Pengaturan Pemindahtanganan Barang Milik Daerah Berupa Tanah Untuk Masyarakat.

(1)

i

TESIS

PENGATURAN PEMINDAHTANGANAN BARANG

MILIK DAERAH BERUPA TANAH UNTUK

MASYARAKAT

I KOMANG DIVO MAHAYAKTI HERIADI NIM. 1492461035

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii

PENGATURAN PEMINDAHTANGANAN BARANG

MILIK DAERAH BERUPA TANAH UNTUK

MASYARAKAT

Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana

I KOMANG DIVO MAHAYAKTI HERIADI NIM. 1492461035

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL : 26 APRIL 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Ibrahim R., SH., MH. Dr. Gede Marhaendra Wija Atmadja., SH., M.Hum. NIP. 19551128 198303 1 003 NIP. 19581115 198602 1 001

Mengetahui :

Ketua Program Magister Kenotariatan Direktur Program Pascasarjana

Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr. Desak Putu Dewi Kasih., SH., M.Hum. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi., Sp., S(K) NIP. 19640402 198911 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001


(4)

iv

TESIS INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL, 25 APRIL 2016

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 1938/UN14.4/HK/2016, Tanggal 22 April 2016

Ketua : Prof. Dr. Ibrahim R., SH., MH

Sekretaris : Dr. Gede Marhaendra Wija Atmadja., SH., M.Hum Anggota : 1. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum

2. Dr. I Ketut Westra, SH., MH 3. I Nyoman Sumardika, SH., M.Kn


(5)

v

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : I Komang Divo Mahayakti Heriadi

NIM : 1492461035

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul Tesis : Pengaturan Pemindahtanganan Barang Milik Daerah Berupa Tanah Untuk Masyarakat

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari dalam karya ilmiah ini terbukti plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Denpasar, 26 April 2016 Yang Membuat Pernyataan,


(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung kerta wara nugraha-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini guna memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Udayana

dengan judul tesis ini adalah “PENGATURAN PEMINDAHTANGANAN BARANG MILIK DAERAH BERUPA TANAH UNTUK MASYARAKAT”. Pada kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ibrahim R., S.H., M.H selaku pembimbing pertama dan Dr. Gede Marhaendra Wija Atmadja, SH., M.Hum selaku pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan, perhatian, dan saran kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Universitas Udayana, kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana, kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH. atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya


(7)

vii

kepada Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum. atas kesempatan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana.

Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu Dosen dan staf pengajar serta Pegawai di Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana atas ilmu dan bantuan yang telah diberikan. Terima kasih kepada keluarga tercinta Bapak I Ketut Kariadi Erawan dan Mama Ni Putu Herlina Januati, I Putu Tommy Sonia Heriadi dan I Made Billi Mahayakti Heriadi, I Putu Alvio Danista Heriadi serta yang terkasih Ni Made Devi Jayanthi yang telah membesarkan, mendidik, memotivasi dan mendoakan saya selama penulisan tesis ini.

Terima kasih juga kepada Arya Bust Noken Ass, Pak Yan Bagus Bandung, Jik Agas Fatboy, Blide Prim Triadi, Tuaji Gusde Bonja, Utu Hendra Doent, Pak Ngah Bram Associate, Bayu, Dek Camet, Ceempe, Cyclist Siteng Negara, Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia, Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan Indonesia, dan seluruh keluarga besar Angkatan VII Magister Kenotariatan Universitas Udayana, serta semua pihak yang telah membantu memberikan semangat dan masukan dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Akhir kata penulis berharap semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita


(8)

viii

semua dan semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.


(9)

ix ABSTRAK

PENGATURAN PEMINDAHTANGANAN BARANG MILIK DAERAH BERUPA TANAH UNTUK MASYARAKAT

Tanah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara masuk dalam kategori barang milik negara/daerah yang dapat dipindahtangankan. Tata cara pemindahtanganannya pun bersifat privat yaitu dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah. Hal ini seakan mendudukkan posisi pemerintah sebagai badan hukum privat yang dapat memiliki tanah dan dapat menjual, menukarkan dan menghibahkan tanahnya yang sudah tentu bertentangan dengan Hak Menguasai Negara atas Tanah berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 dan Penjelasan Umum II UUPA.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.

Adapun kerangka teoritik yang digunakan dalam tesis ini adalah diantaranya menggunakan teori negara hukum, teori perundang-undangan, teori harmonisasi hukum serta satu konsep penguasaan negara atas tanah.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengaturan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah adalah sebagai berikut: a) Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; b) Pasal 54 dan Pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; dan c) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Pengaturan tentang pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah tersebut belum menjamin masyarakat yang telah menduduki barang milik daerah berupa tanah dalam jangka waktu yang lama dapat memperoleh hak atas tanahnya.

.


(10)

ABSTRACT

REGULATION OF ALIENATION THE LAND OF LOCAL GOVERNMENT FOR COMMUNITY

Land in the Act No. 1 of 2004 on State Treasury fall into the category of state property / regions that are alienation. Any land handovering ordinance is private. Therefore private in this case means sold, exchanged, assigned, or included as a capital by the Government. It seems like supporting position of the government as a private legal entity who able to own land and sell, exchange and donated the land which is in contrast to the State's Land Rights under General Explanation II Law No. 5 of 1960 on the Basic Regulation of Agrarian.

The type of this research is an applied normative legal research by tracing documents as primary legal materials. This research used statue and conceptual approaches.

As for the teoritic framework used in this thesis is to use the theory legal state, the theory legislation, the theory harmonization of law and a single concept mastery country over land.

The results of this research show that regulation of alienation the land of local government is as follows: a) to article 45 and article 46 Act No. 1 of 2004 on State Treasury; b) of article 54 and article 55 the Government Regulation Number 27 by 2014 about management of State Treasury; and c) the regulation of the Minister of Local Affairs number 17 in 2007 about the technical guidelines management of the land of local government. Regulation of alienation the land of local government would not guarantee the community who have occupied land area owned in a long period of time can obtain the rights to the land.

Keywords: Regulation, Alienation, The Land of Local Government


(11)

xi RINGKASAN

Tesis ini menganalisa mengenai Pengaturan Pemindahtanganan Barang Milik Daerah Berupa Tanah Untuk Masyarakat

Bab I menguraikan latar belakang masalah mengenai adanya disharmonisasi norma yang terjadi secara vertikal antara Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara berserta turunannya dengan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria serta Penjelasannya.. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka pada sub bab ini diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penulisan, landasan teoritis dan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian yang digunakan dalam penelitian ini.

Bab II menguraikan tinjauan umum tentang barang milik daerah, klasifikasi tanah sebagai barang milik daerah dan klasifikasi tanah sebagai barang milik daerah.

Bab III menguraikan tentang hasil penelitian untuk rumusan masalah pertama yang diuraikan dalam dua sub bab, sub bab pertama menguraikan tentang dasar hukum pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah, sub bab kedua menguraikan tentang Analisis terhadap pengaturan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan UUD NRI 1945. Penelitian tersebut mengunakan teori negara hukum ,teori perundang-undangan dan teori harmonisasi norma sebagai pisau analisa sehingga dapat menjawab mengenai pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah untuk masyarakat.

Bab IV menguraikan tentang hasil penelitian untuk rumusan masalah kedua yang diuraikan dalam dua sub bab, sub bab pertama adalah menguraikan tentang Prosedur dan Tata Cara Pemindahtanganan Barang Milik Daerah berupa Tanah, sub bab kedua menguraikan tentang peraturan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah sebagai dasar permohonan hak milik atas tanah oleh masyarakat. Penelitian ini menggunakan teori negara hukum dan teori perundang-undangan untuk menjawab permasalahan sehingga memperoleh hasil penelitian mengenai peraturan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah sebagai dasar permohonan hak milik atas tanah oleh masyarakat

Bab V sebagai bab penutup yang menguraikan mengenai kesimpulan dan saran. Adapun kesimpulan pembahasan diatas adalah pengaturan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah adalah sebagai berikut: a) Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; b) Pasal 54 dan Pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; dan c) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Pengaturan tentang pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah tersebut belum menjamin masyarakat yang telah menduduki barang milik daerah berupa tanah dalam jangka waktu yang lama dapat memperoleh hak atas tanahnya.


