BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Seiring laju perkembangan pertumbuhan perekonomian yang semakin pesat khususnya pada daerah-daerah yang sedang berkembang, kebutuhan akan
tanah semakin meningkat. Baik itu untuk lahan industri, agraris, permukiman atau bahkan perkantoran instansi pemerintahan termasuk pemerintah daerah semuanya
memerlukan tanah. Terdapat beberapa kota-kota besar yang laju tingkat perekonomiannya begitu pesat, namun tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan
di daerahnya. Penyerobotan tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau lazim disebut
Tanah Negara yaitu tanah yang belum dihaki dengan dengan hak-hak perorangan
beserta tanah-tanah hak yaitu tanah yang sudah punya hak-hak atas tanah primer seperti misalnya hak milik, hak pakai, hak guna usaha, hak guna bangunan dan
lain-lain begitu marak terjadi.
1
Termasuk tanah-tanah yang dalam penguasaan daerah seperti misalnya tanah-tanah yang benar-benar telah menjadi aset daerah
atau pun tanah-tanah yang belum menjadi aset daerah akan tetapi diklaim sebagai tanah aset daerah.
Kondisi seperti ini tentu akan menimbulkan permasalahan baru bagi pemerintah daerah. Pada saat ini banyak dari tanah-tanah yang diduduki oleh
sekelompok masyarakat merupakan tanah negara serta tanah yang masuk sebagai
1
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hal.271.
1
tanah aset milik pemerintah daerah. Jika kondisi ini tidak segera diselesaikan maka tidak menutup kemungkinan akan berpotensi menimbulkan konflik sengketa
agraria kedepannya. Istilah aset pada awalnya merupakan istilah ekonomi, sehingga tidak
dijumpai dalam istilah hukum dan karenanya belum menjadi konsep hukum. Dalam kamus ekonomi, kata aset atau aset berarti Aktiva, yaitu segala sesuatu
yang bernilai komersial yang dimiliki oleh sebuah perusahaan atau individu. Bisa dibagi ke dalam aktiva lancar, investasi, aktiva tetap, aktiva tidak berwujud
seperti hak cipta.
2
Istilah aset baru menjadi konsep hukum ketika diberikan pengertian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan. Pada Lampiran II dari peraturan tersebut memberikan definisi aset, bahwa “Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai danatau dimiliki oleh
pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi danatau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi
masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang diperlihara karena alasan sejarah dan budaya.”
3
Istilah tanah aset daerah harus dibedakan dengan tanah negara. Hal ini penting, karena masih ada persepsi yang merancukan keduanya. Dalam
perkembangannya, penggunaan istilah tanah pemerintah danatau tanah aset
2
Sumadji P, dkk, 2006, Kamus Ekonomi, Wipress, Tanpa Kota, hal.63.
3
Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
daerah dirancukan dengan istilah tanah negara. Oleh Maria S.W. Sumardjono,
4
hal ini dicontohkan, tentang kasus tanah Pertamina Plumpang yang digugat oleh para
penggarapnya. Dinyatakan bahwa dalam kasus pendudukan tanah-tanah oleh penggarap tersebut, para penggugat atau penggarap mendalilkan bahwa tanah
tersebut merupakan tanah negara. Pengadilan Negeri Jakarta Utara berpendapat bahwa tanah tersebut merupakan tanah negara, sedangkan Pengadilan Tata Usaha
Negara berpendapat tanah tersebut tanah pemerintah. Demikian pula mengenai sidang PTUN yang berlangsung terhadap kasus tanah Jatimulyo dan Way Huy di
Lampung Selatan yang mempersoalkan apakah status tanah pertanian seluas 3 Ha tersebut benar-benar tanah negara sebagaimana disebutkan dalam Surat
Keputusan Mendagri. Dari kedua contoh kasus tersebut nampak terlihat masih begitu beragam pemahaman hakim pengadilan umum dan pengadilan tata usaha
negara dalam mengadili perkara yang menyangkut mengenai penguasaan tanah Negara ataupun tanah pemerintah daerah.
5
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria selanjutnya disebut UUPA, penguasaan
tanah-tanah Negara diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
1953 antara lain memuat tentang Ketentuan-ketentuan Khusus pada Pasal 12, yaitu bahwa kepada Daerah Swatantra dapat diberikan penguasaan atas Tanah
Negara oleh Menteri Dalam Negeri, dengan tujuan untuk kemudian diberikan kepada pihak lain dengan sesuatu hak menurut ketentuan Menteri Dalam Negeri
4
Maria S.W, Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, hal.59.
