepala daerah dibedakan dalam dua tataran yaitu:

1. Simbol dalam tataran konsep, dimana simbol-simbol etnik digunakan dalam lingkup masyarakat secara umum, dan

2. Simbol dalam tataran praktis, dimana simbol-simbol etnik digunakan dalam rangka menghadapi masyarakat dari etnik tertentu (Gunadi dalam Riastuti 2009: 72).

Simbol-simbol etnik menjadi salah satu bagian penting dalam proses interaksi antara masyarakat yang berbeda etnik. Simbol-simbol dan atribut etnik menjadi pembeda bagi siapa saja dalam interaksi sosial, termasuk dalam hal bagaimana seseorang menjalani peran-peran politik. Ini berarti bahwa seorang politisi juga menghadapi situasi yang sama dalam interaksi mereka dalam masyarakat. Aktifitas komunikasi politik sebagai kunci keberhasilan seseorang dalam meraih


(49)

29

sukses dalam peran politik tentu saja harus menggunakan identitas etnik tersebut untuk memperluas penerimaan masyarakat (Lampe, 2010: 300).

Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka akan menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengolahan kesan” (impression management) yakni teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu (Lampe, 2010: 301). Perspektif Barth mengilhami banyak ahli untuk meneliti apa yang disebut sebagai etnisitas situasional, yaitu bagaimana identitas etnik digunakan individu-individu dalam interaksi dengan orang lain. Individu menganggap identitas etnik sebagai dinamik, cair, situasional sebagaimana ditunjukkan Amstrong (1986), dan Mulyana (1994). Individu menunjukkan bagaimana identitas etnik dan lambang-lambangnya dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan pribadi, sosial, ekonomi, dan politis tertentu (Lampe, 2010: 302).

Untuk menjelaskan konsep dalam hubungannya dengan identitas keetnikan yang dimaksud dalam penelitian ini, maka digunakan konsep-konsep identitas etnik perspektif Frederik Barth. Barth mengembangkan teorinya dalam konteks identitas etnik, yang disebutnya keetnikan situasional (situational ethnicity). Pada batas ini para aktor berupaya mengeksploitasi simbol-simbol budaya dan menampilkan perilaku etnik tertentu yang berubah-ubah dari waktu-kewaktu, sesuai situasi tertentu, atau sesuai dengan kepentingan pribadi atau sosial (Mulyana dalam Lape, 2010: 301).


(50)

D. Tinjauan Partai Politik

1. Pengertian Partai Politik

Partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik, biasanya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya (Budiardjo, 2012: 404).

Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merbut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiill dan materiil (Friedrich dalam Budiardjo, 2012: 404). Partai politik lebih berorientasi kepada kekuasaan dan penggunaan mekanisme pemilu sebagai cara mencapai kekuasaan (Pamungkas, 2011: 3)

2. Fungsi Partai Politik

Tiga fungsi partai politik, yaitu artikulasi, agregasi, dan rekruitmen, memiliki dua peran fundamental dimana partai politik bermain dalam proses politik, mereka membentuk pemerintahan, atau mereka menjadi oposisi. Posisi suatu partai, yaitu menjadi penguasa atau oposisi akan menentukan fungsi artikulasi, agregasi, dan rekruitmen politik tersebut seperti pada tabel berikut:


(51)

31

Tabel 2.1 Fungsi Partai dalam negara demokrasi

Artikulasi Agregasi Rekruitmen

Pemerintah Melaksanakan

kebijakan Melanggengkan dukungan kepada pemerintah Mengisi posisi-posisi pemerintahan

Oposisi Mengembangkan

alternative Mendapatkan dukungan untuk perubahan Membangun kelompok orang yang kompeten

(Caton dalam Pamungkas 2011: 20).

Jika sebuah partai sedang berkuasa maka fungsi artikulasi diwujudkan dalam bentuk melaksanakan kebijakan pemerintah atau partai; fungsi agregasi diwujudkan dengan melanggengkan dukungan kepada pemerintah; fungsi rekruitmen diwujudkan dengan mengisi posisi-posisi pemerintahan. Ketika suatu partai tidak sedang memerintah atau menjadi oposisi maka fungsi partai diwujudkan dengan cara yang berbeda, fungsi artikulasi akan diwujudkan dengan cara mengembangkan alternative kebijakan, fungsi agregasi diwujudkan dengan partai berusaha mendapatkan dukungan publik untuk perubahan, dan fungsi rekruitmen diwujudkan dalam membangun kelompok orang yang kompeten sebagai alternative pejabat yang sedang berkuasa (Pamungkas, 2011: 20).