(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PANITIA PENGUJI ... iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMAKASIH... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

RINGKASAN ... xi

DAFTAR ISI ... xii

BAB I. PENDAHULUAN………... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 15

1.3. Tujuan Penulisan ... 15

1.3.1. Tujuan Umum ... 15

1.3.2. Tujuan Khusus ... 15

1.4. Manfaat Penelitian ... 16

1.4.1. Manfaat Teoritis... 16

1.4.2. Manfaat Praktis ... 16

1.5. Landasan Teoritis. ... 18

1.6. Metode Penulisan ... 37

1.6.1. Jenis Penelitian ... 37

1.6.2. Jenis Pendekatan ... 39


(13)

xiii

1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 43 1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ... 43 BAB II. TINJAUAN UMUM PEMINDAHTANGANAN BARANG

MILIK DAERAH BERUPA TANAH………. 46 2.1. Tinjauan Umum Barang Milik Daerah... 46 2.2 Klasifikasi Tanah Sebagai Barang Milik Daerah ... 55 2.3 Tinjauan Umum Tentang Pemindahtanganan Barang Milik

Daerah Berupa Tanah ... 70 BAB III PENGATURAN TENTANG PEMINDAHTANGANAN

BARANG MILIK DAERAH BERUPA TANAH…………. 77 3.1. Dasar Hukum Pemindahtanganan Barang Milik Daerah

Berupa Tanah ... 77 3.2. Analisis terhadap pengaturan pemindahtanganan barang

milik daerah berupa tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria dan UUD NRI 1945………... 94 BAB IV PENGATURAN TENTANG PEMINDAHTANGANAN

BARANG MILIK DAERAH BERUPA TANAH SEBAGAI DASAR BAGI MASYARAKAT UNTUK MEMPEROLEH HAK MILIK ATAS TANAH………... 123 4.1 Prosedur dan Tata Cara Pemindahtanganan Barang Milik


(14)

xii

4.2 Pemindahtanganan Barang Milik Daerah Berupa Tanah sebagai Dasar permohonan hak milik atas tanah oleh

Masyarakat………... 128

BAB V PENUTUP………... 140

5.1 Kesimpulan ... 140

5.2 Saran ... 141


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Seiring laju perkembangan pertumbuhan perekonomian yang semakin pesat khususnya pada daerah-daerah yang sedang berkembang, kebutuhan akan tanah semakin meningkat. Baik itu untuk lahan industri, agraris, permukiman atau bahkan perkantoran instansi pemerintahan termasuk pemerintah daerah semuanya memerlukan tanah. Terdapat beberapa kota-kota besar yang laju tingkat perekonomiannya begitu pesat, namun tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan di daerahnya.

Penyerobotan tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau lazim disebut Tanah Negara yaitu tanah yang belum dihaki dengan dengan hak-hak perorangan beserta tanah-tanah hak yaitu tanah yang sudah punya hak-hak atas tanah primer seperti misalnya hak milik, hak pakai, hak guna usaha, hak guna bangunan dan lain-lain begitu marak terjadi.1 Termasuk tanah-tanah yang dalam penguasaan daerah seperti misalnya tanah-tanah yang benar-benar telah menjadi aset daerah atau pun tanah-tanah yang belum menjadi aset daerah akan tetapi diklaim sebagai tanah aset daerah.

Kondisi seperti ini tentu akan menimbulkan permasalahan baru bagi pemerintah daerah. Pada saat ini banyak dari tanah-tanah yang diduduki oleh sekelompok masyarakat merupakan tanah negara serta tanah yang masuk sebagai

1Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hal.271.


(16)

tanah aset milik pemerintah daerah. Jika kondisi ini tidak segera diselesaikan maka tidak menutup kemungkinan akan berpotensi menimbulkan konflik sengketa agraria kedepannya.

Istilah aset pada awalnya merupakan istilah ekonomi, sehingga tidak dijumpai dalam istilah hukum dan karenanya belum menjadi konsep hukum. Dalam kamus ekonomi, kata aset atau aset berarti Aktiva, yaitu segala sesuatu yang bernilai komersial yang dimiliki oleh sebuah perusahaan atau individu. Bisa dibagi ke dalam aktiva lancar, investasi, aktiva tetap, aktiva tidak berwujud (seperti hak cipta).2

Istilah aset baru menjadi konsep hukum ketika diberikan pengertian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Pada Lampiran II dari peraturan tersebut memberikan definisi aset,

bahwa “Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh

pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang diperlihara karena alasan

sejarah dan budaya.”3

Istilah tanah aset daerah harus dibedakan dengan tanah negara. Hal ini penting, karena masih ada persepsi yang merancukan keduanya. Dalam perkembangannya, penggunaan istilah tanah pemerintah dan/atau tanah aset

2

Sumadji P, dkk, 2006, Kamus Ekonomi, Wipress, Tanpa Kota, hal.63. 3

Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan


(17)

daerah dirancukan dengan istilah tanah negara. Oleh Maria S.W. Sumardjono,4 hal ini dicontohkan, tentang kasus tanah Pertamina Plumpang yang digugat oleh para penggarapnya. Dinyatakan bahwa dalam kasus pendudukan tanah-tanah oleh penggarap tersebut, para penggugat atau penggarap mendalilkan bahwa tanah tersebut merupakan tanah negara. Pengadilan Negeri Jakarta Utara berpendapat bahwa tanah tersebut merupakan tanah negara, sedangkan Pengadilan Tata Usaha Negara berpendapat tanah tersebut tanah pemerintah. Demikian pula mengenai sidang PTUN yang berlangsung terhadap kasus tanah Jatimulyo dan Way Huy di Lampung Selatan yang mempersoalkan apakah status tanah pertanian seluas 3 Ha tersebut benar-benar tanah negara sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Mendagri. Dari kedua contoh kasus tersebut nampak terlihat masih begitu beragam pemahaman hakim pengadilan umum dan pengadilan tata usaha negara dalam mengadili perkara yang menyangkut mengenai penguasaan tanah Negara ataupun tanah pemerintah daerah.5

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), penguasaan tanah-tanah Negara diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 antara lain memuat tentang Ketentuan-ketentuan Khusus pada Pasal 12, yaitu bahwa kepada Daerah Swatantra dapat diberikan penguasaan atas Tanah Negara oleh Menteri Dalam Negeri, dengan tujuan untuk kemudian diberikan kepada pihak lain dengan sesuatu hak menurut ketentuan Menteri Dalam Negeri

4Maria S.W, Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, hal.59.

5 Ibid.


(18)

yang sekarang Badan Pertanahan Nasional. Daerah Swatantra dalam Pasal 1 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953, ialah daerah yang diberi hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri sebagai yang dimaksud dalam Pasal 131 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Lebih lanjut tentang daerah swatantra yang juga disebut daerah otonom berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang menyebut Daerah Otonom itu sebagai Daerah Swatantra yang terdiri dari tiga tingkat Daerah Swatantra dengan otonomi seluas-luasnya, yaitu Tingkat I termasuk Kotapraja Jakarta Raya; Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III. Sampai dicabutnya Undang-undang tersebut Daerah Swatantra Tingkat III belum sempat terbentuk.6 Setelah mengalami beberapa pergantian Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, maka terakhir berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa daerah dibagi atas Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota yang masing-masing memiliki pemerintahan daerah tersendiri.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, untuk menyelenggarakan penertiban di dalam rangka melaksanakan konversi menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria, terhadap tanah-tanah Negara yang dikuasai dengan hak penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 telah ditegaskan statusnya sebagaimana diatur berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah

6Andi Mustari Pide, 1999, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media Pratama, Jakarta, hal.87-88.