5
Ibid.
yang sekarang Badan Pertanahan Nasional. Daerah Swatantra dalam Pasal 1 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953, ialah daerah yang diberi hak untuk
mengatur rumah tangganya sendiri sebagai yang dimaksud dalam Pasal 131 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Lebih lanjut tentang daerah
swatantra yang juga disebut daerah otonom berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang menyebut Daerah
Otonom itu sebagai Daerah Swatantra yang terdiri dari tiga tingkat Daerah Swatantra dengan otonomi seluas-luasnya, yaitu Tingkat I termasuk Kotapraja
Jakarta Raya; Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III. Sampai dicabutnya Undang-undang tersebut Daerah Swatantra Tingkat III belum sempat terbentuk.
6
Setelah mengalami beberapa pergantian Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, maka terakhir berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa daerah dibagi atas Daerah Provinsi dan Daerah KabupatenKota yang masing-masing memiliki pemerintahan
daerah tersendiri. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, untuk menyelenggarakan penertiban di dalam rangka melaksanakan konversi menurut ketentuan Undang-Undang Pokok
Agraria, terhadap tanah-tanah Negara yang dikuasai dengan hak penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 telah
ditegaskan statusnya sebagaimana diatur berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah
6
Andi Mustari Pide, 1999, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media Pratama, Jakarta, hal.87-88.
Negara dan Ketentuan-Ketentuan Tentang Pelaksanaan Selanjutnya. Dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tersebut antara lain menyatakan,
bahwa Penguasaan Atas Tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953, yang telah diberikan kepada Departemen-
departemen, Direktorat-direktorat, dan Daerah-daerah Swatantra, sepanjang tanah- tanah Negara tersebut dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri
dikonversi menjadi Hak Pakai. Namun apabila penguasaan Tanah Negara tersebut selain dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan
juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan atas Tanah Negara tersebut di atas dikonversi menjadi Hak
Pengelolaan.
7
Pengaturan lebih lanjut dari Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tersebut adalah Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966 tentang
Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966 menyatakan, bahwa Hak Pakai yang diperoleh Departemen-
departemen, Direktorat-direktorat dan Daerah-daerah Swatantra, dan Hak Pengelolaan sebagai dimaksud dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun
1965 harus didaftar.
8
Tanah dalam penguasaan daerah atau lebih sering disebut tanah aset daerah lahir dari tanah negara. Tanah aset daerah maupun tanah negara lahir dari
konsep Hak Menguasai Negara sebagaimana ketentuan Pasal 33 ayat 3 Undang
7
Supriyadi, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah Menemukan Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian atas Eksistensi Tanah Aset Daerah, Prestasi Pustaka, Jakarta, hal. 9.
8
Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
9
Pasal ini menjelaskan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah
pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini berarti pula bahwa
setiap hak atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya dituntut kepastian mengenai subjek, objek, serta pelaksanaan kewenangan haknya.
10
Kata-kata dikuasai oleh negara inilah yang melahirkan konsep Hak Menguasai Negara atas
sumber daya agraria di Indonesia. Konsep hak menguasai tanah oleh negara kemudian secara otentik dijabarkan dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria selanjutnya disebut UUPA yang memberikan wewenang kepada negara untuk :
1 Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; 2
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3 Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Selanjutnya Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa dalam Hak Menguasai
9
Supriyadi, Op.Cit, hal 5.
10
Rusmadi Murad, 2007, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Mandar Maju Bandung, hal.75.
dari Negara tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Apabila mengacu pada konsep UUPA, maka pengertian “dikuasai” oleh
negara dalam hal ini bukan berarti “dimiliki”, melainkan hak yang memberi
wewenang kepada negara untuk mengatur. Kewenangan negara dalam bidang pertanahan merupakan pelimpahan tugas bangsa untuk mengatur dan memimpin
penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dipunyainya.
11
Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai sumber daya alam oleh negara
tersebut semata-mata bersifat publik atau wewenang untuk mengaturwewenang regulasi dan bukan wewenang untuk menguasai tanah secara fisik dan
menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang bersifat pribadi.
12
Menurut Soedargo Gautama menjelaskan mengenai pengertian menguasai ialah mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur yang dapat dipunyai atas bagian dari bumi, air dan ruang angkasa. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa
istilah dikuasai dalam Pasal 2 ayat 2 UUPA bukanlah berarti dimiliki, dengan jalan pikiran demikian jelaslah tidak ada tempat lagi untuk teori-domein, seperti
11
Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta, hal.83.
12
Muhammad Bakri, 2007, Hak menguasai tanah oleh Negara, Citra Media, Yogyakarta. hal.5.
dikenal dalam susunan hukum agraria sediakala karena asas domein verklaring telah dilepaskan dan menyesatkan.