E. Tinjauan Kepala Daerah

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kepala daerah adalah orang yang mengepalai suatu daerah (pemerintahan). Sebagai daerah otonom, gubernur sebagai kepala daerah (selanjutnya disebut KDH) provinsi, bupati sebagai KDH kabupaten, dan walikota sebagai KDH kota, yang masing-masing didampingi oleh


(52)

wakil kepala daerah (wakil KDH). Khusus untuk provinsi, disamping sebagai daerah otonom dalam rangka desentralisasi, juga sebagai daerah administrasi dalam rangka dekonsentrasi. Oleh karena itu, gubernur sebagai KDH juga sebagai wakil pemerintah pusat dalam rangka dekonsentrasi (Melfa, 2013: 5).

Konteks Indonesia, yang dimaksud kepala daerah adalah; gubernur sebagai kepala daerah provinsi, bupati sebagai kepala daerah kabupaten, dan walikota sebagai kepala daerah kota. Urainnya yaitu: Gubernur, kata gubernur berasala dari bahasa Belanda “gouvernuur”, “governeur” (Perancis), “governor” (Inggris). Jabatan gubernur adalah jabatan pemerintah daerah yang biasa disebut dengan provinsi. Jabatan gubernur bukanlah kepala dari gabungan institusi gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi (Melfa, 2013: 6).

Sebagai KDH, gubernur menjalankan fungsi selaku penyelenggara pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Oleh karena itu penyelenggara pemerintahan daerah tersebut terletak pada kewenangan provinsi yang memiliki otonomi terbatas, yaitu pertama: kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten atau kota; kedua: kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan daerah kabupaten dan kota; ketiga: kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu. Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat, kewenangan gubernur tergantung pelimpahan wewenang yang berasal dari ataupun yang diberikan pemerintah pusat. Dengan demikian, kedudukan dan peran gubernur yang diharapkan akan menjadi penyeimbang dan penyelaras (antara kepentingan pemerintah pusat dan daerah kabupaten atau kota) serta pemersatu bangsa. (Melfa, 2013: 7).


(53)

33

Gubernur sebagai KDH, menjalankan peran ganda yang harus dilakukan, pertama: sebagai kepala daerah otonom, mempunyai tugas dan wewenang untuk mengurus rumah tangganya sendiri; kedua: sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, bertugas dan memiliki wewenang untuk mengawasi sekaligus melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah kabupaten dan kota. Peran pemerintah provinsi hanya bersifat sebagai fasilitasi dan pengawasan jalannya pemerintahan sebagaimana kedudukannya selaku wakil pemerintah pusat di daerah, untuk menjamin rasa persatuan dan kesatuan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Melfa, 2013: 8).

Jabatan gubernur adalah jabatan publik, karena pada jabatan gubernur tersebut melekat fungsi publik, dimana penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk pelayanan kepada publik (public services) dengan tujuan terwujudnnya kesejahteraan rakyat banyak, umum, atau rakyat yang berada di daerah yang bersangkutan (Melfa, 2013: 8).

Bupati, kepala daerah untuk tingkatan kabupaten disebut bupati, dan wakilnya disebut wakil bupati. Bupati yaitu jabatan atau sebutan KDH kabupaten yang sebagian besar daerahnya adalah pedesaan meskipun juga terdapat sebagian kecil daerah perkotaan pada wilayahnya. Walikota, kepala daerah untuk tingkatan kotadisebut walikota, dan wakilnya disebut wakil walikota. Walikota yaitu jabatan atau sebutan KDH kota yang sebagian besar daerahnya adalah perkotaan pada wilayahnya (Melfa, 2013: 9).