(19)

Negara dan Ketentuan-Ketentuan Tentang Pelaksanaan Selanjutnya. Dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tersebut antara lain menyatakan, bahwa Penguasaan Atas Tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953, yang telah diberikan kepada Departemen-departemen, Direktorat-direktorat, dan Daerah-daerah Swatantra, sepanjang tanah-tanah Negara tersebut dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri dikonversi menjadi Hak Pakai. Namun apabila penguasaan Tanah Negara tersebut selain dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan atas Tanah Negara tersebut di atas dikonversi menjadi Hak Pengelolaan.7

Pengaturan lebih lanjut dari Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tersebut adalah Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966 menyatakan, bahwa Hak Pakai yang diperoleh Departemen-departemen, Direktorat-direktorat dan Daerah-daerah Swatantra, dan Hak Pengelolaan sebagai dimaksud dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 harus didaftar.8

Tanah dalam penguasaan daerah atau lebih sering disebut tanah aset daerah lahir dari tanah negara. Tanah aset daerah maupun tanah negara lahir dari konsep Hak Menguasai Negara sebagaimana ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang

7

Supriyadi, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah Menemukan Keadilan,

Kemanfaatan, dan Kepastian atas Eksistensi Tanah Aset Daerah, Prestasi Pustaka, Jakarta, hal. 9. 8

Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan


(20)

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.9 Pasal ini menjelaskan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini berarti pula bahwa setiap hak atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya dituntut kepastian mengenai subjek, objek, serta pelaksanaan kewenangan haknya.10 Kata-kata dikuasai oleh negara inilah yang melahirkan konsep Hak Menguasai Negara atas sumber daya agraria di Indonesia. Konsep hak menguasai tanah oleh negara kemudian secara otentik dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria selanjutnya disebut UUPA yang memberikan wewenang kepada negara untuk :

1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Selanjutnya Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa dalam Hak Menguasai

9 Supriyadi, Op.Cit, hal 5.

10

Rusmadi Murad, 2007, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Mandar Maju Bandung, hal.75.


(21)

dari Negara tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Apabila mengacu pada konsep UUPA, maka pengertian “dikuasai” oleh negara dalam hal ini bukan berarti “dimiliki”, melainkan hak yang memberi wewenang kepada negara untuk mengatur. Kewenangan negara dalam bidang pertanahan merupakan pelimpahan tugas bangsa untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dipunyainya.11 Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai sumber daya alam oleh negara tersebut semata-mata bersifat publik atau wewenang untuk mengatur/wewenang regulasi dan bukan wewenang untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang bersifat pribadi.12 Menurut Soedargo Gautama menjelaskan mengenai pengertian menguasai ialah mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur yang dapat dipunyai atas bagian dari bumi, air dan ruang angkasa. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa istilah dikuasai dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA bukanlah berarti dimiliki, dengan jalan pikiran demikian jelaslah tidak ada tempat lagi untuk teori-domein, seperti

11

Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta, hal.83.

12

Muhammad Bakri, 2007, Hak menguasai tanah oleh Negara, Citra Media, Yogyakarta. hal.5.


(22)

dikenal dalam susunan hukum agraria sediakala karena asas domein verklaring

telah dilepaskan dan menyesatkan.13

Pada tanggal 14 Januari 2004 telah disahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam Undang-Undang tersebut mengatur mengenai istilah barang milik negara/daerah. Pada bagian ketentuan umum Undang-Undang ini menjelaskan bahwa barang milik negara/daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Barang yang dimaksud dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Tanah dalam Undang-Undang tersebut termasuk dalam klasifikasi barang tidak bergerak. Hal ini dapat dilihat berawal dari ketentuan pasal yang mengatur mengenai pemindahtanganan barang milik negara/daerah seperti dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2) dan Pasal 46 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

(1) Barang milik negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan. (2) Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara

dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.

Selanjutnya dalam Pasal 46 ayat (1) menyatakan bahwa:

(1) Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dilakukan untuk:

a. pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan.

b. tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat ini tidak termasuk tanah dan/atau bangunan yang:

1) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota; 2) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti

sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran; 3) diperuntukkan bagi pegawai negeri;

13 Soedargo Gautama, 1993, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, hal.92-93.


(23)

4) diperuntukkan bagi kepentingan umum;

5) dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/ atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.

c. pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Sehubungan dengan munculnya istilah Barang Milik Negara dan Barang Milik Daerah pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, terlebih lagi Pasal 46 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan tanah termasuk sebagai barang milik Negara/Daerah dan pemindahtanganannya dilakukan dengan jual beli, tukar menukar, hibah serta penyertaan modal pemerintah sesuai Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka telah timbul masalah hukum berkaitan dengan Konsep Hak Menguasai Negara atas Tanah dan penolakan atas Konsep Memiliki Negara atas Tanah berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia juncto Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Berdasarkan uraian diatas maka telah terjadi disharmonisasi norma antara Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria jo. Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia.


(24)

Akibat hukum yang ditimbulkan dari persoalan ini akan muncul ketika ada seorang individu atau sekelompok masyarakat yang menduduki tanah negara dalam jangka waktu yang lama. Seiring berjalan waktu, tentu orang tersebut menginginkan kepastian hak atas tanah yang didiaminya selama sekian tahun dengan cara memohon hak atas tanah negara. Jika tanah yang dimohonkan merupakan tanah negara maka orang tersebut dapat memohonkan hak milik atas tanah melalui mekanisme permohonan hak atas tanah dan pemberian hak atas tanah oleh Badan Pertanahan Nasional. Akan tetapi jika tanah yang dimohonkan merupakan tanah yang diklaim sebagai tanah aset daerah atau memang merupakan tanah aset daerah yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan otentik dari pemerintah daerah setempat maka mekanisme permohonannya adalah melalui pemindahtanganan yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar-menukar, hibah dan penyertaan modal pemerintah antara pemerintah selaku pemilik barang milik daerah berupa tanah dengan pihak pemohon.

Kemudian permasalahan hukum kedua dalam tesis ini adalah berkaitan dengan apakah pengaturan tentang pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dapat menjamin masyarakat yang menguasai secara fisik atas barang milik daerah berupa tanah dalam waktu yang lama, mampu memperoleh hak milik atas tanah?

Dalam penelitian ini dipilih istilah hukum pemindahtanganan karena objek dari penelitian ini merupakan tanah yang termasuk dalam kategori barang milik daerah berupa tanah yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Jadi apabila barang milik daerah berupa tanah


(25)

hendak dialihkan kepemilikannya, maka berdasarkan Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pengalihan tersebut dilakukan dengan cara pemindahtanganan.

Dalam penelitian ini, saya telah membandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang tanah aset pemerintah daerah. Adapun penelitian yang mirip dengan penelitian ini antara lain:

1. Jurnal penelitian dari Supriyadi dan Subadi, Staf Pengajar Ilmu Hukum

Universitas Merdeka Madiun, Tahun 2001, dengan judul: “Tanah Aset Daerah Dalam Perspektif Konstitusi”. Rumusan masalah yang terdapat

dalam jurnal penelitian ini adalah :

a). Bagaimanakah kajian hukum mengenai Tanah Aset Pemerintah Daerah dari perspektif konstitusi ?

b). Bagaimanakah sistem pengelolaan dari Tanah Aset Pemerintah daerah ?

Simpulan dari permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian jurnal tersebut adalah :

a). Penguasaan dan pengelolaan Tanah Aset Daerah berasaskan

publiekrechtelike yang meliputi kewenangan mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan untuk pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad).


(26)

b). Telah terjadi pergeseran internal dalam UUPA yaitu; a) Bergesernya asas hubungan hukum publik (publiekrechtelijke) antara Negara dan/atau Daerah dengan tanah, menjadi adanya hubungan yang bersifat hubungan hukum privat (privaatrechtelijke) antara Negara dan/atau Daerah dengan tanah.

c). Pergeseran eksternal terjadi akibat adanya pergeseran internal dalam UUPA yaitu; a) antara UUPA dengan peraturan perundang-undangan di luar UUPA; b) dan semakin jauh pergeseran terjadi atas subyek-subyek pelaksana Hak Menguasai negara atas tanah, Hak Pakai, Hak Pengelolaan yang beraspek hukum publik, bergeser ke aspek hukum Privat dalam peraturan perundang undangan di luar UUPA.

d). Kebijakan daerah tentang pengelolaan Tanah Aset Daerah pada umumnya telah sinkron dengan peraturan perundang-undangan di atasnya yaitu; a) dengan Perda tentang ijin menempati tempat-tempat tertentu yang dikuasai Pemerintah Daerah; b) Tanah-tanah dengan Hak Pendahuluan yang semula berasal dari; tanah Negara bekas hak Eigendom atas nama Stadsgemeente, tanah Negara bebas dalam penguasaan Daerah berdasarkan pengakuan dari masyarakat serta pengakuan dari BPN yang berupa sikap diam-nya terhadap penguasaan tanah tanah Negara oleh Daerah, tanah bekas Hak Eigendom harus telah jelas batas, luas, dan status tanahnya, sedangkan pendaftaran menjadi Hak pakai, Hak Pengelolaan tidak


(27)

menghalangi hak penguasaan oleh Daerah menjadi tanah Aset Daerah.