13
Pada tanggal 14 Januari 2004 telah disahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam Undang-Undang tersebut
mengatur mengenai istilah barang milik negaradaerah. Pada bagian ketentuan umum Undang-Undang ini menjelaskan bahwa barang milik negaradaerah adalah
semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBNAPBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Barang yang dimaksud dapat berupa barang
bergerak maupun barang tidak bergerak. Tanah dalam Undang-Undang tersebut termasuk dalam klasifikasi barang tidak bergerak. Hal ini dapat dilihat berawal
dari ketentuan pasal yang mengatur mengenai pemindahtanganan barang milik negaradaerah seperti dalam Pasal 45 ayat 1 dan 2 dan Pasal 46 ayat 1 yang
menyatakan bahwa: 1 Barang milik negaradaerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan
tugas pemerintahan negaradaerah tidak dapat dipindahtangankan. 2 Pemindahtanganan barang milik negaradaerah dilakukan dengan cara
dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPRDPRD.
Selanjutnya dalam Pasal 46 ayat 1 menyatakan bahwa: 1 Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 2
dilakukan untuk: a. pemindahtanganan tanah danatau bangunan.
b. tanah danatau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat ini
tidak termasuk tanah danatau bangunan yang: 1 sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;
2 harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti
sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran; 3 diperuntukkan bagi pegawai negeri;
13
Soedargo Gautama, 1993, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, hal.92-93.
4 diperuntukkan bagi kepentingan umum; 5 dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap dan atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan,
yang jika
status kepemilikannya
dipertahankan tidak layak secara ekonomis. c. pemindahtanganan barang milik negara selain tanah danatau
bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 seratus miliar rupiah.
Sehubungan dengan munculnya istilah Barang Milik Negara dan Barang Milik Daerah pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik NegaraDaerah, terlebih
lagi Pasal 46 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan tanah termasuk sebagai barang milik
NegaraDaerah dan pemindahtanganannya dilakukan dengan jual beli, tukar menukar, hibah serta penyertaan modal pemerintah sesuai Pasal 45 ayat 2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka telah timbul masalah hukum berkaitan dengan Konsep Hak Menguasai Negara
atas Tanah dan penolakan atas Konsep Memiliki Negara atas Tanah berdasarkan Pasal 33 ayat 3 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia juncto Pasal
2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria. Berdasarkan uraian diatas maka telah terjadi disharmonisasi
norma antara Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria jo. Pasal 33 ayat 3 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Akibat hukum yang ditimbulkan dari persoalan ini akan muncul ketika ada seorang individu atau sekelompok masyarakat yang menduduki tanah negara
dalam jangka waktu yang lama. Seiring berjalan waktu, tentu orang tersebut menginginkan kepastian hak atas tanah yang didiaminya selama sekian tahun
dengan cara memohon hak atas tanah negara. Jika tanah yang dimohonkan merupakan tanah negara maka orang tersebut dapat memohonkan hak milik atas
tanah melalui mekanisme permohonan hak atas tanah dan pemberian hak atas tanah oleh Badan Pertanahan Nasional. Akan tetapi jika tanah yang dimohonkan
merupakan tanah yang diklaim sebagai tanah aset daerah atau memang merupakan tanah aset daerah yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan otentik dari
pemerintah daerah setempat maka mekanisme permohonannya adalah melalui pemindahtanganan yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar-menukar, hibah
dan penyertaan modal pemerintah antara pemerintah selaku pemilik barang milik daerah berupa tanah dengan pihak pemohon.
Kemudian permasalahan hukum kedua dalam tesis ini adalah berkaitan dengan apakah pengaturan tentang pemindahtanganan barang milik daerah berupa
tanah dapat menjamin masyarakat yang menguasai secara fisik atas barang milik daerah berupa tanah dalam waktu yang lama, mampu memperoleh hak milik atas
tanah? Dalam penelitian ini dipilih istilah hukum pemindahtanganan karena objek
dari penelitian ini merupakan tanah yang termasuk dalam kategori barang milik daerah berupa tanah yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara. Jadi apabila barang milik daerah berupa tanah
hendak dialihkan kepemilikannya, maka berdasarkan Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
pengalihan tersebut dilakukan dengan cara pemindahtanganan. Dalam penelitian ini, saya telah membandingkan dengan beberapa
penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang tanah aset pemerintah daerah. Adapun penelitian yang mirip dengan penelitian ini antara lain:
1. Jurnal penelitian dari Supriyadi dan Subadi, Staf Pengajar Ilmu Hukum Universitas Merdeka Madiun, Tahun 2001, dengan judul: “Tanah Aset
Daerah Dalam Perspektif Konstitusi”. Rumusan masalah yang terdapat dalam jurnal penelitian ini adalah :
a. Bagaimanakah kajian hukum mengenai Tanah Aset Pemerintah Daerah dari perspektif konstitusi ?
b. Bagaimanakah sistem pengelolaan dari Tanah Aset Pemerintah daerah ?