(54)

Jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota selaku kepala pemerintahan eksekutif di daerah merupakan jabatan politik yang harus dibedakan dari abatan-jabatan yang bersifat teknis administrative. Jabatan politik diisi dengan prosedur politik (political appointment), sedangkan jabatan administrative diisi menurut prosedur teknis administratif (Melfa, 2013: 10).

F. Tinjauan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan sistem perjalanan politik panjang yang diwarnai tarik-menarik antara kepentingan elit politik dan kehendak publik, kepentingan pusat dan daerah, atau bahkan antara kepentingan nasional dan internasional. Sejak kemerdekaan, ketentuan mengenai pemerintahan daerah (termasuk di dalamnya mekanisme pemilihan kepala daerah) diatur dalam seumlah undang-undang (UU), yaitu mulai dari UU Nomor 1 Tahun 1945, UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, UU Nomor 18 Tahun 1965, UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 (Suharizal, 2011: 15).

1. Pilkada Langsung menurut UU Nomor 32 Tahun 2004

Pada tanggal 29 September 2004 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 1999-2004 telah menyetujui rancangan undang-undang (RUU) tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 1999. Salah satu materi UU ini adalah mengenai pilkada langsung yang dimuat dalam bab IV tentang Penyelenggaraan Pemerintahan, bagian kedelapan dari


(55)

35

Pasal 56 hingga Pasal 119. Pada pokoknya pasal-pasal tersebut mengatur tentang pilkada langsung yang menurut Ketentuan Peralihan Pasal 233 ayat (1) akan dilaksanakan mulai Juni 2005 (Suharizal, 2011: 36).

Pilkada sebetulnya merupakan alat untuk menjawab hiruk-pikuk, gaduh, dan kisruh proses maupun hasil pilkada secara tidak langsung lewat DPRD di bawah UU Nomor 22 tahun 1999. Pilkada langsung menjadi kebutuhan yang sangat mendesak guna mengoreksi sesegera mungkin segala kelemahan dalam pilkada masa lalu. Pilkada bermanfaat untuk menegakkan kedaulatan rakyat atau menguatkan demokrasi lokal, baik pada lingkungan pemerintahan (governance) maupun lingkungan kemasyarakatan (civil society) (Suharizal, 2011: 37).

Terdapat beberapa pertimbangan yang melandasi pilkada langsung adalah: (1) sistem pemerintahan menurut UUD 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah; (2) dalam menyelenggarakan otonomi daerah dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi; dan (3) dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, ksejahteraan masyarakat, hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah serta antardaerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kedudukan kepala daerah mempunyai peran yang sangat strategis (Suryatmaja dalam Suharizal, 2011: 38).


(56)

2. Pemilukada menurut UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu

UU Nomor 22 Tahun 2007 merupakan kompilasi dan penyempurnaan yang komprehensif dalam satu UU terhadap semua pengaturan penyelenggaraan pemilu, meliputi: pemilu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); pemilu Presiden dan Wakil Presiden; serta pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Inilah UU yang menyebut pertama kali pilkada sebagai pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam hal ini sebagai penyelenggara pilkada (Suharizal, 2011: 76)

Di dalam undang-undang ini diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang permanen. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan pemilu dalam rangka mengawal terwujudnya pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, juur, dan adil.

3. Pilkada menurut UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Pilkada Menurut UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah dibentuk guna menyempurnakan regulasi pilkada langsung. UU Nomor 12 Tahun 2008


(57)

37

memuat aturan tentang keterlibatan calon perseorangan dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) (Suharizal, 2011: 77).

G. Kerangka Pikir:

Pada dewasa ini identitas etnis dijadikan alat bagi elit lokal maupun elit politik untuk menjadi kekuatan yang sangat strategis dan efektif dalam ranah sosial dan politik untuk medapatkan dukungan masyarakat dengan identitas etnis yang sama atau dengan latar belakang etnisitas. Pendekatan instrumentalis menyatakan bahwa identitas etnis adalah konstruksi sosial yang memandang terciptanya identitas adalah sebagai produk manipulasi simbol-simbol kebudayaan dan kekerabatan oleh para pelaku politik untuk mendapatkan keuntungan politik. Pendekatan ini memandang bahwa etnisitas adalah sebagai hasil dari strategi politik, biasanya untuk mencapai tujuan yang lain, seperti kekuasaan politik, akses ke sumber daya, dan meningkatkan status dan kekayaan (Cohen dalam Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 363).