2. Skripsi dari Muh. Afif Mahfud, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dengan judul: “Status Hukum Tanah Aset Daerah Dari Konversi Tanah Belanda Yang Tidak Disertifikatkan Di Kota Makassar”. Rumusan masalah yang terdapat dalam jurnal penelitian ini adalah :

a). Bagaimanakah Status hukum tanah aset daerah dari konversi tanah Belanda yang tidak disertifikatkan?

b). Bagaimanakah Pengamanan yuridis tanah aset daerah secara yuridis formal ?

Simpulan dari permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian jurnal tersebut adalah :

a) Status hukum tanah aset daerah dari konversi tanah Belanda yang tidak disertifikatkan adalah tanah negara. Tanah ini secara fisik dikuasai oleh Pemerintah Daerah Kota Makassar dan penguasaaan yuridis atas tanah negara tersebut pada Menteri Keuangan sebagai pengelola tanah negara (barang milik negara). Pemerintah Kota Makassar belum memiliki alas hak berupa surat keputusan pemberian hak pakai atas tanah negara dan hak pengelolaan. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Makassar belum menjadi subjek hak atas tanah-tanah tersebut.


(28)

b) Pengamanan yuridis tanah aset daerah secara yuridis formal didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah ada pada Pemerintah Kota Makassar. Pengelolaan tanah aset daerah tersebut terwujud dalam tujuh kegiatan termasuk pengamanan yuridis. Pengamanan yuridis dilakukan melalui penyertifikatan tanah. Penyertifikatan tanah aset daerah dari konversi tanah Belanda sangat lambat. Bahkan, saat ini hanya terdapat satu tanah aset daerah bekas tanah Belanda yang telah disertifikatkan. Lambatnya pengamanan yuridis atau penyertifikatan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu minimnya anggaran yang disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dokumen yang tidak tersimpan oleh pejabat terdahulu dan kantor yang selalu berpindah-pindah.

Dari uraian beberapa penelitian diatas tidak ditemukan kesamaan, karena fokus dari pada kajian penelitian ini adalah lebih kepada bagaimana pengaturan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dengan menganalisa beberapa peraturan Perundang-undangan yang mengatur hal yang sama terkait pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah, sehingga tingkat originalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. Penelitian tentang pengaturan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah merupakan penelitian dengan isu hukum yang menarik, untuk itu berdasarkan hal inilah yang melatarbelakangi saya tertarik mengangkat penelitian ini dengan judul:


(29)

“PENGATURAN PEMINDAHTANGANAN BARANG MILIK DAERAH BERUPA TANAH UNTUK MASYARAKAT”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan, maka perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.2.1. Bagaimanakah pengaturan tentang pemindahtanganan Barang Milik

Daerah Berupa Tanah ?

1.2.2. Apakah pengaturan tentang pemindahtanganan Barang Milik Daerah Berupa Tanah dapat menjamin masyarakat untuk memperoleh hak milik atas tanah ?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penelitian ini menyangkut tujuan yang bersifat umum dan bersifat khusus, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1.3.1. Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan kajian hukum yang berkaitan dengan pengelolaan dan penguasaan barang milik daerah berupa tanah.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui dan menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah. b. Untuk mengetahui dan memahami apakah pengaturan tentang

pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dapat menjadi dasar bagi masyarakat yang menguasai secara fisik atas barang milik daerah


(30)

berupa tanah dalam waktu yang lama, mampu memperoleh hak milik atas tanah.

1.4 Manfaat Penulisan

Diharapkan penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1.4.1. Manfaat Teoritis

1. Sarana untuk menambah pengetahuan serta dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat khusus di bidang peraturan pemindahtanganan

barang milik daerah berupa tanah untuk masyarakat.

2. Menambah literatur khususnya mengenai pengaturan dalam bidang pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah untuk masyarakat. 1.4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat untuk diterapkan sebagai berikut:

a. Bagi pemerintah eksekutif penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dalam hal pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah yang diberikan kepada masyarakat sebagai hak milik atas tanah. b. Bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau legislator, penelitian ini

dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka revisi atau merancang suatu peraturan daerah yang baru khusus mengatur mengenai


(31)

pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah kepada masyarakat sebagai hak milik atas tanah.

c. Bagi Badan Pertanahan Nasional, penelitian ini sangat bermanfaat yang bertujuan untuk Badan Pertanahan Nasional yang notabene sebagai institusi yang mengurus di bidang pertanahan nasional agar lebih aktif dan intensif mengecek status tanah-tanah yang ada di lapangan. Sehingga dapat meminimalisir adanya mal administrasi dalam proses pengurusan tanah oleh masyarakat.

d. Bagi Satuan Polisi Pamong Praja, penelitian ini dapat menjadi salah satu pedoman dalam menegakkan Peraturan Daerah yang mengatur mengenai barang milik daerah berupa tanah. Selain itu, juga bermanfaat dalam hal langkah preventif maupun represif terhadap permasalahan

illegal occupation terhadap barang milik daerah berupa tanah di daerahnya.

e. Bagi masyarakat penelitian ini dapat bermanfaat ketika menghadapi permasalahan dalam proses pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah yang ia mohonkan kepada pemerintah.

f. Bagi saya sendiri, penelitian ini selain sebagai syarat dalam menyelesaikan studi akhir di Magister Kenotariatan Universitas Udayana juga bermanfaat untuk menambah wawasan khususnya di bidang pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah.


(32)

1.5 Landasan Teoritis

Dalam tesis ini akan menggunakan beberapa teori-teori dan konsep yang mendukung dan relevan dengan topik penulisan yang dibuat. Dalam menerangkan dan menjelaskan secara spesifik suatu permasalahan yang terjadi maka diperlukan suatu teori, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta–fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Sebagai alur penalaran atau logika (flow of reasonic/logic), teori juga terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, definisi dan proposisi yang disusun secara sistematis.14 Adapun teori yang digunakan adalah Teori Negara Hukum, Teori Perundang-undangan dan Teori Harmonisasi Hukum. Dalam tesis ini juga menggunakan satu konsep yang menunjang analisa terhadap permasalahan yang dikaji. Konsep yang digunakan adalah konsep penguasaan pemerintah terhadap barang milik daerah berupa tanah

1.5.1 Teori

a. Teori Negara Hukum

Berdasarkan amanat konstitusi pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Secara garis besar dapat pula di simpulkan bahwa segala kekuasaan yang dimiliki dan dijalankan oleh negara adalah berlandaskan kedaulatan hukum.15 Istilah Negara hukum berkaitan dengan paham

14

J. Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, h. 194

15 E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FHPM Univ. Negeri Padjajaran, Cet.ke-4, Bandung, hal.21-22.


(33)

rechtsstaat dan the rule of law, juga berkaitan dengan paham nomocracy yang berasal dari perkataan nomos dan kratos, nomos berarti norma, sedangkan kratos adalah kekuasaan, ialah kekuasaan oleh norma atau kedaulatan hukum.16 Istilah

rechtstaat” mulai populer di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang

itu sudah lama adanya. Istilah “the rule of law” mulai populer dengan terbitnya

sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan judul “Introduction to the study of the law of the constitution”.

Adapun unsur-unsur rechtstaat yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Barat Kontinental sebagai berikut:17

a) Adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia;

b) Adanya pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika Montequieu; c) Tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang;

d) Adanya peradilan administrasi negara.

Sedangkan di sisi yang lain, AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memberikan unsur-unsur dari pada the rule of law sebagai berikut:18

a) Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law) tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang di tangan eksekutif, semuanya berdasarkan pada hukum;

b) Tidak seorangpun yang kedudukannya di atas hukum, atau kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law);

16

Jimly Assidiqie, 2005, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 151.

17 A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Cet. Kedua, Bayumedia Publishing, Malang, Jawa Timur, hal. 42.

18

A.V. Dicey, 1959, An Introduction to Study of Law of the Constitution, Mac Millan & Co. London, hal.117, diterjemahkan Nurhadi M.A., 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Cetakan Pertama, Nusamedia, Bandung, hal. 251-261.


