Shared Learning Dialogues Resources - Climate Change Adaptation and Governance: A Case Study of the Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN) Indonesia Implementation - ACCCRN Network ACCCRN Case Study

yang bahkan kesulitan dalam mencapai tingkat kehadiran minimum. Saat champion telah teridentiikasi, mereka harus dilatih dan didorong dengan memberikan tanggung jawab lebih serta semangat. 8. Mendedikasikan sumber daya untuk peningkatan kapasitas. Peningkatan kapasitas haruslah menjadi salah satu fokus agar Tim Kota dapat melaksanakan pekerjaan dengan efektif, serta tentunya untuk memastikan bahwa tim ini dapat berkelanjutan dan berjalan sendiri setelah program ACCCRN selesai. Lebih lanjut, di dalam kasus ACCCRN, anggota tim memiliki keinginan yang tinggi untuk belajar lebih banyak lagi; baik mengenai isu perubahan iklim maupun mengenai pembelajaran Bahasa Inggris mengingat mereka perlu berpartisipasi di acara lokakarya internasional. Peningkatan kapasitas, terutama yang dilakukan oleh institusitenaga ahli yang sesuai yang menurut peserta dapat membantu meningkatkan kapasitas mereka, dapat menjadi insentif bagi partisipan untuk berpartisipasi serta meningkatkan loyalitas mereka terhadap Tim Kota. 9. Menyusun struktur dan mekanisme penyebaran pengetahuan oleh Tim Kota. Anggota Tim Kota harus didorong untuk menyebarluaskan ilmu yang mereka dapat, serta hasil dan perencanaan yang telah dilakukan; baik di lingkup internal dinas mereka maupun kepada masyarakat luas. Insentif dan indikator harus disusun untuk memastikan bahwa fokus Tim Kota adalah pada dampak yang terjadi, termasuk apabila dampak tersebut di luar lingkup kerja mereka. between a successful City Team and one that can barely complete the minimal requirements for participation. When champions are identiied, they should be fostered and encouraged through greater responsibility and encouragement. 8. Devote resources to capacity building. Capacity building needs to be taken seriously for the City Team to do the work it is supposed to do, and particularly for it to stand alone after the end of the project. Moreover, at least in the case of ACCCRN, the members are eager to learn more, whether about climate change issues or of the English language that they need to participate in international owrkshops. Capacity building, particularly if it is done by the appropriate experts or institutions and in a way that gives it value in the eyes of the participants, can be a strong incentive for participation in and loyalty to the City Team. 9. Set up structures and mechanisms for the City Team to disseminate their knowledge. City Team members should be encouraged to disseminate their learnings, results, and plans both within their home institutions and to the wider public. Incentives or indicators should be set up to keep the City Team focused on impacts beyond their own functioning. Dalam program ACCCRN, setiap kota mengadakan lima kali SLD, dengan tema yang difokuskan pada: 1. Pengenalan ACCCRN dan identiikasi kerentanan kota; 2. Mendiskusikan hasil kajian kerentanan dan adaptasi; 3. Mendiskusikan kemajuan proyek percontohan; 4. Menyusun concept note dan proposal adaptasi serta mengintegrasikan strategi adaptasi perubahan iklim ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota; dan 5. Menyampaikan hasil dari studi sektoral serta mengidentiikasi peluang pendanaan. Perubahan Persepsi dan Sikap terhadap Perubahan Iklim Shared Learning Dialogue merupakan jalan utama untuk menginformasikan isu perubahan ikim kepada pemangku kepentingan di luar Tim Kota. Sebagian besar pihak yang diwawancara merasa bahwa pelaksanaan SLD telah membantu meningkatkan kesadaran akan isu perubahan iklim, serta terutama menarik perhatian masyarakat akan pentingnya tindakan adaptasi, dibandingkan tindakan mitigasi. Namun, inteviewee juga merasa bahwa durasi pelaksanaan SLD terlalu singkat dan frekuensinya terlalu rendah, sehingga sulit untuk mendapatkan pemahaman secara menyeluruh mengenai isu ini.