Isu etnisitas atau identitas etnis memang sering dimunculkan kembali oleh elit lokal maupun elit politik dalam satu dekade terakhir pada saat pemilihan kepala daerah di Provinsi Lampung baik di tingkat kabupaten, kota, hingga pada tingkat provinsi sekalipun sebagai salah satu basis strategi politik untuk mendapatkan simpati masyarakat. Bahkan identitas etnis sering dimunculkan kembali oleh para kandidat dalam hampir setiap pertarungan pemilihan kepala daerah dalam wujud simbolik etnik dengan tujuan untuk menarik masyarakat yang dianggap ideal yaitu


(58)

masyarakat pribumi atau yang biasa dikenal dengan istilah putra asli daerah sampai mencari simpati dari masyarakat mayoritas di bumi ruwa jurai ini.

Tidak heran jika dalam setiap pemilihan kepala daerah di Lampung, etnis Lampung sebagai etnis pribumi dan etnis Jawa sebagai etnis mayoritas di Provinsi Lampung ini selalu menjadi perhatian utama elit lokal maupun elit politik yang akan maju dalam pertarungan pemilihan kepala daerah, sebab dalam satu dekade terakhir komposisi pasangan calon kepala daerah dengan latar belakang etnis Jawa-lampung atau sebaliknya Lampung-Jawa masih mendominasi sebagai pemenang dalam hampir setiap pertarungan pemilihan kepala daerah di tanah Lampung ini.

Bahkan komposisi etnis pasangan calon kepala daerah dengan komposisi etnis Jawa-Lampung atau sebaliknya Lampung-Jawa secara jelas sering menjadi kombinasi yang ideal untuk diusung atau dicalonkan oleh partai politik untuk maju dalam hampir setiap pertarungan pemilihan kepala daerah di tanah Lampung ini tidak terkecuali pada pelaksanaan Pemilihan Gubernur Lampung Tahun 2014, dimana ada dua nama pasangan calon kepala daerah yang merupakan gabungan dari komposisi etnis Lampung-Jawa atau sebaliknya Jawa-Lampung yaitu M. Alzier Dianis Thabranie-Lukman Hakim dan M. Ridho Ficardo-Bachtiar Basri.

Identitas etnis yang melibatkan pandangan subjektif dan objektif berupa sub-perangkat dari kategori-kategori identitas, di mana eligibilitas keanggotaanya ditentukan oleh atribut-atribut yang dikaitkan dengan, atau diyakini berkaitan dengan garis keturunan atau dengan kata lain kategori sosial di mana egibilitas keanggotaannya ditentukan oleh atribut berbasis keturunan (Chandra dalam


(59)

39

Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 362). Etnisitas adalah tipe identitas sosial berbasis kelompok, seperti identitas berbasis kelompok lainnya (seperti kelas dan klan). Namun etnisitas memberikan efek khusus yang kuat terhadap perilaku politik pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Secara umum, perbincangan akademik awal mengenai pembentukkan identitas etnis ditandai oleh dua perdebatan besar atau apa yang disebut persepektif primordial versus persepektif situasional (Eriksen dalam Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 363).

Pendekatan pertama (primordialisme) secara umum memandang identitas etnis sebagai “bawaan lahir” (innate) dan alamiah (natural) dalam konteks tertentu. Anthony Smith (1986) mengidentifikasi berbagai variasi primordialisme, termasuk primordialisme esensialis dan primordialisme kekerabatan. Primordialisme esensialis mengatakan bahwa etnisitas adalah fakta biologi alamiah, dan oleh sebab itu etnisitas mendahului masyarakat manusia. Literatur primordialis kekerabatan mengemukakan bahwa kelompok etnis adalah perluasan komunitas kekerabatan berdasarkan hubungan darah (Eriksen dalam Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 363).