(34)

c) Perlindungan/penjaminan hak akan kebebasan individu yang didasarkan pada Konstitusi (the constitution based on individual rights).

Sistem hukum Indonesia seasas dengan sistem hukum di negara-negara Eropa Barat Kontinental. Secara garis besar dapat pula di simpulkan bahwa segala kekuasaan yang dimiliki dan dijalankan oleh negara adalah berlandaskan kedaulatan hukum. Di Indonesia sendiri berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (rechtstaat).19 konsep negara hukum disamakan begitu saja dengan konsep rechtsstaats dan the rule of law, ini merupakan sesuatu yang wajar karena jika ditarik secara garis historis, Indonesia pertama kali mengenal konsep rechtstaat ataupun istilah negara hukum dari bangsa Belanda yang kala itu menduduki wilayah Indonesia dan memberlakukan konsep

rechtsstaat, yang pada perkembangan selanjutnya utamanya sejak perjuangan menumbangkan periodisasi orde lama negara hukum begitu saja diganti dengan

the rule of law.20

Berdasarkan kedua teori Negara hukum klasik yang dikemukakan oleh F.J. Stahl dan AV.Dicey maka Indonesia masuk dalam kategori negara hukum. Hal ini dikarenakan unsur-unsur negara hukum tersebut sudah terkandung dalam beberapa Pasal pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diantaranya Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warga negara

19

Sjahran Basah,1997, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrsi di Indonesia,Cetakan Ketiga, Alumni Bandung, hal. 2.

20

Philipus M.Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Bina Ilmu, Surabaya, hal.66-67.


(35)

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28 D ayat (1) juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang sama dihadapan hukum. Begitupun juga terkait dengan asas legalitas yang juga merupakan salah satu unsur dari negara hukum juga diterapkan dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Berkenaan dengan unsur dibentuknya peradilan administrasi, Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan yang berwenang mengadili segala tindakan pemerintah yang berhubungan dengan keputusan tata usaha negara yang dibuat oleh pejabat tata usaha negara. Unsur adanya peradilan administrasi/peradilan tata usaha negara merupakan salah satu unsur dari negara hukum klasik yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl.

Indonesia tidak seyogyanya begitu saja mengalihkan konsep the rule of law atau konsep rechtstaat sebagai jiwa dan isi dari negara hukum Indonesia, karena pada dasarnya Indonesia telah memiliki konsep negara hukumnya sendiri

yaitu konsep “Negara Hukum Pancasila”. Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa, dengan merujuk bahwa asas utama Hukum Konstitusi atau Hukum Tata Negara Indonesia adalah asas negara hukum dan asas demokrasi serta dasar negara Pancasila, oleh karena itu dari sudut pandang yuridisme Pancasila maka


(36)

secara ideal bahwa Negara Hukum Indonesia adalah “Negara Hukum

Pancasila”.21

Lebih rinci disebutkan bahwa unsur-unsur Negara Hukum Pancasila adalah sebagai berikut:

a. keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan nasional;

b. hubungan yang fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara; c. prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan

merupakan sarana terakhir;

d. keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Semakin banyaknya campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat, bagi negara hukum modern seperti Indonesia tindakan pemerintah tersebut jelas harus dilandasi aspek-aspek hukum agar tindakan pemerintah tersebut tidak

menimbulkan konflik dikemudian hari. John Austin menyatakan bahwa : “The most essential characteristic of positive law, consists in it’simperative character.

Law is conceived as a command of the sovereign”.22 Bahwa hukum adalah perintah dari penguasa negara dimana hakikat dari hukum itu sendiri terletak pada unsur perintah.

Dalam negara hukum, apa yang menjadi dasar pembentukan suatu pemerintahan didasarkan atas hukum yang berlaku. Sampai saat ini ada dua cara yang dapat dipergunakan untuk menelusuri suatu negara dikatakan sebagai negara

21

I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hal.162

22

H.Mc.Coubrey and N.D.White, 1993, Text Book On Jurisprudensi, Blakstone Press Limited, London, Page.14.


(37)

hukum, yaitu yang pertama melalui konstitusi dari negara yang bersangkutan. Hal

ini seperti yang diungkapkan oleh K.C. Wheare yang menyatakan “what should a constitution contains? The very minimum, and minimum to be rules of law” (isi

minimum suatu konstitusi adalah tentang negara hukum).23 Kedua berdasarkan pandangan ilmiah dari para ahli, yang dalam konteks ini berusaha memberikan unsur-unsur/ciri-ciri dari suatu negara hukum.24

Teori negara hukum ini sangat relevan untuk menjadi landasan pada setiap penelitian yang berkaitan dengan regulasi maupun kebijakan hukum yang bersifat publik. Seperti misalnya dalam penelitian tesis ini yang mengkaji permasalahan tentang pengaturan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah untuk warga masyarakat, dalam pengaturan ini para pengambil kebijakan dalam merumuskan suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi unsur-unsur dari pada negara hukum seperti misalnya unsur-unsur setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan Undang-Undang dan kemudian unsur adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia, agar peraturan yang dibuat dapat diterima dan dilaksanakan sebagaimana mestinya di masyarakat.

b. Teori Perjenjangan Norma

Hukum yang ada pada suatu negara khususnya Indonesia harus tersusun secara sistematis dan berjenjang. Dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori hierarki norma atau penjenjangan norma atau biasa disebut teori Stufentheorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teorinya Hans

23

K. C. Wheare, 1975, Modern Constitution, Oxford University Press, New York, Page. 33-34

24

Joeniarto, 1968, Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, hal.36.


(38)

Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki atau tata sususan dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar atau Grundnorm. Norma dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma dan norma tersebut tidak dibentuk dari norma lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre-supposed.25 Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya dan dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi yaitu norma dasar itu menjadi tempat bergantunganya norma-norma dibawahnya, sehingga apabila norma dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada dibawahnya.

Salah satu murid Hans Kelsen yaitu Hans Nawiasky mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara, menurut Nawiasky suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang berada dibawah berlaku, bersumber, dan berdasar pasa suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis, norma itu juga

25 Maria Farida Indrati Soeprapto, 2010, Ilmu Perundang-Undangan Jenis , Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hal. 41.


(39)

kelompok, dan pengelompokan norma menurut Hans Nawiasky terdiri dari empat yaitu: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara), Staatsgrundgesetz

(Aturan Dasar atau Aturan Pokok Negara), Formell Gesetz (Undang-Undang Formal), Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana / Aturan Otonom)”. Menurut Hans Nawiasky, isi Staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu Negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Selanjutnya Hans Nawiasky mengatakan norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu Negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan

Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara. Grundnorm mempunyai

kecenderungan untuk tidak berubah atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu Negara norma fundamental Negara itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya pemberontakan, kudeta dan sebagainya.

Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, Abdul Hamid Saleh Attamimi membandingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur dan tata hukum di Indonesia. Untuk menjelaskan hal tersebut, A. Hamid S. Attamimi menggambarkan perbandingan antara Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tersebut dalam bentuk piramida. Selanjutnya A. Hamid S. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah :26


(40)

1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD NRI 1945); 2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD NRI 1945, TAP MPR, dan

Konvensi Ketatanegaraan;

3. Formell Gesetz : Undang-Undang;

4. Verordnung & Autonome Satzung : secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia dikenal adanya hierarki peraturan perundang-undangan. Hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.

Selanjutnya mengenai peraturan perundang-undangan lainnya yang ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) yaitu :

“Jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa


(41)

Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas pemerintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” Teori perjenjangan norma ini sangat penting digunakan dalam penelitian ini karena selain untuk mengidentifikasi peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah juga dapat sebagai dasar dalam penyelesaian masalah konflik norma, norma kosong, norma kabur dan disharmonisasi norma. Misalnya dalam penelitian ini terdapat disharmonisasi norma akibat dari adanya inkonsistensi norma secara vertikal antara Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dengan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

c. Teori Harmonisasi Hukum

Dalam uraian diatas terdapat kesimpulan awal bahwa terdapat permasalahan hukum yaitu adanya disharmonisasi norma akibat dari adanya inkonsistensi secara vertikal antara Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dengan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Maka dari


(42)

itu dalam rangka untuk menunjang penyelesaian permasalahan tersebut, diperlukan teori harmonisasi norma agar norma yang bermasalah dapat selaras.