V. Shared Learning Dialogues

Kegiatan Shared Learning Dialogues memiliki 2 peranan: sebagai alat utama dalam memperkenalkan, berdiskusi dan mengintegrasikan informasi dari tenaga ahli baik eksternal maupun internal program; serta sebagai struktur utama dalam menarik keterlibatan pemangku kepentingan lain, di luar Tim Kota. Shared Learning Dialogues yang dilakukan oleh ACCCRN, walaupun terbukti sukses dalam pelaksanaannya, namun memiliki kekurangan dalam hal pengelolaan jarak jauh; dimana tema dan waktu pelaksanaan acara seringkali diputuskan oleh pihak manajemen yang berada di Jakarta ataupun oleh donor; sehingga dampak kegiatan ini terhadap peserta kurang optimal. The Shared Learning Dialogues play a double role: they are the main vehicle for introducing, discussing, and assimilating information both from outside experts and from within the program; and they are the primary structure for incorporating stakeholders beyond the City Team. The ACCCRN Program Shared Learning Dialogues, though they were successfully implemented, suffered from remote management, with decisions about topics and timing often decided either in Jakarta or by the donors, lessening their impact. In the ACCCRN program, ive SLDs were held in each city, focusing on: 1. introducing ACCCRN and identifying vulnerabilities; 2. discussing the results of the VAA; 3. discussing pilot project progress; 4. developing further concept notes and adaptation proposals and integrating climate change adaptation strategies into the city’s Medium- Term Development Plan; 5. and delivering the results of the sector studies and identifying funding opportunities. Changing Attitudes To Climate Change The Shared Learning Dialogues are the primary avenue for communicating information about climate change to stakeholders beyond the City Team. Most interviewees felt that the SLDs had raised awareness of climate change issues, and particularly drawn attention to the importance of adaptation as opposed to mitigation. However, interviewees also felt that the SLDs were too short and too infrequent to promote real understanding. 17 16 Studi Kasus pada Implementasi ACCCRN di Indonesia A Case Study of the ACCCRN Indonesia Implementation Tantangan 1. Menyeimbangkan kedalaman informasi. Durasi SLD yang terlalu panjang ataupun frekuensinya yang terlalu sering akan menjadi beban tersendiri bagi para pemangku kepentingan kota yang kemudian akan menyebabkan menurunnya ketertarikan dan komitmen partisipan. Akan tetapi, apabila SLD jarang diadakan akan mengakibatkan kurangnya rasa memliki partisipan dan Tim Kota terhadap program ini, terlebih lagi mereka juga akan kurang memahami isu perubahan iklim.Salah satu tantangan utama bagi program ACCCRN adalah mencari cara yang sesuai untuk memudahkan masyarakat luas, yang belum menjalani pelatihan atau tidak memiliki latar belakang terkait, untuk mengakses informasi mengenai perubahan iklim. 2. Berubah-ubahnya partisipan acara. Seperti halnya dengan yang terjadi pada Tim Kota, para pemangku kepentingan tidak selalu mengirim perwakilan yang sama ke setiap acara SLD. Di satu sisi, kondisi ini bermanfaat dalam hal penyebaran informasi perubahan iklim ke kalangan yang lebih luas; namun di lain pihak, para partisipan yang hadir secara rutin berpendapat bahwa hal ini mengakibatkan proses diskusi terhambat dan pengambilan keputusan berjalan lebih lambat dikarenakan sebagian besar peserta yang hadir tidak terlalu memahami terminologi serta konsep yang disampaikan pada SLD-SLD sebelumnya. 