Kajian Kerentanan dan Adaptasi

VAA untuk program ACCCRN tidak hanya dilakukan oleh Mercy Corps, tetapi juga melibatkan organisasi mitra lokal lainnya, yaitu Urban and Regional Development Institute URDI dan Center for Climate Risk and Opportunity Management for Southeast Asia and the Paciic CCROM dengan kerjasama dengan ISET. Setiap institusi di atas melaksanakan kajian untuk lingkup yang berbeda, dimana hasilnya kemudian akan dikompilasi ke dalam satu dokumen Kajian Kerentanan VA untuk setiap kota. Mercy Corps bertugas melaksanakan Kajian Kerentanan Berbasis Komunitas, URDI melaksanakan Kajian Pemerintahan, sementara CCROM menyusun Pemetaan dan Analisa Teknis serta bertanggung jawab menggabungkan seluruh hasil kajian menjadi sebuah dokumen. Pemetaan ini menghadapi berbagai tantangan, dimana masyarakat lokal beranggapan bahwa hasilnya tidak mencerminkan kenyataan di lapangan. Dalam proses penyusunannya, CCROM menggunakan data dari tingkat nasional yang tidak ter-update, dan bukan data yang lebih baru dari tingkat lokal; mereka juga tidak melakukan validasi terhadap informasi yang didapat di lapangan, sehingga hasilnya dipermasalahkan. Perubahan Persepsi dan Sikap terhadap Perubahan Iklim Walaupun VAA dapat memberikan informasi mengenai sisi ilmiah dari perubahan iklim dan potensi dampak yang mungkin dialami suatu lokasi spesiik, sebagian besar partisipan berpendapat bahwa metode dan cara penyampaian informasi tersebut kurang tepat. Lebih lanjut, lemahnya mekanisme penyampaian informasi menyebabkan VAA dan hasilnya hanya diketahui oleh kalangan terbatas. Tantangan 1. Membuat informasi yang ada mudah diakses dan dipahami. Salah satu tantangan utama program ini adalah menjembatani ‘gap’ antara ahli iklim dengan partisipan lokal yang sedikit atau tidak memiliki latar belakang ilmiah ataupun isu iklim. VAA harus menjadi kunci dalam mencapai hal ini, namun tentunya diperlukan upaya untuk menerjemahkan hasil dari kajian ke dalam bahasa dan presentai yang dapat dipahami oleh orang awam. 2. Mendapatkan informasi yang sesuai. Di kedua kota, partisipan merasa bahwa hasil VAA tidak mencerminkan kondisi di lapangan. Di Semarang, VAA disusun menggunakan data statistik nasional yang tidak ter-update tanpa melakukan veriikasi terlebih dahulu di lapangan, walaupun kota sendiri sudah memiliki data statistik terbaru untuk tingkat kota. Walaupun kondisi ini bisa dikatakan merupakan kekurangan dari mitra yang melaksanakan VAA; namun hal ini juga merupakan pengingat bahwa proses pengumpulan dan validasi data, walaupun menelan biaya yang tinggi dan membutuhkan waktu yang lama, merupakan hal yang penting dan membutuhkan pendapat lokal. 3. Menentukan informasi apa yang digunakan. Dalam kasus dimana VAA tidak mencerminkan kenyataan di lapangan, keputusan mengenai proyek percontohan dilakukan berdasarkan pendapat lokal, dan bukan data. Walaupun kondisi ini didorong oleh adanya masalah penjadwalan, dimana proyek percontohan ditentukan sebelum VAA selesai disusun; hal ini memberikan contoh akan pentingnya informasi lokal, terlepas dari digunakannya analisa secara ilmiah untuk isu ini. 4. Penyebaran informasi. Seperti halnya SLD, tidak ada mekanisme untuk menyebarkan hasil SLD kepada pihak-pihak di luar partisipan, yaitu Tim Kota dan pemangku kepentingan yang menghadiri SLD saat VAA dipresentasikan.