Penggunaan istilah “harmonisasi” lazim dipakai dalam bidang seni musik untuk memperlihatkan permainan instrumen nada, perpaduan, kerjasama yang selaras sehingga menghasilkan nada indah dan harmoni. Istilah harmonisasi yang dimaknai sebagai suatu penyelarasan telah merambah ke dalam bidang hukum. Hukum dalam konsep pembaharuan masyarakat merupakan alat untuk memelihara keseimbangan, keselarasan, keserasian dan ketertiban dalam masyarakat. Pengharmonisasian Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, sebenarnya bukanlah merupakan suatu konsep baru, melainkan sudah berjalan atau dilaksanakan cukup lama oleh pembuat kebijakan (penyusun peraturan perundang-undangan), yaitu telah ada sebelum dilakukannya perubahan/amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berbagai peraturan perundang-undangan memerlukan harmonisasi guna menghindarkan saling tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan, baik antar instansi pemerintah Pusat maupun antara Pusat dan Daerah. Upaya harmonisasi diperlukan mengingat peraturan perundang-undangan yang berlaku harus disesuaikan dengan berbagai perubahan yang telah terjadi dalam sistem hukum Indonesia, terutama setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 yang sangat menentukan arah kebijakan hukum nasional, karena merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia.


(43)

Namun demikian Disharmonisasi hukum dapat saja terjadi jika terdapat ketidakselarasan antara satu norma hukum dengan norma hukum yang lain. Menurut pengamatan L.M. Lapian Gandhi terhadap praktik hukum di Indonesia, ada sejumlah penyebab timbulnya disharmonisasi itu. Ia menyinggung 8 (delapan) faktor, yakni:27

1. Perbedaan antara berbagai undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Selain itu jumlah peraturan yang makin besar menyebabkan kesulitan untuk mengetahui atau mengenal semua peraturan tersebut. Dengan demikian pula ketentuan yang mengatakan bahwa semua orang dianggap mengetahui semua undang-undang yang berlaku niscaya tidak efektif.

2. Pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaan

3. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijkan instansi pemerintah. Kita kenal dengan juklak yang malahan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang akan dilaksanakan.

4. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi dan surat edaran mahkamah agung.

5. Kebijakan-kebijakan instansi pemerintah pusat yang saling bertentangan. 6. Perbedaan antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah.

7. Perbedaan antara ketentuan hukum dengan rumusan pengertian tertentu. 8. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian

wewenang yang tidak sistematis dan jelas.

27L.M. Gandhi, “Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif” Pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 14 Oktober 1995, hlm. 10-11.


(44)

Namun demikian, menurut Sidharta pada saat melakukan harmonisasi, dapat terjadi beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadinya disharmonisasi dalam sistem hukum yaitu:28

a. Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi format peraturan yakni peraturan yang hierarkinya lebih rendah bertentangan dengan hierarki peraturan yang lebih tinggi, misalnya antara peraturan pemerintah dengan undang-undang. b. Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi waktu, yakni beberapa peraturan

yang secara hierarkis sejajar tetapi yang satu lebih dulu berlaku daripada yang lain.

c. Terjadi inkonsistensi secara horisontal dari segi substansi peraturan, yakni beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi substansi peraturan yang satu lebih umum dibandingkan substansi peraturan lainnya.

d. Terjadi inkonsistensi secara horisontal dari segi substansi dalam satu peraturan yang sama, misalnya ketentuan pasal 1 bertentangan dengan ketentuan pasal 15 dari satu undang-undang yang sama.

e. Terjadi inkonsistensi antara sumber formal hukum yang berbeda, misalnya antara undang-undang dan putusan hakim atau antara undang-undang dan kebiasaan.

Disharmoni biasanya terjadi dalam tataran normatif, norma atau kaidah adalah peraturan yang memiliki rumusan yang jelas untuk dijadikan pedoman

28 Shidarta, 2005, Kerangka Berpikir Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan

Dalam Pengelolaan Pesisir”, dalam buku Jason M. Patlis dkk. (ed.), Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, diterbitkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Dep. Kelautan dan perikanan, Dep. Hukum dan HAM, bekerjasama dengan Mitra Pesisir (Coastal Resources Management Project), Jakarta, hlm.62.


(45)

perilaku. Terdapat peraturan yang lebih abstrak dari norma yaitu asas, dan diatas asas terdapat aturan yang paling abstrak yaitu nilai. Jika disusun hierarkis , maka asas sebenarnya lebih tinggi kedudukannya dari norma. Atas dasar hal itu maka jika terjadi disharmoni antara norma-norma hukum, solusi penyelesaiannya adalah dengan menerapkan asas-asas hukum.

Disharmoni peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat dipisahkan dari problematika dasar konstitusi Indonesia. Artinya, pemahaman terhadap persoalan dasar itu harus terlebih dulu diletakkan pada landasannya, sebelum analisis ke arah harmonisasi peraturan perundang-undangan itu sendiri.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU, baik yang berasal dari Pemerintah maupun yang berasal dari DPR. Selain itu diatur pula pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi semua rancangan peraturan perundang-undangan, dari RUU, RPP, Perpres, sampai dengan Raperda, baik Raperda Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Adapun pengaturan secara terperinci pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi peraturan perundang-undangan, khususnya Rancangan Undang-Undang berdasarkan UU No. 12 Tahun 2001, dalam pembahasan ini pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU (RUU yang berasal dari DPR) Sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.


(46)

Dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib DPR RI (TATIB DPR), Pasal 60 menegaskan bahwa salah satu tugas Badan Legislasi DPR RI adalah melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pematapan konsepsi rancangan undang-undang yang diajukan anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan DPR.

Dalam melakukan kajian pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi aspek yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

a) Aspek Dasar Hukum (Yuridis-Konstitusional dan Yuridis-Normatif), yaitu: Dasar konstitusionalitas pembentukan RUU yang akan diharmonisasi; Tap MPR yang mendelegasikan atau berkaitan langsung dengan RUU dimaksud (apabila ada); Undang-Undang yang berlaku yang mengatribusikan/memerintahkan atau yang memiliki korelasi positif dengan RUU yang diharmonisasi.

b) Aspek Yuridis-Formil

Secara formil RUU yang diharmonisasi harus sesuai dengan ketentuan Pasal 20 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat (2) dan Pasal 109 ayat (1) Tata Tertib DPR RI terkait dengan hak inisiatif Dewan dalam pengajuan suatu RUU. Selain itu, RUU yang akan diharmomisasi sudah masuk dalam list atau daftar Prolegnas Prioritas Tahun berjalan, dan ketika diajukan untuk diharmonisasi sudah dilengkapi dengan draft RUU dan Naskah Akademik, hal ini sesuai dengan UU No.


(47)

12 Tahun 2011 Jo UU No. 27 Tahun 2009 dan Pasal 99 ayat (6) TATIB DPR.

c). Aspek Yuridis-Materiil

Secara materil, kajian pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU secara garis besar dibagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu:

i. hal-hal yang bersifat teknis (aspek teknis legal drafting berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 dan asas-asas teknik pembentukan peraturan perundang-undangan, redaksional dan sistematika/struktur); dan

ii. hal-hal yang bersifat substantif (hal ini berkaitan dengan harmonisasi substansi RUU dengan UUD 1945, Peraturan Perundang-Undangan yang terkait, dan harmoinisasi antar pasal atau bagian atau materi muatan dalam RUU, serta untuk dilakukan pembulatan dan pemantapan konsepsi).

1.5.2 Konsep

Dalam setiap penelitian hukum normatif lazimnya selalu dilakukan pendekatan undang-undang terlebih dahulu. Langkah selanjutnya untuk dapat menjelaskan norma harus diawali dengan pendekatan konseptual karena norma sebagai suatu bentuk proposisi tersusun atas rangkaian konsep. Dengan demikian kesalahan konsep mengakibatkan alur nalar sesat dan kesimpulan yang


(48)

menyesatkan.29 Dalam tesis ini menggunakan konsep penguasaan pemerintah terhadap barang milik daerah berupa tanah.