3. Penyebaran informasi dan keputusan kepada pihak-pihak di luar partisipan SLD. Program ACCCRN tidak memiliki suatu mekanisme untuk menyebarkan topik atau hasil dari SLD kepada kalangan luas di luar peserta kegiatan, dan terkadang institusi mereka; sehingga seringkali pemangku kepentingan lainnya di kota, selain dari peserta kegiatan, tidak mengetahui mengenai SLD ataupun hasilnya. Mendapatkan suatu mekanisme yang efektif dan hemat biaya untuk menyebarkan informasi mengenai SLD ke seluruh masyarakat kota akan dapat berdampak pada meningkatnya kesadaran masyarakat akan perubahan iklim serta adanya dukungan yang lebih besar terhadap kegiatan adaptasi. Pencapaian SLD telah berhasil memberikan suatu struktur, sampai tingkatan tertentu, untuk program ACCCRN, dengan memberikan peluang untuk menyusun jadwal kegiatan yang jelas dan teratur untuk pelaksanaan seluruh rangkaian program. Secara umum, kegiatan ini juga berhasil dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan perubahan iklim; serta meningkatkan pamor program ACCCRN secara khususnya. Rekomendasi 1. Penggunaan pendapat masyarakat lokal. SLD harus didesain agar dapat mengoptimalkan pendapat masyarakat lokal; untuk memastikan bahwa solusi yang didapat dilakukan untuk mengatasi isu yang dirasakan oleh masyarakat lokal, maupun yang terlihat oleh orang luar. Hal ini akan membantu meningkatkan rasa kepemilikan serta partisipasi masyarakat terhadap program. 2. Mekanisme penyebaran hasil dan informasi selain SLD. Pamlet, poster, SMS, iklan baris, radio atau metode lain yang dianggap sesuai untuk kota tersebut; harus dicari dan ditentukan dalam rangka menyebarkan informasi mengenai dan hasil SLD ke seluruh kota. Hal ini akan dapat meningkatkan pamor isu perubahan iklim di kota, dan menarik dukungan untuk pelaksanaan kegiatan dan proyek percontohan terkait. ChallengesPitfalls 1. Balancing depth of information. Too long or frequent SLDs will be a burden to stakeholders and probably outlast the interest and commitment of participants. However, too few SLDs leave both participants and the City Team lacking ownership of the process and without a thorough enough understanding of climate change issues. One of the key challenges for the program is to make climate change information accessible to people without training or background in science. 2. Inconsistent participation. As with the City Team, stakeholders did not always send the same representatives to participate in subsequent SLDs. While this has the advantage of exposing more people to information about climate change issues, those participants who did attend regularly found that it slowed decisions and hampered discussions because of the large percentage of people who were not familiar with terminology and concepts from previous SLDs. 3. Disseminating information and decisions beyond participants. The ACCCRN program lacked any mechanism for disseminating the topics or the results of the SLDs beyond immediate participants and in some cases their institutions, so it is unlikely that many in the cities other than the stakeholders who participated were aware of the SLDs or their results. Finding an effective, low-cost mechanism for transmitting information about the SLDs city-wide would go a long way to raising awareness of climate change issues and garnering broader support for adaptation initiatives. SuccessImpact The SLDs succeeded in giving the program a degree of structure that it might not otherwise have had, setting clear dates for moving the program through each stage of progress. They raised some degree of awareness about climate change issues in general and raised the proile of the ACCCRN program in particular. Recommendations 1. Use of local input. The SLDs should be designed with as much local input as possible, to make sure that they are addressing locally perceived needs for information, as well as those needs seen from outside. This will help to promote a sense of ownership and increased participation. 