Salah satu pendekatan ini ditawarkan oleh Clifford Geertz, yang mengemukakan bahwa identitas etnis tidak sepenuhnya berdasarkan “hubungan ikatan darah,” tetapi ikatan etnis (ethnic ties) dan ikatan kelompok (group bonding) adalah proses natural (karena ciri-ciri objektif rasial dan fisik membantu terbentuknya ikatan sosial). Ikatan etnis merepresentasikan ikatan sosial permanen yang melestarikan diri sendiri (self-sustaining) yang tidak rentan terhadap manipulasi manusia (Geertz dalam Ishiyama dan Marijeke Breuning, 2013: 363).


(1)

127

masyarakat Jawa baik di tingkat atas (elit) hingga tingkat bawah (masyarakat), hal ini dikarenakan bahwa etnik Jawa merupakan etnik pendatang yang sudah lama bermukim dan berbaur dengan etnik lokal (etnik Lampung) sejak zaman kolonisasi Belanda, sehingga masyarakat Jawa sebagai etnik pendatang sudah lama berbaur dan berinteraksi dengan penduduk setempat (Lampung) dengan baik dan harmonis.

Pilkada di Lampung dalam satu dekade terakhir tidak hanya menarik dalam hal etnisitas kandidat saja, akan tetapi juga menarik dalam hal simbol-simbol etnik yang dimunculkan oleh pasangan calon pada Pilgub Lampung Tahun 2014. Terbukti dalam pemilihan gubernur Lampung tahun 2014 kemarin, dari empat pasang calon yang maju dalam Pilgub Lampung, dua pasang calon diantaranya kembali menunjukkan atau mengkonstruksi identitas etnis yang dimilikinya dalam wujud politik simbolik atau mengkonstruksi kembali simbol-simbol etnik terhadap masyarakat.

Simbol-simbol etnik yang dimunculkan dan dikonstruksi oleh pasangan calon dalam pemilihan gubernur Lampung tahun 2014 memang cukup bervariatif, seperti penggunaan simbol fisik, seperti blangkon, peci, pakaian adat. Penggunaan simbol bahasa seperti penggunaan bahasa daerah atau logat daerah, mencipatakan lagu kampanye yang dibuat dalam versi bahasa daerah misalnya seperti yang dilakukan oleh tim pemenangan Ridho-Bachtiar misalnya hingga menggelar acara bertajuk adat dan kebudayaan seperti acara wayangan yang digelar oleh pasangan calon yang telah diuraikan di atas.


(2)

128

Hasil penelitian juga dapat disimpulkan bahwa simbol bernuansa atau berbasiskan kebudayaan lebih mendapat respon positif dan antusias yang cukup baik dari masyarakat daripada hanya menunjukkan dan memanfaatkan simbol fisik atau simbol bahasa yang dikonstruksi oleh pasangan calon. Hal ini dapat dilihat dari antusias masyarakat Jawa keturunan Sumatera di Lampung yang sangat antusias saat salah satu pasangan calon seperti yang telah diuraikan di atas menyajikan pergelaran wayangan.

Tidak berbeda jauh dengan etnis Jawa, etnis lokal yaitu etnis Lampung juga sangat antusias saat disajikan acara pergelaran berbasiskan kebudayaan lokal, yaitu festival tari kreasi daerah Lampung. Terbukti dengan menyelenggarakan simbol berbasiskan kebudayaan lebih efektif dalam menarik simpati dan antusias masyarakat dengan terpilihnya pasangan Ridho-Bachtiar selaku pasangan yang menyelenggarakan dan menyajikan pergelaran berbasiskan kebudayaan seperti acara wayangan dan tari kreasi daerah Lampung dalam Pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014.

B. SARAN

1. Sebaiknya dalam pertarungan pemilihan kepala daerah di Lampung, partai politik pengusung kandidat atau pengusung pasangan calon kepala daerah tidak lagi lebih dominan meencalonkan kandidat yang hanya berasal dari etnik pribumi atau etnik Lampung dan etnik mayoritas atau etnik Jawa, melainkan


(3)

129

juga memberikan ruang terhadap kandidat yang berasal dari etnik minoritas misalnya atau etnik-etnik lain di luar etnik Lampung dan etnik Jawa lainnya jika dianggap memiliki kompetensi untuk dapat memajukan Provinsi Lampung ini lebih baik dan mensejahterakan rakyat, hal ini bertujuan juga agar tetap menjaga nilai-nilai demokrasi pancasila di tanah air yang sangat menghargai suatu pluralitas atau keragaman, baik itu keragaman suku, agama, ras maupun budaya.