Dalam kaitannya dengan pengertian penguasaan, Satjipto Rahardjo

menyatakan: “Penguasaan adalah hubungan yang nyata antara seseorang dengan

barang yang ada dalam kekuasaannya. Pada saat itu ia tidak memerlukan legitimasi lain kecuali bahwa barang itu ada di tangannya. Pertanyaan yang menunjuk kepada adanya legalitas hukum disini tidak diperlukan. Di samping kenyataan, bahwa suatu barang itu berada dalam kekuasaan seseorang masih juga perlu dipertanyakan sikap bathin orang yang bersangkutan terhadap barang yang dikuasainya itu, yaitu padanya apakah memang ada maksud untuk menguasai dan menggunakannya. Kedua untur tersebut masing-masing disebut corpus possessionis dan animus posidendi.30 Menurut Satjipto Rahardjo, penguasaan fisik atau penguasaan yang bersifat factual selanjutnya ditentukan oleh ada atau tidak adanya pengakuan hukum untuk memperoleh perlindungan. Hukumlah yang menyatakan sah atau tidak sah atas penguasaan yang dilakukan terhadap fisik suatu barang oleh seseorang.31

Dalam kaitan dengan tesis ini, pengertian penguasaan berhubungan dengan soal penguasaan Barang Milik Daerah berupa Tanah, dengan, mengacu pada teori

J.B.V.Proudhon tentang pembagiannya mengenai Milik Privat Negara dan Milik

Publik Negara. Pengertian „Milik‟ dalam „Milik Privat‟ dan „Milik Publik‟ tidak sama dengan pengertian “Eigendom” dalam pengertiannya sebagai milik mutlak

29

Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri Djatmiati, 2011, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal.39.

30

Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.62. 31


(49)

atau Property. Pengertian „Milik‟ tersebut menunjuk pada arti „Penguasaan‟ atau Possesion. J.B.V.Proudhon adalah seorang Guru Besar bangsa Perancis, yang pada awal abad ke-19 telah melahirkan Teori Pemisahan antara Milik Privat (Domein Privat) dan Milik Publik (Domein Public).32

Menurut E. Utrecht, bahwa Proudhon membagi antara Milik Privat yaitu benda-benda Milik Negara, yang digunakan secara langsung oleh aparat pemerintah untuk menjalankan tugas-tugasnya, seperti tanah dan rumah dinas bagi pegawai, gedung perusahaan negara, dan Milik Publik, yaitu benda-benda yang disediakan oleh pemerintah untuk dipergunakan secara langsung oleh masyarakat, seperti jalan umum, jembatan, pelabuhan dan sebagainya. Proudhon membuat dikotomi Milik Publik dan Milik Privat tersebut berdasarkan penggunaan bendanya, yaitu apabila digunakan sendiri oleh pemerintah, maka menjadi milik privat pemerintah, namun apabila benda itu digunakan oleh masyarakat, maka menjadi milik publik pemerintah.

Selanjutnya dinyatakan oleh E. Utrecht, bahwa menurut Proudhon, oleh karena peraturan-peraturan mengenai Milik Privat biasa tidak berlaku bagi benda-benda Milik Publik, maka pemerintah bukan pemilik (eigenaar) atas benda-benda Milik Publik. Negara hanya menguasai (beheren) dan melakukan pengawasan

(toezichthouden, droit de garde et de surintendance) atas benda-benda Milik Publik.33 Teori Proudhon inilah yang mendekati dengan rumusan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, walaupun tidak secara utuh pendapat Proudhon itu sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 33 ayat

32

E. Utrecht, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Republik Indonesia, Pustaka Tanta Masa, Surabaya, hal.238.

33


(50)

(3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketika sudah terkait pada persoalan penguasaan atas tanah. Hak Menguasai Negara atas Tanah menurut Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sesungguhnya tidak hanya mengenai benda-benda Milik Publik, tetapi juga termasuk benda-benda Milik Privat.

Dasar pembagian oleh Proudhon adalah mengenai dasar hukum penguasaan benda-benda itu oleh pemerintah atau negara. Menurut pendapat Proudhon, bahwa hak menguasai tidak tunduk pada hukum perdata atau privat, tetapi tunduk pada hukum publik. Hal ini bermakna dalam kaitan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terhadap benda-benda dalam penguasaan negara, baik itu milik privat maupun milik publik sesuai konsep Proudhon, sepanjang mengenai penguasaan tanah oleh negara, maka bersifat publik semata.

Adapun pembedaan secara tegas antara pengertian penguasaan (possession) dan hak milik (ownership), bahwa hak menguasai atau hak penguasaan didasarkan atas adanya hubungan antara seseorang dengan suatu obyek. Jadi, ciri pokoknya adalah masalah kenyataan atau fakta. Dalam kaitannya dengan penguasaan atas tanah di Indonesia, semua persoalan mengenai penguasaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya hanya berdasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu bumi dan air da kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam kaitannya dengan teori Proudhon yang


(51)

membedakan antara Milik Privat sebagai benda-benda Milik Negara yang digunakan secara langsung oleh aparat pemerintah untuk menjalankan tugas-tugasnya, seperti tanah dan rumah dinas pegawai, gedung perusahaan negara. Milik privat ini dalam kaitannya dengan Negara atau Daerah sebagai subjek hak dapat diidentikkan dengan Hak Pakai sebagaimana diatur dalam UUPA. Sedangkan Milik Publik adalah benda-benda yang disediakan oleh pemerintah untuk dipergunakan secara langsung oleh masyarakat, seperti jalan umum, jembatan, pelabuhan dan sebagainya. Adapun milik publik dalam hal ini identik dengan Hak Pengelolaan dalam hukum tanah nasional saat ini.

1.6 Metode Penelitian

Van Peursen menerjemahkan pengertian metode secara harfiah, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu.34 Metode atau cara pengkajian suatu masalah yang dilakukan secara deskriptif analitik yaitu menguraikan kaidah-kaidah dalam aturan hukum yang berhubungan dengan aspek tata cara pemindahtanganan tanah aset pemerintah daerah kepada warga masyarakat.

1.6.1. Jenis Penelitian

Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran ataupun ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang ada.35

34 Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publishing, Malang, hal. 26.

35

Bambang Waluyo, 2008, Penelitian hukum dalam praktek, Sinar grafika, Jakarta, hal. 6.


(52)

Dalam penyusunan tesis ini dilakukan suatu penelitian hukum. Penelitian hukum merupakan suatu proses menemukan hukum yang mengatur aktifitas manusia, hal ini melibatkan penempatan yang baik itu aturan yang diselenggarakan oleh negara dan komentar yang menjelaskan atau menganalisa aturan-aturan tersebut.36

Berdasarkan buku Legal Research oleh Morris L. Cohen & Kent C. Olson, mereka berpendapat bahwa penelitian hukum yaitu “Legal research is an essential component of legal practice. It is the prosess of finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that law”, penelitian hukum

dikatakan sebuah komponen penting dari praktik hukum, ini merupakan proses untuk menemukan hukum yang mengatur suatu aktifitas yang menjelaskan atau menganalisa hukum material tersebut.37

Adapun jenis penelitian hukum yang digunakan adalah mempergunakan jenis metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif, menurut Sunaryati Hartono, merupakan penelitian yang monodisipliner yaitu penelitian yang digunakan untuk mengetahui dan mengenal hukum, menyusun dokumen-dokumen hukum, menulis makalah, menjelaskan atau menerangkan bagaimanakah hukumnya mengenai peristiwa atau masalah tertentu, untuk mencari asas-asas hukum, teori-teori hukum, dan sistem hukum terutama dalam hal penemuan dan pembentukan asas-asas hukum baru, pendekatan hukum yang baru dan sistem hukum nasional (yang baru).38 Jenis penelitian ini digunakan karena penelitian ini berangkat dari adanya disharmonisasi norma akibat dari

36 Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 19. 37 Morris L. Cohen & Kent C. Olson, 2000, Legal Research, In A Nutshell, West Group,ST. Paul, Minn, Printed in the United States of America, hal.1

38 C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20,Edisi Pertama, Cet.I, Alumni, Bandung, hal.140-141.


(53)

terjadinya inkonsistensi norma secara vertikal antara Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dengan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang pada dasarnya mengatur mengenai tata cara pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah untuk masyarakat.