2. Some mechanism for dissemination of results and information beyond the SLDs. Pamphlets, posters, text messages, newspaper advertisements, radio, or some other locally appropriate method should be determined to spread information from the SLDs citywide. This will help to further raise the proile of climate change issues in the city, rallying support for initiatives and pilot projects. 19 18 Studi Kasus pada Implementasi ACCCRN di Indonesia A Case Study of the ACCCRN Indonesia Implementation VAA untuk program ACCCRN tidak hanya dilakukan oleh Mercy Corps, tetapi juga melibatkan organisasi mitra lokal lainnya, yaitu Urban and Regional Development Institute URDI dan Center for Climate Risk and Opportunity Management for Southeast Asia and the Paciic CCROM dengan kerjasama dengan ISET. Setiap institusi di atas melaksanakan kajian untuk lingkup yang berbeda, dimana hasilnya kemudian akan dikompilasi ke dalam satu dokumen Kajian Kerentanan VA untuk setiap kota. Mercy Corps bertugas melaksanakan Kajian Kerentanan Berbasis Komunitas, URDI melaksanakan Kajian Pemerintahan, sementara CCROM menyusun Pemetaan dan Analisa Teknis serta bertanggung jawab menggabungkan seluruh hasil kajian menjadi sebuah dokumen. Pemetaan ini menghadapi berbagai tantangan, dimana masyarakat lokal beranggapan bahwa hasilnya tidak mencerminkan kenyataan di lapangan. Dalam proses penyusunannya, CCROM menggunakan data dari tingkat nasional yang tidak ter-update, dan bukan data yang lebih baru dari tingkat lokal; mereka juga tidak melakukan validasi terhadap informasi yang didapat di lapangan, sehingga hasilnya dipermasalahkan. Perubahan Persepsi dan Sikap terhadap Perubahan Iklim Walaupun VAA dapat memberikan informasi mengenai sisi ilmiah dari perubahan iklim dan potensi dampak yang mungkin dialami suatu lokasi spesiik, sebagian besar partisipan berpendapat bahwa metode dan cara penyampaian informasi tersebut kurang tepat. Lebih lanjut, lemahnya mekanisme penyampaian informasi menyebabkan VAA dan hasilnya hanya diketahui oleh kalangan terbatas. Tantangan 1. Membuat informasi yang ada mudah diakses dan dipahami. Salah satu tantangan utama program ini adalah menjembatani ‘gap’ antara ahli iklim dengan partisipan lokal yang sedikit atau tidak memiliki latar belakang ilmiah ataupun isu iklim. VAA harus menjadi kunci dalam mencapai hal ini, namun tentunya diperlukan upaya untuk menerjemahkan hasil dari kajian ke dalam bahasa dan presentai yang dapat dipahami oleh orang awam. 2. Mendapatkan informasi yang sesuai. Di kedua kota, partisipan merasa bahwa hasil VAA tidak mencerminkan kondisi di lapangan. Di Semarang, VAA disusun menggunakan data statistik nasional yang tidak ter-update tanpa melakukan veriikasi terlebih dahulu di lapangan, walaupun kota sendiri sudah memiliki data statistik terbaru untuk tingkat kota. Walaupun kondisi ini bisa dikatakan merupakan kekurangan dari mitra yang melaksanakan VAA; namun hal ini juga merupakan pengingat bahwa proses pengumpulan dan validasi data, walaupun menelan biaya yang tinggi dan membutuhkan waktu yang lama, merupakan hal yang penting dan membutuhkan pendapat lokal. 3. Menentukan informasi apa yang digunakan. Dalam kasus dimana VAA tidak mencerminkan kenyataan di lapangan, keputusan mengenai proyek percontohan dilakukan berdasarkan pendapat lokal, dan bukan data. Walaupun kondisi ini didorong oleh adanya masalah penjadwalan, dimana proyek percontohan ditentukan sebelum VAA selesai disusun; hal ini memberikan contoh akan pentingnya informasi lokal, terlepas dari digunakannya analisa secara ilmiah untuk isu ini. 4. Penyebaran informasi. Seperti halnya SLD, tidak ada mekanisme untuk menyebarkan hasil SLD kepada pihak-pihak di luar partisipan, yaitu Tim Kota dan pemangku kepentingan yang menghadiri SLD saat VAA dipresentasikan.

VI. Kajian Kerentanan dan Adaptasi