VI. Kajian Kerentanan dan Adaptasi

Vulnerability and Adaptation Assessment Kajian Kerentanan dan Adaptasi VAA merupakan basis ilmiah bagi penentuan dan pelaksanaan proyek percontohan. Bahaya, kerentanan, aset dan opsi adaptasi ditentukan berdasarkan hasil analisa ilmiah para ahli menggunakan konteks lokal. Di dalam program ACCCRN, VAA dilaksanakan oleh organisasi mitra, yaitu CCROM. Terlepas dari hasil yang dicapai oleh VAA, namun sebagian partisipan merasa bahwa kearifan lokal kurang dipertimbangkan di dalam kajian ini. Selain itu, disampaikan juga bahwa penyusunan VAA menggunakan datainformasi yang tidak ter-update, sehingga beberapa kesimpulan yang diambil dirasa kurang sesuai. The Vulnerability and Adaptation Assessment VAA forms the scientiic basis for the selection, and implementation, of the program’s pilot projects. It should apply expert analysis to the local context to determine hazards, vulnerabilities, assets, and adaptation options. In the ACCCRN program, the VAAs were carried out by partner organization CCROM. While the VAAs achieved some results, many participants felt that they did not use enough local knowledge, and that a reliance on outdated information led to some errors in their conclusions. The VAAs for the ACCCRN project were conducted not only by Mercy Corps, but also by local partners Urban and Regional Development Institute URDI and the Center for Climate Risk and Opportunity Management for Southeast Asia and the Paciic CCROM in coordination with ISET. Each institution implemented a different assessment, and the results were then collated into a single VA document for each city. Mercy Corps carried out a Community- Based Vulnerability Assessment, URDI implemented a Governance Assessment, and CCROM did a Mapping and Technical Analysis and was also responsible for compiling all assessments’ results into a single document. However, the mapping caused some dificulties, as community members complained that it did not relect the reality on the ground. CCROM used outdated national data, rather than using more recent local data, and did not validate their information in the ield, leading to signiicant problems with the results. Changing Attitudes To Climate Change While the VAA provided information on climate science and predictions of future impacts speciic to the location, most participants felt that it was not presented in an accessible way. In addition, the lack of dissemination mechanism limited the number of people aware of the VAA and its results. ChallengesPitfalls 1. Making the information accessible. One of the overarching challenges of the program is bridging the gap between climate experts and local participants with little or no background in science or climate issues. The VAA should be a key step in achieving this, but that requires that effort be put into adjusting indings into a language and presentation that is accessible for the untrained. 2. Getting the right information. In both cities, participants felt that the VAA did not accurately relect local conditions. In Semarang, the VAA implementer used outdated national statistics, without checking them in the ield, although there were district-level statistics that were more recent. While this can be attributed to poor performance of the partner implementing the VAA, it is also a reminder that data collection and validation, while expensive and time-consuming, is important and requires local input. 3. Determining what information to use. In the cases where the City Team members felt that the VAA did not relect the reality of the situation on the ground, the pilot project decisions relect the local understanding, rather than the data. While this was facilitated by the fact that, due to scheduling issues, the pilot projects were selected before the VAA was completed, it highlights the need to prioritize local information, while using scientiic expertise to analyze it. 4. Disseminating the information. As with the SLDs, there was no mechanism for propagating the results of the VAA beyond the immediate participants, primarily the City Team and those stakeholders who attended the SLD where the VAA was presented. 