1.6.2. Jenis Pendekatan

Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, menurut Johnny Ibrahim dapat digunakan beberapa pendekatan sebagai berikut :39

1. Pendekatan Perundang-undangan ( statute approach ) 2. Pendekatan Konsep ( conceptual approach )

3. Pendekatan Analitis ( analytical approach )

4. Pendekatan Perbandingan ( comparative approach ) 5. Pendekatan Historis ( historical approach )

6. Pendekatan Filsafat ( philosophical approach ) 7. Pendekatan Kasus ( case approach )

Jenis pendekatan dalam penelitian ini akan dikaji dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute approach) dan pendekatan konseptual

(Conceptual Approach).

a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan dan


(1)

Fungsi tanah yang dalam penguasaan Pemerintah Daerah harus benar-benar dipergunakan secara tertib dan harus diamankan. Untuk menghindari pertentangan dalam masyarakat, maka pelepasan hak atas tanah dan/atau bangunan harus jelas luas tanah, lokasi dan nilainya. Tanah yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah adalah tanah Negara yang telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan, atau tanah berasal dari tanah rakyat yang telah dibebaskan oleh Pemerintah Daerah dengan memberikan ganti rugi ataupun tanah lain yang dikuasainya berdasarkan transaksi lain (sumbangan, hibah), sesuai dengan prosedur dan persyaratan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Tanah dengan Hak Pakai atau Hak Pengelolaan dimaksud, diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yakni instansi Badan Pertanahan Negara. Berdasarkan Keputusan pemberian Hak Pakai atau Hak Pengelolaan tersebut, kepada instansi Badan Pertanahan Negara setempat perlu dimintakan sertifikat Hak Pakai atau Hak Pengelolaan atas nama Pemerintah Daerah.

(b). Tukar Menukar;

Pelepasan hak atas tanah dan bangunan Pemerintah Daerah selain dengan cara pembayaran ganti rugi (dijual), juga dapat dilakukan dengan cara tukar menukar (ruilslagh/tukar guling).

Pengertian ruilslag adalah penukaran lahan. Di sini terjadi suatu tanah yang dipergunakan atau dipakai dan hak dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah untuk ditukar tanahnya dengan tanah lainnya. Prinsip utama dari penukaran lahan tersebut adalah bahwa pemerintah memandang


(2)

lahan/bangunan tersebut sudah tidak pada tempatnya ataupun kawasannya sudah tidak cocok lagi ataupun tempatnya sudah terlalu sempit sekali sehingga tidak dapat mengembangkan kantor tersebut.

Pasal 1541 BW telah memperjelas yang dimaksudkan dengan penukaran

yaitu: “Penukaran adalah suatu perjanjian di mana pihak-pihak mengikatkan diri

saling menyerahkan suatu benda timbal balik”.30

Penukaran adalah suatu nudum pactum (perjanjian terbuka), bahwa pertama karena pelaksana dari pada salah satu pihak juga suatu contractus innominatus (kontrak khusus) dan bukanlah suatu

contractus connsensualis (perjanjian persesuaian) tetapi suatu contractus realis

(perjanjian sesungguhnya), sehingga seseorang yang telah setuju untuk saling menukar, sehingga kalau salah satu pihak wanprestasi, maka pihak lainnya dapat meminta kembali benda yang sudah diserahkannya tersebut.

Sehingga disinilah perbedaannya dengan jual beli, artinya dalam jual beli pihak kreditur dapat memaksa pihak debiturnya agar menyerahkan prestasi yang diharuskan pada pihak debiturnya. Dalam tukar menukar maka, jika tidak terlaksana penyerahan benda yang diperjanjikan dipertukarkan, maka pihak yang sudah terlajur menyerahkan barangnya dapat meminta kembali tanah/bangunan yang sudah diserahkannya tersebut.

Tentunya ketentuan penukaran tanah disini sama saja artinya kalau pihak yang menyerahkan tanahnya untuk ditukar maka pihak lainnya yang akan menerima penukaran tersebut jika tidak terjadi ganti tanah yang diperjanjikan dan syarat-syarat tambahannya, maka pihak pemerintah dapat meminta kembali

30


(3)

tanah/bangunannya atau sebaliknya jika debitur tidak dapat menerima bangunan dan tanah yang sudah diperjanjikan akan ditukar tersebut dapat memaksa pemerintah untuk menyerahkan tanah dan bangunan yang sudah dipersiapkannya untuk pengganti dari lahan pemerintah tersebut. Kalaupun ada disyaratkan suatu tambahan sejumlah uang tidak berarti bahwa perjanjian tukar menukar ini berubah menjadi perjanjian jual beli. Perjanjian demikian tetap sah dan tetap dikuasai oleh ketentuan dari perjanjian tukar menukar.

Adapun tujuan dari pada dilaksanakan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dengan cara tukar menukar adalah:31

a. Untuk meningkatkan tertib administrasi pelaksanaan pelepasan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara ganti rugi atau dengan cara tukar menukar (ruilslag/tukar guling) dalam rangka pengamanan barang milik daerah;

b. Mencegah terjadinya kerugian daerah; dan

c. Meningkatkan daya guna dan hasil guna barang milik daerah untuk kepentingan daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Subjek pelepasan (ganti rugi atau tukar menukar/ruilslag/tukar guling) adalah pelepasan hak dengan cara ganti rugi atau tukar menukar (ruilslag/tukar guling) dapat dilakukan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, antar Pemerintah Daerah, antara Pemerintah Daerah dengan Swasta, BUMN/BUMD, Koperasi, pegawai/ perorangan, atau Badan Hukum lainnya. Alasan pelepasan hak (cara ganti rugi atau cara tukar menukar/ruilslag/tukar guling) antara lain:32

a. Terkena planologi;

31

Lampiran Bagian XII Pemindahtanganan, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah

32


(4)

b. Belum dimanfaatkan secara optimal (idle);

c. Menyatukan barang/aset yang lokasinya terpencar untuk memudahkan koordinasi dan dalam rangka efisiensi;

d. Memenuhi kebutuhan operasional Pemerintah Daerah sebagai akibat pengembangan organisasi; dan

e. Pertimbangan khusus dalam rangka pelaksanaan rencana strategis Hankam. Pelepasan dengan alasan tersebut di atas dilaksanakan karena dana untuk keperluan memenuhi kebutuhan Pemerintah Daerah tidak tersedia dalam APBD.

(c). Hibah;

Pertimbangan pelaksanaan hibah barang milik daerah dilaksanakan untuk kepentingan sosial, keagamaan, kemanusiaan, dan penyelenggaraan pemerintahan, sebagai berikut: a). Hibah untuk kepentingan sosial, keagamaan dan kemanusiaan misalnya untuk kepentingan tempat ibadah, pendidikan, kesehatan dan sejenisnya; dan b). Hibah untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan yaitu hibah antar tingkat Pemerintahan (Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dan antar Pemerintah Daerah). Barang milik daerah yang dapat dihibahkan harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a) Bukan merupakan barang rahasia negara/daerah;

b) Bukan merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak; c) Tidak digunakan lagi dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi


(5)

Kepala Daerah menetapkan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang akan dihibahkan sesuai batas kewenangannya. Hibah barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola yang sejak awal pengadaaannya direncanakan untuk dihibahkan sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggaran, dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Kepala Daerah. Hibah barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan dilakukan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan oleh pengelola. Hibah barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan dengan nilai sampai dengan Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dilaksananakan oleh Kepala Daerah tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(d). Penyertaan modal.

Penyertaan modal pemerintah daerah atas barang milik daerah dilakukan dalam rangka pendirian, pengembangan, dan peningkatan kinerja Badan Usaha Milik Daerah atau badan hukum lainnya yang dimiliki oleh Pemerintah dan swasta. Pertimbangan penyertaan modal daerah dilaksanakan atas barang milik daerah yang sejak awal pengadaaannya direncanakan untuk penyertaan modal dan barang milik daerah akan lebih optimal apabila dilakukan melalui penyertaan modal.33 Penyertaan modal Pemerintah Daerah dilaksanakan terhadap tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan oleh pengguna kepada Kepala Daerah atau terhadap tanah dan/atau bangunan yang sejak awal direncanakan untuk penyertaan modal. Penyertaan modal pemerintah daerah dapat juga dilakukan terhadap barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan. Kepala Daerah

33


(6)

menetapkan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang akan dijadikan untuk penyertaan modal daerah sesuai batas kewenangannya.