2. Sebaiknya dalam ranah politik, khusunya dalam pemilihan kepala daerah, elit politik hingga kandidat atau pasangan calon tidak lagi menggunakan atau mengumbar isu-isu etnisitas sebagai alat kampanye yang dimanipulasi sedemikian rupa untuk menarik simpati dari suatu etnik tertentu, melainkan lebih mengedepankan dan menyampaikan visi-misi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang terhadap masyarakat, bukannya menggunakan isu-isu etnisitas yang tidak jarang membuat masyarakat terpetak-petak dan membuat pemilihan kepala daerah menjadi kurang demokratis.

3. Sebaiknya simbol-simbol etnik yang ditonjolkan kembali oleh pasangan calon Gubernur Lampung tahun 2014 tidak dijadikan alat untuk memprovokasi masyarakat Lampung ke dalam suatu masyarakat yang terpetak-petak ke dalam suatu massa berbasiskan etnik yang bisa saja menimbulkan perpecahan atau bahkan konflik horizontal antar suku yang dapat memecahbelah kerukunan masyarakat Lampung, melainkan harus dimanfaatkan sebagai alat yang bermanfaat, misalnya untuk melestarikan budaya adat, budaya lokal, dan budaya daerah yang pada dewasa ini mulai tergusur oleh era modernisasi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdilah S, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis. Magelang: IndonesiaTera.

Badan Pusat Statistik. 2013. Lampung Dalam Angka. Lampung: Badan Pusat Statistik.

Barker, Chris. 2004. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Budiardjo, Miriam. 2012. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Ishiyama, J dan Marijeke Breuning. 2013. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Ke-21 Jilid 1. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Ishiyama, J dan Marijeke Breuning. 2013. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Ke-21 Jilid 2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Melfa, Wendy. 2013. Pemilukada. Bandar Lampung: BE Press.

Moleong, L. J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung; PT Remaja Rosdakarya.

Moleong, L. J. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung; PT Remaja.

Na’im, Akhsan dan Hendry Syaputra. 2011. Kewarganegaraan, Suku Bangsa,

Agama, Dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Pamungkas, Sigit. 2011. Partai Politik. Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism.

Sarosa, Samiaji. 2012. Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar. Jakarta: Permata Puri Media.


(5)

Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Suharizal. 2011. Pemilukada. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Suryabrata, Sumardi. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Syafiie, Inu Kencana. 2010. Ilmu Politik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Skripsi:

Firmansyah, Dedi, 2010, “Politik Etnis Dalam PIilkada” (Studi Atas Pilgub Provinsi Bengkulu Tahun 2005). Skripsi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Riastuti, Frensi, 2009, “Simbol-Simbol Etnik Dalam Pemilihan Kepala Daerah Lampung” (Studi Pada Suksesi Pemilihan Kepala Daerah Lampung Periode 2009-2014). Skripsi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung.

Jurnal:

Ahmad, Nyarwi. 2008. “Politik Identitas dan Etnisitas”. Jurnal Lingkaran Survei Indonesia, volume 9, 23-30.

Haboddin, M. 2012. “Menguatnya Politik Identitas Di Ranah Lokal”: Jurnal Studi Pemerintahan, volume 3 (1), 109-126.

Lampe, Ilyas. 2010. “Identitas Etnik dalam Komunikasi Politik”. Jurnal

Komunikasi Politik, volume 8 (3), 299-313.

Naleng, Adrian Yoro. 2013. Politik Identitas: Jurnal UNIERA, volume 2 (2), 117-131.

Sarumpaet, Budi Ali Mukmin. 2012. “Politik Identitas Etnis dalam Kontestasi Politik Lokal”. Jurnal Kewarganegaraan, volume 12 (2), 52-59.

Dokumen:


(6)

Sensus Penduduk Menurut Suku Bangsa Oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung tahun 2010.

Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara Pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014 Oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi Lampung.

Website:

http://lampung.tribunnews.com/2013/01/24/alzier-cari-calon-wakil-gubernur-orang-jawa, diakses tanggal 03-03-2014, pukul 16.00 WIB.