21 20 Studi Kasus pada Implementasi ACCCRN di Indonesia A Case Study of the ACCCRN Indonesia Implementation menyebabkan proyek percontohan ditentukan sebelum selesainya VAA. Walaupun hal ini mengurangi masalah dalam hal menentukan area prioritas, apakah area yang diidentiikasi sebagai daerah rentan oleh VAA yang didasarkan atas informasi yang tidak ter-update¬ atau area yang menurut anggota Tim Kota pada kenyataannya memang berisiko. Hal ini juga mengeliminasi sebagian pembenaran mengenai VAA dan kegunaannya. Penjadwalan yang lebih realistis akan memberikan kesempatan bagi pelaksanan untuk mengumpulan dan menganalisa data sebelum pengambilan keputusan. Pencapaian Terlepas dari kelemahan CCROM dalam melakukan VAA, Tim Kota tetap dapat menggunakan hasil dari kajian tersebut secara langsung ataupun adaptasinya sebagai dasar untuk proyek percontohan tahap kedua serta pemilihan studi sektoral. Data dari VAA juga dapat digunakan untuk mempromosikan proyek percontohan serta program ACCCRN sendiri. Proyeksi akan dampak di masa yang akan datang, pada khususnya, cukup mempengaruhi para pemangku kepentingan dan memberikan kesempatan untuk dilakukannya perencanaan jangka panjang yang lebih matang. Rekomendasi 1. Menggunakan kearifan lokal dan mengumpulkan data konkrit di lapangan. Berdasarkan pengalaman dari program ACCCRN, diketahui bahwa penggunaan data nasional tanpa melakukan veriikasi di lapangan dapat menyebabkan adanya perbedaan antara hasil kajian dengan realita yang ada, serta menurunkan rasa kepemilikan dan ketertarikan yang dimiliki pemangku kepentingan lokal terhadap dokumen VAA. Walaupun pada dasarnya VAA harus bermanfaat dalam meningkatkan kapasitas sumber daya lokal, tetapi proses penyusunannya juga harus mempertimbangkan kearifan lokal; baik melalui praktik di lapangan, maupun dengan melibatkan pemangku kepentingan lokal utama ke dalam suatu tim yang dipimpin oleh tenaga ahli yang kuat. 2. Cara penyampaian informasi yang mudah dipahami. Hasil VAA haruslah mudah dipahami oleh pemangku kepentingan lokal; setiap bagiannya perlu dicermati. Isi dokumen mungkin tidak hanya semata diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, tetapi juga ke dalam bentuk bahasa yang dapat dimengerti oleh orang awam; mungkin perlu disertai dengan diagram gambar atau pembuatan video atau membuat suatu ringkasan dokumen selain daripada dokumen asli yang lebih komprehensif. Memahami kebutuhan masyarakat dan menerjemahkan hasil ilmiah ke dalam bahasa masyarakat awam harus menjadi bagian dari lingkup kerja kegiatan penyusunan VAA. 3. Mengintegrasi berbagai komponen program. Apabila VAA harus dilakukan oleh beberapa organisasi, maka proses pengintegrasian VAA ke dalam rangkaian program harus dilakukan dengan cermat, termasuk dalam hal mekanisme pengawasan dan akuntabilitas. 4. Penyebaran informasi mengenai program. Dokumen VAA merupakan alat penggerak dan advokasi yang berharga, sehingga mekanisme penyebaran informasi yang sesuai dengan konteks ini harus direncanakan dan menjadi bagian dari dokumen VAA. 5. Timing. In the case of ACCCRN, a compressed timeframe meant that the pilot projects were selected before the VAA was completed. While this removed the problematic decision over whether to prioritize the areas identiied as vulnerable based on the outdated information in the VAA or the areas which City Team members felt were visibly more at risk, it also removed some of the justiication for and usefulness of the VAA. Realistic timeframes should allow for data to be collected and analyzed before decisions are made. SuccessImpact Despite the weaknesses in CCROM’s implementation of the VAAs, the City Teams were able to use the results, or their adaptation of the results, for the second round of pilot projects, as well as the selection of sector studies. The VAAs also provide useful data for promoting the pilot projects and the program itself. The projections of future impacts, in particular, made an impression on stakeholders and allowed for more concrete long-term planning. Recommendations 1. Include local knowledge and on-the-ground data collection. The experience of the ACCCRN program shows that using national data without ield validation is likely to result in disparities between assessment results and reality, as well as reducing the sense of ownership and investment that local stakeholders feel in the report. While the VAA must add value beyond what local resources are capable of, it must also take into account the value of local knowledge, either through extensive ieldwork or, ideally, by including key local stakeholders on a team with strong expert leadership. 