Simpulan dari permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian jurnal tersebut adalah :
a. Penguasaan dan pengelolaan Tanah Aset Daerah berasaskan publiekrechtelike yang meliputi kewenangan mengadakan kebijakan
beleid dan tindakan untuk pengurusan bestuursdaad, pengaturan regelendaad, pengelolaan beheersdaad, dan pengawasan
toezichthoudensdaad untuk tujuan mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan bestuursdaad.
b. Telah terjadi pergeseran internal dalam UUPA yaitu; a Bergesernya asas hubungan hukum publik publiekrechtelijke antara Negara
danatau Daerah dengan tanah, menjadi adanya hubungan yang bersifat hubungan hukum privat privaatrechtelijke antara Negara
danatau Daerah dengan tanah. c. Pergeseran eksternal terjadi akibat adanya pergeseran internal dalam
UUPA yaitu; a antara UUPA dengan peraturan perundang- undangan di luar UUPA; b dan semakin jauh pergeseran terjadi
atas subyek-subyek pelaksana Hak Menguasai negara atas tanah, Hak Pakai, Hak Pengelolaan yang beraspek hukum publik, bergeser
ke aspek hukum Privat dalam peraturan perundang undangan di luar UUPA.
d. Kebijakan daerah tentang pengelolaan Tanah Aset Daerah pada umumnya telah sinkron dengan peraturan perundang-undangan di
atasnya yaitu; a dengan Perda tentang ijin menempati tempat- tempat tertentu yang dikuasai Pemerintah Daerah; b Tanah-tanah
dengan Hak Pendahuluan yang semula berasal dari; tanah Negara bekas hak Eigendom atas nama Stadsgemeente, tanah Negara bebas
dalam penguasaan Daerah berdasarkan pengakuan dari masyarakat serta pengakuan dari BPN yang berupa sikap diam-nya terhadap
penguasaan tanah tanah Negara oleh Daerah, tanah bekas Hak Eigendom harus telah jelas batas, luas, dan status tanahnya,
sedangkan pendaftaran menjadi Hak pakai, Hak Pengelolaan tidak
menghalangi hak penguasaan oleh Daerah menjadi tanah Aset Daerah.
2. Skripsi dari Muh. Afif Mahfud, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
, dengan judul: “Status Hukum Tanah Aset Daerah Dari Konversi Tanah Belanda Yang Tidak Disertifikatkan Di Kota
Makassar ”. Rumusan masalah yang terdapat dalam jurnal penelitian ini
adalah :
a. Bagaimanakah Status hukum tanah aset daerah dari konversi tanah Belanda yang tidak disertifikatkan?
b. Bagaimanakah Pengamanan yuridis tanah aset daerah secara yuridis formal ?
Simpulan dari permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian jurnal tersebut adalah :
a Status hukum tanah aset daerah dari konversi tanah Belanda yang
tidak disertifikatkan adalah tanah negara. Tanah ini secara fisik dikuasai oleh Pemerintah Daerah Kota Makassar dan penguasaaan
yuridis atas tanah negara tersebut pada Menteri Keuangan sebagai pengelola tanah negara barang milik negara. Pemerintah Kota
Makassar belum memiliki alas hak berupa surat keputusan pemberian hak pakai atas tanah negara dan hak pengelolaan. Oleh
karena itu, Pemerintah Kota Makassar belum menjadi subjek hak atas tanah-tanah tersebut.
b Pengamanan yuridis tanah aset daerah secara yuridis formal
didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik NegaraDaerah ada pada
Pemerintah Kota Makassar. Pengelolaan tanah aset daerah tersebut terwujud dalam tujuh kegiatan termasuk pengamanan yuridis.
Pengamanan yuridis dilakukan melalui penyertifikatan tanah. Penyertifikatan tanah aset daerah dari konversi tanah Belanda
sangat lambat. Bahkan, saat ini hanya terdapat satu tanah aset daerah bekas tanah Belanda yang telah disertifikatkan. Lambatnya
pengamanan yuridis atau penyertifikatan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu minimnya anggaran yang disediakan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD, dokumen yang tidak tersimpan oleh pejabat terdahulu dan kantor yang selalu
berpindah-pindah. Dari uraian beberapa penelitian diatas tidak ditemukan kesamaan, karena fokus
dari pada kajian penelitian ini adalah lebih kepada bagaimana pengaturan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dengan menganalisa
beberapa peraturan Perundang-undangan yang mengatur hal yang sama terkait pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah, sehingga tingkat originalitas
penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. Penelitian tentang pengaturan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah merupakan penelitian
dengan isu hukum yang menarik, untuk itu berdasarkan hal inilah yang melatarbelakangi saya tertarik mengangkat penelitian ini dengan judul:
“PENGATURAN PEMINDAHTANGANAN BARANG MILIK DAERAH BERUPA TANAH UNTUK MASYARAKAT
”.
1.2. Rumusan Masalah