2. Present information in an accessible way. In each context, care should be taken so that the results of the VAA are understandable for local stakeholders. This may mean not only translation into local language, but into simple local language; it may require including diagrams, or creating a video, or providing a concise summary in addition to more extensive material. Understanding the needs and translating the scientiic results into layman’s terms should be part of the scope of work for the VAA. 3. Integrate program components. If the VAA must be done by a separate organization, care should be taken to integrate it with the rest of the program, including monitoring and accountability structures. 4. Disseminate program information. The VAA report is a valuable mobilization and advocacy tool, and dissemination methods appropriate for the context should be planned for the report. 23 22 Studi Kasus pada Implementasi ACCCRN di Indonesia A Case Study of the ACCCRN Indonesia Implementation Program ACCCRN memberikan peluang pendanaan untuk beberapa proyek percontohan, namun mensyaratkan agar proyek-proyek yang diusulkan dari berbagai kota di tingkat regional berkompetisi untuk mendapatkan dana tersebut. Walaupun kota partner di Indonesia berhasil mendapat pendanaan untuk beberapa proyek percontohan di tahap pertama; namun pada tahap kedua tidak ada usulan proyek yang disetujui; dan saat penulisan dokumen ini dilakukan, kedua kota di Indonesia sedang mengajukan proposal proyek percontohan untuk tahap ketiga. Proyek yang telah dilaksanakan di Indonesia adalah: Bandar Lampung: 1. Program Participatory Design Adaptasi Ketahanan Masyarakat Kelurahan Kangkung Dan Kota Karang Kota Bandar Lampung terhadap Perubahan Iklim: peningkatan kesadaran dan pelatihan daur ulang serta penyediaan air bersih; 2. Peningkatan Kapasitas Masyarakat di Kelurahan Panjang Selatan terhadap Dampak Perubahan Iklim: peningkatan kesadaran, rehabilitasi lahan dan penyediaan air bersih; Semarang: 1. Proyek Rintisan Kredit Sanitasi Pemukiman Berbasis Komunitas Untuk Mengantisipasi Perubahan Iklim Pada Tingkat Perkotaan Di Kelurahan Kemijen Kecamatan Semarang Timur Kota Semarang: pinjaman untuk meningkatkan fasilitas sanitasi di permukiman yang rawan terhadap tanah longsor. 2. Model Penataan Lahan untuk Meminimalisasi Bencana di Kelurahan Sukorejo Kecamatan Gunungpati Semarang: Terasering, biopori dan sumur resapan; sebagai Bentuk Ketahanan Masyarakat dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim: penahan gelombang dan konservasi tanaman bakau 4. Adaptasi terhadap Dampak Perubahan Iklim Tanah Longsor dan Puting Beliung di Kelurahan Tandang, Kota Semarang: penanaman untuk mencegah tanah longsor. Proyek percontohan di atas memiliki tingkat pencapaian yang bervariasi. Perubahan Persepsi dan Sikap terhadap Perubahan Iklim Sebagian besar masyarakat yang diwawancara hanya berpartisipasi dalam pelaksanaan proyek percontohan dan tidak mengikuti SLD, sehingga program ini tidak terlalu banyak memberikan informasi baru mengenai perubahan iklim kepada mereka. Proyek percontohan yang dilakukan dirasa bermanfaat dalam memberikan solusi untuk isu aktual di lingkungan sekitar mereka, seperti misalnya banjir dan tanah longsor, dan keterlibatan mereka di dalam proyek ini tidak perlu didorong oleh suatu bukti ilmiah. Walaupun informasi baru yang mereka dapatkan sangat minimal, namun proyek-proyek tersebut ditengarai telah mampu meningkatkan kesadaran masyarakan akan pentingnya dan peluang pelaksanaan aksi adaptasi, dibandingkan mitigasi; menunjukkan keterkaitan konsep perubahan iklim dengan aksi-aksi yang praktis dan rendah biaya untuk mengatasi dampaknya. Studi sektoral memiliki peranan yang sama dengan VAA atau SLD; dimana ketiganya tidak memiliki strategi atau mekanisme yang jelas untuk penyebaran informasi di luar lingkup Tim Kota. Tantangan 1. Mengusulkan proyek yang aplikatif dan dapat diterima oleh donor. Memperoleh persetujuan pendanaan dari Rockefeller Foundation untuk proyek percontohan merupakan salah satu tantangan utama bagi Tim Kota Semarang dan Bandar Lampung, terutama pada tahap kedua dan ketiga. Hal ini tidak hanya menunjukkan perlunya peningkatan kapasitas Tim Kota serta perlunya dokumen VAA yang lebih informatif, namun juga mengindikasikan perlunya kriteria yang jelas untuk pendanaan proyek percontohan serta dukungan untuk hal ini. Berdasarkan hasil monitoring terhadap keseluruhan proses ACCCRN yang dilakukan oleh konsultan yang dikontrak oleh Rockefeller Foundation, salah satu kekurangan yang dapat terlihat adalah tidak semua proyek percontohan yang dilaksanakan memenuhi deinisi adaptasi perubahan iklim menurut pendapat donor.

VII. Proyek Percontohan dan Studi Sektoral